• Tidak ada hasil yang ditemukan

Prof. Bambang Purwoko, MA, PhD

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Prof. Bambang Purwoko, MA, PhD"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

TRANSFORMASI PELEMBA GAAN

DAN PROGRAM:

SUATU PROBLEM HUKUM

(2)

1

TRANSFORMASI PE LEMBA GA AN

DAN PROGRAM:

SUATU PROBLEM HUKUM

1

,

2

Prof. Bambang Purwoko, MA, PhD Universitas Pancasila dan DJSN

I. UMUM

Penyelenggaraan sistem jaminan sosial per kepesertaan dan atau yang pasti pemisahan dalam kepesertaan program jaminan sosial antara TK sektor swasta dan Pegawai sektor publik, yaitu pegawai negeri (PSP)) yang berdasarkan pengalaman emprik khususnya di Asia Tenggara masih lebih dominan. Dengan sendirinya BPJS per kepesertaan masih mengikat, karena sifat kepesertaan dari masing masing sektor terkait dengan ketentuan perundangan sebagai contoh definisi/pengertian Anggota TNI-Polri bahkan PNS tidak mengacu pada UU No 13/2003 tentang Ketenaga-kerjaan sedangkan UU Ketenaga-kerjaan pada umumnya menginspirasi UU Jaminan Sosial sebagai ketentuan Umum. Karena itu, penyelenggaraan sistem jaminan sosial bagi pegawai sektor publik selalu terpisah dengan kepesertaan sistem jaminan sosial bagi TK sektor swasta. PNS, Tentara dan Polisi adalah Profesi resmi sebagai Aparat Negara yang diatur dengan UU PNS, UU TNI dan UU Polri sedangkan Pekerja atau Karyawan termasuk Karyawan BUMN adalah sebagai salah satu aset perusahaan (sebelumnya didefinisikan sebagai salah satu faktor produksi) sebagaimana mengacu pada UU No 13/2003 tentang Ketenaga-kerjaan.

Mengapa perlu dipisahkan dalam penyelenggaraan program jaminan sosial bagi PSP dan TK sektor swasta? Kepesertaan jaminan sosial bagi PSP bersifat eksklusif (tertutup) karena jumlahnya terbatas atau “single-employer” sedangkan kepesertaan jaminan sosial bagi TK bersifat terbuka dan besar atau “multi-employer. Program jaminan sosial yang berlaku bagi PSP pada umumnya terbatas pada JP dan JK sedangkan program jaminan sosial bagi TK bersifat lengkap yaitu dari mulai JKK-JKm-JHT dan JPK kecuali JP belum diselenggarakan. Mengapa JP bagi TK sektor swasta masih belum diselenggarakan secara wajib? Karena masalah “jaminan pekerjaan” atau employment security. Untuk kepesertaan JP sekurang-kurang TK memiliki masa iur 15 tahun dan atau masa kerja 20 tahun yang bekerja secara terus menerus. Kemudian pembiayaan jaminan sosial pada umumnya berbeda antara Taspen dan Jamsostek. Pembiayaan Taspen bersifat

1 Makalah tentang Transformasi Pelembagaan dan Program disusun untuk memenuhi permintaan Pusat

Pengkajian, Pengolahan Data dan Informasi (P3DI) Sekretariat DPR untuk masukan RUU BPJS yang disampaikan di Ruang Rapat Gedung Nusantara I DPR Lantai 2 pada tanggal 15 Agustus 2011 di Jakarta.

2

Disampaikan kepada MARTABAT Prima Konsultindo untuk dimuat dalam rubrik Opini

(3)

2

unfunded sedangkan pembiayaan program Jamsostek berifat “fully funded by the members”. Memang ada iuran PNS untuk JP sebesar 4,75% dari gaji akan tetapi bersifat suplemen terhadap JP, karena manfaat pensiun bulanan yang diterima Pensiunan PNS dan Purnawirawan TNI-Polri lebih dari 85% berasal dari APBN sedangkan iuran PNS sebesar 4,75% hanya menyumbang terhadap manfaat pensiun di kemudian hari berkisar antara 10-15%. Karena itu, Kementerian Keuangan melalui Ditjen Anggaran menganggarkan untuk pembayaran manfaat pensiun bagi Pensiunan PNS dan Purnawirawan TNI-Polri sebagai bagian dari Belanja Pegawai dalam APBN.

Selanjutnya transformasi pelembagaan merupakan hal yang paling sulit, karena terkait dengan ketentuan UU BUMN yang mengikat dan tidak mudah untuk dilakukan transformasi apakah dengan menggunakan istilah “ganti-baju”. Idealnya format bentuk badan hukum BPJS adalah bentuk badan hukum publik. Bentuk badan hukum publik dapat dibebedakan atas badan hukum publik yang otonom dan badan hukum publik yang semi otonom (Purwoko, 2011). Badan hukum publik yang otonom adalah sebagai self-regulatory body yang memiliki program atau bidan tetapi tidak dapat menjalankan sendiri seperti MPR, DRP, Kementerian dan BI sedangkan badan hukum yang semi otonom adalah executive agency atau sebagai operator seperti TNI sebagai operator pertahanan dan Polri sebagai operator pendindakan hukum dan BPJS sebagai operator jaminan sosial dengan wewenang yang melekat seperti penindakan hukum. Adapun problem yang mendasar dalam mewujudkan pembentukan format BPJS yang ideal sehubungan dengan implementasi UU SJSN adalah bahwa BUMN Persero yang sekarang dipercayakan sebagai BPJS khususnya PT Jamsostek sangat terikat dengan UU No 19/2003 tentang BUMN, UU No 13/2003 tentang Ketenaga-kerjaan dan UU No 40/2007 tentang Perseroan Terbatas. Masalah hukum yang mendasar sebagaimana terkait dengan transformasi pelembagaan adalah bahwa UU SJSN tidak bisa meniadakan UU BUMN, UU Ketenaga-kerjaan dan UU Perseroan Terbatas. Untuk lebih rinci dalam bahasan betapa sulitnya melakukan transformasi jaminan sosial, maka berikut di bawah ini dipaparkan transformasi jaminan sosial, transformasi program dan transformasi pelembagaan.

