• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB IV KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN"

Copied!
25
0
0

Teks penuh

(1)

4.1. Kondisi Alam

Sub Daerah Aliran Sungai (Sub DAS) Citarik merupakan salah satu Sub

DAS di DAS Citarum, Propinsi Jawa Barat. Sub DAS Citarik dan beberapa Sub

DAS lainnya, seperti Sub DAS Cirasea, Sub DAS Cikapundung, Sub DAS

Cisangkuy, dan Sub DAS Ciwidey merupakan wilayah hulu Sungai Citarum.

Sungai Citarum mempunyai peran yang sangat penting bagi kehidupan

masyarakat, antara lain sebagai sumber air baku, pengairan, pembangkit tenaga

listrik, tempat rekreasi dan lain-lainnya. Di sepanjang aliran Sungai Citarum

terdapat tiga bendungan (dam), yakni Saguling, Cirata, dan Jatiluhur.

Sebagian areal Sub DAS Citarik secara administratif terletak di Kabupaten

Bandung dan sebagian lagi di Kabupaten Sumedang. Areal Sub DAS Citarik

yang terletak di Kabupaten Bandung meliputi wilayah Kecamatan Cicalengka,

Nagreg, Rancaekek, Cikancung, Paseh, Cileunyi, Cimenyan, dan Cilengkrang,

sedangkan areal lainnya yang terletak di Kabupaten Sumedang meliputi wilayah

Kecamatan Tanjungsari, Cimanggung, dan Cikeruh (DLH-Kab. Bandung 2003;

Ditjen Bangda 2003). Luas wilayah Sub DAS Citarik berdasarkan kegiatan

UPLDP (

Upland Plantation and Land Development Project

) yang dilaksanakan

oleh Ditjen Pembangunan Daerah, Departemen Dalam Negeri adalah 35.210 ha

yang sebagian besar (72,1%) berada di Kabupaten Bandung dan sisanya

(27,9%) di Kabupaten Sumedang (

Tabel 4

).

Berdasarkan ketinggian tempat dari permukaan air laut sekitar 55,3% luas

wilayah Sub DAS Citarik berada pada ketinggian kurang dari 1000 m dpl dan

44,7% luas wilayah berada pada ketinggian lebih dari 1000 m dpl. Pada

(2)

ketinggian tempat tersebut suhu udara relatif sejuk, yakni rata-rata suhu bulanan

tertinggi dan terendah 26,5

o

C dan 21,2

o

C.

Curah hujan tahunan dari tiga lokasi stasiun curah hujan (Paseh,

Cicalengka, dan Rancaekek) berkisar antara 1.524 - 2.217 mm dengan rata-rata

1.802 mm. dengan tipe iklim E dan F menurut klasifikasi iklim Schmidt-Ferguson

(Ditjen Bangda, 2003). Tipe iklim tersebut menunjukkan bahwa jumlah bulan

kering (curah hujan < 100 mm/bulan) dalam satu tahun sama atau lebih banyak

daripada bulan basahnya (curah hujan > 100 mm/bulan). Kemudian jika

didasarkan pada klasifikasi iklim F. Junghuhn yang menitikberatkan pada

ketinggian tempat dan jenis tumbuhan yang hidup iklim Sub DAS Citarik

tergolong pada Iklim Sedang dengan ragam tumbuhan yang dapat

dikembangkan meliputi padi, tembakau, teh, kopi, coklat, kina, dan

sayur-sayuran.

Curah hujan harian rata-rata paling rendah terjadi pada bulan September

(1,7 mm/hari) dan tertinggi pada bulan Januari (10,9 mm/hari). Curah hujan

harian maksimum terendah terjadi pada bulan September (13,1 mm/hari) dan

tertinggi pada bulan Nopember (71,7 mm/hari). Kemudian dikaitkan dengan debit

air Sungai Citarik ternyata debit air harian rata-rata terendah terjadi pada bulan

Agustus (2,5 m

3

/detik) dan tertinggi pada bulan Januari (39,8 m

3

/detik). Debit air

harian maksimum terendah terjadi pada bulan Agustus (3,5 m

3

/detik) dan

tertinggi pada bulan Januari (62,9 m

3

/detik). Secara grafis fluktuasi curah hujan

harian rata-rata dan maksimum, debit air harian rata-rata dan maksimum, dan

rasio debit air maksimum/minimum Sungai Citarik disajikan pada

Gambar 7

.

Rasio debit air harian maksimum/minimum berkisar antara 4,3 (Agustus) -

46,5 (Oktober) dengan rata-rata 15,4. Tingginya rasio tersebut menunjukkan

bahwa kondisi hidrologi Sub DAS Citarik sudah menurun.

(3)

Tabel 4. Luas Sub DAS Citarik berdasarkan ketinggian tempat dan wilayah

administratif (ha)

Ketinggian tempat ( m dpl)

Jumlah

Kecamatan

500 - 1000

1000-1500

Cilengkrang

912

1.643

2.556

Cimenyan

704

1.219

1.923

Cileunyi

1.260

299

1.558

Cicalengka

3.494

2.052

5.547

Cikancung

1.403

1.412

2.814

Rancaekek

3.785

1.116

4.901

Paseh

1.531

2.415

3.946

Nagreg

381

178

559

Cikeruh

1.571

-

1.571

Tanjungsari

2.489

3.535

6.024

Cimanggung

1.955

1.856

3.811

Total

19.486

15.724

35.210

Sumber: Ditjen Bangda (2003).

Gambar 7. Fluktuasi debit air Sungai Citarik dan curah hujan (A) serta rasio

debit air harian maksimum/minimum (B) Sungai Citarik

Kondisi tanah di Sub DAS Citarik dicirikan oleh tiga jenis tanah utama,

yakni Andosol, Latosol, dan Asosiasi. Penyebaran jenis tanah Andosol meliputi

luas wilayah sekitar 48%, Latosol 31,5% dan Asosiasi 16,2%. Jenis tanah pada

wilayah lainnya adalah Alluvial dan Regosol.

y = -9.0058Ln(x) + 30.45 R2 = 0.3355 0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50

Okt Nop Des Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Ags Sep 0 10 20 30 40 50 60 70 OktNopDesJanFebMarAprMeiJun Ju l AgsSep D e b it ( m 3 /d e t) 0 10 20 30 40 50 60 70 80 C H ( m m /h r) Debit_Mean Debit_Max CH_Mean CH_Max A B

(4)

Jenis tanah Andosol menurut klasifikasi jenis tanah Pusat Penelitian Tanah

dan FAO-UNESCO dicirikan oleh berat jenis tanah yang cukup ringan (kurang

dari 0,85g/cc) atau lebih dari 60% bahannya terdiri atas bahan-bahan vulkanik.

