Bab 5
Sempurna Sebagai Awam
dalam Perkawinan
dan Keluarga
Setiap manusia mempunyai cara yang unik dalam
setiap prosesnya sejak lahir sebagai manusia
dan mati sebagai manusia. Manusia terlahir ke
dunia untuk menyelesaikan pengembaraannya
dan kemudian menanggalkan segalanya untuk
kembali “nothing” dan bersatu dengan Sang
149
Untuk menjadi sempurna dalam perkawinan dan keluarga bersama anak-anak menjadi semakin kompleks bagi kaum awam. Sebab, selain menyempurnakan dirinya sendiri, juga harus menyempurnakan “diri yang lain” pada pasangannya (suami/isteri). Dalam dunia mistik, perkawinan menurut berbagai pemahaman agama atau spiritual adalah perkawinan antara dua menjadi satu. Jadi, suami atau isteri yang terikat dengan sumpah atau perjanjian perkawinan secara agama atau spiritual/mistik, maka tidak dapat lagi menyempurnakan hanya dirinya sendir. Pasangannya harus ikut menjadi sempurna. Kesempurnaan mistik dalam perkawinan ini dimulai saat kedua pasangan sudah terikat dalam perjanjian tidak lagi menjadi dua, tetapi sudah menjadi satu, baik di hadapan pejabat agama maupun pejabat spiritual atau kepercayaan melalui ritualnya masing-masing.
Bab 5
Sempurna Sebagai Awam
dalam Perkawinan
dan Keluarga
Bab 4 Sempurna Sebagai Awam dalam Perkawinan dan Keluarga MANUSIA SEMPURNA, Dalam Renungan Manusia Biasa
Penjelasan logis untuk kesempurnaan ini sesuai dengan penjelasan sempurna yang sudah dijelaskan dalam bab sebelumnya. Menjadi lebih kompleks karena sudah melibatkan pasangannya, baik itu suami maupun isteri. Sebelum perkawinan, memahami, menyadari, menyelesaikan dan menyempurnakan “aku” sebelumnya melalui perjuangan kesadaran sendiri. Tetapi, sejak awal perkawinan, maka “aku” secara otomatis mengalami transisi atau berpindah sebagian pada pasangannya. Faktor inilah yang membutuhkan kesempurnaan pasangan untuk bersama-sama menyempurnakan “aku” pada diri pasangannya, sehingga tercapai kesempurnaan “dua menjadi satu.”
Semenjak terikat dalam perkawinan, maka “aku” atau “label” semakin kompleks dengan bertambahnya “label” yang melekat, yaitu sebagai suami atau sebagai isteri. Sedangkan label suami sendiri mempunyai label turunan lainnya, yaitu kepala keluarga, pencari nafkah, pekerja, melakukan pekerjaan berat, melindungi keluarga, menjaga isteri, perisai keluarga, dan lain sebagainya. Begitu juga dengan isteri mendapatkan label turunan lainnya secara otomatis, yaitu ikut suami, hormat dan tunduk kepada suami, melayani suami, melahirkan keturunan, memasak, mencuci, mengurus rumah tangga, mengurus anak, dan lain sebagainya. Semua ini, sekali lagi, adalah kepalsuan atau perangkap yang diciptakan oleh nenek-moyang manusia sebagai pembagian tugas untuk membedakan suami dan isteri sesuai dengan dominasi pria dan wanita. Padahal, jika ditelusuri kembali awalnya, semua terlahir sebagai manusia, baik itu pria/ wanita maupun suami/isteri.
Penempatan atau fungsi berbeda yang dilekatkan pada suami atau isteri tidak dikritisi sebagai salah atau benar, tetapi lebih
151
Bab 4 Sempurna Sebagai Awam dalam Perkawinan dan Keluarga MANUSIA SEMPURNA, Dalam Renungan Manusia Biasa
untuk meningkatkan kesadaran pada suami dan isteri supaya tidak terperangkap dengan semua “label” tersebut. Sampai di sini, dapat dikatakan untuk menjadi sempurna, masing-masing pasangan, baik suami maupun isteri, memiliki upaya ganda (double effort), yaitu menyempurnakan “aku” sebagai diri sendiri dan menyempurnakan “aku” sebagai suami atau isteri.
