BAB IV BENTUK PERTUNJUKAN WAYANG KULIT GAYA
4.2 Struktur Pertunjukan
Marajaya dan kawan-kawan dalam hasil penelitiannya (1994:8)
mengatakan seni pertunjukan yang ada di Bali masing-masing telah mempunyai
Begitu juga pertunjukan wayang kulit memiliki struktur yang khas. Jadi struktur
pertunjukan dalam wayang kulit sangat penting untuk membuat kerangka
pertunjukan yang lebih terarah dan teratur sesuai dengan adegan-adegan yang ada
pada alur cerita. Pendapat lain yang tulis oleh Marajaya dan kawan-kawan
(1994:11) yaitu bahwa setiap dalang yang ada di Bali memiliki gaya/style yang
berbeda-beda. Yang paling jelas mempedakan adalah warna suara, iringan,
retorika, tetikesan, serta yang tidak kalah pentingnya adalah struktur daripada
pertunjukan itu sendiri.
Struktur pementasan Wayang Kulit yang lengkap menurut pendapat
Wicaksana dan Sidia (2004:12) yaitu struktur dramatiknya dapat dibagi menjadi
beberapa adegan atau pembabakan. Adegan-adegan itu berlangsung terus tanpa
ada pause (berhenti) diantaranya, namun para penonton akan dapat mengikuti alur
cerita dan adegan itu melalui dialog, suasana iringan serta penampilan karakter
tokoh dengan gerak tari (tetikesan) yang unik”.
Dalam skripsinya Suastana (2012:28) mengutip pendapat dari Bandem
(1975:26):
“..ketika membahas mengenai gender wayang ada setidaknya sepuluh jenis motif gending yang mengiringi pementasan Wayang Kulit yakni :
pategak(gending awal sebagai pembuka untuk mengawali pertunjukan
untuk menarik minat penonton), pamungkah (sama dengan pategak tapi segera untuk mengawali pertunjukan), patangkilan (suasana persidangan), pangalang ratu (persidangan lanjutan), angkat-angkatan (perjalanan laskar menuju medan perang), rebong (suasana romantis dari tokoh-tokoh penting), tunjang (suasana keras dan kasar) batel (perkelahian dan peperangan sesungguhnya) dan penyudamalaan (penutup)”.
Dari pendapat Bandem tersebut, secara tidak langsung mencerminkan sebuah
secara umum memberi warna tersendiri terhadap tiap-tiap unsur Wayang Kulit itu
sendiri.
Pertunjukan WKGK lakon Nila Candra oleh Dalang Ida Made Adi Putra
terdiri atas beberapa unsur yang saling berkaitan satu sama lain dari awal
pertunjukan hingga akhir pertunjukan selama 130 menit melalui tahapan-tahapan
pategak, pamungkah, tari kayonan, jejer wayang, dan sebagainya, keberadaan
tersebut tercermin dalam bagan dan skema berikut ini.
Tabel 4.1
Bagan Struktur Waktu Wayang Kulit Parwa Gaya Karangasem lakon “Nila Candra” oleh Dalang Ida Made Adi Putra
NO UNSUR WAKTU CERITA TOKOH KETERANGAN 1 Petegak 15 menit - Tabuh Pategak
2 Pemungkah 4 menit - Tabuh Pemungkah
3 Kayonan 3 menit Kayonan ditarikan Tabuh batel
4 Jejer Wayang
3 menit Semua tokoh-tokoh wayang yang berperan dalam cerita di tancapkan pada kelir.
Tabuh tulang lindung
5 Ngancit
wayang
2 menit Tokoh-tokoh utama yang akan diunakan dalam cerita dicabut dan ditancapkan kembali pada sisi kanan dan kiri dalang.
Tabuh
6 Ngancit Kayonan
1 menit Kayonan dicabut dan
ditarikan kembali.
Tabuh
7 Alas harum 3 menit Tari kayonan Tabuh dan vokal dalang
8 Penyacah Parwa
4 menit - Tabuh dan vokal dalang
9 Pangkatan 30 menit Merdah dan Twalen
berbincang mengenai Panca Pandawa, yang kemudian dikejutkan oleh kedatangan Kresna. Kresna bertemu dengan Dharmawangsa untuk mengajak Dharmawangsa berperang melawan Nila Candra. Namun
Dharmawangsa menolak.
Kresna pergi dan kemudian Bima dan adik-adiknya pergi ke Narajadesa untuk
menonton peperangan antara Kresna melawan Nila Candra.
