• Tidak ada hasil yang ditemukan

02. Gereja dan Realitas Sosial

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "02. Gereja dan Realitas Sosial"

Copied!
7
0
0

Teks penuh

(1)

7

02. Gereja dan Realitas Sosial

MENANGGAPI PERSOALAN

Ozanam dan Rm. van Lith adalah representasi “gerakan sosial“ pada konteks sosial-politik-budayanya masing-masing. Keduanya berhadapan dengan persoalan ketidakadilan sosial yang terwujud pada kemiskinan (masyarakat kelas bawah, golongan pekerja), tidak meratanya kesempatan untuk berkembang, bahkan penindasan secara fisik. Aneka bentuk ketidakadilan ini dalam banyak kasus amat berkaitan dengan kapitalisme liberal yang menyebar ke berbagai belahan dunia. Kita ingat bahwa sistem tanam paksa di Kepulauan Hindia Belanda pada abad ke-19 terkait dengan kapitalisme ekonomi di Eropa. Baik Ozanam dan Rm. van Lith, karena didorong oleh amanat Kristiani cinta kasih kepada sesama, mencoba berbela rasa dan menanggapi kebutuhan sesamanya, yakni mereka yang menderita karena menjadi korban dari struktur-struktur sosial yang tidak adil. Jika kita melihat bentuk-bentuk tanggapan terhadap realitas penderitaan, secara garis besar kita dapat membedakan dua bentuk. Pertama, upaya-upaya untuk mengurangi penderitaan, misalnya dengan memberi makan mereka yang kelaparan, atau menyediakan tempat tinggal bagi mereka yang tidak punya tempat tinggal. Kedua, mengusahakan keadilan yakni dengan mencari penyebab ketidakadilan dan mengubah struktur-struktur yang menindas. Secara esensial, bentuk yang kedua ini merupakan tanggapan “politis“ dengan melibatkan advokasi dan perjuangan bersama mereka yang mempunyai akses kepada kekuasaan politik dan ekonomi. Istilah “kekuasaan“ (power) di sini menunjuk pada pengaruh (influence). Karya karitatif dan advokasi bukanlah dua hal yang terpisah. Keduanya adalah tindakan sosial (social action) yang berjalan seiring. Dalam pengalaman gerakan-gerakan sosial Katolik, tindakan sosial merupakan tahap terakhir dari suatu rangkaian proses yang dimulai dari identifikasi realitas sosial (menentukan kebutuhan-kebutuhan dan ketidakadilan sosial),

analisis sebab musabab dan realitas konkritnya, dan kemudian membangun suatu refleksi teologis.

Keempat langkah ini (identifikasi persoalan, analisis penyebab, refleksi teologis, tindakan sosial) dikenal sebagai lingkaran pastoral (pastoral circle). Disebut “lingkaran”, karena tindakan sosial akan membawa kita kepada pengenalan yang baru akan realitas yang kemudian diidentifikasi, dianalisis, direfleksikan. Pada bab ini secara khusus kita akan membicarakan langkah pertama dan kedua.

REALITAS SOSIAL DAN ANALISIS SOSIAL

Kemiskinan kelas pekerja di Eropa adalah salah satu akibat dari revolusi industri. Sementara itu, kemiskinan rakyat jelata di Hindia Belanda di akhir abad ke-19 adalah akibat cultuurstelsel, kebijakan kolonial yang membenarkan hak negara penjajah mengeruk keuntungan ekonomis dari negara-negara koloninya. Ketika partai liberal di Negeri Belanda memperoleh pengaruh yang semakin kuat, praktik tanam paksa perlahan-lahan dihapuskan dan diganti dengan pemberian peluang usaha bagi perusahaan-perusahaan swasta. Kini pengolahan hasil bumi tidak lagi di bawah negara, melainkan perusahaan-perusahaan ini. Perubahan ini tidak membawa dampak besar bagi kehidupan kaum pribumi.

