• Tidak ada hasil yang ditemukan

WAYANG KULIT BALI GAYA KARANGASEM STUDI KASUS DALANG IDA MADE ADI PUTRA LAKON NILA CANDRA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "WAYANG KULIT BALI GAYA KARANGASEM STUDI KASUS DALANG IDA MADE ADI PUTRA LAKON NILA CANDRA"

Copied!
135
0
0

Teks penuh

(1)

WAYANG KULIT BALI GAYA KARANGASEM

STUDI KASUS DALANG IDA MADE ADI PUTRA

LAKON NILA CANDRA

SKRIPSI

OLEH :

IDA AYU NYOMAN WERDHI PUTRI KUSUMA NIM 201003001

PROGRAM STUDI S-1 SENI PEDALANGAN JURUSAN SENI PEDALANGAN

FAKULTAS SENI PERTUNJUKAN

INSTITUT SENI INDONESIA

DENPASAR

(2)

SKRIPSI

WAYANG KULIT BALI GAYA KARANGASEM

STUDI KASUS DALANG IDA MADE ADI PUTRA

LAKON NILA CANDRA

Diajukan untuk melengkapi tugas-tugas dan memenuhi syarat-syarat untuk mencapai gelar Sarjana Seni (S1)

MENYETUJUI :

(3)
(4)

MOTTO

Bukanlah kegembiraan atau kesedihan yang menjadi tujuan akhir kita,

Melainkan bertindak hingga esok kita telah melangkah lebih jauh dari hari ini.

Sasi wimba haneng gata, mesi banyu Ndanasing suci nirmala, mesi wulan Iwa mangkana rakwa kiteng kadadin Ringanganbeki yoga, kiteng sekala

(Arjuna Wiwaha, hal. 38 pupuh ke 11) Artinya:

Seperti bayangan bulan yang terlihat pada tempat air yang berisi air

Tetapi hanya pada air yang bersih tanp kotoran saja bayangan bulan itu akan

nampak.

Seperti itulah Tuhan dalam kehidupan ini.

Hanya pada manusia yang taat melaksanakan yoga Tuhan itu akan menunjukkan

(5)

KATA PENGANTAR

Puja dan puji syukur penulis panjatkan ke hadapan Ida Sang Hyang Widhi

Wasa/Tuhan Yang Mahaesa, atas berkat dan rahmat-Nyalah dapat tersusun skripsi

yang berjudul “Wayang Kulit Bali Gaya Karangasem Studi Kasus Dalang Ida

Made Adi Putra Lakon Nila Candra”. Tugas akhir ini merupakan suatu proses

yang harus ditempuh oleh seorang mahasiswa Jurusan Seni Pedalangan, Fakultas

Seni Pertunjukan, Institut Seni Indonesia, sebagai bagian dari syarat untuk

memperoleh gelar Sarjana Seni (S1).

Penulis menyadari tentang hakekat manusia yang memiliki keterbatasan

sebagai ciptaan Tuhan, di samping memiliki kelebihan tentu ada kekurangan.

Oleh karena itu suatu keberhasilan yang diraih saat ini sudah tentu memerlukan

bantuan orang lain. Sebagai bukti penyusunan skripsi ini banyak memperoleh

bimbingan, arahan, masukan dan saran-saran, serta berupa dorongan dari berbagai

pihak. Melalui kesempatan yang baik ini penulis mengucapkan rasa terima kasih

dan penghargaan yang tidak terhingga kepada semua pihak atas kemurahan hati

membantu penulis, sehingga skripsi ini rampung tepat pada waktunya. Ucapan

terima kasih ini ditujukan kepada :

1. Bapak Dr. I Gede Arya Sugiartha,S.SKar. selaku rektor Institut Seni

Indonesia (ISI) Denpasar yang telah memberikan kesempatan kepada

penulis menempuh perkuliahan.

2. Bapak I Wayan Suharta,S.SKar.,M.Si. selaku dekan Fakultas Seni

(6)

Fakultas Seni Pertunjukan ISI Denpasar, yang telah memberi motivasi

selama mengikuti perkuliahan dan pada proses tugas akhir.

3. Bapak I Dewa Ketut Wicaksana,SSP.,M.Hum. selaku pembantu

dekan I dan pembimbing akademik, yang dengan sabar meluangkan

waktunya untuk memberikan bimbingan dan motivasi sejak awal

perkuliahan dan proses pembelajaran sampai dengan proses tugas akhir.

4. Ibu Doktor Ni Luh Sustyawati,M.Pd. selaku pembantu dekan III, yang

telah memberi motivasi selama mengikuti perkuliahan dan pada proses

tugas akhir serta bimbingan moril selama penulis mengikuti perkuliahan

dan kegiatan kampus.

5. Bapak I Kadek Widnyana,SSP.,M.Si, selaku ketua jurusan seni

pedalangan ISI Denpasar, yang telah membantu penulis dalam proses

akademik selama mengikuti perkuliahan.

6. Ibu Ni Komang Sekar Marhaeni,SSP.,M.Si. selaku sekretaris jurusan seni

pedalangan ISI Denpasar, telah banyak memberikan dorongan motivasi

dan membantu secara akademis selama perkuliahan.

7. Bapak Drs. I Wayan Mardana,M.Pd. selaku pembimbing I atas perhatian,

bimbinganya, dan motivasi selama menempuh perkuliahan mengoreksi

dan membenahi tulisan pada skripsi ini.

8. Ibu Dra. Ni Diah Purnamawati.,M.Si. selaku pembimbing II yang telah

banyak memberikan dorongan, motivasi yang sangat berarti bagi penulis,

mengoreksi dan membenahi tulisan pada skripsi ini.

9. Bapak Prof. Dr. I Nyoman Sedana,SSP,M.A. selaku guru besar di jurusan

(7)

untuk memberikan bimbingan, motivasi, dan semangat dari awal

perkuliahan hingga penulis menyelesaikan skripsi ini.

10. Seluruh Bapak dan Ibu dosen pengajar di jurusan pedalangan berserta

pegawai Fakultas Seni Pertunjukan yang telah memberikan ilmu

pengetahuan, bimbingan, pengalaman, motivasi, bantuan, dan arahan

selama awal perkuliahan hingga penyusunan skripsi ini.

11. Bapak Biro Administrasi Akademik Kemahasiswaan dan Kerjasama

(BAAKK) yang sudah memberikan kepercayaan kepada penulis untuk

menerima beasiswa selama menjadi mahasiswa di Institut Seni Indonesia

Denpasar.

12. Bapak mangku Dalang Ida Made Adi Putra selaku dalang beserta keluarga,

serta masyarakat Desa Banjar Besang, Kecamatan Ababi, Kabupaten

Karangasem yang telah memeberikan tempat, waktu, kesempatan,

informasi mengenai pertunjukan Wayang Kulit Gaya Karangasem Lakon

Nila Candra., serta sambutan yang sangat hangat kepada penulis selama

penelitian skripsi ini.

13. Bapak Dalang Ida Made JD Bratha sebagai informan yang telah

memberikan informasi tambahan mengenai pertunjukan Wayang Kulit

Gaya Karangasem.

14. Teman-teman seperjuangan mahasiswa jurusan pedalangan angkatan 2010

atas inspirasi, bimbingan, semangat, rasa solidaritas, kekeluargaan,

senasib, dan sepenangungan dari awal perkuliahan hingga selesainya

(8)

15. Seluruh keluarga yang saya cintai yang sudah banyak memberikan bantuan

dan dukungan moral selama perkuliahan dan dalam proses penyusunan

skripsi ini.

Semoga bantuan yang diberikan kepada penulis diterima sebagai amal

serta mendapatkan pahala yang setimpal dari Tuhan Yang Maha Esa. Akhir kata,

penulis mengucapkan terima kasih atas segala perhatiannya, dan besar harapan

penulis semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak dan bagi yang

memerlukannya.

Denpasar, 20 Mei 2014

(9)

ABSTRAK

Wayang kulit merupakan salah satu pertunjukan yang masih tetap eksis sampai saat ini, serta memiliki banyak gaya/style di setiap daerah masing-masing. Seperti di daerah Sukawati, Badung, Buleleng dan juga di daerah Karangasem. Penelitian ini adalah sebuah pengkajian seni pertunjukan yang mengangkat bentuk, fungsi, dan makna pertunjukan Wayang Kulit Parwa Gaya Karangasem lakon Nila Candra oleh Dalang Ida Made Adi Putra, di Banjar Besang, Desa Ababi, Kecamatan Abang, Kabupaten Karangasem.

Fokus penelitian ini adalah mengkaji tentang ciri khas yang mebedakan bentuk, fungsi, dan makna dalam pertunjukan Wayang Kulit Parwa Gaya Karangasem lakon Nila Candra oleh Dalang Ida Made Adi Putra. Penelitian ini mengunakan metode kualitatif, yaitu mengkaji mengenai permasalahan yang diajukan menggunakan Teori Estetika, Teori Fungsionalisme Struktural dan Teori Wacana. Data yang disajikan dalam penelitian ini diperoleh melalui observasi, interview atau wawancara, studi kepustakaan dan studi dokumentasi.

Nila Candra sebagai objek analisis merupakan sebuah lakon carangan wayang kulit Bali. Lakon carangan ini mengambil sumber dari Kakawin Nila Candra yang masih merupakan bagian dari epos Mahabharata. Pembatasan materi sebagai bahan kajian dalam penulisan skripsi ini dibatasi pada tiga aspek yaitu : bentuk, fungsi dan makna terhadap sebuah seni pertunjukan Wayang Kulit Gaya Karangasem lakon Nila Candra. Penelitian ini sifatnya deskriptif kualitatif.

