• Tidak ada hasil yang ditemukan

Matinya Bioskop Lokal (Studi kasus Bioskop Permata, Yogyakarta )

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Matinya Bioskop Lokal (Studi kasus Bioskop Permata, Yogyakarta )"

Copied!
19
0
0

Teks penuh

(1)

Matinya Bioskop Lokal

(Studi kasus Bioskop Permata, Yogyakarta 1970 – 1990)

Oleh:

Christina Arief T. H. M 1

ABSTRACT

This paper wants to see and describe the phenomenon of the death of local cinemas, the relationship between politics and economics in film media. The strategy taken by Permata cinema in surviving the onslaught of western globalization and commercialization, and the absence of government support through issued regulations. The methodology used is descriptive qualitative, a case study at Permata Cinema. Film and cinema have strong ties to the political, economic and resource (human and technological) situation in order to survive.

Keywords: Conglomeration Media, Globalization, Local Cinemas, Strategy

1 Penulis adalah mahasiswi Magister Ilmu Komunikasi Universitas Atmaja, Yogyakarta. Staff

(2)

126

1. PENDAHULUAN

Ada beberapa definisi mengenai arti kata bioskop. Bioskop memiliki peran sebagai sarana pendukung untuk melakukan sosialisasi masyarakat, dengan menonton pertunjukan-pertunjukan yang merupakan mobilisasi hiburan baru oleh Hindia Belanda, dengan infrastruktur pendukung lain yang sesuai dengan modernisasi saat itu, yaitu proyeksi gambar idoep atau film. (Ardan.S.M,1992). Arti lain dari bioskop, tempat untuk menonton pertunjukan film menggunakan layar lebar dan gambar film yang diproyeksikan ke layar dengan menggunakan proyektor. (KBBI:134).

Dari definisi tersebut terlihat bahwa bioskop memiliki beberapa peran, antara lain, sebagai tempat hiburan masyarakat, tempat melakukan sosialisasi, tempat untuk membagikan informasi. Peran lain yang dimiliki bioskop, untuk membantu menjaga keamanan wilayah di sekitar bioskop itu berada. Bioskop mendatangakan penonton, mengundang keramaian, sehingga mengurangi kerawanan yang mungkin terjadi. Bioskop juga merupakan salah satu media untuk melakukan komunikasi di antara penonton dan pekerja film/bioskop.

Sebagai tempat hiburan, maka dengan ditutupnya bioskop lokal di daerah (Salatiga, Semarang, Surakarta, Wonosobo, dan Yogyakarta), membuat saya melihat melihat fenomena hilangnya ruang publik bagi masyarakat bertemu dan berkomunikasi. Bioskop lokal, adalah bioskop ”kelas bawah”, yang biasanya berada di kota-kota kecil, dengan penonton yang memiliki status menengah ke bawah. Masyarakat kelas bawah akan kehilangan sumber hiburan, karena sulit mengakses bioskop di kota besar (jarak dan waktu serta biaya), bioskop lokal selama ini merupakan salah satu hiburan mereka.

Salah satu daerah yang ditutup bioskop-bioskopnya adalah Yogyakarta. Yogyakarta merupakan daerah urban yang menerima banyak pendatang dari kota atau daerah lain. Hal ini dikarenakan Yogyakarta merupakan daerah tujuan untuk para pelajar melanjutkan belajarnya setelah lulus dari Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan Sekolah Menengah Atas (SMA). Banyaknya

(3)

127 pendatang tersebut membuat larisnya perkembangan industri kreatif termasuk dunia film.

Hausnya hiburan juga membuat perkembangan perfilman di Yogyakarta berkembang sangat masif. Hal ini bisa dilihat dari pertumbuhan bioskop yang tersebar di 14 kecamatan, yaitu bioskop Soboharsono Teatre. Biskop ini berlokasi di sudut utara Alun-alun Utara Yogyakarta. Lalu, di sebelah timur ada Widya. Bioskop ini sempat menjadi idola anak-anak muda. Di Malioboro, terdapat bioskop Indra. Bioskop Permata Jalan Sultan Agung. Di sebelah Yogyakarta bagian utara terdapat bioskop Ratih dan Rahayu. Lokasinya di Jalan P Mangkubumi atau selatan Tugu. Tak jauh dari tempat ini, ada bioskop Arjuna. Lokasinya di Pingit. Di Jalan Wates Km 3, persisnya di barat perempatan Wirobrajan juga ada bioskop Pemuda. Ke timur lagi, tepatnya di shoping centre ada bioskop Serbaguna dan Yogya. Nama Serbaguna sempat berganti Senopati. Di jalan Solo, terdapat beberapa bioskop. Yakni, Royal, Presiden dan Regent. Juga sempat hadir bisokop Mitra. Di barat jembatan layang Lempuyangan juga hadir bioskop Mataram. Terakhir di Jalan Tegal Gendu, Kotagede juga sempat berdiri bioskop Istana. Kini, sejarah keberadaan bioskop ini telah kehilangan jejak. Hanya beberapa bekas bioskop yang masih bisa menjadi sejarah masa keemasan bioskop “masa lalu” di Yogyakarta.

