• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II URUSAN PEMERINTAHAN DAERAH

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II URUSAN PEMERINTAHAN DAERAH"

Copied!
19
0
0

Teks penuh

(1)

-19-

BAB II

URUSAN PEMERINTAHAN DAERAH

Deskripsi Singkat Topik :

Pokok Bahasan : Perkembangan Model Pertanggungjawaban Kepala Desa Menurut UU Nomor 5 Tahun 1974, UU Nomor 22 Tahun 1999 dan UU Nomor 32 Tahun 2004

Sub Pokok Bahasan : 1. Asas Penyelenggaraan Pemerintahan 2. Urusan Pemerintahan Daerah

3. Urusan Desa dan Kelurahan

Waktu : 1 (satu) kali tatap muka pelatihan (selama 100 menit) Tujuan : Praja dapat memahami perkembangan model

pertanggungjawaban Kepala Desa dari Masa ke Masa Metode : Ceramah

A. Asas Penyelenggaraan Pemerintahan

Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi. Daerah provinsi itu dibagi lagi atas daerah kabupaten dan daerah kota. Setiap daerah provinsi, daerah kabupaten, dan daerah kota mempunyai pemerintahan daerah yang diatur dengan undang-undang. Pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan.

Pemerintah daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh undang-undang ditentukan sebagai urusan Pemerintah Pusat. Pemerintahan daerah berhak menetapkan peraturan daerah dan

(2)

peraturan--20- peraturan lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan. Susunan dan tata cara penyelenggaraan pemerintahan daerah diatur dalam undang-undang.

Pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota memiliki Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang anggota-anggotanya dipilih melalui pemilihan umum. Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-masing sebagai Kepala Pemerintah Daerah Provinsi, Kabupaten dan Kota dipilih secara demokratis.

Hubungan wewenang antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah provinsi, kabupaten, dan kota atau antara provinsi dan kabupaten dan kota, diatur dengan undang-undang dengan memperhatikan kekhususan dan keragaman daerah. Hubungan keuangan, pelayanan umum, pemanfatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya antara pemerintah pusat dan pemerintahan daerah diatur dan dilaksanakan secara adil dan selaras berdasarkan undang-undang.

Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan undang-undang. Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat serta hak-hak tradisonalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang.

Pemerintahan Daerah adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan

oleh Pemerintah Daerah dan DPRD menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam UUD 1945.

(3)

-21-

Terdapat tiga asas dalam penyelenggaraan sistem pemerintahan daerah di Indonesia yaitu desentralisasi, dekonsentrasi dan tugas pembantuan. Dalam negara kesatuan, ketiga asas dimaksud disebut juga pembagian kekuasaan secara vertical yaitu hubungan yang bersifat atasan dan bawahan, dalam arti antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Di dalamnya terdapat semacam pembagian kerja antara pusat dan daerah.

Menurut Pasal 1 butir 7 Undang-undang Nomor 32 tahun 2004, Desentralisasi dimaknai sebagai “penyerahan wewenang pemerintah oleh pemerintah kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia”.

Dekonsentrasi didefinisikan sebagai “pelimpahan wewenang pemerintahan oleh Pemerintah kepada Gubernur sebagai wakil pemerintah dan/atau kepada instansi vertikal di wilayah tertentu”.

Sementara menurut Pasal 1 butir 9 UU Nomor 32 Tahun 2004 yang dinamakan Tugas Pembantuan adalah “penugasan dari pemerintah kepada daerah dan/atau desa dari pemerintah provinsi kepada kabupaten/kota dan/atau desa serta dari pemerintah kabupaten kota kepada desa untuk melaksanakan tugas tertentu”.

