• Tidak ada hasil yang ditemukan

Deskripsi Karawitan Pakeliran Garapan Kolaborasi. Wayang Jawa - Bali. Dalang : Dru Hendro, S.Sen dan I Wayan Nardayana

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Deskripsi Karawitan Pakeliran Garapan Kolaborasi. Wayang Jawa - Bali. Dalang : Dru Hendro, S.Sen dan I Wayan Nardayana"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

Deskripsi Karawitan Pakeliran Garapan Kolaborasi

Wayang Jawa - Bali

Dalang : Dru Hendro, S.Sen dan I Wayan Nardayana

Penata Karawitan: Saptono, S.Sen

Dibiayai Oleh Program Semi-Que V Prodi Pedalangan STSI Denpasar Tahun Anggaran 2004 sesuai dengan persetujuan

dari Pemimpin Proyek Peningkatan Manajemen pendidikan Tinggi (P2MPT) No. P.003.445/P2MPT/SQV/2004

Tanggal : 12 Maret 2004

Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi

Departemen Pendidikan Nasional

(2)

1

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

Pertunjukan Wayang Kulit yang merupakan salah satu seni budaya nasional Indonesia dikenal sebagai seni tradisional adiluhung multi medium. Khususnya wayang kulit di Jawa dan Bali, keberadaannya masih banyak digemari oleh masyarakat pendukungnya. Seni pewayangan kedua daerah ini erat kaitannya dengan kehidupan adat dan keagamaan.

Dalam perkembangannya wayang kulit Jawa sekarang fungsinya sudah sedikit mulai bergeser ke arah hiburan. Lain halnya dengan seni pertunjukan wayang Bali yang pada fungsinya masih dialokasikan pada kepentingan relegius dan upacara adat. Walaupun dalam perkembangan sekarang ada beberapa dalang yang mencoba mengkemas pertunjukan wayang Bali ke arah hiburan.

Dari ulasan sekilas latar belakang sejarah tersebut diatas, menunjukkan bahwa pertunjukan wayang Jawa dan Bali memiliki beberapa persamaan maupun perbedaan yang menarik untuk dikaji. Komponen-komponen yang banyak menunjukkan persamaan terutama muncul dalam penggunaan lakon, teknik pertunjukan, dan fungsi pertunjukan. Baik di Jawa maupun di Bali pertunjukan wayang kulit sama-sama didominasi oleh pengunaan lakon Mahabrata, yakni lakon yang sejak lama telah dikenal baik di kedua pulau ini. Dari segi teknik penyajian pertunjukan wayang kulit Jawa dan Bali merupakan sebuah drama atau pertunjukan teater bayang-bayang yang sama-sama memakai ciri khas yang esensial. Seorang dalang memainkan figur boneka wayang kulit didepan selembar layar putih yang lebar, dan pada waktu yang bersamaan melagukan dan mengucapkan dialog dan narasi diiringi dengan musik gamelan. Lakon-lakon yang mendominasi dunia pewayangan di kedua daerah ini sama-sama bersumber pada epos Mahabarata dan Ramayana. Dari segi fungsi pertunjukan, wayang kulit Jawa dan Bali sama-sama terkait dengan kepentingan adat, sosial, ritual, dan kepercayaan. Dari segi bahasa, wayang kulit Jawa dan Bali juga sama-sama menggunakan bahasa kawi arkais ataupun bahasa jawa kuno. Baik itu yang terdapat pada narasi, dialog dan pada lirik-lirik lagu/vokal.

Dengan adanya persamaan dan perbedaan dari dua gaya pertunjukan wayang yang berlainan ini, sangat memungkinkan untuk digabungkan dalam sebuah pertunjukan. Karena kedua gaya daerah ini memiliki ciri khas pertunjukan yang unik dan menarik. Pertunjukan wayang Jawa memiliki sajian yang atraktif dari teknik gerak-gerak wayangnya, sedangkan wayang Bali memiliki kekhasan dalam hal tutur dan fungsi panakawan sebagai penterjemah.

(3)

2

Perpaduan kedua pakeliran yang berbeda daerah ini penggarap sajikan dalam sebuah

pertunjukan “Kolaborasi Wayang Jawa Bali dalam Lakon Ciptoning”.

1.2. TUJUAN GARAPAN KARYA SENI

Tujuan garapan ini adalah untuk memenuhi program Semi-Que V dalam rangka membantu dan meningkatkan kemampuan mahasiswa semester akhir yang akan menempuh ujian Sarjana (S-1) dengan membuat karya seni. Program ini sangat penting untuk ditindaklanjuti dalam membantu mahasiswa pada proses berkarya seni, baik dari eksplorasi, improvisasi, dan pembentukan. Di samping pula tema garapan ini juga bisa menjadi pijakan bagi mahasiswa dalam Tugas Akhir nanti.

