• Tidak ada hasil yang ditemukan

RINGKASAN DISERTASI...

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "RINGKASAN DISERTASI..."

Copied!
22
0
0

Teks penuh

(1)

DAFTAR ISI

Halaman

SAMPUL DALAM ... i

LEMBAR PERSETUJUAN ... ii

PENETAPAN PANITIA PENGUJI ... iii

PERNYATAAN KEASLIAN ... iv

UCAPAN TERIMA KASIH ... v

ABSTRAK ... ix

ABSTRACT……… ....x

RINGKASAN DISERTASI ... xi

SUMMARY……… xxxvii

DAFTAR ISI ... lxi DAFTAR GAMBAR ... xlv DAFTAR TABEL ... xlvi DAFTAR SINGKATAN ... xlvii DAFTAR LAMPIRAN ... xlviii BAB I PENDAHULUAN ... 1 1.1 Latar Belakang ... 1 1.2 Rumusan Masalah ... 13 1.3 Tujuan Penelitian ... 13 1.3.1 Tujuan Umum ... 14 1.3.2 Tujun Khusus ... 14 1.4 Manfaat Penelitian ... 15 1.4.1Manfaat Teoretis ... 15 1.4.2 Manfaat Praktis ... 15

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN MODEL PENELITIAN ... 17

2.1 Tinjauan Pustaka ... 17

2.2 Konsep ... 23

2.2.1 Bahasa dan Budaya Lontar………23

2.2.2 Guyub Tutur Sabu-Raijua………. …………...26

2.2.3 Ekolinguistik……….28

2.2.4 Persepsi: Gambaran Falsafah Komunitas………..29

2.2.5 Kebijakan Bahasa………...31 2.3 Landasan Teori ... 32 2.3.1 Ekolinguistik ... 32 2.3.2 Linguistik Mikro ... 47 2.3.2.1Morfologi ... 48 2.3.2.2 Semantik ... 48 2.3.2.3 Fonologi ... 49 2.3.3 Linguistik Kebudayaan ... 53 2.4 Model Penelitian ... 53

BAB III METODE PENELITIAN ... 56

3.1 Rancangan Penelitian ... 56

3.1.1 Pendekatan Penelitian ... 56

(2)

3.2 Lokasi Penelitian ... 59

3.3 Jenis dan Sumber Data Penelitian ... 60

3.3.1 JenisData ... 60

3.3.2 Sumber Data ... 60

3.4 Instrumen Penelitian... 62

3.5 Metode dan Teknik Pengumpulan Data ... 63

3.5.1 Metode Observasi... 64

3.5.2 Metode Linguistik Lapangan ... 64

3.6 Metode dan Teknik Analisis Data ... 66

3.7 Metode dan Teknik Penyajian Hasil Analisis Data………...70

BAB IV GAMBARAN UMUM SABU RAIJUA ... 71

4.1 Kabupaten Sabu-Raijua ………...71

4.2 Ekologi Manusia Sabu ... 72

4.3 Ekologi Alamiah Sabu-Raijua... 74

4.4 Bahasa Sabu ... 81

4.4.1 Fonologi Bahasa Sabu ... 83

4.4.2 Morfologi Bahasa Sabu ... 84

4.4.3 Sintaksis Bahasa Sabu ... 85

4.4.4 Dinamika Bahasa Sabu ... 85

4.5 Sistem Sosial dan Dinamika Masyarakat…..………...87

4.6 Sistem Kepercayaan Masyarakat Sabu………89

4.7 Struktur Sosial dan Tradisi………..…91

BAB V BENTUK STRUKTUR BAHASA KEDUEAN PADA GUYUB TUTUR SABU RAIJUA ... 93

5.1 Leksikon Keduean ... 93

5.1.1 Leksikon Due ... 94

5.1.2 Leksikon Budi Daya Due ... 103

5.1.3 Leksikon Hegai Heb’oro Due (Perlengkapan Panen Nira) ... 110

5.1.4 Kandungan Gizi pada Due ... 126

5.1.5 Leksikon Due Donahu (Pascapanen) ... 127

5.2. Klasifikasi Leksikon secara Semantis ... 137

5.2.1 Semantik Leksikal ... 138

5.2.2 Semantik Metaforik ... 156

5.3. Tuturan Kelontaran………...167

5.3.1 Tuturan Takene Ei Due ‘Tuturan Memanggil Nira’………...167

5.3.2 Tuturan pada saat Pehae Due ‘Memanjat Pohon Lontar…...169

5.3.3 Tuturan Puru Hogo ‘Memasak Gula’……….170

5.3.4 Tuturan Baga Rae ‘Timbun Tungku’………..171

5.3.5 Tuturan pada saat Pana Ngapi………...172

5.4 Bentuk Tuturan………...172

5.4.1 Bentuk Fonologi………..172

5.4.1.1 Asonansi ...173

5.4.1.2 Aliterasi………173

5.4.1.3 Rima……….174

5.4.1.4 Bunyi tak teratur ………..176

5.4.2 Bentuk Morfologi..………..177

5.4.2.1 Verba………178

(3)

5.4.2.3 Pronomina………185 5.4.2.4 Adjektiva ……….191 5.4.2.5 Demonstrativa………..189 5.4.2.6 Numeralia……….190 5.4.3 BentukWacana………193 5.5 Struktur Tuturan………...194 5.6 Fungsi Tuturan………...203