Bila kita mengkomparasikan ketiga azas pemerintahan daerah sebagaimana yang tertuang dalam UU nomor 32 tahun 2004 dengan UU Pemerintahan Daerah era orde baru (UU Nomor 5 tahun 1974); tentunya ada perbedaan yang cukup mendasar, khususnya azas dekonsentrasi dan azas tugas pembantuan. Azas dekonsentrasi maupun tugas pembantuan secara bersama-sama dengan azas desentralisasi menjadi azas pemerintahan daerah khususnya untuk kabupaten dan kotamadya ketika itu. Penggunaan ketiganya secara bersamaan tentu saja menyebabkan simpang siurnya

(4)

-22-

kejelasan kewenangan yang dimiliki kabupaten dan kota. Dalam prakteknya azas dekonsentrasi dan tugas pembantuan justru lebih mendominasi hubungan pusat dan daerah daripada azas desentralisasi, sehingga tidak terjadi praktek otonomi daerah yang sesungguhnya karena kewenangan masih dikendalikan oleh pusat mulai dari perencanaan, pelaksanaan hingga pengawasannya. Daerah lebih banyak menerima dan melaksanakan kebijakan yang dibuat pusat, bahkan tidak jarang kewenangan itupun dilaksanakan oleh wakil pemerintah pusat yang ada di kabupaten/kotamadya yakni melalui kantor-kantor departemennya.

Agar pemerintah daerah di Indonesia mampu melaksanakan otonominya secara optimal, maka kita harus terlebih dahulu memahami secara benar elemen-elemen dasar yang membentuk pemerintahan daerah sebagai suatu kesatuan pemerintahan. Sedikitnya ada 7 (tujuh) elemen dasar yang membangun kesatuan pemerintahan daerah yaitu:

(1) Urusan Pemerintahan.

Elemen dasar pertama dari pemerintahan daerah adaiah “urusan pemerintahan” yang berupa kewenangan daerah untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan yang menjadi kewenangannya. Berdasarkan Pasal 11 ayat (1) UU Nomor 32 Tahun 2004 ada tiga kriteria yang dipakai dalam membagi urusan pemerintahan yaitu eksternalitas, akuntabilitas dan efisiensi dengan memperhatikan keserasian hubungan antar susunan pemerintahan. Berdasarkan kriteria tersebut akan tersusun pembagian kewenangan yang jelas antar tingkatan pemerintahan (Pusat, Provinsi dan Kabupaten/Kota) dari setiap bidang atau sektor pemerintahan. Dalam koridor otonomi luas setidaknya terdapat 30 (tiga puluh) sektor pemerintahan yang merupakan urusan pemerintahan yang

(5)

-23- didesentralisasikan ke daerah baik yang terkait dengan urusan yang bersifat wajib untuk menyeienggarakan pelayanan dasar maupun urusan yang bersifat pilihan untuk menyelenggarakan pengembangan sektor unggulan.

(2) Kelembagaan

Elemen dasar yang kedua dari pemerintahan daerah adalah kelembagaan. Kewenangan daerah tidak mungkin dapat dilaksanakan kalau tidak diakomodasikan dalam kelembagaan daerah. Ada dua kelembagaan penting yang membentuk pemerintahan daerah, yaitu kelembagaan untuk pejabat politik yaitu kelembagaan kepala daerah dan DPRD, dan kelembagaan untuk pejabat karir yang terdiri dari perangkat daerah (dinas, badan, kantor dan sekretariat, kecamatan, kelurahan dll).

(3) Personel

Elemen dasar yang ketiga yang membentuk pemerintahan daerah adalah adanya personel yang menggerakkan kelembagaan daerah untuk menjalankan kewenangan otonomi yang menjadi domain daerah. Personel daerah (PNS Daerah) tersebut pada gilirannya akan menjalankan kebijakan publik strategis yang dihasilkan oleh pejabat politik (DPRD dan kepala daerah) untuk menghasilkan barang dan jasa (goods and services) sebagai hasil akhir (end product) dari pemerintahan daerah.