Pada dekade terakhir di abad ke-19, pengaruh partai-partai Kristen di Negeri Belanda mulai menguat. Mereka menuntut penerapan nilai-nilai kristiani dalam kebijakan politik terhadap Hindia Belanda. Tuntutan inilah yang melahirkan “Politik Etis“, kebijakan yang mewajibkan pemerintah

(2)

8

kolonial mengangkat kesejahteraan penduduk pribumi. Visi dari kebijakan ini adalah bahwa penduduk pribumilah yang harus mengelola negeri mereka sendiri. Maka pemerintah kolonial harus menyelenggarakan pendidikan (yang juga didukung oleh fasilitas kesehatan) untuk penduduk pribumi supaya mereka bisa menduduki posisi-posisi di dalam sistem administrasi dan pemerintahan. Kendati demikian, pelaksanaan “Politik Etis“ ini amat bersifat paternalistik. Pemerintah kolonial bersikap seakan-akan mereka adalah orangtua yang harus mengajari dan mendidik anak-anaknya, yakni penduduk pribumi yang “belum beradab“ itu.

Karena pemerintah kolonial tidak mempunyai sumber daya yang cukup untuk menyelenggarakan pendidikan bagi kaum pribumi, maka mereka “memanfaatkan“ para misionaris untuk membantu program mereka. Pemerintah memberi bantuan finansial kepada para misionaris untuk menyelenggarakan karya pendidikan dan kesehatan. Para misionaris pun melihat bahwa karya-karya tersebut adalah peluang untuk ber-misi, yang pada saat itu berarti “menumbuhkan gereja“ (implantatio ecclesiae). Sekolah adalah sarana yang baik untuk menjalin kontak dengan orang-orang pribumi. Para misionaris Yesuit lantas membuka sekolah-sekolah misi di Larantuka, Minahasa, Fialaran (Timor), dan Sejiram (Sulawesi) setelah kedatangan mereka di tahun 1860an. Di Jawa, Rm. Van Lith membuka sekolah guru bantu (Kweekschool-A) di Muntilan yang merupakan kelanjutan dari sekolah calon katekis di Semarang.i

Sementara sekolah-sekolah pemerintah mendidik murid-murid supaya mereka terampil dan mampu menduduki jabatan-jabatan di pemerintahan, Rm. van Lith mengarahkan pendidikan untuk anak-anak pribumi kepada pembentukan karakter supaya mereka menjadi pribadi-pribadi yang tangguh dan tidak minder-an (rendah diri). Sifat inferior di kalangan orang pribumi muncul –salah satunya– akibat mentalitas paternalistik dari orang-orang Belanda, termasuk di antara para misionaris. Dibandingkan dengan rekan-rekan misionaris Yesuit lainnya, sikap Rm. van Lith terhadap pribumi amat berbeda. Ini tampak pada tulisannya yang ditulis kira-kira di tahun 1922:

Aku ingin menjadi orang Jawa bersama dengan orang-orang Jawa, sementara Hoevenaars, sebagai orang Eropa, sebagai bagian dari bangsa penjajah, ingin menggunakan hak istimewa sebagai orang Belanda untuk bertindak sebagai seorang tuan yang murah hati, sebagai orang yang punya kedudukan lebih tinggi yang memberikan petunjuk-petunjuk kepada bawahannya. Ia ingin selalu menjadi guru dan penolong bagi mereka, dan dengan demikian ingin selalu berada di atas orang Jawa. Betapa suatu kebetulan bahwa aku di Muntilan harus membeli rumah kayu berdinding anyaman bambu, sementara Hoevenaars di Mendut tinggal di bekas rumah pabrik yang berdinding batu, seperti halnya lazim bagi orang-orang Eropa.

Tulisan ini memberi gambaran mentalitas inferior-superior yang disebabkan kolonialisme. Juga kalau kemudian pemerintah kolonial mengubah kebijakannya dengan menyelenggarakan pendidikan bagi orang pribumi, mentalitas minder itu tetap ada. Rm. Van Lith mampu memahami situasi ini; hal yang kiranya tidak mampu dipahami atau disadari oleh rekan-rekan misionarisnya. Bisa jadi ini karena ia tinggal di tengah orang pribumi, bahkan tinggal sebagaimana mereka hidup. Sebagai catatan: saudara se-tarekatnya, Rm. Petrus Hoevenaars, adalah putra seorang pejabat publik di Negeri Belanda. Di zaman sekarang, mungkin kita akan menggunakan istilah “blusukan” untuk kiprah Rm. van Lith ini. Karena berusaha mendekati kehidupan orang pribumi Jawa, Rm. van Lith akhirnya mengubah pemahaman misinya. Ketika tiba di Kepulauan Hindia, ia punya tujuan seperti para misionaris lainnya: membaptis orang pribumi sebanyak mungkin. Namun ketika melihat kemiskinan mereka, ia lantas menyimpulkan: tidak mungkin mereka mau dibaptis kalau mereka tidak sejahtera. Maka ia mencoba mengembangkan perekonomian mereka dengan cara memberikan kredit,