5.7 Makna dan Nilai Tuturan………...…212

BAB VI REPRESENTASI PERSEPSI GUYUB TUTUR SABU RAIJUA DALAM TUTURAN KEDUEAN ... 224

6.1 Persepsi Guyub Tutur Sabu Raijua tentang Due ... 224

6.2 Representasi Persepsi tentang Due... 225

6.2.1 Representasi Ideologis………...227

6.2.2 Representasi Sosiologis………..232

6.2.3 Representasi Biologis……….235

6.2.4 Representasi Ekologis……….239

6.2.5 Representasi Kosmologis………...241

6.3 Implikasi Representasi terhadap Perilaku Guyub Tutur Sabu Raijua ... 245

BAB VII TUTURAN KEDUEAN DI SABU RAIJUA DARI PERSPEKTIF PERENCANAAN BAHASA ... 250

7.1 Dinamika Daya Hidup Bahasa Ritual Keduean ... 250

7.2 Kebertahanan Tuturan Keduean ... 251

7.3 Pergeseran Pemakaian Tuturan Keduean ... 252

7.3.1 Faktor Penutur……….... 253

7.3.1.1 Kesenjangan Pewarisan Antargenerasi……… ………...255

7.3.1.2 Mobilitas Penutur……….283

7.3.1.3 Sikap Bahasa Penutur………..285

7.3.2 Faktor Luar Penutur ... 287

7.3.2.1 Dukungan Pemangku Kebijakan (Pemerintah) ... 287

7.3.2.2 Hegemoni Bahasa Nasional……….289

BAB VIII PEMETAAN EKOLEKSIKAL FUNGSIONAL ... 291

8.1 Pengantar ………...291

8.2 Pemetaan Ekoleksikal Fungsional………..291

8.2.1 Peta-peta Sebaran Populasi Due…...………..….292

8.2.2 Peta Pusat Populasi Due….………...296

8.2.3 Peta Leksikon Keduean……….………..…301

8.2.4 Peta Mobilisasi………307

BAB IX TEMUAN ... 311

9.1 Temuan Konseptual-Teoretis ... 311

9.1.1 Penguatan Linguistik Lingkungan ... 311

9.1.2 Relasi Bahasa Keduean dan Filosofi Hidup………...314

9.1.3 Penguatan Hubungan Bahasa dan Kebudayaan ... 315

9.1.4 Bahasa Kelontaran: Jendela Tatap Perubahan Bahasa ... 316

9.2 Temuan Empirik... 317

(4)

10.1 Pengantar………….……….318

10.2 Simpulan ... 318

10.3 Saran ... 319

DAFTAR PUSTAKA ... 321

(5)

x ABSTRAK

BAHASA DAN BUDAYA LONTAR PADA GUYUB TUTUR SABU RAIJUA DALAM PERSPEKTIF EKOLINGUISTIK

Kesemestaan bahasa telah lama menjadi objek yang menarik untuk ditelaah secara ilmiah dan filosofis sejak zaman Plato dan Aristoteles, yang ketika itu telah mengakomodasikan pandangan bahwa bahasa sebagai wahana untuk menelaah dan mengungkapkan fenomena mengenai hakikat manusia beserta dunia sekitarnya (Ricoeur, 2003:229). Bahasa merupakan salah satu bagian dari kebudayaan. Penyusutan bahasa dapat mengakibatkan hilangnya warisan leluhur dalam bentuk verbal atau teks-teks lisan. Peneliti merasa penting untuk melakukan penelitian ini dengan harapan dapat mengangkat kembali, mendokumentasikan leksikon-leksikon yang berhubungan dengan lontar yang telah lama tidak digunakan lagi oleh generasi muda Sabu-Raijua, dan sekaligus sebagai sarana pemanfaatan atau penunjang ekonomi kreatif bagi masyarakat atau guyub tutur Sabu-Raijua.

Penelitian ini menggunakan metode kerja lapangan. Jenis penelitian dalam penelitian ini menerapkan metode deskripti-kualitatif. Penelitian ekolinguistik ini menjadikan bahasa dan budaya serta lingkungan alam suatu guyub tutur sebagai objek penelitian. Penelitian ini bukan saja untuk mendapatkan atau menemukan makna persoalan social budaya lewat pure interpretation, yakni memburu makna melalui interaksi sosial. Tetapi juga dalam penelitian ini terdapat interpretive evaluation, peneliti pesanan yang berusaha membuat kebijakan tertentu dan atau ingin merekomendasikan sesuatu yang sifatnya pragmatik (Denzin,1990:22).

Ekolinguistik merupakan suatu kajian yang tidak saja hanya berperan penting pada krisis ekologi, tetapi juga ekolinguistik merupakan suatu kajian yang yang terlibat langsung dengan krisis budaya, krisis mental juga psikis suatu guyub tutur yang kemudian dapat berdampak pada krisis bahasa pada guyub tutur tersebut. Sebagai tugas utama ekolinguistik yaitu melihat bahagaimana hubungan bahasa dan lingkungan yang ada disekitarnya. Dalam kajian ekolinguistik tidak saja melihat fungsi bahasa berperan dalam kehidupan manusia, tetapi juga berperan pada kehidupan spesies lain.