(4) Keuangan Daerah

Elemen dasar yang keempat yang membentuk pemerintahan daerah adalah keuangan daerah. Keuangan daerah adalah sebagai konsekuensi dari adanya urusan pemerintahan yang diserahkan kepada daerah. Hal tersebut sesuai dengan

(6)

-24- prinsip “money follows functions”. Daerah harus diberikan sumber-sumber keuangan baik yang bersumber pada pajak dan retribusi daerah (desentralisasi fiskal) maupun bersumber dari dana perimbangan (subsidi dan bagi hasil) yang diberikan ke daerah. Adanya sumber keuangan yang memadai memungkinkan daerah untuk melaksanakan urusan pemerintahan yang diserahkan kepada daerah. (5) Perwakilan Daerah

Elemen dasar yang kelima yang membentuk pemerintahan daerah adalah perwakilan daerah. Secara filosofis, rakyatlah yang mempunyai otonomi daerah tersebut. Namun secara praktis adalah tidak mungkin masyarakat untuk memerintah bersama. Untuk itu maka dilakukan pemilihan wakii-wakil rakyat untuk menjalankan mandat rakyat dan mendapatkan legitimasi untuk bertindak untuk dan atas nama rakyat daerah. Dalam sistem pemerintahan di Indonesia, ada dua jenis wakil rakyat. Pertama, yaitu DPRD yang dipilih melalui Pemilu untuk menjalankan fungsi legislatif daerah. Kedua, adalah kepala daerah yang dipilih melalui pemilihan kepala daerah yang dilakukan secara langsung oleh rakyat daerah yang bersangkutan untuk menjalankan fungsi eksekutif daerah. Dengan demikian, kepala daerah dan DPRD adalah pejabat yang dipilih secara politis oleh rakyat melalui proses pemilihan, yang mendapat mandat untuk mengatur dan mengurus rakyat dalam koridor kewenangan yang dimiliki daerah yang bersangkutan.

Dalam elemen perwakilan tersebut terkandung berbagai dimensi yang bersinggungan dengan hak-hak dan kewajiban masyarakat. Termasuk dalam dimensi tersebut adalah bagaimana hubungan DPRD dengan kepala daerah;

(7)

-25- bagaimana hubungan keduanya dengan masyarakat yang memberikan mandat kepada mereka; pengakomodasian pluralisme lokal kedalam kebijakan-kebijakan daerah; penguatan civil society dan isu-isu lainnya yang terkait dengan proses demokratisasi di tingkat lokal.

(6) Pelayanan Publik

Elemen dasar yang keenam yang membentuk pemerintahan daerah adalah “pelayanan publik”. Hasil akhir dari pemerintahan daerah adalah tersedianya “goods and services” yang dibutuhkan masyarakat. Secara lebih detail goods and services tersebut dapat dibagi dalam dua klasifikasi sesuai dengan hasil akhir (end products) yang dihasilkan pemerintahan daerah. Pertama pemerintahan daerah menghasilkan public goods yaitu barang-barang (goods) untuk kepentingan masyarakat lokal seperti jalan, jembatan, irigasi, gedung sekolan, pasar, terminal, rumah sakit dsb yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Kedua, Pemerintah Daerah menghasilkan pelayanan yang bersifat pengaturan publik (public regulations) seperti menerbitkan akta kelahiran, KTP, KK, IMB, dan sebagainya. Pada dasarnya pengaturan publik dimaksudkan untuk menciptakan ketentraman dan ketertiban (law and order} dalam masyarakat. Isu yang paling dominan dalam konteks pelayanan publik tersebut adalah bagaimana kualitas dan kuantitas pelayanan publik yang dihasilkan pemerintah daerah dalam rangka menyejahterakan masyarakat lokal. Prinsip-prinsip standar pelayanan minimal dan pengembangan pelayanan prima (better, cheaper, and faster) serta akuntabilitas, akan menjadi isu utama dalam pelayanan publik tersebut.

(8)

-26- (7) Pengawasan

Elemen dasar ketujuh yang membentuk pemerintahan daerah adalah pengawasan. Argumen dari pengawasan adalah adanya kecenderungan penyalahgunaan kekuasaan sebagaimana adagium dari Lord Acton yang menyatakan bahwa “power tends to corrupt and absolute power will corrupt absolutely”. Untuk mencegah hal tersebut, maka elemen pengawasan mempunyai posisi strategis untuk menghasilkan pemerintahan yang bersih. Berbagai isu pengawasan akan menjadi agenda penting seperti sinergi lembaga pengawasan internal, efektifitas, pengawasan eksternal, pengawasan sosial, pengawasan legislatif, dan juga pengawasan melekat (built in control).