Hasil penelitian ini membahas tentang Wayang Kulit Gaya Karangasem dengan lakon Nila Candra. Wayang Kulit Gaya Karangasem ini mempunyai struktur pementasan yang berbeda dengan struktur pementasan wayang secara umum. Perbedaan yang sangat menonjol terletak pada tahap Alas harum, dan

petangkilan. Pada tahap Alas harum biasanya dalang menyanyikan sebuah

tembang (kekawin) disertai dengan menarikan tokoh wayang, namun pada struktur pementasan Wayang Kulit Gaya Karangasem pada tahap Alas harum dalang hanya menembang tanpa menarikan tokoh wayang sehingga pada kelir masih kosong belum ada tokoh wayang yang muncul. Pada struktur pementasan Wayang Kulit Gaya Karangasem tidak ada petangkilan, tetapi langsung ke pangkatan. Dari sinilah dijadikan titik tolak untuk memahami bentuk, fungsi, dan makna sebagai daya tarik pertunjukan Wayang Kulit Gaya Karangasem lakon Nila Candra.

(10)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii

LEMBAR PENGESAHAN ... iii

HALAMAN MOTTO ... iv

KATA PENGANTAR ... v

ABSTRAK ... ix

DAFTAR ISI ... x

GLOSARIUM ... xii

DAFTAR TABEL ... xvi

DAFTAR FOTO ... xvii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Perumusan Masalah ... 6

1.3 Tujuan Penelitian ... 6

1.4 Manfaat Hasil Penelitian ... 6

1.5 Ruang Lingkup Penelitian ... 7

BAB II KAJIAN SUMBER DAN LANDASAN TEORI ... 9

2.1 Kajian Sumber ... 9

2.2 Landasan Teori ... 11

2.2.1 Teori Estetika ... 12

2.2.2 Teori Fungsionalisme Struktural ... 13

2.2.3 Teori Wacana ... 14

BAB III METODE PENELITIAN ... 17

1.1 Rancangan Penelitian ... 17

1.2 Jenis dan Sumber Data ... 18

1.3 Instrumen Penelitian ... 20

1.4 Teknik Penentuan Informan ... 21

1.5 Teknik Pengumpulan Data ... 21

1.5.1 Observasi ... 22

1.5.2 Wawancara ... 22

1.5.3 Studi Kepustakaan ... 23

1.5.4 Studi Dokumentasi ... 24

1.6 Teknik Analisa Data ... 24

1.7 Sistematika Penyajian Hasil Penelitian ... 25

1.8 Jadwal Kegiatan Penelitian ... 26

BAB IV BENTUK PERTUNJUKAN WAYANG KULIT GAYA KARANGASEM LAKON “NILA CANDRA” ... 29

4.1 Bentuk Pertunjukan ... 29

(11)

4.3 Komponen Pertunjukan ... 42 4.3.1 Lakon ... 42 4.3.1.1 Sinopsis ... 44 4.3.1.2 Pembabakan ... 49 4.3.2 Dalang ... 53 4.3.3 Wayang ... 55

4.3.4 Iringan Gender Wayang ... 56

4.3.5 Sound System ... 57 4.3.6 Gedebong ... 58 4.3.7 Kelir ... 59 4.3.8 Panggung ... 60 4.3.9 Blencong ... 61 4.3.10 Kropak ... 62 4.3.11 Cepala ... 63 4.3.12 Ritual (Upakara) ... 64

BAB V FUNGSI DAN MAKNA PERTUNJUKAN WAYANG KULIT GAYA KARANGASEM LAKON “NILA CANDRA” ... 66

5.1 Fungsi Hiburan ... 67

5.2 Fungsi Media Komunikasi... 70

5.3 Fungsi Upacara Keagamaan (Ritual) ... 75

5.4 Fungsi Stabilitas Kebudayaan ... 77

5.5 Fungsi Integritas Masyarakat... 79

BAB VI PENUTUP ... 82 6.1 Simpulan ... 82 6.2 Saran-saran ... 85 DAFTAR PUSTAKA ... 87 DAFTAR INFORMAN ... 90 LAMPIRAN 1. Transkrip Wayang Kulit Gaya Karangasem lakon “Nila Candra” Oleh Dalang Ida Made Adi Putra. ... 91

(12)

GLOSARIUM

Adiluhung = sangat berharga

Ajeg = sebuah pelestarian

Alas Harum = istilah/nama lagu yang dipakai saat adegan

persidangan pada pertunjukan Wayang Parwa.

Angkat-angkatan = istilah/nama lagu yang dipakai untuk mengiringi

keberangkatan atau perjalanan ke suatu tempat

Batel = iringan adegan perang

Belencong = lampu minyak khusus untuk pertunjukan wayang

tradisi.

Bhuta Yadnya = upacara yang dihaturkan untuk para

Cabut Kayonan = adegan dimana wayang kayonan dicabut dari

kelir.

Cepala = alat yang dipakai memukul keropak berfungsi

untuk memberikan aksentuasi pada pertunjukan

wayang

Dewa Yadnya = upacara yang dihaturkan untuk para dewa Gadebong = batang pohon pisang yang dipakai untuk

menancapkan wayang.

Gender Wayang = instrumen pokok pengiring pertunjukan wayang Gilak kayonan = nama gending iringan untuk tari kayonan Hyang = sebutan untuk roh yang sudah suci

(13)

Jejer = wayang dipilih dan ditancapkan di atas batang

pisang

Jero Dalang = gelar untuk seorang dalang di Bali

Kakawin = puisi yang memakai bahasa jawa kuno yang diikat

oleh metrum-metrum guru dan lagu

Kawi Dalang = kreatifitas dalang

Ketengkong = pembantu dalang pada saat pertunjukan wayang

Kelir = layar pertunjukan wayang

Keropak = tempat penyimpanan wayang dan pasangan dari

cepala lagu yang memakai bahasa Jawa Tengahan

Kayonan = wayang yang pertama ditarikan pada pertunjukan

wayang

Lakon Carangan = cerita pokok yang dibuatkan tambahan lakon baru Lakon Pakem = cerita yang diambil dari ceritera pokok

Lakon Pokok = cerita yang diambil dari ceritera pokok

Lampahan Unduk = cerita yang bersumber dari ceritera pokok yang

telah disadur kedalam parwa parwa dan

kakawin-kakawin

Lelampahan = cerita yang dibawakan dalam seni pertunjukan

Mangku Dalang = sebutan untuk dalang sapuh leger

Manusa Yadnya = upacara yang dihaturkan untuk mensucikan diri

(14)

Mesem = lagu untuk adegan sedih untuk wayang bermata

sipit

Parwa = bagian-bagian dari epos Mahabharata

Panca Yadnya = lima jenis korban suci yang tulus iklas

Pitra Yadnya = upacara yang dipersembahkan kapada orang yang

sudah meninggal.

Punakawan = abdi raja

Pangkat pejalan = lagu untuk mengiringi adegan keberangkatan ke

suatu tempat

Pangkat Siat = lagu untuk mengiringi adegan keberangkatan ke

medan perang

Pemungkah = bagian awal dari pertunjukan wayang

Pengender = pemain instrumen gender wayang

Penyacah parwa = prolog pada pertunjukan Wayang Kulit Bali yang

merupakan awal ceritera yang akan disajikan

Petangkilan = adegan wayang pada saat siding

Petegak = lagu yang dimainkan oleh penabuh sebelum

pertunjukan wayang dimulai.

Pura = tempat suci agama hindu

Rebong = lagu yang digunakan pada saat adegan roman

Rsi Yadnya = upacara yang dilaksanakan untuk roh leluhur Sang Hyang Ringgit = sebutan suci wayang

(15)

Selendro = suatu sistem laras nada

Tabuh petegak = lagu yang dimainkan pada awal dari pertunjukan

wayang

Tatikesan = gerak wayang

Tututan = pembantu dalang pada saat pertunjukan wayang

Tungguh = kayu yang dipancangkan tempat sesuatu

(16)

DAFTAR TABEL

Tabel 3.1 Jadwal Kegiatan Penelitian. ... 27

Tabel 4.1 Bagan Struktur waktu Wayang Kulit Gaya Karangasem lakon

(17)

DAFTAR FOTO

Foto1. Suasana latihan Tabuh Petegak Wayang Kulit lakon Nila Candra di Br. Besang, Desa Ababi, Kecamatan Abang,

Kabupaten Karangasem………. 123

Foto 2. Dalang Ida Made Adi Putra dalam pertunjukan WKGK lakon Nila Candra di Br. Besang, Desa Ababi, Kecamatan Abang, Kabupaten Karangasem………. 123

Foto 3. Suasana Adegan jejer wayang oleh Dalang Ida Made Adi Putra lakon Nila Candra……….. 124

Foto 4. Gedebong sebagai simbol pertiwi dan dua buah mic dipasang dibelakang belencong untuk membantu agar suara Dalang Ida Made Adi Putra terdengar oleh penonton……… 124

. Foto 5. Kelir yang digunakan saat pementasan WKGK lakon Nila Candra lebih lebar dari ukuran kelir pada umumnya. ... . 125

Foto 6. Blencong yang digunakan saat pementasan WKGK lakon Nila Candra……… 125

Foto 7. Keropak/Gedog yang dimiliki dan dibuat sendiri oleh Dalang Ida Made Adi Putra……… 126

Foto 8. Tahap wawancara dengan kedua informan. Dalang Ida Made Adi Putra (kiri) dan Dalang Ida Made JD Bratha (kanan).. 126

Foto 9. Tokoh Wayang Nila Candra ... . 127

Foto 10. Tokoh Wayang Kresna dan Nila Candra ... . 127

Foto 11. Tokoh Wayang Bhagawan Andasing………. 128

Foto 12. Tokoh Wayang Kertawarma ... 128

Foto 13. Tokoh Wayang Satyaki ... 129

Foto 14. Tokoh Wayang Baladewa ... 129

(18)

Foto 16 Dalang Ida Made Adi Putra bersama penulis…………... 130

(19)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pulau Bali sebagai salah satu bagian dari kepulauan Indonesia memiliki

warisan kebudayaan yang sangat unik, serta peninggalan kebudayaan yang

tersebar di seluruh wilayah Bali. Warisan kebudayaan ini mencirikan bahwa setiap

wilayah di Bali memiliki kekhasan kebudayaan masing-masing. Warisan

kebudayaan tersebut meliputi: adat istiadat, tari-tarian sakral, gamelan, pakeliran

atau pewayangan dan lain sebagainya. Dari sekian yang ada, pakeliran atau

pewayangan merupakan salah satu bentuk pertunjukan yang sarat akan makna dan

filsafat pengetahuan didalamnya, sehingga wayang sering dikatakan sebagai

sebuah kesenian yang adiluhung. Menurut (Koichiro dalam Sedana,2004:6) yang

dikutip oleh Sukerta dalam tesisnya menyatakan sejak tanggal 7 November 2003,

wayang diakui oleh Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan dan Kebudayaan

PBB (UNESCO) sebagai pertunjukan bayangan boneka tersohor dari Indonesia,

sebuah warisan mahakarya dunia yang tak ternilai dalam seni bertutur (World

Master Piece of Oral and Intangible Heritage of Humanity.