II. PENGERTIAN TRANFORMASI JAMINAN SOSIAL

Transformasi berarti “penyesuaian” atau konversi program-program jaminan sosial yang sekarang berlaku ke dalam UU No 40/2004, khususnya tentang asas, prinsip dan program program SJSN. Transformasi program jaminan sosial diperlukan karena UU dan PP sebelumnya tentang program jaminan sosial didesain untuk kepesertaan tertentu. Sebagai contoh UU No 3/1992 tentang Jamsostek didesain untuk melindungi tenaga kerja yang masih aktif bekerja dengan lingkup hubungan Tripartit, sedangkan UU No 40/2004 tentang SJSN memiliki lingkup hubungan yang lebih luas, yaitu hubungan antara “Negara dan Warga Negara”. Untuk memenuhi asas keadilan, manfaat dan kemanusian sesuai kebutuhan perlindungan, obyek kepesertaan dan sifat dari masing masing manfaat program. Atas dasar asas manfaat, maka dalam penyelenggaraan sistem jaminan sosial sebaiknya fokus pada obyek kepesertaan dengan manfaat yang berbeda karena kebutuhan perlindungan yang berbeda tidak berarti diskriminatif. Berikut obyek-obyek kepesertaan jaminan sosial sekalipun berbeda akan tetap dalam tujuan akhir membentuk kepesertaan universal.

(4)

3

1. Obyek kepesertaan yang menjadi beban APBN:

Jenis kepesertaan ini terjadi pada Pegawai Negeri yang meliputi PNS-TNI-Polri dengan jumlah yang relative sedikit dibandingkan jumlah TK sektor swasta, maka pembiayaan jaminan sosial sebagian dibiayai dengan APBN karena jaminan sosial bagi pegawai negeri sebagai bagian dari belanja pegawai dalam APBN. Bahkan dibebaskan dari kewajiban pajak penghasilan bagi seluruh warga negara yang berminat menjadi Tentara seperti di Australia sebagai salah satu insentif. Akan tetapi jarang sekali pemuda Australia berminat menjadi Tentara. Karena itu kepesertaan jenis ini bersifat eksklusif atau tertutup, sedangkan program-program yang diperlukan pada umumnya jaminan kesehatan (JK), jaminan kematian (JKm) dan jaminan pensiun (JP). Untuk pegawai negeri jarang atau tidak lazim diberikan semacam asuransi sementara tidak bekerja (ASTB) karena PHK sebelum usia pensiun (unemployment insurance). Tidak lazim ada istilah PHK pada pegawai negeri kecuali melakukan pelanggaran hukum atau tindakan kriminal, sehingga dipecat. Apabila keluarga pegawai negeri menjadi miskin, maka hak jaminan sosial menjadi tanggung-jawab program bantuan sosial atau skema demogran. Karena adanya jaminan pekerjaan (employment security) yang memungkinkan pegawai negeri bisa bekerja dari 20 hingga 30 tahun, maka tidak berlaku ASTB kecuali TK sektor swasta.

2. Obyek kepesertaan yang dibiayai sepenuhnya dengan iuran peserta:

Jenis kepesertaan ini berlaku bagi seluruh TK sektor swasta yang meliputi TK sektor Formal, TK sektor informal dan Karyawan BUMN dengan status Perum-Persero. Status BUMN Perjan masuk dalam katagori obyek kepesertaan yang pertama, karena pegawainya masih berstatus PNS. Lingkup kepesertaan ini begitu besar dan sifat kepesertaannya menjadi terbuka. Karena itu pembiayaan jaminan sosial untuk kepesertaan TK sektor swasta menjadi beban bersama antara perusahaan atau majikan dan pekerjanya untuk mengiur program jaminan sosial sedangkan program-program yang diperlukan juga berbeda antara TK sektor formal dan TK sektor informal. Kebutuhan perlindungan bagi TK sektor formal mencakup JK-JKK-JKm-JHT-JP bahkan ASTB, karena TK sektor formal rentan PHK sebelum usia pensiun. Adapun kebutuhan perlindungan bagi TK sektor informal mencakup JK, JKm, JKK dan JHT. Perlindungan hari tua bagi TK sektor informal cukup dipenuhi dengan JHT atau tidak memerlukan JP, karena pekerja sektor informal bekerja sampai akhir hayat dalam arti tidak ada istilah batasan usia pensiun. Demikian halnya dengan ASTB juga tidak diperlukan. Karena hubungan antara majikan dan pekerjanya bersifat informal, maka kapan saja dimanapun yang bersangkutan berada selalu bekerja secara informal. 3. Obyek penerima manfaat jaminan sosial atas baban APBN

Karena masih ada golongan masyarakat yang kurang beruntung bahkan menjadi miskin sebagai akibat dari kebijakan publik yang tidak bisa membahagiakan seluruh masyarakat, maka hak jaminan sosial yang bersangkutan begitu terbatas yaitu berupa JK dan bantuan tunai minimum yang didesain seckupnya untuk konsumsi sebagai pengganti income (income substitute). Karena golongan masyarakat ini dikecualikan dari kewajiban iuran sebagaimana dijamin oleh UU No 11/2009 tentang Bantuan Kesejaheraan Sosial Permanen, maka tidak berlaku istilah kepesertaan kecuali penerima bantuan (beneficiries). Adapun pembiayaan program jaminan sosial bagi penduduk miskin berasal dari APBN termasuk juga dari swadaya masyarakat terutama untuk program pemberdayaan masyarakat kurang beruntung (vulnerable group). Program-program utama meliputi:

a. Program bantuan kesejahteraan sosial permanen bagi penduduk miskin permanen yang berdasarkan UU No 11/2009,

(5)

4

b. Program pemberdayaan penduduk rentan miskin seperti Askessos dan Jamkessos, c. Programs keluarga harapan (PKH) yang dibentuk secara khusus untuk

mendapatkan akses jaminan kesehatan masyarakat.