Jenis tanah Latosol dicirikan oleh solum tanah yang dalam ( lebih dari 150 cm)

dan kadar liat lebih dari 60% (Sarwono 1987). Hasil kajian Proyek UPLDP

menunjukkan kedalaman solum tanah di Sub DAS Citarik cukup tinggi. Sekitar

63% wilayah Sub DAS Citarik mempunyai kedalaman solum tanah antara 60-90

cm, 34% wilayah mempunyai kedalaman solum tanah lebih dari 90 cm dan 3%

wilayah mempunyai kedalaman solum tanah antara 30-60 cm.

Bentuk wilayah Sub DAS Citarik dicirikan oleh kemiringan lereng yang

berombak-bergelombang dan berbukit (8-45%). Lebih dari 66,8% wilayah Sub

DAS Citarik mempunyai kemiringan lereng antara 8-45%. Wilayah yang relatif

datar (< 8%) sekitar 18,0% dan sebagian wilayah lainnya mempunyai kemiringan

lereng yang sangat curam atau lebih dari 45% (

Tabel 5

).

Kemiringan lereng merupakan salah satu faktor penentu besaran erosi.

Semakin tinggi kemiringan lereng dan faktor -faktor lain bersifat konstan maka

besaran erosi akan meningkat. Hasil kajian Proyek UPLD dengan metode USLE

menunjukkan tingkat erosi sebelum kegiatan proyek di Sub DAS Citarik

mencapai 293,3 ton/ha/tahun atau setiap tahun terjadi erosi tanah sekitar 8,9 juta

ton. Tingkat erosi tanah di lokasi tersebut menurun setelah pelaksanaan proyek

UPLDP selama empat tahun (2002) menjadi 71,3 ton/ha/tahun. Upaya

penerapan konservasi tanah dan air di wilayah tersebut masih perlu ditingkatkan

agar erosi tanah dapat ditekan sampai tingkat erosi yang dapat dirolerir atau

diabaikan sekitar 13 ton/ha/th . Sebagaimana disajikan pada

Tabel 6

lebih dari

50% wilayah Sub DAS Citarik masih menimbulkan erosi tanah pada kelas

sedang sampai tinggi.

(5)

Tabel 5.

Luas Sub DAS Citarik berdasarkan kelas kemiringan lereng (ha)

Kemiringan lereng

Kecamatan

0-8%

8-25%

25%-45%

>45%

Jumlah

Cilengkrang

-

920 1.107

529 2.556

Cimenyan

- 584 1.218

121 1.923

Cileunyi

282 855 295

126 1.558

Cicalengka

1.149 2.004 1.736

1.216 6.106

Cikancung

43 1.397 850

523 2.814

Rancaekek

3.781

951 169

-

4.901

Paseh

12 2.297 862

774 3.946

Cikeruh

356 865 156

193 1.571

Tanjungsari

378 2.128 2.370

1.148 6.024

Cimanggung

342 1.094 1.635

741 3.812

Jumlah

6.343 13.095 10.398

5.371

35.210

Persentase

18,0 37,2 29,6

15,2

100,0

Sumber: Ditjen Bangda (2003).

Tanpa perlakuan teknik konservasi tanah dan air (KTA), baik berupa

bangunan sipil teknis maupun vegetatif tingkat erosi di Sub DAS Citarik cukup

tinggi. Berdasarkan hasil prediksi Proyek UPLDP dengan metode USLE erosi

pada usahatani lahan kering tanpa KTA di Kecamatan Cikancung, Paseh dan

Cicalengka masing-masing mencapai 558, 352, dan 316 ton/ha/tahun.

Penerapan teknik KTA pada usahatani lahan kering di wilayah kecamatan yang

sama dapat menekan erosi masing-masing 74%, 54%, dan 64% untuk

Kecamatan Cikancung, Paseh dan Cicalengka.

(6)

Tabel 6. Luas Sub DAS Citarik berdasarkan kelas erosi tanah

Luas area

Kelas erosi tanah

Ha

%

I ( < 15 t/ha/th)

16.740

47,5

II (15 - 60 t/ha/th)

10.094

28,7

III (60 -180 t/ha/th)

5.720

16,2

IV (180 - 480 t/ha/th)

2.226

6,3

V ( > 480 t/ha/th)

433

1,3

Total

35.210

100

Sumber: Ditjen Bangda (2003).

4.2. Penggunaan Lahan

Penggunaan lahan di Sub DAS Citarik sangat dinamis. Perubahan

penggunaan lahan di wilayah tersebut terus berlangsung sesuai dengan

perkembangan kebutuhan. Berdasarkan hasil analisis data citra satelit yang

dituangkan dalam Peta Penggunaan Lahan skala 1:50.000 (Puslitbang Tanah

dan Agroklimat 2001) penggunaan lahan utama tahun 1969 meliputi hutan (6.151

ha), kebun campuran (6.660 ha), permukiman (1.217 ha), sawah (9.675 ha), dan

tegalan (2.666 ha). Kemudian pada tahun 2000 penggunaan lahan di wilayah

tersebut berkembang yang dicirikan oleh berkurangnya proporsi areal hutan

menjadi 4.073 ha (turun 33,8%), kebun campuran 2.890 ha (turun 56,6%), sawah

9.340 ha (turun 3,5%), sedangkan penggunaan lahan yang bertambah luas

adalah permukiman menjadi 3.145 ha (naik 158,4%) dan tegalan menjadi 6.189

ha (naik 132,1%). Pada tahun 2000 sudah ada kawasan industri (639 ha) dan

lokasi penambangan atau galian tanah (50 ha) (

Gambar 8

).

(7)
(8)

Wahyunto

et al.

(2001) menganalisis perubahan penggunaan lahan di Sub

DAS Citarik menggunakan data citra satelit berbagai periode waktu dan hasilnya

menunjukkan konversi hutan menjadi tegalan dan kebun campuran yang terjadi

pada tahun 1991-2000 mencapai 556 ha. Kemudian konversi lahan sawah,

tegalan dan kebun campuran menjadi permukiman dan kawasan industri pada

periode waktu tersebut mencapai 799 ha. Pada periode tahun 1991- 2000 sekitar

835 ha areal kebun campuran beralihfungsi menjadi perumahan, tanah galian

dan kuburan cina.

