118
FAKTOR RISIKO KEJADIAN OBESITAS PADA REMAJA DI SMA N 1 KABILA KABUPATEN BONE BOLANGO
Deysi Adam*, Jootje M.L. Umboh**, Sarah Warouw*** *Pascasarjana Universitas Sam Ratulangi
**Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sam Ratulangi ***Fakultas Kedokteran Universitas Sam Ratulangi
ABSTRAK
Berdasarkan data Riskesdas tahun 2013 diperoleh bahawa Provinsi Gorontalo termasuk dalam 15 besar Provinsi yang menyumbangkan angka kejadian obesitas yaitu yang tersebar pada beberapa kelompok umur 5-12 sebesar 12,1%, 13-15 sebesar 10,2%, 16-18 sebesar 8,7 % dan > 18 sebesar 23,6%. Tingginya prevalensi obesitas diantaranya diakibatkan oleh mulai berubahnya gaya hidup dari masyarakat Gorontalo khusunya para remaja. Tujuan dari penelitian ini yaitu menganalisis faktor risiko pendidikan ibu, pendapatan keluarga, uang saku, frekuensi konsumsi fast food, dan aktivitas fisik dengan terjadinya obesitas pada remaja di SMA negeri 1 Kabila Kabupaten Bone Bolango.Penelitian ini ialah penelitian analitik dengan rancangan kasus kontrol. Total sampel pada penelitian ini sebanyak 136 sampel masing-masing 68 kasus dan 68 kontrol. Pengambilan sampel dengan cara purposive sampling. Data primer diperoleh melalui pengisian kuesioner penelitian yang meliputi identitas subyek penelitian, pendidikan ibu, pendaatan keluarga uang saku, frekuensi konsumsi fast food dan aktivitas fisik. Data sekunder yaitu data yang diperoleh dari bagian akademik mengenai profil sekolah dan jumlah siswa. Analisis data dilakukan dengan uji statistik univariat, bivariat dan multivariat. Hasil penelitian menemukan bahwa ada tiga variabel yang berhubungan dengan kejadian obesitas yaitu pendapatan keluarga, frekuensi konsumsi fast food, dan aktivitas fisik sedangkan variabel yang tidak berhubungan yaitu pendidikan ibu dan uang saku. Hasil analisa multivariat menunjukkan bahwa frekuensi konsumsi fast food merupakan variabel paling dominan berhubugan dengan kajadian obesitas dengan nilai OR sebesar 3,789.Berdasarkan hasil penelitian ini disimpulkan bahwa pendapatan keluarga, frekuensi konsumsi fast food, dan aktivitas fisik berhubungan dengan kejadian obestas.
Kata Kunci: Obesitas, Remaja
ABSTRACT
Based on data from the year 2013 obtained that health research Gorontalo province was included in the top 15 province who donated the incidence of obesity is spreading in some group aged 5-12 is 12.1%, 10.2% 13-15, 16-18 at 8, 7% and> 18 amounted to 23.6%. The high prevalence of obesity among others due to start changing lifestyles of people of Gorontalo especially the teens. The purpose of this study is to analyze the risk factors for maternal education, family income, allowance, frequency of fast food consumption and physical activity with obesity in adolescents in public SMA 1 Kabila Bone Bolango District. This study is an analytic study with case-control study design. The total sample in this study of 136 samples of each : 68 cases ad 68 controls. Sampling purposive sampling. The primary data obtained through filling a questionnaire study covering the identity of the subject of research, maternal education, family pendaatan allowance, frequency of fast food consumption and physical activity. Secondary data is data obtained from the academic part of the school profile and the number of students. Data was analyzed using statistical test of univariate, bivariate and multivariate analyzes. The study found that there are three variables associated with the incidence of obesity is the family income, frequency of fast food consumption and physical activity while the variables related, maternal education and spending money. Results of multivariate analysis showed that the frequency of fast food consumption is the most dominant variable-related obesity with OR of 3.789. Based on the results of this study concluded that family income, frequency of fast food consumption, and physical activity is associated with obesity.
119 PENDAHULUAN
Obesitas telah menjadi pandemi global di seluruh dunia dan dinyatakan oleh WHO sebagai masalah kesehatan kronis terbesar pada orang dewasa (Soegih dan Wiramihardja, 2009). Sebelumnya obesitas hanya menjadi masalah di negara berpenghasilan tinggi, namun saat ini obesitas meningkat secara dramatis di negara berpenghasilan rendah dan menengah, khususnya di perkotaan (WHO, 2008).
