• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV PENUTUP. sebagai suatu lembaga pelengkap dalam pelaksanaan Otsus Papua. Atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB IV PENUTUP. sebagai suatu lembaga pelengkap dalam pelaksanaan Otsus Papua. Atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

128 BAB IV

PENUTUP

A. KESIMPULAN

Kedudukan MRP dalam peran dan fungsi dalam pelaksanaan Otsus Papua dari sisi kewenangan terlihat lemah. Sehingga MRP dilihat sebagai suatu lembaga pelengkap dalam pelaksanaan Otsus Papua.

Peran yang diharapkan lebih besar tidak dapat berjalan dikarenakan dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2008 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua dan PP Nomor 45 Tahun 2004 Tentang MRP serta Perdasus No. 4 Tahun 2004 tentang pelaksanaan tugas dan wewenang MRP, terlihat tidak memberikan suatu ruang yang lebih besar dari pelaksanaan hak dan kewajiban MRP.

Dilihat dari sisi kewenangan pembuatan peraturan perundangan, dimana dalam hal pembuatan Peraturan Daerah Khusus (Perdasus) ada pada lembaga lain yaitu DPRP dan Pemerintah Daerah. Dengan tidak ada ruang bagi MRP untuk membuat dan mengusulkan Perdasus yang mengakibatkan proses legislasi Perdasus lebih berada di DPRP.

(2)

129 Dalam UU Otsus, dalam hal legislasi MRP dapat dilihat dalam Pasal 20 ayat (1) huruf f dan g dan Pasal 8 ayat (1) huruf f sedangakan pada pemerintah daerah Pasal 14 huruf g. Didalam Pasal-pasal tersebut terlihat kewenangan menyusun dan mengajukan suatu peraturan khusus terletak pada DPRP dan Pemerintah Daerah Pasal 20 huruf c dan Pasal 29 ayat (1).

Demikian di dalam PP No.54 Tahun 2004 tentang MRP, dalam tugas dan wewenang MRP, Pasal 36 huruf b dan Pasal 38 tidak memberikan kedudukan kepada MRP dalam menjalankan fungsi legislasi. Perdasus No. 4 Tahun 2004 tentang pelaksanaan tugas dan wewenang MRP dalam Pasal 2 sama dengan peraturan yang diatasnya. Hal tersebut mengakibatkan peran MRP terbatas. Keadaan yang membatasi peran MRP dalam legislasi ini yang harus dilakukan perubahan dalam UU Otsus yang memberdayakan kedudukan MRP dalam membuat dan mengusulkan Perdasus yang diperintahkan oleh UU Otsus. Dengan perubahan dalam hak dan kewajiban dalam UU Otsus dan PP MRP, sehingga MRP bukan sebagai suatu lembaga perwakilan semu dan pelengkap dalam pelaksanaan Otsus Papua. Hal ini berhubungan keterlibatan MRP yang besar baik dalam pembuatan Perdasus, Pengawasan dan keterlibatan MRP terhadap investasi dan

(3)

130 perjanjian kerjasama yang mana berhubungan dengan masyarakat adat serta melindungi kepentingan orang asli Papua.

Kelemahan dalam Kewenangan legislasi tersebut tidak terlihat dalam hal pengasawan yang dilakukan oleh MRP dalam pelaksanaan Otsus Papua. Dalam UU Otsus Papua dapat terlihat dalam Pasal 19, Pasal 20, Pasal 22, Pasal 23, Pasal 29, Pasal 38, Pasal 40 dimana MRP dapat menjalankan perannya sebagai pengawas terhadap pelaksanaan Otsus Papua. PP MRP yang mana dapat dilihat dalam Pasal 36, Pasal 38, Pasal 39, Pasal 40, Pasal 41, Pasal 42 dan Pasal 43. Semua pasal-pasal tersebut lebih ditujukan pada perlindungan orang asli Papua. Dalam Perdasus dapat dilihat dalam Pasal 2, Pasal 4, Pasal 8, Pasal 14 dan Pasal 18.