1.3. MANFAAT GARAPAN KARYA SENI

Penciptaan karya seni adalah hasil kerja sama dengan mahasiswa baik dari proses, pencarian ide yang tujuannya adalah mengarahkan memberikan motivasi untuk mengenal dan menggunakan konsep-konsep dan metoda dalam penciptaan karya pedalangan. Dengan proses itu tidak terlepas pada referensi maupun teori seni yang akan melahirkan sebuah ide. Ide akan dapat terwujud apabila dapat dipadukan konsep-konsep modern, diramu sedemikian rupa hingga lahirlah karya seni. Dari pengalaman yang didapatkan diharapkan khususnya bagi siswa yang terlibat dapat memudahkan bagi mereka dalam berkarya seni nantinya. Selain itu sebagai mahasiswa penikmat diharapkan dapat bermanfaat sebagai pengalaman estetis dalam dunia karya seni.

II. STRUKTUR ADEGAN LAKON CIPTANING (ARJUNA TAPA)

Adegan I.

Arjuna membayangkan dalam masa pembuangan selama 13 tahun setelah kalah dalam permainan dadu. Pandawa berada dalam masa penghukuman , Kerajaan Amarta diambil alih Prbu Duryudana dari keluarga kurawa. Pada masa kekuasaan oleh keluarga Kurawa Kerajaan Amarta porak poranda, rakyat kehilangan pegangan hukum ,moral dan kemanusiaan. Raden Arjuna merasa sedih, geram. Dalam ingatannya, Arjuna sangat terpukul akan ucapan/hinaan Prabu Duryudana ketika keluarga Pandawa kalah bermain dadu. Dalam ucapan tersebut Durtudana berkata kasar terhadap Arjuna :

(4)

3

Duryudana : He.., Arjuna ! kau sekarang gembel, apa yang akan kau andalkan?, kau tak punya apa-apa lagi sekarang ! Kau mengandalkan ketampananmu, kau akan mencoba memikat Banowati.! Buka matamu, lebarkan telingamu,

sekarang Banowati sudah menjadi estriku. He..., gembel ! inggat....! jangan kau tularkan kemiskinanmu.

Seketika itu juga amarah Arjuna tersulut. Penghinaan Duryudana sudah melewati batas, bergegas Arjuna ingin membunuh Duryudana. Namun Semar melihatnya, segera mereda kemarahan Arjuna dan mengingatkan bahwa tindakan itu adalah sangat emosional yang justru akan merugikan diri sendiri. Setelah mendengar wejangan ataupun nasehat dari Semar, akhirnya Arjuna sadar. Arjuna disarankan bertapa untuk mencapai jiwa yang tenang (Ciptawening).

Adegan II. Gunung Indrakila.

Arjuna mempersiapkan diri untuk melakukan pertapaan di Gua Mintaraga yang dijaga oleh para panakawan; Semar, Gareng Petruk Bagong. Arjuna merubah ujud menjadi seorang pertapa. ( Tokoh wayang berbeda).

Adegan III. Kerajaan Manimantaka.

Newatakawaca tengah melamunkan kecantikan Dewi Supraba bidadari dari kahyangan (Surga). Keinginan untuk menyunting Bidadari cantik itu belum memperoleh hasil. Lamunan Newatakawaca menjadi buyar ketika tiba-tiba Patih Mamangdana menghadap. Mamangdana menceritakan ketika diutus ke Surga melamar Supraba. Pada intinya lamaran Newatakewaca diterima, namun harus menunggu hari baik. Hari tersebut akan berlangsung ketika jatuh bulan “Palguna” . Mendengar laporan Mamangdana Togog (panakawan dari pihak kiri) langsung menghadap dan mengingatkan kepada Newatakawaca bahwa bulan Palguna itu masih satu tahun lagi. Togog juga memberikan penjelasan bahwa Palguna itu adalah nama lain dari Arjuna, yang sekarang sedang bertapa di Gunung Indrakila. Arjuna adalah kesatriya yang akan menjadi calon pahlawan para Dewa di kahyangan. Mendengar penjelasan Togog tersebut, Newatakawaca segera memanggil Tumenggung Mamangmurka diperintahkan ke Gunung Indrakila agar segera menyirnakan Arjuna. Karena Arjuna akan menjadi penghalang Newatakwaca untuk meminang Supraba. Mamangmurka berangkat bersama Togog dan Bilung.