Prevalensi obesitas semakin meningkat dengan kecepatan yang mengkhawatirkan bagi kesehatan masyarakat, termasuk untuk negara berkembang. WHO memperkirakan penduduk yang akan menderita obesitas ditahun 2030 sebesar 58%. Survey secara global baik overwight ataupun obesitas pada kedua gender bervariasi menurut wilayah/negara. (Alan, et all, 2015).
Bukti-bukti menunjukkan secara keseluruhan bahwa kegemukan merupakan masalah yang harus diperhatikan, sama pentingnya dengan penanggulangan gizi buruk. Berdasarkan data Riskesdas tahun 2013 diperoleh bahawa Provinsi Gorontalo termasuk dalam 15 besar Provinsi yang menyumbangkan angka kejadian obesitas yaitu yang tersebar pada beberapa kelopmok umur 5-12 sebesar 12,1%, 13-15 sebesar 10,2%, 16-18
sebesar 8,7 % dan > 18 sebesar 23,6%. Hal ini menunjukkan bahwa tingkat obesitas di Provinsi Gorontalo masih tinggi.
Melihat data yang ada dimana menunjukkan angka prevalensi obesitas di provinsi Gorontalo yang masih tinggi dan juga ada berbagai hal yang menunjang tingginya prevalensi obesitas diantaranya mulai berubahnya gaya hidup dari masyarakat Gorontalo khusunya para remaja dimana mereka lebih suka mengkonsumsi fast food yang bisa didapatkan dengan mudah diberbagai tempat terlebih pusat-pusat penyajian makanan fast food ini berada di pusat kota provinsi Gorontalo.
SMA N I kabila merupakan salah satu sekolah yang banyak diminati oleh masyarakat yang letaknya paling dekat dengan pusat kota dan akses menuju pusat kota sangat mudah sehingga memudahkan masyarakat khususnya para siswa untuk mendapatkan fast food. Belum ada peneliti sebelumnya yang melakukan penelitian mengenai obesitas pada remaja di Kabupaten Bone Bolango khususnya di SMA N I Kabila.
Berdasarkan uraian di atas maka penulis tertarik melakukan penelitian untuk mengetahui faktor risiko kejadian obesitas pada Remaja di SMA Negeri 1 Kabila Kabupatan Bone Bolango Provinsi Gorontalo.
120 METODE PENELITIAN
Jenis penelitian ini merupakan penelitian Analitik dengan rancangan penelitian kasus kontrol.Populasi dalam penelitian ini ialah siswa-siswi kelas I dan II SMA N I Kabila tahun ajaran 2015/2016 yang aktif yaitu berjumlah 658 orang.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Analisis bivariat ini ingin diketahui apakah ada hubungan yang signifikan antara dua variabel atau ingin diketahui apakah ada perbedaan yang signifikan antara dua kelompok kasus dan non kasus. Variabel yang dianalisis ada lima variabel, yaitu pendidikan ayah, pendidikan ibu, pendapatan keluarga, frekuensi konsumsi fast food dan Aktivitas Fisik. Untuk lebih jelasnya dapat dijelaskan secara detail sebagai berikut:
Hubungan antara Pendidikan bu dengan Kejadian Obesitas pada Remaja
Hasil analisis menunjukkan perbandingan proporsi responden yang memiliki ibu berpendidikan rendah lebih banyak ditemukan pada responden yang menderita obesitas 57,4% dibandingkan yang tidak menderita obesitas 44,1% dengan nilai OR = 1.703 (CI 95% = 0.864 – 3,357) hal ini menunjukkan remaja yang memiliki ibu dengan pndidikan rendah 1.703 kali
dibandingkan remaja yang memiliki ibu dengan pendidikan tinggi. Akan tetapi dari hasil analisis menunjukkan tidak signifikan yang dapat dilihat dari nilai LL dan UL diatas dan tidak memiliki hubungan yang bermakna dibuktikan yang didukung dengan nilai p > 0,05 (0,123). Penyebab hasil ini kemungkinan disebabkan karena tidak mengikutsertakan faktor lain yang mempengaruhi kejadian obesitas dalam analisa. Selain itu kuesioner yang dipakai hanya melihat tingkat pendidikan dan bisa saja terjadi bias data under atau overestimated.