Selain sebagai daerah yang sangat padat dan berkembang karena datangnya para pendatang, maka Yogyakarta juga merupakan daerah wisata yang sangat digemari oleh orang-orang dari luar daerah. Pariwisata yang dimiliki Yogyakarta sangat lengkap, mulai dari wisata alam, sejarah, pendidikan, maupun makanan. Maka bioskop menjadi salah satu pemain wisata hiburan.

Alasan lain, Yogyakarta merupakan kota seniman, kota yang penuh daya kreatifitas, termasuk per- filman, dari Yogyakarta banyak dilahirkan seniman besar dunia film, seperti Garin Nugroho (rumahnya dekat dengan bioskop Permata), Ifa Isfansyah, Eddy Cahyono, dan juga Wregas Bhanuteja.

(4)

128

Setelah tahun 1990, bioskop kembali mengalami kejayaan. Dengan situasi yang berbeda, bioskop menjadi tempat yang nyaman, dengan memiliki layar lebih dari satu. Dimiliki oleh kelompok yang sudah lama berusaha dalam bidang bioskop, dan film. Digantikan dengan kelompok taipan / gurita perbioskopan (kelompok cineplex, cinema xxi)

Pengamatan dipilih dilakukan di Kota Yogyakarta namun matisurinya bioskop tidak bisa dilepaskan dari perjalanan perfilman secara nasional, demikian juga dari perjalanan sejarah perfilman dari waktu ke waktu dalam pengamatan kali ini.

2. KAJIAN PUSTAKA 2.1 Sejarah Bioskop Permata

Pada awalnya film dan bioskop masuk ke Indonesia, dibawa oleh bangsa Belanda, tidak memiliki bentuk fisik seperti gedung, dan diputar di bawah langit, alat putarnya satu proyektor, disebarkan melalui media layar tancap. Jika cuaca tidak mendukung alias terjadi hujan, maka secara otomatis penonton akan bubar. Bioskop ini yang sering kami beri nama Misbar. Belanda pada saat pertama kali berupaya mengenalkan bioskop dengan memutar film dari barat, memasang layar tancap di halaman rumahnya, dengan memakai proyektor.

Dalam perjalanan waktu, maka usaha menjual jasa pemutaran film dengan metode layar tancap juga dilakukan. Contohnya, bioskop Jules Francois

de Calone (sesuai nama pemiliknya). Bioskop ini merupakan cikal bakal dari

bioskop Capitol, Pintu Air, Jakarta. Pendirian gedung bioskop yang lain mengikuti karena dianggap sebagai salah satu usaha yang bisa memberikan keuntungan. Bioskop pertama di Indonesia berdiri di Jalan Tanah Abang I, Jakarta, pada Desember 1900. Kondisinya jauh dari bioskop sekarang, tempat duduknya seperti bangsal, berdinding anyaman bambu, serta beratap besi tipis

(5)

129 (seng). Pada tahun 1916, gambar idoep dibawa ke Yogyakarta oleh End Muller, warga negara Belanda. Diputar di bioskop yang didirikan yaitu ”Al- Hambra” (yang kemudian berubah menjadi Indonesia Raya/Indra) untuk kalangan atas (Belanda, Cina, dan Bangsawan) dan ”Mascot” di belakang untuk kalangan bawah (pribumi).

Karena dianggap memberikan keuntungan maka para pengusaha/pemilik modal lain mulai mendirikan bioskop. Bioskop yang didirikan di 14 kecamatan, ada 16 bioskop menurut berita 646.com. Ketersebaran letak bioskop tersebut merata dari utara, selatan, timur, barat maupun di tengah kota Yogyakarta. Salah satu dari bioskop tersebut adalah bioskop Permata, yang terletak di jalan Sultan Agung. Permata sebelumnya memiliki nama Luxor.

Tanah dan bangunan dari gedung bioskop Permata, merupakan milik Paku Alaman. Menurut pak Jamsuki (mantan operator film), tanah dan gedung tersebut disewa oleh PERFEBI (Peredaran Film dan Eksploitasi Bioskop). Gedung bioskop Permata, dibangun pada tahun 1946, dengan model bangunan kolonial dengan nok berundak (bisa dilihat dari tangga di sebelah depan bangunan). Saat ini tanah dan bangunan sudah dikembalikan ke pemiliknya, yaitu Paku Alam, dan telah dipugar sehingga nampak bersih dan indah. Menurut keterangan pak Jamsuki yang diminta untuk merekonstruksi letak bangunan pada saat dipugar, bahwa Permata akan digunakan sebagai

homestay.