(3)

9

mendirikan usaha tikar dan tenun. Sampai akhirnya ia sadar bahwa usaha ini sia-sia saja. Pada saat itu, ketika mulai dibuka kesempatan bagi orang pribumi mendapatkan akses pendidikan modern, hanyalah kaum priyayi (bangsawan) yang mempunyai akses ke sana. Orang kebanyakan atau rakyat jelata tetap bodoh dan miskin. Rm. van Lith kemudian menggagas suatu sekolah yang setara dengan sekolah kaum priyayi; sekolah yang memberi akses kepada masyarakat modern dan bahasa yang digunakan, yakni bahasa Belanda. Gagasan ini melahirkan Kweekschool-B, sekolah calon guru dengan bahasa pengantar Belanda.

Kisah Rm. van Lith ini diangkat untuk menggambarkan, bahwa kebutuhan-kebutuhan dan persoalan-persoalan sosial saling terkait. Masalah kesejahteraan dan kemiskinan terkait dengan kesempatan mengakses fasilitas pendidikan modern, dan juga mentalitas inferior di antara penduduk pribumi. Kesadaran akan adanya persoalan sosial didapatkan ketika orang mau masuk dan terlibat di dalam realitas sosial, yang bisa jadi bukan merupakan area kesehariannya. Pengalaman adalah langkah awal menuju belarasa atau solidaritas. Pengalaman Rm. van Lith berjumpa dan tinggal di tengah-tengah orang Jawa dan pengalaman orang Jawa sendiri yang mengalami ketidakadilan sosial (kesempatan yang tidak sama dalam mengangkes pendidikan) bersinggungan. “Koneksi“ ini membuahkan perubahan atau transformasi.

Kemiskinan rakyat jelata dialami pula oleh negara-negara lain. Latar belakang setiap kemiskinan tentunya berbeda-beda. Sebagaimana telah disinggung di atas, respon kita terhadap kemiskinan terwujud dalam dua bentuk, yakni tindakan karitatif yang terfokus pada mereka yang menderita dan membutuhkan pertolongan, dan aksi sosial yang bertujuan untuk mengatasi akar munculnya penderitaan. Tanggapan berupa aksi sosial ini membutuhkan lebih banyak energi. Di sana diperlukan pemikiran, kajian, dan strategi. Mengapa demikian? Karena kita berhadapan dengan “struktur-struktur sosial“, entah ekonomi, politik, atau kultural. Suatu ketika Dom Hélder Câmara (1909-1999), Uskup Recife, Brazilia, mengatakan “Jika saya memberi makan orang orang kelaparan, mereka menyebut saya seorang santo. Tapi jika bertanya mengapa mereka kelaparan, maka mereka menyebut saya ‘komunis’!” Memberi makan orang kelaparan adalah tanggapan langsung terhadap penderitaan. Tanggapan berikutnya ialah mencoba mengatasi sebab kelaparan. Upaya ini diawali dengan sebuah pertanyaan: mengapa orang lapar? Di sinilah uskup dari Brazilia ini menyinggung peran-peran mereka yang menyebabkan kelaparan. Mereka ini adalah rezim penguasa yang kebijakannya membuat sebagian (atau banyak) rakyat jelata menderita. Kalau kekuasaan rezim otoriter disinggung, mereka akan “mengkriminalisasi“ siapapun yang memprotes (artinya: melawan) mereka. Bertanya “Mengapa?“ sudah termasuk tindakan subversif (melawan pemerintah) di tempat-tempat tertentu.