Proses penyempurnaan “aku” sebagai diri sendiri dan sebagai suami atau isteri juga sama, yaitu harus melalui proses pembelajaran, pengetahuan dan pengalaman yang diolah melalui label sedih, senang, gagal, sukses, bertengkar, kaya, miskin, salah paham, cemburu, tergoda wanita/pria lain, dan sebagainya. Semua ini dibutuhkan sebagai “bahan bakar,” yang nantinya dibutuhkan untuk “membakar” semua perangkap atau kepalsuan tersebut dan kembali kepada kesadaran sejati menjadi manusia tanpa melekat atau terikat dengan “label” yang disandangkan, baik untuk suami maupun isteri: menjadi semata manusia. Paling penting dari proses labelisasi dalam perkawinan ini adalah tetap mengembangkan kesadaran tanpa benar atau salah dan tidak keluar dari ikatan perkawinan atau cerai, sebab bercerai hanya memperpanjang waktu, usaha, dan perjalanan menuju sempurna.
Setelah ada anak atau keturunan maka perjalanan kesempurnaan semakin kompleks lagi karena diikuti oleh label lainnya, yaitu sebagai Bapak atau Ibu. Secara singkat, kekompleksan jalan kesempurnaan dalam perkawinan dengan adanya anak dapat dikatakan sebagai berikut:
1. Menyangkal (sempurna) diri sendiri
2. Menyangkal (sempurna) diri sebagai suami/isteri 3. Menyangkal (sempurna) diri sebagai bapak/ibu
Bab 4 Sempurna Sebagai Awam dalam Perkawinan dan Keluarga MANUSIA SEMPURNA, Dalam Renungan Manusia Biasa
Dan jika diperkenankan hidup dengan mendapatkan cucu atau cicit, maka:
4. Menyangkal (sempurna) diri sebagai kakek/nenek.
Khusus untuk kesempurnaan dalam perkawinan ini akan dibahas tersendiri lebih mendalam dalam buku berikutnya dengan rincian serta semua tantangan juga solusinya. Apa yang disampaikan di sini hanya sebagai pengantar saja. Kesempurnaan dalam perkawinan sangat kompleks sehingga membutuhkan pembahasan, analisa dan jalan kesempurnaan sendiri.
Untuk Apa Semua Ini?
Setelah membaca, mengetahui dan merenungkan semua penjelasan sebelumnya, maka pertanyannya sekarang adalah, “untuk apa semua ini?” Apakah sekadar untuk membuat kebingungan? Apakah sekadar untuk memprovokasi? Apakah sekadar untuk gaya-gayaan? Apakah ingin menjadi sok spiritual? Apakah ada agenda yang tersembunyi? Apakah ini menyesatkan? Apakah hanya buang waktu saja? Atau masa bodoh dengan semuanya?
Semua dikembalikan kepada pembaca sekalian, karena tidak ada yang salah dan benar dari setiap reaksi para pembaca. Hanya saja, jika banyak penilaian yang muncul, maka akan memperpanjang jalan kesempurnaan Anda. Jadi, kembangkan kesadaran untuk memahami semuanya. Hal ini akan semakin mempersingkat jalan kesempurnaan Anda.
Penjelasan dan pemahaman yang disampaikan di sini adalah cara untuk mengembangkan kesadaran, sehingga setiap pembaca
153
Bab 4 Sempurna Sebagai Awam dalam Perkawinan dan Keluarga MANUSIA SEMPURNA, Dalam Renungan Manusia Biasa
dapat tergugah dan mendapatkan jawaban dari setiap pertanyaan:
Apa itu hidup? Untuk apa hidup?
Selain itu, tujuan penulisan buku ini untuk membawa setiap manusia memasuki mistisisme melalui agama, kepercayaan atau keyakinannya masing-masing, sehingga dapat mengalami persatuan dengan Sang Pencipta atau Tuhan. Kemudian, lahir sebagai manusia dan mati sebagai manusia dengan sempurna.
Seringkali, dan bahkan terlalu sering, ketika menyaksikan kematian manusia, maka di dalam pikiran kita, orang tersebut mati sebagai manusia. Kesadaran inilah yang ingin digugah, bahwa belum tentu orang tersebut (sebagian besar manusia) mati sebagai manusia. Jika, wujudnya mati sebagai manusia: YA. Tetapi, untuk memastikan mati sebagai manusia, maka silakan baca buku ini dari awal untuk memahaminya.
Mengapa perlu mati sebagai manusia? Jawabannya sangat gampang sekali. Karena sejak awal terlahir ke dunia sebagai manusia. Lahir sebagai manusia bermakna “nothing” atau tiada. Inilah modal awal manusia terlahir ke dunia, sehingga manusia dapat “mengisi” dirinya dan membuktikan serta menguji dirinya sendiri bahwa dia dapat mempertangungjawabkan “isi” dengan label “aku” tidak dapat menghalanginya untuk kembali bersatu dengan Sang Pencipta melalui kematian. Dan matilah sebagai manusia, sebagaimana dahulu terlahir sebagai manusia.