Dengan hadirnya MRP dapat diharapkan sebagai tempat dimana orang asli Papua belajar dalam berorganisasi dan politik serta dalam mengawal aspirasi yang berkembang didalam masyarakat Papua. keterwakilan ini yang secara jelas terdapat dalam UU Otsus Papua Pasal 19, PP MRP Pasal 1 angka 5 dan 12 yang mana lebih memberikan peluang kepada orang asli Papua yang dimana tidak terdapat dalam lembaga perwakilan seperti DPRP. Dalam memperjuangkan hak-hak orang asli Papua yang termuat dalam Otsus

(4)

131 Papua. Dengan demikian dapat memaksimalkan fungsi keterwakilan (representation) dari orang Papua di dalam lembaga perwakilan yang berbeda dengan DPRP. Dan terbukanya sistem checks and balances yang berhubungan dengan pembahasan yang berlapis dalam hal kepentingan orang asli Papua di dalam pelaksanaan Otsus yang melibatkan lembaga-lembaga pemerintahan daerah dalam pengambilan keputusan. Pengawasan yang dilakukan oleh MRP juga harus dibuat dengan tegas sehingga tidak berbenturan dengan pengawsan yang dilakukan oleh DPRP. Hal ini menghindarai saling berbenturan di dalam pengawasan yang dilakukan.

Dengan demikian dalam hal pengawasan perlu dibuat peraturan yang mengatur mengenai pengawsan terhadap kinerja MRP, dalam hal ini kehadiran peraturan tersebut dapat memperbaiki kinerja anggota MRP yang berhubungan dengan punishmant and reward. Dikarenakan lembaga MRP merupakan lembaga perwakilan adat dan dipilih oleh masyarakat adat sehingga lebih memudahkan dalam membuat klasasifikasi dan kwalitas anggota MRP dengan melibatkan lembaga-lembaga adat untuk menentukan keanggotaan MRP. Dengan adanya Punihsmant and reward ini bertujuan untuk memaksimalkan tugas MRP, dan menjaga mutu dari anggota MRP.

(5)

132 Implementasi Otsus Papua dapat berjalan dengan baik apabila di dukung dengan kemauan politik dari pemerintah pusat. Selama masih ada kecurigaan terhadap pembentukan MRP dalam menjalankan fungsi, tugas, hak dan kewajiban untuk menyuarakan aspirasi yang berhubungan dengan kemerdekaan Papua. Adanya ketakutan pusat dan kecurigaan yang berlebihan tersebut akan mempengaruhi kebijakan terhadap Papua dari kacamata pemerintah pusat. Selama pandangan tersebut ada maka kebijakan yang berhubungan dengan dalam pelaksanaan Otsus masih dikendalikan dengan pemerintah pusat.

B. PERBAIKAN PERAN DAN FUNGSI MRP KEDEPANNYA

Kehadiran MRP sebagai lembaga perwakilan pada awal pelaksanaan Otsus Papua memberikan harapan yang baru bagi masyarakat asli papua dimana hak-hak mereka akan terlindungi dan memberikan kesempatan dalam menyuarakan aspirasi mayarakat Papua. Namun dalam pelaksanaannya sejak di keluarkannya PP No.54/2004 tentang MRP ternyata tidak sesuai dengan harapan masyarakat Papua secara keseluruhan. Walaupun dengan kehadiran MRP, di Papua akan adanya dua lembaga perwakilan di papua dalam sistem bikameral. Namun kedudukan dari salah satu lembaga perwakilan yaitu MRP tidak

(6)

133 memiliki kekuatan dari peraturan perundangan. Kelemahan ini yang harus dilihat dalam memperbaiki kinerja MRP kedepannya.

