• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. Kementerian tersebut merupakan Kementerian baru yang terbentuk pada Kabinet

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. Kementerian tersebut merupakan Kementerian baru yang terbentuk pada Kabinet"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

1

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Tesis ini akan mengkaji mengenai kapasitas kelembagaan Pusat Pelatihan Masyarakat (Puslatmas), salah satu lembaga eselon II pada Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (Kementerian Desa PDTT). Kementerian tersebut merupakan Kementerian baru yang terbentuk pada Kabinet Kerja 2014-2019 dan merupakan penggabungan sektor yakni ; Pembangunan Desa Tertinggal, Pemberdayaan Masyarakat Desa dan Ketransmigrasian.

Penggabungan tersebut merupakan langkah yang diambil Pemerintah dengan melihat bahwa melalui penggabungan Ditjen Pemberdayaan Masyarakat Desa (PMD) Kementerian Dalam Negeri, Ditjen-Ditjen Ketransmigrasian Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi, serta deputi-deputi di Kementerian Pembangunan Daerah Tertinggal, maka tiga macam urusan pemerintahan yang

dianggap ‘sejenis’ dapat disatukan, yaitu : urusan pembangunan desa dan kawasan perdesaan, pemberdayaan masyarakat desa, urusan percepatan pembangunan daerah tertinggal dan daerah tertentu, serta urusan transmigrasi. Dengan demikian, Kabinet Kerja dapat mewujudkan komitmen untuk membangun Indonesia sesuai dengan visi Pemerintah, yakni untuk membangun dari pinggiran, terutama desa, kawasan tertinggal, perbatasan dan kawasan transmigrasi.

(2)

2

Sementara itu, tantangan yang dihadapi oleh Kementerian Desa PDTT tidak cukup mudah. Salah satunya adalah bagaimana meningkatkan pemberdayaan masyarakat desa sebagai “kekuatan besar” yang akan memberikan kontribusi besar terhadap misi Indonesia yang berdaulat, sejahtera dan bermartabat. Oleh karenanya, pembangunan desa dan kawasan perdesaan secara komprehensif menjadi beban tugas Kementerian Desa PDTT dalam rangka pengentasan kemiskinan dan pengurangan kesenjangan antar wilayah. Data menunjukkan jumlah desa pada tahun 2014 meningkat menjadi 74.045 desa1, dengan laju pertumbuhan rata-rata sebesar 2,29 persen atau 1.409 desa per tahun, namun belum diikuti dengan peningkatan kesejahteraan masyarakat di perdesaan. Pada bulan Maret tahun 2014 terdapat 28,28 juta jiwa penduduk miskin di Indonesia, dimana 17,77 juta diantaranya merupakan penduduk miskin yang berada di perdesaan (Data BPS)2.

Tantangan lain yang dihadapi oleh struktur organisasi Kementerian Desa PDTT adalah pengentasan desa tertinggal. Berdasarkan data Ditjen PUM Kementerian Dalam Negeri, pada tahun 2014 terdapat 514 kabupaten/kota dengan jumlah desa sebanyak 74.045 desa. Menurut analisis Kementerian Desa PDTT, dari jumlah desa tersebut terdapat 39.091 atau 52,79% desa yang berstatus tertinggal dan 17.268 yang berstatus sangat tertinggal atau 23,32%. Secara statistik, jumlah desa tertinggal berdasarkan wilayah disajikan pada Tabel berikut.

