• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERKEBUNAN KELAPA RAKYAT DAN DAMPAK EKONOMISNYA TERHADAP PETANI KELAPA DI JAWA TIMUR PADA AWAL ABAD XX

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PERKEBUNAN KELAPA RAKYAT DAN DAMPAK EKONOMISNYA TERHADAP PETANI KELAPA DI JAWA TIMUR PADA AWAL ABAD XX"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

PERKEBUNAN KELAPA RAKYAT DAN DAMPAK

EKONOMISNYA TERHADAP PETANI KELAPA DI JAWA TIMUR

PADA AWAL ABAD XX

Rucianawati

Peneliti Bidang Asia Tenggara pada Pusat Penelitian Sumberdaya Regional LIPI

Abstract: In the early twentieth century copra became one of the important export commodities in the Netherlands Indies. World demand was increasing along with the development of technology for its processing. Coconut products were not only for export but also for the interests of domestic industry. The increasing world demand for copra has consequences on the rise in commodity prices. But the rising standards of living of the coconut farmers were not comparable with the rising prices of coconut products in international markets. In the trade network, the middleman was the most widely reap the benefits. Coconut farmers are exploited by various bonding systems such as contracts, lien system, and retainer system.

Key Words: coconut plantation, copra, East Java, middleman

Indonesia pada masa kolonial adalah negara agraris yang mengandalkan perekonomian dari sektor pertanian dan perkebunan. Kondisi alamnya sangat mendukung untuk pembudidayaan berbagai tanaman per-kebunan seperti kopi, teh, lada, tebu, dan tembakau. Pemerintah kolonial Belanda mengambil kesempatan dengan menerapkan berbagai kebijakan misalnya sistem tanam paksa, yang bertujuan untuk memperoleh keuntungan yang maksimal. Sebagai hasilnya pemerintah kolonial Belanda mendapat banyak keuntungan yang kemudian dibawa ke negeri induknya. Dampak lain dari pengenalan industri perkebunan bahwa masyarakat juga mulai mengenal sistem moneter

Sejak penerapan politik pintu terbuka oleh pemerintah kolonial Belanda, kegiatan perekonomian mengalami perkembangan pesat. Perusahaan perkebunan semakin berkembang, demikian juga dengan kegiatan ekspor-impor. Sebagaimana daerah per-kebunan lain di Nusantara, Jawa Timur juga mengalami perkembangan pesat. Selain perkebunan tebu, pada masa ini kopra

sebagai hasil dari perkebunan kelapa menjadi satu komoditi penting. Oleh karena itu masyarakat berusaha untuk memperluas penanamannya. Pada mulanya tanaman kelapa hanyalah merupakan tanaman pekarangan, namun dalam perkembangannya tanaman ini dibudidayakan sebagai salah satu tanaman perkebunan.

Berdasarkan pada latar belakang tersebut, tulisan ini bertujuan untuk melihat lebih jauh bagaimana arti ekonomis per-kebunan kelapa bagi masyarakat di Jawa Timur pada awal abad XX. Hasil utama dari perkebunan kelapa rakyat yang menjadi komoditi penting adalah kopra dan minyak kelapa. Pada awal abad XX, ekspor terus meningkat seiring dengan meningkatnya permintaan dari negara-negara Eropa. Dari sini tentunya dapat dilihat bagaimana jaringan perdagangan hasil perkebunan kelapa rakyat hingga sampai ke pasar internasional. Apakah besarnya produksi membawa dampak yang bagus terhadap taraf hidup petani?

Industri perkebunan dan jaringan pemasaran hasil perkebunan kelapa rakyat

(2)

tentu melibatkan berbagai pihak, antara lain petani, pedagang perantara, pemilik perusahaan, eksportir, pedagang pengecer, dan sebagainya. Dari keterlibatan berbagai pihak ini akan sangat menarik untuk melihat siapa yang paling diuntungkan dalam bisnis ini? Selain itu juga perlu dilihat bagaimana perhatian pemerintah terhadap perkebunan kelapa rakyat?