Seni pewayangan sebagai seni pertunjukan berkembang terus dari masa ke

masa, karena wayang merupakan kesenian yang sering digunakan sebagai media

penerangan, penjabaran nilai-nilai agama, pendidikan, pemahaman filsafat,

hiburan dan bahkan kritik sosial, sehingga pertunjukan wayang kulit menjadi

(20)

pertunjukan wayang kulit juga mepmadukan berbagai unsur seni rupa, sastra,

gerak dan suara dalam pementasannya. Menurut Sidemen (2000:19), seperti yang

dikutip oleh Seramasara(2005:1) mengemukakan:

“pertunjukan wayang diciptakan sebagai wahana komunikatif, imformatif, dan edukatif supaya masyarakat Bali menjadi lebih bermoral, etis, dan normatif dalam menyikapi perkembangan jaman. Dengan demikian Seni Pewayangan Bali merupakan produk seni, hasil dari interaksi yang kondusif dan hakiki antara seniman dengan masyarakat Bali yang dijiwai oleh nilai-nilai budaya Bali”.

Kalau Sidemen mengatakan wayang sebagai komunikatif, imformatif, dan

edukatif maka, Yahya J.Aifit (2010) dalam websitenya mengatakan pertunjukan

wayang sebagai puncak seni budaya bangsa Indonesia yang paling menonjol di

antara banyak karya budaya lainnya. Pertunjukan wayang meliputi seni peran,

seni suara, seni musik, seni tutur, seni sastra, seni lukis, seni pahat, dan juga seni

perlambang. Pertunjukan wayang kulit merupakan salah satu bagian dari seni

pertunjukan Bali yang hingga kini masih tetap digemari oleh masyarakat Bali

pada umumnya. Di desa-desa maupun di kota, masyarakat masih sering

menggelar pertunjukan wayang kulit dalam kaitan dengan upacara agama

Hindu, upacara adat Bali atau hanya sebagai hiburan semata. Kedua pendapat

tersebut jelas mengungkapkan bahwa seni pewayangan mengandung nilai-nilai

budaya Bali yang sangat luhur. Lebih lajut Seramasara (2005:1-2), mengatakan

seperti dibawah ini.

“ nilai budaya Bali bersumber pada cerita Mahabharata dan Ramayana, kemudian disosialisasikan melalui pertunjukan wayang yang telah memberikan karakter terhadap masyrakat yang etis,estetis, dan religius magis. Hal ini akan dapat disadari bahwa ketika masyarakat Bali belum bisa membaca dan menulis, mereka akan dapat memahami nilai-nilai budaya dan ajaran agama melalu pertunjukan wayang”.

(21)

Dalam pertunjukan wayang, yang menjadi elemen pokoknya adalah dalang,

wayang dan musik pengiring. Dalam hal ini dalang berperan sebagai aktor dan

sutradara. Wicaksana (2009:24) lebih tegas menyatakan bahwa :

“ dalang adalah tokoh kunci (figure central) di balik setiap pertunjukan wayang kulit. Di samping perannya sebagai seniman, dalang juga mempunyai pengetahuan yang luas dan sekaligus pelaku ritual, maka wajar dalang memiliki posisi terhormat dalam masyarakat. Oleh karena itu dalang diberi gelar kehormatan jero dalang atau mangku dalang. Sedangkan musik pengiring sebagai aksentusi dan wayang sebagai media, karakter dan sistem sosial interaksi”.

Pada akhirnya semua pendapat tentang dalang pada prinsipnya disimpulkan

oleh Mardana (2008:4), yaitu seorang dalang pada dasarnya dapat dianggap

sebagai seniman yang serba bisa. Dalang harus memiliki berbagai keterampilan

yang di dunia barat jarang dimiliki oleh satu orang seniman untuk keterampilan

yang banyak itu. Ia harus bisa menabuh gender, menembang, menari, memainkan

wayang, serta harus memiliki pengetahuan agama dan ritual. Dan ditambah

pendapat dari Dibya (2012:59), yang mengatakan bahwa dalam pementasan,

wayang yang diberkahi dengan kekuatan taksu akan hidup di layar. Menggunakan

wayang-wayang yang “hidup” seperti itu akan memungkinkan seorang dalang

untuk menyajikan suatu pertunjukan yang mampu menarik perhatian penonton

dan mengikuti cerita, termasuk semua pesan, yang disajikan dari balik layar.

Pendapat tentang eksistensi dalang diatas pada dasarnya menganggap dalang

sebagai sentral atau pusat yaitu dalam mengolah cerita, menghidupkan dan

mematikan wayang, sehingga dalang bisa disebut sebagai multi simbol

(22)

Di Bali pada umumnya setiap kabupaten memiliki kekhasan tersendiri

dalam menampilkan sebuah pertunjukan wayang kulit parwa. Kekhasan tersebut

dapat ditinjau dari segi bentuk wayang, struktur pertunjukan, iringan maupun

komponen-komponen lainnya. Begitu pula ada persamaan yang mendasar.

Perbedaan dan persamaan itu merupakan keunikan yang terdapat pada seni

pertunjukan wayang kulit akibat adanya perbedaan sosial, adat istiadat, serta iklim

yang berbeda pula. Marajaya (2011:25), menyatakan ada beberapa gaya

pedalangan di Bali yang dikenal dengan gaya Bali Utara (Buleleng) dan Bali

Selatan (Sukawati dan Badung). Gaya Sukawati dirintis oleh dalang Krekek,

sedangkan Gaya Badung dirintis oleh dalang Ida Bagus Ngurah dari Buduk. Dari

sekian kabupaten yang ada di Bali, Karangasem adalah salah satu kabupaten yang

dilihat dari segi estetika budayanya memiliki kekhasan tersendiri. Bertitik tolak

dari kekhasan yang dimiliki oleh wayang kulit kiranya perlu diadakan pengkajian,

bahkan penelitian ditinjau dari sudut lakon, maupun struktur pertunjukannya.

Oleh karena kurangnya informasi tentang Wayang Kulit Gaya Karangasem

(selanjutnya ditulis WKGK), penulis ingin mencoba mengadakan sebuah

penelitian tentang kekhasan pertunjukan wayang kulit yang ada di Karangasem

dalam hal ini penulis mengambil studi kasus Dalang Ida Made Adi Putra, Grya

Bodha, Banjar Besang, Desa Ababi, Kecamatan Abang, Kabupaten Karangasem.

Hingga saat usulan penelitian ini, Dalang Ida Made Adi Putra masih eksis

mendalang dan cukup terkenal di Kabupaten Karangasem. Dari sekian kali

pertunjukan ada beberapa lakon yang sering dipentaskan seperti: Kunti Yadnya,

(23)

Selain itu Dalang Ida Made Adi Putra juga pernah mementaskan pertunjukan

wayang Calonarang wayang Cupak dan wayang Arja. Dari banyaknya lakon yang

dipentaskan tersebut yakni lakon Nila Candra yang akan dijadikan objek dalam

penelitian ini. Komponen-komponen yang akan diteliti meliputi keunikan dan

kekhasan Wayang Kulit Karangasem, ditinjau dari bentuk, fungsi dan maknanya.

Ketertarikan penulis untuk meneliti kekhasan WKGK oleh Dalang Ida Made

Adi Putra yaitu: pertama mengingat dalang Ida Made Adi Putra ini adalah salah

satu dalang yang cukup terkenal di daerah Karangasem. Selain itu beliau memiliki

ciri khas tersendiri yaitu masih menggunakan struktur pertunjukan khas

Karangasem dan kecekatan tangannya dalam memainkan wayang saat peperangan

sangat memukau. Kedua, Dalang Ida Made Adi Putra ini merupakan keturunan

seniman dari keluarganya. Hampir semua keluarga dari ayah, ibu, saudara dan

bahkan istri dan anak-anaknya juga berkecimpung dalam bidang seni. Ketiga,

beliau pernah mengikuti beberapa perlombaan dan parade wayang kulit

calonarang dan wayang kulit parwa dan mendapatkan juara terbaik.

Sedangkan alasan penulis mengangkat lakon Nila Candra sebagai objek

penelitian ini adalah sebagai berikut. 1) Nila Candra sarat dengan nilai-nilai

spiritual yaitu penyatuan antara aliran Budha dan Siwa. 2) Pementasan lakon Nila

Candra ceritanya unik diambil dari sastra sumber kekawin Nila Candra yang

langsung dijadikan tema oleh dalang Ida Made Adi Putra. 3) sepanjang

(24)

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka dapat

dirumuskan beberapa rumusan masalah :

1. Bagaimanakah bentuk pertunjukan Wayang Kulit Gaya Karangasem

khususnya Lakon Nila Candra?

2. Apakah fungsi dan makna yang terkandung dalam pertunjukan Wayang

Kulit Gaya Karangasem, khususnya dengan lakon Nila Candra?