III. PENGERTIAN TRANSFORMASI PROGRAM SECARA TEKNIS

Transformasi program adalah tuntutan keadaan bahkan tuntutan global, karena peristiwa penuaan usia penduduk sebagai akibat dari pergeseran struktur demografi, peristiwa kemiskinan sebagai dampak dari kebijakan privatisasi yang merebak pada pelembagaan negara hingga privatisasi pendidikan. Privatisasi pelembagaan negara terbukti terjadi di dakde 1990an seperti transformasi dari Perjan ke Perum kemudian berakhir ke Perseroan Terbatas. Transformasi tersebut dapat berjalan dengan efektif dan cepat, karena masih dalam payung UU BUMN sehingga sekedar melakukan ibarat ”ganti-baju”. Pasca kebijakan publik yang kurang berpihak kepada penduduk rentan miskin telah menyumbang terhadap pertambahan penduduk rentan miskin seperti kebijakan kesempatan kerja waktu tertentu dan sistem kerja kontrak yang pada akhirnya menghasilkan ”jumlah penduduk miskin bergantian” di Indonesia justru terjadi di era reformasi ini. Jelas bahwa landasan utama dalam membangunan jaminan sosial, yaitu perlunya ”employment security” (jaminan pekerjaan) yang menjadi tanggung-jawab negara dan konsistensi kebijakan untuk memenuhi perluasan kepesertaan tenaga kerja hingga kepesertaan universal. Untuk melakukan transformasi diperlukan asumsi-asumsi yang sesuai spesifikasi dari program-program jaminan sosial sebelumnya dan selanjutnya berlaku persyaratan-persyaratan teknis yang harus dipatuhi agar penyelenggaraan sistem jaminan sosial dapat efektif di masa datang (Purwoko, 2011a).

1. Asumsi yang digunakan dalam transformasi program mengacu pada 5 program SJSN yang bersifat pendanaan penuh (fully funded programs) untuk alasan akuntabilitas finansial kepada stake-holders. Berikut pengertian transformasi program:

a. Transformasi program dapat bersifat “kelanjutan” seperti JHT Jamsostek dengan sendirinya menjadi JHT SJSN. Dampak dari kelanjutan tersebut terhadap JHT SJSN berupa penyesuaian besarnya iuran sesuai kesepatakan dari peserta;

b. Transformasi program dapat bersifat “konversi” seperti JHT Jamsostek ke dalam JP SJSN. Dampak dari konversi JHT Jamsostek menjadi JP Jamsostek berlaku persyaratan jumlah saldo minimal tertentu sesuai masa kepesertaan tertentu; c. Transformasi program dapat berarti “penyesuaian” dalam artian untuk perluasan

manfaat atau perluasan program seperti manfaat JKm berlaku bagi anggota keluarga;

d. Transformasi program dapat berarti “peniadaan kepesertaan wajib bersyarat bagi program JPK Jamsostek” menjadi JK SJSN yang tidak mengenal istilah kepesertaan wajib bersyarat untuk tujuan perluasan kepesertaan secara komprehensif;

(6)

5

e. Transformasi program dapat berarti “penyempurnaan” manfaat JK jenis penyakit yang berisiko tinggi agar memberikan manfaat kesehatan secara maksimal kepada peserta beserta keluarganya;

f. Transformasi program dapat juga berarti melakukan “cut-off kepesertaan” untuk memberlakukan kepesertaan yang baru berlaku sistem yang baru agar tidak menimbulkan masalah finansial di kemudikan hari;

g. Transformasi program dapat berarti “memberlakukan program lama” sebagai on top of SJSN program sehingga peserta lama tidak dirugikan akan tetapi peserta yang baru harus disesuaikan supaya tidak timbul gejolak peserta di kemudian hari. 2. Persyaratan transformasi program secara teknis:

a. Program-program yang akan ditransformasi bersifat apple to apple atau funded to funded programs, agar BPJS yang baru hanya melakukan penyesuaian iuran dan atau manfaat saja;

b. Transformasi program lama menjadi program baru tidak boleh merugikan peserta yang baru seperti terjadi pada kasus pegawai Perjan KA, karyawan Perumka dan karyawan PT KA;

c. Program-program yang bersifat unfunded tidak dapat ditransformasikan ke program-program yang funded, kecuali dilakukan cut-off dengan adanya jaminan keuangan dari pemerintah untuk mendanai program yang unfunded menjadi program funded sebagaimana mestinya;

d. Paket asuransi seperti THT Taspen dan THT Asabri tak dapat ditransformasi ke program SJSN, karena perbedaan pendanaan yang relatif tinggi.

IV. TRANSFORMASI DIHADAPKAN PADA PROBLEM HUKUM

Bebarapa masalah mendasar atau kendala dalam melakukan transformasi pelembagaan dan transformasi program khususnya “Program Jamsostek dan BPJS Jamsostek dalam rangka implementasi UU No 40/2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) pada prinsipnya terkait dengan “masalah hukum atau masalah perundangan”. Berikut disampaikan beberapa masukan penting yang diperoleh dari PT Jamsostek, PT Taspen, PT Askes dan PT Asabri dalam rapat konsultasi dengan DJSN pada tanggal 9 Agustus 2011 di Kantor DJSN-Jakarta antara lain:

1. UU No 3/1992 tentang Jamsostek yang mengatur penyelenggaraan program-program Jaminan kecelakaan kerja (JKK), Jaminan kematian (JKm), Jaminan hari tua (JHT) dan Jaminan pemeliharaan kesehatan (JPK) bagi tenaga kerja sektor swasta (TK) ternyata memiliki landasan yang kuat dan kokoh, karena dalam UU tersebut tidak berlaku pengurangan program karena ke-4 program tersebut merupakan “satu-paket” sebagai kebutuhan TK. Dalam UU Jamsostek dimungkinkan untuk menambah 1 program, yaitu program pesangon atau jaminan pensiun sesuai penjelasan Pasal-pasal

(7)

6

14-15 UU Jamsostek. UU Jamsostek terkait dengan UU No 13/2003 tentang Ketenaga-kerjaan khususnya Pasal 156 yaitu pesangon, penghargaan masa kerja dan penghargaan lain. Pengertian program pesangon bagi TK yang ter-PHK karena mencapai usia pensiun sesungguhnya merupakan JP. Karena itu Jamsostek boleh menambah satu program, yaitu JP sesuai UU SJSN dan UU Ketenaga-kerjaan.