Tulisan ini akan dibatasi pada perkebunan kelapa milik rakyat di Jawa Timur, tidak termasuk perkebunan besar yang dikelola oleh perusahaan. Jadi tulisan ini akan melihat sejarah dari akar rumput, yaitu dari golongan masyarakat bawah. Namun demikian peran pihak-pihak terkait seperti pedagang dan pemerintah tidak akan diabaikan. Dimensi temporal dalam tulisan ini dibatasi pada awal abad XX, ketika kopra muncul sebagai salah satu komoditi ekspor yang penting di Jawa Timur. Karena batas temporal tersebut penelitian dalam tulisan ini dilakukan dengan studi literatur, khususnya dari buku, laporan, ataupun artikel yang berkaitan dengan perkebunan kelapa rakyat pada awal abad XX, misalnya dari laporan Departemen van Landbouw, Nijverheid & Handel, Memori Serah Jabatan, maupun artikel dari Koloniale Studien.

A. Demografi Daerah Jawa Timur pada Awal Abad XX

Pada awal abad XX daerah Jawa Timur terbagi dalam enam wilayah karesidenan, yaitu Karesidenan Surabaya, Madiun, Kediri, Pasuruan, Besuki, dan Madura. Secara demografis penduduk Jawa Timur dapat dibedakan dalam beberapa kelompok yaitu penduduk asli yang sebagian besar me-rupakan suku bangsa Jawa, para pendatang dari Madura, bangsa Eropa yang menjadi pejabat pemerintah atau pengusaha, serta orang Timut Asing yang biasanya menjadi pedagang atau rentenir. Orang Madura telah datang ke daerah Jawa Timur sejak jauh sebelum kedatangan bangsa Eropa. Tujuannya antara lain adalah perdagangan, ekspedisi militer, maupun hubungan pekerjaan. Bangsa Eropa dan Cina sebagian besar datang ke daerah Jawa Timur ketika perusahaan-perusahaan perkebunan mulai berkembang pesat.

Pada pertengahan abad XIX sampai awal abad XX sebagian besar penduduk Jawa Timur terkonsentrasi di daerah-daerah perkebunan seperti Malang sebagai daerah perkebunan kopi, Pasuruan dengan per-kebunan tebu, dan Surabaya sebagai kota pelabuhan. Perkembangan jumlah penduduk pribumi di daerah Jawa Timur pada awal abad XX dapat dilihat dalam table berikut:

Tabel 1: Populasi Penduduk Pribumi di Daerah Jawa Timur

Tahun Karesidenan

Surabaya Madiun Kediri Pasuruan Besuki Madura 1915 2.443.517 1.553.336 2.092.221 2.007.362 1.135.416 1.741.410 1920 2.396.520 1.586.008 1.990.538 2.211.235 1.484.555 1.736.651 1925 2.471.903 1.680.279 2.129.353 2.192.034 1.515.800 1.780.367 Sumber: P. Boomgard dan A.J. Goozzen (ed.), Population Trends 1795 – 1942 (Amsterdam: Royal Tropical Institute, 1991), hal. 118 – 121.

Dari tabel di atas terlihat bahwa jumlah penduduk Surabaya, Kediri, dan Pasuruan

yang merupakan daerah sentra perkebunan melebihi daerah-daerah lainnya. Perkebunan

(3)

tampaknya menjadi daya tarik bagi penduduk untuk bermigrasi dan mengisi kekosongan tenaga kerja. Selain penduduk pribumi, populasi penduduk asing yang terbanyak

juga terdapat di ketiga wilayah tersebut. Pada tahun 1920 jumlah penduduk asing di Jawa Timur dapat dilihat dalam table berikut;

Tabel 2: Populasi Penduduk Asing di Daerah Jawa Timur pada tahun 1920

Bangsa Karesidenan

Surabaya Madiun Kediri Pasuruan Besuki Madura

Eropa 21.065 2.420 4.494 9.371 2.973 809

Cina 36.079 6.097 16.715 17.896 8.509 4.396

Timur Asing lainnya

6.516 130 246 2.729 2.828 1.960

Sumber: P. Boomgard dan A.J. Goozzen (ed.), Population Trends 1795 – 1942 (Amsterdam: Royal Tropical Institute, 1991), hal. 118 – 121.