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini sebagai berikut :

1. untuk mengetahui bentuk pertunjukan Wayang Kulit Gaya

Karangasem dengan lakon Nila Candra.

2. untuk mengetahui fungsi dan makna pertunjukan Wayang Kulit

Gaya Karangasem dengan lakon Nila Candra.

1.4 Manfaat Penelitian

Penelitian ini sudah tentu memiliki manfaat-manfaat tertentu, sehingga

hasil yang diperoleh dalam penelitian tersebut, selain dapat dipergunakan oleh

peneliti sendiri juga dapat dimanfaatkan oleh orang lain. Manfaat penelitian ini

dapat di bagi menjadi dua, yaitu secara teoritis dan secara praktis.

1.4.1 Manfaat Teoritis

1) Penelitian ini diharapkan dapat menambah pembendaharaan

hasil-hasil penelitian tentang pewayangan Bali, terutama

(25)

2) Dapat memberi sumbangan terhadap pengembangan ilmu

pengetahuan yang berkaitan dengan masalah seni pewayangan

terutama wayang kulit. Selain itu hasil penelitian ini dapat

dijadikan sebagai salah satu sumber informasi bagi para peneliti

yang berminat meneliti pertunjukan WKGK.

3) Dapat membantu teman-teman mahasiswa dan dosen yang

berkepentingan untuk menambah pengetahuan tentang

pewayangan yang ada di Bali.

1.4.2 Manfaat Praktis

1) Hasil penelitian ini dapat menambah refrensi tentang

pewayangan di perpustakaan ISI Denpasar yang nantinya dapat

dipakai sebagai literatur atau acuan bagi mahasiswa ISI

Denpasar.

2) Para calon peneliti dan masyarakat diharapkan dapat memetik

manfaat dari hasil penelitian ini untuk meningkatkan wawasan

tentang seni pertunjukan wayang kulit.

1.5 Ruang Lingkup

Pembatasan materi sebagai bahan kajian dalam penulisan skripsi ini sangat

diperlukan agar dalam pembahasan selanjutnya tidak menyimpang dari masalah

yang diangkat. Adapun dalam penulisan skripsi ini pembahasan dibatasi pada tiga

aspek yaitu : bentuk, fungsi dan makna terhadap sebuah seni pertunjukan WKGK

(26)

Berkenaan dengan hal tesebut diatas maka, skripsi ini sifatnya deskriptif

kualitatif, memberikan kajian pada teks lakon WKGK Nila Candra yang

dideskripsikan dari pertunjukan dilokasi penelitian. Dari sinilah dijadikan titik

tolak untuk memahami struktur atau bentuk, fungsi dan makna pertunjukan

(27)

BAB II

KAJIAN SUMBER DAN LANDASAN TEORI

2.1 Kajian Sumber

Kajian sumber bisa diperoleh dengan cara mengkaji beberapa bahan

pustaka berupa buku, artikel, jurnal, makalah, majalah, tesis, desertasi dan laporan

hasil penelitian yang memuat kajian-kajian tentang pertunjukan wayang kulit Bali

yang ada hubungannya dengan penelitian ini. Mengingat cukup banyaknya

penelitian tentang pewayangan di Bali, yang dapat dijadikan acuan dalam

pembahasan penelitian ini. Menurut pengetahuan penulis, beberapa tulisan yang

berhubungan langsung dengan pertunjukan WKGK dalam hal ini pertunjukan

wayang parwa masih sangat jarang ditemukan. Oleh karena itu di sini perlu

disajikan tinjauan beberapa sumber tentang pertunjukan Wayang Kulit . Adapun

sumber-sumber tertulis meliputi buku-buku dan karya ilmiah (artikel, jurnal, dan

hasil-hasil penelitian) yang berhasil ditemukan sebagai berikut.

Rota dan Suteja (1990), telah melakukan kajian mengenai gaya bahasa

pada pertunjukan wayang dalam penelitiannya ”Retorika Sebagai Ragam Bahasa

Panggung Dalam Seni Pertunjukan Wayang Kulit Bali”. Melalui kajiannya ini

Rota dan Suteja mengemukakan tentang bagaimana seorang dalang mampu

bertutur, memilih materi bahasa (kata-kata, ungkapan-ungkapan, istilah-istilah,

perbandingan-perbandingan, bahasa bertembang) yang tepat dan argumentatif

mewadahi gagasan-gagasan yang ingin disampaikan kepada penonton, serta

(28)

Sumber literatur berikutnya yang digunakan dalam penelitian ini berupa

buku ajar ”Pakeliran Gaya Baku I (Wayang Kulit Parwa)” yang di tulis oleh

Wicaksana dan Sidia (2004). Dalam buku ini Wicaksana dan Sidia menjelaskan

mengenai struktur pertunjuksn wayang kulit parwa dan gaya/style wayang kulit

parwa berbagai daerah di Bali. Relevansi buku ini terhadap penelitian yaitu untuk

membahas struktur pertunjukan dalam WKGK lakon Nila Candra.

Marajaya menulis artikel dalam Jurnal Ilmiah Seni Pewayangan Volume 10

No.1 September 2011 ”WAYANG”. Dalam tulisan tersebut Marajaya menyatakan

ada beberapa gaya pedalangan di daerah Bali. Memperhatikan proses perwujudan

pertunjukan wayang kulit seperti sumber literatur pewayangan di atas, peneliti

dapat berasumsi bahwa ini merupakan referensi yang baik untuk penelitian ini

dalam mengidentifikasi agar wayang kulit tetap ajeg dan digemari penonton.

Pakem Wayang Parwa Bali oleh Yayasan Pewayangan Daerah Bali tahun

1986/1987 yang diterbitkan oleh proyek Penggalian / Pemantapan Seni Budaya

Klasik dan Baru. Buku ini memaparkan struktur pewayangan Bali, disertai pula

kumpulan ringkasan dan pakem lakon-lakon yang digunakan dalam pementasan

wayang yang disesuaikan dengan konteksnya. Buku ini terkait dengan struktur

pewayangan Bali. Buku ini juga menjadi penunjang pembahasan mengenai bentuk

pertunjukan WKGK serta lakon Nila Candra yang menjadi salah satu rumusan

masalah penelitian ini.

Penelitian yang berjudul Wayang Kulit Purwa Makna dan Struktur

Dramatiknya oleh Soediro Satoto tahun 1985 yang diterbitkan oleh proyek

(29)

Kebudayaan, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Dalam penelitian ini

dianalisis struktur dramatik dan makna lakon wayang Purwa ( Jawa ) “Banjaran

Karna” dan “Karna tanding” yang dipentaskan oleh Ki Narto Sabdo. Penelitian

ini terkait dengan pendeskripsian, terutama bentuk dan fungsi pertunjukan WKGK

lakon Nila Candra yang dipentaskan dalam sebuah pertunjukan wayang kulit di

Karangasem.

Dengan perspektif kajian seni pewayangan yang begitu luas dari semua

literatur tersebut kiranya dapat penulis pakai sebagai bekal penting dalam

mengkaji identitas WKGK lakon Nila Candra Studi Kasus Dalang Ida Made Adi

Putra, Grya Bodha,Banjar Besang, Desa Ababi, Kecamatan Abang, Kabupaten

Karangasem.

2.2 Landasan Teori

Suatu penelitian yang baik apabila dasar-dasar teorinya ditunjang oleh

literatur yang mencukupi dan relevan dengan objek penelitian. Landasan teori

berarti pula dari sudut mana si peneliti memulai pekerjaannya dan bagaimana

menafsirkan data-data yang diperoleh dalam penelitian. Untuk mendukung

penelitian ini maka dipergunakan beberapa teori yang berkaitan dengan penelitian

yang dilakukan, yakni teori estetika, teori fungsional struktural, dan teori wacana.

(30)

Menurut Djelantik (1992:6), estetika adalah ilmu yang mempelajari

segala sesuatu yang berkaitan dengan keindahan, dan semua aspek dari apa

yang kita sebut keindah. Lebih lanjut Djelantik mengungkapkan:

“benda atau peristiwa kesenian yang menjadi sasaran analisis estetika setidak-tidaknya mempunyai tiga aspek dasar, yakni “wujud atau rupa” yang menyangkut bentuk (form) atau unsur yang mendasar dan susunan atau struktur (structure), “bobot” yang menyangkut suasana (mood), gagasan (idea) dan pesan (massage), dan “penampilan” yang meliputi bakat (talent), keterampilan (skill), dan sarana atau media”.

Pelopor teori estetika Kartini Parmono yang dipopulerkan oleh

Alexander Gottlieb Baumgarten (dalam Djelantik, 1990), istilah estetika

digunakan untuk membedakan antara pengetahuan intelektual dan

pengetahuan indrawi. Dengan melihat bahwa istilah estetika baru muncul

pada abad 18, maka pemahaman tentang keindahan sendiri harus

dibedakan dengan pengertian estetik. Jika sebuah bentuk mencapai nilai

yang betul, maka bentuk tersebut dapat dinilai estetis, sedangkan pada

bentuk yang melebihi nilai betul, hingga mencapai nilai baik penuh arti,

maka bentuk tersebut dinilai sebagai indah dalam pengertian tersebut,

maka sesuatu yang estetis belum tentu indah dalam arti sesungguhnya,

sedangkan sesuatu yang indah pasti estetis.

Menurut Refeal Raga Malan (dalam Djelantik, 1990), istilah

estetika berasal dari bahasa Yunani ” aesthesis” berarti penserapan,

persepsi. Dari sudut filsafat, estetika adalah cabang filsafat yang berbicara

tentang keindahan. Keindahan adalah suatu pengalaman yang unik dan

(31)

tersedot oleh sesuatu; sesuatu itu diserap oleh suatu proses pengalaman

yang mendalam, karena melibatkan seluruh inti dari kita.

