• Tidak ada hasil yang ditemukan

Surat Kabar Harian PIKIRAN RAKYAT, terbit di Bandung, Edisi 3 Januari MENUJU PERGURUAN TINGGI INDONESIA BERKELAS DUNIA Oleh : Ki Supriyoko

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Surat Kabar Harian PIKIRAN RAKYAT, terbit di Bandung, Edisi 3 Januari MENUJU PERGURUAN TINGGI INDONESIA BERKELAS DUNIA Oleh : Ki Supriyoko"

Copied!
7
0
0

Teks penuh

(1)

MENUJU PERGURUAN TINGGI INDONESIA

BERKELAS DUNIA

Oleh : Ki Supriyoko

Sekitar dua puluh tiga abad yang lalu, atau tepatnya dalam kurun waktu tahun 427-347 SM, bertempat di Athena, Plato mendi-rikan forum pertemuan yang dihadiri oleh banyak orang yang pada saat itu disebut dengan academia. Forum yang dikelola Plato sampai akhir hayat inilah yang menjadi cikal-bakal keberadaan perguruan tinggi di dunia ini; dan Plato sendiri merupakan guru atau dosen pertama yang mengajar di perguruan tinggi.

Di dalam forum academia tersebut, peserta pertemuan diberi kebebasan untuk mengembangkan daya nalarnya melalui pendekatan "deductive-reasoning". Filsafat pendidikan Plato berangkat dari satu asumsi bahwa setiap orang memiliki karakter, kemampuan, dan kepentingan yang berbeda-beda; oleh karenanya pendidikan harus berupaya menemukan potensi alamiah setiap individu, dan kemudian mengembangkan potensi tersebut sehingga sanggup menjadi warga yang baik di tengah-tengah masyarakat, dan sanggup melaksanakan tugas-tugasnya secara efisien.

Lembaga semacam academia, yang berkembang menjadi per-guruan tinggi, selanjutnya banyak didirikan di Timur Tengah dan Eropa.

Pada jamannya kota-kota Bagdad, Kairo dan Kordova pernah memiliki perguruan tinggi yang diakui kredibilitasnya. Sekarang lembaga perguruan tinggi sudah menyebar di seluruh dunia. Meski- pun sudah melewati masa sejarah sekitar dua puluh tiga abad tetapi tujuan utama pendirian perguruan tinggi tidak pernah berubah; yaitu meningkatkan kualitas manusia supaya dapat berperan secara konkrit dan kontributif di tengah-tengah masyarakat.

Tata cara peningkatan kualitas manusia yang dikembangkan oleh Plato tersebut ternyata sangat efektif sampai hari ini. Secara empiris dapat kita lihat, negara-negara yang perguruan tingginya maju pada umumnya maju pula peri kehidupan masyarakat di negara yang bersangkutan. Sebagai contoh konkrit adalah Amerika Serikat (AS), Jepang dan Australia. Di tiga negara ini masyarakatnya maju karena perguruan tingginya juga maju. AS memiliki banyak pergu-ruan tinggi termashur seperti Harvard University, Iowa University, University of Syracuse, dsb; sedangkan Jepang

(2)

mempunyai Tokyo University, Kyoto University, Tohoku University, dsb. Sementara itu Australia memiliki Australian National University, University of Melbourne, University of New South Wales, dan sebagainya.

Kondisi Indonesia

Sekarang marilah kita melihat, sejauh mana kualitas manusia Indonesia dibandingkan dengan manusia lain, dan bagaimana dengan mutu perguruan tingginya.

Harus jujur diakui bahwa kualitas manusia Indonesia sampai kini masih jauh dari memadai. Kalau sampai kini kita belum mampu mengatasi krisis bangsa, hal itu tidak dapat dilepaskan dari belum memadainya kualitas manusia Indonesia. Memang indek pembangunan manusia Indonesia relatif rendah. Menurut informasi UNDP di dalam "Human Development Report 2000" dapat kita ketahui bahwa indek pembangunan manusia di Indonesia relatif rendah; bukan saja lebih rendah bila dibandingkan dengan negara maju tetapi juga lebih rendah dari negara-negara di Asia Tenggara pada umumnya.

Di dalam dokumen UNDP, Indonesia hanya menempati urutan ke-109 dari 174 negara anggota PBB yang distudinya. Tak ada satu pun negara di Asia Tenggara yang memiliki ranking lebih rendah dari Indonesia; Viet Nam ada di rangking ke-108, Philippina ke-77, Thailand ke-76, Malaysia ke-61, Brunei Darussalam ke-32, Singapura ke-24, sementara Australia sudah di ranking ke-4.