1 Data Ditjen Kependudukan dan Catatan Sipil Kementerian Dalam Negeri Semester I Bulan Juni 2014 2Diambil dari situs

(3)

3

No Wilayah Pulau DesaJml 1) TertinggalJml Desa 2) %

Jml Desa Sangat Tertinggal2) % 1 Sumatera 22.056 12.482 56,59% 8.241 37,36% 2 J a w a Jawa 22.458 15.087 67,18% 806 3,59% 3 Kalimantan 6.382 3.063 47,99% 1.702 26,67% 4 Sulawesi 8.233 4.398 53,42% 1.213 14,73% 5 NusaTenggara&Bali 3.599 2.277 63,27% 424 11,78% 6 Maluku 1.958 782 39,94% 833 42,54% 7 Papua 5.204 1.002 19,25% 4.049 77,81% Total Kabupaten/Kota (514 Kab/Kota) 74.045 39.091 52,79% 17.268 23,32% Tabel.1.1

Jumlah Desa Tertinggal Berdasarkan Wilayah Pulau Besar Sumber : 1) Data PODES 2011 Kementerian Desa PDTT (diolah) 2) Dirjen PUM Kemdagri Desember 2014

Penggabungan Ditjen Pemberdayaan Masyarakat Desa (PMD) Kementerian Dalam Negeri, Ditjen-Ditjen Ketransmigrasian Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi, serta deputi-deputi di Kementerian Pembangunan Daerah Tertinggal, merupakan langkah yang diambil Pemerintah yang diharapkan mampu meningkatkan kinerja ketiga sektor, melalui sinergitas yang terwujud dengan Kementerian Desa PDTT. Namun langkah tersebut sekaligus membawa perubahan lingkungan organisasi yang akan berpengaruh terhadap kapasitas kelembagaan bagi setiap bagian dari struktur organisasi. Terjadinya perubahan struktur organisasi menyebabkan adanya penggabungan, pemisahan, dan penyerasian tugas fungsi baru dalam struktur organisasi kementerian. Beberapa

(4)

4

lembaga baru dibentuk, dengan harapan dapat mencapai sinergitas dalam melaksanakan tugas –tugas Kementerian.

Salah satu bagian dari struktur organisasi kementerian Desa PDTT yang baru terbentuk adalah Pelatihan Masyarakat (Puslatmas). Puslatmas secara umum merupakan lembaga kementerian yang menangani pemberdayaan masyarakat desa sebagai Unit Eselon II yang bernaung di bawah Unit Eselon I Badan Penelitian Pengembangan Pendidikan Pelatihan dan Informasi (Balitlatfo).

Puslatmas mempunyai tugas melaksanakan pendidikan dan pelatihan masyarakat serta kerja sama di bidang pemberdayaan masyarakat desa, pembangunan daerah tertinggal, dan transmigrasi. Berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2015 tentang Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi, bahwa untuk melaksanakan tugas teknis operasional dan/atau tugas teknis penunjang di lingkungan Kementerian Desa PDTT, dapat dibentuk Unit Pelaksana Teknis sebagai kepanjangan tangan dalam menjalankan tugas Kementerian. Adapun kedudukan Puslatmas adalah sebagai regulator di bidang pelatihan masyarakat, sedangkan operatornya adalah UPTP-UPTP dan UPTD-UPTD dan lembaga-lembaga pelatihan pemerintah/non-pemerintah lainnya yang turut berperan serta dalam pelatihan masyarakat.

Berikut adalah UPTP-UPTP sebagai lembaga teknis operasional yang membantu Puslatmas dalam kegiatan pelatihan masyarakat :

(5)

5

• 1 (satu) Balai Besar Latihan Masyarakat di Yogyakarta;

• 4 (empat) Balai Latihan Masyarakat di Pekanbaru, Banjarmasin,

Denpasar, dan Makassar;

• 1 (satu) Balai Pengkajian dan Penerapan Teknik Produksi di

Bengkulu.

Terkait dengan tugas dan fungsi Puslatmas sebagai lembaga pelatihan, Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa telah mengamanatkan bahwa desa berperan besar terhadap misi Indonesia yang berdaulat, sejahtera dan bermartabat. Desa memiliki kewenangan untuk mengelola daerahnya sendiri sesuai kebutuhan masyarakat. Pengelolaan kekayaan sumber daya desa harus dilakukan oleh masyarakat sesuai kearifan lokal yang dihargai dan diakui oleh negara. Untuk menjadikan desa atau kawasan perdesaan menjadi desa atau kawasan perdesaan yang berkembang menuju kemandirian, kemajuan, dan kesejahteraan diperlukan pendekatan pembangunan yang menuntut adanya peran serta masyarakat, karena masyarakat merupakan pelaku pembangunan tersebut. Oleh karenanya, sumber daya manusia masyarakat desa memegang peran yang sangat penting dalam pembangunan desa.