Perjalanan bioskop Permata mengalami kebesaran di jamannya, namun perjalanan yang dilalui tidak selalu mulus, ada pasang surut. Pasang dan surut ini mengikuti perkembangan film dan aturan-aturan yang dikeluarkan pemerintah Indonesia.

Masa kejayaan menurut bioskop Permata pada tahun 1980 sampai pada tahun 1990. Hal ini dinyatakan oleh Pak Jamsuki. Jumlah karyawan yang pada tahun 1980 berjumlah 22 orang, dengan operator film sebanyak lima orang

(6)

130

dengan pembagian waktu kerja, dua pagi hari, dua sore hari, dan satu libur. Namun pada tahun 1990 tinggal 10 orang, menurut pak Jamsuki hanya yang tua-tua yang tertinggal, dan operator film hanya tinggal tiga orang, dengan pembagian kerja satu pagi hari, satu sore hari, dan satu libur. Pada tahun 2010 jumlah karyawan menyusut menjadi tujuh orang, dengan dua operator film, sekaligus sebagai pembuka film, ketika film akan selesai dan penonton akan keluar. Hal ini sama dengan yang dinyatakan oleh Soebagyo (direktur utama).

Setelah Presiden Soekarno jatuh, pada tahun 1965-an. Pemerintah yang baru di bawah kekuasaan Presiden Soeharto, berupaya menutup semua jejak pemerintahan orde lama, yang berbau komunis. Dan melihat lesunya per filman saat itu, maka pemerintah membuat kebijakan baru, dengan menyuplai bioskop dengan film (termasuk bioskop di Yogyakarta), jumlah film yang dipasok ratusan. Tahun itu merupakan pasangnya bioskop, menurut Soebagyo. Jamsuki, adalah operator film yang nafas kehidupan ada di bioskop Permata, sejak usia kanak-kanak. Merupakan putra dari Arwi. Pekerja bioskop Permata, tugasnya adalah membersihkan gedung, menjaga parkir ketika pertunjukan film berlangsung, dan kemudian malam hari bertugas menjaga gedung bioskop. Karena putra pekerja bioskop, maka sejak kecil Jamsuki suka bermain atau mengunjungi ayahnya yang sedang bekerja. Tentu memiliki tujuan yang lain yaitu menonton film gratis. Dua film yang sangat berkesan menurut beliau, adalah 1) film Benhur, yang diputar pada tahun 1965. Selama satu minggu, penonton bioskop penuh. Harga tiket saat itu Rp. 500/600,-. Bahkan pada saat istirahat dibagikan gratis minuman limun Hercules (yang terkenal saat itu). 2) Film Janur Kuning, diputar selama satu bulan, dan penontonnya full.

Menurut Jamsuki, ada aturan dari pemerintah untuk mengharuskan anak sekolah mulai dari Sekolah Dasar, sampai Sekolah Menengah Atas untuk menonton, maka penonton bukan saja dari Yogyakarta kota, namun dari Kulon Progo, Bantul. Bahkan pemutaran film yang pada hari biasa hanya lima

(7)

131 kali(pukul 10.00; 11.00; 15.00; 17.00; 19.00; dan 21.00), pada saat itu ditambahkan satu ekstra di pagi hari , pada pukul 09.00. Pada tahun 1977, Jamsuki muda, mulai ikut bekerja di bioskop Permata. Tugasnya sama dengan ayahnya, namun ditambah satu tugas baru, yaitu pemutar film/operator film.

Terbukanya kran film barat, dengan pemberian ijin mengimport film dari negara barat. Pemerintah juga membuat aturan untuk menentukan distributor film, dengan mengklasifikasikan berdasarkan negara asal film tersebut. Ada enam distributor film, dan salah satunya sangat besar yaitu salah satunya adalah perusahaan besar saat itu yaitu PT. Sejahtera Raya Nusantara (Subentra Nusantara) sebagai salah satu distributor film import. Distributor ini memiliki kuasa untuk mengatur distribusi film yang akan diputar di bioskop Indonesia, dan menentukan berapa biaya untuk memutar film tersebut. Sehingga bioskop lokal tidak mampu bersaing dengan bioskop yang memiliki modal. Beberapa bioskop lokal sempat mengalami kekosongon film. Tidak adanya pemasukan membuat kerugian pada bioskop lokal. Pembagian distributor ini terjadi pada tahun 1970 – 1980. Pada akhirnya Subentra adalah pemegang tunggal distributor film di Indonesia. Subentra memiliki modal yang kuat, dan bisa memegang hak untuk mengkontrol jaringan bioskop Studio 21 dan Empire XXI. Monopoli yang dimiliki distributor, antara lain, memutar film apa dan diputar dimana? atau dibioskop dimana?.