Tabel di atas menunjukkan bahwa populasi penduduk asing di Jawa Timur didominasi oleh etnis Cina. Jumlah bangsa Eropa terlihat cukup banyak di Surabaya. Orang Timur Asing lain (misalnya bangsa Arab, India, Jepang) juga banyak jumlahnya di Surabaya. Surabaya mempunyai jumlah penduduk yang terbesar debandingkan dengan daerah lain, antara lain didukung oleh perkembangan pelabuhan Surabaya sebagai pelabuhan ekspor-impor yang telah men-ciptakan lapangan kerja yang cukup luas. Dengan demikian arus migrasi dengan motif ekonomi semakin kuat ke daerah ini.

Jika penduduk Eropa maupun Timur Asing datang sebagai pengusaha ataupun pedagang, maka penduduk pribumi sebagian besar menggantungkan hidupnya dari sektor pertanian. Berbagai kebijakan yang di-terapkan oleh pemerintah kolonial secara umum tidak membuat para petani men-dapatkan kehidupan yang lebih baik karena sebagian besar tanah dikuasai oleh kaum kapitalis maupun para priyayi. Sebagaimana teori yang dikemukakan oleh Geertz tentang involusi pertanian, para petani yang memiliki keterbatasan lahan tidak bisa

mengembang-kan usahanya lebih luas, dan hasil per-taniannya hanya bersifat subsistensi. Petani tidak bisa dengan leluasa mengerjakan tanahnya karena kaum kapitalis dengan memperalat kepala desa selalu berusaha untuk mencari tanah sewa dan tenaga kerja yang murah. Tanah yang benar-benar bisa dikerjakan oleh para petani sendiri dan menjadi hak miliknya hanyalah tanah pekarangan atau tegalan. Dari tanah pekarangan yang dikerjakan, salah satu tanaman yang bisa dikembangkan adalah kelapa.

B. Sejarah Pengembangan Perkebunan Kelapa

Dalam catatan sejarah diketahui bahwa tanaman kelapa sudah dikenal sejak ratusan, bahkan ribuan tahun lalu. Salah satu petunjuk yang bisa digunakan adalah adanya pahatan pohon-pohon kelapa pada relief dinding Candi Borobudur.1 Hal ini berarti bahwa tanaman kelapa telah dibudidayakan di Jawa sejak sebelum abad ke-9 Masehi. Sumber lain juga menyebutkan bahwa ketika agama Islam telah menyebar luas, yaitu sejak sekitar abad XV, tanaman kelapa telah banyak ditanam di Jawa Timur. Pada masa itu ada

(4)

kesepakatan dari para bupati bahwa siapa saja yang akan menikah bagi pihak calon pengantin pria harus membawa dua benih kelapa (cikal) untuk diserahkan kepada penghulu. Selanjutnya cikal yang sudah terkumpul dibagi-bagikan kepada penduduk untuk ditanam. Kebijakan tersebut tak lain karena besarnya manfaat tanaman kelapa. Peraturan tersebut masih berlaku kira-kira sampai tahun 1890.2

Tidak seperti komoditi lain, perkebunan kelapa sebagian besar dikuasai oleh rakyat, bukan perkebunan besar. Pada masa kolonial perkebunan besar hanya mampu menyumbang 5%-6% dari total ekspor, dan sisanya merupakan hasil dari perkebunan rakyat.3 Dalam catatan sejarah bahkan ditemukan bahwa hasil kelapa merupakan produksi dari perkebunan rakyat pertama yang diekspor ke pasaran internasional. Transaksi perdagangan minyak kelapa antara

penduduk pribumi dengan Belanda telah dimulai sejak jaman VOC.4 Sumber lain menyebutkan bahwa ekspor kopra dari Jawa telah dimulai sejak tahun 1862/1863 dengan tujuan Amsterdam.5