Pada tahun 1991-1998 di Kecamatan Cicalengka, Kabupaten Bandung

ada konversi lahan tegalan menjadi sawah sekitar 54 ha, tetapi di Kecamatan

Cimanggung, Kabupaten Sumedang terdapat 131 ha sawah yang dikonversi

menjadi tegalan. Perubahan lahan sawah menjadi tegalan dapat disebabkan

oleh berkurangnya sumberdaya air, tetapi juga perubahan tersebut merupakan

modus antara untuk merubah lahan sawah menjadi kawasan terbangun, seperti

perumahan, kawasan industri, atau perkantoran.

Proporsi areal sawah terus menurun hingga pada tahun 2003 menjadi

24,6% (BPS 2003), sementara itu proporsi areal tegalan meningkat menjadi

30,1%, perumahan dan permukiman menjadi 23,1%, kawasan industri dan

perkantoran menjadi 4,5%. Perubahan penggunaan lahan di lokasi penelitian

secara grafis disajikan pada

Gambar 9

.

Tujuan peruntukan konversi lahan pertanian, baik sawah maupun lahan

kering sebagian besar adalah untuk pembangunan perumahan atau industri.

Sebagaimana disajikan pada

Tabel 7

sekitar 71% dari luas lahan sawah yang

dikonversi adalah untuk penggunaan non-pertanian, terutama kawasan industri

dan perumahan. Sisanya (29%) dikonversi menjadi pertanian lahan kering.

Demikian halnya konversi lahan kering; 74% dari luas lahan kering yang

dikonversi adalah untuk penggunaan non-pertanian, sedangkan 26% dijadikan

(9)

lahan sawah. Dengan demikian pada tahun 2003 tersebut di Sub DAS Citarik

terdapat 868,4 ha lahan sawah dan 654,0 ha lahan kering yang dikonversi.

Proporsi konversi lahan sawah dan lahan kering tersebut dibandingkan dengan

total luas lahan masing-masing adalah 10,4% untuk lahan sawah dan 6,7% untuk

lahan kering (tegalan dan kebun campuran). Apabila pertambahan penggunaan

lahan tersebut diperhitungkan maka proporsi pengurangan bersih lahan sawah

dan lahan kering tersebut masing-masing mencapai 8,4% dan 4,1%.

0

10

20

30

40

50

60

70

80

90

100

1969

1991

2000

2003

%

Lain-lain

Kaw.Industri

Permukiman

Sawah

Tegalan

Keb. Campuran

Hutan

Gambar 9. Perkembangan penggunaan lahan utama di Sub DAS Citarik

Berdasarkan wilayah administratif konversi lahan sawah yang relatif luas

terjadi di Kecamatan Cikancung (317,7 ha atau 34,5%), Cimenyan (173,2 ha atau

18,8%), dan Nagreg (116,5 ha atau 12,6%). yang semuanya termasuk wilayah

Kabupaten Bandung. Kemudian konversi lahan kering paling luas terjadi di

Kecamatan Cikancung (470,7 ha atau 70,8%) dan Nagreg (55,0 ha atau 8,3%).

(10)

Tabel 7. Luas dan tujuan konversi lahan sawah dan lahan kering di Sub DAS

Citarik, 2003

Tujuan peruntukan konversi lahan (menjadi)

Penggunaan lahan Total konvers i lahan Sawah Lahan Kering Kawas an Perum ahan Kawasan Industri Per-kantora n Lain-lain 1. Sawah (ha) 921,9 - 258,4 203,9 413,4 8,7 37,5 (%) 28,1 22,1 44,8 0,9 4,1

2. Lahan kering (ha) 664,9 176,2 - 156,6 328,1 1,0 3,0

(%) 26,5 23,5 49,3 0,2 0,5

3. Penambahan (ha) 176,2 258,4 360,5 741,5 9,7 40,5

4. Pengurangan (ha) 745,7 406,5

Sumber : Data ST2003 (diolah)

4.3. Keadaan Sosial-Ekonomi

4.3.1. Jumlah, pertumbuhan, dan penyebaran penduduk

Berdasarkan Data Potensi Desa hasil Sensus Pertanian tahun 2003

(ST2003) jumlah penduduk wilayah Sub DAS Citarik ada 732.721 jiwa. Laju

pertumbuhan jumlah penduduk periode tahun 2003-2005 di lokasi tersebut relatif

tinggi, yakni 10,5%/tahun sehingga pada tahun 2005 jumlah penduduk tersebut

menjadi 887.890 jiwa (BPS 2005). Sebagai pembanding laju pertumbuhan

penduduk Kabupaten Bandung pada periode tahun yang sama sekitar

6,1%/tahun.

Penyebaran penduduk Sub DAS Citarik berdasarkan wilayah administratif

secara berurutan paling banyak terdapat di Kecamatan Rancaekek, Paseh, dan

Cicalengka Kabupaten Bandung. Namun demikian kepadatan penduduk paling

tinggi secara berurutan terdapat di Kecamatan Cileunyi dan Rancaekek,

Kabupaten Bandung, serta Kecamatan Jatinangor dan Cimanggung, Kabupaten

Sumedang (

Tabel 8

). Pada tahun 2005 penyebaran dan kepadatan penduduk

tersebut berubah. Jumlah penduduk paling banyak terdapat di Kecamatan

(11)

Rancaekek, Cielunyi, dan Paseh, Kabupaten Bandung, sedangkan urutan

kepadatan penduduk paling tinggi terdapat di Kecamatan Cileunyi (Kabupaten

Bandung), Jatinangor (Kabupaten Sumedang), dan Rancaekek (Kabupaten

Bandung) (

Tabel 9

).

Laju pertumbuhan jumlah penduduk Sub DAS Citarik yang tinggi sejalan

dengan tingginya pertambahan jumlah kepala keluarga (KK) dari 195.877 KK

(2003) menjadi 244.640 KK (2005) atau laju kenaikannya 12,4%/tahun.

Sementara itu ukuran keluaga cenderung bertambah kecil, yakni menurun dari

3,8 jiwa/KK menjadi 3,7 jiwa/KK.

Keluarga pertanian di DAS Citarik menurun dari 48,7% (2003) menjadi

43,8% (2005). Penurunan proporsi keluarga pertanian tersebut terjadi di seluruh

kecamatan, kecuali di Kecamatan Rancaekek dan Paseh, Kabupaten Bandung.