Pandangan-pandangan di atas tentang estetika dalam konteks

penelitian ini akan diterapkan semaksimal mungkin. Karena WKGK

dengan lakon Nila Candra sebagai sebuah karya seni dalam

menganalisisnya harus menyangkut keindahan.

2.2.2 Teori Fungsionalisme Struktural

Menurut Littlejhon (1999), Teori fungsional dan struktural adalah

salah satu teori komunikasi yang masuk dalam kelompok teori umum atau

general theories, ciri utama teori ini adalah adanya kepercayaan pandangan

tentang berfungsinya secara nyata struktur yang berada di luar diri

pengamat.

Fungsionalisme Struktural atau lebih popular dengan ‘Struktural

Fungsional’ merupakan hasil pengaruh yang sangat kuat dari teori sistem

umum di mana pendekatan fungsionalisme yang diadopsi dari ilmu alam

khususnya ilmu biologi, menekankan pengkajiannya tentang cara-cara

mengorganisasikan dan mempertahankan sistem. Sedangkan pendekatan

strukturalisme yang berasal dari linguistic, menekankan pengkajiannya

pada hal-hal yang menyangkut pengorganisasian bahasa dan sistem sosial.

Fungsionalisme struktural atau ‘analisa sistem’ pada prinsipnya berkisar

(32)

Pada akhirnya konsep-konsep mengenai struktur inilah yang

dipergunakan dalam menganalisis struktur WKGK lakon Nila Candra,

yaitu menurut Sedana (dalam Purnamawati, 2005:29) bahwa ada tiga unsur

teaterikal pertunjukan wayang kulit yakni: 1) bentuk/struktur pertunjukan,

2) lakon / plot, dan 3) karakter / tokoh, sebagai layaknya sebuah unsur,

antar ketiga unsur itu terus berinteraksi. Secara harmonis dan dinamis.

Interaksi struktural dari ketiga unsur tadi disebut Tri Sandi yakni angga

(genre), wacana (lakon), dan tetikesan (gerak tokoh).

Dari uraian di atas, maka teori fungsionalisme struktural sangatlah

berperan penting untuk penelitian ini yakni untuk menganalisis hubungan

secara fungsional antara bentuk / struktur pertunjukan, lakon / plot, dan

karakter / tokoh dalam WKGK lakon Nila Candra.

2.2.3 Teori Wacana

Menurut Sudaryat (2009:106), Wacana merupakan wujud

komunikasi verbal. Dari segi bentuk bahasa yang dipakai wacana terbagi

dua, yakni wacana lisan dan wacana tulis. Wacana lisan (ujaran)

merupakan wujud komunikasi lisan yang melibatkan pembaca dan

penyimak, sedangkan wacana tulis (teks) merupakan wujud komunikasi

tulis yang melibatkan penulis dan pembaca. Aktivitas penyapa

(pembicara/penulis) bersifat produktif, ekspesif, kreatif, sedangkan

aktivitas pesapa (pendengar/pembaca) bersifat reseptif. Aktivitas di dalam

(33)

bersifat interpersonal. Wacana (discourse) adalah satuan bahasa terlengkap

dan dalam hierarki gramatikal merupakan satuan gramatikal tertinggi atau

terbesar. Wacana dapat direalisasikan dalam bentuk karangan yang utuh

(novel,buku, seri ensiklopedia, dan sebagainya) atau dapat pula disajikan

dalam bentuk karangan yang bersifat membujuk (persuasi) contohnya

iklan. Tarigan (1993:23) mengatakan istilah wacana dipergunakan untuk

mencakup bukan hanya percakapan atau obrolan, tetapi juga pembicaraan

dimuka umum, tulisan serta upaya-upaya formal seperti laporan ilmiah dan

sandiwara atau lakon yang menjadi penekanan di dalam konteks penelitian

ini yaitu wacana lisan, dimana seorang dalang akan sangat senang apabila

wacana/ujarannya disimak atau diterima oleh penonton.

Disisi lain Stubbs (dalam Tarigan, 1993:25) mengatakan wacana

adalah organisasi bahasa di atas kalimat atau di atas klausa. Dengan

perkataan lain, unit-unit linguistik yang lebih besar daripada

kalimat/kalusa seperti pertukaran-pertukaran percakapan atau teks-teks

tertulis disebut wacana. Secara singkat apa yang disebut teks bagi wacana

adalah kalimat bagi ujaran (utterance). Doeso (dalam Tarigan, 1993:25)

berpendapat wacana adalah seperangkat preposisi yang saling

berhubungan untuk menghasilkan rasa kepaduan atau rasa kohesi bagi

penyimak atau pembaca.

Dari pengertian diatas, dapat disimpulkan bahwa suatu pernyataan

atau rangkaian pernyataan yang dinyatakan secara lisan, jelas bahwa yang

(34)

tidak miskomunikasi, agar wacana yang disampaikan berlangsung dengan

baik. Seniman dalang harus mempelajari retorika ( Ilmu Komunikasi ).

Sedangkan pendapat Mulyana (2005:51-52) tentang wacana lisan

diklasifikasikan: menurut jumlah penutur: wacana monolog dan wacana

dialog. Mulyana (2005: 26), beranalogi wacana yang utuh adalah wacana

yang lengkap, yaitu mengandung aspek-aspek yang terpadu dan menyatu.

Aspek-aspek yang dimaksud antara lain adalah koherensi, topik wacana,

aspek leksikal, aspek gramatikal, aspek fonologis, dan aspek semantik. 1)

Teks adalah bahasa yang berfungsi, yaitu bahasa yang sedang

melaksanakan tugas tertentu dalam konteks situasi tertentu pula. 2) Kohesi

dalam wacana diartikan sebagai kepaduan bentuk yang secara struktural

membentuk ikatan sintaksis. 3) Koherensi adalah keterkaitan antara bagian

yang satu dengan bagian lainnya sehingga membentuk kesatuan makna

yang utuh. 4) Topik wacana adalah proposisi yang menjadi bahan utama

pembicaraan atau percakapan.

Dari analogi para pakar teori wacana diatas, akan dapat dijadikan pedoman

bagi seorang dalang untuk dapat mengkomunikasikan wacana secara komunikatif

agar pesan-pesan dari tokoh-tokoh dalam karakter-karakter wayang jelas diterima

penonton. Aspek-aspek semacam ini menjadi perhatian serius dari Dalang Ida

(35)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Rancangan Penelitian

Seorang peneliti dalam melaksanakan kegiatan penelitian sudah tentu

memiliki rancangan atau persiapan dalam melakukan penelitian untuk mencapai

tujuan yang diinginkan. Maka dari itu diperlukan sarana yang bersifat ilmiah yaitu

metode.

Pada dasarnya penelitian ini akan menganalisa hal-hal yang berhubungan

dengan sebuah produk seni pertunjukan WKGK dengan lakon Nila Candra.

Wayang Kulit Bali Gaya Karangasem, Studi Kasus Dalang Ida Made Adi Putra

dengan lakon Nila Candra. Sesuai dengan tujuan, penelitian ini dapat

didefinisikan sebagai usaha untuk menemukan, mengembangkan dan menguji

kebenaran sesuai pengetahuan yang dilakukan menggunakan metode-metode

ilmiah.

Penelitian ini dirancang dengan metode kualitatif. Menurut Creswell

seperti yang dikutip oleh Hamid Patilima (2005:3) mendefinisikan pendekatan

kualitatif sebagai sebuah proses penyelidikan untuk memahami masalah sosial

atau masalah manusia, berdasarkan pada penciptaan gambar holistik yang

dibentuk dengan kata-kata, melaporkan pandangan informan secara terperinci, dan

(36)

Selain itu ada juga beberapa pendapat lain tentang definisi penelitian

kualitatif menurut (Denzim dan Lincoln 1978) yang dikutip oleh Lexy J. Moleong

(2011:5) yang menyatakan bahwa penelitian kualitatif adalah penelitian yang

menggunakan latar alamiah, dengan maksud menafsirkan fenomena yang terjadi

dan dilakukan dengan jalan melibatkan berbagai metode yang ada. Pada penelitian

kualitatif metode yang biasanya dimanfaatkan adalah wawancara, pengamatan,

dan pemanfaatan dokumen. Dalam hal ini seorang peneliti harus mengamati bahan

itu dengan cermat dan mendalam. Adapun rancangan penelitian penulis yaitu

dengan mengadakan pengamatan langsung pada saat pertunjukan wayang yang di

pentaskan oleh Dalang Ida Made Adi Putra dengan lakon Nila Candra selain itu

penulis juga menetapkan daftar informan, menyiapkan daftar pertanyaan dan

mencari data sebanyak-banyaknya.

3.2 Jenis dan Sumber Data

Mekanisme kerja penelitian ini adalah menganalisis teks lakon Nila

Candra yang dideskripsikan dalam pertunjukan. Dari situlah dijadikan titik tolak

untuk memahami bentuk atau struktur pertunjukan WKGK lakon Nila Candra,

kemudian menelusuri fungsi dan maknanya. Data dapat dibedakan berdasarkan

jenis dan sumber. Berikut data yang digunakan dalam penelitian ini berdasarkan

(37)

1). Jenis Data

Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah jenis data

kualitatif yaitu data yang tidak mempergunakan angka-angka, berupa

diskripsi tentang (1) bagaimana bentuk pertunjukan Wayang Kulit Gaya

Karangasem khususnya Lakon Nila Candra (2) apa fungsi dan makna yang

terkandung dalam pertunjukan WKGK, khususnya dengan lakon Nila

Candra.

Data kualitatif inilah yang akan dipergunakan untuk menjelaskan

deskripsi pertunjukan WKGK lakon Nila Candra dari segi bentuk, fungsi

dan makna.