10 Pengelengk ara
20 menit Kayonan sebagai pergantian dari babak I ke babak II menceritakan Delem dan Sangut sedang bebincang. Kemudian muncul Nila Candra memeriksa keadaan sorga dan neraka yang ia buat. Delem dan Sangut memilih wanita-wanita yang akan dijadikan bidadari di sorga. Kresna datang untuk menantang Nila Candra
Vokal dalang dan Tabuh rebong.
11 Pangkat Pesiat
5 menit Kresna pergi ke Narajadesa menantang Nila Candra.
Tabuh dan vokal dalang
12 Pesiat 30 menit Kresna berperang melawan Nila Candra. Pihak Kresna kalah dan lari ke hutan. Pasukan Nila Candra melihat Bima dan adik-adiknya berada di dekat Narajadesa dan mengira mereka bersekutu dengan Kresna, oleh sebab itu akhirnya terjadi perang antara Catur Pandawa dengan Nila Candra. Catur Pandawa kalah, dan akhirnya
Dharmawangsa datang untuk mencari adik-adiknya. Karena melihat adik-adiknya diikat Dharmawangsa marah dan berperang melawan Nila Candra. Karena sama-sama kuat maka Dharmawangsa dan Nila Candra mamurti, namun dihalangi oleh
Bhagawan Andasinga.
Tabuh dan vokal dalang
13 Penyuud/
Penutup
10 menit Bhagawan Andasinga
memberi saran kepada Dharmawangsa dan Nila
Candra untuk tidak
berperang dan menyatukan aliran yang di anut masing-masing. Nila Candra
menganut aliran Budha yang dianugrahi oleh Sang Hyang Wirocana dan
Dharmawangsa menganut aliran Siwa. Jika kedua aliran ini di satukan dan digunakan untuk membangun suatu negara maka akan tercapai apa yang disebut dengan
Santhi Jagadhita
130menit
Dari bagan di atas secara tradisi, struktur Wayang Kulit dimulai dengan
pategak, pamungkah, tari kayonan, jejer wayang ngabut kayonan, patangkilan, pepeson, Delem, pangkat siat, pengelengkara, siat/perang dan diakhiri dengan panyuud, sebagaimana diisyaratkan oleh Bandem, tetapi dalam beberapa hal
dalam pertunjukan WKGK dengan lakon Nila Candra oleh Dalang Ida Made Adi
Putra, ada sedikit perbedaan dalam struktur pertunjukannya terutama pada saat
Alas harum,petangkilan dan penyacah parwa.
Pada umumnya Alas harum merupakan tahapan dimana wayang yang
menjadi tokoh utama dalam cerita keluar untuk mengadakan sebuah paruman,
namun dari hasil wawancara dengan dalang Ida Made Adi Putra pada struktur
pertunjukan WKGK lakon Nila Candra yang dipentaskan oleh Dalang Ida Made
Adi Putra pada tahap Alas harum dalang hanya menyanyi/ menembang tanpa
mengeluarkan tokoh apapun (kelir masih kosong) hanya ada iringan dari tabuh gender Alas harum saja. Penyacah parwa dilakukan setelah Alas harum yaitu
untuk menceritakan secara singkatnya tentang lakon Nila Candra. Kemudian
perbedaan selanjutnya yaitu dalam WKGK tidak ada petangkilan namun langsung
kepada adegan pangkatan. Para tokoh wayang yang akan melakukan sidang atau
patangkilan, didahului dengan bebaturan, sebelum dialog-dialog para tokoh itu
dimulai. Jadi bisa disebutkan bahwa situasi patangkilan langsung dijadikan satu
dengan pangkatan. Tahapan-tahapan WKGK dengan lakon Nila Candra oleh
Dalang Ida Made Adi Putra berikutnya sama dengan tahapan-tahapan
unsur-unsur Wayang Kulit pada umumnya.
Berdasarkan struktur pertunjukan pada tabel di atas dapat diuraikan hasil
pengamatan dan kajian pada setiap unsur atau bentuk yang ditampilkan dalam
pertunjukan WKGK dengan lakon Nila Candra oleh Dalang Ida Made Adi Putra.
