DETEKSI ANTIGEN VIRUS RABIES PADA JARINGAN
OTAK DENGAN METODE IMUNOHISTOKIMIA
(The Detection of Viral Antigen of Rabies in Brain Tissues by
Immunohistochemical Technique)
RINI DAMAYANTI1,ALFINUS2,I.RAHMADANI3danFAISAL4 1Balai Besar Penelitian Veteriner, Jl. R.E. Martadinata No. 30, Bogor 16114
2Balai Besar Veteriner Maros, Jl. Sam Ratulangi, Kabupaten Maros 90514 3BPPV Regional II, Jl. Raya Bukittinggi-Payakumbuh Km. 14, Bukittinggi
4BPPV Regional I, Jl. Jendral Gatot Subroto No. 255 A, Medan
ABSTRACT
A number of 46 rabies suspected brain tissues were used in this study. They were collected from BBV Maros (16 samples), BPPV Regional I Medan (8 samples), and BPPV Regional II Bukittinggi (22 samples). The tissues were fixed in Buffered Neutral Formalin (BNF) 10% and had been processed as paraffin block using standard method. The tissues were cut 3 µm and stained with immunohistochemical (IHC) method using streptavidin-biotin peroxidase technique and the viral antigen was visualized with a substrate called 3-amino-9-ethyl carbazole (AEC). The study showed that 28 of 46 samples (60.9%) were diagnosed as positive rabies by immunohistochemistry. If it was compared to the standard method for rabies, Fluorescent Antibody Technique (FAT), the relative sensitivity and specificity for IHC was 66.7% and 77.8% respectively.
Key Words: Rabies, Brain Tissues, Immunohistochemistry (IHC), Sensitivity, Specificity, FAT
ABSTRAK
Sejumlah 46 organ otak yang diduga terinfeksi rabies telah dipakai dalam penelitian ini. Sampel tersebut berasal dari BBV Maros (16 buah), BPPV Regional I Medan (8 buah), dan BPPV Regional II Bukittinggi (22 buah). Organ otak tersebut difiksasi dalam larutan Buffered Neutral Formalin (BNF) 10% dan telah diproses sebagai blok paraffin dengan metode standar. Jaringan otak dipotong 3 µm dan diwarnai secara imunohistokimiawi (IHK) dengan metode streptavidin-biotin peroksidase dan antigen divisualisasikan dengan substrat amino-ethyl carbazole (AEC). Sebanyak 28 dari 46 sampel tersebut (60,9%) dinyatakan positif dengan teknik IHK. Apabila hasil tersebut dibandingkan dengan metode standar untuk rabies yaitu
Fluorescent Antibody Technique (FAT) maka sensitifitas dan spesifisitas relatif untuk IHK yaitu 66,7% dan
77,8%.
Kata Kunci: Rabies, Organ Otak, Imunohistokimia, Sensitifitas, Spesifisitas, Fat
PENDAHULUAN
Penyakit rabies merupakan salah satu jenis penyakit zoonosis yang menyerang susunan syaraf pusat. Rabies masih dianggap penyakit penting di Indonesia karena bersifat fatal dan dapat menimbulkan kematian serta berdampak psikologis bagi orang yang terpapar. Penyakit rabies tersebar luas di berbagai belahan dunia, termasuk Indonesia. Menurut data World
Health Organization (WHO) rabies terjadi di
92 negara dan bahkan bersifat endemik di 72 negara. Hal lain yang membuat penyakit rabies
ini sangat penting adalah kenyataan bahwa selain bersifat fatal, penyakit ini penyebarannya di Indonesia makin lama cenderung meluas karena ada pulau yang sebelumnya bebas menjadi tertular (SOEJOEDONO, 2005).
Sementara itu menurut SK Menteri Pertanian tahun No 892/Kpts/TN/560/9/97 tanggal 9 September 1997, Jawa Timur, Jawa Tengah dan DI Yogyakarta dinyatakan sebagai daerah bebas rabies. Pada akhir tahun 1997 wabah rabies terjadi di Flores Timur karena disinyalir terdapat pemasukan anjing dari pulau Buton, Sulawesi Tenggara. Pada tahun 2004
berdasarkan SK Menteri Pertanian No 566/Kpts/PD/PD640/10/2004, DKI Jakarta, Jawa Barat dan Banten dinyatakan sebagai daerah bebas rabies (DEPARTEMEN PERTANIAN, 2006).