Penelitian Manurung (2009) yang menunjukkan hasil uji statistik p > 0,05 artinya tidak ada hubungan antara pendidikan ibu dengan kejadian obesitas. Hal ini mungkin disebabkan karena ibu yang berpendidikan tinggi mempunyai kekhawatiran yang lebih besar terhadap status gizi anaknya.
Namun penelitian lain yang dilakukan oleh Yueniwati dan Rahmawati (2001), terdapat hubungan antara pendidikan terakhir ibu dengan pengetahuan ibu tentang obesitas pada anak. Pendidikan ibu merupakan salah satu faktor yang penting dalam tumbuh kembang anak, karena dengan pendidikan yang baik maka orangtua dapat menerima segala informasi dari luar, terutama tentang cara pengasuhan anak yang baik, bagaimana menjaga
121 kesehatan anak, dan sebagainya. Dijelaskan lebih lanjut, pengetahuan ibu tentang obesitas pada anak juga berhubungan dengan status pekerjaan ibu, yaitu apakah ibu bekerja atau tidak. Penelitian yang dilakukan oleh Anggraini (2008) dimana kecenderungan obes juga terjadi pada anak yang memiliki ibu dengan tingkat pendidikan perguruan tinggi. Terdapat 35 dari 57 (61.4%) ibu pada tingkat pendidikan perguruan tinggi memiliki anak yang obes. Hasil uji statistik menunjukkan terdapat hubungan yang signifikan antara pendidikan ibu dengan status gizi obes anak (P = 0.002).
Hubungan antara Pendapatan Keluarga dengan Kejadian Obesitas pada Remaja
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa mayoritas orang tua responden berpenghasilan lebih dari Rp. 1.650.000 perbulan. Dengan penghasilan tersebut menunjukkan bahwa sebagian bessar keluarga termasuk golongan menengah ke atas, hasil penelitian ini juga menunjukkan adaya hubungan yang bermakna antara pendapatan keluarga dengan kejadian obesitas dengan p < 0,05 (0,026). Dimana orang tua yang berpendapatan ≥ Rp. 165.000.00 lebih berisiko 2,169 kali lebih besar dari pada orang tua yang berpenghasilan < Rp. 1.650.000 dengan CI 95%
(1,094-4,303), yang berarti semakin tinggi tingkat pendapatan keluarga semakin naik IMT anak. Hasil penelitian ini didukung dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh padmiari dan Hadi (2009) juga menunjukkan hasil adanya hubugan yang bermakna antara pendapatan keluarga yang tinggi dengan kejadian obesitas. Hidayati (2009) juga menjelaskan bahwa obesitas berhubungan dengan status sosial ekonomi keluarga yang tinggi. Tingkat pendapatan orang tua sangat berpengaruh terhadap konsumsi energi (Padmiari dan Hadi, 2009).
Lebih lanjut Padmiari dan Hadi (2009) menjelaskan bahwa orang tua yang mempunyai pendapatan perbulan tinggi akan mempunyai daya beli yang tinggi pula, sehingga memberikan peluang yang lebih besar untuk memilih berbagai jenis makanan. Adanya peluang tersubut mengakibatkan pemilihan jenis makanan tidak lagi didasarkan pada kebutuhan dan pertimbangan kesehatan, tetapi lebih mengarah kepada prtimbangan rasa makanan yang enak. Kebanyakan makanan yang menjadi pilihan anak dan orang tua tersebut mengandung kalori dan lemak yang tinggi. Peningkatan pendapatan orang tua juga akan meningkatkan konsumsi makan, terutama makanan yang mahal dan anek, seperti berbagai jenis fast food. Berbagai
122 makanan yang tergolong fast food tersebut adalah Fried Chicken, French Fries, Pizza, Mie Instan dan lain-lain. Menurut Hidayati, dkk (2006) peningkatan pendapatan juga dapat mempengaruhi jenis dan jumlah makanan yang dikonsumsi. Peningatan kemakmuran di masyarakat yang diikuti oleh peningkatan pendidikan dapat mengubah gaya hidup dan pola makan dari pola makan tradisional ke pola makan praktis dan siap saji yang dapat menyebabkan gizi tidak seimbang.