Kalau dikomparasi dengan hasil survei World Economic Forum (WEF) dalam

"Global Competitiveness Report 2000" mengenai daya saing ekonomi suatu negara

maka pencapaian keberhasilan Indonesia yang belum optimal memang wajar. Berdasar hasil survei tersebut, daya saing ekonomi kita juga berada pada peringkat yang belum optimal. Dalam dokumen WEF, daya saing Indonesia hanya berada pada rangking ke-44 dari 53 negara; sementara Malaysia sudah ada di ranking ke-25 dan Singapura ke-2.

Relatif rendahnya kualitas manusia Indonesia juga dapat di-lihat oleh banyak indikator yang lain; antara lain mengenai angka harapan hidup (life expectation), kemampuan membaca anak-anak (reading ability), tingkat buta huruf masyarakat

(illaterate rate), nilai pendidikan keluarga, dan sebagainya.

Dalam soal angka harapan hidup misalnya. Sekarang ini ang-ka harapan hidup Indonesia yang masih berada di sekitar angka 65 tahun ternyata berada jauh di bawah angka harapan hidup negara-negara maju seperti Jepang, AS, Jerman, Canada, Norwegia, dsb, yang pada umumnya sudah di atas angka 75 tahun. Negara-negara Malaysia, Singapura dan Brunai Darussalam pun angkanya sudah di atas 75 tahun.

Dalam hal kemampuan membaca anak-anak ternyata Indonesia juga di ranking bawah. Penelitian Vincent Greanery dalam "Literacy Standards in Indonesia" (1992) mengkonklusikan bahwa kemampuan baca anak-anak Indonesia di bawah anak-anak Philippina, Thailand, Singapura dan Hong Kong. Keadaan ini diperkuat oleh hasil

(3)

riset saya lima tahun lalu yang menyatakan bahwa masih banyak anggota masyarakat Sulawesi Selatan khususnya serta masyarakat Indonesia umumnya yang kemampuan membacanya relatif rendah.

Berbagai indikator tersebut di atas menunjukkan bahwasanya manusia Indonesia umumnya memang belum mempunyai kualitas yang tinggi dan menjanjikan, karena dibanding dengan negara-negara di Asia Tenggara saja masih berada dibawahnya.

Mutu Perguruan Tinggi

Sebagaimana dengan konvensi di bagian awal tulisan ini, ren-dahnya kualitas manusia Indonesia tidak lepas dari rendahnya mutu pendidikan tinggi. Rendahnya mutu pendidikan tinggi itulah yang menjadi determinan atas rendahnya kualitas manusia Indonesia.

Pada akhir tahun 1998 lalu Haneen Sayed, John Newman dan Peter Morrison dibantu oleh puluhan pakar atas nama Bank Dunia membuat laporan pendidikan tentang Indonesia dengan judul 'Edu-cation in Indonesia : From Crisis to Recovery'. Dari laporan yang terdiri dari tujuh bab tersebut hampir tak ada kalimat yang menunjukkan keberhasilan pendidikan di Indonesia. Inti dari laporan itu menyatakan bahwa pelaksanaan dan hasil pendidikan di Indonesia adalah tidak memuaskan:

unsatisfactory. Laporan ini juga memberi gambaran jelas tentang rendahnya kualitas

pendidikan di Indonesia pada umumnya.

Mengenai kualitas perguruan tinggi dapat dijelaskan antara lain dari hasil studi Asiaweek. Dari pelacakannya mengenai kualitas perguruan tinggi penyelenggara program Masters of Business Admi-nistration (MBA) di Asia dan Australia, dalam hal ini termasuk New Zealand, ternyata tidak ada satu pun perguruan tinggi di Indonesia yang berhasil menduduki peringkat dan layak disebut sebagai per-guruan tinggi berkelas dunia.

Untuk kategori reputasi dunia (international reputation) mi-salnya, dari 50 perguruan tinggi yang ada ternyata tidak ada satu pun berasal dari Indonesia. Ranking pertama adalah Indian Institute of Management (India) dan kedua adalah National University of Singapore Business School (Singapura). Kemudian Asian Institute of Management (Philippina) menduduki ranking ketiga; dan seterus-nya tak satu pun perguruan tinggi di Indonesia masuk didalamnya. Tidak juga program Magister Manajemen UI Jakarta, UGM Yogyakarta dan program serupa pada PTN dan PTS di Indonesia lainnya. Di dalam kategori yang lain pun kondisinya sama saja.