Perkebunan kelapa rakyat di daerah Jawa Timur diperkirakan mulai berkembang sejak akhir abad XIX, ketika pemerintah kolonial Belanda mengeluarkan peraturan khusus tentang tanaman kelapa. Pemerintah menganjurkan penanaman pohon kelapa dan melarang penebangan pohon yang masih produktif untuk keperluan proyek pemerintah.6 Dalam laporan pemerintah pada awal abad XX disebutkan bahwa di Pasuruan, terutama di Distrik Lumajang terdapat beberapa orang yang memiliki perkebunan kelapa yang cukup luas.7 Beberapa daerah di Jawa Timur pada tahun 1914 memiliki sejumlah perkebunan kelapa yang besar, antara lain:

Tabel 3: Penyebaran Perkebunan Kelapa di Jawa Timur pada tahun 1914

Daerah Jumlah perkebunan

Besuki 10

Pasuruan 9

Kediri 7

Surabaya 2

Madiun 1

Sumber: Departemen van Landbouw, Nijverheid & Handel, Copra Productie en Copra Handel (Batavia: N.V. Uitgevers Maatschappij “Papyrus”, 1915.

Besuki, Pasuruan dan Kediri pada awal abad XX dapat dikatakan menjadi sentra pengembangan perkebunan kelapa. Se-panjang tahun 1925 – 1936, perkembangan luas tanaman kelapa di Jawa Timur didominasi oleh daerah Kediri, Besuki, Blitar dan Jember. Di daerah Kediri sampai tahun 1933 tercatat luas tanaman kelapa lebih dari

1000 ha.8 Melihat perkembangan tersebut, tentunya dapat dibayangkan adanya hasil yang melimpah yang bisa membawa kesejahteraan kepada petani kelapa. Namun demikian keuntungan terbanyak belum tentu berada di tangan petani. Jaringan per-dagangan hasil perkebunan kelapa rakyat yang dipaparkan dalam bagian berikut sedikit

(5)

banyak mampu menggambarkan kondisi para petani kelapa di Jawa Timur pada awal abad XX.

C. Arti Ekonomis dan Jaringan Per-dagangan Hasil Perkebunan Kelapa Rakyat

Berdasarkan uraian pada bagian se-belumnya, dapat diketahui bahwa per-kebunan kelapa rakyat di Jawa Timur mengalami pertumbuhan yang cukup pesat pada awal abad XX. Perluasan perkebunan kelapa seharusnya memberikan lebih banyak keuntungan bagi petani. Selain sebagai sumber penghasilan utama, perkebunan kelapa juga bisa menjadi sumber penghasilan tambahan karena tidak memerlukan perawatan yang intensif. Petani kelapa masih bisa mengerjakan sawahnya sebagai sumber penghasilan pokok. Keuntungan ekonomis lain juga bisa didapatkan dari tanaman sampingan yang dapat ditanam bersamaan dengan pohon kelapa, misalnya kapuk dan karet.

Hasil tanaman kelapa secara ekonomis dapat diperhitungkan sebagai berikut; satu butir kelapa pada awal abad XX kira-kira seharga 7 sen. Satu pohon kelapa produktif mampu menghasilkan sekitar 50 butir kelapa per tahun. Dengan demikian satu pohon kelapa dalam satu tahun mampu meng-hasilkan ƒ3,5 (50 butir x 7 sen). Jika satu hektar lahan dapat ditanami sekitar 156 batang kelapa, maka hasil dari satu hektar perkebunan kelapa per tahun adalah ƒ546 (156 x ƒ3,5). Nilai tersebut cukup besar dan semestinya dapat meningkatkan kesejahtera-an para petkesejahtera-ani kelapa karena biaya ykesejahtera-ang dikeluarkan untuk pemeliharaan kebun kelapa juga tidak banyak. Untuk mengurus satu hektar perkebunan kelapa hanya diperlukan 2-3 orang pekerja dengan upah ƒ3 – ƒ7,5 per bulan untuk tiap pekerja. Oleh karena itu kelapa bisa menjadi sumber penghasilan utama yang dapat mencukupi kebutuhan hidup petani kelapa.

