BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Prokrastinasi Akademik 1. Pengertian Prokrastinasi Akademik
Istilah prokrastinasi berasal dari bahasa Latin procrastination dengan awalan “pro” yang berarti mendorong maju atau bergerak maju dan akhiran
“crastinus”. yang berarti keputusan hari esok, atau jika digabungkan menjadi
menangguhkan atau menunda sampai hari berikutnya (Burka & Yuen, 2008). Kata prokrastinasi yang ditulis dalam American College Dictionary, memiliki
arti menangguhkan tindakan untuk melaksanakan tugas dan dilaksanakan pada lain waktu. Ellis dan Knaus (dalam Akinsola, 2007) menganggap prokrastinasi sebagai bentuk penghindaran dari suatu kegiatan, memang sengaja untuk
terlambat dan mempunyai alasan untuk membenarkan perilaku tersebut serta menghindari penyalahan. Ellis dan Knaus (dalam Akinsola, 2007) juga mengatakan bahwa prokrastinasi adalah “the lack or absence of self-regulated
performance and the behavioral tendency to postpone what is necessary to
reach a goal”. Menurutnya, seseorang yang melakukan prokrastinasi itu
kurang atau tidak memiliki regulasi kerja yang tinggi. Oleh karenanya, ia cenderung untuk menunda-nunda apa yang harus dilakukan untuk mencapai
suatu tujuan.
disengaja. Terdapat enam area indikasi prokrastinasi akademik yaitu tugas
mengarang (membuat paper), belajar dalam menghadapi ujian, membaca buku penunjang, tugas-tugas administrative penunjang proses belajar, menghadiri
pertemuan dan kinerja akademik secara keseluruhan yang dilakukan secara terus menerus baik penundaan jangka pendek, beberapa saat menjelang
deadline, ataupun jangka panjang sehingga mengganggu kinerja dalam rentang waktu terbatas dengan mengganti aktivitas yang tidak penting.
Ferrari (dalam Ghufron, 2003) pengertian prokrastinasi dapat dipandang
dari berbagai batasan tertentu, yaitu;
a. Prokrastinasi hanya sebagai perilaku penundaan, yaitu bahwa setiap
perbuatan untuk menunda dalam mengerjakan suatu tugas disebut sebagai prokrastinasi, tanpa mempermasalahkan tujuan serta alasan penundaan yang dilakukan.
b. Prokrastinasi sebagai suatu kebiasaan atau pola perilaku yang dimiliki individu, yang mengarah kepada trait, penundaan yang dilakukan sudah
merupakan respon tetap yang selalu dilakukan seseorang dalam menghadapi tugas, biasanya disertai oleh adanya keyakinan-keyakinan irasional.
c. Prokrastinasi sebagai suatu trait kepribadian, dalam pengertian ini prokrastinasi tidak hanya sebuah perilaku penundaan saja, akan tetapi
Sedangkan menurut Ghufron (2010) prokrastinasi akademik adalah jenis
penundaan yang dilakukan pada jenis tugas formal yang berhubungan dengan tugas akademik. Ferrari (dalam Yong, 2010) menyatakan bahwa
prokrastinator yang gagal dalam bidang akademik dikarenakan mereka menghindari pengerjaan tugas dan merasa takut apabila mereka tidak dapat
menyelesaikan tugasnya.
Berdasarkan uraian penjelasan di atas tentang definisi dari prokrastinasi akademik, maka dari itu peneliti menyimpulkan bahwa prokrastinasi
merupakan penundaan tindakan untuk melaksanakan tugas dan dilaksanakan pada lain waktu. Sedangkan prokrastinasi akademik merupakan penundaan
tindakan untuk melaksanakan tugas formal yang berkaitan dengan tugas akademik.