Dalam edisi berikutnya, Asiaweek kembali mengumumkan hasil studinya mengenai perguruan tinggi berkelas dunia untuk kategori umum (multi disciplinary) dan iptek (science and technology). Ha-silnya, lagi-lagi tidak ada perguruan tinggi Indonesia yang duduk dalam ranking terhormat. Pada kategori umum ternyata UI Jakarta, UGM Yogyakarta, Undip Semarang dan Unair Surabaya semuanya di peringkat sangat bawah; dalam hal ini peringkat di atas 60 dari 77 perguruan tinggi. Pada kategori iptek ternyata ITB hanya berada di peringkat 21 dari 39 perguruan

(4)

tinggi. Di dalam keadaan seperti ini sulit mendudukkan perguruan tinggi Indonesia di kelas dunia.

Indikator lain mengenai rendahnya mutu perguruan tinggi di Indonesia adalah sangat sedikitnya para sarjana lulusan perguruan tinggi kita yang tidak layak jual di pasar global.

Dalam suatu seminar nasional di Jakarta beberapa waktu lalu terungkap bahwa dari sekitar 700.000 insinyur atau sarjana teknik lulusan PTN dan PTS di Indonesia tidak memiliki sertifikat yang diakui oleh dunia internasional; akibatnya mereka tidak mampu ber-saing dengan insinyur dari manca negara untuk mengambil job-job yang ada di pasar global. Sarjana teknik kita banyak yang tidak berkutik menghadapi tantangan global (Supriyoko, "Nasib Sarjana Indonesia", PKR: 8/11/2000). Kiranya ini merupakan bukti lain atas rendahnya mutu perguruan tinggi kita pada umumnya. Perguruan tinggi kita benar-benar terpuruk secara akademis.

Lima Kebijakan

Mengapa mutu perguruan tinggi Indonesia sedemikian rendah bila dibanding dengan mutu perguruan tinggi di negara-negara lain pada umumnya? Salah satu determinannya ialah masalah dana. Dana memang menjadi masalah yang sangat dominan. Terbatasnya dana perguruan tinggi telah menyebabkan mandegnya berbagai aktivitas akademik perguruan tinggi yang pada gilirannya telah menghambat jalannya kereta mutu.

Apabila dibanding dengan jumlah dana pendidikan dasar dan menengah, secara umum dana pendidikan tinggi Indonesia memang lebih baik; hal ini dapat dilihat dari beberapa indikator finansial, antara lain menyangkut dana kegiatan, dana pengembangan, total pengeluaran lembaga, dsb. Seperti diketahui bersama dalam sistem finansial pendidikan Indonesia membedakan dua macam dana, yaitu dana kegiatan (recurrent budget) serta dana pengembangan (deve- lopment budget). Apabila dana kegiatan dialokasi pada pengeluaran rutin seperti gaji karyawan maka dana pengembangan untuk aktivi-tas pengembangan seperti membeayai studi lanjut dosen.

Mengacu laporan dari Asian Development Bank (ADB) dalam "Financing of

Education in Indonesia" (1998) ternyata perbandingan dana pendidikan di Indonesia

belum proporsional. Dalam kasus ini perguruan tinggi yang jumlah lembaganya paling sedikit menerima dana pengembangan paling banyak. Di sisi lain dari publikasi UNDP juga ditemukan hal yang senada; yaitu Indonesia termasuk tinggi di dalam mengalokasi anggaran untuk pendidikan tinggi, yaitu 25,1 persen dari total anggaran pendidikan. Negara-negara seperti Ma-laysia dan Thailand hanya 16,8 dan 19,4 persen.

Kiranya memang benar bahwa secara relatif perguruan tinggi di Indonesia menerima anggaran yang lebih tinggi dibanding dengan sekolah dasar dan menengah; meskipun demikian apabila dilihat dari angka mutlaknya ternyata dana

(5)

pengembangan perguruan tinggi di Indonesia, baik PTN maupun PTS, ternyata sangat sedikit. Hal ini terkait dengan rendahnya anggaran pendidikan nasional. Seperti diketahui, Indonesia termasuk negara yang paling rendah di dunia dalam mengalokasikan anggarannya untuk bidang pendidikan.

Dalam persoalan ketersedikitan dana tersebut ternyata bagi PTS mempunyai problematika tersendiri; yaitu sikap ketidakadilan pemerintah. Di satu sisi PTN diberi bantuan yang nilainya sangat tinggi, sementara itu di sisi lain PTS diberi bantuan yang nilainya sangat rendah. Bahkan banyak sekali PTS di negeri ini yang belum pernah sekali pun menerima bantuan finansial dari pemerintah.

