• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kepemimpinan Sunan Gunung Djati: Tinjauan Filsafat Etika dan Nilai-Nilai Al-Qur’an

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Kepemimpinan Sunan Gunung Djati: Tinjauan Filsafat Etika dan Nilai-Nilai Al-Qur’an"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

KEPEMIMPINAN SUNAN GUNUNG DJATI: TINJAUAN

FILSAFAT ETIKA DAN NILAI-NILAI AL-QUR’AN

M. Solahudin

UIN Sunan Gunung Djati Bandung, Email; msolahudin@uinsgd.ac.id

Dodo Widarda

UIN Sunan Gunung Djati Bandung. Email; dodowidarda@gmail.com _________________________

Abstract

Di satu sisi, kepemimpinan Sunan Gunung Djati mengusung konsep Tauhidullah (syi’ar Islam), sedang di sisi lain, dalam masa kepemimpinannya, kelangsungan budaya lokal dan budaya dari agama lama pada saat itu, sangatlah kental pada masyarakat. Bahkan cenderung digunakan oleh Sunan dalam syi’arnya di masa kepemimpinannya. Maka, kemurnian dan ketidak murniannya dapat ditinjau dengan menggunakan filsafat etika dan nilai-nilai al-Qur’an.

Adapun tujuan penelitian ini yaitu, untuk membangun sebuah konsep kepemimpinan Sunan Gunung Djati, baik dalam tinjauan Filsafat Etika, dan Nilai-Nilai al-Qur’an, serta bagaimana pendekatan filsafat etika dan nilai-nilai al-Qur’an terhadap petatah-petitih Sunan Gunung Djati

Penelitian ini juga, bertolak dari sebuah pemikiran bahwa kepemimpinan Sunan Gunung Djati dalam tinjauan filsafat etika dan nilai-nilai al-Qur’an, jika diaplikasikan dalam kehidupan manusia, terlebih bila disinergikan dengan perkembangan kehidupan masyarakat saat ini yang demikian kompleks dan heterogen, diasumsikan dapat menjadi satu alternatif model kepemimpinan bagi kehidupan masyarakat. Sebaliknya, bila kepemimpinan Sunan Gunung Djati tidak bersinergi dengan konsep filsafat etika dan nilai-nilai al-Qur’an, maka perpecahan dan kehancuran kerukunan umat beragama akan terjadi, yang pada akhirnya akan berdampak negatif bagi kelangsungan kehidupan masyarakat beragama itu sendiri.

Metode yang dipakai dalam penelitian ini yaitu, metode Penelitian Filsafat yang digabung dengan metode Penelitian al-Qur’an. Kehadiran kepemimpimpinan Sunan Gunung Djati lewat rentang hidupnya yang sangat panjang (1448-1568) termasuk ketika menjadi Raja-Pandhita di Kesultanan Cirebon, dikaji melalui refleksi filosofis untuk menemukan aspek transendental dari petatah-petitihnya dan kemudian didukung juga dengan pendekatan ayat-ayat al-Qur’an yang relevan dengan kepemimpinannya. Penelitian ini juga dilakukan dengan menggunakan metode studi kepustakaan (library research). Penelitian ini tergolong dalam jenis penelitian eksploratif, karena bertujuan menggali model penelitian kepemimpinan Sunan Gunung Djati dengan menelusuri filsafat etika dan nilai-nilai al-Qur’an. Sedangkan pada penyajian datanya, penelitian ini bersifat analitis kritis dan analitis eksploratif.

Jawaban atas rumusan masalah dalam penelitian ini adalah, pertama, berdasarkan pendekatan nilai-nilai al-Qur’an, kepemimpinan Sunan Gunung Djati merepresentasikan karakteristik dari seorang raja, sekaligus juga ulama. Hal itu tidak hanya menyangkut dimensi hidup yang profan, tapi juga terkait dengan realitas hidup yang lebih tinggi berdasarkan visi eskatologis, dengan inti paling utamanya adalah pada moralitas atau ketinggian akhlak, sebagaimana misi yang dibawa oleh Rasulullah. Kedua, etika kepemimpinan Sunan Gunung Djati, merupakan bentuk nilai-nilai universal yang bisa menjadi orientasi etis bagi kehidupan manusia. Ketiga, berdasarkan pendekatan filsafat etika serta nilai-nilai al-Qur’an, petatah-petitih Sunan Gunung Djati, walaupun disampaikan dalam bahasa Cirebon, namun dari sisi kandungannya, merupakan refleksi dari kedalaman nilai-nilai al-Qur’an, dan dalam konteks Indonesia, selaras dengan nilai falsafah Pancasila.

Keywords:

Kepemimpina;, Nilai-Nilai Qur’ani; Etika, Petatah-Petitih; Pancasila

__________________________

(2)

A. PENDAHULUAN

Sunan Gunung Djati, adalah satu di antara Wali Songo yang berhasil menjadi pemimpin politik sekaligus pemimpin spiritual, dengan tetap berpegang pada nilai-nilai etika keislaman, serta kearifan tradisi lokal. Ia lahir di Makkah pada tahun 1448 Masehi.1 Seperti ditulis Eman Suryaman, Sunan Gunung Djati merupakan pemimpin yang mentransenden dan mengimanen. Di tangannya berpadu antara kekuasaan politik (political power) dan kekuasaan spiritual (spiritual power). Perpaduan antara kekuatan politik di satu sisi dengan kekuatan spiritual pada sisi yang lain, tidak hanya memberikan kemampuan untuk mengontrol hal-hal yang berkaitan dengan masalah ritual dan upacara-upacara keagamaan, tetapi juga mampu mengontrol bidang sosial kemasyarakatan, seperti masalah ekonomi, pendidikan, pertahanan, keamanan dan kebijakan politik. Keunikan ini menjadikannya seorang pemimpin yang sukses, yang dibuktikannya dengan membangun dua peradaban Islam pada masanya, di Cirebon serta Banten.2 Babad Cirebon menuliskan

sebuah laporan versi Brandes-Ringkes, bahwa Sunan Gunung Djati yang dijunjung sebagai salah seorang dari sembilan wali Jawa (Wali Songo), adalah seorang tokoh historis yang menjadi tokoh terkemuka pada paruh abad ke-16, yang mendirikan Kerajaan Muslim Banten dan Cirebon.3

Seperti dituliskan oleh Eman Suryaman, dari hasil wawancaranya dengan Sultan Sepuh, 9 Mei 20074, sebagai seorang wali, kepemimpinan Sunan Gunung Djati didasarkan pada prinsip Islam yang disimpulkan dari sholat berjamaah. Pemimpin dalam sholat berjamaah adalah sorang imam. Ia bukan penguasa, tapi seorang yang mengayomi, yang mempunyai tanggungjawab dunia akhirat.

1Eman Suryaman, Jalan Hidup Sunan Gunung Djati, Sejarah Faktual Dan Filosofi Kepemimpinan Seorang Pandhita-Raja, ed. Dodo Widarda (Bandung: Nuansa Cendikia, 2015), 21.

2Suryaman, Jalan Hidup Sunan Gunung Djati, Sejarah Faktual Dan Filosofi Kepemimpinan Seorang Pandhita-Raja, 22.

Tanggung jawab ini mengharuskan seorang imam berhati-hati dalam menjalankan kepemimpinannya. Menurut Sultan Sepuh, nilai-nilai filosofis ini ditulis dalam bentuk relief di keraton dengan bunyi: “dangdang wulung manuk keduwong kembangkanigaran.

Seorang pemimpin harus memberikan pengayoman bagi masyarakat yang lemah. Pemimpin juga harus memberikan ketentraman lahir batin kepada masyarakatnya. Itulah nilai-nilai etika kepemimpinan yang diambil dari spirit sholat berjamaah.

Kepemimpinan yang dimaksud adalah yang menyandarkan keberadaannya pada nilai-nilai agama, sekaligus tidak bertentangan dengan fitrah dan cita-cita umum manusia. Pola kepemimpinan inilah menurut Efendi yang telah dikembangkan Sunan Gunung Djati, yang dapat di apresiasi dari petatah-petitihnya, meliputi nilai-nilai ketakwaan dan keyakinan, kedisiplinan, kearifan dan kebijakan, kesopanan dan tatakrama, serta kehidupan sosial.5

Pandangan-pandangan etika kepemimpinan Sunan Gunung Djati, memberi makna yang sangat luas bukan hanya bagi rakyat yang dipimpin pada masanya dalam bentuk ajaran teologi yang “mencerahkan” dari sisi kemanusiaan, tetapi melampaui sekat ruang dan waktu, dan memiliki relevansi bagi situasi etis manusia dewasa ini, yang dalam pandangan K Bertens, ditandai tiga ciri yang menonjol. Pertama, kita menyaksikan adanya pluralisme moral. Dalam masyarakat yang berbeda, sering terlihat nilai dan norma yang berbeda pula. Bahkan masyarakat yang sama, bisa ditandai dengan pluralisme moral. Kedua, sekarang timbul banyak masalah etis baru yang dulu tidak terduga. Ketiga, dalam dunia modern, tampak semakin jelas juga suatu

3 Martin Van Bruinessen, Kitab Kuning, Pesantren Dan Tarekat (Bandung: Mizan, 1999), 223.

4 Suryaman, Jalan Hidup Sunan Gunung Djati, Sejarah Faktual Dan Filosofi Kepemimpinan Seorang Pandhita-Raja, 96.

5 Suparman, “Pelopor Islamisasi Tatar Sunda

Abad XIV Perspektif Naskah,” Al-Tsaqafa 10 (2013): 147.