2. Ciri-ciri Prokrastinasi Akademik
Ferrari dkk. (dalam Ghufron dan Risnawita, 2012) mengatakan bahwa prokrastinasi akademik dapat termanifestasi dalam indikator tertentu yang
dapat diukur dan diamati ciri-ciri tertentu antara lain:
a. Penundaan untuk memulai maupun menyelesaikan suatu tugas
Seseorang yang melakukan prokrastinasi tahu bahwa tugas yang
dihadapinya harus segera diselesaikan dan berguna bagi dirinya, akan tetapi dia nunda untuk mulai mengerjakannya atau
b. Keterlambatan atau kelambanan dalam mengerjakan tugas
Seseorang yang melakukan prokrastinasi akan memerlukan waktu yang lebih lama dari pada waktu yang dibutuhkan pada umumnya dalam
mengerjakan tugas. Seorang prokrastinator menghabiskan waktu yang dimilikinya untuk mempersiapkan diri secara berlebihan, maupun
melakukan hal-hal yang tidak dibutuhkan dalam penyelesaian suatu tugas, tanpa memperhitungkan waktu yang dimilikinya. Kadang-kadang tindakan tersebut mengakibatkan seseorang tidak berhasil menyelesaikan tugasnya
secara memadai. Kelambanan, dalam arti lambannya kerja seseorang dalam melakukan suatu tugas dapat menjadi ciri yang utama dalam
prokrastinasi akademik.
c. Kesenjangan waktu antara rencana dan kinerja aktual
Seseorang prokrastinator yang telah merencanakan dan membuat jadwal
dalam menyelesaiakan tugas, sering mengalami keterlambatan dalam memenuhi deadline yang telah ditentukannya sendiri dan gagal memenuhi
jadwal-jadwal yang telah ditetapkan.
d. Lebih menyukai melakukan aktivitas lain yang lebih menyenangkan dari pada mengerjakan tugas
Seorang prokrastinator dengan sengaja tidak segera mungkin dalam menyelesaikan tugasnya. Hal ini dikarenakan mereka menggunakan waktu
bioskop, mendengarkan musik, menonton televisi, dan bermain game
sehingga menyita waktu untuk mengerjakan tugas yang harus diselesaikan. Burka dan Yuen (2008) menjelaskan ciri-ciri seorang pelaku
prokrastinasi antara lain;
a. Prokrastinator lebih suka untuk menunda pekerjaan atau tugas-tugasnya.
b. Berpendapat lebih baik mengerjakan nanti daripada sekarang, dan menunda pekerjaan adalah bukan suatu masalah.
c. Terus mengulang perilaku prokrastinasi.
d. Pelaku prokrastinasi akan kesulitan dalam mengambil keputusan.
Berdasarkan beberapa uraian menurut beberapa ahli di atas, dapat
disimpulkan ciri-ciri prokrastinasi akademik menurut Burka dan Yuen (2008) yaitu; i) Prokrastinator lebih suka untuk menunda pekerjaan atau tugas-tugasnya; ii) Berpendapat lebih baik mengerjakan nanti daripada sekarang,
dan menunda pekerjaan adalah bukan suatu masalah; iii) Terus mengulang perilaku prokrastinasi; iv) Pelaku prokrastinasi akan kesulitan dalam
mengambil keputusan. Selain itu, menurut Ferrari, dkk (dalam Ghufron dan Risnawita, 2012) prokrastinasi akademik dapat diukur dan diamati ciri-ciri tertentu antara lain: i) Penundaan untuk memulai maupun menyelesaikan suatu
tugas; ii) Keterlambatan atau kelambanan dalam mengerjakan tugas; iii) Kesenjangan waktu antara rencana dan kinerja aktual; iv) Lebih menyukai
Penjelasan dari ciri-ciri perilaku prokrastinasi akademik di atas, maka
peneliti memilih ciri-ciri prokrastinasi akademik menurut Ferrari, dkk (dalam Ghufron dan Risnawita, 2012) sebagai alat pengukuran karena aspek-aspek
tersebut memiliki penjelasan yang lebih mudah dipahami untuk melihat prokrastinasi akademik.
3. Jenis-jenis Prokrastinasi Akademik
Menurut Ferrari (dalam Husetiya, 2010) membagi prokrastinasi menjadi dua jenis prokrastinasi berdasarkan manfaat dan tujuan melakukannya yaitu:
a. Functional Procrastination
Yaitu penundaan mengerjakan tugas yang bertujuan untuk memperoleh
informasi lengkap dan akurat b. Dysfunctional Procrastination
Yaitu penundaan yang tidak bertujuan, berakibat buruk dan menimbulkan
masalah. Dysfunctional procrastination ini dibagi lagi menjadi dua hal berdasarkan tujuan mereka melakukan penundaan:
1) Decisional procrastination
Menurut Janis dan Mann (dalam Ghufron, 2003), bentuk prokrastinasi yang merupakan suatu penghambat kognitif dalam menunda untuk
mulai melakukan suatu pekerjaan dalam menghadapi situasi yang dipersepsikan penuh stress. Menurut Ferrari, prokrastinasi dilakukan
tugas, yang kemudian menimbulkan konflik dalam diri individu,
sehingga akhirnya seseorang menunda untuk memutuskan sesuatu. Decisional procrastination berhubungan dengan kelupaan atau
kegagalan proses kognitif, akan tetapi tidak berkaitan dengan kurangnya tingkat intelegensi seseorang.