Kompleksitas Dosen

Di samping masalah dana, determinan utama rendahnya mutu perguruan tinggi Indonesia adalah masalah dosen. Meskipun secara kuantitas, pemenuhan kebutuhan dosen pada perguruan tinggi In-donesia tidak terlalu memprihatinkan tetapi secara kualitas sangat menyedihkan. Secara umum mutu dosen di Indonesia masih jauh dari memuaskan.

Berbeda dengan dosen di perguruan tinggi asing yang secara akademik memiliki mutu yang baik maka kebanyakan dosen Indonesia belum mempunyai mutu yang memadai. Bila dibandingkan dengan Tokyo University di Jepang misalnya; para dosen di universitas ini hampir tidak ada yang berpendidikan sarjana S1 karena mereka itu umumnya berpendidikan master dan doktor. Pada beberapa fakultas bahkan lebih dari separoh dosennya sudah menjadi guru besar alias profesor. Sementara itu perguruan tinggi Indonesia masih sangat banyak memasang dosen berpendidikan S1 yang miskin pengalaman internasional.

Itulah sebabnya, sebagaimana yang dilaporkan oleh Asiaweek, maka perguruan tinggi asing memiliki rating yang tinggi dalam hal mutu dosen pada masing-masing fakultasnya; misalnya University of Hong Kong di ranking pertama, Cheng Kung University (Taiwan) rangking kedua, Tohoku University ranking ketiga,dsb. Sementara itu UI hanya ada di ranking ke-62, UGM ranking ke-77, dan Undip ranking ke-76 dalam hal mutu dosen.

Karena mutu dosen rendah maka hasil penelitiannya pun ada di ranking rendah pula. Dalam hal hasil penelitian maka UI, UGM, Undip dan Unair masing-masing berada di urutan ke-77, ke-69, ke-59, dan ke-75. Rendahnya ranking mutu perguruan tinggi berkore-lasi positif terhadap rendahnya mutu dosen, dan rendahnya mutu dosen berkorelasi positif terhadap ranking penelitian. Hal ini lebih meyakinkan bahwa dosen-dosen Indonesia kurang mempunyai penga-laman penelitian (research

experience) yang memadai.

Memang harus diakui bahwa sampai sekarang iklim penelitian belum tumbuh subur di lingkungan perguruan tinggi Indonesia. Hal ini tidak saja terjadi pada perguruan tinggi swasta tetapi juga pada mayoritas perguruan tinggi negeri. Celakanya; dosen lebih bangga menjadi pejabat seperti ketua program studi, ketua

(6)

jurusan, dekan fakultas maupun rektor perguruan tinggi daripada menjadi peneliti yang handal dan profesional. Lebih daripada itu kebanyakan dosen lebih bangga menjadi birokrat pemerintah seperti menjadi direktur, direktur jenderal, deputi, dsb, daripada menjadi peneliti ahli.

Keadaan seperti itu diperparah lagi dengan tidak lancarnya banyak dosen dalam berbahasa Inggris. Akibatnya, produk-produk ilmiah yang berskala internasional menjadi sangat rendah. Misalnya saja sangat sedikit dosen kita yang karyanya sering dimuat dalam jurnal ilmiah berskala dunia dan hampir tidak ada dosen kita yang menjadi anggota dewan dari penerbitan tingkat dunia. Para dosen Indonesia yang dipercaya menjadi konsultan di lembaga internasion-al seperti World Bank, UNDP, UNESCO, WHO, ADB, IDB, USAID, Aus-AID, dsb, pun relatif sangat sedikit jumlahnya.

Dengan kondisi seperti itu sulit bagi perguruan tinggi kita untuk menghasilkan lulusan berkualifikasi dunia; di samping juga wajar banyak sarjana kita yang tidak memiliki daya saing tangguh untuk berkompetisi memperebutkan job-job di pasar global.

Lima Kebijakan

Bahwa mutu perguruan tinggi Indonesia pada umumnya masih rendah dibanding perguruan tinggi di negara manca pada umumnya memang demikianlah adanya, dengan demikian sangat wajar apabila lulusannya tidak memiliki daya saing yang tangguh. Sudah saatnya kita harus memutukan perguruan tinggi Indonesia menjadi lembaga yang berkelas dunia agar nanti para lulusannya memiliki daya saing yang tangguh untuk merebut job-job dunia. Untuk merealisasi hal ini ada lima kebijakan yang harus ditempuh.

Pertama, perguruan tinggi di Indonesia harus dikelola secara bisnis dengan

mengaplikasi manajemen yang profesional. Pengelolaan seca-ra bisnis tidak berarti mengkomersialkan pendidikan, tetapi dengan pengelolaan secara bisnis akan diperoleh dana pendidikan yang me-madai dari berbagai sumber yang memungkinkan untuk menjalankan program-program pengembangan perguruan tinggi itu sendiri. Un-tuk dapat menghasilkan lulusan yang memiliki ketangguhan daya saing memang diperlukan beaya tinggi dan tidak mungkin dijalankan dengan dana murah.