Selain penerapan tridimensi yang dipaparkan Lindo dan Bundsgaard (2000:11) yaitu dimensi ideologis, dimensi sosiologis, dan dimensi biologis, dalam hal ini melihat persepsi orang Sabu dalam tuturan ke-due-an, terdapat pula dimensi lain yang wajib menjadi rujukan dalam melihat persepsi orang Sabu terhadap lontar yaitu persepsi ekologis dan dimensi kosmologis. Dimensi ekologis dan dimensi kosmologis menjadi ruang dalam memandang keutuhan representasi perserpsi orang Sabu dalam tuturan ke-due-an. Penerapan lima dimensi merupakan suatu keutuhan dalam melihat persepsi guyub tutur Sabu tentang lontar. Selain penerapan lima dimensi tersebut, pemetaan ekoleksikal fungsional merupakan salahsatu bagian penting dari kajian ekolinguistik.

(6)

xi ABSTRACT

LANGUAGE AND LONTAR CULTURE ON GUYUB SPEECH OF SABU RAIJUA

IN ECOLINGUISTIC PERSPECTIVE

The universality of language has long been an interesting object to be studied scientifically and philosophically since Plato and Aristotle times, which it has accommodated the view that language is as a vehicle to examine and reveal the phenomenon of human nature and the world around (Ricoeur, 2003: 229). Language is a part of the culture. Depreciation of language may result in loss of heritage in the form of verbal or oral text. Researcher agreed with to do this study in hoping to discuss it, documenting lexicons related with lontar which has not been used by the Sabu Raijua young generation and also as a means of creative utilization or economic support for the community or Guyub speech of Sabu Raijua.

This study used fieldwork. This type of research applied descriptive qualitative method. This research made language and culture and the natural environment of a Guyub speech as a research object. This study is not only to get or find the meaning of social and cultural issues through pure interpretation that is hunting meaning through social interaction. But also in this research there is interpretive evaluations, researcher who seek order and make specific policy or want to recommend something that is pragmatic (Denzin, 1990 : 22)

Eco linguistic is a study not just simply play an important role in the ecological crisis, but also it involved directly with the crisis of culture, mental crisis also psychological of a Guyub speech that can have an impact on the language crisis of the Guyub speech itself. The main task of eco linguistic is to see how the relationship of language and environment around. In a study, eco linguistic not only sees the function of language plays a role in human life, but also plays a role for others species.

In addition to the application of tridimensional described Lindo and Bundgaard (2000:11) namely ideological dimension, sociological dimension and biological dimension, in this case to see Sabu perception in ke-due-an speech, there is another dimension that must be a reference in looking at Sabu perception on lontar that is ecological and cosmological perception. Ecological and cosmological dimension become a space in looking at integrity of perception representation of Sabu on Ke-due-an speech.Application of the five dimensions is a unity in viewing perception of Sabu guyub speech on ke-due-an speech. In addition, functional eco lexical mapping is an important part of eco linguistic study.

(7)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pada hakikatnya bahasa merupakan realitas yang tidak terpisahkan dari pengalaman, pemahaman, dan pemikiran manusia sendiri (Gadamer, 1975). Dengan demikian, bahasa adalah perantara pengalaman nyata manusia. Bahasa merupakan the concrete expression of ‘form of life’ or ‘tradition’ (bahasa merupakan ekspresi konkret dari kehidupan atau tradisi). Pengertian bahasa sebagai alat komunikasi bukan berarti pengertian tersebut merupakan makna terdalam dari bahasa. Menurut Gadamer, bila bahasa hanya dipandang sebagai alat maka suatu saat bahasa dapat ditinggalkan atau diganti, bahkan dibuang apabila tidak diperlukan.

Kemampuan berbahasa merupakan salah satu keunikan pada diri manusia. Keunikan manusia sebenarnya bukanlah terletak pada kemampuan berpikirnya, melainkan terletak pada kemampuan berbahasa. Oleh karena itu, bahasa merupakan aspek penting dalam kehidupan manusia, baik secara ekologis, religius, maupun sosiologis. Tanpa bahasa manusia tidak mampu berpikir sistematis dan teratur, tanpa bahasa pula manusia tidak akan mampu mengembangkan kebudayaan, meneruskan nilai-nilai budaya dari generasi tua ke generasi muda. Hal ini secara gamblang dipertegas oleh Huxley (1962) bahwa “tanpa bahasa” manusia tak berbeda dengan anjing atau monyet.

(8)

2

Kesemestaan bahasa telah lama menjadi objek yang menarik untuk ditelaah secara ilmiah dan filosofis sejak zaman Plato dan Aristoteles, yang ketika itu telah mengakomodasikan pandangan bahwa bahasa sebagai wahana untuk menelaah dan mengungkapkan fenomena mengenai hakikat manusia beserta dunia sekitarnya (Ricoeur, 2003:229). Bahasa merupakan salah satu bagian dari kebudayaan. Catford (1965:1) menyatakan bahwa bahasa merupakan salah satu sub-sistem kebudayaan yang memiliki aturan-aturan.