Berhubung terdapat kasus rabies di Flores pada tahun 1997, Maluku pada tahun 2003 (ADJID et al., 2005) dan Kalimantan Barat pada
tahun 2005 (KALIANDA et al., 2005) maka sampai tahun 2005 daerah bebas rabies di Indonesia hanya meliputi Jawa, Bali, NTB dan Papua. Namun kenyataan terkini menyebutkan bahwa berdasarkan Keputusan Menteri Pertanian Nomor 1637.1, 1 Desember 2008 maka Bali dinyatakan terjangkit wabah rabies di Kabupaten Badung, Propinsi Bali. Selain itu Keputusan Menteri Pertanian Nomor 1696, tanggal 12 Desember 2008 menetapkan Propiinsi Bali sebagai Kawasan Karantina Penyakit anjing gila/rabies (KEPMENTAN, 2008).
Data menunjukkan bahwa rabies masih bersifat endemis di sebagian besar wilayah Indonesia. Di Jawa Barat terdapat 6 kasus (BBV Wates, Jogjakarta, 2006), 91 kasus rabies di Sumatera Utara dan Aceh (BPPV Regional I Medan, 2007), 214 kasus di Sumatrea Barat, Riau, Kepulauan Riau dan Jambi (BPPV Regional II, 2007), 39 kasus di Bengkulu, Lampung dan Sumatera Selatan (BPPV Regional III, 2004), 37 kasus di Kalimantan Selatan, Tengah, Timur dan Barat (BPPV Regional V Banjarbaru, 2007), 26 kasus di Nusa Tenggara Timur (BBV Denpasar, 2007), dan 98 kasus di Gorontalo, Sulawesi Barat, Tenggara dan Selatan (BBV Maros, 2007).
Rabies menyerang induk semang berdarah panas, termasuk manusia dan meskipun semua mamalia tergolong hewan peka terhadap rabies namun hanya beberapa spesies saja yang berperan sebagai reservoir penting (CENTER FOR DESEASE CONTROL, 2003). Penularan terjadi melalui air liur yang berasal dari hewan yang terinfeksi rabies, dapat melalui kontaminasi mukosa selaput lendir pada mata, hidung dan mulut namun yang paling sering terjadi yaitu melalui gigitan hewan yang terinfeksi (KING, 1992). Penyakit rabies disebabkan oleh virus dari genus Lyssavirus, famili Rhabdoviridae (CLIQUET dan MEYER, 2004). Virus bersifat single stranded,
merupakan RNA tidak bersegmen dan terbungkus dalam nukleokapsid protein (AUSVETPLAN, 1996). Patogenesis penyakit menunjukkan bahwa setelah terjadi gigitan dari hewan yang terinfeksi maka virus rabies menjalar dari susunan syaraf perifer ke susunan syaraf pusat. Virus Rabies dapat bertahan 1-13 hari pada air liurnya sebelum hewan tersebut menunjukkan gejala klinis (BOGEL, 1987).
Rabies menimbulkan gejala klinis berupa kelainan syaraf, antara lain demam, gerakan tidak terkontrol, kekakuan pada otot leher, hipersalivasi, hydrophobia, kejang, tremor, paralisis dan kemudian terjadi kematian. Berhubung gambaran pasca mati tidak patognomonik maka konfirmasi diagnosis harus melalui uji laboratorium. Tujuan dari penelitian ini adalah mendeteksi antigen virus rabies pada preparat histopatologi yang berupa blok parafin dengan metode imunohistokimia. Hal ini dilakukan karena dengan metode pewarnaan konvensional H&E atau pewarnaan
Seller's partikel virus yang biasa disebut
dengan Negri body, sangat sulit untuk dideteksi. Selain itu untuk mengetahui seberapa jauh angka sensitifitas dan spesifisitas relatif dari IHK terhadap FAT karena dalam penelitian ini hasil uji IHK dibandingkan dengan metode standar untuk rabies yaitu FAT (OIE, 2000).
MATERI DAN METODE Sampel berupa blok parafin
Sejumlah 46 organ otak yang diduga terinfeksi rabies telah dipakai dalam penelitian ini. Sampel tersebut berasal dari BBV Maros (16 buah), BPPV Regional I Medan (8 buah), dan BPPV Regional II Bukittinggi (22 buah). Organ otak tersebut dipotong setebal 0,5 cm dan difiksasi dalam larutan Buffered Neutral
Formalin (BNF) 10% dan telah diproses
sebagai blok paraffin dengan metode standar. Blok tersebut selanjutnya dipotong 3 µm dengan alat mikrotom untuk diproses sebagai preparat histopatologi. Sebagai kontrol positif dipakai blok parafin yang berisi organ otak positif terinfeksi rabies dan untuk kontrol negatif dipakai blok parafin yang berisi organ otak yang tidak terinfeksi rabies.