2) Avoidance procrastination
Menurut Ferrari (dalam Ghufron, 2003), penundaan dilakukan dengan suatu cara untuk menghindari tugas yang dirasa tidak menyenangkan
dan sulit untuk dilakukan. Prokrastinasi dilakukan untuk menghindari kegagalan dalam menyelesaikan pekerjaan, yang akan mendatangkan
nilai negatif dalam dirinya atau mengancam self esteem-nya sehingga seseorang menunda untuk melakukan sesuatu yang nyata yang berhubungan dengan tugasnya.
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan, menurut Ferrari tentang jenis jenis prokrastinasi akademik berdasarkan manfaat dan tujuannya dibagi
menjadi dua, yaitu functional procrastination dan Dysfunctional Procrastination. Dysfunctional procrastination ini dibagi lagi menjadi dua hal berdasarkan tujuan mereka melakukan penundaan yaitu decisional
4. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Prokrastinasi Akademik
Menurut Ferrari (dalam Ghufron, 2003), prokrastinasi mengganggu dalam dua hal yaitu:
a. Faktor internal
Faktor-faktor yang mempengaruhi individu untuk melakukan
prokrastinasi, meliputi:
1) Kondisi kodrati yang terdiri dari jenis kelamin anak, umur, dan urutan kelahiran.
2) Kondisi fisik dan kondisi kesehatan.
3) Kondisi psikologis, trait kepribadian yang dimiliki individu turut
mempengaruhi munculnya perilaku prokrastinasi, seperti hubungan kemampuan sosial dan tingkat kecemasan dalam berhubungan sosial. Besarnya motivasi seseorang juga akan mempengaruhi prokrastinasi
secara negatif. Semakin tinggi motivasi yang dimiliki individu ketika menghadapi tugas, akan semakin rendah kecenderungan untuk
melakukan prokrastinasi akademik. b. Faktor Eksternal
Faktor eksternal yang ikut menyebabkan kecenderungan munculnya
prokrastinasi akademik dalam diri seseorang yaitu faktor pola asuh orang tua dan lingkungan diantaranya lingkungan keluarga, masyarakat dan
1) Pola asuh orang tua
Candra dkk. (2014) mengatakan faktor penyebab prokrastinasi dapat berasal dari faktor keluarga yaitu dari perlakuan orang tua. Bagaimana
orang tua memberikan reward atau punishment terhadap anaknya akan mempengaruhi sikap siswa dalam menyelesaikan tugas sekolahnya.
Santrock (2002) menjelaskan bahwa pada masa remaja, orang tua lebih sedikit meluangkan waktu dengan anak-anak mereka daripada masa anak-anak.
Hasil penelitian Ferrari dan Ollivete (dalam Ghufron, 2010) menemukan bahwa tingkat pengasuhan otoriter ayah menyebabkan
munculnya kecenderungan perilaku prokrastinasi. Berbeda dengan pengasuhan orang tua yang mendidik anaknya dengan demokratis akan menyebabkan timbulnya sikap asertif karena anak diberi kebebasan
dalam mengekspresikan diri sehingga memunculkan rasa percaya diri. 2) Kondisi lingkungan
Kondisi lingkungan yang cenderung memiliki prokrastinasi akademik lebih banyak ditemukan pada lingkungan yang rendah dalam pengawasan daripada lingkungan yang penuh pengawasan.
Koentjaraningrat (dalam Basrowi, 2005) merumuskan definisi masyarakat sebagai kesatuan hidup manusia yang berinteraksi menurut
Lingkungan rendah pengawasan diartikan sebagai suatu kondisi
lingkungan dimana norma-norma dan aturan kurang begitu ditegakkan. Hal tersebut membuat kesempatan siswa untuk berada pada
lingkungan yang kondusif yang dibutuhkan untuk belajar dan mengerjakan tugas menjadi semakin berkurang.