BERCERMIN PADA PENGALAMAN: KARITAS INDONESIA

Mencari sebab-sebab penderitaan akan mengarahkan kita kepada suatu analisis. Melakukan analisis berarti melihat realitas yang terjadi di sekitar kita secara lebih cermat dan mendalam. Pengamatan ini memampukan kita menemukan keterhubungan (interconnectedness) dari fakta-fakta. Kita lantas akan dapat melihat struktur-struktur dan dinamika yang menyebabkan penderitaan. Struktur-struktur yang cukup besar berdampak pada hidup kita adalah ekonomi, politik, budaya, lingkungan hidup, dan agama. Respon kita terhadap penderitaan ditentukan oleh analisis sosial ini dan keberpihakan (preferential option). Mari kita lihat satu contoh pengalaman.

Keuskupan Agung Semarang (KAS) memiliki suatu lembaga yang bernama Karina (Karitas Indonesia) dan bergerak di dalam pelayanan sosial. Kalau menyasar pelayanan sosial, apa perbedaan

(4)

10

Karina dengan lembaga-lembaga sosial lain yang sudah berdiri seperti Yayasan Sosial Soegijapranata (YSS), Komisi Pengembangan Sosial-Ekonomi (PSE) atau Lembaga Pengembangan Usaha Buruh Tani Nelayan (LPUBTN)? Karina didirikan, karena cara kerja lembaga-lembaga yang sudah ada ini kurang representatif untuk persoalan-persoalan sosial yang muncul, terutama sejak peristiwa gempa bumi di Yogyakarta pada tahun 2006. Gempa bumi tidak hanya mampu meruntuhkan bangunan-bangunan tempat tinggal sehingga orang tunawisma. Lebih dari itu, gempa bumi berdampak pada persoalan kehidupan yang lebih luas: banyak anak menjadi yatim(-piatu), orangtua kehilangan anak, orang menjadi cacat sehingga kehilangan pekerjaan dan mata pencaharian, dst. Karina didirikan untuk merespon persoalan-persoalan yang muncul dari situ. Dan, yang dijangkau adalah masyarakat umum, bukan hanya intern-Gereja.

Setelah gempa 2006, Karina ambil bagian dalam upaya “pertolongan pertama” (emergency rescue) seperti menyediakan tempat penampungan korban bencana (shelter), makan, minum, obat-obatan, hingga upaya-upaya pengurangan risiko bencana (disaster risk reduction, DRR). Seiring perjalanan waktu, menimbang prioritas dan donor (kemampuan finansial), mulai tahun 2012 Karina fokus pada DRR dan rehabilitasi. Rm. A. Banu Kurnianta, Pr., direktur Karina KAS (2012-2017), mengatakan bahwa istilah rehabilitasi ini mau menyasar persoalan sosial yang menimpa korban gempa, yakni mereka yang kehilangan beberapa anggota tubuhnya. Setelah dilakukan analisa dan pengamatan, akhirnya ditetapkanlah program community-based rehabilitation. Berikut gambaran analisa yang dibuat.

Ketika orang terpaksa kehilangan anggota tubuhnya karena gempa, atau anggota tubuhnya tak mampu berfungsi seperti sediakala, pada umumnya masyarakat menyebut mereka “cacat“. Di balik istilah ini sebetulnya terjadi sebentuk stigmatisasi dan diskriminasi terhadap mereka yang kini “mempunyai kemampuan yang lain“ (maka istilah yang lebih positif adalah “different ability“). Mereka yang dulu mampu menulis dengan tangan, kini harus berjuang menulis dengan anggota tubuh yang lain, lantaran tangan kanannya terluka dan lumpuh. Mereka yang difabel ini dicap sebagai “cacat“, yang artinya tidak utuh. Stigama itu tidak selalu muncul dari motivasi yang jahat, tapi mungkin baik. Misalnya, orang merasa kasihan terhadap difabel, dan berusaha semampunya supaya orang difabel jangan sampai kerepotan. Stigama ini akan membuat difabel menjadi tergantung dan tidak mandiri. Sebetulnya, istilah “rehabilitasi” tidak terlalu pas untuk orang difabel karena difabilitas bukan suatu penyakit. Maka dipikirkan suatu bentuk aksi yang selain bertujuan membantu dan menyokong orang difabel, juga bertujuan mengikis stigmatisasi tadi. Lantas jadilah CBR, yang nantinya disebut program “desa inklusi“. Program ini mau menanamkan semangat inklusivitas, yakni sikap terbuka dan menerima siapa saja tanpa melihat perbedaan (teruama perbedaan agama; suatu isu sensitif di Indonesia yang berkali-kali jadi komoditas politik saja). Ini juga suatu pilihan (opsi) atas dasar realitas pluralitas keyakinan dan budaya di Indonesia.