1) Tabuh Petegak
Petegak adalah tahap permulaan sebagai tanda bahwa pertunjukan
wayang dimulai. Menurut pendapat Rota (1978:40) gending petegak ini
dimainkan sebelum dalang naik panggung untuk mempertunjukkan
wayang. Gending petegak tidak ada hubungannya dengan dengan dalang
karena tidak ada vokal/tandak dari dalang, gending pategak dimainkan
sesuai dengan kemampuan penabuh gender. Beberapa gending petegak
yang sering digunakan : Gending sekar sungsang, Gending sekar gendot,
Gending sesapi ngindang, Gending cangak merengang dan masih banyak
2) Pemungkah
Pemungkah merupakan tahapan dimana dalang memukul
keropak/gedog tiga kali, pada saat ini dalang telah melakukan upacara
membuka gedog dan menyimping, serta memilih wayang yang akan
dipakai dalam pentas beberapa wayang yang dipakai sebagai pelengkap
ditancapkan di pinggir kanan dan di pinggir kiri kelir. Bandem (1974: 11)
mengatakan pemungkah ini mengiringi dalang didalam melakukan hal-hal
sebagai berikut:
“…pemukulan keropak dengan sebuah cepala, yang terletak
disebelah kiri dalang untuk penyimpanan wayang, kemudian tutup
kropak ini dipindahkan kekanan juga tempat menumpuk wayang yang
akan dipakai. Kemudian dalang memulai Wayang dengan sebuah
kayonan / gunungan yang menandakan pertunjukan sudah dimulai dan
kemudian gunungan itu ditancapkan pada pertengahan kelir. Dalang menaruh wayang disebelah kanan dan kiri gunungan tergantung daripada karakter wayang. Karakter baik diletakkan di sebelah kanan kelir dan karakter jahat diletakkan disebelah kiri kelir. Setelah semua wayang dicabut (kecuali kayonan) dan sudah diletakkan teratur maka dalang memberi aba-aba pada penabuh dengan cepala untuk memainkan satu gending gender untuk mencabut kayonan..”.
3) Alas harum
Alas harum merupakan adegan awal sebagai tanda bahwa babak
pertama akan dimulai. Pada Alas harum biasanya dalang menyanyikan
sebuah tembang yang diiringi dengan tabuh Alas harum sambil menarikan
tokoh wayang. Satu per satu wayang dikeluarkan sampai dengan tembang
yang dinyanyikan habis. Pada struktur pertunjukan WKGK lakon Nila
Candra yang dipentaskan oleh Dalang Ida Made Adi Putra, pada tahap
tokoh apapun hanya tarian kayonan dan ada iringan dari tabuh gender Alas
harum saja. Contoh alas harum :
Rahina, tatas kamantian, humung, swaran ikang mredangga. Gumuruh, tikang gubarbala, samuha mangkata, pada
Srurumuhun. Nrapati Yudistira, parangmuka Bimasena, Nakula Arjuna glurumurug.
4) Penyacah Parwa
Penyacah parwa dalam WKGK lakon Nila Candra yang dipentaskan
oleh Dalang Ida Made Adi Putra dilakukan setelah Alas harum sama
seperti tahapan-tahapan pertunjukan wayang yang digunakan secara
umum. Menurut Sudiana (2004:20) penyacah parwa merupakan ucapan
dalang yang mengungkapkan tentang permohonan maaf kepada Tuhan dan
kepada pengarang Mahabarata, karena akan menjelaskannya kembali
melalui pertunjukan wayang. Penyacah Parwa yaitu suatu adegan dengan
tari kayonan dimana dalang harus menerangkan kepada penonton
mengenai lelampahan atau lakon yang dipentaskan pada pertunjukan ini,
supaya penonton mempunyai gambaran dan mengerti mengenai
pertunjukan yang ditontonnya, seperti halnya WKGK mementaskan cerita
yang di ambil dari epos Mahabharata yang merupakan bagian dari Asta
Dasa Parwa yang dikarang oleh Bhagawan Kresna Dwipayana dan
kemudian dikawi oleh dalang Ida Made Adi Putra. Mengenai komposisi
tari kayonan ini ditarikan dan diputar-putar ke kanan dan ke kiri. Setelah
kelir selanjutnya kayonan menghilang dari permukaan kelir sebagai
pertanda dimulainya adegan baru.
5) Pangkatan / Angkat-angkatan
Pangkat artinya berangkat kesuatu tempat tertentu atau ke medan
perang. Struktur pertunjukan Wayang Kulit secara umum biasanya setelah
tahap Alas harum akan dilanjutkan dengan tahap petangkilan, namun pada
struktur pertunjukan WKGK lakon Nila Candra oleh Dalang Ida Made Adi
Putra tahap petangkilan tidak ada. Dari hasil wawancara, Dalang Ida Made
Adi Putra mengatakan bahwa pertama kali beliau menonton pertunjukan
Wayang Kulit Gaya Karangasem oleh Dalang Putra almarhum, struktur
pertunjukannya memang tidak menggunakan tahap petangkilan.