Fluorescent Antibody Technique (FAT)
Organ otak segar atau yang sudah difiksasi dalam larutan gliserin dan buffer saline atau NaCl 50%, dicuci dan digerus lalu dibuat preparat ulas sesuai metode standar (DEAN et
al., 1996). Preparat yang diduga mengandung
antigen rabies diberi antibodi yang sudah dilabel dengan suatu konjugat, yang paling sering dipakai yaitu fluorescein iso-thiocyanate (FITC) dan diamati dengan bantuan mikroskop fluorescent di ruang gelap. Sampel dinyatakan sebagai positif rabies apabila pada preparat ditemukan titik yang berwarna terang atau terlihat berpendar seperti bintang berwarna kuning emas kehijauan pada lokasi intra sitoplasmik atau nukleus (DEAN et al., 1996). Metode FAT ini dilakukan oleh BBV Maros, BPPV Regional I Medan dan BPPV Regional II Bukittinggi.
Antisera terhadap virus rabies
Antisera yang berupa poliklonal sera pada penelitian ini berfungsi sebagai antibodi primer untuk pewarnaan imunohistokimia dan disiapkan oleh BBV Maros. Antisera terhadap virus rabies tersebut diproduksi pada kelinci yang selanjutnya akan dipakai sebagai reagen utama pada pewarnaan imunohistokimia untuk mendeteksi antigen virus rabies pada jaringan yang diduga terinfeksi rabies. Antisera terhadap virus rabies ini diproduksi pada kelinci dewasa dengan cara menyuntikkan vaksin rabies (Rabisin®, Romindo) sebanyak 1 ml secara sub-kutan. Suntikan kedua dilakukan setelah dua minggu dan suntikan ketiga dilakukan satu minggu kemudian dengan dosis dan rute yang sama. Antisera dipanen satu minggu kemudian. Sebagai kontrol negatif dipakai antisera kelinci yang disuntik dengan larutan PBS pH 7,4. Selain menggunakan poliklonal sera sebagai antibodi primer, dapat juga dipakai monoklonal sera yang dapat diperoleh secara komersial namun tentu saja dengan harga yang relatif mahal.
Pewarnaan imunohistokimia dengan metode avidin biotin peroksidase
Pewarnaan imunohistokimia (IHK) pada penelitian ini mengacu pada metode yang
dikembangkan oleh HSU et al. (1981), dengan menggunakan metode avidin biotin peroxidase
complex (ABC). Dalam penelitian ini dipakai
kit komersial (LSAB-2 System peroxidase
universal kit, DAKO, No. K 0672, Denmark).
Pada prinsipnya, preparat histopatologi (HP) diaplikasikan dengan antisera terhadap virus rabies yang sudah distandardisasi sebelumnya melalui metode checkerboard
titration. Antisera rabies yang berupa poliklonal
sera diaplikasikan dengan konsentrasi 1 : 100 dan selanjutnya diberi antibodi sekunder yang sudah dilabel dengan biotin/biotiylated
secondary antibody (DAKO, Denmark).
Setelah itu streptavidin peroksidase (DAKO, Denmark) diaplikasikan dan untuk memvisualisasikan antigen yang terdapat pada preparat HP maka ditambahkan substrat amino
ethyl carbazole (AEC) yang berwarna coklat
(SIGMA CHEM. CO, USA).
Preparat dinyatakan positif mengandung antigen virus rabies apabila antigen dapat dideteksi secara definitif pada area intra-sitoplasmik (di dalam sitoplasma sel neuron). Substrat yang dipakai yaitu AEC yang berwarna merah kecoklatan sehingga antigen juga berwarna merah kecoklatan, dengan latar belakang area berwarna biru yang berasal dari warna hematoksilin. Sebaliknya preparat dinyatakan negatif jika pada preparat tidak dapat dideteksi warna coklat kemerahan pada sel definitif sehingga preparat secara difus tampak hanya berwarna biru saja. Pewarnaan IHK pada penelitian ini dilakukan di Balai Besar Penelitian Veteriner (BBalitvet), Bogor.