Dalam kenyataannya sebagian besar petani tidak dapat memperoleh keuntungan yang lebih, walaupun harga kelapa mengalami kenaikan. Banyak diantara petani kelapa yang terjerat lingkaran hutang dengan para tengkulaknya. Jika harga kelapa naik tajam, pedagang perantara yang meraup banyak keuntungan, sedangkan jika harga merosot para petani yang paling parah merasakan dampaknya. Pasang surut harga produk kelapa yang disebabkan oleh beberapa peristiwa seperti Perang Dunia I, krisis ekonomi dunia, maupun faktor-faktor alamiah seperti bencana alam ataupun kekeringan seringkali dimanfaatkan oleh para pedagang perantara untuk mempermainkan harga.

Hasil perkebunan kelapa rakyat biasanya dijual dalam beberapa bentuk yaitu: kelapa segar, kopra, minyak kelapa, dan gula kelapa.. Hampir seluruh penjualan melalui tengkulak atau pedagang perantara. Per-dagangan hasil perkebunan kelapa rakyat di Jawa Timur terbagi dalam beberapa jalur sebagai berikut:

 Petani kelapa  tengkulak  konsumen

 Petani kelapa  tengkulak/ pengusaha kopra  eksportir

 Petani kelapa  tengkulak/ pengusaha kopra  perusahaan minyak kelapa  eksportir

 Petani kelapa  tengkulak/ pengusaha kopra  perusahaan minyak kelapa  pedagang besar  pengecer  konsumen

Produk kelapa yang berupa kopra dan minyak kelapa yang dihasilkan oleh petani kelapa biasanya memiliki kualitas yang kurang bagus jika dibandingkan dengan produk dari perusahaan besar. Petani kelapa melakukan pengolahan secara tradisional sedangkan perusahaan besar memiliki dan menggunakan peralatan yang lebih modern. Oleh karena itu harga produk kelapa rakyat

(6)

lebih rendah daripada produksi pabrik. Disamping itu untuk menghasilkan jumlah yang sama, perusahaan pengolah minyak kelapa juga memerlukan kopra yang lebih sedikit dibanding pengolahan secara tradisional. Sebagai contoh untuk meng-hasilkan 100 kg minyak kelapa, pengolahan secara tradisional memerlukan sekitar 200 kg kopra, sedangkan pengolahan secara modern hanya memerlukan sekitar 160 kg kopra. Pengolahan secara modern juga meng-hasilkan produk sampingan, yaitu ampas atau bungkil kopra yang masih bisa dijual, bahkan diekspor.9

Kemajuan teknologi dalam pengolahan hasil kelapa membawa dampak negatif dan positif terhadap masyarakat. Di satu sisi, perkembangan industri dapat menghancurkan usaha-usaha tradisional, namun di sisi lain kemajuan teknologi mendorong munculnya perusahaan-perusahaan modern yang nanti-nya juga menciptakan lapangan kerja bagi masyarakat. Dalam kaitannya dengan industri pengolahan kelapa, munculnya industri yang modern telah menggeser posisi industri tradisional. Untuk kebutuhan ekspor maupun untuk konsumsi masyarakat, produk dari industri modern lebih dipilih karena mutunya lebih bagus. Hal ini berakibat pada kemunduran industri tradisional. Namun demikian berkembangnya industri modern juga berdampak pada meningkatnya permintaan kelapa segar untuk kebutuhan perusahaan. Oleh karena itu para petani kelapa berusaha memperluas penanaman untuk meningkatkan produksinya.

Perusahaan pengolah kelapa yang modern di Jawa Timur sebagian besar dimiliki oleh orang Eropa atau Timur Asing. Dalam jaringan perdagangannya, para tengkulak atau pedagang perantara baik dalam skala kecil ataupun besar didominasi oleh orang Cina, Arab, pengusaha Eropa, dan beberapa orang kaya pribumi. Selain sebagai pedagang perantara seringkali mereka juga bertindak sebagai pengusaha kopra. Di