Di Kecamatan Rancaekek proporsi keluarga pertanian meningkat dari 44,2%

(2003) menjadi 61,8% (2005), sedangkan di Kecamatan Paseh proporsi keluarga

pertanian meningkat dari 47,2 menjadi 49,6%. Hal yang menarik adalah

peningkatan proporsi keluarga pertanian di Kecamatan Paseh tersebut diikuti

oleh penurunan proporsi keluarga miskin (Pra Sejahtera) dari 43,9% menjadi

29,3%. Kondisi tersebut bertolak belakang dengan keadaan yang terjadi di

Kecamatan Rancaekek dimana peningkatan proporsi keluarga pertanian yang

tinggi diikuti dengan peningkatan keluarga miskin yang tinggi pula (8,7% menjadi

44,9%). Fenomena di wilayah lainnya menunjukkan penurunan proporsi keluarga

pertanian diikuti dengan peningkatan proporsi keluarga miskin terjadi di enam

kecamatan (55%), seperti Kecamatan Cicalengka, Cikancung, dan Cileunyi dan

penurunan proporsi keluarga pertanian diikuti dengan penurunan proporsi

keluarga miskin terjadi di tiga kecamatan (27%), yakni Kecamatan Cimanggung,

Jatinangor, dan Tanjungsari (

Tabel 8

dan

Tabel 9

).

(12)

Data tahun 2003 menunjukkan adanya korelasi positif antara proporsi

jumlah keluarga pertanian dengan keluarga miskin dengan koefisien korelasi

Peason (r) =0,4574 dan taraf nyata (α) 18% yang berarti 45,7% variasi proporsi

jumlah keluarga miskin dapat dijelaskan oleh variasi proporsi keluarga pertanian.

Fenomena serupa secara statistik tidak nyata pada tahun 2005 (r = -0,0771;

α=83%) yang berarti variasi jumlah keluarga miskin di Sub DAS Citarik pada

tahun 2005 tidak ada hubungannya dengan jumlah keluarga pertanian. Hal itu

berarti peningkatan jumlah keluarga miskin berasal dari keluarga non-pertanian.

Tabel 8. Jumlah dan kepadatan penduduk, proporsi keluarga pertanian dan

keluarga miskin di Sub DAS Citarik, tahun 2003

Jumlah

penduduk

Kepadatan

penduduk

Jumlah

Keluarga

Keluarga

pertanian

Keluarga

Miskin

No

Kecamatan

(jiwa)

(jiwa/ha)

(KK)

(%)

(%)

1

Cicalengka

75.716

19,3

21.630

46,0

20,9

2

Cikancung

58.474

18,4

14.776

48,4

25,2

3

Cilengkrang

31.807

10,3

8.311

67,5

61,9

4

Cileunyi

70.634

34,0

17.989

50,0

10,6

5

Cimenyan

65.554

18,4

18.041

46,3

18,3

6

Rancaekek

120.556

30,1

32.698

44,2

8,7

7

Nagreg

36.621

8,2

9.215

46,7

22,4

8

Paseh

95.729

20,4

22.653

47,2

43,9

9

Cimanggung

64.232

21,8

19.404

58,1

29,8

10

Jatinangor

61.733

25,6

15.515

27,0

31,7

11

Tanjungsari

51.666

21,3

15.644

54,5

35,1

Rata-rata

66.611

20,7

17.807

48,7

28,1

(13)

Tabel 9. Jumlah dan kepadatan penduduk, proporsi keluarga pertanian dan

keluarga miskin di Sub DAS Citarik, tahun 2005

Jumlah

penduduk

Kepadatan

penduduk

Jumlah

keluarga

Keluarga

pertanian

Keluarga

miskin

No

Kecamatan

(jiwa)

(jiwa/ha)

(KK)

(%)

(%)

1

Cicalengka

89.860

26,0

21.974

43,6

32,3

2

Cikancung

67.347

18,7

16.891

46,2

35,9

3

Cilengkrang

35.336

11,4

10.249

63,3

36,2

4

Cileunyi

113.722

40,3

29.039

10,8

27,6

5

Cimenyan

83.748

23,5

21.659

43,9

27,2

6

Rancaekek

133.417

30,8

34.862

61,8

44,9

7

Nagreg

41.273

10,7

10.863

39,2

24,9

8

Paseh

107.598

23,1

28.367

49,6

29,3

9

Cimanggung

69.336

23,6

19.493

50,3

24,3

10

Jatinangor

82.008

31,7

24.220

24,2

34,9

11

Tanjungsari

64.238

26,4

18.223

48,7

20,5

Rata-rata

80.717

24,2

22.240

43,8

30,6

Sumber: Data Sensus Ekonomi /SE2005 (diolah)

4.3.2. Penguasaan sumberdaya lahan

Sumberdaya lahan yang dikuasai oleh petani terdiri atas lahan pertanian

dan lahan non-pertanian. Berdasarkan klasifikasi BPS status penggunaannya

lahan pertanian terdiri atas lahan sawah dan bukan sawah, sedangkan lahan

non-pertanian terdiri atas lahan perumahan (rumah dan pekarangan) dan lahan

lainnya yang tidak digunakan untuk pertanian.

Berdasarkan data Survai Pertanian-Potensi Desa (ST-Podes 2003) luas

lahan yang dikuasai petani di Sub DAS Citarik 0,386 ha/KK, terdiri atas lahan

pertanian (92,6%) dan lahan non-pertanian (7,4%) (

Tabel 10

). Luas penguasaan

lahan tersebut cukup bervariasi antar wilayah kecamatan dengan kisaran antara

0,291 ha/KK di Kecamatan Jatinangor dan 0,587 ha/KK di Kecamatan Cileunyi

dengan nilai CV 26,2%. Berdasarkan status penggunaannya lahan pertanian

terdiri atas lahan sawah (48,3%) dan lahan bukan sawah (51,7%). Lahan

(14)

pertanian bukan sawah tersebut berupa lahan kering untuk tanaman palawija,

hortikultura, perkebunan atau kolam ikan. Proporsi jumlah petani berdasarkan

jenis usahatani di Sub DAS Citarik terdiri atas petani padi (19,2%), palawija

(18,95%), padi dan palawija (31,3%), hortikultura (8,9%), perkebunan (2,0%),

perhutanan (4,0%), dan usaha pertanian lainnya, seperti perunggasan,

perikanan, dan jasa pertanian (15,7%). Berdasarkan luas lahan yang dikuasainya

sekitar 30,8% petani menguasai lahan kurang dari 0,1 ha dan hanya 1% petani

yang menguasai lahan lebih dari 1,0 ha/KK, dan secara kumulatif 90% petani

menguasai lahan kurang dari 0,75 ha/KK (

Gambar 10).