Solomon & Rothblum (1984) menyebutkan bahwa prokrastinasi terjadi tidak hanya dikarenakan oleh manajemen waktu yang buruk dan kebiasaan belajar yang salah saja, tetapi juga berkaitan dengan interaksi antara
komponen perilaku, kognitif dan afeksi si pelaku. Secara spesifik, Solomon & Rothblum (1984) membagi faktor-faktor penyebab prokrastinasi sebagai
berikut:
a. Perasaan takut gagal (fear of failure)
Banyak orang yang melakukan prokrastinasi karena merasa gelisah atas
penilaian atau kritikan orang lain. Takut apabila orang lain menemukan kekurangan pada tugas yang telah dikerjakannya. Rasa takut tersebut
muncul sehingga terlalu khawatir apabila gagal mengerjakan tugasnya dengan baik. Pada akhirnya lebih memilih untuk menghindari rasa takutnya tersebut dengan menunda-nunda tugas akademiknya.
b. Cemas (Anxiety)
Rasa cemas disebabkan oleh rasa khawatir atau takut yang berlebihan.
atau buang air besar dan gangguan lainnya. Akibatnya, seseorang yang
mengalami kecemasan menjadi tidak fokus dalam mengerjakan tugasnya sehingga menunda menyelesaikan maupun mengerjakan tugas
akademiknya.
c. Memiliki standar yang terlalu tinggi (Perfectionism)
Seseorang yang perfeksionis akan mematok standar tujuannya terlalu tinggi dan mempunyai ambisi yang berlebihan. Pemikiran ini cenderung merujuk pada indivisu yang mengevaluasi kualitas dirinya terlalu
ekstrim. Orang perfeksionis secara tidak langsung menciptakan pemikiran yang tidak realistis dan tekanan (pikiran dan batin) yang
sebenarnya mengganggu. Apabila siswa memiliki standar yang terlalu tinggi, dampaknya terlihat pada saat mereka sedang mengerjakan tugas. Ada siswa yang mengumpulkan bahan sampai lengkap baru mengerjakan
tugasnya. Ada juga siswa yang selalu merasa kurang puas terhadap hasil yang telah dikerjakannya. Secara tidak langsung mereka malah
mengulur-ngulur waktu sampai jangka waktu pengumpulan tugas berakhir.
d. Kurang percaya diri (Low Self-Confidence)
Percaya diri merupakan salah satu aspek kepribdian yang sangat penting dalam kehidupan manusia. Orang yang percaya diri yakin atas
tugas karena kalau hasil tugasnya buruk akan dimarahi dosen. Apabila
terus berpikiran seperti itu, tugas tidak akan terselesaikan dengan baik. e. Menganggap tugas adalah suatu hal yang tidak menyenangkan
(Perceived Aversiveness of the Task)
Menganggap tugas sebagai sesuatu hal yang tidak menyenangkan
merupakan hasil pemikiran irasional. Dengan berpikir negatif seperti itu menjadikan mahasiswa tidak sungguh-sungguh dalam mengerjakan tugas (malas). Mereka cenderung menyepelekan dan menunda-nunda untuk
mengerjakannya. Akhirnya, hasil pekerjaan merekapun tidak maksimal. Hal tersebut berdampak pada indeks prestasi yang rendah.
Berdasarkan dari teori yang menjelaskan faktor-faktor yang mempengaruhi prokrastinasi, maka peneliti memilih faktor menurut Ferrari yaitu pola asuh orang tua khususnya pola asuh permisif. Menurut Ferrari
(dalam Ghufron 2003) faktor yang mempengaruhi prokrastinasi akademik yaitu faktor internal yang meliputi kondisi kodrati, kondisi fisik dan kondisi
kesehatan, dan kondisi psikologis individu. Sedangkan faktor eksternal meliputi pola asuh orang tua dan kondisi lingkungan yang meliputi lingkungan keluarga, masyarakat, dan sekolah.