2). Sumber Data

Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini dapat dibedakan

menjadi sumber data primer dan sumber data sekunder, yang dapat

dijelaskan sebagai berikut :

a. Sumber data primer adalah sumber data yang berupa pertunjukan

WKGK dengan lakon Nila Candra yang direkam sendiri oleh

peneliti. Selain sumber data literatur, data primer ini dilengkapi

dengan hasil observasi dan data wawancara langsung dengan

dalang WKGK (Ida Made Adi Putra) sebagai nara sumber kunci

dan pengamatan lapangan terkait dengan objek penelitian untuk

memverifikasi dan mengkonfirmasi seluruh data yang

(38)

b. Sumber data sekunder adalah sumber data yang berupa

buku-buku kepustakaan, surat kabar, jurnal, hasil penelitian

sebelumnya, dan semacamnya yang berhubungan dengan objek

penelitian (Suryabrata,2003:74). Dalam kaitan penelitian ini data

sekunder meliputi berbagai buku, artikel, jurnal, dan hasil-hasil

penelitian tentang wayang kulit Bali yang berkaitan dengan objek

penelitian ini.

3.3 Instrumen Penelitian

Instrumen adalah material atau alat-alat yang dipergunakan dalam tahapan

pengumpulan data. Suryabrata (2003:143) mengungkapkan alat atau instrumen

penelitian adalah alat yang digunakan untuk mengumpulkan berbagai data yang

diperlukan dalam penelitian. Instrumen penelitian pengumpulan data yang

dipergunakan dalam penelitian ini adalah pedoman wawancara, yaitu berupa

pengajuan pertanyaan-pertanyaan terkait dengan penelitian yang ditanyakan

kepada informan. Dalam penelitian pertunjukan WKGK lakon ”Nila Candra” oleh

Dalang Ida Made Adi Putra, peneliti sendiri sebagai pelaku utamanya karena

peneliti sendiri langsung menonton, merekam dan mengamati pertunjukan WKGK

lakon ”Nila Candra”, pada hari Rabu, tanggal 23 Januari 2014 di Br. Besang, Desa

Ababi, Kecamatan Abang, Kabupaten Karangasem. Hasil rekaman tersebut

berupa video yang dijadikan sebuah CD (compact disk) yang berdurasi 130 menit.

Setelah hasil rekaman diperoleh lalu peneliti mentranskripsikan, dan mencari

(39)

untuk menulis jawaban yang diterima. Selain alat-alat tulis, peneliti juga

menggunakan alat-alat media rekam seperti tape recorder, handycam, handphone,

kamera dan alat-alat lainnya yang mendukung proses penelitian ini.

3.4 Teknik Penentuan Informan

Dalam penelitian ini digunakan pedoman wawancara yang tak terstruktur,

Menurut pendapat Hamid Patilima (2005:74), pedoman wawancara tak terstruktur

artinya pedoman wawancara yang memuat garis besarnya saja, pewawancara

mengajukan pertanyaan secara bebas dan leluasa, tanpa diikat oleh susunan

pertanyaan yang telah dipersiapkan sebelumnya, sehingga wawancara terkesan

luwes, arahnya bisa lebih terbuka, percakapan tidak membuat jenuh dari kedua

belah pihak, sehingga informasi yang didapat lebih kaya. Pertimbangan yang

dipilih untuk dijadikan informan tentunya berdasarkan potensi, pengalaman dan

profesi seseorang yang terkait dengan objek penelitian yakni WKGK. Dapat

dipastikan informan bersangkutan memang memiliki kemampuan yang memadai

dibidang penelitian ini.

3.5 Teknik Pengumpulan Data

Menurut Hasan Iqbal (2002:83) pengumpulan data adalah pencatatan

peristiwa-peristiwa atau keterangan-keterangan sebagian atau seluruh elemen

populasi yang akan menunjang atau mendukung penelitian. Dalam penelitian ini

digunakan beberapa teknik pengumpulan data, teknik-teknik tersebut adalah

(40)

3.5.1 Observasi

Koencaraningrat(1997:108) mengatakan pengamatan atau

observasi yang cermat merupakan salah satu cara dalam penelitian ilmiah

yang paling sesuai bagi para ilmuwan dalam bidang ilmu-ilmu social,

negara-negara yang belum dapat mengembangkan prasarana penelitian

yang memerlukan biaya yang banyak. Observasi dilakukan dengan

pengamatan atau observasi langsung ke lokasi penelitian yakni

menyaksikan langsung pertunjukan WKGK lakon Nila Candra oleh

Dalang Ida Made Adi Putra, sekaligus merekam pertunjukan WKGK

lakon Nila Candra dilokasi penelitian yaitu di Br. Besang, Desa Ababi,

Kecamatan Abang, Kabupaten Karangasem. Data yang dicari adalah

bentuk,fungsi dan makna pertunjukan dari WKGK lakon Nila Candra

yang akan diangkat sebagai topik permasalahan, yang selanjutnya dapat

menghasilkan deskripsi berupa transkrip.

3.5.2 Wawancara

Wawancara bertujuan untuk mengumpulkan

keterangan-keterangan dari informan dengan cara tanya jawab. Dalam penelitian ini

pedoman wawancara yang dipergunakan adalah pedoman wawancara tak

terstruktur, yaitu pedoman yang hanya memuat garis-garis besar yang

ditanyakan. Arikonto (1989:183) mengungkapkan, bahwa dalam pedoman

wawancara tak terstruktur, kreativitas pewawancara sangat diperlukan,

(41)

terstruktur tergantung dari pewawancara, karena pewawancara sebagai

pengemudi jawaban dari informan. Lexy J. Moleong (2011:135)

menyatakan bahwa wawancara adalah pembantu utama dari observasi

dalam pengumpulan data. Percakapan dengan maksud tertentu yang

dilakukan oleh dua pihak yaitu pewawancara yang mengajukan pertanyaan

dan yang diwawancarai memberikan jawaban atas pertanyaan itu.

Wawancara dilakukan dengan Dalang Ida Made Adi Putra sebagai

responden utama secara lisan pada tanggal 9 Maret 2014. Wawancarapun

direkam berupa rekaman suara melalui handphone. Wawancara dengan

beberapa informan lainnya juga dilakukan sebagai informasi tambahan.

3.5.3 Studi Kepustakaan

Buku-buku, artikel, majalah dan hasil-hasil penelitian tentang

pewayangan di Bali menjadi sumber studi kepustakaan yang digunakan

dalam penelitian ini. Sebuah penulisan ilmiah memerlukan teori-teori yang

mendukung kajian yang di tulis. Teori-teori tersebut tentunya diambil dari

kepustakaan yang sudah ada, sehingga membantu dalam penulisan yang di

kaji.

3.5.4 Studi Dokumentasi

Studi dokumen menjadi metode pengumpulan data yang bersumber

dari benda-benda tertulis, seperti buku-buku, majalah, foto-foto, catatan

(42)

sangat diperlukan dalam tahap pengumpulan data. Teknik pengumpulan

data dari studi dokumentasi dilakukan dengan cara mengutip atau

mencatat bagian-bagian yang diperlukan. Dalam penelitian ini kutipan

tersebut diperoleh dari rekaman hasil wawancara dengan informan yang

diwawancarai dan pustaka-pustaka atau karya-karya tulis lain yang

berkaitan dengan objek penelitian. Bagian-bagian yang diperlukan dicatat

atau ditulis pada buku catatan. Selain pencatatan seperti telah

dikemukakan, dilakukan pula pemberian tanda atau kode-kode tertentu

terhadap data yang kemudian akan dipergunakan sebagai informasi yang

berhubungan dengan WKGK, sehingga lebih mudah untuk diteliti.

3.6 Teknik Analisa Data

Analisis data ini merupakan salah satu tahapan yang sangat penting dalam

suatu penelitian. Moleong (2011:190) mengungkapkan bahwa analisis ini

merupakan proses menelaah seluruh data yang telah terkumpul, baik melalui

pengamatan, wawancara, studi kepustakaan dan studi dokumentasi. Dalam

penelitian ini, analisis data dilakukan sejak dari pengumpulan data sampai kepada

penulisan skripsi berakhir. Setelah data semua terkumpul, kemudian penulis

melakukan tahapan-tahapan editing dan segera diadakan perbaikan sehingga

menjadi data yang sistematis, teratur, terstruktur dan memiliki makna. Proses ini

dilakukan berulang-ulang supaya diantara metode dan teori yang dipakai searah

dan sejalan, kemudian disusun secara bertahap untuk dipakai membedah

permasalahan yang diangkat dan hasilnya dapat dipertanggungjawabkan. Analisis

(43)

lakon Nila Candra oleh dalang Ida Made Adi Putra. Setelah mengumpulkan

sumber-sumber kemudian dipadukan secara cermat hal yang ditemukan di

lapangan, hasil penelitiannya diharapkan dapat menjawab permasalahan yang

diajukan mendekati kebenaran.

3.7 Sistematika Penyajian Hasil Penelitian

Hasil penelitian ini akan disajikan dalam bentuk naratif dan

gambar-gambar. Bentuk naratif akan disajikan melalui tulisan. Hasil penelitian ini akan

disajikan mengikuti aturan-aturan atau format penulisan untuk mencapai

kesarjanaan pada tingkat S-1, yang telah diterapkan dalam lingkungan kampus

Institut Seni Indonesia Denpasar, yang termuat dalam Buku Pedoman Tugas

Akhir Fakultas Seni Pertunjukan tahun 2013. Sesuai dengan kriteria tersebut,

maka hasil penelitian akan disajikan dalam lima bab yaitu:

Bab I Pendahuluan. Pada bab ini yang dibahas adalah latar belakang

permasalahan, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat hasil penelitian, dan

ruang lingkup penelitian. Bab II Kajian pustaka dan landasan teori. Buku-buku

yang menjadi sumber kajian, dan sekaligus dapat digunakan sebagai landasan

teori. Teori-teori yang digunakan adalah teori estetika, teori fungsional struktural

serta teori wacana. Bab III Metode penelitian. Metode yang digunakan dalam

penelitian ini adalah metode data kualitatif deskriptif, karena data-data yang

diperoleh merupakan penjabaran tentang keadaan, bentuk, fungsi dan makna

bukan dengan penghitungan jumlah dalam data-data yang berbentuk angka. Pada

bab ini akan menguraikan rancangan penelitian, jenis dan sumber data, teknik

(44)

analisa data, sistematika penyajian hasil penelitian dan jadwal kegiatan penelitian.