Setiap kebudayaan suatu masyarakat tidak terlepas dari bahasa. Manusia menggunakan bahasa sebagai alat komunikasi, atau alat interaksi dalam kebudayaan tertentu. Oleh karena itu, bahasa hidup dalam suatu lingkungan kebudayaan, bahasa merupakan bagian dari lingkungan suatu masyarakat atau guyub tutur tertentu. Bahasa, budaya, dan lingkungan merupakan suatu mata rantai yang tak bisa dilepaskan atau dipisahkan.

Memahami suatu bahasa pada suatu guyub tutur tertentu, seseorang atau peneliti tidaklah secara langsung dapat memahami bahasa guyub tutur tersebut. Seseorang baru dapat memahami bahasa, pemikiran, atau ideologi suatu guyub tutur tertentu dengan cara masuk ke dalam sejarah dan cara berbahasa mereka. Kerangka pemikiran (worldview) dan pengetahuan (self-knowledge) manusia dibentuk dan mewujud dalam seluruh proses sejarah.

Bahasa merupakan bagian dari lingkungan, manusia sebagai pengguna bahasa, guyub tutur, wajib mengembangkan pengetahuan untuk menguasainya: tanah diolahnya, belantara ditebangnya, air dan iklim dikuasai dan dimanfaatkannya (Suriasumantri, 1985:178). Masih menurutnya, berbekal

(9)

3

pengetahuan ini maka manusia tidak takut lagi terhadap alam, manusia menyatu dengan alam, mulai melestarikan alam, memelihara alam sehingga alam kembali bermanfaat bagi kehidupan manusia. Lingkungan alam adalah bagian dari kehidupan manusia, sebagaimana manusia adalah bagian dari alam. Manusia lahir, hidup (memanfaatkan apa yang ada pada alam) dan pada akhirnya kembali ke alam. Kemudian manusia memaknai kesemuanya itu dalam kehidupannya. Manusia mulai merasakan adanya energi tersendiri, memiliki kekuatan, kepercayaan, dorongan ke arah kehidupan yang luhur. Semuanya ini melahirkan budaya, adat, kebiasaan yang sudah tidak dapat dipisahkan dari kehidupan, manusia, bahasa, dan budaya.

Bahasa tidak bisa terlepas dari budaya karena bahasa mengemban fungsi yang penting. Halliday (1979:22-24) mengutarakan bahwa bahasa mengemban fungsi-fungsi berikut: fungsi instrumental, fungsi representasi, fungsi interaksi, fungsi personal, fungsi heuristik, fungsi regulasi, dan fungsi imajinatif.

Fungsi instrumental (the instrumental function), adalah fungsi untuk melayani pengelolaan lingkungan yang menyebabkan peristiwa-peristiwa tertentu terjadi. Fungsi ini diemban oleh setiap bahasa untuk dapat melakukan sesuatu. Dalam fungsi instrumental ini manusia dapat menggunakan bahasa sebagai media untuk mengelola apa saja yang ada pada lingkungan hidupnya. Hal ini dapat menjadi sarana pengembangan ekonomi kreatif. Fungsi representasi (the representational function) merupakan penggunaan bahasa untuk membuat pernyataan-pernyataan, menyampaikan fakta-fakta dan pengetahuan, menjelaskan, atau melaporkan. Dengan kata lain, fungsinya untuk menggambarkan kenyataan,

(10)

4

realitas yang sebenarnya, atau menggambarkan sesuatu yang dilihat, dipandang langsung oleh seseorang. Fakta-fakta yang ada di lingkungan alam dapat diangkat, dikelompokkan ke dalam bentuk leksikon-leksikon yang berhubungan dengan sumber daya alam. Hal ini dapat menambah pengetahuan generasi muda yang mulai meninggalkan warisan leluhur, dan dapat berfungsi sebagai pendokumentasian bahasa-bahasa yang dicurigai mulai menuju pada kepunahan bahasa pada suatu guyub tutur tertentu. Selanjutnya, fungsi interaksi (the interactional function) bertugas untuk menjamin dan memantapkan ketahanan serta kelangsungan komunikasi sosial. Dalam fungsi interaksi ini bahasa berperan penting dalam menjaga mata rantai antara bahasa, budaya, masyarakat dan lingkungan.

Fungsi personal memberi kesempatan kepada seseorang pembicara untuk mengekspresikan perasaan, emosi, pribadi serta reaksi-reaksinya yang mendalam. Fungsi heuristik melibatkan penggunaan bahasa untuk memperoleh ilmu pengetahuan dan mempelajari seluk beluk lingkungan. Fungsi regulasi bertindak untuk mengawasi serta mengendalikan peristiwa-peristiwa. Fungsi imajinatif melayani penciptaan sistem-sistem atau gagasan-gagasan yang bersifat imajinatif.

Fungsi-fungsi bahasa tersebut memberi makna bagi suatu bahasa lingkungan atau lingkungan bahasa. Manusia bebas mengekspresikan semua yang ada pada lingkungan alam dalam bentuk bahasa. Manusia juga dapat menjaga mata rantai bahasa, budaya, dan lingkungan. Dengan demikian warisan-warisan leluhur tidak mudah dilupakan atau ditinggalkan. Dari fungsi bahasa tersebut pula manusia dapat mempertahankan bahasa-bahasa yang terancam kepunahan dengan

(11)

5

menggali kembali bahasa-bahasa tersebut melalui pengetahuan-pengetahuan yang masih dimiliki oleh tua-tua adat atau orang-orang yang masih memegang teguh bahasa-bahasa dan budaya suatu masyarakat.