2 Program-program Jamsostek yang berdasarkan UU No 3/1992 pada prinsipnya telah memenuhi syarat atau paling tidak menyerupai program-program SJSN yang meliputi Jaminan kesehatan (JK), Jaminan kecelakaan kerja (JKK), Jaminan kematian (JKm), dan Jaminan hari tua (JHT). Karena itu, penambahan program bagi BPJS Jamsostek dimungkinkan baik sesuai UU No 3/1992 tentang Jamsostek maupun UU No 40/2004 tentang SJSN. Perlu diketahui bahwa sifat JHT Jamsostek sebagaimana mengacu pada Pasal 14 UU 3/1992 tersebut dapat dibayarkan sekaligus, sebagian berkala dan atau berkala sepenuhnya kepada TK yang telah mencapai usia pensiun. Maka berarti JHT Jamsostek dengan sendiri dapat merupakan JP, yang hal ini berbeda dengan JHT dalam UU SJSN yang memang dirancang sebagai program tabungan wajib jangka panjang.

3. Badan penyelenggara jaminan sosial (BPJS) sebagaimana mengacu pada Pasal 25 UU No 3/1992 tentang Jamsostek ditunjuk BUMN yang ditindak-lanjuti dengan Peraturan Pemerintah (PP). Dengan terbitnya PP No 36/1995 tentang PT Jamsostek, maka berarti PT Jamsostek yang kebetulan sama namanya dengan program Jamsostek sebagai BPJS secara hukum sah adanya. Dengan ditunjuknya PT Jamsostek sebagai BPJS, maka BPJS Jamsostek yang berbentuk badan hukum “BUMN Persero” terikat dengan UU No 19/2003 tentang BUMN yang mengatur “BUMN Perum dan BUMN Persero”. PT Jamsostek sebagai “Persero” juga terikat dengan UU No 40/2007 tentang Perseroan Terbatas yang berlaku bagi Persero Swasta dan Persero BUMN. Karena itu tidak mudah untuk dilakukan transformasi pelembagaan. PT Jamsostek diikat dengan 2 UU, yaitu UU No 19/2003 tentang BUMN dan UU No 40/2007 tentang Perseroan Terbatas. Karena itu dalam proses transformasi pelembagaan hendaknya tidak terjadi pelanggaran UU.

4. Dalam hal transformasi pelembagaan dari BUMN Persero khususnya PT Jamsostek menjadi BPJS dengan bentuk badan hukum publik semi otonomi berlaku ketentuan UU No 19/2003 yang bersifat mengikat yaitu dilakukan terlebih dahulu “likidasi PT Jamsostek”. Dengan dilakukan likidasi, berarti terjadi penghentian pelayanan kepada peserta padahal proses transformasi tidak boleh merugikan peserta. Selain itu, juga dengan sendirinya terjadi PHK bagi karyawan Jamsostek yang belum mencapai usia 55 tahun. Ketentuan ini bersifat mengikat karena amanat UU BUMN. Karena terjadi PHK (terlepas akan terjadi perekrutan kembali setelah pembentukkan badan hukum publik), maka ketentuan Pasal 156 UU No 13/2003 tentang Ketenaga-kerjaan yang terkait dengan pesangon, penghargaan masa kerja dan penghargaan lain juga mengikat. Transformasi dikatakan dengan istilah “GANTI BAJU”, apabila terjadi konversi dari BUMN-PERSERO menjadi BUMN PERUM dan sebaliknya yang dinilai lebih mudah dan efektif, karena transformasi terjadi masih terjadi dalam 1 payung UU yaitu UU No 19/2003 tentang BUMN.

5. UU No 3/1992 tentang Jamsostek yang mengkhususkan pemberian perlindungan TK dinilai sebagai spesialis apabila dibandingkan dengan UU No 40/2004 yang dirancang untuk perlindungan seluruh warga-negara yang mengarah pada kepesertaan universal khususnya untuk jaminan kesehatan, maka bersifat universal atau umum. UU yang

(8)

7

sifatnya lebih universal atau lack of specialty tidak dapat menggantikan UU yang lebih spesifik. Karena itu, UU SJSN hanya mengamanatkan agar penyelenggaraan jaminan sosial mematuhi Pasal 4 UU SJSN tentang 9-Prinsip SJSN. Sebagaimana diketahui secara bersama, bahwa pasal demi pasal dalam UU SJSN pada prinsipnya mengamanatkan kepada BPJS untuk mengadopsi asas dan menyesuaikan 9 prinsip SJSN. Memang dibuka peluang, “bila dimungkinkan” membentuk BPJS baru dengan UU.