Narasumber lainnya yaitu Dalang Ida Made JD Bratha juga
mengatakan hal yang sama yaitu menurut sepengetahuan beliau struktur
pertunjukan WKGK tidak menggunakan tahap petangkilan, tetapi
langsung ke tahap pangkatan. Berdasarkan wawancara yang dilakukan
dengan narasumber Dalang Ida Made JD Bratha di rumahnya, bahwa
biasanya setiap pertunjukan wayang setelah selesai petangkilan dengan
penggantian babak dilanjutkan dengan pangkat/angkat-angkatan. Pangkat
wayang dibagi menjadi dua, pertama pangkat pejalan, kedua pangkat siat.
Dalam pangkat pejalan disesuaikan dengan jalannya cerita tersebut. Pada
pangkat pejalan juga ada peguneman kembali tergantung pada jalannya
pertempuran, setiap wayang yang dikeluarkan wajib membawa senjata
sebagai perlengkapan pertempuran.
Di dalam pangkat akan terjadi pula beberapa adegan-adegan, hal
ini tergantung alur cerita itu sendiri. Dimana adegan pangkat merupakan
bagian struktur yang paling panjang, karena disini dapat terjadi
perpanjangan atau pemendekan suatu cerita.
Adegan pangkat pejalan yang pertama dalam WKGK lakon Nila
Candra menggambarkan Merdah dan Twalen sedang membicarakan
kesuksesan Dharmawangsa dalam membangun Indraprasta. Yang
kemudian dikejutkan dengan kedatangan Kresna yang ingin menemui
Panca Pandawa untuk di ajak berperang melawan Nila Candra. Tahap ini
juga menggambarkan keberangkatan Kresna menuju Narajadesa untuk
menantang Nila Candra selain itu juga pada tahap ini menggambarkan
keberangkatan Bima dan adik-adiknya pergi untuk menonton peperangan
antara Kresna melawan Nila Candra di Narajadesa.Adegan pangkat siat
dalam WKGK lakon Nila Candra yaitu ketika Kresna menantang Nila
Candra untuk berperang.
6) Pangelengkara
Pangelengkara adalah peralihan cerita yang ditandai dengan tarian kayonan dan ucapan dari seorang dalang yang berarti cerita yang telah
berlalu dihentikan dulu dan cerita yang akan dikisahkan disampaikan
ringkasannya. Menurut Marajaya (2002:16) mengatakan bahwa
pewayangan dan uraian tentang falsafah bhuana agung (makrokosmos)
dan bhuana alit (mikrokosmos). Ki dalang mulai memberikan gambaran
singkat cerita yang akan dipentaskan dan memperkenalkan tokoh-tokoh
yang tampil pada adegan petangkilan. Dalam Wayang Kulit
pangelengkara fungsinya sebagai pemaparan cerita baik pada awal
pertunjukan sebagai pengganti penyacah parwa dalam Wayang Kulit
Parwa maupun penyacah kanda dalam Wayang Kulit Ramayana. Pangelengkara terjadi di tengah-tengah pertunjukan berlangsung sebagai
pertanda bahwa pembabakan cerita yang ditampilkan. Pangelengkara pada
pertunjukan WKGK lakon Nila Candra oleh Dalang Ida Made Adi Putra
menunjukkan adegan kayonan sebagai pergantian dari babak I ke babak II
menceritakan Delem dan Sangut sedang bebincang. Kemudian muncul
Nila Candra memeriksa keadaan sorga dan neraka yang ia buat. Delem dan
Sangut memilih wanita-wanita yang akan dijadikan bidadari di sorga.
7) Siat
Pada adegan siat Kresna berperang melawan Nila Candra. Pihak
Kresna kalah dan lari ke hutan. Pasukan Nila Candra melihat Bima dan
adik-adiknya berada di dekat Narajadesa dan mengira mereka bersekutu
dengan Kresna, oleh sebab itu akhirnya terjadi perang antara Catur
Pandawa dengan Nila Candra. Catur Pandawa kalah, dan akhirnya
Dharmawangsa datang untuk mencari adiknya. Karena melihat
Karena sama-sama kuat maka Dharmawangsa dan Nila Candra mamurti,
namun dihalangi oleh Bhagawan Andasinga.
8) Penyuud/penutup
Bhagawan Andasinga memberi saran kepada Dharmawangsa dan
Nila Candra untuk tidak berperang dan menyatukan aliran yang di anut
masing-masing. Nila Candra menganut aliran Budha yang dianugrahi oleh
Sang Hyang Wirocana dan Dharmawangsa menganut aliran Siwa. Jika
kedua aliran ini di satukan dan digunakan untuk membangun suatu negara
maka akan tercapai apa yang disebut dengan Santhi Jagad Dhita.
Pertunjukan WKGK lakon Nila Candra berakhir dengan ditandai tancap
kayonan.