beberapa daerah seperti Tulung Agung dan Ponorogo terdapat juga beberapa orang Jepang yang berprofesi sebagai pedagang perantara.10 Dalam jaringan perdagangan tersebut terdapat persaingan antara para tengkulak terutama yang mewakili keperluan pabrik minyak lokal dan eksportir kopra. Dengan persaingan ini seharusnya petani kelapa memiliki nilai tawar yang tinggi. Posisi tersebut bisa semakin kuat karena petani tidak harus menjual hasil kebunnya, namun bisa mengolahnya sendiri, misalnya untuk pembuatan minyak kelapa.11 Dalam kenyataannya para petani kelapa tidak dapat meningkatkan taraf hidupnya karena adanya jeratan hutang dengan para rentenir. Dalam pemasaran kopra atau minyak kelapa yang diproduksi sendiri, para petani juga tidak bisa mendapatkan keuntungan yang maksimal karena mutunya berada di bawah kopra atau minyak kelapa yang dihasilkan oleh pengusaha Timur Asing dan Eropa yang memiliki teknologi yang lebih memadai.

Menghadapi permasalahan petani kelapa tersebut, pemerintah kolonial telah mem-berikan perhatian terhadap cara pengelolaan perkebunan dan cara pengolahan kelapa. Pemerintah mengeluarkan peraturan yang dimaksudkan untuk meningkatkan kuantitas dan kualitas hasil perkebunan kelapa. Dalam pemeliharaan perkebunan kelapa, pemerintah mengeluarkan peraturan antara lain tentang kewajiban membersihkan kebun kelapa dan pengaturan jarak tanam. Selain itu pemerintah juga membantu memberantas hama tupai dan tikus kelapa sebagaimana yang pernah dilakukan oleh Pangreh Praja di Ponorogo pada tahun 1929 dengan mem-bantu desa untuk membeli senjata api untuk memberantas tupai.12

Dalam proses pembuatan kopra pemerintah juga melakukan propaganda untuk menggunakan alat pengering yang lebih baik. Hal ini dilakukan karena masalah utama rendahnya mutu kopra yang di-produksi oleh para petani kelapa adalah

(7)

pengeringan yang kurang baik sehingga kandungan airnya masih banyak dan kopra akan cepat busuk. Dengan perbaikan kualitas, kopra rakyat diharapkan mampu bersaing dengan kopra yang dihasilkan oleh pengusaha Timur Asing atau Eropa.

Jika melihat perkembangan industri kelapa pada awal abad XX seharusnya petani kelapa mampu memperbaiki taraf hidupnya mengingat perkebunan kelapa sebagian besar berada di tangan rakyat. Petani kelapa bisa memperoleh keuntungan ganda, yaitu sebagai petani kelapa murni ataupun petani sekaligus pengusaha kopra dan minyak kelapa. Namun dalam kenyataannya petani kelapa tidak muncul sebagai kelompok petani kaya karena dalam jaringan per-dagangannya pihak yang paling diuntungkan adalah para pedagang perantara yang sebagian besar adalah orang Timur Asing. Meraka biasanya mengadakan sistem gadai atau sistem kontrak untuk mengikat para petani. Dengan demikian harga kelapa atau kopra lebih ditentukan atau dikendalikan oleh para pedagang perantara. Sebagian besar pedagang perantara juga berperan sebagai kreditor yang memberikan pinjaman uang kepada petani dalam jangka waktu tertentu dengan jaminan hak untuk memetik sejumlah pohon kelapa. Resiko pencurian atau kerugian akibat hama atau tikus kelapa menjadi beban petani kelapa.13 Peraturan tersebut terlihat tidak seimbang di mana petani kelapa menjadi pihak yang menang-gung beban kerugian. Akan tetapi mereka tidak bisa menolak karena posisinya berada di pihak yang lemah, yaitu sebagai debitor.

Para pedagang perantara juga dapat melakukan sistem panjar misalnya dalam waktu enam bulan di depan. Jadi sebelum masa panen kelapa tiba, para petani telah diberikan uang panjar dalam jumlah tertentu. Para petani yang cenderung konsumtif akan cepat menghabiskan uang panjar tersebut dan akan memperpanjang kontrak dengan meminta uang panjar untuk periode

berikut-nya. Kondisi yang terus berulang ini di satu sisi akan memperkuat posisi pedagang perantara, namun di sisi lain akan menyulit-kan posisi petani untuk terlepas dari ikatan kontrak dengan pedagang perantara.14 Keadaan para petani kelapa menjadi semakin parah dengan kecerobohan mereka dalam mengatur pengeluaran rumah tangga. Beberapa orang diantara mereka sering terlibat dalam perjudian sehingga penghasil-an merek akpenghasil-an cepat habis di meja judi. Jumlah pengeluaran terkadang jauh di atas pemasukan sehingga untuk memenuhi kebutuhannya mereka mencari pinjaman uang kepada para tengkulak.