Perbandingan 3 Asas Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah

NO ASAS PEMERINTAHAN CIRI-CIRI PELAKSANAAN 1. Desentralisasi (Desentralisasi politik/ ketatanegaraan) Transfer kewenangan,

Kewenangan sepenuuhnya menjadi hak dan tanggungjawab institusi penerima kewenangan, Diberikan dana yang dialokasikan secara terpisah

maupun sumber dana,

Personil pelaksana adalah dari institusi penerima transfer kewenangan .

2 Dekonsentrasi (Desentralisasi administratif)

Delegasi kewenangan,

Kewenangan tetap melekat pada institusi/pejabat pemberi delegasi kewenangan,

Disediakan dana dari institusi pemberi tugas,

Personil pelaksana adalah dari institusi pemberi tugas tetapi ditugaskan di luar ibukota negara.

3. Tugas Pembantuan Bukan transfer kewenangan maupun delegasi kewenangan, melainkan pemberian bantuan pelaksanaan tugas yang bersifat operasional,

Kewenangan tetap melekat pada institusi pemberi tugas, Disediakan dana, sarana dan prsarana serta personil yang diperlukan,

Personil pelaksana maupun sarana prasarana sebagian besar berasal dari institusi penerima tugas supaya efektif Sumber : Sadu Wasistiono, dkk (2006:8-9)

(9)

-27- Perubahan paradigma penyelenggaraan pemerintahan ternyata berkorelasi terhadap penyebutan kewenangan pemerintahan menjadi urusan pemerintahan. Dalam UUD 1945 Pasal 17 (amandemen pertama) dan Pasal 18 (amandemen kedua), istilah baku yang dipakai adalah “urusan pemerintahan” bukan “kewenangan”.

Menurut Sadu Wasistiono dkk (2009:32) bahwa kewenangan adalah “kekuasaan yang sah (legitimate power) atau kekuasaan yang terlembagakan (institutionalized power)”. Kekuasaan pada dasarnya adalah merupakan kemampuan yang membuat seseorang atau orang lain untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu sesuai keinginannya. Dalam pengertian administrasi, hal ini diarahkan untuk mencapai tujuan bersama (organisasi). Dengan demikian disimpulkan bahwa dalam kewenangan terdapat kekuasaan, dan sebaliknya. Jadi kewenangan dan kekuasaan pada dasarnya merupakan dua sisi mata uang yang tidak dapat dipisahkan.

Lindblom (dalam Winarno, 2007:187) mengemukakan ciri-ciri kewenangan, antara lain “Kewenangan selalu bersifat khusus, kewenangan (baik sukarela maupun paksaan) merupakan konsesi dari mereka yang bersedia tunduk, kewenangan itu rapuh, dan yang terakhir kewenangan diakui karena berbagai sebab”.

UU Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang lahir pada masa reformasi merupakan sebuah Kontra – Konsep terhadap UU Nomor 5 Tahun 1974 yang dianggap sangat sentralistik. Disebut demikian karena berbagai prinsip maupun model di dalam UU Nomor 5 Tahun 1974 tidak digunakan lagi, termasuk

(10)

-28- model pembagian urusan pemerintahan yang bersifat berjenjang. Meskipun pada penjelasan disebutkan bahwa pemberian otonomi kepada daerah otonom bersifat luas dan nyata, tetapi ajaran rumah tangga riil tidak digunakan di dalam UU ini.

Inti dari kewenangan adalah : “Siapa, Mengerjakan Apa, dan

Bagaimana Cara Mengerjakannya?”. Berbicara mengenai “Siapa” berarti

menunjuk pada satuan pemerintahan mulai dari pusat, provinsi hingga daerah kabupaten/kota.