V. PROGRAM-PROGRAM JAMINAN SOSIAL DAN

BPJS-BPJS DI ASEAN

Program-program jaminan sosial di negara negara Asia Tenggara (Asean) dijadikan rujukan dalam reformasi sistem jaminan sosial. Reformasi sistem jaminan sosial yang dapat dipertanggung-jawabkan secara hukum dan efektif dalam operasional adalah perluasan kepesertaan universal khusunya untuk jaminan kesehatan atau penambahan program jaminan sosial. Hampir jarang dilakukan transformasi pelembagaan di pelbagai negara kecuali membentuk BPJS yang sama sekali baru, karena bentuk badan hukum pelembagaan di pelbagai negara boleh dikatakan “sudah baku” seperti di negara negara G8 bahwa bentuk badan hukum BPJS beragam dari mulai wali amanat, badan hukum publik yang otonom hingga badan hukum publik yang semi otonom. Sebagai contoh reformasi sistem jaminan sosial yang dilakukan di negara-negara G8 pada umumnya mengarah pada pengembangan program pensiun iuran pasti sebagai suplemen terhadap program jaminan pensiun manfaat pasti atau menunda usia pensiun dari 65 tahun ke 67 tahun seperti yang terjadi di Jerman dan Australia. Karena problem jaminan pensiun antara negara-negara G-8 berbeda dengan Indonesia, maka sebagai rujukan dalam kajian ini khususnya mengenai BPJS digunakan pengalaman empirik BPJS di Asia Tenggara. Berikut diillustrasikan penyelenggaraan sistem jaminan sosial dan BPJS di beberapa negara di Asia Tenggara yang meliputi Malaysia, Thailand, Filipina dan Vietnam serta Indonesia. Dalam illustrasi tersebut, juga dipaparkan sifat dan status BPJS. Perincian program dan BPJS dapat dilihat dalam Tabel-tabel 1-6.

1. MALAYSIA

a. EMPLOYEE PROVIDENT FUND (EPF) di Malaysia adalah program tabungan hari tua pekerja (JHT) bagi TK sektor swasta yang sekaligus sebagai BPJS yang dibentuk dengan UU EPF tahun 1951 yang berbentuk badan hukum wali amanat. Pembiayaan EPF adalah iuran peserta sebesar 23% upah dengan rincian perusahaan 12% dan TK 11% upah. Instansi yang membina adalah Kementerian Keuangan Diraja Malaysia.

b SOCIAL SECURITY ORGANIZATION (SOCSO) di Malaysia adalah program kecelakaan kerja (JKK) dan santunan cacat berkala (SCB) bagi TK sektor swasta yang sekaligus sebagai BPJS yang dibentuk dengan UU Socso 1969 yang berbentuk badan hukum wali amanat. Pembiayaan Socso adalah iuran peserta sebesar rata-rata 1,0% upah untuk JKK dan 1,25% untk iuran santunan cacat berkala (SCB) dengan rincian iuran perusahaan 1,0% untuk JKK dan 0,75% untuk SCB sedangkan TK 0,50% untuk iuran SCB. Instansi yang membina adalah Kementerian Perburuhan Diraja Malaysia.

(9)

8

c. CIVIL SERVANTS’ PENSION FUND (CSPF) di Malaysia adalah program pensiun (JP) bagi Pegawai Diraja termasuk Kepolisan Diraja yang sekaligus sebagai BPJS yang dibenuk dengan UU CSP tahun 1951. Pembiayaan CSP berasal dari iuran Pegawai Diraja sebesar 16% gaji ditambah APBN saat pensiun. Program CSP tersebut menyerupai Taspen. Instansi yang membina adalah Kementerian Keuangan Diraja Malaysia.

d. MILITARY FORCES’ PENSION FUND (MFPF) di Malaysia adalah program pensiun (JP) bagi Angkatan Tentara Diraja yang sekaligus sebagai BPJS yang dibenuk dengan UU MFP tahun 1951. Pembiayaan MFP berasal dari APBN. Program MFP tersebut menyerupai Asabri. Instansi yang membina adalah Kementerian Keuangan Diraja Malaysia.

2. THAILAND

a. SOCIAL SECURITY ORGANIZATION (SSO) di Thailand adalah program jaminan sosial tenaga kerja yang meliputi JP-JKK-JK bagi TK sektor swasta yang sekaligus sebagai BPJS yang dibentuk dengan UU SSO tahun 1999 yang berbentuk badan hukum publik. Pembiayaan SSO berasal dari iuran2 perusahaan, TK dan pemerintah dengan ketentuan: (a) iuran JK dengan rincian perusahaan 1,5%, TK 1,5% dan Pemerintah 1,5%; (b) iuran JP dengan rincian Perusahaan 3%, TK 3% dan iuran Pemerintah 1% sedangkan (c) iuran JKK sebesar 1% dibayar langsung oleh perusahaan. Instansi yang membina adalah Kementerian Perburuhan Kerajaan Thailand.

b CIVIL SERVANT MEDICAL BENEFIT SERVICES (CSMBS) di Thailand adalah program jaminan kesehatan (JK) bagi Pegawai dan Kepolisian Kerajaan yang sekaligus sebagai BPJS yang dibentuk dengan UU CSMBS 1999 yang berbentuk badan hukum publik. Pembiayaan CSMBS sepenuhnya dibiayai APBN. Instansi yang membina adalah Kementerian Keuangan Kerajaan Thailand. c. NATIONAL INSTITUE FOR SOCIAL SECURITY PENSION (NISSP) di Thailand adalah program pensiun (JP) bagi Pegawai dan Kepolisian Kerajaan yang sekaligus sebagai BPJS yang dibenuk dengan UU NISSP tahun 1999. Pembiayaan NISSP sepenuhnya berasal dari APBN (Pay-As-You-Go). Instansi yang membina adalah Kementerian Keuangan Kerajaan Thailand.

d. MILITARY RETIREMENT SERVICE OFFICE (MRSO) di Thailand adalah program pensiun (JP) bagi Angkatan Tentara Kerajaan yang sekaligus sebagai BPJS yang dibenuk dengan UU MFP tahun 1999. Pembiayaan MRSO sepenuhnya berasal dari APBN (Pay-As-You-Go). Program MRSO tersebut menyerupai Asabri. Instansi yang membina adalah Kementerian Keuangan Kerajaan Thailand.

e. NATIONAL HEALTH SECURITY OFFICE (NHSO) di Thailan adalah program JK universal bagi selururuh penduduk termasuk para pensiunan karyawan sektor swasta yang sekaligus sebagai BPJS yang dibentuk dengan UU NHSO tahun 2002. Pembiayaan NHSO sepenuhnya berasal dari APBN. Program NHSO hampir menyerupai Jamkesmas. Instansi yang membina adalah Kementerian Kesehatan Kerajaan Thailand.