Pada tahun 1970 an di awal orde baru, maka industri perfilman mulai mengalami kebangkitan, dengan film Turino Djunaidi dengan bintang Susana, judul film adalah beranak dalam kubur. Orang mulai berbondong –bondong datang ke bioskop. Film ini merupakan film pertama bertema seks. Dan karena film ini laku keras pada saat itu. Maka banyak pengusaha industri perfilman juga memakai komoditas ini sebagai sarana untuk mendapat keuntungan.

Adanya fluktuasi di bidang keuangan negara, maka harga bahan produksi film mengalami kenaikan. Produksi film menjadi mahal, sehingga harga yang diberikan distributor film tidak mampu dibayarkan oleh bioskop lokal. Bioskop Permata pada saat ini menciptakan alat pemutar sendiri, karena jika alat

(8)

132

pemutar yang dimiliki rusak, makaharus menunggu modul perbaikan lama (menurut Jamsuki, 2 Januari 2020).

Pemilik modal besar dalam dunia usaha bioskop. Di era tahun ini ada upaya pengusaha bioskop untuk memenuhi minat penonton, mereka mulai melakukan renovasi terhadap gedungnya, dari berlayar satu menjadi beberapa layar lebar. Keputusan pengusah ini merupakan upaya untuk bertahan agar usahanya tetap hidup, namun di satu sisi juga membuat pengusaha lokal, dan memiliki modal kecil tidak mampu bersaing, sehingga pada akhirnya sudah banyak bioskop lokal/kecil mengalami kebangkrutan dan menutup bioskopnya.

Pemerintah tidak mendukung kehidupan bioskop, tidak ada kebijakan untuk menjaga agar bioskop lokal tetap mampu bertahan hidup. Misalnya mengeluarkan peraturan yang bisa mengatur waktu tayang antara televisi swasta dan bioskop dan beberapa kebijakan lain yang mendukung faktor-faktor yang membuat bioskop tetap bertahan.

Dengan kemajuan tekhnologi, maka mulai muncul radio, televisi, televisi swasta dengan berbagai tontonan film yang bagus dan banyak bekerja sama dengan perfilman di dunia barat. Mulai maraknya film yang dimasukkan dalam VCD dan DVD, sehingga pada masa ini mulai muncul pembajakan film melalui VCD. Menonton menjadi lebih murah dan bisa dilakukan bersama seluruh keluarga maupun teman pada tahun 1990. Ini juga ditengarai dari merosotnya jumlah bioskop di Indonesia, pada satu waktu, jumlah bioskop mencapai 2.600. Namun penurunan drastis terjadi di tahun selanjutnya yaitu tahun 2000, jumlah bioskop hanya 272 buah.

Peraturan pemerintah yang muncul untuk perfilman, antara lain 1) SK Menteri Penerangan No. 71 tahun 1967, tentang setiap importir film, harus menyetor uang yang dihimpun sebagai biaya pembuatan film nasional. Kemudian produser bisa mengajukan proposal agar dibantu dengan pembiyaan. 2) SK Menteri Penerangan No. 124/1971, memperkuat SK No. 71

(9)

133 tahun 1967 dan memperluas penggunaan dana tidak saja untuk produksi, namun untuk perfilman Indonesia secara keseluruhan. 4).Peraturan mengenai pembagian wilayah edar film. 5) Pengaturan pengelompokan importir sesuai dengan asosiasi. 6) SE Menteri Penerangan No. 03/Kep/Dir-Df/1972 tentang hak tunggal impor film mandarin pada CV Asia Baru. 7) Pembagian importir film dalam konsorsium Amerika Serikat, Eropa, Asia, Asia non mandarin. 8) SK Menteri Penerangan No. 51/Kep/Menpen/1976 tentang aturan wajib bagi importir film untuk memproduksi film Indonesia. Peraturan bagi anggota Kif untuk jatah mengimpor film sebanyak lima buah, dan pada tahun 1977/1978 jatah film hanya tiga buah.

3. METODOLOGI

Seiring dengan semangat yang terlihat dalam latar belakang dan rumusan petanyaan penelitian, maka paradigma kritis yang saya pilih. Supaya bisa dipahami fenomena di masyarakat, dengan adanya relasi kuasa dan dominasi yang mungkin muncul dalam telaah kasus di atas. Hal ini dilakukan untuk memperbaiki penggunaan kekuasaan dan kebijakan yang merugikan masyarakat. Dengan pendekatan teori ekonomi politik.

Jenis penelitian yang saya gunakan adalah kualitatif deskriptif, studi kasus, karena untuk memperoleh gambaran dan pengetahuan yang lebih mendalam dengan membaca hasil penelitian dan dokumen, dan bisa memperoleh gambaran atas fenomena perkembangan bioskop dan kaitannya dengan kebijakan pemerintah terhadap usaha bioskop.