B. Pola Asuh Permisif Orang Tua 1. Pengertian Pola Asuh Pemisif Orang Tua
tumbuh menjadi individu-individu yang dewasa secara sosial. Baumrind
(1991) mendefinisikan pola asuh permisif sebagai pola dimana orang tua sangat tidak ikut campur dalam kehidupan anaknya. Orang tua cenderung
mendorong anak untuk bersikap otonom, mendidik anak berdasarkan logika dan memberi kebebasan pada anak untuk menentukan perilaku dan
kegiatannya. Orang tua biasanya memberikan pengawasan yang sangat longgar, orang tua memberikan kesempatan pada anaknya untuk melakukan sesuatu tanpa pengawasan yang cukup. Orang tua cenderung tidak
memperingatkan anaknya dan sangat sedikit bimbingan yang diberikan. Pengasuhan permisif adalah gaya dimana orang tua sangat tidak terlibat
dalam kehidupan anak. Pola asuh permisif sangat berlebihan dalam memberikan kebebasan, orang tua percaya bahwa cara terbaik untuk menyatakan cinta pada anaknya adalah dengan memberikan keinginan anak
(Rice, 2008). Bee dan Boyd (2007) mengartikan pola asuh permisif didalamnya ada kehangatan dan toleran terhadap anak, orang tua tidak
memberikan batasan, tidak menuntut, tidak terlalu mengontrol dan cenderung komunikasi. Menurut Santrock (2002) pola asuh permisif memanjakan dan membiarkan anaknya melakukan apapun yang mereka inginkan, tanpa
memberikan kendali terhadap mereka.
Berdasarkan beberapa uraian pengertian di atas, dapat peneliti
2. Aspek-aspek Pola Asuh Permisif Orang Tua
Aspek-aspek pola asuh permisif orang tua menurut Hurlock (1997) antara lain: a. Kontrol yang sangat longgar terhadap anak
Menyangkut tidak adanya pengarahan perilaku anak sesuai dengan norma masyarakat, tidak menaruh perhatian dengan siapa anak bergaul.
b. Hukuman dan hadiah tidak diberikan
Tidak ada tindakan dari orang tua terhadap sikap anak, baik yang bersifat positif maupun negatif yang berupa hadiah atau hukuman.
c. Semua keputusan diserahkan pada anak
Kebebasan diberikan kepada anak sepenuhnya dalam pengambilan
keputusan.
d. Orang tua bersikap acuh tak acuh
Mengenai ketidakpedulian orang tua terhadap anak. Orang tua tidak peduli
dengan tindakan anak yaitu dengan tidak ada batasan atau peraturan-peraturan tertentu dalam keluarga.
e. Pendidikan bersifat bebas
Orang tua membiarkan anaknya untuk belajar dengan caranya sendiri. Tidak memperhatikan pendidikan anak. Tidak ada perhatian khusus dan
cenderung memberi kebebasan. Tidak ada arahan dan tuntutan dari orang tua.
a. Penuh kehangatan dan penerimaan namun kurang kontrol
Orang tua biasanya memberikan pengawasan yang sangat longgar. Orang tua memberikan kesempatan pada anaknya untuk melakukan pengawasan
yang cukup. Orang tua cenderung tidak memperingatkan anaknya, dan sangat sedikit bimbingan yang diberikan. Pola asuh orang tua tipe ini
biasanya bersifat hangat, sehingga disukai anak-anak. b. Menghargai kebebasan berekspresi anak
Orang tua tidak ikut campur dalam kehidupan anaknya. Orang tua
cenderung mendorong anak untuk bersikap otonom, mendidik anak berdasarkan logika dan memberikan kebebasan anak untuk menentukan
perilaku dan kegiatannya. Orang tua tidak tahu keberadaan mereka dan tidak cakap secara sosial, padahal anak membutuhkan perhatian orang tua ketika mereka melakukan sesuatu.
c. Tidak menetapkan batasan dan membiarkan anaknya menetapkan aturannya sendiri
Orang tua memberikan kebebasan pada anak tanpa adanya norma-norma yang harus diikuti oleh anak. Mungkin karena orang tua terlalu sayang terhadap anak atau orang tua kurang dalam pengetahuannya. Pola asuh
demikian ditandai dengan nurturance yang tinggi, namun rendah dalam tuntutan kedewasaan, kontrol dan komunikasi. Orang tua cenderung
hanya memberikan sedikit perhatian dalam membina kemandirian dan
kepercayaan diri anak. Orang tua membebaskan anak untuk berbuat dan berperilaku secara bebas. Kontrol orang tua dapat dikatakan sangat bebas,
sangat kurang, sehingga menyebabkan anak berperilaku seenaknya. d. Tidak menuntut standar perilaku yang tinggi
Orang tua memberikan kebebasan yang penuh pada anak untuk berbuat seenaknya, berbuat serba boleh, dengan tanpa banyak dituntut kewajiban dan tanggung jawab. Orang tua selalu menerima, membenarkan atau
bahkan mungkin tidak peduli terhadap perilaku anak. Dalam suasana keluarga permisif kemungkinan jarang sekali terjadi komunikasi antara
anak dan orang tua.