Penentuan spesifisitas dan sensitifitas
Spesifisitas merupakan proporsi dari hewan sehat dalam suatu populasi yang dinyatakan dengan hasil uji negatif sedangkan sensitifitas yaitu proporsi dari hewan sakit dalam suatu populasi yang dinyatakan dengan hasil uji positif (OIE, 2000). Angka (%) spesifisitas dan sensitifitas dapat diketahui dengan perhitungan menurut OIE (2000) sebagai berikut:
Tpositif
Sensitifitas =
T negatif Spesitifitas = ---
T negatif + F positif
dimana:
Tpositif : jumlah hewan sakit yang memberikan hasil
postif dengan suatu metode uji
Fpositif : jumlah hewan sehat yang memberikan
hasil positif dengan suatu metode uji
Fnegatif : jumlah hewan sakit yang menghasilkan
hasil uji negatif dengan suatu metode uji
Tnegatif : jumlah hewan sehat yang menghasilkan
hasil uji negatif dengan suatu metode uji
Di dalam penelitian ini pengujian IHK dibandingkan sensitifitas dan spesifisitasnya dengan pengujian FAT, yang merupakan
golden standard untuk diagnosis rabies (OIE,
2000) sehingga diperoleh angka sensitifitas dan spesifisitas relatif untuk IHK terhadap FAT.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil pewarnaan IHK ternyata menunjukkan bahwa sebanyak 28 dari 46 sampel (60,9%) dinyatakan positif rabies (Tabel 1). Selain hasil pewarnaan IHK tersebut maka pada Tabel 1 dapat pula dilihat hasil dari pengujian lain yaitu FAT, yang merupakan
golden standard untuk diagnosis rabies (OIE,
2000). Hasil pengujian FAT menunjukkan 33 dari 42 sampel (78,6%) positif rabies. Pada Tabel 2 dan Tabel 3 kita dapat melihat sejauh mana sensitifitas relatif dan spesifisitas relatif dari pengujian IHK jika FAT dianggap sebagai
golden standard untuk diagnosis rabies (OIE,
2000). Dari kedua tabel tersebut ternyata sensitifitas dan spesifisitas untuk IHK cukup baik yaitu masing masing 66,7 dan 77,8%.
Tabel 1. Hasil pemeriksaan rabies dengan metoda imunohistokimia
No. spesimen Jenis hewan Umur Seks Asal hewan FAT IHK
512/05 Anjing Dewasa - Pangkep TD Positif (+++)
81/06 Anjing 2 tahun ♀ Kendari Positif Negatif
84/06 Anjing - - Tator Positif Positif (+++)
96/06 Anjing - - Maros TD Positif (++)
97/06 Anjing 1 tahun ♀ NTT Negatif Negatif
101/06 Anjing - ♂ Tator Positif Negatif
106/06 Anjing - ♀ NTT Negatif Positif (+++)
119/06 Anjing - - Tator Negatif Negatif
133/06 Anjing 4 tahun ♀ - TD Positif (+++)
134/06 Anjing - - Manado Positif Negatif
135/06 Anjing - ♂ Manado Positif Positif (+++)
136/06 Anjing - ♂ Tator Positif Negatif
138/06 Anjing - ♀ Tator Positif Negatif
139/06 Anjing - ♂ NTT Positif Negatif
142/06 Anjing 1 tahun - Maros TD Positif (++)
152/06 Anjing - - NTT Positif Positif (++)
89/06 Anjing 1.8 tahun ♂ Medan Positif Positif (+++)
91/06 Anjing 5 tahun ♀ Medan Positif Positif (+++)
290/06 Anjing 10 bulan ♂ Medan Positif Positif
357/06 Anjing 2 bulan ♂ Medan Positif Negatif
Tabel 1. (lanjutan)
403/06 Anjing 2 tahun ♀ Medan Positif Negatif
462/06 Anjing 2 tahun ♀ Medan Positif Positif
494/06 Anjing 4 bulan ♀ Medan Positif Negatif
70/06 Anjing 2 tahun ♂ Solok Positif Positif (+)
76/06 Anjing 3 tahun ♀ Solok Positif Positif (+)
81/06 Anjing Anak ♂ Padang Positif Positif (+)
146/06 Anjing 3 tahun ♀ Solok Negatif Negatif
150/06 Anjing Anak ♂ Agam Positif Positif (++)
155/06 Anjing 1 tahun ♀ Agam Positif Positif (+++)
166/06 Anjing 2 tahun ♂ 50 Kota Positif Positif (++)
176/06 Anjing 4 bulan ♂ 50 Kota Positif Positif (++)
No. Spesimen Jenis Hewan Umur Seks Asal FAT IHK
177/06 Anjing Anak ♂ 50 Kota Positif Positif (+++)
178/06 Anjing 5 bulan ♂ Padang Positif Positif (+)