Status penguasaan lahan oleh keluarga pertanian di Sub DAS Citarik dapat

dibedakan atas tiga golongan, yakni pemilik lahan, pemilik-penggarap lahan, dan

penggarap-penyewa lahan. Berdasarkan Data Potensi Desa (ST2003) proporsi

penguasaan lahan tersebut adalah pemilik lahan 31,3%, pemilik-penggarap

lahan 43,5%, dan penggarap-penyewa lahan 24,2% (

Tabel 11

). Variasi status

pemilik-penggarap lahan antar wilayah kecamatan relatif paling homogen

(CV=17,7%) dibanding dengan pemilik lahan (CV=25,2%) dan

penggarap-penyewa lahan (CV=26,9%). Hal tersebut dapat dimengerti karena lahan

merupakan sumber mata pencaharian utama bagi keluarga pertanian dan

menggarap lahan milik sendiri adalah status penguasaan lahan yang paling

umum dimiliki petani dan paling kuat secara hukum.

(15)

Tabel 10. Luas lahan petani berdasarkan penggunaannya (ha/KK)

Lahan Pertanian

No

Kecamatan

Sawah

Bukan

sawah

Sub-total

Lahan

Non-

pertanian

Total

1 Cicalengka

0,135 0,136 0,270 0,037 0,308

2 Cikancung

0,143 0,240 0,383 0,024 0,406

3 Cilengkrang

0,075 0,239 0,314 0,019 0,334

4 Cileunyi

0,442 0,114 0,556 0,031 0,587

5 Cimenyan

0,144 0,343 0,487 0,031 0,518

6 Rancaekek

0,334 0,009 0,343 0,031 0,373

7 Nagreg

0,095 0,320 0,415 0,030 0,445

8 Paseh

0,188 0,113 0,301 0,027 0,328

9 Cimanggung

0,109 0,198 0,307 0,032 0,339

10 Jatinangor

0,147 0,119 0,265 0,026 0,291

11 Tanjungsari

0,078 0,198 0,276 0,030 0,305

Rata-rata

0,172

0,184 0,356 0,029 0,385

%

44,6 47,9 92,5 7,5 100,0

Sumber: Data ST2003 (diolah)

0 20 40 60 80 100 120 < 0,10 0,10-0,24 0,25-0,49 0,50-0,74 0,75-0,99 1,00-1,49 1,50-1,99 2,00-2,49 > = 2,5 Ha % %-RTP %_kumulatif Sumber : Data ST2003 (diolah)

Gambar 10. Distribusi penguasaan lahan pertanian oleh petani di Sub DAS

Citarik, 2003

Keterkaitan antar status penguasaan lahan tersebut cukup erat. Uji korelasi

menunjukkan proporsi status pemilik lahan berkorelasi nyata negatif dengan

pemilik penggarap (r= -0,6281 dan α= 5%), demikian pula antara status

pemilik-penggarap dengan pemilik-penggarap-penyewa (r= -0,5027 dan α= 14%), tetapi status

(16)

pemilik lahan tidak berkorelasi dengan penggarap-penyewa. Hal ini

mengindikasikan bahwa perubahan status penguasaan lahan berjenjang dari

pemilik-lahan ke pemilik-penggarap dan dari pemilik-penggarap ke

penggarap-penyewa. Artinya peningkatan proporsi petani penggarap-penyewa umumnya

berasal dari petani pemilik-penggarap, bukan dari petani pemilik lahan.

Selanjutnya apabila para petani penggarap-penyewa tersebut tidak mampu lagi

menyewa lahan maka mereka akan menjadi buruh tani. Hal ini diperkuat dengan

relatif lebih kuatnya koefisien korelasi antara proporsi buruh tani dengan status

penggarap-penyewa (r= 0,3428) dibanding dengan status penguasaan lahan

lainnya (pemilik lahan r= -0,0211 dan pemilik-penggarap lahan r=-0,2670).

Tabel 11. Status penguasaan lahan pertanian oleh petani, Sub DAS Citarik, 2003

Pemilik

Pemilik dan

Penggarap/

Lahan

penggarap

penyewa

No

Kecamatan

(%)

(%)

(%)

1

Cicalengka

40,9

32,3

26,8

2

Cikancung

25,0

56,8

18,3

3

Cilengkrang

27,5

51,7

20,8

4

Cileunyi

31,0

37,0

32,0

5

Cimenyan

26,1

51,5

22,4

6

Rancaekek

33,3

36,3

30,4

7

Nagreg

24,0

41,2

34,8

8

Paseh

31,7

45,4

22,9

9

Cimanggung

20,9

47,4

31,7

10

Jatinangor

47,3

40,5

12,3

11

Tanjungsari

36,8

38,2

25,0

Rata-rata

31,3

43,5

24,2

Sumber: Data ST2003 (diolah)

4.3.3. Sumber mata pencaharian penduduk

Secara garis besar sumber mata pencaharian penduduk Sub DAS Citarik

dibedakan atas sektor pertanian dan non pertanian. Atas dasar pengelompokkan

tersebut jumlah penduduk yang sumber mata pencaharian utamanya dari Sektor

(17)

Pertanian mencapai 63,6%, sedangkan sisanya (36,4%) dari non-pertanian

(UPLDP 1997

dalam

Ditjen Bangda 2003). Sumber mata pencaharian dari

pertanian dibedakan atas usahatani (

on-farm

) sebesar 38,6% dan non-usahatani

(

off-farm

) sebesar 25,0%. Jenis usahatani terdiri atas tanaman pangan (60,3%),

tanaman perkebunan (3,1%), ternak (30,8%), ikan (1,5%) dan kombinasinya

(4,3%). Hasil studi yang sama menunjukkan pendapatan petani di Sub DAS

Citarik mencapai Rp 3,8 juta/tahun.