Sumber daya manusia masyarakat desa mencakup perangkat desa, tokoh masyarakat, kelembagaan masyarakat, dan masyarakat desa sendiri dalam arti sebenarnya. ‘SDM masyarakat’ tersebut haruslah terampil, kompeten, produktif. Perangkat desa harus mampu mengelola pemerintahan desa dalam kerangka

(6)

6

otonomi desa secara akuntabel, transparan, efektif, efisien dilengkapi sikap mental pelayan publik yang profesional. Di sisi lain, masyarakat yang dilayani juga dituntut untuk terampil, kompeten, produktif dalam mengelola potensi sumber daya wilayah yang ada demi kesejahteraan masyarakat serta kemajuan desa. Akan tetapi masyarakat desa masih memiliki kendala dalam memberdayakan dirinya karena ketidakmampuan secara ekonomi, maupun secara akses dalam meningkatkan pengetahuan dan keterampilan. Di sinilah peran lembaga pelatihan sangat dibutuhkan sebagai fasilitator untuk meningkatkan kompetensi masyarakat desa dalam mencapai pemberdayaan.

Secara legalitas Pusat Pelatihan Masyarakat sebagai salah satu lembaga Unit Eselon II di Kementerian Desa PDTT telah memiliki dasar hukum untuk melaksanakan tugas atau kewenangan di bidang pendidikan dan pelatihan masyarakat, serta kerja sama di bidang pemberdayaan masyarakat desa, pembangunan daerah tertinggal, dan transmigrasi. Demikian pula, dari aspek sumber daya, keberadaannya telah dilengkapi dengan unit teknis berupa UPTP-UPTP sebagai pelaksana teknis kebijakan. Namun demikian, pemenuhan terhadap aspek kewenangan dan sumberdaya serta kemampuan untuk melaksakan tugas operasional, tidak dapat menjamin bahwa sebuah lembaga yang baru dibentuk memiliki kapasitas untuk mencapai tujuannya.

Kapasitas lembaga seringkali dibicarakan dalam konteks peningkatan kapasitas atau pengembangan kapasitas. Antwi dan Analoui (2008) dalam jurnal

(7)

7

yang ditulis oleh Krishnaveni dan R. Sujatha (2013:17) menjelaskan bahwa ketiadaan kapasitas dalam suatu lembaga, memerlukan peningkatan kapasitas (capacity building); oleh karena itu, peningkatan kapasitas yang efektif harus didahului dengan penilaian kapasitas yang ada pada saat ini. Adapun terkait dengan pengembangan kapasitas (capacity building), Grindle (1997:5) mengemukakan bahwa : capacity building merupakan serangkaian strategi yang bertujuan untuk meningkatkan efisiensi, efektivitas dan responsivitas yang selanjutnya difokuskan pada dimensi 1) pengembangan sumber daya manusia, 2) penguatan organisasi, dan 3) reformasi kelembagaan. Ketiga dimensi tersebut selanjutnya diperinci oleh Grindle melalui fokus capacity building dan aktivitas-aktivitas tertentu terkait dengan ketiga dimensi di atas, yang dapat dilihat sebagai inisiatif suatu lembaga dalam rangka meningkatkan kapasitas kelembagaannya.