Ini satu pembuktian bahwa setiap manusia adalah sama. Diciptakan dari roh Sang Pencipta yang sama, meski denominasi agama, kepercayaan, atau keyakinannya masing-masing. Selain itu, setiap manusia mempunyai cara yang unik dalam setiap prosesnya
Bab 4 Sempurna Sebagai Awam dalam Perkawinan dan Keluarga MANUSIA SEMPURNA, Dalam Renungan Manusia Biasa
sejak lahir sebagai manusia dan mati sebagai manusia. Manusia terlahir ke dunia untuk menyelesaikan pengembaraannya dan kemudian menanggalkan segalanya untuk kembali “nothing” dan bersatu dengan Sang Pencipta melalui kematian raganya.
Buku ini juga ingin mencerahkan pembaca, bahwa manusia terlahir dengan “nothing” atau ketiadaan adalah cerminan manusia tidak eksis. “Aku” tidak ada. Yang ada hanyalah cerminan Sang Pencipta itu sendiri melalui wujud manusia. Manusia adalah cerminan Sang Pencipta yang hadir di dunia. Petanyaan yang menarik di sini adalah, “bagaimana Sang Pencipta yang terlahir sebagai manusia dapat kembali bersatu dengan Sang Pencipta itu sendiri setelah kematiannya sebagai manusia?” Dengan mati sebagai manusia dan menanggalkan “aku” berikut semua label atau “isi” yang terkandung di dalamnya, maka Sang Pencipta yang sebagai manusia tersebut dapat kembali dan bersatu dengan Sang Pencipta itu sendiri. Sempurna!
Penjelasan ini juga dapat menjawab keresahan hidup atau berbagai persoalan hidup manusia: sedih, stres, gagal, frustrasi, putus asa, lemah, menderita, miskin, tidak punya uang, tidak punya rumah, sakit, gagal, dan penderitaan lainnya. Logikanya, karena manusia tidak eksis, maka Sang Pencipta (Tuhan) mau menanggung segala penderitaan itu semua dalam wujud manusia. Tetapi, karena manusia terlalu sombong dan menganggap dirinya eksis, merasa memiliki dan berhak atas dirinya sendiri, maka semua penderitaan itu ditanggung sendiri. Menjadilah semua itu beban yang menyakitkan. Begitu juga sebaliknya, di saat manusia senang, bahagia, sukses, kaya, sehat, dan kesenangan atau kenikmatan lainnya bagi manusia, maka semua hal itu menjadi menyenangkan karena kesombongan. Lalu,
155
Bab 4 Sempurna Sebagai Awam dalam Perkawinan dan Keluarga MANUSIA SEMPURNA, Dalam Renungan Manusia Biasa
manusia merasa eksis serta berhak atas kesenangan itu. Padahal, manusia itu “tidak ada.” Manusia tidak eksis sejak kelahirannya ke dunia. Yang ada hanya wujudnya sebagai manusia, tetapi dalam ketiadaan atau “nothing.” Jadi, apapun yang terjadi pada manusia, baik itu menderita, menyakitkan, menyenangkan atau memuaskan manusia, semuanya merupakan milik Sang Pencipta. Manusia hanya menjalaninya serta menjaga ketiadaan sang Pencipta dalam diri manusia supaya kelak dalam kematian juga sebagai manusia yang sempurna dan dapat kembali kepada Sang Pencipta atau Tuhan itu sendiri. (*)
Mulianta Marcelles adalah konsultan dan marketer yang berpengalaman selama dua puluh tahun di dunia telekomunikasi. Di puncak karirnya sebagai direksi pada perusahaan multinasional, beragam pertanyaan tentang tujuan hidup selalu mengganggu pikirannya. Mulianta meninggalkan karir yang telah digelutinya selama puluhan tahun, dan memulai melakukan perjalanan panjang mengelilingi Eropa. Satu per satu tempat para ahli filsafat dunia ia kunjungi. Dan jawaban demi jawaban ia temukan.
Mulianta terus mengasah kemampuannya. Ia kemudian memperdalam ilmu hipnoterapi. Suami Mardiana ini mendapat Master Hynotherapy, Self Hypnosis Teacher (7PATH) dan 5PATH Hypnotherapist diploma dari Cal Banyan (www.calbanyan.com). Kini ia tak hanya mampu mengajarkan Self Hypnosis di Indonesia, ia juga dapat merekomendasikan bagi mereka yang ingin mendapat serifikat dari Cal Banyan.
Kini, Mulianta banyak menghabiskan waktu untuk sharing dan bermeditasi, termasuk meditasi bersama praktisi spiritual, Guru Gede Prama dan RM. Johanes Sudritjatna. Selama sharing, para klien dan sahabat menyarankannya untuk menuliskan dalam sebuah buku. Setelah buku pertamanya yang berjudul THE POWER OF NOTHING, kini buku keduanya hadir di tangan Anda.