Di Gorontalo sendiri makanan fast food adalah makanan yang sedang disukai oleh para remaja. Hal ini disebabkan adanya perumahan pola hidup yang lebih modern, dimana selain rasanya yang enak juga tempat menyajikan fast food lebih menarik dan bergengsi. Fast food bukkan hanya digemari oleh masyarakat yang berpendapatan diatas rata-rata, tetapi mereka yang berpendapatan menengah pun mampu membelli makanan tersebut. Hal ini sesuai dengan penelitian Yussak, dkk (2007) menunjukkan bahwa ternyata bukan hanya kelurga yang perpendapatan tinggi saja yang mendukung terjadinya obesitas. Di amerika diperoleh hasil bahwa pendapatan keluarga yang redah merupakan prediktor terjadinya obesitas. Hal ini terjadi karene perbedaan harga dari fast food di Indonesia dan di
Amerika, dimana fast food di Indonesia dijual dengan harga yang cukup mahal dan merupakan makanan yang mempunyai prastise yang tinggi. Sedangkan di Amerika fast food dujual dengan harga yag murah sehingga terjangkau oleh keluarga berpenghasilan rendah. Keluarga dengan penghasilan rendah di Amerika lebih terjangkau untuk membeli fast food yang harganya lebih murah dibandingkan di Indonesia. Bukti lain dari penelitian Committee on Notrition di Inggris juga menunjukkan bahwa anak-anak yang berasal dari keluarga dengan status ekonomi rendah mengkonsumsi sayuran dn buah-buahan lebih sedikit dan memiliki asupan kalori dan lemak yang tinggi sehingga mempunyai risiko yang lebih tinggi mengalami obesitas (Yussac, 2007), Sehingga dapat disimpulkan meskipun terdapat hubungan yang bermakna antara tingkat pendapatan yang tinggi dengan kejadian obesitas, namun pada penelitian lain juga telah membuktikan bahwa pendapatan keluarga yang rendah juga berhubungan dengan kajadian obesitas, karena keluarga dengan tingkat ekonomi rendah sering mandapatkan keslitan dalam mengakses makanan sehat, terutama sayuran dan buah-buahan, dan lebih mudah membeli makanan yang murah dan meyenangkan yaitu makanan yang tinggi kalori dan lemak (Yussac et all, 2007).
123 Hubungan antara Uang Saku dengan Kejadian Obesitas pada Remaja Hasil analisis menunjukkan perbandingan proporsi responden yang memiliki uang saku tinggi lebih banyak ditemukan pada responden yang menderita obesitas 54,4%% dibandingkan yang tidak menderita obesitas 41,2% dengan nilai OR = 1.705 (CI 95% = 0.865 – 3,362) hal ini menunjukkan remaja yang memiliki uang saku tinggi 1.705 kali dibandingkan remaja yang memiliki uang saku rendah. Akan tetapi dari hasil analisis menunjukkan tidak signifikan yang dapat dilihat dari nilai LL dan UL diatas dan tidak memiliki hubungan yang bermakna dibuktikan yang didukung dengan nilai p > 0,05 (0,122). Penyebab hasil ini kemungkinan disebabkan karena tidak mengikutsertakan faktor lain yang mempengaruhi kejadian obesitas dalam analisa. Selain itu kuesioner yang dipakai hanya melihat besarnya uang saku dan bisa saja terjadi bias data under atau overestimated.
Berdasarkan hasil pengambilan data, penggunaan uang saku sampel tidak hanya untuk membeli makanan kudapan saja tetapi juga untuk memenuhi kebutuhan lain seperti untuk ongkos perjalanan ke sekolah dan pulang, membeli bensin, pulsa, membayar buku cetak, fotocopy dan
untuk ditabung. Besarnya uang saku berkaitan erat dengan pemilihan jenis makanan yang dikonsumsi. Kesempatan bagi anak yang mendapatkan uang saku diatas Rp. 25.000 memiliki kemampuan yang lebih besar daripada anak yang uang sakunya dibawah Rp. 25.000 untuk membeli berbagai makanan yang tidak sehat. Dengan uang saku yang cukup besar, biasanya remaja sering mengkonsumsi makanan- makanan modern dengan pertimbangan dan harapan akan diterima dikalangan teman sebayanya. Dengan memiliki kebebasan untuk memilih sendiri makanannya, remaja cenderung untuk membeli apapun yang disukainya atau yang menarik menurut mereka tanpa memperhatikan apakah makanan tersebut bergizi seimbang atau tidak. Pemilihan makanan yang salah pada akhirnya dapat berpengaruh status gizi mereka. Menurut Gibney (2009), pemilihan makanan pada manusia melibatkan banyak interaksi kompleks yang mencakup berbagai bidang, mulai dari mekanisme biologis pengendalian selera makan, psikologi perilaku makan, nilai-nilai sosial dan budaya.
Penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Aini (2012), penelitian ini dilakukan di SMA 2 Kesatrian Semarang dimana tidak terdapat hubungan antara uang saku dengan kejadian gizi lebih pada remaja
124 perkotaan, karena berdasarkan hasil uji chi-square diperoleh nilai p value 0,225 (p > 0.05). Hal ini mununjukkan bahwa besar kecilnya uang saku tidk mempegaruhi kejadian gizi lebih. Selain itu penelitian Hastuti (2008) juga menyebutkan bahwa besar uang saku bukan merupakan faktor resiko terjadinya kelebihan berat badan dengan nilai OR 3,67. Selain iti peneltian ini juga sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Rustianingsih (2009) dimana hasil uji beda responden berdasarkan uang saku hasil uji mann whitney menunjukkan nilai signifikan besar uang saku ialah p = 0,548. Berdasarkan hasil tersebut maka Ho diterima dikarenakan nilai plebih besar dari 0,05 yang berarti tidak terdapat perbedaan uang saku antara remaja overweight dan non overweight.
Penelitian ini juga sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Manurung (2009) dimana berdasarkan hasil penelitiannya diketahui bahwa presentase kejadian obesitas pada anak yang memiliki uang saku lebih dari Rp. 6000 yaitu 11,5%, sedikit lebih besar dari pada anak yang uang sakunya kurang atau sama dengan Rp. 6000 (10%). Namun perbedaan ini tidak menunjukkan adanya pengaruh uang saku terhadap kejadian obesitas karena hasil uji statistiknya p > 0,05. Hal ini kemungkinan disebabkan karena lebih
kecilnya kesempatan bagi anak yang uang sakunya dibawah atau sama denga Rp. 6000 untuk memilih jajanan yang zat gizinya baik, dari pada anak yang memiliki uang saku diatas Rp. 6000. Sebaliknya, anak yang memiliki uang saku diatas Rp. 6000 memiliki kemampuan yang lebih besar dari pada anak yang uang sakunya dibawah Rp. 6000 untuk membel erbagai jenis jajanan yang tidak sehat seperti junk food.
Hubungan antara Frekuensi Konsumsi Fast Food dengan Kejadian Obesitas pada Remaja
Hasil penelitian ini menunjukkan hubungan yang bermakna antara frekuensi mengkonsumsi fast food dengan kejadian obesitas, dengan nilai p < 0,05 (0,001), dengan nilai OR 3,161 (95% CI: 1,568-6,372). Penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian dari Allo, dkk (2013) yang menemukan frekuensi konsumsi fast food pada kelompok obesitas didominasi oleh responden yang sering mengkonsumsi fast food, yaitu 97,6% responden, sedangkan responden yang jarang mengkonsumsi hanya 24,7% responden. Berbanding terbalik pada kelompok kontrol, dimana lebih banyak responden yang jarang mengkonsumsi fast food, yaitu 59,5% responden, sedangkan yang sering mengkonsumsi fast food hanya 40,5%
125 responden. Selain itu penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Badjeber, dkk (2009) mengenai konsumsi fast food sebagai faktor risiko terjadinya gizi lebih pada siswa SD Negeri 11 Manado, menemukan responden yang mengkonsumsi fast food 3 kali perminggu mempunyai risiko 3,28 kali labih besar menjadi gizi lebih dibandingkan dengan yang jarang atau 1-2 kali per minggu megkonsumsi fast food.
Penelitian ini juga sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Lieswanti (2007) di SMU harapan 1 Medan ditemukan adanya hubungan yang signifikan antara konsumsi fast food dengan status gizi, khusunya pada penderita obesitas. Begitu juga dengan penelitian yang dilakuka oleh Damopilii, dkk (2013) di Manado yang menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara konsumsi fast food dengan terjadinya obesitas.