“Mengerjakan Apa” menunjuk pada adanya pembagian kewenangan daerah sebagaimana diatur dalam Bab IV Pasal 7 UU Nomor 22 Tahun 1999 bahwa “Kewenangan Daerah mencakup kewenangan dalam seluruh bidang pemerintahan, kecuali kewenangan dalam bidang politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter dan fiskal, agama, serta kewenangan bidang lain”. Dan “Bagaimana Caranya” sangat tergantung kepada masing-masing Daerah dalam melaksanakan kewenangan itu sendiri yang diatur dalam sebuah produk hukum daerah yaitu Perda.

SIAPA?

Pemerintah Pusat

Pemerintah Provinsi

Pemerintah Kabupaten/ Kota

(11)

-29- Kehadiran UU Nomor 32 Tahun 2004 sebagai pengganti UU 22 Tahun 1999 yang ditetapkan pada tanggal 15 Oktober 2004, atau lima hari sebelum serah terima jabatan kepresidenan dari Megawati Sukarnoputri kepada Susilo Bambang Yudhoyono, muncul kembali istilah “urusan pemerintahan”. Di dalam Bab I angka 5 PP Nomor 38 Tahun 2007 mengenai Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota, yang dimaksud dengan urusan pemerintahan adalah :

Fungsi-fungsi pemerintahan yang menjadi hak dan kewajiban setiap tingkatan dan/atau susunan pemerintahan untuk mengatur dan mengurus fungsi-fungsi tersebut yang menjadi kewenangannya dalam rangka melindungi, melayani, memberdayakan, dan menyejahterakan masyarakat.

Sementara Sadu Wasistiono (2008:9) menyatakan bahwa “urusan merupakan himpunan fungsi dalam satu bidang pemerintahan yang didalamnya terkandung adanya hak, wewenang, kewajiban dan tanggung jawab. Aktivitas

(12)

-30- tersebut dapat diselenggarakan oleh pemerintah dan atau oleh masyarakat serta dunia usaha”.

Di dalam Bab III Pasal 10 ayat (1) Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah tentang Pembagian Urusan Pemerintahan disebutkan bahwa :

(1) Pemerintahan daerah menyelenggarakan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangannya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh Undang-Undang ini ditentukan menjadi urusan Pemerintah.

(2) Dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pemerintahan daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan berdasarkan asas otonomi dan tugas pembantuan.

(3) Urusan pemerintahan yang menjadi urusan Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:

a. politik luar negeri; b. pertahanan; c. keamanan; d. yustisi; e. moneter dan fiskal nasional; dan f. agama.

(4) Dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Pemerintah menyelenggarakan sendiri atau dapat melimpahkan sebagian urusan pemerintahan kepada perangkat Pemerintah atau wakil Pemerintah di daerah atau dapat menugaskan kepada pemerintahan daerah dan/atau pemerintahan desa.

(5) Dalam urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan Pemerintah di luar urusan pemerintahan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Pemerintah dapat :

a. menyelenggarakan sendiri sebagian urusan pemerintahan;

b. melimpahkan sebagian urusan pemerintahan kepada Gubernur selaku wakil Pemerintah; atau

c. menugaskan sebagian urusan kepada pemerintahan daerah dan/ atau pemerintahan desa berdasarkan asas tugas pembantuan. Dari uraan tersebut, anatomi urusan pemerintahan dapat digambarkan sebagai berikut :

(13)

-31- BAGAN 2.1

ANATOMI URUSAN PEMERINTAHAN

Menurut Made Suwandi (2007:12) pembagian urusan pemerintahan yang dilaksanakan oleh masing-masing tingkatan pemerintahan berdasarkan 3 (tiga) kewenangan antara lain :

1. Pusat : Berwenang membuat norma-norma, standar, prosedur, monev, supervisi, fasilitasi dan urusan-urusan pemerintahan dengan eksternalitas nasional.

2. Provinsi : Berwenang mengatur dan mengurus urusan-urusan pemerintahan dengan eksternalitas regional (lintas Kabupaten/Kota). 3. Kabupaten/Kota : Berwenang mengatur dan mengurus urusan-urusan

pemerintahan dengan eksternalitas lokal (dalam satu Kabupaten/ Kota).

Urusan pemerintahan yang akan diserahkan kepada Daerah harus disertai dengan sumber pendanaan, pengalihan sarana dan prasarana, serta kepegawaian

Urusan Pemerintahan

Absolut (Mutlak Urusan Pem.