181/06 Anjing Dewasa ♀ Agam Positif Positif (+)
187/06 Anjing Dewasa ♂ Solok Negatif Negatif
225/06 Anjing 5 bulan ♀ T.Datar Positif Negatif (lysis)
234/06 Anjing Dewasa ♂ B.tinggi Positif Positif (+++)
240/06 Anjing Dewasa - Pasaman Negatif Negatif
241/06 Anjing Dewasa - Padang Positif Positif (+)
244/06 Berang2 Dewasa - B.tinggi Negatif Negatif
274/06 Anjing 3 bulan - B.tinggi Positif Positif (+++)
275/06 Anjing - ♂ T.Datar Positif Positif (+++)
276/06 Anjing Dewasa ♀ Padang Negatif (lysis) Negatif (lysis)
283/06 Anjing Anak ♂ T.Datar Positif Positif (+++)
284/06 Anjing 8 bulan ♀ 50 Kota Positif Negatif (lysis) Spesimen nomor 1- 16 dari BBV Maros; Spesimen nomor 17- 24 dari BPPV Regional I Medan; Spesimen nomor 25 - 46 dari BPPV Regional II Bukittinggi; : Tidak ada data; TD: Uji tidak dilakukan; +: Positif lemah; ++: Positif sedang; +++ : Positif kuat
Tabel 2. Jumlah sampel yang positif FAT dan IHK
IHK No. FAT + - Jumlah 1 + 22 11 33 2 - 2 7 9 Jumlah 24 18 42
Total sample pada Tabel 1: 46; Total sampel FAT yang tidak dikerjakan: 4; Total sampel FAT yang dikerjakan: 42
Tabel 3. Perbandingan sensitifitas dan spesifisitas
relatif IHK terhadap FAT
Metode Sensitifitas (%) Spesifisitas (%)
FAT 100 100
IHK 66,7 77,8
Sensitifitas FAT : 33
Sensitifitas relatif IHK terhadap FAT: 22
22 + 11 33 + 0
X 100% = 100%
Sensitifitas FAT:
9
Sensitifitas relatif IHK terhadap FAT: 7
Baik pengujian FAT maupun IHK mempunyai kelebihan dan kekurangan. Hasil penelitian ini uji FAT dianggap sebagai golden
standard untuk diagnosis rabies karena terbukti
paling sensitif dan akurat dalam mendeteksi hewan yang terinfeksi rabies (OIE, 2000). Kendalanya pemeriksaan harus dilakukan pada preparat segar atau yang sudah difiksasi dalam larutan gliserin dan NaCl 50%, sebelum organ mengalami autolisis (OIE, 2000). Pemeriksaan hasil uji FAT hanya dapat dilakukan dengan mikroskop fluoresent dan hasil pengujian FAT hanya bersifat sementara (tidak permanen).
Selain FAT dan IHK, dikenal pula pewarnaan Selller's yang tergolong uji yang sangat praktis dan cepat tetapi sensifitasnya tergolong rendah (ANJARIA dan JHALA, 1985) dan pemeriksaan hanya dapat dilakukan dengan mikroskop perbesaran tinggi (100 x dengan bantuan minyak emersi). Pada pewarnaan Seller’s, Negri body tidak mudah
ditemukan, perlu ketelitian sangat tinggi karena
Negri body hanya terdapat dalam jumlah
sangat sedikit (satu atau dua buah per preparat). Selain itu hasil pewarnaan ini tidak permanen dan sediaan preparat ini tidak dapat melukiskan derajat keparahan dan distribusi lesi pada otak.
Selain pewarnaan Seller’s, pewarnaan konvensional hematoksilin dan eosin (H&E) dapat juga dilakukan. Meskipun teknik ini tergolong mudah dan cepat tetapi pewarnaan H&E ini juga kurang akurat dalam mendeteksi partikel virus (Negri body) yang berukuran sangat kecil (LEPINE dan ATANASIU, 1996). Gambar 1A dan B memperlihatkan pewarnaan H & E pada otak yang terinfeksi Rabies tetapi
Negri body cukup sulit untuk dideteksi dan
diperlukan ketelitian yang tinggi. Negri body biasanya hanya akan ditemukan pada neuron yang terdapat pada area hipokampus saja, dan cukup sulit untuk dideteksi karena dengan pewarnaan H & E, sel neuron intinya berwarna biru, sitoplasma berwarna merah jambu, sedangkan Negri body pada sitoplasma berwana merah muda. Seperti halnya pada pewarnaan
Seller's, pada pewarnaan H & E ini diperlukan
ketelitian sangat tinggi untuk mendeteksi Negri
body (jumlahnya satu-dua buah per preparat),
seperti tampak pada Gambar 1C.