Adanya hubungan tersebut sesuai dengan pendapat Soetjiningsih (2007) bahwa obesitas dapat terjadi kalau asupan kalori berlebihan, ditambah lagi gaya hidup masa kini yang suka mengkonsumsi fast food yang berkalori tinggi seperti berbagai jenis olahan ayam dan aneke olahan mie. Hal ini sejalan dengan pendapat Zulfa (2011) yang menyatakan bahwa konsumsi yang
tinggi terhada fast food dapat menyebabkan terjadinya gizi lebih atau obesitas karene kandungan dari fast food tersebut tinggi kalori, tingii lemak, dan rendah serat.
Hasil penelitian Padmiari dan Hadi (2009) menggunakan hasil analisis logistic ganda menunjukkan bahwa faktor yang nerpengaruh terhadap kejadian obesitas anak dan hremaja adalah jenis fast food yang dikonsumsi dengan nilai OR 11,0.
Pada penelitian ini menunjukkan kelompok obesitas yang mengkonsumsi fast food dengan frekuensi sering (61,8%) lebih banyak dibandingkan yang mengkonsumsi fast food dengan frekuensi jarang (38,2%), sebaliknya pada kelompok tidak obesitas paling banyak responden mengkonsumsi fast food dengan frekuensi jarang (66,2%) dandingkan dengan responden yang mengkonsumsi fast food dengan frekuensi sering (33,8%). Penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Intan (2008) mengenai faktor-faktor yang berhubungan dengan obesitas berdasarkan persen lemak tubuh di SMA Islam Terpadu Nurul Fikri dengan salah satu variabelnya frekuensi konsumsi fast food, menemukan responden yang obesitas lebih banyak mengkonsumsi fast food dengan frekuensi sering (32,6%) dibandingkan dengan responden yang tidak obesitas
126 yang mengkonsumsi fast food dengan frekuensi jarang (28,9%). Fast food yang palling sering dikonsumsi dalam penelitian ini ialah fried chicken, satu porsi fried chicken potongan dada beratnya 178 gr mengandung 38 kkal.
Hubungan antara Aktivitas Fisik dengan Kejadian Obesitas pada Remaja
Hasil analisis dari uji statistik menunjukkan nilai OR = 2,865, CI (1,413-5,809), dengan taraf signifikan 95%. Hasil uji ini menunjukkan bahwa ada hubungan bermakna antara aktivitas fisik dengan obesitas pada remaja, nilai p < 0,05 (0,003).
Aktifitas fisik adalah pergerakan anggota tubuh yang menyebabkan pengeluaran tenaga yang sangat penting bagi pemeliharaan kesehatan fisik dan mental, serta mempertahankan kualitas hidup agar tetap sehat dan bugar sepanjang hari. Aktivitas fisik adalah setiap gerakan tubuh yang dilakukan otot-otot rangka yang menghasilkan pengeluaran sejumlah energi yang dinyatakan dalam satuan kilo kalori (Hadi, 2004).
Status gizi merupakan efek jangka panjang dari aktivitas fisik, dalam mencari pola aktivitas fisik anak perlu untuk mempertimbangkan jangka waktu ini.berdasarkan penelitian dari Nemet et all (2005), perbedaan berat badan yang
bermakna sebagai efek dari aktifitas fisik sudah dapat dilihat dalam jangka waktu 3 bulan.
Hasil penelitian ini didukung oleh penelitian Mamahit (2014) dengan uji statistik menunjukkan nilai OR = 2,703, CI (1,232-5,931), dengan taraf signifikn 95%. Hasil uji menunjukkan bahwa ada hubungan bermakna antara aktivitas fisik dan obesitas pada mahasiswa, nilai p < 0,05 (0,012). Hal ini berarti remaja yang melakukan aktivitas ringan berisiko 2,703 kali lebih besar dari pada remaja yang melakukan aktivitas fisik sedang. Hasil penelitian ini juga sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Chaput, Brunet dan Tremblay (2006) di Kanada yang menunjukkan hasil bahwa tidak adanya akitivitas fisik berhubungan secara bermakna dengan kejadian obesitas pana anak. Hidayati (2009) berpandapat bahwa salah satu faktor penyabab obesitas adalah kurangnya aktivitas fisik seperti kurangnya melakukan olahraga secara teratur.