(5)

4

Adegan IV. Gara-gara.

Banyolan para panakawan, diisi dengan lagu-lagu dolanan yang meriah untuk menghibur para penonoton. Bisa juga diisi dialog antara panakawan Jawa dengan panakawan Bali.

Adegan V. Pertapaan Indrakila

Para panakawan tengah menjaga Arjuna, dalam bertapa Arjuna mendapat Ujian/godaan dari Dewa Kuwera. Dewa Kuwera mengatakan bahwa apa yang dilakukan Arjuna itu tidak benar, lebih baik menikamati indahnya dunia dengan harta melimpah. Arjuna tidak menanggapi perkataan itu dan tetap hening tapanya. Kemudian datang juga Dewa Wrahaspati untuk menguji keteguhan Arjuna. Dewa ini yang menangani masalah kedudukan, derajat kehormatan dan kekuasaan. Dewa Wrahaspati menawarkan kekuasaan akan diberikan Arjuna untuk menghidupi keluarganya yang sedang menderita. Namun Arjuna tetap tidak menghiraukan godaan itu. Datang lagi Dewa Yama yang menyarankan agar Arjuna mengurungkan niat bertapanya, karena itu semua tidak ada gunanya. Setelah beberapa godaan bisa teratasi oleh arjuna, datang lagi godaan menghampirinya dengan turunnya para Bidadari dari Kahyangan sebanyak tujuh putri untuk merayu Arjuna. Dengan kekuatan semadi Arjuna para Bidadari akhirnya lenyap dari pandangan Arjuna. Datang Dewa Indra menyamar sebagai Resi Padya untuk menguji Arjuna sebagai seorang begawan. Akhirnya Resi Padya berubah ujud menjadi Dewa Indra karena penyamarannya telah diketahui oleh Arjuna. Seketika itu juga Arjuna diangkat menjadi anak Dewa Indra dengan nama Indratanaya.

Adegan VI. Kaki Gunung Indrakila.

Mamangmurka menghancurkan hutan sekitarnya, mencari Gua Mintaraga tempat Arjuna bertapa. Pohon-pohon disekitar Gua Mintaraga menjadi rusak dan tumbang. Untuk memudahkan pencariannya terhadap Arjuna, Mamangmurka merubah dirinya menjadi celeng. Akhirnya pertemuan dengan Arjuna tak dapat dielakkan, sehingga terjadi peperangan. Ditempat terpisah ada ksatriya sedang berburu celeng, ksatriya itu adalah Bambang Kerata. Arjuna dan Kerata sama-sama melepaskan panah mengenai tubuh celeng hingga mati. Keduanya berebut, bahwa panahnyalah yang mengenai sasarannya. Terjadi peperangan antara Arjuna dengan Kerata, akhirnya Kerta berubah menjadi Dewa Syiwa. Arjuna mendapat anugerah dari Dewa Syiwa berupa senjata pamungkas bernama Pasopati. Yang berarti raja segala hewan buruan rimba.

(6)

5

Adegan VII. Peperangan Arjuna Newatakawaca.

Peperangan dengan kematian Newatakawaca, Tancep kayon.

III. KONSEP MUSIK PAKELIRAN

Istilah musik atau pakeliran di sini dimaksudkan adalah karawitan yang diperuntukkan mengiringi pertunjukan wayang kulit purwa. Sedangkan istilah pakeliran, karena dalam tampilannya melibatkan kelir atau layar, portudan gerak-gerak wayang terefleksi ke layar, menimbulkan bayang-bayang tampak dibelakang layar (Sarno : 2003, 19-33).

Di dalam fungsinya, karawitan selain diperuntukkan mengiringi pertujukan wayang bisa juga dipergunakan melayani keperluan lain. Untuk keperluan tari misalnya gending iringan , yakni gending gending yang diperuntukkan mengiringi tarian (golek, serimpi, bedoyo, sendra tari, fragmen, dan lain lain) mengiringi teater ( wayang wong, ketoprak, wayang kulit, drama, dan lain lain). Dalam hal ini karawitan bersifat “melayani” tuntutan kebutuhan idiom-idiom gerak dari berbagai adegan atau peristiwa termasuk musik pakeliran. Dalam musik pakeliran kolaborasi ini, mengacu pada bentuk-bentuk gending yang sudah ada seperti lancaran, ayak-ayak, serempegan, sampak, ketawang, ladrang, gending, maupun bentuk racikan pada gending-gending sekatenan.