Menurut Rice (2008) pola asuh permisif pada umumnya memiliki aspek-aspek:
a. Kebebasan Material
Anak diberikan orang tua hampir setiap apa yang mereka inginkan,
terlepas dari biaya atau kebutuhan mereka (Rice, 2008). Orang tua memberikan apa saja yang diinginkan anak tanpa memperhartikan kondisi-kondisi tertentu (Bredehoft, Clarke & Dawson, 2002).
b. Kebebasan Relasional
Orang tua membebaskan anak untuk memutuskan segala sesuatu yang
c. Kebebasan Struktrural
Orang tua tidak peduli dengan tindakan anak yaitu dengan tidak ada batasan atau peraturan-peraturan tertentu dalam keluarga (Rice, 2008).
Kontrol terhadap tingkah laku anak sangat rendah. Orang tua memberikan kebebasan pada anak untuk mendominasi dalam keluarga (Bredehoft,
Clarke & Dawson, 2002).
Berdasarkan beberapa uraian menurut beberapa ahli di atas, dapat disimpulkan aspek-aspek pola asuh permisif orang tua menurut Hurlock
(1997) yaitu; i) kontrol yang sangat longgar terhadap anak; ii) hukuman dan hadiah tidak diberikan; iii) semua keputusan diserahkan pada anak; iv) orang
tua bersikap acuh tak acuh; v) pendidikan bersifat bebas. Selain itu, menurut Baumrind (dalam Meggit, 2013) yaitu; i) penuh kehangatan dan penerimaan namun kurang kontrol; ii) menghargai kebebasan berekspresi anak; iii) tidak
menetapkan batasan dan membiarkan anaknya menetapkan aturannya sendiri; iv) tidak menuntut standar perilaku yang tinggi. Dan menurut Rice (2008)
yaitu; i) kebebasan material; ii) kebebasan relasional; iii) kebebasan structural. Berdasarkan aspek-aspek dari beberapa ahli tentang pola asuh permisif orang tua, peneliti memilih aspek menurut Hurlock (1993) sebagai alat ukur
C. Hubungan antara Pola Asuh Permisif dengan Prokrastinasi Akademik pada Siswa
Proses pembelajaran di SMA adalah tempat mengembangkan kemampuan
yang dimiliki individu baik dalam segi kognitif, afektif maupun psikomotor melalui proses pembelajaran yang dilakukan. Pada masa ini, siswa sudah
dianggap mampu bertanggung jawab dalam menyelesaikan tugas akademiknya. Siswa memiliki strategi yang berbeda dalam menyelesaikan tugas akademiknya. Cheung dan Pomerantz (2011) menyebutkan bahwa
keterlibatan orang tua dalam pembelajaran anak dapat membawa dampak positif bagi akademik maupun emosional anak. Tamami (2011) mengatakan
orang tua yang selalu mendampingi anaknya ketika mengerjakan tugas sekolah yang dikerjakan di rumah akan berpengaruh terhadap kebiasaan belajar anaknya. Hal ini akan sangat berpengaruh pula terhadap perilaku
prokrastinasi yang dilakukan oleh anaknya.
Aspek pertama pada pola asuh permisif menurut Hurlock (1997) yaitu
kontrol yang sangat longgar terhadap anak. Tidak menggunakan aturan-aturan ketat bahkan bimbingan pun jarang sekali diberikan sehingga tidak ada pengendalian dan pengontrolan serta tuntutan kepada anak. Bee (2007)
menyatakan bahwa pada pola asuh permisif orang tua tidak memberikan batasan, tidak menuntut, tidak terlalu mengontrol dan cenderung kurang
lebih menyenangkan daripada mengerjakan tugas akademiknya. Anak lebih
memilih menggunakan waktunya untuk melakukan aktivitas yang mendatangkan hiburan sehingga anak melakukan penundaan untuk memulai
maupun menyelesaikan tugasnya.