(3)

kepedulian etis yang universal.6 Terkait dengan ciri yang ketiga ini, lingkup kehidupan global sekarang, memberikan berbagai tantangan bagi manusia, tidak hanya dalam bidang politik, sosial dan pengembangan ekonomi, tetapi terutama juga dalam masalah moral.

Bila dilihat dari sisi etika universal, maupun nilai-nilai Islami seperti yang ada dalam kandungan al-Qur’an, –walaupun disampaikan dengan bahasa lokal Cirebon-, ajaran kepemimpinan Sunan Gunung Djati tidak lain demi peningkatan kualitas serta martabat kehidupan manusia. Kandungan isinya tetap memiliki relevansi dengan kehidupan umat manusia sampai pada abad ke-21 dewasa ini. Imam Al-Mawardi dalam Ahkam al-Sulthaniyah menyinggung mengenai hukum dan tujuan penegakkan nilai-nilai kepemimpinan, yang karenanya sangat relevan dengan pembahasan tentang kepemimpinan Sunan Gunung Djati ini. Al-Mawardi mengatakan, bahwa penegakkan nilai-nilai kepemimpinan dalam pandangan Islam adalah sebuah keharusan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Lebih jauh ia menyatakan, bahwa keberadaan pemimpin (imamah) sangat penting, serta mempunyai dua tujuan: pertama: Likhilafati al-Nubuwwah fi-Harasati al-Din, yakni sebagai pengganti misi profetis demi menjaga tegaknya agama. Kedua: Wa siasati al-Dunia, demi mengatur urusan dunia. Dengan lain perkataan bahwa tujuan kepemimpinan adalah untuk menciptakan rasa aman, keadilan, kemaslahatan, menegakkan amar ma'ruf nahi munkar, memberi pengayoman pada rakyat, dan menjadi problem solver berbagai masalah yang dihadapi masyarakat.7

Di satu sisi, etika kepemimpinan yang dikembangkan oleh Sunan Gunung Djati, tidaklah semata-mata bersifat teoritis filosofis,

6 K. Bertens, Etika (Jakarta: PT Gramedia

Pustaka Utama, 2001), 31.

7Al-Mawardi, Al-Ahkam Al-Sulthaniyah

(Beirut: Dar Al-Fikr, 1980), 6.

8Suryaman, Jalan Hidup Sunan Gunung Djati, Sejarah Faktual Dan Filosofi Kepemimpinan Seorang Pandhita-Raja, 172.

tapi juga telah di aplikasikan olehnya secara praktis saat membangun serta memimpin kesultanan Cirebon dan Banten, dimana kelangsungan budaya lokal dan budaya dari agama lama pada saat itu, sangatlah kental pada masyarakat. Tetapi pada sisi lain, kepemimpinan Sunan Gunung Djati mengusung konsep Tauhidullah (syi’ar Islam), yang meneguhkan esensi ajaran tauhid, al-‘adalah (keadilan), prinsip syura

(musyawarah), dan juga al-huriyah

(kebebasan), serta paralel dengan nilai-nilai teologis kemanusiaan universal yang telah inheren dalam kepemimpinannya. Karenanya, seperti dalam tulisan Eman, etika universal dari ajaran Sunan Gunung Djati dengan sendirinya sangat sesuai dengan azas prilaku yang disepakati secara umum, sehingga bisa menjadi oreintasi etis bagi nilai-nilai kepemimpinan di Indonesia sekarang yang sedang mengalami disorientasi serta bergerak ke arah yang menjauh dari nilai-nilai agama dan budaya sendiri.8

Permasalahan di atas tentunya dapat diselesaikan dengan menggali jawaban tentang kepemimpinan Sunan Gunung Djati berdasarkan teori filsafat etika dan nilai-nilai al-Qur’an, serta pendekatan keduanya terhadap petatah-petitih Sunan Gunung Djati.

B. BIOGRAFI SUNAN GUNUNG DJATI Dari beberapa sumber yang ada, diketahui bahwa Sunan Gunung Djati lahir di Mesir pada 1448 M dengan nama Syarif Hidayat atau Syarif Hidayatullah.9 Ia lahir di tengah-tengah keluarga yang sangat religius dan terhormat. Dari sisi ayah, ia merupakan keturunan raja Mesir yang bernama Syarif Abdullah dengan gelar Sultan Mahmud, sedangkan ibunya yang bernama Nyai Rara Santang juga seorang

9Atja & Edi. S. Ekadjati, Pusaka Rajya-Rajya Bhumi Nusantara, Suntingan Naskah dan Terjemahan, Bagian Proyek Penelitian dan Pengkajian Kebudayaan Sunda (Sundanologi) (Bandung: Dirjen Kebudayaan dan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1987), 36.

(4)

keturunan “darah biru” karena ia adalah putri Prabu Siliwangi, raja Pajajaran.10

Pernikahan Raden Pamanah Rasa atau Prabu Siliwangi dengan Nyai Subang Larang, lahirlah tiga orang anak, yaitu Raden Walangsungsang, Nyai Rara Santang, dan Raja Senagara. Akan tetapi, setelah kematian ibunya, anak tertentu Prabu Siliwangi yang telah ditetapkan sebagi Putra Mahkota Pajajaran meninggalkan istana untuk melakukan pengembaraan dan memperdalam ilmu agama Islam. Kepergian sang kakak ini membuat sedih adiknya, Nyai Rara Santang, yang akhirnya juga meninggalkan istana ayahnya mengikuti jejak kakaknya, Walangsungsang.11

Keterangan di atas menjelaskan bahwa Sunan Gunung Djati merupakan hasil perpaduan dua budaya yang berbeda. Dari sisi ayah, ia keturuanan raja Mesir, sementara dari sisi ibu, ia merupakan keturunan raja Pajajaran. Dalam Carita Purwaka Caruban Nagari

terdapat penjelasan tentang silsilah Sunan Gunung Djati dari sisi ayah yang dimulai dari Nabi Muhammad SAW, lalu Ali bin Abi Thalib yang beristrikan Fatimah binti Muhammad, dan selanjutnya Sayid Husain, anak kedua Fatimah dengan Ali. Husain mempunyai anak yang bernama Zainal Abidin, dan Zainal Abidin mempunyai anak yang bernama Muhammad Baqir. Muhammad Baqir kemudian berputrakan Ja’far ah-Shadiq dari Parsi. Ja’far ash-Shadiq punya anak bernama Kasim al-Malik, Kasim punya anak bernama Idris, Idris berputrakan Al-Baqir, Al-Baqir berputrakan Ahmad, Ahmad mempunyai putra bernama Baidillah Muhammad, Baidilillah berputrakan Alwi dari Mesir. Alwi berputrakan Abdul Malik, dan Abdul Malik berputrakan Amir dari India. Kemudian Amir mempunyai anak bernama Jamaludin dari Kamboja. Jamaludin mempunyai putra bernama Ali Nur Alim yang

10Sunardjo, Meninjau Sepintas Penggung Sejarah Pemerintahan Kerajaan Cirebon 1479-1809 (Bandung: Tarsito, 1983), 43.

11Ridin Sofwan, Islamisasi di Jawa, Walisongo, Penyebar Islam di Jawa Menurut Penuturan Babad, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), 171-172.

12Atja & Ekadjati, Pusaka Rajya-Rajya Bhumi Nusantara, Suntingan Naskah dan Terjemahan, Bagian

menikah dengan putri Mesir. Dari perkawinan mereka, lahirlah Syarif Abdullah yang kemudian menikah dengan Syarifah Mudaim atau Nyai Rara Santang, dan kemudian berputrakan Syarif Hidayat atau Syarif Hidayatullah.12 Berdasarkan silsilah di atas, Sunan Gunung Djati merupakan generasi ke-18 dari Nabi Muhammad SAW.