Sapir (dalam Fill dan Muhlhauser, 2001:2) menggambarkan jaring-jaring relasi antarbahasa, penutur bahasa, dan lingkungan sebagai berikut. Bahasa yang digunakan di dalam suatu komunitas terlebih khusus, pilihan atas leksikon-leksikon tertentu, bisa memberi gambaran mengenai lingkungan fisik komunitas tersebut, misalnya karakteristik geografis ataupun topografi tempat komunitas itu hidup, iklim, curah hujan, atau aktivitas ekonomi, yang menjadi mata pencaharian anggota komunitas. Selain itu, kosakata yang dimiliki oleh komunitas itu pun mampu menjelaskan tentang khazanah fauna, flora, ataupun sumber daya mineral yang terdapat di wilayah-wilayah tempat penutur-penutur bahasa itu hidup. Hal tersebut diutarakan oleh Sapir (dalam Fill dan Muhlhauster, 2001:14)

It is vocabulary of a language that most clearly reflects the physical and sosial environment of its speakers. The complete vocabulary of a language may indeed be looked upon as a complex inventory of all ideas, interests, and occupations that take up the attention of the community, and were such a complete thesaurus of the language of a given tribe at our disposal, we might to a large extent infer the character of the physical environment and the characteristics of the culture of people making it.

Lingkup kajian ekolinguistik menyatakan bahwa bahasa merekam kondisi lingkungan ragawi dan sosial; perangkat leksikon, misalnya, menunjukkan adanya hubungan simbolis verbal yang sarat makna antara guyub tutur dan lingkungannya dengan flora dan fauna, termasuk anasir-anasir alamiah lainnya (Sapir dalam Fill dan Muhlhauster, 2001:14). Hal tersebut juga berarti bahwa bahasa memiliki hubungan timbal balik atau interdependensi antara bahasa yang

(12)

6

di dalamnya terdapat pikiran, perilaku, ide dari setiap guyub tutur tertentu dengan lingkungan manusia baik secara sosial (manusia dengan manusia) maupun hubungan manusia dengan lingkungan alam (biotik dan abiotik).

Kesemuanya itu dapat diartikan bahwa dalam kajian ekolinguistik bahasa mengemban fungsi sebagai perekam. Fungsi bahasa sebagai perekam dalam kajian ekolinguistik berarti bahwa bahasa harus mampu merekam semua kehidupan bahasa-bahasa lokal yang mulai hidup berimpitan dengan bahasa nasional serta bahasa-bahasa internasional. Dominasi Bahasa Indonesia ataupun Bahasa Inggris (Bahasa Internasional) mulai terlihat menekan, mengimpit bahasa daerah seperti bahasa Sabu. Faktor dominasi bahasa ini juga memengaruhi pemahaman dan persepsi generasi muda, yang dapat berdampak pada perubahan perilaku berbahasa.

Dewasa ini dapat dilihat bahwa generasi muda lebih memilih meninggalkan budaya-budaya lokal yang merupakan warisan leluhur dan menggantinya dengan budaya-budaya asing. Ketertarikan akan budaya instan dan adanya variasi lingkungan hidup manusia mengakibatkan ketercerabutan akar budaya lokal. Beberapa alasan inilah yang menjadi ruang kajian ekolingusitik.

Perkembangan zaman telah turut memengaruhi daya pikir generasi muda sehingga beberapa budaya mulai ditinggalkan. Akar-akar budaya yang begitu kuat perlahan mulai dimakan oleh "hama-hama modern". Budaya menenun, budaya menganyam diganti dengan budaya pabrik pakaian yang lebih modern, pabrik plastik yang selalu siap dipasarkan. Proses-proses mulai ditinggalkan, generasi muda tidak lagi memandang suatu proses, atau mengutamakan suatu proses, tetapi

(13)

7

lebih mengutamakan atau mengharapkan hasil akhir yang lebih instan. Dengan demikian sejumlah bahasa daerah atau bahasa lokal yang berhubungan dengan kelontaran pada guyub tutur Sabu Raijua mulai ditinggalkan.

Dalam kaitannya dengan bentuk atau objek lokal yang mulai ditinggalkan oleh generasi muda, diganti dengan produk olahan pabrik, berdampak pada peran dan fungsi bahasa lokal, dalam hal ini bahasa kelontaran pada guyub tutur Sabu-Raijua khususnya bahasa Sabu. Bahasa Sabu memiliki peran penting dalam kehidupan budaya dan religiusitas guyub tutur Sabu-Raijua. Bahasa Sabu merupakan salah satu bahasa daerah yang (penuturnya) tersebar di wilayah Provinsi Nusa Tenggara Timur.