Aspek kedua pada pola asuh permisif menurut Hurlock (1997) yaitu
hukuman dan hadiah tidak diberikan. Menurut Sumantri dan Syaodih (2007), pemberian penghargaan ini baik berupa hadiah maupun hukuman akan membuat anak berperilaku positif yang dapat mendorong gairah belajar anak.
Tidak adanya hukuman dan hadiah dalam menyelesaikan tugas dengan tujuan memotivasi dapat menyebabkan kecenderungan menunda-nunda dalam
mengerjakan tugas akademiknya karena merasa tidak terpacu dengan adanya target yang harus segera dicapai. Selain itu, menurut Burka dan Yuen (2008) anak berpendapat lebih baik mengerjakan nanti daripada sekarang dan
menunda pekerjaan adalah bukan suatu masalah karena tidak adanya hukuman dari orang tua. Sehingga anak akan mengulang perilaku prokrastinasi.
Aspek ketiga pada pola asuh permisif menurut Hurlock (1997) yaitu semua keputusan diserahkan pada anak. Menurut Yatim dan Irwanto (1991) keputusan diserahkan sepenuhnya kepada anak, orang tua tidak memberikan
pertimbangan, anak kurang tahu apakah tindakan yang dikerjakan salah atau benar. Akibatnya anak akan berperilaku sesuai dengan keinginannya sendiri.
dikemukakan oleh Ferrari dkk. (dalam Ghufron dan Risnawita, 2012) anak
menggunakan watu yang dimiliki untuk melakukan aktivitas menyenangkan dan mendatangkan hiburan sehingga menyita waktu untuk mengerjakan tugas
yang harus diselesaikan.
Aspek keempat pada pola asuh permisif menurut Hurlock (1997) yaitu
orang tua bersikap acuh tak acuh. Orang tua tidak peduli dengan tindakan anak yaitu dengan tidak ada batasan atau peraturan-peraturan tertentu dalam keluarga. Menurut Artifasari dan Irawati (2017), jika orang tua bersikap acuh
tak acuh pada anaknya, anak akan merasa tidak dipedulikan dalam keluarga selain itu akan menimbulkan rasa malas dalam kegiatan belajar. Rasa malas
dalam kegiatan belajar tersebut membuat anak menunda mengerjakan tugas-tugas yang seharusnya dikerjakan. Seperti yang dikemukakan menurut Ferrari dkk. (dalam Ghufron dan Risnawita, 2012) anak akan menggunakan waktu
yang dimiliki untuk melakukan aktivitas menyenangkan sehingga menyita waktu untuk mengerjakan tugas yang harus diselesaikan.
Aspek kelima pada pola asuh permisif menurut Hurlock (1997) yaitu pendidikan bersifat bebas. Orang tua membiarkan anaknya untuk belajar dengan caranya sendiri. Tidak memperhatikan pendidikan anak. Pendidikan
yang bersifat bebas dari orang tua mengakibatkan anak bebas untuk menentukan perilaku dan kegiatannya yaitu salah satunya dengan task
(Solomun dan Rothblum, 1984). Tidak adanya hukuman dari orang tua saat
anak menghindari tugas akademiknya akan mengakibatkan anak cenderung terus melakukan perilaku prokrastinasi akademik.
Berdasarkan hasil penelitian sebelumnya pada tahun 2014 oleh Adelia Rosari dengan judul “Hubungan antara Pola Asuh Permisif Orang tua dengan Prokrastinasi Akademik Siswa Kelas X SMA Xaverius Bandar Lampung”,
diketahui bahwa pola asuh pemisif orang tua tidak memberikan batasan, tidak menuntut, tidak terlalu mengontrol dan cenderung kurang komunikasi. Anak
cenderung dimanjakan dan dibiarkan melakukan apapun yang mereka inginkan oleh orang tua dalam bidang akademik, sehingga memunculkan
kemalasan anak dalam bidang akademik. D. Hipotesis
Berdasarkan uraian diatas, maka diajukan hipotesis penelitian yaitu ada
hubungan positif antara pola asuh permisif orang tua dengan perilaku prokrastinasi akademik pada siswa. Semakin permisif pola asuh orang tua