Pemahaman kapasitas lembaga dalam konteks “pengembangan” dalam teorisasi Grindle, digunakan dalam penelitian Ryan Nursanti Nugraheni dalam Tesis Magister Administrasi Publik Universitas Gadjah Mada Yogyakarta Tahun 2014 berjudul “Pengembangan Kapasitas Kelembagaan Dalam Penanggulangan Kemiskinan di Kabupaten Sragen Melalui Pembentukan Unit Pelayanan Terpadu Penanggulangan Kemiskinan (UPTPK)”. Penelitian tersebut menganalisis mengenai kapasitas lembaga UPTPK Kabupaten Sragen dalam rangka penanggulangan kemiskinan, dengan titik berat pada variabel kepemimpinan, struktur organisasi, program, sumberdaya serta kapasitas koordinasi. Teorisasi

(8)

8

yang digunakan adalah penyimpulan dari konsep capacity building yang dikemukakan oleh Grindle (1997) dan strategi pengembangan kapasitas Eade dalam Nugraha (2004:188) yang melihat bahwa pengembangan kapasitas organisasi sejalan dengan konsep pengembangan kelembagaan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kapasitas lembaga UPTPK cenderung kuat pada variabel kepemimpinan, sumberdaya manusia, program yang inovatif, pembagian kewenangan yang jelas dalam struktur organisasi dan kapasitas koordinasi yang baik.

Teorisasi Grindle merupakan kerangka konseptual yang paling umum digunakan dalam melihat kapasitas lembaga. Penelitian lain tentang kapasitas oleh Karnaeni (2014) juga mengacu pada konsep tersebut. Dalam jurnal berjudul “Peningkatan Kapasitas Fungsi Penelitian Dan Pengembangan Inovasi di Daerah (Studi Kasus pada Badan Penelitian dan Pengembangan Daerah Provinsi Sulawesi Selatan)” yang diterbitkan dalam Jurnal Administrasi Negara No.20 Tanggal 1 April 2014, Guntur Karnaeni dari Sekolah Tinggi Ilmu Administrasi Negara Lembaga Administrasi Negara, menganalisis pengembangan kapasitas fungsi kelitbangan dan inovasi daerah pada Balitbangda Sulawesi Selatan dalam konteks pengembangan berdasarkan dimensi dan fokus capacity building. Penilaian kapasitas dalam penelitian tersebut meliputi aspek kebijakan dan sistem kelitbangan, organisasi/kelembagaan, sumber daya manusia.

(9)

9

Aspek infrastruktur dan sumber daya manusia menjadi fokus dalam penelitian lain mengenai kapasitas lembaga. Douglas S. Franklin dari Ohio University dalam Jurnal berjudul "Leveraging Institutional Capacity through

Research Based Evaluation : A Case Study” yang diterbitkan dalam Procedia

Social and Behavioral Science Journals Edisi 174 Tahun 2014, mengemukakan

hasil penelitian pada sebuah sekolah tinggi untuk melihat kapasitas organisasi dari aspek sumber daya dan infrastruktur. Analisis terhadap kapasitas organisasi dilakukan dalam dua tahap, yakni tahapan yang pertama pada kualitas sumber daya manusia (tingkat pendidikan guru) dan identifikasi potensi sumber daya manusia. Tahap yang kedua adalah pengembangan yang dicapai melalui

workshop (pelatihan) yang diselaraskan dengan harapan yang akan dicapai

organisasi. Dalam penelitian tersebut diperoleh temuan bahwa kapasitas infrastruktur yang terbatas menghambat pencapaian akademis, sehingga disarankan agar organisasi melakukan evaluasi secara formal untuk kemudian memastikan bahwa fasilitas dapat memenuhi kebutuhan SDM organisasi. Penelitian Franklin bertitik berat pada penilaian kapasitas berdasarkan sumber daya manusia dan bagaimana pengembangannya. Sedangkan infrastruktur dianggap sebagai sarana pendukung dalam pengembangan kapasitas sumberdaya manusia tersebut.

Penelitian-penelitian di atas, umumnya menghasilkan variabel-variabel sumber daya, kebijakan dan organisasi yang menjadi bagian penting sebuah

(10)

10

institusi untuk dapat menjalankan perannya secara maksimal. Namun demikian, analisis terhadap kapasitas lembaga tidak cukup hanya dengan menilai ketersediaan sumber daya, baik dipahami sebagai infrastruktur, atau proses operasionalnya saja. Baik sumber daya manusia, sumber daya fisik dan sumber daya keuangan, ketiganya menjadi masukan bagi lembaga untuk dapat menjalankan proses operasional.