X 100%= 100%
9 + 0
X 100% = 77,8% 7 + 2
Gambar 1. A: Otak besar dengan area hipokampus yang terdiri atas sel-sel neuron; B: Hipokampus pada
otak. Inti sel neuron berwarna biru dan sitoplasma berwarna merah jambu. Negri Body Rabies yang berwarna merah eosinofilik terletak pada sitoplasma sel neuron; C: Negri body pada area sitoplasma sel neuron di bagian hipokampus otak. (lihat tanda panah). Pewarnaan H & E
Namun disamping keterbatasan tersebut, pewarnaan H & E memiliki beberapa keuntungan dalam mendeteksi rabies karena sampel berupa blok parafin atau organ otak yang sudah difiksasi dalam larutan BNF 10% yang tahan lama sehingga dapat dilakukan
pengujian secara retrospektif. Selain itu derajat keparahan lesi dan distribusi lesi dapat terlihat dengan jelas.
Menurut OIE (2000) secara histopatologis, pewarnaan imunohistokimia (IHK) yang berdasarkan pada reaksi antigen-antibodi
B
kompleks, merupakan satu-satunya uji yang dapat diandalkan untuk rabies. Pada metode IHK jika jaringan organ yang mengandung partikel antigen (virus rabies) direaksikan dengan antisera anti virus rabies maka antigen tersebut dapat dideteksi dan divisualisasikan dengan pewarna/substrat/kromagen tertentu, misalnya di amino benzidine (DAB) yang berwarna coklat atau amino ethyl carbazole (AEC) yang berwarna merah kecoklatan (VAN NOORDEN, 1986). Pada penelitian ini hasil IHK sangat mudah dideteksi bahkan pada perbesaran kecil (10 atau 20 x) pada mikroskop biasa karena partikel virus berupa Negri body berwarna merah kecoklatan (dari AEC) sedangkan latar belakang (sel neuron dan jaringan di sekitarnya) berwarna biru dari hematoksilin (Gambar 2). Pada Gambar 3 dapat dilihat bahwa pewarnaan IHK dapat mendeteksi Negri body dengan sangat mudah dan partikel virus (Negri body) dapat dideteksi dalam berbagai bentuk dan ukuran dan dalam jumlah besar yaitu 5 – 20 (atau lebih) buah per sel neuron (dalam satu lapang pandangan terdapat puluhan sel neuron). Hasil visualisasi
Negri body yang menakjubkan ini juga dialami
oleh SUJA et al. (2004) pada otak fox dan JOGAI
et al. (2000) pada kasus rabies pada manusia.
Lagipula, jika pada pewarnaan H&E area yang paling tepat untuk mencari Negri body hanya pada daerah hipokampus maka dengan IHK
Negri body dapat ditemukan di setiap
sitoplasma sel neuron dari bagian otak mana saja.
Menurut ANJARIA dan JHALA (1985) dan MOMOTANI (1994) teknik imunohistokimia ini mempunyai banyak keunggulan yaitu: dapat mendeteksi antigen pada jaringan dengan akurat, preparat dapat diperiksa dengan menggunakan mikroskop biasa (bukan mikroskop elektron atau mikroskop fluoresens), hasil permanen hingga beberapa bulan, dapat dipakai untuk studi retrospektif dan untuk mempelajari patogenesis penyakit (predileksi antigen pada jaringan, kerusakan/lesi yang ditimbulkan antigen, derajat keparahan lesi). Selain itu pewarnaan IHK untuk penyakit rabies merupakan teknik uji yang tergolong cepat, aman, sensitif dan spesifik (JOGAI et al., 2000).
Gambar 2. Otak besar dengan inti sel neuron berwarna biru tua dan sitoplasma biru muda. Pada area intra
sitoplasmik banyak dideteksi Negri Body berwarna merah dengan berbagai bentuk dan ukuran. Pewarnaan IHK
Gambar 3. Negri Body dalam area intra sitoplasmik sel neuron, berwarna merah kecoklatan, dalam
berbagai bentuk dan ukuran. Di dalam satu sel neuron dapat dideteksi lebih dari 20 buah Negri
Body. Pewarnaan IHK
Literatur terkini (DUUR et al., 2008) menyebutkan bahwa telah dikembangkan metode baru yang disinyalir sangat cocok untuk negara berkembang yaitu direct rapid
immunohistochemical test (dRIT) yang
mempunyai prinsip seperti IHK tetapi sampel yang diuji bukan berupa preparat organ otak melainkan preparat sentuh yang berasal dari organ otak. Keuntungannya yaitu jauh lebih praktis dan cepat jika dibandingkan dengan IHK namun tentu saja diperlukan kehatia-hatian pada saat pengambilan sampel preparat sentuh karena kita langsung berhadapan dengan sumber/agen infeksius. Indonesia sebaiknya juga segera melakukan penelitian dan meninjau kelayakan uji tersebut untuk digunakan di laboratorium yang menangani sampel rabies.