Pusat) Concurrent (Urusan Bersama) Pertahanan Keamanan Moneter Yustisi Luar Negeri Agama Pilihan/Optional (Sektor Unggulan) Wajib/Obligatory (Pelayanan Dasar) Contoh : Kesehatan, Pendidikan, LH, PU, Perhub., Pertanahan Contoh : Pertanian, Industri, Perdagangan, Pariwisata, Kelautan, Dsb. SPM/Standar Pelayanan Minimal

(14)

-32- sesuai dengan urusan yg didesentralisasikan, dimana Made Suwandi (2007:19) lebih lanjut mengatakan bahwa :

Kriteria Distribusi Urusan Pemerintahan Antar Tingkat Pemerintahan : 1. Externalitas (Spill-over) : Siapa kena dampak, mereka yang

berwenang mengurus.

2. Akuntabilitas : Yang berwenang mengurus adalah tingkatan pemerintahan yang paling dekat dengan dampak tersebut (sesuai prinsip demokrasi)

3. Efisiensi

 Otonomi Daerah harus mampu menciptakan pelayanan publik yang efisien dan mencegah high cost economy.

 Efisiensi dicapai melalui skala ekonomis (economic of scale) pelayanan publik.

 Skala ekonomis dapat dicapai melalui cakupan pelayanan (catchment area) yang optimal.

Berdasarkan rambu-rambu tersebut, maka pembagian urusan pemerintahan menurut Bab II Pasal 2 ayat (2) s/d ayat (6) tersusun sebagai berikut :

1. Urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan Pemerintah (Pusat) antara lain :

1.1. Politik luar negeri, 1.2. Pertahanan,

1.3. Keamanan, 1.4. Yustisi,

1.5. Moneter dan fiskal nasional, serta 1.6. Agama.

2. Urusan pemerintahan yang dibagi bersama antar tingkatan dan/atau susunan pemerintahan (di luar urusan pemerintah pusat) adalah semua urusan pemerintahan di luar urusan di atas, antara lain :

2.1. Urusan Wajib (Pelayanaan Dasar) 1. Pendidikan

2. Kesehatan 3. Lingkungan 4. Pekerjaan Umum

(15)

-33- 5. Penataan Ruang

6. Perencanaan Pembangunan 7. Perumahan

8. Kepemudaan dan Olah Raga 9. Penanaman Modal

10. Koperasi dan Usaha Kecil Menengah 11. Kependukan dan Catatan Sipil 12. Ketenagakerjaan

13. Ketahanan Pangan

14. Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak 15. KB dan Keluarga Sejahtera

16. Perhubungan

17. Komunikasi dan Informatika 18. Pertanahan

19. Kesbangpol

20. Otda, Pemerintahan Umum, Administrasi Keuangan Daerah, Perangkat Daerah, Kepegawaian dan Persandian

21. Pemberdayaan Masyarakat dan Desa 22. Sosial

23. Kebudayaan 24. Statistik 25. Kearsipan 26. Perpustakaan

[2.2. Urusan Pilihan (Potensi Unggulan)

1. Kelautan dan Perikanan 2. Pertanian

3. Kehutanan

4. Energi dan Sumber Daya Mineral 5. Perikanan Laut/Darat

6. Pariwisata 7. Industri 8. Perdagangan 9. Ketransmigrasian

C. Urusan Desa (Permen 30/06) dan Lurah (Permen 36/07)

Pembicara mengenai Desa umumnya dan Kewenangan atau Urusan Desa khususnya saat ini sedang menjadi “trending topic” para pakar dan pemerhati pemerintahan. Bahkan kewenangan Desa merupakan permasalahan utama dari tiga permasalahan penyelenggaraan pemerintahan desa dalam draft revisi UU

(16)

-34- mengenai Desa. Di dalam UU Nomor 32 Tahun 2004 maupun PP Nomor 38 Tahun 2007, disebutkan bahwa pembagian kewenangan atau urusan pemerintah berhenti pada tingkat kabupaten/kota, sehingga konsekuensinya pengaturan lebih lanjut tentang Desa dilakukan oleh Kabupaten/Kota.