Kedua, otonomi perguruan tinggi kita harus mulai dijalankan secara konkrit dan

proporsional. Di satu pihak pimpinan departemen pen-didikan atas nama pemerintah harus mau "melepaskan" otonomi aka-demik kepada perguruan tinggi secara lebih konkrit, dan di pihak yang lain pimpinan perguruan tinggi harus mulai berani mengambil keputusan-keputusan akademis dengan mengurangi ketergantungan kepada pemerintah.

Ketiga, sistem evaluasi dan akreditasi harus dikembangkan ke arah yang lebih

objektif dan transparan. Kehadiran BAN perlu ditinjau ulang karena keberadaannya merupakan representasi dari lembaga yang tidak independen dan mandiri. Ke depan,

(7)

sistem evaluasi dan akreditasi dapat dilakukan oleh perguruan tinggi itu sendiri serta badan yang independen dan profesional, seperti asosiasi keilmuan, organisasi profesi, dan/atau badan kerja sama disiplin sejenis antar perguruan tinggi.

Keempat, proses belajar mengajar atau sistem perkuliahan di pergu-ruan tinggi

hendaknya disampaikan dengan memakai Bahasa Inggris sebagai bahasa internasional yang telah disepakati oleh masyarakat dunia. Hal ini dimaksudkan, di satu pihak publikasi internasional dapat ditingkatkan produktivitasnya, dan di lain pihak lulusan per-guruan tinggi kita kelak tidak lagi menghadapi kendala komunikasi dalam kiprahnya bersama masyarakat internasional lainnya. Implikasinya seluruh dosen perguruan tinggi kita harus menguasai Bahasa Inggris secara aktif.

Kelima, pimpinan perguruan tinggi harus selektif terhadap kualifikasi para dosennya.

Hanya mereka yang berkualifikasi master atau magister dan doktor yang berhak mengajar pada perguruan tinggi. Hanya dengan dosen yang berkualitas dan memiliki kualifikasi aka-demik secara memadai maka dapat dihasilkan lulusan yang memiliki ketangguhan daya saing. Lulusan yang memiliki ketangguhan daya saing inilah manifestasi dari konsep akuntabilitas perguruan tinggi

kepada masyarakat.

Kelima kebijakan tersebut harus dilaksanakan secara integratif, sistematis dan penuh semangat; oleh karena hanya dengan cara itulah kita dapat menghantarkan perguruan tinggi Indonesia menjadi lembaga yang berkelas dunia !!!*****

--- BIODATA SINGKAT:

* Prof. DR. Ki Supriyoko, M.Pd.

* Ketua Pendidikan dan Kebudayaan Majelis Luhur Tamansiswa dan Anggota Badan Pertimbangan Pendidikan Nasional (BPPN)

* Pengamat dan peneliti masalah-masalah pendidikan

Referensi

Dokumen terkait

Perjanjian Kinerja Inspektorat Kabupaten Kotabaru merupakan lembar/dokumen yang berisikan penugasan dari Bupati Kotabaru kepada Inspektur Kabupaten Kotabaru untuk

34 LAPORAN KINERJA BALITSEREAL 2015 Sasaran 3 telah dicapai melalui kegiatan “ Perakitan Teknologi Produksi Jagung Mendukung Pertanian Bioindustri dan Peningkatan

pemilik dana, dan bank bertindak sebagai mudharib atau pengelola dana. Dalam kapasitasnya sebagai mudharib, bank dapat melakukan berbagai macam usaha yang tidak

Skripsi ini berjudul Representasi Kemiskinan pada tayangan Reality Show (Analisis Semiotika pada Program Acara Orang Pinggiran Trans 7) merupakan karya ilmiah yang disusun

 Adanya berbagai perguruan tinggi, baik perguruan tinggi dalam negeri maupun luar negeri maupun manca negara yang giat menawarkan Program Studi sejenis terutama

Pada umumnya, mahasiswa memilih perguruan tinggi berdasarkan ketertarikannya. Ini berkaitan dengan pemahaman awal yang mereka ketahui tentang perguruan tinggi yang akan

(grammar; Simple present tense, Past tense, Future tense dan Perfect tense, ungkapan dan fungsi bahasa (functional language; memperkenalkan diri, mendiskripsikan

membuka menu transaksi penjualan barang dan memasukan nama barang yang dibuthukan konsumen menampilkan kode barang, harga barang dan jumlah barang yang