Tehnik pengumpulan data yang digunakan adalah observasi, dengan obyek penelitian kepada elemen komunikasi media film dan bioskop. Dengan segala proses produksi, distribusi dan pengaruh yang muncul dari sistem komunikasi yang ditemukan, serta hubungan dengan kebijakan yang ada, untuk bisa menjelaskan fenomena yang saling berkaitan dari produksi,

(10)

134

distribusi dan komsumsi bioskop. Subyek penelitannya adalah bioskop Permat, Yogyakarta.

Tehnik analisa data, dimana data dikumpulkan, dan dikelompokkan dalam satu pola waktu berlangsungnya dan mengorganisir dan mengurutkan waktu berlangsungnya tersebut bersama dengan megorganisisr waktu keluarnya kebijakan pemerintah untuk bisa melihat adanya hubungan munculnya aturan mengenai film, juga memberikan akibat keberlangsungan usaha bioskop Permata di Yogyakarta.

4. PEMBAHASAN

Menurut Laswell.H, media merupakan salah satu elemen komunikasi yang bisa menjadi alat perantara menyampaikan informasi dari suatu sumber kepada penerima lainnya. Macam-macam media, yaitu 1) visual, yang dapat dilihat dengan indera penglinghatan/mata, seperti majalah dan surat kabar. 2) Audio yang hanya bisa didengar melalui indera pendengaran, seperti radio. 3) Gabungan antara visual dan audiao, yang bisa dilihat dan didengar, seperti pertunjukan teater, televisi, dan film. Film sebagai salah satu media, dan salah satu elemen komunikasi, mampu memberi pengaruh kepada kehidupan manusia.

Peraturan pemerintah yang muncul tahun 1971, mengenai penghimpunan dana untuk mendukung perfilm-an nasioanl. Menunjukkan sisi lain bahwa pada tahun 1970 an bioskop pada tahun 1970 an mendapat kemudahan untuk memperoleh film-film dari luar negeri. Terutama Amerika Serikat, dan China. Ini merupakan kebijakan pemerintahan orde baru untuk membuka kran masuknya film-film dari negara barat. Sebagai bagian dari bentuk politik pemerintah melalui film untuk menghapus ingatan masyarakat terhadap pembatasan film di jaman pemerintahan orde lama.

(11)

135 Hal ini dikuatkan oleh pernyataan Jamsuki yang menyatakan bahwa pada tahun 1970-an bioskop Permata selalu penuh penonton, dan pertunjukan dilakukan sampai lima kali sehari, bahkan terkadang bisa sampai enam kali sehari. Pegawai bioskop Permata pada saat itu berjumlah 22 orang. Soebagyo dan Bambang, sebagai pengurus NV. Perfebi (Peredaran Film dan Eksploitasi Bioskop), menyatakan bahwa mereka menguasai 15 bioskop yang tersebar di Yogyakarta, Temanggung, Purbalingga, Banjar, dan Wonosobo, dan juga beberapa kota lain di Jawa Tengah. Jamsuki juga mengatakan bahwa kalau yang diputar film China dan India, maka penonton bioskop penuh. Arus

Globalisasi dan Konglomerasi film Hollywood dan Bollywood sudah dimulai

pada tahun ini.

Hal ini menunjukkan bahwa terjadi pergeseran selera masyarakat. Masyarakat yang sangat menyukai film dari luar negeri daripada film nasional. Dengan penuhnya kursi bioskop Permata (sesuai dengan pernyataan Jamsuki). Terjadinya monopoli persebaran film yang dilakukan NV. Perfebi. Maka keluarnya kebijakan pemerintah tentang kebebasan impor film dari luar negeri memberikan keuntungan kepada usaha bioskop.

Namun beberapa peraturan juga dianggap tidak mendukung proses berusaha bagi bioskop, karena dengan pembagian importir sesuai dengan wilayah, dan pemberian hak monopoli bagi importir film tertentu, pengaturan distribusi film. Membuat para pengusaha bioskop kesulitan mendapat film. Dan jika tidak mendapat film, maka bioskop tidak bisa memutar pertunjukan, dan akan merugi. Inilah yang terjadi dengan bioskol lokal. Krisis bioskop Permata sudah dimulai sejak 1990-an. Menurut Soebagyo, kesulitan untuk mendapat film, sangat terasa sejak tahun 2009, jika ada film yang diputar, adalah film dengan tema horor ataupun seks. Pada awal film dengan tema seks dan horor masyarakat menyukai, namun ketika tema tersebut sudah menjadi komodifikasi, maka masyarakat bosan dan jenuh. Kesulitan untuk mendapat film, membuat pengurus Permata memutuskan untuk mengambil film dari distributor liar. Ada orang yang datang ke Permata untuk menawarkan

(12)

136

beberapa film, nanti cara mengembalikan film tersebut melalui travel tujuan Jakarta, dan akan diambil kembali oleh orang tersebut di Jakarta.