Melalui garis ibu, diterangkan bahwa Sunan Gunung Djati adalah keturunan raja Galuh Pajajaran, yang berawal dari Maharaja Galuh pertama, yaitu Pakuwan Maharaja Adi Putra yang mempunyai anak bernama Prabu Ciung Wanara, Ciung Wanara mempunyai anak bernama Sri Ratu Purbasari, dan Purbasari punya anak bernama Prabu Lingga Hiyang. Lingga Hiyang punya anak bernama Prabu Lingga Wesi, Lingga Wesi punya anak bernama Prabu Wastu Kencana, Wastu Kencana berputrakan Prabu Susuk Tunggal, Susuk Tunggal mempunyai putra bernama Prabu Banyak Larang, Banyak Larang mempunyai putra bernama Prabu Mundingkawati, Mundingkawati punya putra bernama Prabu Angga Larang, dan Prabu Angga Larang berputrakan Prabu Siliwangi.13 Prabu Siliwangi menikah dengan Nyai Subang Larang, putri Patih Singapura, yaitu Ki Gede Tapa, dari istrinya yang bernama Nyai Ratna Kranjang. Ratna Kranjang sendiri adalah putri Ki Gede Kasmaya yang menjadi penguasa Cirebon Girang, salah satu dukuh di dalam wilayah Wanagiri. Pada usia 14 tahun, Nyai Subang Larang dibawa oleh bibinya, Nyai Lara Huda (istri Ki Dampu Awang), ke Malaka dan menetap di sana selama dua tahun, kemudian kembali ke Jawa dan selanjutnya berguru kepada Syaikh Qura di Pondok Qura Karawang. Pada kira-kira tahun 1422, Nyai Subang Larang menikah dengan Prabu Siliwangi. Dari pernikahan mereka, lahirlah

Proyek Penelitian dan Pengkajian Kebudayaan Sunda (Sundanologi), 40.

13Atja & Ekadjati, Pusaka Rajya-Rajya Bhumi Nusantara, Suntingan Naskah dan Terjemahan, Bagian Proyek Penelitian dan Pengkajian Kebudayaan Sunda (Sundanologi), 156.

(5)

tiga orang anak, yaitu dua putra dan satu putri; yang putri adalah Nyai Rara Santang yang kemudian menikah dengan Raja Mesir dan melahirkan Syarif Hidayat dan adiknya, Syarif Nurullah.14

C. TINJAUAN FILSAFAT ETIKA

TERHADAP KEPEMIMPINAN SUNAN GUNUNG DJATI

Pada pribadi Sunan Gunung Djati terdapat kesatuan antara dimensi kepemimpinan spiritual dengan kepemimpinan dunia. Sunan Gunung Djati adalah pelaku dari sebuah suluk ruhani, tetapi pada saat yang bersamaan memangku kekuasaan yang bersifat duniawi. Sebagai seorang pemimpin, pigurnya kemudian menjadi sangat ideal, dan kedua hal ini tidaklah bertentangan, baik dari sisi ajaran Islam maupun dari sisi ajaran Jawa. Posisinya sebagai seorang wali, telah memberi sebuah garansi ketika memimpin negara bahwa nilai-nilai kepemimpinannya akan bertitik tolak dari kerangka kualitas moral yang baik. Dan cita-cita moral yang baik itu adalah sesuatu yang universal, sangat selaras dengan pandangan para pemikir besar dunia seperti Plato, Sokrates, Ibnu Miskawaih, Immanuel Kant, dan lain-lain.

Plato barangkali adalah seorang pemikir yang meletakkan hubungan yang berkaiatan secara erat antara keajegan negara di satu sisi dengan peranan individu-individu berakhlak atau memiliki moral yang baik pada sisi lain. Dalam pemikiran filsafat Plato, ada garis yang menghubungkan persamaan di antara pemikiran mereka, yaitu bahwa sebuah negara tidak bisa dilepaskan dari individu yang mempunyai kualitas moral baik. Hal ini bisa dilihat bagaimana perhatiannya terhadap keadilan, kebijaksanaan, dan nilai moral lainnya, tidak bisa dilepaskan dalam pembahasan mereka mengenai kehidupan manusia dalam politik. Hal ini memang sebuah

14Suryaman, Jalan Hidup Sunan Gunung Jati, Sejarah Faktual Dan Filosofi Kepemimpinan Seorang Pandhita-Raja, 24, 25, 28, 29.

15Muhammad Fadil, “Gagasan Dasar

Mengenai Etika dan Negara Menurut Plato (Sebuah

kontinuitas dari pemikiran filsafat Socrates yang penekanan filsafat moralnya sangat besar.15 Tampaknya, pemikiran Plato ini mengikuti gurunya Sokrates di dalam segitiga hubungan antara manusia, etika dengan negara. Manusia memiliki hubungan dengan moral, dan pembentukan negara tiada lain bagian yang terintegrasikan dari cita-cita etis tersebut

Argumen mendasar dalam Republik ialah bahwa ‘pemimpin’ (ruler) harus memperhatikan aspek moral dan membangun sebuah harmoni antara individu dan negara (state). Perhatiannya terhadap ‘negara ideal’

tersebut sangat berlandaskan pada etika dalam pelaksanaannya. Hal ini setidaknya dapat dilaksanakan oleh raja (king) yang mempunyai kemampuan sebagaimana yang filosof miliki. Pendapat Plato tersebut memperlihatkan bahwa raja adalah filosof, dan sebaliknya filosof juga seorang raja.16 Di dalam kepemimpinan Sunan Gunung Djati, posisi raja-filosof atau filosof raja, bisa dibandingkan dengan julukannya sendiri sebagai seorang pandhita raja atau raja pandhita. Seorang ulama sekaligus seorang raja. Serta seorang raja sekaligus juga adalah seorang ulama. Keduanya, antara posisi filosof raja serta pandhita raja merupakan manifestasi kepemimpinan yang sangat ideal, yang tidak mudah untuk bisa ditemukan modelnya secara kongkret dalam dunia yang nyata.

Dalam The Metaphysics of Moral

(Metafisika Moralitas), seorang filosof yang datang lebih belakangan, Immanuel Kant menghubungkan pendapat antara legalitas dan moralitas. Legalitas dalam pandangannya adalah sebagai kesesuaian atau ketidaksesuaian. Kesesuaian atau ketidaksesuaian yang ada dalam diri manusia belum bernilai moral, dikarenakan dorongan batin tidak menjadi objek penilaian. Nilai-nilai moral itu ada apabila diperoleh dalam moralitas. Moralitas merupakan kesesuaian antara sifat dan perbuatan manusia dengan

pengenalan awal filsafat politik klasik)”, Paradigma, 9, (2008): 168.

16Fadil, “Gagasan Dasar Mengenai Etika dan

Negara Menurut Plato (Sebuah pengenalan awal filsafat politik klasik)”, 168.

(6)

norma hukum batiniah manusia. Kant melihat moralitas sebagai kebaikan yang tertinggi, dan kebaikan yang tertinggi itu menjadi kebaikan yang sempurna. Kebaikan yang dimaksud Kant berbeda dengan kebaikan dalam arti empiris, atau kebaikan yang bersifat sementara. Akan tetapi kebaikan yang tertinggi itu akan menciptakan kebahagiaan.17

Sebagai sebuah perbandingan dengan filosof-filosof Yunani yang mencari keterkaitan antara negara di satu sisi dengan moralitas yang baik pada sisi yang lain, kita bandingkan pemikiran tersebut dengan salah seorang pemikir etika dari dunia Islam, Ibn Miskawaih. Ibn Miskawaih mendasarkan teori keutamaan moralnya pada posisi al wasath

(pertengahan). Doktrin jalan ini sendiri sebenarnya sudah dikenalkan oleh filosof sebelumnya, seperti Mencius, Palto, Aristoteles dan filsuf Muslim Al Kindi. Ibn Miskawaih secara umum memberikan pengertian “pertengahan” (jalan tengah) tersebut antara lain dengan berkesinambungan, moderat, harmoni, utama, mulia, atau posisi ektrim kelebihan dan ekstrim kekurangan masing-masing jiwa manusia. Menurutnya, setiap sifat keutamaan memiliki dua ekstrim kekurangan, yang tengah adalah terpuji dan yang ekstrim adalah tercela. Posisi tengah yang dimaksudkannya adalah suatu standar atau perinsip umum yang berlaku bagi manusia. Posisi tengah yang sebenarnya adalah satu, yakni keutamaan yang disebut garis lurus. Pokok sifat keutamaan itu terbagi menjadi empat, yaitu hikmah (kebijaksanaan), ‘iffah

(kesucian), syaja‘ah (keberanian), ‘adalah (keadilan), sedangkan yang jelek ada delapan. Rinciannya adalah nekad, pengecut, rakus, dingin hati, kelancaran, kedunguan, aniaya, dan teraniaya.18

Ada hal yang dapat diterima oleh semua orang, bahwa nilai-nilai kebaikan bertentangan

17Ishak Hariyanto, “Filsafat Etika Immanuel

Kant Dalam Konteks Negara Demokrasi”, Komunitas, 7, (2015): 8.