Sumber mata pencaharian penduduk Sub DAS Citarik berubah sesuai

perkembangan waktu. Berdasarkan Sensus Pertanian-Potensi Desa (BPS 2003)

terlihat adanya penurunan peran sektor pertanian sebagai sumber mata

pencaharian penduduk (

Tabel 12

dan

Tabel 13

). Pada tahun 2003 peran sektor

pertanian sebagai sumber mata pencaharian utama penduduk masih sekitar

50%, kemudian menurun menjadi 42,4%. Sumber mata pencaharian penduduk

tahun 2005 dicirikan oleh meningkatnya peran sektor tersier, yakni perdagangan

dan jasa yang mencirikan adanya perkembangan status wilayah perdesaan ke

wilayah perkotaan. Perkembangan yang cukup pesat terjadi di Kecamatan

Cileunyi, Nagreg dan Tanjungsari.

(18)

Tabel 12. Sumber pendapatan penduduk Sub DAS Citarik, 2003 (%)

Bidang usaha

No

Kecamatan

Pertanian

Galian

Industri Perdagangan

Jasa dan

lainnya

1 Cicalengka

47,7

0,0

6,2

21,1

25,0

2 Cikancung

45,7

4,1

12,5

12,6

25,1

3 Cilengkrang

69,2

0,0

13,6

8,5

8,7

4 Cileunyi

50,0

0,0

16,8

23,6

9,6

5 Rancaekek

41,7

0,0

33,3

8,3

16,7

6 Cimenyan

55,0

2,1

5,7

11,7

25,5

7 Nagreg

50,0

16,7

10,3

9,2

13,8

8 Paseh

51,0

8,3

14,3

10,0

16,3

9 Cimanggung

61,7

0,0

12,1

15,4

10,8

10 Jatinangor

27,2

0,0

18,2

18,2

36,4

11 Tanjungsari

55,6

0,0

0,0

20,6

23,8

Rata-rata

50,4

2,8

13,1

14,5

19,2

Sumber: Data ST2003 (diolah).

Tabel 13. Sumber pendapatan penduduk Sub DAS Citarik, 2005 (%)

Bidang usaha

No

Kecamatan

Pertanian

Galian Industri Perdagangan

Jasa dan

lainnya

1

Cicalengka

43,7

0,0

9,3

25,2

21,8

2

Cikancung

46,8

1,6

13,7

13,0

24,9

3

Cilengkrang

63,3

0,0

14,5

11,5

10,7

4

Cileunyi

12,8

0,0

20,8

25,6

40,8

5

Rancaekek

44,2

0,0

38,5

9,5

7,8

5

Cimenyan

43,7

1,1

5,9

18,0

31,3

6

Nagreg

39,0

12,3

23,3

13,4

12,0

7

Paseh

49,6

8,3

16,7

11,9

13,5

8

Cimanggung

50,4

0,0

13,9

17,4

18,3

9

Jatinangor

24,4

0,0

19,0

22,0

34,6

10

Tanjungsari

48,5

0,0

0,0

24,8

26,7

Rata-rata

42,4

2,1

15,9

17,5

22,1

(19)

4.3.4. Kejadian dan Bencana banjir

Bencana banjir di Kabupaten Bandung, khususnya di wilayah Bandung

Selatan seperti di Kecamatan Bale Endah, Bojong Soang, Dayeuh Kolot dan

sekitarnya merupakan bentuk bencana alam yang selalu terjadi setiap tahun dan

menimbulkan kerugian. Bencana banjir umumnya terjadi karena air Sungai

Citarum dan anak-anak sungainya meluap akibat aliran permukaan yang

melebihi kapasitas sungai-sungai tersebut. Aliran air permukaan meningkat dapat

disebabkan oleh tingginya intensitas curah hujan dan berkurangnya areal

resapan air atau kombinasi keduanya. Salah satu penyebab berkurangnya areal

resapan air adalah terjadinya konversi lahan pertanian ke non-pertanian tanpa

diimbangi dengan pengendalian dampak lingkungan yang memadai.

Pada periode tahun 2000 - 2005 bencana banjir di seluruh Kabupaten

Bandung setiap tahunnya meliputi 6 sampai 14 kecamatan dengan rata-rata 9

kecamatan dan mencakup 15 sampai 63 desa dengan rata-rata 36 desa. Jumlah

keluarga korban banjir tersebut berfluktuasi antara 6.669 sampai 23.970 KK

dengan rata-rata 13.551 KK. Berdasarkan taksiran Dinas Sosial Kabupaten

Bandung kerugian material akibat bencana banjir tersebut berkisar antara Rp 1,5

- 6,3 milyar dengan rata-rata Rp 3,3 milyar/tahun (

Gambar 11

). Daerah rawan

bencana banjir di wilayah Bandung Selatan adalah Kecamatan Bale Endah,

Dayeukkolot, Solokanjeruk, Rancaekek, Cicalengka, dan Bojongsoang.

Berdasarkan nilai kerugian dan jumlah korban banjir tersebut dapat diperkirakan

rata-rata beban kerugian tahunan masyarakat akibat banjir mencapai Rp

244.000/KK.

Menurut pengamatan staf Dinas Sosial Kabupaten Bandung Bencana

banjir tahun 2005 tercatat paling parah, khususnya yang melanda wilayah

Kecamatan Bale Endah, Dayeuh Kolot, Bojongsoang dan sekitarnya. Kejadian

banjir pada bulan Januari-Februari 2005 tersebut menyebabkan banyak

(20)

masyarakat yang harus mengungsi lebih dari 10 hari. Selain itu ada sekitar 80

buah perusahaan tekstil dan garmen yang tidak dapat beroperasi karena

buruhnya menjadi korban banjir, aliran listrik (PLN) mati dan 30 buah pabrik

tersebut terendam air hingga 50 cm.

0 10 20 30 40 50 60 70 2000 2001 2002 2003 2004 2005 d e s a & 1 0 0 0 K K 0.0 1.0 2.0 3.0 4.0 5.0 6.0 7.0 R p M il y a r Desa KKx1000 Kerugian

Gambar 11. Jumlah desa dan keluarga korban bajir serta nilai kerugian

akibat banjir di Kabupaten Bandung

Secara lebih spesifik hasil pengamatan petugas Kelurahan Andir

mengenai kejadian banjir tahun 2005 menyatakan bahwa wilayah bencana banjir

saat itu mencakup 11 RW (85%) dari 13 RW dengan korban berupa rumah

(4.117 buah) atau 4.375 keluarga, bangunan masjid/madrasah (22 buah),

sekolah dasar (5 buah), kantor kelurahan dan kantor RW (5 buah), GOR, dan

areal sawah (40 ha). Ketinggian air saat banjir antara 50 cm sampai 300 cm.