(10)

9

3. FILIPINA

a. SOCIAL SECURITY SYSTEM (SSS) di Filipina adalah program jaminan sosial tenaga kerja yang meliputi JP-JKK bagi TK sektor swasta yang sekaligus sebagai BPJS yang dibentuk dengan UU SSS tahun 1997 yang berbentuk badan hukum publik. Pembiayaan SSS berasal dari iuran2 perusahaan dan TK dengan ketentuan: (a) iuran JP dengan rincian perusahaan 7,04% dan TK 3,33% sedang (b) iuran JKK dibayar oleh perusahaan sebesar rerata 1% upah. Instansi yang membina adalah Kementerian Perburuhan Republik Filipina.

b GOVERNMENT SERVICE INSURANCE SYSTEM (GSIS) di Filipina adalah program jaminan sosial bagi Pegawai Negeri termasuk Kepolisian Filipina yang sekaligus sebagai BPJS yang dibentuk dengan UU GSIS 1954 yang berbentuk badan hukum publik. Pembiayaan GSIS sepenuhnya dibiayai APBN. Instansi yang membina adalah Kementerian Keuangan Republik Filipina.

c. PHILIPPINE HEALTH SYSTEM (PHILHEALTH) di Filipina adalah program jaminan kesehatan (JK) bagi Pegawai Negeri dan TK sektor swasta yang sekaligus sebagai BPJS yang dibenuk dengan UU Philhealth tahun 1997. Pembiayaan Philhealth sepenuhnya berasal dari iuran peserta. Instansi yang membina adalah Kementerian Kesehatan Repulbik Filipina.

d. MILITARY RETIREMENT SERVICE (MRS) di Filipina adalah program jaminan sosial bagi Angkatan Tentara yang terdiri dari JP dan JK. MRS ini sekaligus sebagai BPJS yang dibenuk dengan UU MFP tahun 1954. Pembiayaan MRS sepenuhnya berasal dari APBN (Pay-As-You-Go). Program MRS tersebut menyerupai Asabri. Instansi yang membina adalah Kementerian Keuangan Republik Filipina.

4. VIETNAM

a. VIETNAMESE SOCIAL SECURITY SYSTEM (VSS) di Vietnam adalah sistem jaminan sosial tenaga kerja yang meliputi JP-JKK-JPHK bagi TK sektor swasta yang sekaligus sebagai BPJS yang dibentuk dengan UU VSS tahun 1995 yang berbentuk badan hukum publik. Pembiayaan VSS berasal dari iuran2 perusahaan dan TK dengan ketentuan: (a) iuran JP dengan rincian perusahaan 12% dan TK 6%; (b) iuran JKK 1% dibayar oleh perusahaan Pemerintah 1,5% sedangkan (c) iuran JPHK dengan rincian 1%; 1% TK 3% dan 1% Pemerintah. Instansi yang membina adalah Kementerian Keuangan Republik Vietnam.

b VIETNAMESE HEALTH INSURANCE (VHI) di Vietnam adalah program asuransi kesehatan (JK) bagi TK sektor swasta yang sekaligus sebagai BPJS yang dibentuk dengan UU VHI 1995 yang berbentuk badan hukum publik. Pembiayaan VHI sepenuhnya berasak dari iuran peserta dengan rincian 3% Perusahaan dan 1,5% TK. Instansi yang membina adalah Kementerian Keuangan Republik Vietnam.

c. MOLISA di Vietnam adalah sistem jaminan sosial bagi Pegawai Negeri (PNS-Tentara-Kepolisian) yang sekaligus sebagai BPJS yang dibenuk dengan UU Molisa 1995. Pembiayaan MOLISA sepenuhnya berasal dari APBN (Pay-As-You-Go). Instansi yang membina adalah Kementerian Keuangan Republik Vietnam.

(11)

10

5. INDONESIA

a. JAMINAN SOSIAL TENAGA KERJA (JAMSOSTEK) di Indonesia adalah program Jamsostek yang meliputi JKK-JKm+JHT+JPK bagi TK sektor swasta yang berdasarkan UU No 3/1992 dan diselenggarakan oleh PT Jamsostek (Persero) yang berbentuk badan hukum privat sesuai UU No 19/2003 tentang BUMN. Berdasarkan Pasal 25 UU 3/1992, pembentukkan BPJS ditunjuk BUMN yang ditindak-lanjuti dengan Peraturan Perundangan. Dengan terbitnya PP No 36/1995 tentang PT Jamsostek, maka PT Jamsostek sebagai BPJS secara sah. Pembiayaan program Jamsostek berasal dari iuran2 Perusahaan dan TK dengan ketentuan: (a) Perusahaan menanggung iuran JKK sebesar rerata 1% upah; iuran JKm sebesar 0,3% upah dan iuran JPK sebesar 3-6% upah sedangkan (b) iuran JHT ditetapkan 5,7% upah dengan rincian Perusahaan 3,7% dan TK 2% upah. Iuran JPK sebesar 3% berlaku untuk TK lajang sedangkan 6% berlaku untuk TK dengan K3 dengan plafon upah Rp 1 juta. JHT Jamsostek sesuai Pasal 14 UU 3/1992 dapat dikonversikan ke JP. Instansi yang membina adalah Kementerian Negara BUMN dan Kementerian Tenaga Kerja.

b TABUNGAN ASURANSI DAN PENSIUN PEGAWAI NEGERI (TASPEN) meliputi program THT sebagai Asuransi Kematian yang berdasarkan PP No 25/1982 dan program pensiun yang berdasarkan UU No 11/1969. Iuran program THT ditetapkan sebesar 3,25% gaji sedangkan iuran program pensiun ditetapkan sebesar 4,75% gaji sebagai suplemen, karena program pensiun yang berdasarkan UU No 11/1969 didanai dengan APBN. PT Taspen (Persero) ditunjuk sebagai BPJS sesuai PP 26/1982 Instansi yang membina adalah Kementerian Negara BUMN dan Kementerian Keuangan.