Bambang (pengurus bioskop Permata) menyatakan bahwa distribusi film pada waktu yang lalu lebih jelas, dengan mengambil film melalui distributor Sanggar Film atau Dwi Sendang Film, yang merupakan distributor yang menjadi penguasa kawasan Jawa Tengah dan Yogyakarta.

Perjalanan film di tangan distributor sampai kepada bioskop Permata sebagai konsumen tangan pertama, dan penonton konsumen tangan kedua, telah terjadi relasi kuasa dan kontrol yang kuat dalam produksi, distribusi dan konsumi, dalam bertahan hidup. Menurut Mosco dalam bukunya, the Political

Economy of Communication. Ada relasi kuasa dan kontrol dari para distributor

film kepada bioskop Permata. Agar mampu bertahan hidup pada tahun sulit tersebut maka bioskop Permata juga melakukan beberapa strategi, antara lain komodifikasi tema film seks dan horor dalam pemutaran pertunjukan, melakukan peminjaman film dengan cara yang tidak seharusnya (lewat distributor liar), memasang iklan, bekerjasama dengan media radio.

Salah satu strategi untuk bertahan hidup yang dilakukan oleh bioskop Permata dalam menyikapi turunnya animo penonton pada tahun 1990-an, maka bioskop Permata melakukan kerjasama dengan Radio Retjo Buntung. Dengan pertunjukan RBS (Retjo Buntung Show), kerjasama yang dilakukan, menurut Jamsuki, Radio Retjo Buntung memiliki film, kemudian menyewa gedung bioskop untuk memutarnya, namun penontonnya dari kalangan umum. Harga tiket saat itu Rp. 1000,-. Penonton diperoleh dengan melalui iklan di radio. Iklan merupakan salah satu strategi bioskop Permata untuk bertahan hidup, iklan dilakukan melalui koran, radio, maupun mobil keliling, selain dengan iklan yang terpasang pamflet besar di bioskop.

Kebijakan pemerintah untuk mendukung film nasional, melalui dana yang dihimpun melalui peraturan menteri penerangan, sejak tahun 1971 sampai dengan tahun 1976, nampaknya tidak berhasil mendorong film

(13)

137 nasional, karena komodifikasi tema film (seks dan horor) yang dilakukan oleh para pembuat film. Namun tidak membuat masifnya pembuatan film nasional yang bertema berbeda.

Adanya monopoli yang dilakukan distributor film, dalam mengatur jadwal tayang bioskop-bioskop yang ada di bawah kekuasaan mereka. Bagaimana para distributor membuat perbedaan dalam sistim edar film nasional dan film import. Banyak kemudahan diberikan pemerintah untuk film import turut mendukung matinya bioskop lokal.

Di dunia era Globalisasi dengan adanya internet dan media-media penyebar informasi seperti televisi, radio, surat kabar memang dapat cepat terbantu dalam mencari informasi akan tetapi pemilik media hanyalah segelintir orang yang berkepentingan dengan cara menghasilkan keuntungan dalam topik ini antar negara yaitu Amerika Serikat yang merupakan negara inti yang dapat mempengaruhi negara inti, semi peripheral, dan peripheral. Ini merupakan contoh kongkrit yang terjadi seperti dalam bab sebelumnya pembahasan teori sistem dunia yang dilakukan oleh Amerika Serikat. Hal ini sudah terjadi dengan kebijakan pemerintah tentang monopoly dan distributor film.

Hal ini dikuatkan dengan pernyataan Soebagyo maupun Jamsuki, mengenai berkurangnya animo penonton untuk datang ke bioskop, karena masuknya televisi, kemudian diikuti dengan maraknya CD, dan VCD. Maraknya jumlah toko yang menyewakan VCD, dan penyewa rental VCD. Hal ini disampaikan Tresnadewe, bahwa ada pengaruh yang signifikan antara terpuruknya bioskop di Yogyakarta dengan perkembangan bisnis VCD di Yogyakarta pada saat itu.

Soebagyo menyatakan tahun 1990 – an merupakan awal berkurangnya penonton di bioskop Permata. Munculnya televisi swasta dengan film sebagai salah satu mata acaranya, membuat penonton memilih menonton hiburan televisi, karena orang ketika melihat iklan film, ”orang jadi mikir, paling

(14)

138

sebentar lagi akan muncul di televisi”. Pernyataan Soebagyo, mendapat dukungan dari Jamsuki, beliau juga menyatakan hal yang sama. Menurut Jamsuki, ”orang akan memilih menonton di rumah bersama keluarga dengan biaya yang murah daripada pergi ke bioskop”. Hal lain yang muncul dari televisi, adalah sensor yang kuat di televisi, maka tidak akan ada adegan kekerasan dan seks.