4.4. Karakteristik Responden

Responden penelitian terdiri atas tiga kelompok, yakni responden kajian

pengetahuan multifungsi pertanian, responden kajian WTP

(willingness to pay

),

dan responden kajian WTA (

willingness to accept

).

4.4.1. Responden kajian pengetahuan multifungsi pertanian

Karakteristik yang diperkirakan menjadi sumber keragaman perbedaan

pengetahuan responden mengenai multifungsi pertanian adalah bidang keahlian,

(21)

tingkat pendidikan, umur dan jenis kelamin. Bidang keahlian atau pekerjaan

responden terdiri atas peneliti (7,1%), penyuluh (13,3%), birokrat (19,5%), petani

padi sawah (26,7%), dan petani lahan kering (33,4%). Secara umum tingkat

pendidikan responden cukup beragam (CV=49,2%). Pendidikan responden

peneliti paling tinggi dan paling homogen dengan rata-rata 16,8 tahun dan CV

6%. Pendidikan petani lahan kering paling rendah dan heterogen dengan

rata-rata 6,0 tahun dan CV 40% (

Tabel 14

). Berdasarkan jenjangnya rata-rata

pendidikan peneliti dan birokrat setingkat sarjana (S1), penyuluh setingkat

diploma, petani padi sawah dan petani lahan kering setingkat SD.

Tabel 14. Karakteristik responden kajian pengetahuan multifungsi pertanian

Statistik Umur Statistik Pendidikan formal

Status responden

Jumlah (Orang)

Pria

(%) Rerata Min Mak CV Rerata Min Mak CV

Peneliti 16 50,0 39,8 25 50 22 16,8 16 18 6 Penyuluh 30 76,7 46,6 35 58 14 13,3 9 16 16 Birokrat 44 61,4 44,0 27 54 14 15,6 12 18 10 Petani 1) 60 86,7 45,2 25 66 26 6,9 0 15 39 Petani 2) 75 93,3 45,2 25 71 27 6,0 0 12 40 Jumlah 225 80,0 44,8 25 71 23 9,9 0 18 49

Sumber : data primer

Catatan : Min=minimum (th), Mak=Maksimum (th), CV = Koefisien variasi (%) Petani 1) = Petani padi sawah; Petani 2) = Petani lahan kering

Umur responden masih tergolong usia produktif. Secara rata-rata umur

responden peneliti relatif paling muda (39,8 tahun) dan responden penyuluh

pertanian paling tua (46,6 tahun). Sebaran umur responden birokrat dan

penyuluh pertanian relatif paling homogen (CV 14%) dibanding dengan peneliti

atau petani (CV = 22 sampai 27%). Proporsi responden pria secara

keseluruhan lebih dominan (80,0%) daripada perempuan, kecuali pada

responden peneliti dimana proporsi prianya ada 50% dan responden birokrat

dimana proporsi prianya ada 61,4%.

(22)

4.4.2. Responden analisis WTP

Responden kajian WTP adalah warga masyarakat non-petani yang

bertempat tinggal di wilayah yang sering terkena banjir di Kecamatan Bale Endah

dan Bojongsoang, Kabupaten Bandung. Karakteristik responden berdasarkan

umur, pendidikan formal, dan tingkat pendapatan disajikan pada

Tabel 15.

Umur

responden termasuk golongan penduduk usia produktif (rata-rata berumur 50,1

tahun) dengan tingkat pendidikan formal tamat SLTP (lama pendidikan rata-rata

10,3 tahun). Pendidikan responden terendah adalah tamat sekolah dasar (SD)

sebanyak 25 orang (31,25%) dan tertinggi adalah magister (S2) sebanyak 9

orang (11,25%). Berdasarkan nilai C.V. sebaran pendidikan formal responden

lebih beragam daripada sebaran umurnya.

Pendapatan keluarga responden Rp 12,3 juta/tahun dengan kisaran antara

Rp 1,8 juta - Rp 42,0 juta/tahun. Keragaman tingkat pendapatan responden

tersebut dipengaruhi oleh sumber mata pencahariannya. Sumber mata

pencaharian responden terdiri atas: (1) pegawai negeri yang mencakup PNS,

ABRI dan pensiunannya (29%), (2) pegawai swasta yang mencakup karyawan

pabrik atau perusahaan swasta (21%), (3) wiraswasta yang mencakup pedagang

dan tukang (37%), dan (4) tidak menentu atau pekerjaannya tidak tetap seperti

pengojeg sepeda motor (13%). Karakteristik lain responden WTP disajikan pada

Lampiran 2.

Nilai kerugian yang diderita responden akibat banjir cukup tinggi, yakni Rp

1,1 juta/keluarga dengan kisaran antara Rp 0,125 juta - Rp 10,0 juta. Keragaman

nilai kerugian ini cukup tinggi. Hal itu dapat disebabkan oleh berbagai hal,

diantaranya : (1) penaksiran nilai kerugian akibat banjir yang bersifat subyektif,

dan (2) jenis kerusakan akibat banjir cukup beragam.

(23)

Tabel 15. Karakteristik responden analisis WTP, Kabupaten Bandung, 2005

No Statistik Umur Pendidik an formal Pendapatan Keluarga Kerugian akibat banjir *) Tinggi genang an air *) Peluang terkena banjir **) (th) (th) (Rp juta/th) (Rp juta) (Cm) 1 Minimum 27 6 1,8 0,125 10 0,10 2 Maksimum 71 16 42,0 10,000 250 1,00 3 Rata-rata 50,1 10,3 12,3 1,100 78,4 0,46 4 Std.Deviasi 11,8 3,4 6,3 1,340 73,8 0,25 5 C.V. (%) 23,6 33,0 51,4 122,0 94,0 54,2

Sumber : data primer

Catatan : *) Kejadian banjir terahir; **) Dalam 10 tahun terahir

Jenis kerugian akibat banjir mencakup kerusakan rumah (27%), kehilangan

atau kerusakan perabotan rumah tangga (lemari, kursi, meja, barang elektronik)

dan kendaraan bermotor (52%), pekarangan rumah kotor oleh lumpur dan

sampah (15%), kehilangan ternak (3%), dan terluka/sakit (3%), sebagaimana

disajikan pada

Gambar 12.

Tingginya kerugian akibat banjir tersebut cukup

beralasan mengingat genangan air saat banjir rata-rata mencapai 78 cm dengan

kisaran 10 cm - 250 cm.