c. ASURANSI KESEHATAN PEGAWAI NEGERI (ASKES) adalah program jaminan kesehatan (JK) bagi Pegawai Negeri Sipil, Pensiunan PNS dan Purnawirawan TNI-Polri. Besarnya iuran JK ditetapkan 2% gaji bagi PNS yang aktif, iuran APBN 2% dan iuran para pensiunan pegawai negeri ditetapkan 5% yang dipotong dari manfaat pensiun. PT Askes (Persero ditunjuk sebagai BPJS sesuai PP No 6/1992. Instansi yang membina adalah Kementerian Negara BUMN dan Kementerian Kesehatan.

d. ASURANSI SOSIAL ANGKATAN BERSENJATA REPUBLIK INDONESIA (ASABRI) adalah program jaminan sosial bagi TNI, Polri dan PNS Kemhan termasuk PNS TNI+Polri. Program Asabri terdiri dari THT yang berdasarkan PP 67/1991 dan Pensiun yang berdasarkan UU No 6/1966. Iuran program THT dan Pensiun ditetapkan sama dengan program Taspen, karena sebelumnya program Asabri sebagai bagian dari program Taspen. PT Asabri (Persero) ditunjuk sebagai BPJS yang berdasarkan PP No 68/1991. Instansi yang membina adalah Kementerian Negara BUMN dan Kementerian Pertahanan.

(12)

11 TABEL 1 JAMINAN SOSIAL DI MALAYSIA

No BPJS Program Kepesertaan Dasar Hukum Pembiayaan 1 2 3 4 EPF Socso CSPF MFPF JHT JKK+JP Cacat JP+JK JP+JK TK Sektor Swasta TK Sektor Swasta Pegawai Kerajaan Angakatan Tentara UU 1951 UU 1969 UU 1951 UU 1951 Iuran peserta Iuran peserta Iuran+APBN Iuran+APBN

TABEL 2 JAMINAN SOSIAL DI THAILAND

No BPJS Program Kepesertaan Dasar Hukum Pembiayaan 1 2 3 4 5 SSO CSMBS NISSP MRSO NHSO JP+JKK+JK JK JP JP JK TK Sektor Swasta Pegawai Kerajaan Pegawai Kerajaan Angkatan Tentara Sel Warga Negara

UU 1999 UU 1999 UU 1999 UU 1999 UU 2002 Iuran peserta APBN APBN APBN APBN

TABEL 3 JAMINAN SOSIAL DI FILIPINA

No BPJS Program Kepesertaan Dasar Hukum Pembiayaan 1 2 3 4 SSS GSIS PHIL- HEALTH MRS JP+JKK JP+JK JK JP+JK TK Sektor Swasta PNS TK Sektor Swasta dan PNS Angkatan Tentara UU 1997 UU 1954 UU 1997 UU 1954 Iuran peserta APBN Iuran peserta APBN

TABEL 4 JAMINAN SOSIAL DI VIETNAM

No BPJS Program Kepesertaan Dasar Hukum Pembiayaan 1 2 3 VSS VHI MOLISA JP+JKK+JPHK JK JP+JK TK Sektor Swasta TK Sektor Swasta Pegawai Negeri UU 1995 UU 1995 UU 1995 Iuran peserta Iuran peserta APBN

TABEL 5 JAMINAN SOSIAL DI INDONESIA

No BPJS Program Kepesertaan Dasar Hukum Pembiayaan 1 2 3 4 Jamsostek Taspen Askes Asabri JKK+JKM JHT+JPK JP+THT JK THT+JP+JK TK Sektor Swasta PNS PNS+Pensiunan TNI-Polri+PNS UU 3/1992 UU 11/1969 PP 25/1981 - UU 6/1966 Iuran peserta Iuran+APBN Iuran+APBN Iuran+APBN

(13)

12 Tabel 6 IURAN JAMINAN SOSIAL BAGI TK SEKTOR SWASTA (% UPAH)

No Program Malaysia Thailand Filipina Vietnam Indonesia 1 2 3 4 5 6 JKK Pensiun cacat JK atau JPK JKm JHT JP JPHK < 55 1,00 1,25 - - 23,0 - - 1,00 - 4,50 - - 7,00 1,25 1,00 - 2,50 - - 10,34 - 1,00 - 4,50 - - 18,0 3,00 1,00 - 6,00 0,3 5,7 JHT JHT 25,25 13,75 13,84 26,50 13,00 Tabel-Tabel 1-6 bersumber dari US Social Security Administration (2011)

Penyelenggaraan program pensiun manfaat pasti sangat berisiko bagi penyelenggara. Karena jaminan pensiun yang terkait dengan sistem jaminan sosial, maka risiko berada pada negara sebagai penyelenggara khususnya terjadi ageing problem sedang risiko yang dihadapi peserta terkait dengan masa iur yang kurang dari 15 tahun. Karena itu negara negara berkembang khususnya di Afrika dan Asia Tenggara lebih menyukai menyelenggarakan program pensiun manfaat pasti, karena tidak berisiko baik bagi negara maupun bagi peserta asalkan persyaratan iur minimal dipenuhi. Penyelenggaraan program pensiun manfaat pasti di Asia Tenggara masih terbatas pada 3 negara dengan manfaat yang sangat dasar diberikan kepada peserta. Berikut dalam Tabel 7 dipaparkan tentang penyelenggaraan jaminan pensiun manfaat pasti yang bersifat wajib bagi TK sektor swasta di tiga negara di Asia Tenggara yaitu Filipina, Thailand dan Vietnam

TABLE 7 JAMINAN PENSIUN BAGI TK SEKTOR SWASTA

No Indikator Filipina Thailand Vietnam 1 2 3 4 5 6 7 Kurs USD 1 Dasar hukum Iuran % upah a. Perusahaan b. Tenaga-kerja c. Pemerintah Upah untuk iuran a. Upah minimum b. Plafon upah Perbandingan upah Masa iur minimum Manfaat pensiun / bulan a. Pensiun hari tua b. Pensiun cacat c. Pensiun ahli waris