Bab IV dan Bab V Pembahasan. Pada bab ini akan memaparkan hasil penelitian

yang dijabarkan sesuai dengan rumusan masalah. Bab VI Penutup. Yang terdiri

atas kesimpulan dan saran-saran. Pada akhir skripsi akan disertai dengan daftar

sumber atau refrensi dan lampiran- lampiran.

3.8 Jadwal Kegiatan Penelitian

Jadwal kegiatan dari pembuatan proposal, pengumpulan data, pengolahan

data, dan penyusunan laporan serta sampai pada tahap ujian akan disajikan

melalui tabel di bawah ini yang menerangkan intensitas waktu yang digunakan

dalam proses penelitian :

Tabel 3.1

Jadwal Kegiatan Penelitian

Tahap Kegiatan

Intensitas Waktu Kegiatan

Ferbruari Maret April Mei

(45)

1 Seleksi Proposal 2 Observasi 3 Pengumpulan Data 4 Pengolahan Data 5 Pengumpulan Skripsi 6 Ujian Komprehensif Keterangan :

Seleksei proposal akan dilaksanakan pada minggu kedua bulan

Februari yaitu pada tanggal 13 Februari 2014.

Observasi lokasi penelitian sudah mulai dilakukan dari minggu

pertama bulan Februari dan dilanjutkan setelah diadakannya seleksi

proposal yaitu minggu ketiga Februari sampai dengan minggu

kedua bulan Maret.

Tahap pengumpulan data sudah mulai dilakukan dari dimulainya

observasi yaitu dari minggu pertama bulan Februari dan

dilanjutkan pada minggu keempat bulan Februari sampai dengan

minggu pertama bulan April.

Pengolahan data dilaksanakan pada minggu ketiga bulan Februari

sampai dengan batas akhir pengumpulan skripsi yaitu minggu

keempat bulan April.

Pengumpulan skripsi dilaksanakan pada minggu keempat bulan

April.

(46)

BAB IV

BENTUK PERTUNJUKAN WAYANG KULIT GAYA KARANGASEM LAKON “ NILA CANDRA”

4.1 Bentuk Pertunjukan

Pengertian bentuk dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2008:1173)

adalah sebagai gambaran, rupa, atau wujud sistem atau susunan, serta sistem

wujud yang ditampilkan. Sedangkan menurut pendapat Djelantik (1990:18)

bentuk merupakan unsur - unsur dasar dari semua perwujudan dalam suatu karya

seni. Oleh sebab itu Djelantik (1990:14-46) dalam teori estetikanya mengatakan

bahwa semua benda atau peristiwa kesenian mengandung tiga aspek yang

mendasar, yakni; wujud atau rupa, bobot atau isi, dan penampilan atau penyajian.

Ketiga aspek tersebut terdapat dalam pertunjukan WKGK lakon Nila Candra.

Wujud dalam ilmu estetika bisa mencakup keindahan visual yaitu keindahan yang

dapat dilihat secara nyata. Bobot yang dimaksudkan “isi” atau “makna” dari apa

yang disajikan kepada pengamat atau penonton. Bobot ini dapat ditangkap secara

langsung dengan panca indra pada saat menonton sebuah pertunjukan secara

langsung. Misalnya dalam pertunjukan WKGK lakon Nila Candra oleh Dalang

Ida Made Adi Putra ini. Bobot atau isi yang dimaksud dalam hal ini yaitu apa

yang penonton dapat rasakan atau dapat bawa pulang sebagai tuntunan dalam

kehidupan mereka.

Sebagai suatu karya seni, pertunjukan Wayang Kulit hingga saat ini masih

(47)

kaitkan dengan upacara ritual yang ada di Bali seperti misalnya upacara Dewa

Yadnya, Manusa Yadnya, Pitra Yadnya, Rsi Yadnya dan Bhuta Yadnya.

Masyarakat Bali pada umumnya menonton pertunjukan wayang kulit bukan

sekedar menganggap sebagai sebuah kesenian atau hiburan yang ditonton saja.

Namun pertunjukan wayang sudah dianggap sebagai pedoman dalam menjalani

kehidupan, karena pertunjukan wayang kulit khususnya wayang parwa ceritanya

diambil dari kitab Mahabharata yang didalamnya terdapat cerita-cerita yang

menggambarkan tentang kebaikan dan kejahatan atau di Bali lebih dikenal dengan

Rwa Bineda (baik dan buruk). Selain itu Zoetmulder (1994:80) mengatakan

bahwa sastra parwa ini merupakan prosa yang diadaptasi dari bagian epos-epos

dalam bahasa Sanskerta, kutipan-kutipan tersebut tersebar diseluruh teks parwa

itu. Oleh sebab itu, dengan menonton pertunjukan wayang kulit, secara tidak

langsung penonton akan mengerti dan tahu tentang ajaran-ajaran yang terdapat

dalam kitab Mahabaratha dan memahami sastra parwa yang ada didalamnya.

Bentuk seni pertunjukan Wayang Kulit terdiri dari beberapa unsur yang

berstruktur dan saling terkait membentuk suatu pertunjukan yang utuh. Bentuk

pertunjukan Wayang Kulit di Bali sangat bermacam-macam. Seperti yang ditulis

oleh IG.B.N. Pandji (1987:2-6) beberapa bentuk pertunjukan wayang dilihat dari

lakon yang di pentaskan yaitu Wayang Kulit Parwa (diambil dari epos

Mahabharata), Wayang Kulit Ramayana (diambil dari epos Ramayana), Wayang

Gambuh (diambil dari cerita-cerita Malat), Wayang Arja (garapan baru dengan

bertitik tolak dari drama tari Arja), Wayang Calonarang (ceritanya bersumber dari

(48)

Wayang Cupak (diambil dari pertunjukan drama tari cupak), dan masih banyak

lagi bentuk pertunjukan wayang lainnya. Dari sekian banyaknya bentuk

pertunjukan wayang, semua memiliki struktur pementasan yang sama, walaupun

di beberapa daerah di Bali terdapat beberapa perbedaan kecil, namun hal tersebut

menunjukkan adanya ciri khas dari daerah masing-masing. Dalam hal bentuk

pertunjukan WKGK lakon Nila Candra hampir sama dengan pertunjukan Wayang

Kulit biasanya namun ada beberapa perbedaan yang dapat dilihat yaitu dari cara

Dalang Ida Made Adi Putra membawakan cerita dan retorika yang digunakan

sehingga lakon yang di pentaskan dapat dimengerti oleh penonton sesuai dengan

situasi dan kondisi dimana pertujukan WKGK lakon Nila Candra ini di

langsungkan.

Seni pertunjukan Wayang Kulit merupakan perpaduan dari beberapa jenis

seni. Dalang berperan sentral dalam pertunjukan Wayang Kulit yang berperan

sebagai perancang dan penyaji. Pertunjukan Wayang Kulit Bali dilengkapi dengan

sebarung gamelan yang disebut gender wayang (empat tungguh). Dua orang yang

disebut ketengkong/ tututan, duduk disamping kanan dan kiri dalang bertugas

membantu dalang. Wayang Kulit Bali disajikan dalam bentangan kelir (kain

putih) dengan panjang-lebar 3x2 meter. Satu keropak (kotak) Wayang Kulit

dimainkan dalang diatas gedebong (batang pisang).

4.2 Struktur Pertunjukan

Marajaya dan kawan-kawan dalam hasil penelitiannya (1994:8)

mengatakan seni pertunjukan yang ada di Bali masing-masing telah mempunyai

(49)

Begitu juga pertunjukan wayang kulit memiliki struktur yang khas. Jadi struktur

pertunjukan dalam wayang kulit sangat penting untuk membuat kerangka

pertunjukan yang lebih terarah dan teratur sesuai dengan adegan-adegan yang ada

pada alur cerita. Pendapat lain yang tulis oleh Marajaya dan kawan-kawan

(1994:11) yaitu bahwa setiap dalang yang ada di Bali memiliki gaya/style yang

berbeda-beda. Yang paling jelas mempedakan adalah warna suara, iringan,

retorika, tetikesan, serta yang tidak kalah pentingnya adalah struktur daripada

pertunjukan itu sendiri.

Struktur pementasan Wayang Kulit yang lengkap menurut pendapat

Wicaksana dan Sidia (2004:12) yaitu struktur dramatiknya dapat dibagi menjadi

beberapa adegan atau pembabakan. Adegan-adegan itu berlangsung terus tanpa

ada pause (berhenti) diantaranya, namun para penonton akan dapat mengikuti alur

cerita dan adegan itu melalui dialog, suasana iringan serta penampilan karakter

tokoh dengan gerak tari (tetikesan) yang unik”.

Dalam skripsinya Suastana (2012:28) mengutip pendapat dari Bandem

(1975:26):

“..ketika membahas mengenai gender wayang ada setidaknya sepuluh jenis motif gending yang mengiringi pementasan Wayang Kulit yakni :

pategak(gending awal sebagai pembuka untuk mengawali pertunjukan

untuk menarik minat penonton), pamungkah (sama dengan pategak tapi segera untuk mengawali pertunjukan), patangkilan (suasana persidangan), pangalang ratu (persidangan lanjutan), angkat-angkatan (perjalanan laskar menuju medan perang), rebong (suasana romantis dari tokoh-tokoh penting), tunjang (suasana keras dan kasar) batel (perkelahian dan peperangan sesungguhnya) dan penyudamalaan (penutup)”.

Dari pendapat Bandem tersebut, secara tidak langsung mencerminkan sebuah

(50)

secara umum memberi warna tersendiri terhadap tiap-tiap unsur Wayang Kulit itu

sendiri.