Namun, kalau tidak ada bencana, apa yang dapat dikerjakan Karina? Karina merumuskan bahwa bencana terjadi ketika kerentanan (kondisi fisik/mental seseorang) dan ancaman bahaya (misalnya bencana alam) lebih besar daripada kapasitas untuk menghadapinya. Rumus bencana = (Kerentanan x ancaman) / kapasitas. Kerentanan menunjuk kondisi orang menghadapi ancaman (misal, nenek lebih rentan daripada pemuda). Maka untuk mengantisipasi terjadinya bencana, faktor kapasitas itu perlu “didongkrak”. Kita ambil contoh bencana alam, misalnya gunung (Merapi) meletus seperti yang terjadi di tahun 2010. Ketika dilakukan assessment, melihat data-data terjadinya bencana, sebetulnya erupsi Merapi bisa diprediksi. Maka erupsi ini bukan ancaman. Yang lebih mengancam adalah kekeringan. Kekeringan di lereng G. Merapi disebabkan oleh karena kayu bakar dikonsumsi penduduk untuk kebutuhan rumah tangga. Akibatnya, lereng gunung menjadi semakin gundul

(5)

11

lantaran hutan-hutannya ditebangi. Untuk mengurangi penebangan kayu, maka dibuatlah program biogas. Setelah tiga tahun ada sekitar 130-an unit terpasang di rumah-rumah penduduk. Kini konsumsi kayu berkurang. Ini adalah bagian dari mengubah konstruksi sosial. Lalu kesadaran menjaga lingkungan (pengurangan resiko bencana) ditumbuhkan di sekolah (kerjasama dengan BLH, Kementrian EDSM, Taman Nasional Gunung Merapi, kabupaten, desa, SKPD terkait). Mengapa perlu bangun kerjasama? Ini juga merupakan opsi, karena Karina tidak mungkin di situ terus. Supaya berkelanjutan, maka relasi dengan lembaga-lembaga dan pihak-pihak yang bekerja di masyarakat lokal harus dibangun.

EKSKURSUS: SEJARAH CARITAS

Karitas Indonesia tergabung dalam konfederasi Caritas Internationalis, yang beranggotakan 165 organisasi pelayanan sosial, pembangunan dan bantuan Katolik yang berkarya di lebih dari 200 negara. Baik secara kolektif maupun individual (dalam arti, baik beberapa organisasi Caritas secara bersama-sama ataupun hanya satu organisasi) organisasi Caritas berkarya untuk membangun kehidupan yang lebih baik, terutama menolong orang miskin dan tertindas. Organisasi Caritas yang pertama kali didirikan ialah Caritas Jerman (Charity Association for Catholic Germany atau

Caritasverband für das katolische Deutschland). Pendirinya ialah seorang imam Katolik dan aktivis

sosial, Lorenz Werthmann (1858 – 1921). Sejak tahun 1921 organisasi ini resmi disebut Deutscher

Caritasverband (DCV). Tak lama setelah berdirinya DCV di Jerman, organisasi Caritas nasional yang

lain didirikan di Swiss (1901) dan di Amerika Serikat (dikenal sebagai Catholic Charities, 1910). Di Jerman sendiri, DCV menjadi payung dari sekitar 900 organisasi dengan jumlah karyawan sekitar 590.000 orang.

Perhatian Werthmann pada persoalan sosial zaman itu muncul ketika ia berkarya di Keuskupan Freiburg. Pada waktu itu di Kekaisaran Jerman banyak terdapat para buruh migran dari Italia. Karena pernah studi di Roma, ia punya perhatian pada para pekerja Italia beserta keluarganya. Karena itu oleh uskupnya, Werthmann diberi tugas untuk mendampingi para buruh migran tersebut. Dalam keterlibatannya di karya-karya sosial-karitatif ini, Werthmann berkontak dengan banyak orang, grup, atau organisasi yang mempunyai keprihatinan dan gerak yang serupa. Werthmann mengamati bahwa kelompok-kelompok tersebut kurang terkoordinir kendati mereka mempunyai semangat pelayanan sosial yang tinggi. Oleh karena itu ia menggagas ide mendirikan suatu asosiasi karya-karya sosial Katolik untuk menyatukan dan mengkoordinir kelompok-kelompok kecil ini supaya pelayanan sosial Gereja Katolik lebih efektif, efisien, dan berdampak luas. Selain itu, Werthmann menggagas supaya asosiasi Katolik semacam ini dapat mewakili kepentingan Gereja Katolik di negeri yang diwarnai oleh Protestantisme secara kuat.