18Abdul Hakim, “Filsafat Etika Ibn

Miskawaih”, Ilmu Ushuluddin, 13, (2014): 138.

dengan keburukan. Seorang yang baik dalam pandangan etika adalah orang yang mentalnya sehat. Menjadi orang baik berarti memiliki perangai dan tingkah laku yang terpuji. Jadi orang baik adalah orang yang hatinya terbebas dari penyakit-penyakit. Sementara orang yang jahat adalah orang yang jiwanya terjangkit penyakit-penyakit hati. Penyakit mental ini muncul pada orang jahat, biasanya dalam bentuk perangai dan tingkah laku yang tidak terpuji. Perbuatan-perbuatan yang tidak baik ini dianjurkan Sunan Gunung Djati untuk dijauhi, di antaranya adalah: (1) sifat serakah, (2) suka bertengkar, (3) berbohong, (4) suka mencela, (5) sombong, (6) suka menghina orang lain, (7) suka pamrih, (8) dayus atau lemah, (9) suka menyakiti hati orang, (10) pendendam, dan (11) suka zalim terhadap makhluk lain.19

Nilai-nilai etika yang sangat dianjurkan Sunan Gunung Djati adalah: (1) hidup sederhana, (2) senang memenuhi kebutuhan orang (3) bisa mengontrol hawa nafsu dan mawas diri, (4) mencari rizki yang halal, (5) ikhlas dalam segala tindakan.20

D. FALSAFAH DANGDANG WULUNG MANUK KEDUWONG KEMBANG KANIGARAN

Sebagai seorang pemimpin, Sunan Gunung Djati pasti memiliki sebuah filosofi terkait dengan kepemimpinannya. Filosofi kepemimpinan Sunan Gunung Djati tertulis pada sebuah relief keraton serta menjadi panduan moral bagi Sunan Gunung Djati sendiri untuk mewujudkan cita-cita berdasarkan pada moralitas agung yang diembannya. Dalam hal ini, dalam wawancaranya dengan Sultan Sepuh, Eman Suryaman telah menuliskan falsafah dangdang wulung manuk keduwong kembang kanigaran:

19Suryaman, Jalan Hidup Sunan Gunung Djati, Sejarah Faktual serta Filosofi Kepemimpinan Seorang Pandhita Raja, 137.

20Suryaman, Jalan Hidup Sunan Gunung Djati, Sejarah Faktual serta Filosofi Kepemimpinan Seorang Pandhita Raja, 140.

(7)

“Sebagai seorang wali, kepemimpinan Sunan Gunung Djati didasarkan pada prinsip kepemimpinan dalam Islam yang disimbolkan lewat sholat berjamaah. Seorang imam merupakan pemimpin bagi makmumnya. Ia adalah orang yang mengayomi, bukan penguasa. Imam bukan orang yang tidak pernah salah; jika ia salah maka ia harus menerima kritikan dari orang yang berada di belakangnya.

Seorang imam mempunyai

pertanggungjawaban dunia akhirat, dan tanggung jawab ini mengharuskan seorang imam berhati-hati dalam menjalankan kepemimpinannya. Menurut Sultan Sepuh, filosofi ini ditulis dalam sebuah relief di keraton yang berbunyi: dangdang wulung manuk keduwong kembangkanigaran (seorang pemimpinan harus memberikan pengayoman bagi masyarakat yang lemah. Pemimpin harus memberikan ketentraman lahir batin kepada masyarakatnya.”21

E. Nilai-nilai Moral Kemimpinan Dalam Petatah-Petitih Sunan Gunung Djati Petatah-petitih Sunan Gunung Djati yang disampaikannya dalam bahasa Cirebon, menjadi panduan etika, baik di lingkungan keraton maupun dalam lingkup kehidupan rakyat Cirebon dalam pengertian yang lebih luas. Petatah-petitih Sunan Gunung Djati adalah contoh pemanfaatan bahasa yang sudah “diakrabi” masyarakat setempat sebagai medium penyampaian pesan-pesan moral dari pemimpin terhadap keluarga serta rakyatnya. Petatah-petitih berupa nasehat, pesan, anjuran, kritik, dan teguran yang disampaikan (atau diajarkan) dalam keluarga, kerabat dan putra-putri Syarif Hidayatullah,22 disampaikan juga

pada masyarakat Cirebon secara lebih umum. Petatah petitih Syarif Hidayatullah mengandung makna yang luas dan dalam, serta megandung unsur-unsur ketaqwaan dan keyakinan, kedidiplinan, kearifan dan

21Suryaman, Jalan Hidup Sunan Gunung Djati, Sejarah Faktual serta Filosofi Kepemimpinan Seorang Pandhita Raja, 96-97.

kebijakan, kesopanan dan tatakrama, dan kehidupan sosial.23

Petatah-petitih yang berkaitan dengan ketaqwaan dan keyakinan adalah:

Ingsun titip tajug, fakir miskin lan yatim piatu (Aku titip tajug, fakir miskin serta yatim piatu);

Yen sembahyang kungsi pucuke panah (Jika sholat harus khusyu dan tawadlu seperti anak panah yang menancap kuat);

Yen puasa yen kungsi tetaling gundewa

(jika puasa harus kuat seperti tetali gondewa);

Ibadah kang tetep (ibadah itu harus terus-menerus);

Manah den sykur ing Allah (Hari harus bersyukur terhadap Allah); dan

Kudu ngahakekaken pertobat (banyak-banyaklah bertobat).

Petatah-petitih yang berkaiatan dengan kedisiplinan:

Aja nyindra janji mubarang (jangan mengingkari janji);

Pemboraban kang ana patut anulangi

(yang salah tidak usah ditolong); dan  Aja ngaji kejayaan kang ala rautah

(jangan belajar untuk pekentingan yang tidak benar atau disalahgunakan). Petatah-petitih yang berkaiatan dengan kearifan dan kebijakan adalah:

Singkirna sifat kanden wanci (jauhi sifat yang tidak baik);

Duwehna sing kang wanti (miliki sifat yang baik);

Amapesa ing bina batan (jangan serakah atau berangasan dalam hidup);  Angagahna ing perpadu (jauhi

pertengkaran);

Aja ilok kang mad kang durung yakin

(jangan suka mencela yang belum yakin kebenarannya);

22Suparman, “Pelopor Islamisasi Tatar Sunda

Abad XIV Perspektif Naskah,” 147.

23Suparman, “Pelopor Islamisasi Tatar Sunda

(8)

Aja ilok kang gawe bobat (jangan suka berbohong);

Kenana ing hajate wong (kabulkan keinginan orang);

Aja dahar yen dirung ngeli (jangan makan sebelum lapar);

Aja nginum yen durung ngelok (jangan minum sebelum haus);

Aja turu yen durung katekan arif

(jangan tidur sebelum ngantuk);

Yen kaya den luhur (jika kaya harus dermawan);

Aja ilok ngijek rarohi ing wong (jangan suka menghina orang);

Den bisa megeng ing nafsu (harus dapat menahan nafsu);

Angasana diri (harus mawas diri);  Tepo saliro den adol (tampilkan prilaku

yang baik);

Ngoletena rezeki sing halal (carilah rezeki yang halal);

Aja akeh kang den pamrih (jangan banyak mengharap pamrih);

Den suka wenan lan suka memberih gelis lipur (jika bersedih jangan diperlihatkan agar cepat hilang);

Gegunem sifat kang pinuji (miliki sifat terpuji);

Aja ilok gawe lara ati ing wong (jangan suka menyakiti hati orang);

Ake lara ati, namung aking duriat (jika sering disakiti orang hadapilah dengan kecintaan, tidak dengan aniaya);

Aja ngagungaken ing salira (jangan mengagungkan diri sendiri);

Aja ujub ria suma takabur (jangan sombong dan takabur); dan

Aja duwe ati ngunek (jangan dendam). Petatah-petitih yang berkaiatan dengan kesopanan dan tatakrama: Den hormat ing wong tua (harus hormat

kepada orang tua);

24Teks yang sudah lazim adalah “insun titip tajug lan fakir miskin.” Menjadi “insun titip tajug, fakir

miskin, lan yatim piatu” dengan penambahan “yatim piatu” merupakan hasil wawancara dengan KH.

Den hormat ing leluhur (harus hormat pada leluhur);

Hoematen, emanen, mulyakeun ing pusaka (hormati, sayangi, dan mulyakan pusaka);

Den welas asih ing sapapada

(hendaklah menyayangi sesama manusia); dan

Mulyakeun ing tetamu (hormati tamu). Petatah-petitih yang berkaiatan dengan kehidupan sosial:

Aja anglokani lunga haji ing Makkah

(jangan berangkat haji ke Makkah, jika belum mampu secara ekonomis dan kesehatan);

Aja mungah gunung gede utawa manjing ing kawah (jangan mendaki gunung tinggi atau menyelam ke dalam kawah, jika tidak mempunyai persiapan dan keterampilan);

Aja ngimami lan khotbah ing mesjid agung (jangan menjadi imam atau berkhotbah di mesjid Agung, jika belum dewasa dan memiliki ilmu keislaman yang cukup);

Aja dagangan atawa warungan (jangan berdagang, jika hanya dijadikan tempat bergerombol orang); dan

Aja kunga layaran ing lautan (jangan berlayar ke lautan, jika tidak mempunyai persiapan yang matang). Dari pepatah Sunan Gunung Djati di atas, yang terkait dengan kesadaran ideologis adalah: Insun Titip Tajug, Fakir Miskin, lan Yatim Piatu.24 Pepatah tersebut menjadi sebuah amanat yang menegaskan bahwa sebagai seorang pemimpin, yang beliau wariskan tidak berbentuk harta dan tahta, tapi tajug (musholla), fakir miskin serta yatim piatu.Tajug ini merupakan sarana untuk mentransendensikan diri dari dunia yang imanen, dengan mengembangkan hubungan dialogis serta vertikalitas dengan Tuhan

Zamzami Amin. Pimpinan Pondok Pesantren Mu’allimin Mu’allimat Babakan Ciwaringin, di Pondok Pesantren Ciwaringin, 29 Agustus 2017,

(9)

melalui sholat. Sekaligus di dalamnya terkandung hubungan dengan sesama manusia, untuk “saling memanusiakan”, termasuk dengan kalangan fakir-miskin dengan yatim piatu. Sekaligus juga, bahwa seorang pemimpin yang memiliki sikap yang simpatik serta empatik terhadap golongan lemah yang dipimpinnya, menunjukkan bahwa ia memiliki kedekatan hati dengan rakyatnya. Tentu saja, kualifikasi pemimpin seperti ini, akan pula dicintai oleh rakyatnya.