KESIMPULAN
Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa sebanyak 28 dari 46 sampel (60,9%) dinyatakan positif rabies dengan pewarnaan
IHK dan dengan pengujian FAT, yang merupakan golden standard untuk diagnosis rabies, menunjukkan 33 dari 42 sampel (78,6%) positif rabies. Adapun sensitifitas dan spesifisitas relatif untuk pengujian IHK terhadap uji FAT cukup baik yaitu masing-masing 66,7 dan 77,8%. Selain uji standart FAT, maka secara histopatologis pewarnaan IHK yang berdasarkan pada reaksi antigen-antibodi kompleks, merupakan uji yang cepat, aman, sensitif dan spesifik untuk mendiagnosis rabies. Pewarnaan IHK dapat mendeteksi antigen pada jaringan dengan akurat tanpa menggunakan mikroskop fluoresens, hasil permanen, dapat dipakai untuk studi retrospektif dan untuk mempelajari patogenesis penyakit.
DAFTAR PUSTAKA
ADJID, R.M.A., A. SAROSA, T. SYAFRIATI dan YUNINGSIH.2005. Penyakit rabies di Indonesia
dan pengembangan teknik diagnosisnya. Wartazoa 15(4): 165 – 172.
ANJARIA, J.M. and C.I. JHALA. 1985.
Immunoperoxidase reaction in diagnosis of Rabies. Int. J. Zoonoses 12(4): 267 – 275. AUSVETPLAN. 1996. Disease strategy: Rabies.
http://www.animalhealthaustralia.com.au (15 Juni 2006).
BALAI BESAR VETERINER MAROS. 2007. Peta
Penyakit Hewan Sulawesi, Maluku dan Papua. BALAI BESAR VETERINER WATES, JOGJAKARTA.
2006. Peta Penyakit Hewan Se Jawa.
BALAI PENYIDIKAN DAN PENGUJIAN VETERINER
REGIONAL I MEDAN. 2007. Peta Sebaran
Penyakit Hewan di Propinsi Sumatera Utara dan Nanggroe Aceh Darussalam.
BALAI PENYIDIKAN DAN PENGUJIAN VETERINER
REGIONAL II. 2007. Peta Penyakit Hewan
Regional II Propinsi Sumatra Barat, Riau, Kepulauan Riau dan Jambi Tahun 2008. BALAI PENYIDIKAN DAN PENGUJIAN VETERINER
REGIONAL III. 2004. Peta Penyakit Hewan.
Lampung, Bengkulu, Sumatra Selatan, Kepulauan Bangka Belitung tahun 2004. BALAI PENYIDIKAN DAN PENGUJIAN VETERINER
REGIONAL V BANJARBARU. 2007. Peta
Penyakit Hewan Kalimantan.
BALAI PENYIDIKAN DAN PENGUJIAN VETERINER
REGIONAL VI DENPASAR. 2007. Peta
Distribusi Penyakit Hewan di Wilayah Kerja BBV Denpasar.
BOGEL. 1987. Guidelines for Dog Rabies Control
Division of Communicable Disease. World Health Organization, geneva. pp. 1 – 2. CENTER FOR DISEASE CONTROL AND PREVENTION
(CDC). 2003. Rabies natural history. http://.cdc.gov/ncidod/dvrd/Rabies (6 Agustus 2003).
CLIQUET, F. dan E.P. MEYER. 2004. Rabies and
rabies related viruses: A modern perspective on an ancient disease. Rev.Sci.Tech.Off.Int. Epiz 23(2): 625 – 642.
DEAN,D.J.,M.K.ABELSETH danP.ATANASIU. 1996.
The fluorescent antibody test. In: Laboratory Techniques in Rabies. 4ed Editon. M
ESLIN,
F.X., M.M. KAPLAN and H. KOPROWSKI
(Eds.). World Health Organization. Geneva. pp. 88 – 93.
DEPARTEMEN PERTANIAN RI. 2006. Pedoman
Pengendalian rabies terpadu. Direktotat Jenderal Peternakan, Direktorat Kesehatan Hewan, Departemen Pertanian RI.