Dikalangan masyarakat Papua, beranggapan bahwa MRP dalam perjalanannya tidak dapat berbuat maksimal untuk membela kepentingan masyakat asli Papua. Kehadiran MRP dianggap sebagai suatu yang dihadirkan hanya untuk melaksanakan perintah dari UU Otsus sehingga peran dan fungsi MRP kurang terlihat.

Selain dari sisi peraturan perundangan, ada juga faktor politis yang mempengaruhi lemahnya MRP dalam melakukan tugas dan fungsinya. Keterbatasan ini terkait dengan kemauan politik dari pemerintah pusat dengan memberikan ruang lebih kepada MRP dalam memberikan perlindungan pada budaya Papua. Hal ini dapat dilihat dari PP yang mengatur tentang MRP, lebih banyak mengarah kepada pengaturan pada sisi anggaran belanja dibandingkan kemampuan MRP dalam melakukan tindakan sebagai lembaga perwakilan. Kekhwatiran pemerintah pusat terhadap MRP terkait dengan munculnya aspirasi masyarakat mengenai kemerdekaan Papua dan kepentingan-kepentingan dalam faksi-faksi politik di Papua. Salah satu contoh nyata adalah dengan mengeluarkan PP 77 tahun 2007 tentang pelarangan penggunaan simbol-simbol yang sama dengan

(7)

134 simbol-simbol pergerakan kelompok separatis. Dengan hadirnya PP no 77/2007 telah menggugurkan raperdasus tentang simbol daerah.

Pemerintah daerah dan DPRD, hal ini dikaitkan dengan pembuatan peraturan khusus. Kurangnya peran di tangan MRP dalam ligislasi semakin menghambat terbentuknya Perdasus dikarenakan lambannya pemerintah daerah dan DPRD dalam mengaplikasikan pasal-pasal dalam Otsus yang harus di buat dalam Perdasus.

Dengan tidak dapat berperan dengan maksimal dalam membawa aspirasi masyarakat Papua. MRP diharapkan kedepan dapat lebih berperan dalam membawa aspirasi dan kepentingan masyarakat asli Papua.

Harapan kedepan tersebut dapat melihat apa yang telah terjadi selama MRP hadir sebagai lembaga perwakilan kultural dalam mengontrol pemerintahan di daerah papua.

1. Mengajukan Perubahan dalam UU Otsus yang berhubungan dengan peran dan fungsi MRP dalam hal legislasi.

Dengan dirubahnya fungsi legislasi dimana berdasarkan peraturan perundangan DPRD yang mempunyai hak dan kewenangan dalam membuat serta mengusulkan Perdasus. Dirubah dengan

(8)

135 memberikan kewenangan tersebut juga ada di dalam kewenangan MRP menyangkut fungsi legislasi dalam mengajukan, mengusulkan dan membuat Peraturan khusus.

2. Perubahan terhadap PP PP.No. 54/2004 tentang MRP dimana lebih mempertegas produk hukum yang melibatkan MRP (perdasus) dalam memberikan kebijakan affirmatve kepada masyarakat asli Papua. Hal ini dirasakan penting apabila melihat kembali apa yang telah ada saat ini. Dimana fungsi dan peran dari MRP sangat terbatas dalam menjalankan Otsus.

3. Kewenangan MRP tidak hanya dapat memberikan rekomendasi tetapi juga dapat menolak suatu peraturan provinsi yang dibuat oleh DPRD dan pemerintah daerah sebelum ditetapkan sebagai peraturan yang mengikat secara umum. Hal ini dapat dilakuan apabila terdapat suatu peraturan yang akan mempunyai dampak merugikan masyarakat asli Papua menyangkut hak-hak ulayat dan adat istiadat yang telah ada di dalam masyarakat Papua.

4. Keterlibatan MRP dalam suatu perjanjian yang akan dilakukan oleh pemerintah dengan pihak ketiga mempunyai peran yang penting. Hal ini bukan saja untuk memberikan proteksi terhadap sumber

(9)

136 daya alam yang berada di tanah ulayat milik masyarkat adat namun juga memberikan keuntungan secara ekonomi dan juga kesempatan kerja bagi masyarakat asli Papua.