Semangat UU Nomor 32 Tahun 2004 dengan meletakkan posisi Desa yang berada di bawah Kabupaten tidak koheren dan konkruen dengan napas lain dalam undang-undang tersebut yang justru mengakui dan menghormati kewenangan asli yang berasal dari hak asal-usul. Pengakuan pada kewenangan asal usul ini menunjukkan bahwa UU 32 Tahun 2004 menganut prinsip pengakuan (rekognisi), dan konsekuensi dari pengakuan atas otonomi asli adalah Desa memiliki hak mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri berdasarkan asal usul dan adat istiadat setempat (self governing community), dan bukan merupakan kewenangan yang diserahkan pemerintahan atasan pada Desa.

1) Urusan Desa

 Di dalam Pasal 7 PP Nomor 72 Tahun 2005, dikemukakan bahwa terdapat 4 (empat) urusan pemerintahan yg menjadi kewenangan Desa, antara lain mencakup :

a. Urusan pemerintahan yang sudah ada berdasarkan hak asal usul Desa; b. Urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan Kabupaten/Kota

yang diserahkan PENGATURANNYA kepada Desa.

c. Tugas Pembantuan dari Pemerintah, Pemerintah Provinsi, dan Pemerintah Kabupaten/Kota, dan

(17)

-35- d. Urusan pemerintahan lainnya yang oleh peraturan

perundang-undangan diserahkan kepada Desa.

Ad. a. Urusan pemerintahan yang sudah ada berdasarkan hak asal usul Desa Kewenangan asal-usul merupakan bentuk pengakuan (rekognisi) terhadap Desa. Ad. b. Urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan Kabupaten/Kota yang diserahkan PENGATURANNYA kepada Desa

Urusan yang dilaksanakan oleh Desa ini termasuk baru dan “aneh”, Sadu Wasistiono menyebutnya dengan “urusan bukan-bukan”, karena sama artinya dengan memberi amanat kepada kabupaten untuk melakukan “desentralisasi” kewenangan kepada Desa. Di dalam Draft RUU tentang Desa juga mempertanyakan azas apa yang digunakan pemerintah untuk merumuskan klausul tersebut, karena menurut teori desentralisasi dan hukum tata negara bahwa hal tersebut tidak dibenarkan karena menimbulkan kekacauan logika dan hukum. Ad. ac. Tugas Pembantuan dari Pemerintah, Pemerintah Provinsi, dan Pemerintah Kabupaten/Kota

Sama halnya dengan azas kedua, azas ini juga diperdebatkan sebagai salah satu bentuk kewenangan Desa. Secara teori, kewenangan adalah hak yang melekat dan diserahkan sepenuhnya kepada Desa, dan pengambilan keputusan serta akuntabilitas terletak pada Desa. Sedangkan keputusan dan akuntabilitas tugas pembantuan selama ini berada pada yang memberi penugaspembantuanan, bukan pada yang menerima.

Makna tugas pembantuan sebenarnya bukanlah kategori kewenangan desa karena desa hanyalah sekedar melaksanakan tugas tertentu yang disertai

(18)

-36- pembiayaan/dana, personil dan fasilitas. Dengan kewajiban melaporkan pelaksanaannya dan mempertanggungjawabkannya kepada yang menugaskan, sehingga tugas pembantuan bukanlah kewenangan desa tetapi sekedar sebagai sebagai pelaksana dari sebuah kegiatan yang berasal dari Supra Desa.

Prinsip dasarnya dalam tugas pembantuan ini, desa hanya menjalankan tugas-tugas administratif (mengurus) di bidang pemerintahan dan pembangunan dengan disertai dengan sejumlah dana, personil dan fasilitas. Desa berhak menolak apabila tidak disertai dengan ketiga klausul tersebut.