F. Tinjauan Nilai-Nilai Al-Qur’an Terhadap Kepemimpinan Sunan Gunung Djati

Bila meminjam istilah al-Ra>zi@ dalam tafsirnya terkait dengan tugas dan fungsi manusia, bahwa manusia mempunyai tugas di alam dunia ini yaitu sebagai khali@fah, sekaligus memiliki fungsi yaitu ‘iba>dah.25 Pada fungsi manusia sebagai ‘iba>dah inilah menurut penulis, dapat terangkum pada term

ima>mah dan ulu> al-amr.

Di satu sisi, Sunan Gunung Djati memiliki tugas sebagai khali@fah (pengganti Allah dalam mengelola dunia ini).26 Di sisi lain ia juga memiliki fungsi ‘iba>dah, yaitu sebagai

ima>mah dan ulu> al-amr.

1. Tugas Sunan Gunung Djati sebagai

khali@fah

Sebagai pemimpin, Sunan Gunung Djati memiliki tugas sebagai khali@fah. Term

khali@fah terdapat dalam firman Allah SWT. QS. al-Baqarah [2]: 30 sebagai penegasan Allah tentang penciptaan manusia untuk menjadi pemimpin. 27 Terdapat juga pada ayat lainnya, QS. S{a>d [38]: 26.28

Proses pengangkatan kedua khali@fah pada kedua ayat di atas, terdapat perbedaan yang

25Fakhruddi@n al-Ra>zi@, Tafsi@r Al-Ra>zi@ , pada muqaddimah, (Beirut: Da>r al-Fikr, t.t.).

26Pengertian khali@fah disini menurut

Quraish Shihab dalam tafsirnya, secara terminologis adalah “Yang menggantikan Allah SWT. dalam menegakkan kehendak-Nya, menerapkan ketetapan-ketetapannya. Tetapi bukan berarti Allah SWT tidak mampu dan menjadikan manusia berkedudukan sebagai Tuhan, akan tetapi karena Allah SWT bermaksud menguji manusia dan memberinya penghormatan.

mendasar. Ayat 30 surat al-Baqarah ditujukan kepada nabi Adam sebagai manusia pertama yang pada saat itu belum ada ummat sebagai masyarakatnya. Sedangkan ayat 26 surat S{a>d ditujukan kepada nabi Daud yang diangkat menjadi khali@fah setelah berhasil membunuh Jalut. Pada ayat 26 surat S{a>d, Quraish Shihab menegaskan bahwa ayat tersebut cenderung memiliki muatan politik. Karena menurutnya, kata khali@fah mengandung makna kekuasaan yang dikelola dengan kemampuan tertentu.29 Kata khali@fah yang mengandung makna kekuasaan ini menurut sejarah Islam, pertama kalinya disandarkan kepada Abu Bakar al-Sid}}d}i@q, sahabat nabi Muhammad SAW yang menjadi pemimpin umat Islam pasca wafatnya Muhammad SAW.

Term khali@fah, selain dari bentuk tunggal seperti yang tertera pada kedua ayat di atas, juga terdapat bentuk plural (jamak). Bentuk plural dari term khali@fah tersebut adalah

khala>’if , sebagaimana yang tertuang dalam QS. Fa>t}ir [35]: 39.

Potongan ayat “Dia-lah yang menjadikan

kamu khalifah-khalifah di muka bumi” pada ayat di atas, menegaskan bahwa ayat tersebut lebih ditujukan untuk umum. Artinya, siapapun dari bani Adam (manusia), yang memenuhi syarat (yang Allah SWT inginkan dalam al-Qur’an) untuk menjadi pemimpin, maka kontek ayat tersebut dapat dijadikan hujjah. Termasuk juga kepemimpinan Sunan Gunung Djati, yang tidak hanya memenuhi syarat sebagai pemimpin pemerintahan (dunia), tetapi juga sebagai pemimpin spiritual (agama).

Terdapat tidak kurang dari 127 kali kata

khali>fah terulang di dalam al-Qur’an. Secara

Quraish Shihab, Tafsi@r al-Misbah (Jakarta: Lentera Hati, 2013)

27Departemen Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahnya (Bandung: J-ART, 2005), 7.

28Departemen Agama RI, al-Qur’an dan

Terjemahnya (Bandung: J-ART, 2005), 455.

29Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an Tafsir Tematik atas Pelbagai Persoalan Umat, (Bandung: Mizan, 2007), 555-556.

(10)

etimologis, mengandung tiga makna pokok, yaitu mengganti, belakang, dan perubahan.30

Dari ketiga makna tersebut, dipergunakan dalam arti bahwa khali@fah adalah yang mengganti kedudukan Nabi sebagai pemimpin,

khali@fah adalah pemimpin di belakang (sesudah) Nabi, khali@fah adalah orang mampu mengadakan perubahan untuk lebih maju dan menyejahterakan orang yang dipimpinnya. Khali@fah juga sering disebut sebagai ami@r al-mu’mini@n atau “pemimpin

orang yang beriman.” Kata khali>fah yang merupakan akar kata dari kata khila>fah pada dasarnya dua kata yang tak terpisahkan. Dimana menurut Abu A’la al-Maududi bahwa kata khila>fah bermakna pemerintahan atau kepemimpinan.31 Pengertian khali>fah

menurut al-Maududi tersebut, sangat tepat untuk sosok Sunan Gunung Djati yang menyandang dua sisi, sebagai pemerintah sekaligus sebagai pemimpin agama.

Secara terminologis, khali@fah adalah pemimpin tertinggi di dunia Islam yang menggantikan kedudukan Nabi dalam mengurus agama dan pemerintahan Islam. Pengertian terminologis inipun ada pada pigur Sunan Gunung Djati. Meskipun terdapat pandangan yang berbeda di kalangan ulama terkait dengan kedudukan khali@fah. Perbedaan tersebut memunculkan beragam definisi tentang kata khali@fah. Al-Baidhawi misalnya, ia berpendapat bahwa khali@fah

adalah pengganti Nabi oleh seseorang dari beberapa orang yang terpilih dan memenuhi syarat dalam penegakan hukum-hukum syariat,

30Abu> H{usain Ah{mad bin Fa>ris bin

Dhakariya, Mu‘jam Maqa>yi@s al-Lughah, jilid I (Mesir: ‘Isa> al-Ba>b al-Halab wa Awla>duh, 1972), 210.

31Said Agil Husin al-Munawwar, Al-Qur’an Membangun Tradisi Kesalehan Hakiki (Ciputat: PT. Ciputat Press, 2005), 194.

32Terdapat empat khalifah terpilih secara

bergantian. Yaitu: Abu Bakar, ‘Umar, Uthman, dan ‘Ali. Masing-masing secara bergantian sesuai masanya, berperan dalam menyelesaikan berbagai persoalan agama, dan berperan memperluas wilayah pemerintahan Islam. Jabatan khali@fah merupakan jabatan yang memiliki peranan spiritual yang tinggi bagi empat orang khali@fah tersebut. Hal itu dibuktikan dari usaha mereka

pemeliharaan hak milik umat, yang wajib diikuti oleh seluruh umat.32 Sedangkan Al-Mawardi@, ia berpendapat bahwa khali@fah

ditetapkan bagi pengganti kenabian dalam menjaga dan mengembangkan agama, dan pengaturan urusan dunia.33 Lain halnya dengan Al-Juwaini@ yang menyatakan bahwa

khali@fah adalah kepemimpinan yang bersifat menyeluruh (riya>sah ta>mmah), yakni kepemimpinan yang berkaitan dengan urusan khusus dan urusan umum dalam kepentingan-kepentingan agama dan dunia.34

Dari ketiga pendapat tersebut, bahwa antara pendapat al-Baid}a>wi@, al-Mawardi@, dan al-Juwaini, pada dasarnya memiliki kesamaan, yaitu sama-sama memiliki tanggungjawab kepemimpinan dua sisi, di satu sisi sebagai pemimpin pemerintahan (dunia), di sisi lain sebagai pemimpin spiritual (agama). Hal itulah yang terdapat pada pribadi Sunan Gunung Djati.