Para pedagang perantara sendiri biasanya juga telah memiliki ikatan kontrak dengan eksportir atau perusahaan minyak kelapa. Mereka harus menyetor kopra atau kelapa dalam jumlah tertentu. Untuk memenuhi target yang harus disetor tak jarang mereka menerima buah kelapa yang belum matang sehingga mutunya kurang bagus. Jika mereka tidak menerima maka dikhawatirkan para pe-tani akan menjual kepada pihak lain. Dalam masa itu persaingan antar pedagang perantara memang cukup ketat, apalagi ketika harga kelapa meningkat. Oleh karena itu tak mengherankan jika para tengkulak tersebut berusaha untuk selalu mengadakan kontrak atau ‘mengikat’ petani kelapa dengan dengan sistem panjar, gadai, ataupun memberikan pinjaman agar petani kelapa tidak menjual hasil kelapanya kepada pihak lain.

D. Kesimpulan

Pada awal abad XX Hindia Belanda menjadi negara pengekspor produk-produk perkebunan seperti kopi, tembakau, karet, dan sebagainya. Dalam masa ini kopra muncul sebagai salah satu komoditi ekspor yang cukup penting di Hindia Belanda. Produk kelapa ini tidak hanya untuk kepen-tingan ekspor namun juga untuk kepenkepen-tingan industri dalam negeri. Pada masa itu produk-si kopra kurang lebih 2/3 untuk diekspor dan

(8)

1/3 untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri.

Seiring dengan perkembangan tek-nologi dalam pengolahan produk kelapa, permintaan kopra dunia semakin meningkat. Hal ini membawa konsekuensi pada kenai-kan harga komoditi tersebut. Akenai-kan tetapi kenaikan taraf hidup para petani kelapa tidak sebanding dengan kenaikan harga produk kelapa di pasar internasional. Petani berada di posisi yang lemah karena adanya jeratan hutang dari para rentenir yang tak lain adalah para pedagang perantara. Pedagang perantara yang sebagian besar orang Timur Asing dapat meraup banyak keuntungan dari para petani kelapa dan cenderung mengeksploitasi petani dengan berbagai ikatan seperti sistem kontrak, sistem gadai, dan sistem panjar.

Daftar Pustaka:

Boomgard, P. dan A.J. Goozzen (ed.). 1991.

Population Trends 1795 – 1942. Amsterdam:Royal Tropical Institute. Departemen van Landbouw, Nijverheid &

Handel, De Landbouwexport

Gewassen van Nederlandsch-Indie, 1925 – 1936.

Hutteman, Jansen. 1928. “Cocosolie-Industrie in Nederlandsch Oost Indie”,

Koloniale Studien, Jilid I.

Koff, G.H. van der. 1921. “Overheidsbemoeienis met de bij klappercultuur der Indlansche bevolking betroken belangen”,

Koloniale Studien, Jilid I.

Memori Serah Jabatan 1921 – 1930. Jawa Timur dan Tanah Kerajaan. 1978. Jakarta: ANRI.

Reyne, A. 1985. Kelapa. Terj. Haryono Semangun dan Aziz Lahiya. Yogyakarta: LPP.

Setyamidjaja, Djoehana. 1991. Bertanam Kelapa. Yogyakarta: Kanisius.

Wijs, J.J.A. 1913. “Oliegewassen”, dalam K.V. van Gorkom, Oost-Indische Cultures. Amsterdam: J.H. de Bussy. Winoto, Tirto Adi. 1904. Perihal Goenanja

dan Penanemnja Kalapa. Batavia: Landsdrukkerij

1 Reyne, Kelapa. Terj. Haryono Semangun dan Aziz Lahiya (Yogyakarta: LPP, 1985), hal. 2.

2 Tirto Adi Winoto, Perihal Goenanja dan Penanemnja Kalapa (Batavia Landsdrukkerij, 1904), hal. 8-9. 3 Reyne, Kelapa. Terj. Haryono Semangun dan Aziz Lahiya (Yogyakarta: LPP, 1985), hal. 5.