Munculnya jaringan 21, pada April 2006, diluncurkan bioskop dengan genre budaya yang berbeda, bukan lagi sebagai tempat pertunjukan film, namun betul-betul lengkap sebagai tempat mencari hiburan, karena selain memberikan pertunjukan film, dengan layar lebih dari satu, disediakan tempat untuk makan dan minum, tempat duduk nyaman, dengan audio yang bagus, dan ruangan berpendingin udara.

Telah terjadi pergeseran budaya menonton bioskop, bukan lagi sebagai hiburan namun sudah menjadi gaya hidup. Menurut Soebagyo, pergeseran praktik menonton. Bahwa menonton termasuk satu komoditas, tempat yang nyaman, dan bukan lagi kontrol produsen, namun kontrol pada pengusaha yang mampu menyiapkan sarana tersebut.

Meskipun menurut Soebagyo, kehadiran jaringan 21 tidak mempengaruhi konsumen bioskop Permata, karena konsumen bioskop Permata berbeda pasarnya. Penonton bioskop permata adalah masyarakat kelas bawah.

Namun upaya yang dilakukan para pengusaha lokal tidak mampu menahan arus global yang dilakukan para pengusaha papan atas, dengan modal besar mampu menguasai proses produksi, distribusi maupun konsumsi yang terjadi di lingkungan sosial, dimana seluruh hubungan tersebut ada relasi kuasa, dan dominasi pemain bioskop papan atas. Semua fenomena ini seperti yang disampaikan Mosco, dimana ekonomi politik terjadi, jika ada relasi sosial, ada relasi kekuasaan di dalam relasi sosial, yang secara bersama-sama mempengaruhi proses produksi, distribusi dan komsumsi sumber daya,

(15)

139 termasuk sumber daya komunikasi, dan semua proses tersebut dilakukan dengan pengontrolan dalam rangka bertahan hidup.

5. KESIMPULAN

Matinya bioskop Permata, memperlihatkan ada peran serta globalisasi dan konglomerasi media. Media film, melalui bioskop lokal yang sebelumnya menjadi ruang publik, sarana hiburan bagi masyarakat ”kelas bawah”, dengan masuknya film hollywood, bollywood, Cina, berangsur-angsur telah hilang. Selain itu juga ada beberapa faktor yang turut mempengaruhi mati bioskop (Permata), antara lain (1) Animo penonton untuk datang ke bioskop terus berkurang, (2) imperalisme film dari negara barat, (3) perubahan bioskop dengan modal besar melakukan konvergensi dengan usaha yang lain (misalnya restaurant), (4) masuknya hiburan lewat VCD dan DVD, (5) masuknya tekhnologi media baru (internet of things) siaran televisi swasta. (5) adanya kebijakan pemerintah yang semakin memurukkan dunia usaha bioskop, seperti distribusi film dimonopoli pihak tertentu, sampai kepada monopoli pengaturan film yang akan ditayangkan.

Dalam kajian sederhana ini saya melihat eratnya kaitan antara teori politik ekonomi komunikasi dengan kegiatan usaha perbioskopan, dalam upayanya bertahan hidup usahanya di Kota Yogyakarta. Bagaimana relasi kuasa dan kontrol dimainkan oleh para pengusaha pemilik modal kuat dan pemilik kebijakan. Perkembangan perfilm-an dan bioskop di Yogyakarta tidak bisa dilepaskan dari kebijakan pemerintah Indonesia mengenai produksi dan distribusi film. Kebijakan pemerintah tidak terlepas dari situasi politik yang sedang berkuasa di bumi tercinta Indonesia.

Lagi-lagi posisi masyarakat menengah bawah, akan dirugikan, lenyapnya bioskop kelas dua juga berarti hilangnya hiburan bagi kaum kelas bawah, semakin meminggirkan masyarakat kelas bawah dalam urusan mencari

(16)

140

hiburan, tidak akan ada lagi pemandangan masyarakat kelas bawah menikmati bioskop.

Memusatkan keramaian di kota-kota besar, karena untuk bisa menikmati bioskop dengan fasilitas modern dan nyaman, hanya bisa dilakukan di kota-kota besar, dengan biaya yang relatif mahal. Dimana keuntungan tersebut akan kembali kepada pengusaha dengan modal kuat.

Sebagai pengambil kebijakan perfilman, hendaknya memikirkan kembali kekuasaan dan monopoli yang diberikan kepada pengusaha bermodal kuat, agar berbagi keuntungan dengan para pekerja film yang memiliki kemampuan intelektual memajukan film Indonesia dengan memberi film yang baik bagi moral bangsa.

(17)

141 DAFTAR PUSTAKA

Aryanto.I.K. (2015). Festival Film Di Daerah Istimewa Yogyakarta. (Sub studi Kajian Pengembangan Festival Film di DIY)

Arifianto.B.D., Juhari.F, (2014)Bioskop, Film dan Distribusi di Yogyakarta, Junal

Aspikom, Volume 2 no. 2, Januar 2014i.