Berbeda lagi dengan Abu> A‘la> al-Maudu>di@, ia memiliki pandangan yang lebih dekat dengan pengertian khali@fah yang dimaksud al-Qur’an. Menurutnya, khali@fah

adalah bentuk pemerintahan manusia yang benar menurut pandangan al-Qur’an. Artinya, pengakuan negara akan kepemimpinan dan kekuasaan Allah dan Rasul-Nya di bidang perundang-undangan, menyerahkan segala kekuasaan legislatif dan kedaulatan hukum tertinggi kepada keduanya, dan meyakini bahwa khilafahnya itu mewakili Sang Hakim yang sebenarnya, yaitu Allah ‘Azza wa Jalla.35

ketika menjabat khalifah. Atas jasa mereka terhadap perjuangan agama, gelar penghormatan al-khali@@@fah al-ra>shidu>n (khalifah yang lurus) pun disandangnya. Pada perkembangan selanjutnya, gelar

khali@fah tetap digunakan para pemimpin umat Islam sesudah mereka. Nas}iruddi@n Abu> al-Khair ‘Abd Alla>h al-Baid}a>wi@, Anwa>r al-Tanzi@l wa Asra>r al-Tawi@l (Beiru>t: Da>r al-Fikr, t.t).

33Abu> al-H{asan al-Mawardi@, al-Ahka>m al-Sult}a>niyyah (Beirut: Da>r al-Fikr, t.t).

34Abu> Ma’a>li@@ ‘Abd Ma>lik

al-Juwaini@, al-Asa>lib fi@ al-Khila>fah (Beiru>t: Da>r al-Fikr, t.t).

35Abu> al-A‘la> al-Maudu>di@, Al-Khila>fah wa al-Mulk, diterjemahkan Muhammad

(11)

al-Pandangan al-Maudu>di@ tersebut menurut penulis adalah pandangan yang paling tepat untuk melihat sosok pemimpin seperti Sunan Gunung Djati. Berlaku juga untuk pemimpin-pemimpin yang layak disebut sebagai

khali@fah. Bila meminjam istilah al-Ra>zi@ dalam tafsirnya, bahwa manusia mempunyai tugas di alam dunia ini yaitu sebagai

khali@fah, sekaligus memiliki fungsi yaitu

‘iba>dah.36

2. Fungsi ‘Iba>dah Sunan Gunung Djati

Sebagai Ima>mah

Sebagai pemimpin, Sunan Gunung Djati memiliki fungsi ‘Iba>dah sebagai Ima>mah.

Kata ima>mah, yang juga diartikan sebagai pemimpin dalam al-Qur’an berasal dari kata

ima>m. Sebanyak 7 kali kata ima>m (bentuk tunggal) terulang di dalam al-Qur’an. Sedangkan kata a’immah (bentuk plural) 5 kali dengan arti dan maksud yang bervariasi sesuai dengan penggunaannya. Ada yang bermakna jalan umum (QS. Ya>si@n [36]: 12); pedoman (QS. Hu>d [11]: 7); ikut (QS. al-Furqa>n [25]: 74); dan petunjuk (QS. al-Ahqa>f [46]: 12).

Demikian pula dalam makna kata pemimpin, terdapat banyak konteks yang dirujuk kata ini, ada konteks pemimpin yang akan dipanggil Tuhan bersama umatnya untuk mempertanggungjawabkan perbuatan mereka (QS. al-Isra>’ [17]: 71); pemimpin orang-orang kafir (QS. al-Tawbah [9]: 12); pemimpin spiritual atau para rasul yang dibekali wahyu untuk mengajak manusia mengerjakan kebajikan, mendirikan salat, menunaikan zakat, yaitu Nabi Ibrahim, Ishaq dan Ya’qub (QS. al-Anbiya>’ [21]: 73); pemimpin dalam arti luas dan bersifat umum ataupun dalam arti negatif (QS. al-Qashash [28]: 5 dan 41); dan pemimpin yang memberi petunjuk berdasarkan perintah Allah (QS. al-Sajdah [32]: 24).37

Baqir dengan judul Khilafah dan Kerajaan, Cet. VI (Bandung: Mizan, 1996), 63.

36Fakhruddi@n al-Ra>zi@, Tafsi@r Al-Ra>zi@ , pada muqaddimah, (Beirut: Da>r al-Fikr, t.t.).

37Abdullah, Taufik et.al. Ensiklopedi Tematis Dunia Islam (Jakarta: Ichtiar baru van hoeve, 2002), 205.

38Abdullah, Taufik et.al. Ensiklopedi Tematis Dunia Islam , 205.

Terkait dengan makna pemimpin (ima>mah) dilihat dari konteksnya seperti uraian di atas, Sunan Gunung Djati ini lebih cenderung pada konteks pemimpin yang akan dipanggil Tuhan bersama umatnya untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya (QS. al-Isra>’ [17]: 71); pemimpin spiritual atau para rasul untuk mengajak manusia mengerjakan kebajikan, mendirikan salat, menunaikan zakat, seperti Nabi Ibrahim, Ishaq dan Ya’qub (QS. al-Anbiya>’ [21]: 73); dan pemimpin yang memberi petunjuk berdasarkan perintah Allah (QS. al-Sajdah [32]: 24).38

Kepemimpinan Sunan Gunung Djati juga sesuai dengan penjelasan Maqa>yi@s al-Lughah, bahwa Ima>m berarti orang yang diikuti jejaknya dan didahulukan urusannya.39 Pendapat yang senada dikemukakan oleh al-Asfaha>ni@ bahwa al-ima>m adalah yang diikuti jejaknya, yakni orang yang didahulukan urusannya, atau perkataannya, atau perbuatannya.40

Terkait dengan kepemimpinan Sunan Gunung Djati sebagai pemimpin pemerintahan sekaligus pemimpin spiritual, dimana warna spiritual itu sangat nampak pada pemerintahan yang dipimpinnya, sesuai dengan firman Allah tentang kata ima>m dalam QS. Al-Baqarah [2]: 124.41

3. Fungsi ‘Iba>dah Sunan Gunung Djati

Sebagai Ulu> al-Amr

Sebagai pemimpin, Sunan Gunung Djati memiliki fungsi ‘Iba>dah sebagai ulu> al-amr. Ada empat pendapat tentang makna ulu> al-amr menurut Fakhruddin al-Ra>zi@ dalam tafsirnya, yaitu (1) al-khulafa< al-ra>shidu>n; (2) pemimpin perang (sariyyah); (3) ulama yang memberikan fatwa dalam hukum shara’ dan mengajarkan manusia tentang agama

39Abu> H{usayn Ah}mad bin Fa>ris, Mu’jam Maqa>yi@s Maqa>yi@s al-Lughah, jilid. I., 82.

40Ima>m juga berarti kitab atau semisalnya.

Jamak kata al-ima>m tersebut adalah al-immah. Al-Raghib al-Asfaha>ni@@, Mufrada>t li Alfa>z} al-Qur’a>n, Cet. I (Damshiq: Da>r al-Qalam, 1992), 87.

41Departemen Agama RI, al-Qur’an dan

(12)

(Islam); dan (4) imam-imam yang maksum.42 Sosok Sunan Gunung Djati dalam hal ini, ada pada nomor 2 dan nomor 4 pada empat pendapat al-Ra>zi@ tentang ulu> al-amr

tersebut.

Sebagai pigur pemimpin pemerintahan dan pemimpin agama, menurut penulis, kesimpulan Ibn Katsir dalam kitab tafsirnya bahwa ulu> al-amr adalah, menurut zhahirnya, ulama. Tetapi secara umum ulu> al-amr adalah umara dan ulama,43adalah sangat tepat dengan diri Sunan Gunung Djati, yang mempunya tugas dan fungsi sebagai umara dan ulama.

Berbeda dengan dua pengertian di atas, Wahbah al-Zuhaili@ menyebutkan dalam kitab tafsirnya, al-Tafsi@r al-Muni@r, bahwa sebagian ahli tafsir menyatakan bahwa makna

ulu> al-amr adalah ahli hikmah atau pemimpin perang. Sebagian mufassir lainnya berpendapat bahwa ulu> al-amr adalah ulama yang menjelaskan kepada manusia tentang hukum-hukum shara’. Dua pendapat tersebut juga layak disematkan pada figur Sunan Gunung Djati. Sedangkan makna ulu> al-amr menurut Syiah adalah imam-imam yang maksum.44

Pendapat yang terakhir ini, penulis nampaknya tidak dapat mengatakan sependapat, karena menurut pemahaman penulis, bahwa pengertian maksum tersebut lebih tepat disematkan kepada Nabi Muhammad SAW. G. Nilai-Nilai Al-Qur’an Pada Petatah

Petitih Sunan Gunung Djati

Menurut penulis, semua petatah-petitih Sunan Gunung Djati yang disampaikannya dalam bahasa Cirebon, yang menjadi panduan wajib di lingkungan keraton maupun dalam lingkup kehidupan rakyat Cirebon, dalam pengertian yang lebih luas sangat bersesuaian dengan nilai-nilai al-Qur’an.