Sungguh pun dalam habitat karawitan Jawa bentuk-bentuk gending yang diacu sudah ada, namun dalam keperluan kolaborasi wayang ini, penata di dalam menyusun gending mempertimbangkan beberapa hal diantaranya sebagai berikut.

1. Mempertimbangkan dengan kebutuhan adegan dalam lakon

2. penggunaan laras (slendro maupun pelog) dan pathet pada karawitan Jawa.

3. Tapsir garap gending baik untuk keperluan dengan adegan maupun dengan kebutuhan perpindahan (transsisi) karawitan pakeliran Jawa-Bali.

IV. NOTASI GENDING

1. Racikan, laras slendro ( lagu ini digunakan untuk adegan bedol kayon)

1 2 6(3) 3 3 6 1 2 5 3 5 5 3 5 3 3

6 6 6 6 3 5 6 1 5 6 1 5 6 1 6 5 2 2 5 5 2 3 5 6 3 5 6 3 5 6 5 3 2 2 2 2 2 3 5 6 . . 5 3 6 5 3(2)

(7)

6

2. Lancaran 3/4 , laras slendro (untuk adegan arjuna membayangkan dalam pembuangannya selama 13 tahun)

. 2 2 . 2 2 . 2 3 2 1(6) . 3 3 . 3 3 . 3 2 3 5(6) 35 6 356 . 53 5 6(1) . 5 5 . 5 5 3 6 5 . 3 .(2)

3. Jengglengan, slendro (adegan perang kayonan) . 6 2 . 6 2 . 6 2 . 6 2 3 1 6 (1) . 6 1 . 6 1 . 6 1 . 6 1 3 2 1 (6)

4. Gangsaran kempyung (5), slendro . . 6 5 2 . 6 5 2 . 6 5 2 . 6(5) . . 2 1 6 . 2 1 6 . 2 1 6 . 2(1)

5. Srepegan Gangsaran, pelog barang (untuk mengiringi kebringasan prajurit kurawa membawa sejanta)

(7)

3 5 6 7 3 5 6 7 3 3 3 3 7 7 7 (7)

6. Sampak Dugang, laras slendro (pendawa merasa terpukul) 3 2 3 2 3 5 6 1 6 1 6 1 5 6 1 (6)

1 6 1 6 5 3 2 3 5 6 1 6 3 5 3 (2)

7. Palaran Asmarandana, slendro

8. Sampak Dugang, laras slendro (adegan kemarahan Harjuna) 3 2 3 2 3 5 6 1 6 1 6 1 5 6 1 (6)

(8)

7

9. Gending Nemolunem, laras pelog. (adegan Semar mengingatkan kemarahan Harjuna) 2 1 6 (5)

. . 6 5 . . 6 5 . . 6 5 3 5 6 (5) . . 6 5 . . 6 5 . . 6 5 3 5 6 (1) . . 2 1 . . 2 1 . . 2 3 5 3 2 (1) 6 5 3 6 . . 2 3 5 6 1 2 3 1 6 (5)

10. Srempegan Bono, laras pelog. (setelah mendengarkan wtjangan Semar akhirnya Harjuna sadar dan menuju pertapan)

(6)

3 2 3 2 3 . 2 3 3 3 5 6 5 3 2 3 6 . 6 2 1 2 3(2) 3 1 3 2 6 5 6 5 2 3 5 (6)

11. Gending Ela-ela, laras pelog dilanjutkan gending Bali

12. Lancaran Tropongan, laras pelog (adegan di Kerajaan Manimantaka) (5) 6 3 6 5 6 3 6 5 1 2 1 6 5 4 6(5) 6 3 6 5 6 3 6 5 1 2 1 6 5 4 6(5) 1 2 1 . 1 2 1 . 1 2 1 6 5 4 6(5) 1 2 1 . 1 2 1 . 1 2 1 6 5 4 6(5) 7 6 5 6 5 4 2 4 2 3 2 1 6 5 4 (5)

13. Sampak Banyumasan, laras pelog (adegan Gara-gara) 1 1 2 1 6 5 4 (5)

2 2 2 2 1 1 1 1 6 6 6 6 5 5 5 5

14. Lagu Walang Kekek, slendro sangan

15. Srepegan Kembang Jeruk, laras pelog (untuk adegan di pertapan Gunung Indrakila) (2)

3 6 3 5 3 6 3 2 3 6 3 5 3 6 3 (2) 6 6 1 2 3 2 1 6 5 6 1 2 3 2 1 (6) 3 3 6 5 3 6 3 (2)

Referensi

Dokumen terkait