Makna yang dapat ditangkap dari penaksiran nilai kerugian tersebut adalah

responden menyadari betapa besarnya kerugian akibat banjir dan bagi sebagian

masyarakat di wilayah itu kerugian akibat banjir diderita berulang kali, bahkan

hampir setiap tahun. Pengalaman responden selama 10 tahun terahir

menunjukkan bahwa rata-rata terkena banjir hampir setiap dua tahun sekali

(peluang terkena banjir 0,46). Sembilan responden (11,25%) diantaranya

menyatakan bahwa rumahnya selalu terkena banjir dan menderita kerugian

setiap tahun.

(24)

27% 52% 15% 3% 3% Rumah rusak Perabotan RT rusak Pekarangan kotor Ternak hanyut Luka/penyakit

Gambar 12. Jenis kerugian yang diderita responden akibat banjir,

Kabupaten Bandung, 2005

4.4.3. Responden analisis WTA

Responden analisis WTA terdiri atas petani padi sawah dan petani lahan

kering. Karakteristik petani padi sawah dicirikan oleh usia 45,2 tahun, pendidikan

formal 6,9 tahun, pendapatan Rp 6,6 juta/tahun, ukuran keluarga 4,2 jiwa/KK,

dan luas sawah garapan 0,606 ha. Tingkat pendidikan, pendapatan dan ukuran

keluarga petani padi sawah relatif lebih seragam daripada petani lahan kering

(

Tabel 16 dan Tabel 17

).

Tabel 16. Karakteristik responden analisis WTA petani padi sawah

No Statistik Umur Pendidikan

formal Pendapatan Keluarga per tahun Ukuran keluarga Luas sawah garapan

(th) (th) (Rp juta) (Jiwa/KK) (Ha)

1 Minimum 25 0 2,4 2 0,140

2 Maksimum 66 15 16,6 7 3,000

3 Rerata 45,2 6,9 6,6 4,2 0,606

4 Std.Deviasi 12,0 2,7 3,0 1,0 0,553

5 C.V. (%) 26,7 38,6 46,5 23,8 91,2

Sumber : data primer

Berdasarkan uji nilai tengah pendidikan, ukuran keluarga dan pendapatan

petani padi sawah berbeda nyata (α =10%) dengan petani lahan kering.

(25)

Pendidikan petani padi sawah (6,9 tahun) nyata lebih tinggi daripada petani

lahan kering (6,0 tahun). Ukuran keluarga petani padi sawah (4,2 orang) nyata

lebih banyak daripada petani lahan kering (4,0 tahun). Sebaliknya pendapatan

petani padi sawah (Rp 6,6 juta/tahun) nyata lebih rendah daripada petani lahan

kering (Rp 8,9 juta/tahun), sedangkan umur dan luas lahan garapan petani padi

sawah tidak berbeda nyata dengan petani lahan kering.

Tabel 17. Karakteristik responden analisis WTA petani lahan kering

Umur Pendidikan formal Pendapatan keluarga per tahun Ukuran keluarga Luas lahan garapan No Statistik

(th) (th) (Rp juta) (Jiwa/KK) (Ha/KK)

1 Minimum 25 0 2,1 2 0,100

2 Maksimum 71 12 27,8 9 3,000

3 Rerata 45,4 6,0 8,9 4,0 0,627

4 Std.Deviasi 12,1 2,4 5,1 1,6 0,557

5 C.V. (%) 26,6 40,4 57,4 41,4 88,8

Sumber : data primer

Sumber pendapatan petani padi sawah terdiri atas usahatani atau

on-farm

(70,7%), non-usahatani atau

off-farm

(17,0%), dan non-pertanian atau

out-farm

(12,3%). Sumber pendapatan petani lahan kering terdiri atas

on-farm

(60,6%),

off-farm

(19,1%), dan

out-farm

(20,3%). Sumber pendapatan

off-farm

antara lain

sebagai buruh tani dan kegiatan pasca panen, sedangkan kegiatan out-farm

adalah mengojek, berdagang, dan buruh pabrik. Relatif lebih tingginya

pendapatan petani lahan kering selain karena sebagian dari mereka mengelola

usahatani agroforestri dengan tanaman tahunan (kayu-kayuan dan buah-buahan)

yang masa perolehan atau panen hasilnya secara kebetulan tercatat pada saat

penelitian (kejadian setahun sebelumnya), juga proporsi kegiatan non-usahatani

petani lahan kering lebih beragam.

Gambar

Gambar  7.  Fluktuasi  debit  air  Sungai  Citarik  dan  curah  hujan  (A)  serta  rasio  debit air harian maksimum/minimum (B) Sungai Citarik
Tabel 5.  Luas Sub DAS Citarik berdasarkan kelas kemiringan lereng (ha) Kemiringan lereng  Kecamatan   0-8%   8-25%   25%-45%   &gt;45%  Jumlah    Cilengkrang  -  920        1.107          529          2.556   Cimenyan  -           584         1.218
Tabel 6. Luas Sub DAS Citarik berdasarkan kelas erosi tanah  Luas area
Gambar 9. Perkembangan penggunaan lahan utama di Sub DAS Citarik
+7

Referensi

Dokumen terkait

ditanamkan oleh para ulama dalam upacara ba-ayun anak dan mengisinya dengan pembacaan syair-syair maulid di Desa Banua Halat tersebut tidak lain sebagai bagian

Davis informasi adalah data yang telah diolah menjadi suatu bentuk yang penting bagi si penerima dan mempunyai nilai nyata atau yang dapat dirasakan dalam

Berdasarkan hasil penelitian efektifitas atraktan sampah organik, ikan, dan tempe pada fly trap terhadap jumlah lalat rumah (Musca domestica) yang tertangkap di

Oleh karena itu, selain melihat faktor‐faktor jangka pendek seperti risiko usaha dalam jangka pendek dan posisi likuiditas emiten, ICRA Indonesia juga akan melihat profil kredit

Penampakan pada citra multiwaktu, garis pantai di bagian timur dan barat Pekalongan relatif tidak berubah, sementara di daerah muara Kali Comal terdapat perubahan yang

Petugas akuntansi pada tingkat UAKPA Dekonsentrasi/Tugas Pembantuan yang terdiri dari Petugas Administrasi dan Petugas Verifikasi melaksanakan kegiatan sebagai berikut:. ƒ

Subyek dalam posisi berdiri tegak dengan kedua lengan disamping badan. Ibu jari meraba bagian bawah angulus inferior scapulae untuk mengetahui tepi bagian