Petatah-petitih Sunan Gunung Djati yang berkaitan dengan ketaqwaan dan

42Fakhruddin al-Ra>zi@, Al-Tafsi@r al-Kabi@r, jilid. X., (Beirut: Da>r al-Fikr, t.t), 144.

43Ibn Katsi>r, Tafsi>r Qur’a>n al-‘Az}i>m, jilid. 1., (Beirut: Da>r al-Fikr, t.t.), 518.

keyakinan, sesuai dengan nilai-nilai al-Qur’an, QS. Al-Thalaq [ 65]: 2-3, yaitu:

Ingsun titip tajug, fakir miskin lan yatim piatu (Aku titip tajug, fakir miskin serta yatim piatu).

Petatah-petitih “Aku titip tajug” sesuai dengan QS. Al-An‘a>m [6]: 92, yang artinya ”...Orang-orang yang beriman kepada adanya kehidupan akhirat tentu beriman kepadanya

(Al-Qur’an) dan mereka selalu

memelihara sembahyangnya” ; QS. Al-A‘ra>f [7]: 170; QS. Al-Hajj [22]: 35; QS. Nu>r [24]: 56; QS. Al-Ma‘a>rij [70]: 23; QS. Al-Al-Ma‘a>rij [70]: 34; QS. Al-Baqarah [2]: 110, 177, 277; dan QS. Al-H{adi@d [57]: 7. Sedangkan potongan petatah-petitih selanjutnya “fakir miskin serta yatim piatu” sesuai dengan QS. Al-Taubah [9]: 60, “Sesungguhnya zakat-zakat

itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin...” ; QS. Al-Ru>m [30]: 38; QS. Al-Baqarah [2]: 215, 254, 261; QS. Al-Nisa>’[4]: 37; QS. Furqa>n [25]: 67; QS. Al-Qashash [28]: 54; dan QS. Al-Lail [92]: 5.

Yen sembahyang kungsi pucuke panah (Jika sholat harus khusyu dan tawadlu seperti anak panah yang menancap kuat), sesuai dengan QS. Al-Baqarah [2]: 45, yang artinya “...orang-orang

yang khusyu'” ; dan QS.

Al-Mu’minu>n [23]: 2.

Yen puasa yen kungsi tetaling gundewa

(jika puasa harus kuat seperti tetali gondewa).

Petatah-petitih ini sesuai dengan QS. Al-Baqarah [2]: 187, yang artinya

“...sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam...”.

Ibadah kang tetep (ibadah itu harus terus-menerus).

44Wahbah al-Zuhaili@, al-Tafsi@r al-Muni@r, jilid. V., (Beirut: Da>r al-Fikr, t.t.), 126.

(13)

Petatah-petitih ini sesuai dengan QS. Al-Ja>tsiyah [45]: 18, yang artinya

”...maka ikutilah syariat itu dan

janganlah kamu ikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak mengetahui” ; QS. Al-Syu>ra> [42]: 15; QS. Yu>nus [10]: 89; QS. Hu>d [11]: 112; dan QS. Al-An’am [6]: 153.

Manah den syukur ing Allah (Hari harus bersyukur terhadap Allah).

Petatah-petitih ini sesuai dengan QS. Al-Baqarah [2]: 152, yang artinya

“...dan bersyukurlah kepada-Ku, dan

janganlah kamu mengingkari

(nikmat)-Ku”, QS Al-Baqarah [2]: 172; QS. Al-Baqarah [2]: 239; QS. ‘Ali ‘Imra>n [3]: 43; QS. Ali Imra>n [3]: 123; dan QS. Al-Nahl [16]: 78.

Kudu ngahakekaken pertobat (banyak-banyaklah bertobat).

Petatah-petitih yang berkaiatan dengan kedisiplinan ini, sesuai dengan QS. Ali Imra>n [3]: 135, yang artinya

“...mereka ingat akan Allah, lalu

memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain dari pada Allah? ...” ; QS. Al-Nisa>’ [4]: 116; QS. Nisa>’ [4]: 146; QS. Al-Ma>’idah [5]: 34; QS. Al-Al-Ma>’idah [5]: 39; QS. Taubah [9]: 102; QS. Al-Taubah [9]: 118; QS. Al-Nah}l [16]: 119; QS. T{a>ha> [20]: 82; QS. Al-Furqa>n [25]: 70; QS. Al-Furq>an [25]: 71; QS. Naml [27]: 11; QS. Al-Zumar [39]: 53; dan QS. Al-An‘a>m [6]: 153.

Aja nyindra janji mubarang (jangan mengingkari janji).

Petatah-petitih ini sesuai dengan QS. Al-Baqarah [2]: 27, yang artinya

“...orang-orang yang melanggar

perjanjian Allah sesudah perjanjian itu teguh...” ; QS. Ali ‘Imra>n [3]: 77; QS. Ali ‘Imra>n [3]: 82; QS. Al-Nisa>’ [4]: 21; dan QS. Al-Nisa>’ [4]: 155.

Pemboraban kang ana patut anulangi

(yang salah tidak usah ditolong).

Petatah-petitih ini sesuai dengan QS. Al-Ma>’idah [5]: 2, dan QS. Al-Fath} [48]: 29,

Aja ngaji kejayaan kang ala rautah

(jangan belajar untuk kepentingan yang tidak benar atau disalahgunakan). Petatah-petitih ini sesuai dengan QS. Ali ‘Imra>n [3]: 137 yang artinya,

“...perhatikanlah bagaimana akibat

orang-orang yang mendustakan

(rasul-rasul).” ; QS. Al-Ma>’idah [5]: 63, yang artinya “Mengapa

orang-orang alim mereka, pendeta-pendeta

mereka tidak melarang mereka

mengucapkan perkataan bohong dan

memakan yang haram?

Sesungguhnya amat buruk apa yang telah mereka kerjakan itu.” ; QS. Al-A‘ra>f [7]: 175; dan QS. Al-Al-A‘ra>f [7]: 176.

Singkirna sifat kanden wanci (jauhi sifat yang tidak baik).

Petatah-petitih ini sesuai dengan QS. Al-Baqarah [2]: 55; QS. Al-Baqarah [2]: 120, yang artinya “...Dan

sesungguhnya jika kamu mengikuti kemauan mereka setelah pengetahuan datang kepadamu, maka Allah tidak lagi menjadi pelindung dan penolong bagimu.” ; QS. Al-Baqarah [2]: 145; QS. Nisa>’ [4]: 135; dan QS. Al-Baqarah [2]: 68.

Duwehna sing kang wanti (miliki sifat yang baik).

Petatah-petitih ini sesuai dengan QS. Al-Baqarah [2]: 83, yang artinya

“...berbuat kebaikanlah kepada ibu

bapa, kaum kerabat, anak-anak yatim,

dan orang-orang miskin, serta

ucapkanlah kata-kata yang baik kepada manusia, dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat...” ; QS. Al-Baqarah [2]: 177; QS. Al-Al-Baqarah [2]: 195; QS. Ali ‘Imra>n [3]: 134; dan QS. Ali Imra>n [3]: 148.

Amapesa ing bina batan (jangan serakah atau berangasan dalam hidup).

(14)

Petatah-petitih ini sesuai dengan QS. Al-Baqarah [2]: 254; QS. Ali ‘Imra>n [3]: 180; dan QS. Al-Nisa>’ [4]: 37. H. KESIMPULAN

Sebagai penutup dari kajian tentang “Kepemimpinan Sunan Gunung Djati dalam Tinjauan Filsafat Etika dan Nilai-Nilai Al-Qur’an”, dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut:

1. Tinjauan filsafat etika terhadap kepemimpinan Sunan Gunung Djati, bahwa pada pribadi Sunan Gunung Djati terdapat kesatuan antara dimensi kepemimpinan spiritual dengan kepemimpinan dunia. Ia adalah pelaku dari sebuah suluk ruhani, tetapi pada saat yang bersamaan memangku kekuasaan yang bersifat duniawi. Sebagai seorang pemimpin, pigurnya kemudian menjadi sangat ideal, dan kedua hal ini tidaklah bertentangan, baik dari sisi ajaran Islam maupun dari sisi ajaran Jawa. Posisinya sebagai seorang wali, telah memberi sebuah garansi ketika memimpin negara bahwa nilai-nilai kepemimpinannya akan bertitik tolak dari kerangka kualitas moral yang baik. Dan cita-cita moral yang baik itu adalah sesuatu yang universal, sangat selaras dengan pandangan para pemikir besar dunia seperti Plato, Sokrates, Ibnu Miskawaih, Immanuel Kant, dan lain-lain.

Nilai-nilai etika yang sangat dianjurkan Sunan Gunung Djati adalah: (1) hidup sederhana, (2) senang memenuhi kebutuhan orang (3) bisa mengontrol hawa nafsu dan mawas diri, (4) mencari rizki yang halal, dan (5) ikhlas dalam segala tindakan.