Penelitian yang dilakukan oleh Irianto (2007) juga menunjukkan bahwa aktivitas fisik remaja pada umumnya memiliki tingkatan aktivitas fisik ringan dan sedang, sebab kegiatan yang sering dilakukan ialah belajar. Remaja yang kurang malaukan aktivitas fisik sehari-hari, menyebabkan tubuhnya kurang mengeluarkan energi. Oleh karena itu
127 jika asupan energi berlebih tanpa diimbangi aktivitas fisik yang seimbang maka seorang remaja mudah mengalami kegemukan. Terjadinya gizi lebih secara umum berkaitan dengan keseimbagan energi di dalam tubuh. Teori ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan Huriyati, dkk (2004) pada SLTP Kota Yokyakarta dan SLTP Kabupaten Bantul yang menemukan remaja dengan asupan energi normal tetapi menonton TV ≥ 3jam/hari mempunyai risiko obesitas 2,7 kali lebih tinggi dibandingkan dengan remaja yang asupan energi normal dan waktu menonton TV < 3 jam/hari.
Penelitian Chaput, Brunet dan Tremblay (2006) pada 422 anak usia 5-10 tahun juga menunjukkan hasil bahwa terdaat hubungan yang signifikan antara menonton TV dalam waktu yang lama dengan kejadian obesitas pada anak. Hal yang sama juga ditunjukkan oleh penelitian Theri, Lin, Austin, Young dan Mignot (2004) yang telah membuktikan bahwa menonto TV yang lama berhubungan secara bermakna dengan obesitas pada anak.
Hidayati (2009) menjelaskan bahwa hampir 50% anak usia 8-16 tahun menonton TV selama 3-5 jam/hari, dan anak yang banyak menonton TV mempunya insiden yang lebih tinggi untuk mangalami obesitas. Penelitian lain yang dilakukan oleh Manurung
(2009) menunjukkan bahwa tingkat aktivitas responden sebagian besar dikategorikan ringan yaitu sebanyak 75 orang (78,1%). Jumlah responden yang obesitas dengan aktivitas fisik berat berat hanya 3 orang (6,7%) dan sedenga sebanyak 7 orang (13,7%). Aktivitas fisik ringan yang paling sering dilakukan oleh responden ialah duduk, belajar, dan menonton TV, sedanngkan aktivitas fisik berat yang paling sering dilakukan adalah sepak bola dan basket. Hal ini menunjukkan bahwa kejadian obesitas pada remaja yang tingkat aktivitasnya ringan lebih besar dari pada remaja yang aktivitasya berat.
Lokasi SMA negeri 1 Kabila Kabupaten Bone Bolango terletak dipinggiran jalan umum hal ini membuat para siswa dengan mudah menggunakan kendaraan sebagai alat transportasi selain itu sebagian besar siswa sudah menggunakan kendaran pribadi. Rata-rata transportasi yang digunakan para siswa untuk ke seekolah dan pulang sekolah dengan kendaraan umum, dan kendaraan pribadi yang hanya bernilai 1 MET. Dari sini dapat dilihat bahwa pengeluaran sumber energi subjek penelitian lebih rendah, selain itu sebagian besar waktu yang digunakan para siswa setelah sampai di sekolah hanyalah duduk sambil belajar, ke kantin sekolah ataupun menghabiskan waktu bercerita dengan sesama teman.
128 Hal ini menyebakan energi yang keluar tidak sesuai dengan jumlah kalori dan lemak yang masuk ke dalam tubuh. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan di SMA 4 semarang bahwa siswa yang berasal dari tingkat ekonomi menengah ke atas sering ke sekolah dengan diantar menggunakan kendaraan pribadi atau angkutan umum yang pengeluaran enrginya lebih rendah (Mujur, 2011).