4 Djoehana Setyamidjaja, Bertanam Kelapa (Yogyakarta: Kanisius, 1991), hal. 8.

5 Reyne, Kelapa. Terj. Haryono Semangun dan Aziz Lahiya (Yogyakarta: LPP, 1985), hal. 3-5. 6 J.J.A. Wijs, “Oliegewassen”, dalam K.V. van Gorkom, Oost-Indische Cultures (Amsterdam: J.H. de Bussy, 1913), hlm. 194-195.

7Memori Serah Jabatan 1921-1930. Jawa Timur dan Tanah Kerajaan (Jakarta: ANRI, 1978), hal. LV. 8 Departemen van Landbouw, Nijverheid & Handel, De Landbouwexport Gewassen van

Nederlandsch-Indie, 1925 – 1936.

9 Jansen Hutteman, “Cocosolie-Industrie in Nederlandsch Oost Indie”, Koloniale Studien, Jilid I, 1928, hal. 305.

10Memori Serah Jabatan 1921 – 1930. Jawa Timur dan Tanah Kerajaan (Jakarta: ANRI, 1978), hal. XXXIX dan CXCVII.

11 Jansen Hutteman, “Cocosolie-Industrie in Nederlandsch Oost Indie”, Koloniale Studien, Jilid I, 1928, hal. 303-304.

12Memori Serah Jabatan 1921 – 1930. Jawa Timur dan Tanah Kerajaan (Jakarta: ANRI, 1978), hal. CCIV.

13 G.H. van der Koff, “Overheidsbemoeienis met de bij klappercultuur der Indlansche bevolking betroken belangen”, Koloniale Studien, Jilid I, 1921, hal. 193.

14 J.J.A. Wijs, “Oliegewassen”, dalam K.V. van Gorkom, Oost-Indische Cultures (Amsterdam: J.H. de Bussy, 1913), hlm. 221.

Gambar

Tabel 1: Populasi Penduduk Pribumi di Daerah Jawa Timur
Tabel 2: Populasi Penduduk Asing di Daerah Jawa Timur pada tahun 1920

Referensi

Dokumen terkait

Pada tahap ini dilakukan pembuatan saus buah merah dengan lima formulasi penambahan bahan pengental yang berbeda yaitu, pati ubi jalar (F1), tepung ubi jalar (F2), ubi jalar parut

“Evaluasi Sistem Manajemen Strategik Berbasis Balanced Scorecard.” Program Pascasarjana Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Gadjah Mada.. Tunggal, Ak.MBA, Amin

Nilai tambah (value added) yang dihasilkan dari pengolahan kolang kaling adalah sebesar Rp 1.487.076,72 per bulan di daerah penelitian dan tingkat rasio nilai tambah

Age Specific Fertility Rate = ASFR )….. Membutuhkan data yang terperinci yaitu banyaknya kelahiran pada tiap kelompok umur padahal data ini belum tentu ada di tiap daerah/negara

Perbanyakan secara vegetatif bisa dilakukan dengan cara memisahkan anakan yang tumbuh disamping induknya, Perbnayakan dengan cara ini akan menghasilakan tanaman

Komnas HAM memahami instrumen hukum diperlukan untuk mengatur kebebasan berserikat dalam rangka menjamin pelaknaaan hak tersebut juga dalam rangka mencegah

 Bagi yang belum lulus SMA/MA/SMK menyerahkan foto copy Raport Semester 2 sampai dengan Semester 5 yang telah dilegalisir dengan menunjukkan aslinya. 2) Calon mahasiswa

 Dokumen pelaksnaan anggaran SKPD adalah dokumen yang memuat pendapatan, belanja  adalah dokumen yang memuat pendapatan, belanja dan pembiayaan yang digunakan sebagai dasar