46 Pesos UU 1954 3,33 7,04 0,00 10,37 1000 pesos 15000 pesos 1:15 10 tahun 1000 pesos 20% (3 th) 1000 ps < 10 th 1200 ps = 10 th 2400 ps = 20 th 32 Baht UU 1999 3,00 3,00 1,00 7,00 1650 baht 15000 baht 1:9 15 tahun 20% rata2 upah - - - - 15000 Dong UU 2007 6,00 12,00 Defisit 18,00 36500 Dong 730000 Dong 1:20 15 tahun 45% (15 th) 75% (30 th)

(14)

13

VI. KESIMPULAN

1. Format ideal pembentukkan BPJS adalah bentuk badan hukum publik yang semi otonom dengan kewenangan khusus yang diberikan kepada BPJS yaitu kewenangan penindakan hukum seperti Institusi Polri untuk efektivitas dalam operasional perluasan kepesertaan. Akan tetapi dalam transformasi pelembagaan dihadapkan pada masalah hukum bahwa masing masing BPJS khususnya PT Jamsostek terikat dengan 2 UU, yaitu UU No 19/2003 tentang BUMN dan UU No 40/2007 tentang Perseroan Terbatas. Apabila dilakukan transformasi pelembagaan dari PT Jamsostek menjadi Badan Hukum Publik, maka berarti PT Jamsostek harus dikeluarkan dari 2 UU tersebut dengan proses ”likidasi”. Jika tidak, maka terjadi pelanggaran terhadap UU BUMN karena UU SJSN tidak bisa mencabut UU di luar jaminan sosial.

2. Pemberian kewenangan penindakan hukum kepada BPJS bertentangan dengan UU No 8/1981 tentang Hukum Acara Pidana yang menyatakan bahwa kewenangan penyidikan berada pada Penyidik Polri dan PNS. Sebagai contoh untuk melakukan penyidikan kasus korupsi di KPK diperbantukan penyedik baik dari Kejaksaan Agung maupun Polri. Karena tidak dimungkinkan untuk revisi UU tersebut, maka BPJS harus bekerjasama dengan Polri dalam penindakan hukum bagi setiap orang atau badan hukum yang melakukan pelanggaran terhadap UU Jaminan Sosial.

3. Penyelenggaraan program jaminan sosial khususnya program Jamsostek oleh PT Jamsostek sebagai BUMN yang berdasarkan PP No 36/1995 pada dasarnya merupakan tidak-lanjut Pasal 25 UU Jamsostek. Karena itu kedudukan PT Jamsostek terikat dengan UU BUMN dan UU Perseroan Terbatas walaupun PT Jamsostek sebagai BPJS telah menyesuaikan prinsip-prinsip UU SJSN sebagaimana dinyatakan dalam laporan keuangan bahwa sejak tahun 2006 Pemerintah tidak lagi menerima deviden.

4. Untuk Indonesia masih lebih cocok membentuk BPJS per Kepesertaan atau paling tidak melakukan pemisahan BPJS untuk kepesertaan Pegawai Sektor Publik dan BPJS untuk kepesertaan TK sektor swasta, karena terkait dengan UU Ketenaga-kerjaan dan pertimbangan kepatuhan terhadap akuntabitas finansial antara unfunded dan funded programs yang harus dikelola secara terpisah.

5. Masih dimungkinkan pembentukkan BPJS baru dengan UU sesuai Pasal 5 (1) UU No 40/2004 yang diperuntukkan secara khusus untuk penyelenggaraan program jaminan kesehatan bagi penduduk miskin dan warga tak mampu. Sudah barang tentu pembentukkan BPJS baru akan menimbulkan konsekuensi keuangan Negara.

(15)

14

VII. REFERENSI

____ UU No 8/1981 tentang Hukum Acara Pidana ____ UU No 3/1992 tentang Jamsostek

____ UU No 13/2003 tentang Ketenaga-kerjaan ____ UU No 19/2003 tentang BUMN

____ UU No 40/2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) ____ UU No 40/2007 tentang Perseroan Terbatas

____ US Social Security Administration di Washington DC (2011)

Purwoko, Bambang. (2011), “Bentuk badan hukum BPJS”, Majalah Ilmiah Widya Jakarta tahun 28 nomor 106 Maret 2011.

Purwoko, Bambang, (2011a), “Format Ideal BPJS melalui Proses Transformasi Pelembangaan Antara Harapan dan Problem Hukum”, Paper disampaikan dalam seminar sehari yang disponsori oleh Aliansi Masyarakat Peduli Jaminan Sosial di Jakarta pada tanggal 12 Agustus 2011.

Referensi

Dokumen terkait

Dapatan soal selidik yang dilakukan oleh The Independent Sector (1995) menunjukkan hanya 53% keluarga bangsa kulit hitam Amerika yang menderma berbanding

- Mula-mula pada saat korban sedang menaiki mobilnya, terdakwa menyetop kendaraan yang sedang dinaiki korban, dan langsung terdakwa mengambil kunci kontak mobil tersebut

[r]

Of the major insect pests of common bean in eastern and southern Africa, bean fly (also known as bean stem maggot) ( Oph- iomyia spp.) is by far the most important pest of

dalam membuat program IPE.; Masih sedikit yang membuat review literature , mempunyai dampak kekurangan pengetahuan, dan evaluasi pengetahuan perilaku, dan berhubungan

Pengharapan demikian tidak mengecualikan bumi, namun justru merangkul langit dan bumi yang baru sebagai bait semesta eskatologis yang selaras dengan kesatuan relasi

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan oleh Menghua Dong, dkk pada tahun 2013 dengan judul “ Aged black garlic extract inhibits HT29 colon cancer cell growth via the

Tujuan penelitian ini adalah Mengetahui Hubungan Personal Hygiene Dengan Kejadian Diaper Rash Pada Bayi di Desa Ngelele kecamatan Sumobito Kabupaten Jombang.. Penelitian ini