Ardaninswari, I. Iklan Film Bioskop di Media Cetak Jawa 1950 – 1966. Skripsi.

http://www.berita649.com/mengenang-masa-emas-bioskop-masa-lalu-di-yogyakarta/Antariksa, Ke Bioskop, Yogyakarta, 1916:1960 dalam Clea No. 4, edisi Mei - Juni 2003; jurnal berkala kritik film

Chrisnawati.L, Sejarah Perbioskopan di Kota Surakarta, Skripsi, Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada, 2008.

Depdiknas. (2001) Kamus Besar Bahasa Indonesia: edisi 3.

Dina Herlina Suwarto, (2016). Analisis Segmentasi Penonton Bioskop di Yogyakarta. Informasi Kajian Ilmu Komunikasi. Vol. 4 No. 2 Desember

2016.

Irawanto.B.. Menguak Peta Perfilman Indonesia

Kurnia N. Posisi dan Resistensi Politik Perfilman Indonesia Kriyantono.R., (2006). Tekhnik Praktis Riset Komunikasi.

Lucy Chrisnawati, (2008), Sejarah Perbioskopan di wilayah Surakarta 1950 – 2005, Skripsi Fakultas Ilmu Budaya UGM.

Mullyana D. (2019). Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar. Nasution, S. (2006)Metode Research.

(18)

142

Nugroho.G., Herlina. D.S. (2015), The Crisis & Paradox of Indonesian Film (1900

– -012)

Novi Kurniawan, (2006), Lambatnya Pertumbuhan Perfilman Indonesia, Jurnal

Ilmu Sosial Politik, Vol. 9 No. 3 Maret 2006.

Roco R. (2010). Metode Penelitian Kualitatif. Jenis Karakteristik dan

Keunggulannya.

Safiri.I. Perbioskopan di Kota Yogyakarta Tahun 1966 – 1998. Sudibyo.A, (2004), Ekonomi Politik Media Penyiaran.

Sen, Krishna (1994). Indonesian Cinema:Framing The New Order. Vincent. M. (2009). The Political Economy of Communication.

Victor Janis Thimoty L, (2013),Cinema and Library di Yogyakarta, E- Jurnal

Universitas Atmajaya .

West,L. Turner.L.H. (Sixth Ed). Introducing Communication Theory, Analysis

and Application.

Yuwono.A.I,(2009). Eksistensi Bioskop Lokal di Indonesia (Studi Kasus tentang Eksistensi Bioskop Lokal NV. PERFEBI di Yogyakarta dan Wonosobo Dalam Perspektif Ekonomi Politik Komunikasi), Tesis FISIPOL UGM. Zamzam (2006), penulis mengutip pendapat ini dari Kompas edisi Yogyakarta,

1 November 2008

https://id.m.wikipedia.or. Diakses 10 November 2019. Pukul 19.00

https://kbbi.web.web.id/bioskokp.html. Diakses 10 November 2019. Pukul 18.30

(19)

143

http://filmindonesia.or.id/article/bioskop-tua-di-yogyakarta-tinggal-nama#.XeZjg7ilyoE. Diakses pada 2 Januari 2020. Pukul 10.00

https://travel.kompas.com/read/2019/09/25/190100027/dulu-terkenal-mewah-lalu-mati-bioskop-permata-berusaha-bangkit?page=all. Diakses pada 2 Januari 2020. Pukul 09.00

Referensi

Dokumen terkait

Barangkali, bagi umat Islam sendiri tata nilai yang Islami itu sebegitu konkretnya karena kita mempunyai al-Qur'an dan al-Hadits sebagai rujukan tata nilai

3.5 Menggali informasi dari teks permainan / dolanan daerah tentang kehidupan hewan dan tumbuhan denga bantuan guru atau teman dalam bahasa Indonesia lisan dan tulis yang dapat diisi

Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan dalam Pasal 111 ayat (2) Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, perlu

Hasil pengujian menunjukkan bahwa aplikasi monitoring lampu secara jarak jauh berbasis wifi dapat berfungsi dengan baik, dibuktikan dengan konektivitas pada prototype

Atau, jika Anda tetap ingin membuat website bisnis yang profesional dengan nama domain sendiri, namun Anda masih terlalu sibuk untuk membuatnya sendiri, Anda bisa

Sterilisasi dengan uap air panas, bahan yang mengandung cairan tidak dapat didterilkan dengan oven sehingga digunakan alat ini.. alat ini disebut Arnold steam

Thrombosis ini terjadi pada pembuluh darah yang mengalami oklusi sehingga menyebabkan iskemi jaringan otak yang dapa menimbulkan oedema dan kongesti di sekitarnya.Thrombosis

Penelitian serupa bahwa Pengendalian internal COSO yang diterapkan terhadap aktivitas pengelolaan dana Zakat, Infaq, Shadaqah pada Yayasan Dana Sosial Al-Falah (YDSF) cabang