Pertunjukan WKGK lakon Nila Candra oleh Dalang Ida Made Adi Putra

terdiri atas beberapa unsur yang saling berkaitan satu sama lain dari awal

pertunjukan hingga akhir pertunjukan selama 130 menit melalui tahapan-tahapan

pategak, pamungkah, tari kayonan, jejer wayang, dan sebagainya, keberadaan

tersebut tercermin dalam bagan dan skema berikut ini.

Tabel 4.1

Bagan Struktur Waktu Wayang Kulit Parwa Gaya Karangasem lakon “Nila Candra” oleh Dalang Ida Made Adi Putra

NO UNSUR WAKTU CERITA TOKOH KETERANGAN 1 Petegak 15 menit - Tabuh Pategak

2 Pemungkah 4 menit - Tabuh Pemungkah

3 Kayonan 3 menit Kayonan ditarikan Tabuh batel

4 Jejer Wayang

3 menit Semua tokoh-tokoh wayang yang berperan dalam cerita di tancapkan pada kelir.

Tabuh tulang lindung

5 Ngancit

wayang

2 menit Tokoh-tokoh utama yang akan diunakan dalam cerita dicabut dan ditancapkan kembali pada sisi kanan dan kiri dalang.

Tabuh

6 Ngancit Kayonan

1 menit Kayonan dicabut dan

ditarikan kembali.

Tabuh

7 Alas harum 3 menit Tari kayonan Tabuh dan vokal dalang

8 Penyacah Parwa

4 menit - Tabuh dan vokal dalang

9 Pangkatan 30 menit Merdah dan Twalen

berbincang mengenai Panca Pandawa, yang kemudian dikejutkan oleh kedatangan Kresna. Kresna bertemu dengan Dharmawangsa untuk mengajak Dharmawangsa berperang melawan Nila Candra. Namun

Dharmawangsa menolak.

(51)

Kresna pergi dan kemudian Bima dan adik-adiknya pergi ke Narajadesa untuk

menonton peperangan antara Kresna melawan Nila Candra.

10 Pengelengk ara

20 menit Kayonan sebagai pergantian dari babak I ke babak II menceritakan Delem dan Sangut sedang bebincang. Kemudian muncul Nila Candra memeriksa keadaan sorga dan neraka yang ia buat. Delem dan Sangut memilih wanita-wanita yang akan dijadikan bidadari di sorga. Kresna datang untuk menantang Nila Candra

Vokal dalang dan Tabuh rebong.

11 Pangkat Pesiat

5 menit Kresna pergi ke Narajadesa menantang Nila Candra.

Tabuh dan vokal dalang

12 Pesiat 30 menit Kresna berperang melawan Nila Candra. Pihak Kresna kalah dan lari ke hutan. Pasukan Nila Candra melihat Bima dan adik-adiknya berada di dekat Narajadesa dan mengira mereka bersekutu dengan Kresna, oleh sebab itu akhirnya terjadi perang antara Catur Pandawa dengan Nila Candra. Catur Pandawa kalah, dan akhirnya

Dharmawangsa datang untuk mencari adik-adiknya. Karena melihat adik-adiknya diikat Dharmawangsa marah dan berperang melawan Nila Candra. Karena sama-sama kuat maka Dharmawangsa dan Nila Candra mamurti, namun dihalangi oleh

Bhagawan Andasinga.

Tabuh dan vokal dalang

13 Penyuud/

Penutup

10 menit Bhagawan Andasinga

memberi saran kepada Dharmawangsa dan Nila

(52)

Candra untuk tidak

berperang dan menyatukan aliran yang di anut masing-masing. Nila Candra

menganut aliran Budha yang dianugrahi oleh Sang Hyang Wirocana dan

Dharmawangsa menganut aliran Siwa. Jika kedua aliran ini di satukan dan digunakan untuk membangun suatu negara maka akan tercapai apa yang disebut dengan

Santhi Jagadhita

130menit

Dari bagan di atas secara tradisi, struktur Wayang Kulit dimulai dengan

pategak, pamungkah, tari kayonan, jejer wayang ngabut kayonan, patangkilan, pepeson, Delem, pangkat siat, pengelengkara, siat/perang dan diakhiri dengan panyuud, sebagaimana diisyaratkan oleh Bandem, tetapi dalam beberapa hal

dalam pertunjukan WKGK dengan lakon Nila Candra oleh Dalang Ida Made Adi

Putra, ada sedikit perbedaan dalam struktur pertunjukannya terutama pada saat

Alas harum,petangkilan dan penyacah parwa.

Pada umumnya Alas harum merupakan tahapan dimana wayang yang

menjadi tokoh utama dalam cerita keluar untuk mengadakan sebuah paruman,

namun dari hasil wawancara dengan dalang Ida Made Adi Putra pada struktur

pertunjukan WKGK lakon Nila Candra yang dipentaskan oleh Dalang Ida Made

Adi Putra pada tahap Alas harum dalang hanya menyanyi/ menembang tanpa

mengeluarkan tokoh apapun (kelir masih kosong) hanya ada iringan dari tabuh gender Alas harum saja. Penyacah parwa dilakukan setelah Alas harum yaitu

(53)

untuk menceritakan secara singkatnya tentang lakon Nila Candra. Kemudian

perbedaan selanjutnya yaitu dalam WKGK tidak ada petangkilan namun langsung

kepada adegan pangkatan. Para tokoh wayang yang akan melakukan sidang atau

patangkilan, didahului dengan bebaturan, sebelum dialog-dialog para tokoh itu

dimulai. Jadi bisa disebutkan bahwa situasi patangkilan langsung dijadikan satu

dengan pangkatan. Tahapan-tahapan WKGK dengan lakon Nila Candra oleh

Dalang Ida Made Adi Putra berikutnya sama dengan tahapan-tahapan

unsur-unsur Wayang Kulit pada umumnya.

Berdasarkan struktur pertunjukan pada tabel di atas dapat diuraikan hasil

pengamatan dan kajian pada setiap unsur atau bentuk yang ditampilkan dalam

pertunjukan WKGK dengan lakon Nila Candra oleh Dalang Ida Made Adi Putra.

1) Tabuh Petegak

Petegak adalah tahap permulaan sebagai tanda bahwa pertunjukan

wayang dimulai. Menurut pendapat Rota (1978:40) gending petegak ini

dimainkan sebelum dalang naik panggung untuk mempertunjukkan

wayang. Gending petegak tidak ada hubungannya dengan dengan dalang

karena tidak ada vokal/tandak dari dalang, gending pategak dimainkan

sesuai dengan kemampuan penabuh gender. Beberapa gending petegak

yang sering digunakan : Gending sekar sungsang, Gending sekar gendot,

Gending sesapi ngindang, Gending cangak merengang dan masih banyak

(54)

2) Pemungkah

Pemungkah merupakan tahapan dimana dalang memukul

keropak/gedog tiga kali, pada saat ini dalang telah melakukan upacara

membuka gedog dan menyimping, serta memilih wayang yang akan

dipakai dalam pentas beberapa wayang yang dipakai sebagai pelengkap

ditancapkan di pinggir kanan dan di pinggir kiri kelir. Bandem (1974: 11)

mengatakan pemungkah ini mengiringi dalang didalam melakukan hal-hal

sebagai berikut:

“…pemukulan keropak dengan sebuah cepala, yang terletak

disebelah kiri dalang untuk penyimpanan wayang, kemudian tutup

kropak ini dipindahkan kekanan juga tempat menumpuk wayang yang

akan dipakai. Kemudian dalang memulai Wayang dengan sebuah

kayonan / gunungan yang menandakan pertunjukan sudah dimulai dan

kemudian gunungan itu ditancapkan pada pertengahan kelir. Dalang menaruh wayang disebelah kanan dan kiri gunungan tergantung daripada karakter wayang. Karakter baik diletakkan di sebelah kanan kelir dan karakter jahat diletakkan disebelah kiri kelir. Setelah semua wayang dicabut (kecuali kayonan) dan sudah diletakkan teratur maka dalang memberi aba-aba pada penabuh dengan cepala untuk memainkan satu gending gender untuk mencabut kayonan..”.

3) Alas harum

Alas harum merupakan adegan awal sebagai tanda bahwa babak

pertama akan dimulai. Pada Alas harum biasanya dalang menyanyikan

sebuah tembang yang diiringi dengan tabuh Alas harum sambil menarikan

tokoh wayang. Satu per satu wayang dikeluarkan sampai dengan tembang

yang dinyanyikan habis. Pada struktur pertunjukan WKGK lakon Nila

Candra yang dipentaskan oleh Dalang Ida Made Adi Putra, pada tahap

Gambar

Foto 1:  Suasana latihan Tabuh Petegak Wayang Kulit lakon Nila Candra  di Br. Besang, Desa Ababi, Kecamatan Abang, Kabupaten Karangasem
Foto 3: Adegan jejer wayang oleh Dalang Ida Made Adi Putra lakon Nila Candra
Foto 5 : kelir yang digunakan saat pementasan WKGK lakon Nila Candra lebih  lebar dari ukuran kelir pada umumnya
Foto 7: Keropak/Gedog yang dimiliki dan dibuat sendiri oleh Dalang Ida Made  Adi Putra
+6

Referensi

Dokumen terkait

Bagaimana kritik sosial dan pesan moral lewat pementasan wayang kulit lakon Bima Suci dalang Ni Paksi Rukmawati (pentas di Desa Kedung Wangan Ungaran Semarang Jawa

Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan bentuk dan jenis deiksis waktu yang terdapat dalam pertunjukan wayang kulit purwa gagrag Banyumasan lakon Bawor dadi Ratu

381 WACANA KONSEP-KONSEP KEPEMIMPINAN PERSPEKTIF HINDU DALAM LAKON PERTUNJUKAN WAYANG KULIT BALI I Made Budiasa Badan Riset dan Inovasi Nasional budiasaimade1963@gmail.com