5. Di dalam MRP terdapat Pokja (kelompok kerja yang terdiri dari adat, agama dan perempuan). Dengan adanya pokja-pokja akan lebih mendekatkan MRP dengan masyarakat dimana MRP dapat dengan langsung melakukan dengar pendapat atas apa yang terjadi di dalam masyarakat dan apa yang diinginkan oleh masyarakat untuk Papua. dengan demikian MRP dapat menjaring langsung aspirasi masyarakat adat terhadap permasalahan atau kondisi yang dialami baik sosial, ekonom dan politik.

6. Dengan beban kerja yang besar, MRP harus memiliki tim asistensi yang dapat membantu kinerja MRP dalam hal regulasi, pengawasan dan menyampaikan aspirasi dari masyarakat kepada pemerintah daerah. Tim asistensi tersebut terdiri dari tokoh-tokoh papua dan juga akademisi sehingga ada keseimbangan dalam memberikan masukan kepada MRP dalam bertindak.

7. MRP memerlukan dukungan dari lembaga-lembaga lain yang dapat mendukung kinerja MRP. Dilihat dari MRP merupakan lembaga

(10)

137 kultural dengan demikian MRP dapat membuka ruang terhadap partner kerja seperti Lembaga Adat Papua, Dewan Adat Papua, Presidium Dewan Papua dan Organisasi-organisasi perempuan dalam memberikan masukan terhadap MRP dalam mengawal kepentingan masyarakat Papua.

8. Adanya tanggung jawab dari anggota MRP dengan adanya reward and punishment sehingga anggota MRP yang dinilai tidak berhasil tidak dapat dipilih lagi kembali. Hal ini dapat di dasari masukan dari lembaga-lembaga yang merupakan partner MRP dalam menilai kinerja anggota MRP.

9. MRP diharapkan mampu menyuarakan kepentingan masyarakat papua baik dalam hal sosial, ekonomi, budaya dan politik. Kepentingan secara politis yang harus diperkuat oleh MRP dalam membuat posisi dalam membela kepentingan masyarakat asli Papua. dalam hal ini gejolak politik dapat akomodir oleh MRP sehingga tidak terjadi suatu konflik di dalam masyarakat Papua.

Referensi

Dokumen terkait

banyak digunakan perusahaan dalam melatih tenaga kerjanya. Para karyawan mempelajari pekerjaan sambil mengerjakannya secara langsung. Kebanyakan perusahaan menggunakan

Kajian ini menjangkakan bahawa dunia sosial yang menjadi latar belakang kepada pembentukan komuniti sub-budaya cosplay Jepun di Malaysia terdiri daripada globalisasi,

Untuk memberikan bekal dalam melaksanakan praktik pengalaman lapangan, terlebih dahulu praktikan diberikan latihan mengajar dalam bentuk pengajaran mikro dan

Sejauh ini, secara umum dapat kita perhatikan bersama, dari info berita di TV, radio atau bahkan pengalaman pribadi yang pernah dirasakan sendiri atau dirasakan

Arsitektur sistem Tracking Pos PT Pos Indonesia Kantor Pos Pemeriksa Surabaya Selatan ini terbagi atas tiga bagian utama, yaitu: MyProject MIDlet untuk user

Dalam hasil Niche Overlap yang telah dihitung, dapat dilihat bahwa persaingan Radio di kota Malang sudah semakin tinggi Persaingan paling ketat yaitu antara Radio Masjid An-Nur

Dengan rni Pejabat Pengadaan Barang dan Jasa (fffp Dinas Penkanan dan Peternakan. l{abrtpaten Iebong Tahrm Anggaran 2Ol4 mengumumkan Penyedia Pengadaan untuk

Berdasarkan beberapa penelitian terdahulu yag relevan tersebut penulis tertarik untuk melakukan pengabdian masyarakat dengan tema Meneguhkan Nilai Keindonesiaan