Para pakar dan pemerhati pemerintahan juga berselisih terhadap adanya tugas pembantuan ini ke Desa. Pada satu kutub menyebut, jika tugas pembantuan terlalu banyak masuk ke Desa sama halnya dengan menjadikan Desa sebagai pesuruh atau obyek bagi pemerintah dan pemerintah daerah. Sementara di pihak lain melihat bahwa dengan banyaknya pekerjaan yang masuk ke Desa dapat menjadikan Desa lebih maju karena banyak program dan kegiatannya terlaksana dengan baik atau Desa merasa “diberdayakan”.

Ad. d. Urusan pemerintahan lainnya yang oleh peraturan perundang-undangan diserahkan kepada Desa.

Tidak ada penjelasan mendetail mengenai urusan yang satu ini, apalagi di dalam PP Nomor 72 Tahun 2005 tentang Desa.

Draft RUU tentang Desa menyebut bahwa apabila urusan yang dimaksud adalah daftar pasal lebih lanjut dalam sebagaimana diatur dalam Permendagri Nomor 30 Tahun 2006 tentang Tata Cara Penyerahan Urusan Pemerintahan Kabupaten/Kota kepada Desa, maka lebih tepat mengandung tugas pembantuan (delegasi) urusan,

(19)

-37- bukan desentralisasi kewenangan. Apabila daftar panjang berbagai bidang/sektor tersebut benar-benar diserahkan kepada Desa, maka akan semakin banyak dan berat beban yang diurus oleh Desa, sementara Desa dihadapkan pada kenyataan minimnya kualitas sumber daya manusia yang berkualitas.

Kewenangan untuk mengurus berbeda artinya mengatur, karena di dalam kata mengatur terkandung di dalamnya hak untuk menentukan atau diskresi

Di dalam Naskah Akademik RUU tentang Desa (2007:89), terdapat dua jenis kewenangan desa yang utama :

(a) Kewenangan asal-usul yang diakui oleh negara : mengelola aset (sumber daya alam, tanah ulayat, tanah kas desa) dalam wilayah yurisdiksi desa, membentuk struktur pemerintahan desa dengan mengakomodasi susunan asli, menyelesaikan sengketa secara adat dan budaya setempat.

(b) Kewenangan melekat (atributif) mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat yang berskala lokal (desa) : perencanaan pembangunan dan tata ruang desa, membentuk struktur dan organisasi pemerintahan desa, menyelenggarakan pemilihan kepala desa, membentuk Badan Perwakilan Desa, mengelola APBDes, membentuk lembaga kemasyarakatan, mengembangkan BUMDes dan lain-lain.

Referensi

Dokumen terkait

Tabel 4 dapat dilihat rata-rata pengetahuan ibu hamil tentang imunisasi TT sebelum diberikan pendidikan kesehatan tentang imunisasi TT adalah 50,20 sedangkan rata-rata

(1) Dalam hal pengusaha hotel termasuk Motel, Losmen, Gubuk Pariwisata, Wisma Pariwisata, Pesanggrahan, Rumah Penginapan dan Rumah Kos akan melakukan perubahan

Pada tampilan ini akan meminta data dikirim ke server yang mana berguna untuk mengecek keberangkatan yang diinginkan, jika format atau pilihan sesuai dengan data yang

Hasil penelitian menunjukkan: (1) Kemandirian keuangan daerah berpengaruh signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi di Kota/ Kabupaten Se-eks Karesidenan Kediri, sedangkan

Hasil penelitian Pengembangan Modul Praktikum BerbasisMultimedia Interaktif pada Praktikum Elektronika Dasar I Materi Dioda II Mahasiswa Pendidikan Fisika UIN Walisongo

Judul yang penulis ambil dalam Laporan Akhir ini adalah Pengaruh Sikap, Kesadaran Wajib Pajak, dan Pengetahuan Perpajakan terhadap Kepatuhan Wajib Pajak dalam Membayar

Peraturan perundang-undangan yang mendasari tindakan penetapan standar, diantaranya Undang-Undang RI Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi, Permendikbud RI

a. Menulis resep Komitmen mutu Dalam pemberian terapi *ika tidak melakukan penulisan resep dengan tulisan %ang rapi& dan muda& dipa&ami maka akan