Bahasa Sabu digunakan sebagai alat komunikasi di Kabupaten Sabu-Raijua menyebar di enam kecamatan, yaitu, (1) Kecamatan Sabu Barat, (2) Kecamatan Sabu Timur, (3) Kecamatan Hawu Mehara, (4) Kecamatan Sabu Tengah, (5) Kecamatan Sabu Liae, dan (6) Kecamatan Sabu-Raijua. Kehidupan bahasa Sabu yang berhubungan dengan lontar terlihat perlahan mulai mengalami pergeseran. Kehidupan generasi muda, yang lebih diakrabi oleh bahasa Indonesia dan bahasa asing, menjadikan kedudukan bahasa Sabu mengalami pergeseran. Selain itu, produk-produk lokal yang dihasilkan dari pengolahan lontar mulai ditinggalkan. Dewasa ini, orang Sabu lebih memilih menggunakan produk-produk dari pabrik, dibandingkan menggunakan produk-produk lokal yang memiliki nilai kearifan lokal.

Pulau Sabu merupakan salah satu pulau yang secara geografis memiliki tekstur tanah yang cocok untuk populasi pertumbuhan lontar. Penyebaran lontar

(14)

8

merata pada beberapa kecamatan yang ada di Kabupaten Sabu-Raijua. Hal inilah yang membuat guyub tutur Sabu-Raijua menyatu dengan budaya lontar. Sikap dan perlakuan guyub tutur terhadap lontar telah melahirkan suatu kebudayaan yang berhubungan dengan lontar. Dengan adanya budaya lontar maka bahasa lontar pun hadir. Kesatuan bahasa dan budaya telah membentuk suatu pandangan guyub tutur Sabu-Raijua tentang lontar. Hal ini dikarenakan lontar merupakan bagian dari lingkungan hidupnya, telah melahirkan sejumlah khazanah leksikon kelontaran. Bahasa dan budaya tentang lontar memiliki kekuatan tersendiri bagi masyarakat Sabu. Masyarakat Sabu atau etnik Sabu yang ada di Pulau Sabu hidup dan seluruh aspek kehidupannya berhubungan atau bersentuhan langsung dengan lontar. Pohon lontar tidak saja dipandang sebagai kebutuhan untuk memenuhi kebutuhan pangan atau perut masyarakat Sabu, tetapi pohon dan budaya lontar sangat erat dengan kepercayaan atau religiusitas masyarakat Sabu.

Sejumlah ungkapan verbal yang berkaitan dengan lontar tidak hanya menguatkan persepsi orang Sabu mengenai lontar, tetapi dapat memberi pembelajaran nilai-nilai kehidupan khas budaya Sabu, juga kehidupan yang bersifat universal. Dengan demikian, diharapkan kekayaan bahasa kelontaran terpelihara, lontar pun terpelihara, sementara ekonomi masyarakat dapat terdongkrak dan meningkatnya kreativitas, serta nilai jual hasil lontar sebagai konsekuensi dari proses penyadapan dan pembuatan gula yang bermutu. Secara kultural, hasil yang bermutu itu bisa diperoleh melalui penguatan persepsi mengenai lontar melalui ekpresi lingual yang menyertai pemrosesannya.

(15)

9

Due ‘lontar’ merupakan pohon penghasil segala jenis. Seluruh bagian pohon lontar bermanfaat bagi masyarakat Sabu, mulai dari akar (amo), batang (la), pelepah (appa), daun (rau), mayang (hubi), dan buah (wue). Mayang Lontar yang menghasilkan air nira adalah bagian terpenting dalam mencukupi kebutuhan pangan orang Sabu. Daun lontar (ru) juga dimanfaatkan untuk berbagai wadah guna menyimpan bahan makanan/piring (pai), tempat menaruh sirih pinang (beka), sebagai bakul (hope), tempat menyimpan benih dan persediaan makanan dalam jumlah lebih dari seratus kilo disebut hoka. Kekayaan leksikon kelontaran tersebut membuktikan bahwa lontar memenuhi setiap aspek kehidupan orang Sabu.

Tuturan-tuturan ritual, cerita rakyat, ungkapan-ungkapan, metafora, leksikon-leksikon yang berkaitan dengan lontar merupakan warisan leluhur berupa teks-teks verbal. Peneliti merasa perlu menggali lagi kekayaan bahasa dan budaya lontar untuk selanjutnya diberdayakan demi keberlanjutan lingkungan. Pendidikan bahasa dengan muatan lokal di sekolah-sekolah tidak menjamin adanya regenerasi penutur bahasa dari generasi tua ke generasi muda.

Setiap proses, kegiatan masyarakat, benda- benda yang digunakan, atau keadaan yang berhubungan dengan lontar diupayakan didata dalam bentuk leksikon. Kemudian, leksikon-leksikon tersebut diklasifikasi berdasarkan kelas kata, menemukan bentuk dasar dan turunannya. Berikut beberapa data kebahasaan yang berhubungan dengan lontar, khususnya pada proses pembuatan nira.

(1) Verba Proses: semua data kebahasaan yang berhubungan dengan proses penyadapan nira (due) dimulai dari ritual persiapan, yakni ritual

(16)

10

pemilihan pohon lontar yang siap disadap (due kedangi mone), dilanjutkan dengan ritual rada hubi, yakni ritual permohonan yang selalu diselenggarakan pada saat malam purnama (hiliwura). Selanjutnya, ritual kedangi due, ritual ngapi, ritual petitu rao , ritual puru hogo, dan berakhir pada ritual baga rae. Dalam verba proses ini terdapat sejumlah leksikon yang berhubungan dengan lontar.