DUUR, S, S. NAISSENGAR, R. MINDEKEM, C.M.
NIEZGODA,I.KUZMIN,C.E.RUPPRECHT and J. ZINSSTAG. 2008. Rabies diagnosis for
developing countires. PloS Neglected Tropical Diseases 2(1): 1 – 6.
HSU,S.M.,L.RAINE,andH.FANGER. 1981. The use
of avidin-biotin peroxidase complex in immunoperoxidase techniques. Am. J. Clin. Pathol. 75: 816 – 821.
JOGAI,S.,B.D.RADOTRA andA.K.BANERJEE. 2000.
Immunohistochemical study of human Rabies. Neuropathology 20(3): 197 – 203.
KALIANDA, J.S., WIJANARKO, S. HADI dan A. SUPRIYADI. 2005. Strategi upaya Pembebasan
Rabies dalam menunjang pengendalian penyakit zoonosis di Kalimantan. Prosiding Lokakarya Nasional Penyakit Zoonosis. Puslitbang Peternakan, Bogor.
KEPUTUSAN MENTER PERTANIAN. 2008. Nomor: 1696/Kpts/PD.610/12/2008. http://www. bkptarakan.org/doc/KepMen_Rabies.pdf (1 Juli 2009).
KING, A. 1992. Rabies. A Review. In: Recent
Advances and Current Concepts in Tropical. Veterinary Medicine. 6 – 17 April 1992. Course Note. The University of Edinburgh. Centre for Tropical Veterinary Medicine. pp. 1 – 10.
LEPINE, P. and P. ATANASIU. 1996.
Histopathological Diagnosis. In: Laboratory Techniques in Rabies. 4th Edition. M
ESLIN,
F.X.,M.M.KEPLAN and H.KOOROWSKI (Eds). World Health Organization, Geneva. pp. 55 – 79.
MOMOTANI, E. 1994. Principles of
immunohistochemistry techniques and their application. National Institute of Animal Health Biodefence Research Division, Laboratory of immunopathology. Tsukuba, Japan. pp. 1 – 21.
OFFICE INTERNATIONAL DES EPIZOOTIES. 2000.
Manual standards for Dignostic tests and vaccines. Rabies. http://www.oie.int. (11 Agustus 2003).
SUJA,M.S.,A.MAHADEWA,C.SUNDARAM,J.MANI,
B.C. SAGAR, T.HEMACHUDA, S.
WACHARAPLUESADEE, S.N. MADHUSUDANA
and S.K.SHANKAR. 2004. Rabies encephalitis
following fox bite-histological and Immunohistochemical evaluation of lesions caused by virus. J. Neuropathol. 23(6): 271 – 276.
SOEJOEDONO, R.R. 2005. Status zoonosis di
Indonesia. Pros. Lokakarya Nasional Penyakit Zoonosis. Puslitbang Peternakan, Bogor.
VAN NOORDEN, S. 1986. Tissue preparation and
immunostaining techniques for light microscopy. In: Immunocytochemistry- modern methods and application 2nd Edition.
POLAK, J.M. and S. VANNOORDEN (Eds).
Wright, Bristol. pp. 26 – 53.
DISKUSI Pertanyaan:
1. Faktor apa yang bias menaikan sensitifitas uji ITTK?
2. Apakah jenis virus rabies yang ada di kera sama dengan yang ada pada anjing? 3. Negri body bahasa Indonesianya apa?
4. Mengapa angka prevalensi rabies dalam studi ini tergolong tinggi? Anjing yang disampling sehat atau memang dicurigai rebies?
Jawaban:
1. Dengan cara modifikasi metode, antara lain dengan cara a). membersihkan background staining (dengan penambahan Bovine Serum Albumin/Skim Milk pada antisera, demashing antigen dengan enzim tripsin); b). Mencegah organ otak mengalami autolysis dengan cara mengambil samepel sesegera mungkin setelah hewan mati, segera fiksasi otak dalam larutan buffered neutral formalin 10%.
2. Jenis virus rabies sama pada spesies hewan apapun.
3. Negri Body diambil sebagai nama badan inklusi untuk rabies karena menemukannya “Negri” (nama orang). Negri body dalam bahasa Indonesia yaitu “badan Negri”.
4. Prevalensi rabies dalam penelitian ini tergolong tinggi karena Sumut, Sumbar dan Sulsel yang merupakan area sampling, adalah merupakan daerah enemik rabies dengan kasus rabies tergolong tinggi. Hewan yang disampling adalah hewan dengan riwayat sakit/mati, setelah menggigit manusia.