Untuk mewujudkan impian mengenai suatu asosiasi karya sosial yang mampu merespon isu-isu sosial secara efektif dan efisien, Werthmann menetapkan tiga tugas Caritas, yakni mempelajari (to

study), menyebarluaskan informasi (to publish) dan mengorganisir aktivitas (to organize). “To study“

maksudnya, tindakan karitatif atau praksis kasih kepada sesama bukanlah semata-mata praksis yang muncul karena dorongan hati. Lebih dari itu, kasih kepada sesama merupakan suatu “ilmu“ (science) atau “seni“ yang menuntut kompetensi dan rasionalitas tertentu. Maka asosiasi atau perkumpulan karitatif yang akan didirikan harus didukung oleh sebanyak mungkin karyawan atau relawan yang terdidik. Praksis ini bukan semata-mata tindakan perorangan, melainkan pekerjaan yang dilakukan dalam suatu jejaring (networking) yang membangun suatu sinergi. Ini adalah pengertian “to organize“ Selanjutnya, mereka harus secara teratur menyampaikan informasi-informasi kepada publik. Tujuan

(6)

12

dari “to publish“ ini ialah membangun suatu kesadaran umum akan persoalan sosial dan upaya penanganannya.ii

Pada tanggal 19 Agustus 1895 di Bingen am Rhein bertemulah 30 orang dari sembilan keuskupan di Jerman dan menetapkan suatu forum yang disebut Charitas-Comité. Ini nantinya menjadi cikal bakal DCV. Pertemuan tersebut menetapkan pertemuan tahunan “Hari Caritas“ (Caritastage). Selain itu juga diterbitkan koran Caritas (Caritaszeitung). Untuk mendukung kajian mengenai persoalan-persoalan sosial, Werthmann mendirikan suatu perpustakaan yang berisi literatur ilmu-ilmu sosial pada tahun 1896. Upaya-upaya inilah –dan juga berkat bantuan temannya, seorang aktivis sosial-politik bernama Franz Hitze– yang menghantar Werthmann pada pendirian Caritas Jerman pada tanggal 9 November 1897 di Köln. Kemudian kantor pusat Caritas dipindah ke Freiburg im Breisgau hingga sekarang. Werthmann sendiri menjadi presiden pertama Caritas Jerman. Asosiasi baru ini menawarkan bantuan bagi mereka yang amat membutuhkan pertolongan seperti para buruh, nelayan, pelancong, orang cacat, juga para penderita gangguan kejiwaan dan penderita penyakit seksual menular. Caritas juga menyediakan perawatan bagi anak-anak (childcare), program rehabilitasi untuk anak-anak muda, perlindungan bagi para perempuan, dan perawatan untuk orang-orang sakit.

Namun, inisiatif Werthmann ini tidak begitu saja diakui oleh para uskup Jerman. Bahkan sebaliknya, para uskup menaruh curiga pada karya-karya Caritas. Namun melalui upaya sosialisasi yang tak kenal lelah dari Werthann, akhirnya para uskup mengakui keberadaan Caritas pada tahun 1916 sebagai pelayanan sosial Gereja Katolik. Dengan demikian, Caritas mendapatkan dukungan di setiap keuskupan. Tak lama setelah Werthmann wafat, di semua keuskupan di Jerman sudah terdapat organisasi Caritas.

Organisasi-organisasi serupa kemudian bermunculan di beberapa negara. Pada tahun 1924 berkumpullah perwakilan Caritas dari beberapa negara di markas Caritas Swiss di Lucerne untuk membahas suatu koordinasi yang sifatnya internasional. Mulai tahun 1928 ditetapkan berdirinya

Charitas Chatolica. Setiap dua tahun sekali, para delegasi Caritas mengadakan pertemuan secara

teratur sampai meletusnya Perang Dunia II. Setelah berakhirnya perang, koordinasi dilanjutkan. Bahkan pada tahun 1947, Charitas Chatolica menjadi organisasi bantuan (relief organization) resmi di bawah Tahta Suci Vatikan.