(2) Verba Turunan: data kebahasaan yang berhubungan dengan lontar. Tabel 1.1 menyajikan sejumlah data verba turunan yang merupakan bentuk turunan dari verba proses antara lain ditabelkan di bawah ini

Tabel 1.1 Data Verba Keduean KELAS KATA

VERBA ADJEKTIVA NOMINA

dari tud’i haba tenae tud’i atta due Pemou kekara haba dao wake atta due lidu haba haba kao Hegai

peha’e due haba worena

Dari tud’i ‘mengasah pisau’, pemau kekara ‘membersihkan duri’ pada batang pohon lontar, lidu haba ‘membuat haik/ alat tampung’, dan pehae due ‘memanjat pohon lontar’. Leksikon-leksikon yang dilampirkan pada tabel 1.1 merupakan klasifikasi dari kelas kata verba. Leksikon-leksikon tersebut adalah bagian dari proses penyadapan nira lontar atau bentuk verba turunan dari verba ngapi due. Verba turunan tersebut dapat digambarkan sebagai berikut.

(17)

11

Gambar 1.1 Taksonomi Verba Ngapi due

(3) Metafora: data kebahasaan yang berhubungan dengan lontar juga dapat dilihat dalam sejumlah metafora yang terdapat dalam aspek kehidupan guyub tutur Sabu, seperti; (1) nara ana momone unu hegai nga heb'oro ‘mendapatkan anak laki-laki yang menerima warisan peralatan iris/sadap nira’, (2) wuju d'o nahaga, hubi nga do jale kolo ‘tidak mungkin seseorang hamil tanpa seorang laki-laki’, (3) tangi toda lau ruba nga d'o ngade ngiu ‘sesorang yang meninggal di rantauan yang tidak bisa dilihat oleh sanak saudara’.

(4) Teks tuturan ritual: data kebahasaan yang berkaitan dengan lontar juga dapat ditemukan dalam sejumlah tuturan ritual.

Adapun tuturan ritual dalam ritual rada hubi dapat dilihat di bawah ini.

Hapa keparre ai, takke keparre djalla Cicak lekat tangan, tokek lekat kaki. ‘Tangan yang lengket seperti cicak seperti juga kakinya’

Dalam contoh tuturan ritual pehae due ‘memanjat pohon lontar’ terdapat sejumlah makna yang mengandung ideologi guyub tutur Sabu-Raijua. Mereka mempercayakan hidup mereka kepada Deo Ama ‘Tuhan’ dan berharap pada saat mereka melakukan proses tersebut tidak terjadi bencana seperti jatuh dari pohon.

Ngapi due

(18)

12

Dalam ritual tersebut mereka berharap agar tubuh mereka bagaikan cicak atau tokek yang melekat pada batang pohon lontar.

Sejalan dengan perkembangan teknologi dan kemajuan zaman, penggunaan bahasa-bahasa lokal mulai bergeser. Hal ini terjadi pula pada masyarakat Sabu-Raijua. Warisan leluhur dalam bentuk teks-teks lisan yang berkaitan dengan lontar mulai memudar dalam masyarakat Sabu Raijua. Berdasarkan pada hasil pengamatan awal dan informasi dari beberapa orang asli Sabu dapat dijelaskan bahwa sebagian guyub tutur Sabu Raijua mulai meninggalkan peralatan-peralatan yang merupakan hasil kearifan lokal yang berasal dari pohon lontar. Mereka memilih untuk menggunakan peralatan-peralatan yang lebih praktis, hasil olahan pabrik (bahan plastik). Selain hal tersebut, sejumlah generasi muda juga tidak lagi mengenal ritual-ritual yang menyertai proses ngapi due ‘penyadapan nira lontar’. Peralihan budaya atau pergeseran budaya dalam penggunaan sehari-hari inilah pada akhirnya gejala itu menjadi penyebab utama adanya pergeseran atau penyusutan bahasa yang berhubungan dengan lontar. Hal-hal tersebutlah yang mendasari mengapa penelitian ini perlu dilakukan.

1.2Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, masalah penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut.

(1) Bagaimanakah bentuk dan struktur bahasa keduean pada guyub tutur Sabu-Raijua?

(19)

13

(2) Bagaimanakah representasi persepsi guyub tutur Sabu-Raijua dalam tuturan keduean?

(3) Bagaimanakah dinamika bahasa dan budaya keduean pada guyub tutur Sabu-Raijua?

(4) Bagaimanakah peta-peta ekoleksikal fungsional tentang keduean pada guyub tutur Sabu-Raijua?

1.3Tujuan Penelitian

Penelitian ini, memiliki dua tujuan. Tujuan yang pertama adalah tujuan umum dan yang kedua adalah tujuan khusus. Keduanya dapat dijelaskan sebagaimana berikut.

1.3.1 Tujuan umum

Secara umum, penelitian ini bertujuan untuk menganalisis, menemukan, dan menguraikan karakteristik dan fungsi bahasa yang berhubungan dengan bahasa dan budaya lontar, proses, penggunaan dan manfaat lontar. Menemukan penyebab terjadinya fenomena perbedaan pengetahuan, dalam konteks dinamika persepsi antargenerasi tentang bahasa dan budaya lontar pada generasi muda dan generasi tua (terdahulu) dan menjelaskan bagaimana keberlangsungan hidup bahasa Sabu dengan perkembangan jaman yang makin maju dewasa ini merupakan tujuan umum penelitian ini.