Variabel yang paling dominan berhubungan dengan kejadian Obesitas
Analisis multivariat dengan metode regresi logistik bahwa variabel yang paling dominan berpengaruh dengan nilai Odds Ratio paling tinggi ialah variabel frekuensi konsomsi fast food. Dengan nilai OR 3,789 (95% CI: 1,713-8,883) yang artinya responden yang sering mengkonsumsi fast food memiliki peluang 3,789 kali mengalami obesitas dibandingkan dengan responden yang jarang mengkonsumsi fast food, kemudian variabel aktivitas fisik dengan nilai OR 2,850 (95% CI: 1,380-6,377) atau responden yang memiliki aktivitas fisik ringan lebig berisiko 2,967 kali mengalami obesitas dibandingkan dengan responden dengan aktivitas fisik sedang dan yang terakhir yaitu variabel pendidikan ibu dengan nilai OR 2,687 (95% CI: 1,096-6,077) yang berarti
responden mmiliki ibu dengan pendidikan rendah 2,687 kali berisiko menjadi obesitas dibandingkan responden yang memilki iibu dengan pendidikan tinggi.
Sebagai hasil olahan makanan, fast food biasanya banyak mengandung lemak jenuh. Oleh karena itu, harganya sangat murah dan ketika dipanaskan dapat bertahan pada temperatur tinggi. Bahanya, lemak jenuh bisa menjadi biang kegemukan dan meningkatnya kadar kolesterol dalam darah. Apabila kondisi tersebut terjadi pada seseorang, maka masalah kesehatan serius lainnya pun akan terpicu. Kanker, penyakit jantung, dan stroke adalah contoh penyakit yang diakibatkan oleh kandungan lemak jenuh yang tinggi dan digolongkan kedalam penyakit sindrom metabolik. Obesitas diketahui merupakan komponen sindrom metabolik, teristimewa obesitas sentral, karena merupakan awal berkembangnya komponen lain dari metabolik sindrom (Broce ay al, 2009).
KESIMPULAN
1. Pendidikan Ibu bukan merupakan faktor risiko terjadinya obesitas pada remaja di SMA Negeri 1 Kabila Kabupaten Bone Bolango.
2. Pendapatan keluarga merupakan faktor risiko terjadinya obesitas pada remaja di SMA Negeri 1 Kabila
129 3. Uang saku bukan merupakan faktor
risiko terjadinya obesitas pada remaja di SMA Negeri 1 Kabila Kabupaten Bone Bolango.
4. Frekuensi konsumsi fast food merupakan faktor risiko terjadinya obesitas pada remaja di SMA Negeri 1 Kabila Kabupaten Bone Bolang. 5. Aktivitas fisik merupakan faktor
risiko terjadinya obesitas pada remaja di SMA Negeri 1 Kabila Kabupaten Bone Bolango.
6. Frekuensi konsumsi fast food merupakan faktor risiko yang paling dominan terhadap kejadian obesitas pada remaja di SMA Negeri 1 Kabila Kabupaten Bone Bolango dibandingkan dengan pendidikan ibu dan aktivitas fisik.
SARAN
a. Dapat mengontrol asupan makanan baik jumlah makanan, jenis makanan maupun frekuensi makan agar bisa mencapai IMT yang ideal.
b. Dapat memanfaatkan uang saku yang diberikan orang tua dengan bijaksana agar dapat bermanfaat buat diri masing-masing.
c. Disarankan agar dapat aktivitas fisik lebih khusus berolehraga
DAFTAR PUSTAKA
Alan, M. A, R. Leddin, N. Subhan, M. M. Rahman, P. Jain, and H. M Reza, 2013. Benefisial Role of Bitter Melon Supplementation in Obesity and Related Complication Metabolic yndrome. J. Lipids, 2015: 496169.
Chaput, J. P., Brunet. M, dan Tremblay, A. 2006. Relationship Betwen Short Sleeping Hours and Chilhood Overweight/Obesity: Result From The ‘Quebucen Forme’ Project. International Journal Of Obesity. Damopili, W. N. Mayulu, dan G. Masi.
2013. Hubungan Konsumsi Fast Food dengan Kejadia Obesitas pada Anak SD di Kota Manado. Ejournal Keperawatan Volume 1, Nomor 1. Agustus 2013.
Gibney, M.J., Margets., J.M. Kearney, and L. Arab. 2009. Gizi Kesehatan Masyarakat. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta.
Hadi, H. 2005. Beban Ganda Masalah Gizi Dan Implikasinya Terhadap Kebijakan Pembangunan Nasional. UGM. Jogjakarta.
Hadi, H. 2004. Gizi Lebih Sebagai Tantangan Baru dan Implikasinya Terhadap Kebijakan Pembangunan Kesehatan Nasional. Jurnal Gizi Klinik Indonesia, Volume I No. 2. November 2004.