2. Tinjauan Al-Qur’an terhadap kepemimpinan Sunan Gunung Djati:

1) Sebagai pemimpin, Sunan Gunung Djati memiliki tugas sebagai khali@fah. Term

khali@fah terdapat dalam firman Allah SWT. QS. al-Baqarah [2]: 30; dan QS. S{a>d [38]: 26, sebagai penegasan Allah tentang penciptaan manusia untuk menjadi pemimpin. 2) Sebagai pemimpin, Sunan Gunung Djati memiliki fungsi ‘Iba>dah sebagai Ima>mah.

Kata ima>mah, yang juga diartikan sebagai

pemimpin dalam al-Qur’an berasal dari kata

ima>m. Sebanyak 7 kali kata ima>m (bentuk tunggal) terulang di dalam al-Qur’an. Sedangkan kata a’immah (bentuk plural) 5 kali dengan arti dan maksud yang bervariasi sesuai dengan penggunaannya. Ada yang bermakna jalan umum (QS. Ya>si@n [36]: 12); pedoman (QS. Hu>d [11]: 7); ikut (QS. al-Furqa>n [25]: 74); dan petunjuk (QS. al-Ahqa>f [46]: 12).

Terkait dengan makna pemimpin (ima>mah) dilihat dari konteksnya seperti uraian di atas, Sunan Gunung Djati ini lebih cenderung pada konteks pemimpin yang akan dipanggil Tuhan bersama umatnya untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya (QS. al-Isra>’ [17]: 71)

Terkait dengan kepemimpinan Sunan Gunung Djati sebagai pemimpin pemerintahan sekaligus pemimpin spiritual, dimana warna spiritual itu sangat nampak pada pemerintahan yang dipimpinnya, sesuai dengan firman Allah tentang kata ima>m dalam QS. Al-Baqarah [2]: 124.

3) Sebagai pemimpin, Sunan Gunung Djati memiliki fungsi ‘Iba>dah sebagai ulu> al-amr. Ada empat pendapat tentang makna ulu> al-amr menurut Fakhruddin al-Ra>zi@ dalam tafsirnya, yaitu (1) al-khulafa< al-ra>shidu>n; (2) pemimpin perang (sariyyah); (3) ulama yang memberikan fatwa dalam hukum shara’ dan mengajarkan manusia tentang agama (Islam); dan (4) imam-imam yang maksum. Sosok Sunan Gunung Djati dalam hal ini, ada pada nomor 2 dan nomor 4 pada empat pendapat al-Ra>zi@ tentang ulu> al-amr

tersebut.

Sebagai pigur pemimpin pemerintahan dan pemimpin agama, menurut penulis, kesimpulan Ibn Katsir dalam kitab tafsirnya bahwa ulu> al-amr adalah, menurut zhahirnya, ulama. Tetapi secara umum, ulu> al-amr dalam pengertian umara dan ulama, adalah sangat tepat dengan diri Sunan Gunung Djati, yang mempunya tugas dan fungsi sebagai umara dan ulama.

Demikianlah beberapa kesimpulan tentang kajian kepemimpinan Sunan Gunung Djati dalam tinjauan filsafat etika dan nilai-nilai al-Qur’an yang dapat penulis sampaikan.

(15)

DAFTAR PUSTAKA

Al-Mawardi@. Al-Ah}ka>m Al-Sult}a>niyah. Beirut: Da>r Al-Fikr, 1980.

Bertens, K. Etika. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2001.

Bruinessen, Martin Van. Kitab Kuning, Pesantren Dan Tarekat. Bandung: Mizan, 1999.

Ekadjati, Atja & Edi. S. Pusaka Rajya-Rajya Bhumi Nusantara, Suntingan Naskah dan Terjemahan, Bagian Proyek Penelitian dan Pengkajian Kebudayaan Sunda (Sundanologi). Bandung: Dirjen Kebudayaan dan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1987.

Fadil, Muhammad. “Gagasan Dasar Mengenai Etika dan Negara Menurut Plato (Sebuah Pengenalan Awal Filsafat Politik Klasik)”.

Paradigma. 9, (2008).

Hakim, Abdul. “Filsafat Etika Ibn Miskawaih”.

Ilmu Ushuluddin. 13, (2014).

Hariyanto, Ishak. “Filsafat Etika Immanuel Kant Dalam Konteks Negara Demokrasi”.

Komunitas. 7, (2015).

Shihab, Quraish. Wawasan Al-Qur’an Tafsir Tematik atas Pelbagai Persoalan Umat.

Bandung: Mizan, 2007.

Sofwan, Ridin. Islamisasi di Jawa, Walisongo, Penyebar Islam di Jawa Menurut Penuturan Babad. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004. Sunardjo. Meninjau Sepintas Penggung

Sejarah Pemerintahan Kerajaan Cirebon

1479-1809. Bandung: Tarsito, 1983.

Suparman. “Pelopor Islamisasi Tatar Sunda Abad XIV Perspektif Naskah.” Al-Tsaqafa.

10, (2013).

Suryaman, Eman. Jalan Hidup Sunan Gunung Jati, Sejarah Faktual Dan Filosofi Kepemimpinan Seorang Pandhita-Raja. Edited by Dodo Widarda. Bandung: Nuansa Cendikia, 2015.

Abdullah, Taufik et.al. Ensiklopedi Tematis Dunia Islam. Jakarta: Ichtiar baru van hoeve, 2002.

Ah}mad bin Fa>ris, Abu> H{usayn. Mu’jam Maqa>yi@s Maqa>yi@s al-Lughah, jil. I. Mesir: ‘Isa al-Ba>b al-H{ala>bi@ wa Awla>duh, 1972.

Al-As}faha>ni@, al-Ra>ghib. Mufrada>t li Alfa>z} al-Qur’a>n, Cet. I. Damsyiq: Da>r Qalam, 1992 dan Beiru>t: Da>r al-Sha>miyah, 1412 H.

---. Mufrada>t Alfa>z} al-Qur’a>n. Cet. I. Beiru>t: Da>r al-Sha>miyah, 1412 H Departemen Agama RI. Al-Qur’an dan

Terjemahnya. Jakarta: Proyek Pengadaan Kitab Suci al-Qur’an, 1992.

Ibn Kathi@r, Tafsi@r Qur’a>n al-‘Adhi@m, jild. 1. Beirut: Da>r al-Fikr, t.t. Al-Juwayni@, Abu> Ma‘a>li@ ‘Abd

al-Ma>lik. al-Asa>lib fi@ al-Khila>fah.

Beirut: Da>r al-Fikr, T.t.

Al-Mawardi@, Abu> al-H{asan. Al-Ah}ka>m al-Sultha>niyyah. Beirut: Da>r al-Fikr, T.t. Al-Maudu>di@, Abu> al-A‘la>. Al-Khila>fah

wa al-Mulk, terj.Muh}ammad al-Baqi@r dengan judul Khilafah dan Kerajaan. Cet.VI. Bandung: Mizan, 1996.

Al-Munawwar, Said Agil Husin. Al-Qur’an Membangun Tradisi Kesalehan Hakiki.

Ciputat: PT. Ciputat Press, 2005.

Al-Ra>zi@, Fakhruddin. Al-Tafsi@r al-Kabi@r. Beirut: Da>r al-Fikr, T.t.

Tjandrasasmita, Uka. “Kerajaan Islam”.

Indonesia Dalam Arus Sejarah, Kedatangan dan Peradaban Islam. No. 3.(2012).

Al-Zuh}aili@, Wahbah. al-Tafsi@r al-Muni@r. Beirut: Da>r al-Fikr, T.t.

Referensi

Dokumen terkait

Organisasi merupakan alat manajemen pada praktek penyelenggara tugas dan kewajiban untuk mencapai suatu sasaran atau tujuan. Terkaitdengan hal tesebut, dlam menjalankan

berorientasi kepada manusia, dan memberikan bimbingan yang efisien kepada pengikutnya. Terdapat koordinasi pekerjaan pada semua bawahan, dengan penekanan pada

Berdasarkan uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa self confidence adalah perasaan yakin akan kemampuan diri sendiri yang mencakup penilaian dan penerimaan yang baik

Sebagai daerah otonom, Pemerintah Provinsi Kalimantan Selatan dalam menjalankan otonominya, didukung dengan Organisasi Perangkat Daerah yang ditetapkan dengan

Berdasarkan hasil penelitian manajemen strategi peningkatan mutu pendidikan di SMK Negeri 5 Medan sudah berjalan dengan baik, jika dilihat dari kerja sama tim yang

Berdasarkan data tabel tersebut, maka produk pengembangan akan berakhir saat skor penilaian terhadap media pembelajaran ini telah memenuhi syarat kelayakan dengan tingkat kesesuaian

Logika fuzzy dapat digunakan untuk menggambarkan suatu sistem dinamika yang kacau, dan logika fuzzy dapat berguna untuk sistem yang bersifat dinamis yang kompleks