Atas anjuran Mgr. Montini –yang nantinya diangkat menjadi Paus Paulus VI– perwakilan dari 22 negara berkumpul di Roma pada tahun 1950 untuk membicarakan persoalan-persoalan kara-karya karitatif Katolik. Pertemuan ini menghasilkan keputusan pendirian organisasi yang sifatnya lebih internasional. Pada bulan Desember 1951 konfederasi organisasi-organisasi Caritas diadakan sidang umum untuk pertama kalinya, di mana statuta organisasi internasional ini disetujui. Organisasi Caritas menjadi suara resmi Gereja dalam hal-hal yang berkaitan dengan ajaran-ajaran Gereja mengenai tindakan karitatif. Untuk semakin mencerminkan misinya yang mencakup seluas dunia, Charitas Catholica diubah namanya menjadi Caritas Internationalis pada tahun 1954. Pada tahun 2015 terhitung sejumlah 165 organisasi anggota. Sekretariatnya terletak di Palazzo San Calisto, Vatikan. Pada tahun 2015, Kardinal Luis Antonio Tagle, Uskup Agung Manila, terpilih menjadi presiden Caritas Internationalis. Di Indonesia, Caritas atau yang dikenal sebagai Karina (Caritas Indonesia) didirikan pada tanggal 17 Mei 2006 sebagai lembaga kemanusiaan dari Konferensi Waligereja Indonesia (KWI). Dua bulan berikutnya, didirikan Karina KAS. Di kemudian hari, di keuskupan-keuskupan didirikan lembaga Karina yang berkiprah di level keuskupan, namun dalam jejaring lembaga Karina yang lain.***

(7)

13

i Mengenai kisah Rm. Van Lith SJ, lih. Hasto Rosariyanto, Father Franciscus van Lith, S.J.: Turning Point of the

Catholic Church’s Approach in the Pluralistic Indonesian Society (Roma: Univ. Gregoriana, 1997); Gerry van Klinken, “Power, Symbol and the Catholic Mission in Java. The Biography of Frans van Lith SJ”,

Documentatieblad voor de Geschiedenis van de Nederlandse Zending en Overzeese Kerken 4:1 (1997): 43-59; Karel Steenbrink, “Conversion or Religious Revival?“, Verbum SVD 36:4 (1995): 369-387.

ii Bdk. Bruno W. Nikles, “Mehr Organisation, mehr Publikation. Maximilian Brandts und die Gründung des

Referensi

Dokumen terkait

Relationship Marketing mempengaruhi kepuasan pelanggan dikarenakan hubungan yang dibuat oleh perusahaan agar pelanggan tidak berpindah pada merek ataupun perusahaan lain..

Untuk mengetahui pengaruh kecerdasan intelektual, kecerdasan emosional, dan kecerdasan spiritual terhadap kinerja karyawan pada Rumah Sakit Islam (RSI) Malang

Menurut Tjiptono (2002:59) menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan pelayanan adalah: “Seberapa jauh perbedaan antara kenyataan dan harapan pelanggan atas layanan yang mereka

Semua biaya yang dikeluarkan untuk memenuhi ketentuan Kontrak harus dianggap telah termasuk dalam setiap mata pembayaran, dan jika mata pembayaran terkait tidak ada

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kondisi perairan ditinjau dari parameter lingkungan, mengetahui fitoplankton yang melimpah dan mengtahui hubungan antara

Pembelajaran Menggunakan handphone berbasis website appsgeysers ini sangat interaktif ,Sehingga dalam pemanfaatannya media ajar Menggunakan handphone berbasis website

Sesuai dengan maksud dan tujuan yang akan di capai, bahwa studi ini akan menelaah permukiman padat di daerah Tanjung Sanyang Kelurahan Cawang Kota

Mutasi pegawai adalah kegiatan yang dilakukan dalam rangka pemindahan pegawai dari suatu tempat ke tempat yang lain baik secara horisontal maupun vertikal dengan