(20)

14

1.3.2 Tujuan khusus

Selain tujuan umum yang telah dipaparkan di atas, tujuan khusus dalam penelitian ini ialah menjawab masalah penelitian yang dirumuskan di atas. Secara khusus penelitian ini bertujuan sebagai berikut :

(1) menemukan dan menjelaskan keseluruhan bentuk dan struktur leksikon hingga teks-teks ritual keduean pada guyub tutur Sabu Raijua, yang merupakan kekayaan leksikon yang berhubungan dengan lontar; kekayaan lekison mersebut merupakan bukti kekayaan bahasa keduean sekaligus bagian utama kekayaan bahasa dan budaya Sabu Raijua; (2) menemukan dan menjelaskan persepsi yang membangun ideologi

guyub tutur Sabu-Raijua tentang lontar dan hubungan masyarakat Sabu dengan Deo Ama dan sesama dalam sebuah lingkungan kelontaran; (3) menemukan dan menjelaskan dinamika kehidupan bahasa dan budaya

kelontaran dewasa ini; kesenjangan antardimensi merupakan tolak ukur dalam melihat dinamika kehidupan bahasa kelontaran; dan

(4) memetakan ekoleksikal fungsional pada guyub tutur Sabu Raijua dimulai dari sebaran awal lontar hingga kebertahanan dan perubahan yang terjadi.

1.4Manfaat Penelitian

Manfaat dari penelitian ini dibagi menjadi dua macam yaitu manfat teoretis dan manfaat praktis. Keduanya dapat diuraikan sebagai berikut.

(21)

15

1.4.1 Manfaat Teoretis

Penelitian ini adalah penelitian atas fenomena ekolonguistik yang ditunjang pula dengan teori linguistik kebudayaan. Perpaduan kedua teori ini didasarkan pada dimensi lingkungan, keberagaman bahasa sebagai representasi keberagaman lingkungan dan hubungan interelasi, interaksi, dan interdependensi suatu bahasa, budaya dan lingkungan tempat bahasa dan budaya berada. Kesemuanya ini merupakan parameter ekolinguistik.

Secara teoretis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi, memperkaya khazanah keilmuan linguistik, yaitu linguistik makro, yang dalam hal ini berhubungan dengan fakta-fakta ekolinguistik. Dalam penelitian ini, peneliti juga ingin menunjukkan bahwa warisan leluhur dalam bentuk bahasa merupakan suatu kekayaan budaya yang dimiliki oleh suatu guyub tutur tertentu pada satu lingkungan.

1.4.2 Manfaat Praktis

Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut.

(1) menyajikan data tentang karakteristik bentuk lingual yang berhubungan dengan bahasa dan budaya keduean pada guyub tutur Sabu-Raijua;

(2) melalui data dan fakta yang ditemukan diharapkan memberi nilai tambah bagi pemerintah Kabupaten Sabu-Raijua dalam pengembangan ekonomi kreatif;

(22)

16

(3) menambah wawasan atau pengetahuan generasi muda tentang bahasa dan budaya lontar, yang kemudian dapat dikembangkan sebagai sarana atau sumber ekonomi kreatif;

(4) menambah pengetahuan tentang filosofi dan ideologi guyub tutur Sabu-Raijua tentang lontar; dan

(5) pada akhirnya, penelitian ini bermanfaat sebagai alat atau sarana pelestarian dan pendokumentasian bahasa Sabu, dalam bentuk kamus saku atau kamus praktis, dan bahan pembelajaran bermuatan lokal pada jalur pendidikan formal dan informal.

Gambar

Tabel  1.1  menyajikan    sejumlah  data  verba  turunan  yang  merupakan  bentuk turunan dari verba proses antara lain ditabelkan di bawah ini
Gambar 1.1 Taksonomi Verba Ngapi due

Referensi

Dokumen terkait

Plasa Telkom Lembong Bandung diharapkan untuk dapat meningkatkan kualitas pelayanan yang dimiliki dari segi responsiveness dan reliability dengan terus berupaya untuk

Untuk tahun 2014 dari perhitungan jumlah estimasi sasaran ibu dengan komplikasi kebidanan ditangani adalah sebanyak 3.065 orang, sedangkan jumlah riil ibu dengan

ulama ini dapat dirumuskan tiga aturan teknis pokok dan utama, yaitu: (1) mengantarkan zakat kepada mustahik oleh badan pengelola atau muzaki perorangan (ةاكزلا

Temuan ini menarik karena sebenarnya hasil analisis korelasi Pearson menunjukkan hubungan signifikan antara keseimbangan sponsor dan intensi berperilaku, tetapi hasil

[r]

[r]

Penelitian yang akan datang juga dapat menganalisis pengaruh gambaran maskulinitas pada iklan produk perawatan laki-laki pada keseharian laki- laki sebenarnya dan

Mengingat kurikulum yang berlaku saat ini kurikulum 2013 yang mana buku itu sebagai bahan acuan pembelajaran bagi guru maupun siswa, maka disarankan bagi penulis buku teks