Selain aspek sumberdaya, penilaian kapasitas suatu lembaga dapat dilakukan secara lebih mendalam melalui beberapa tingkatan analisis. Yulia Tri Wibawati dalam Tesis Magister Administrasi Publik Universitas Gadjah Mada Yogyakarta Tahun 2015 berjudul “Kapasitas Badan Usaha Milik Desa Dalam Pengelolaan Potensi Desa, Studi Pada Bumdes Desa Bleberan Kecamatan Playen Kabupaten Gunung Kidul dalam Pengelolaan Potensi Wisata Desa”, menganalisis mengenai kapasitas organisasi Badan Usaha Milik Desa (Bumdes) dalam konteks pengembangan potensi pariwisata berbasis masyarakat penelitian berdasarkan tingkatan analisis yang diklasifikasikan berdasarkan lingkup operasional yakni dalam tataran individu, sistem dan organisasi. Teorisasi yang digunakan mengacu pada level penguatan kapasitas yang diterbitkan Lembaga Teknis Jerman Gesellschaft für Technische Zusammenarbeit (GTZ) dalam GTZ SDM Support for Decentralization Measures Guidelines on Capacity Building in the Regions (2005) yang menyebutkan bahwa terdapat tiga tingkatan atau level fokus analisis

(11)

11

dan proses perubahan dalam organisasi yakni : tingkatan sistem/kebijakan, tingkatan organisasi/lembaga dan tingkatan individu/sumberdaya manusia.

Penelitian terdahulu mengenai kapasitas lembaga yang telah dikemukakan di atas, memberikan beberapa sudut pandang mengenai penilaian kapasitas lembaga. Secara umum, dalam jurnal maupun tesis yang dipublikasikan dalam kurun waktu terakhir, berusaha menunjukkan keterkaitan antara unsur internal dan eksternal organisasi, baik dari aspek sumber daya ataupun proses operasional. Penelitian-penelitian tersebut juga menunjukkan keterkaitan antara beberapa tingkatan dalam menganalisis kapasitas organisasi, misalnya kapasitas individu, sistem/kebijakan dan organisasi, yang selanjutnya dapat dirinci menjadi indikator-indikator tertentu.

Namun demikian, suatu lembaga belum tentu dapat mendukung tercapainya tujuan pembangunan dalam konteks nasional hanya dengan kepemilikan sumberdaya dan pelaksanaan tugas operasionalnya saja. Lebih-lebih dengan mempertimbangkan besarnya beban tugas dan tantangan kementerian Desa PDTT, Puslatmas tidak cukup sekedar melaksanakan tugas operasional organisasi. Penilaian kapasitas lembaga harus mampu menjawab apakah lembaga ini memiliki daya dukung untuk dapat berkembang menjadi lebih kuat, lebih baik atau lebih dapat bertahan sesuai dengan tuntutan perkembangan lingkungan eksternal di kemudian hari. Idealnya, dengan didukung aspek kepemimpinan, pengembangan pengetahuan dan akuntabilitas, Puslatmas dituntut untuk

(12)

12

memaksimalkan kapasitas kelembagaannya dalam rangka mengimplementasikan tugas-tugas guna mencapai tujuan kementerian.

Tesis ini berusaha untuk menambahkan sudut pandang baru bagi penelitian yang terkait dengan kapasitas lembaga, dengan menggunakan objek penelitian yang berbeda, yakni Pusat Pelatihan Masyarakat (Puslatmas) sebagai lembaga pemerintah yang baru terbentuk. Dengan demikian, kapasitas lembaga dapat dinilai sesuai dengan bagian-bagian dari proses yang terjadi dalam lembaga tersebut, yakni : input, output, outcome dan impact. Hal tersebut bertujuan untuk melihat bagaimana kapasitas lembaga pada setiap tingkatan akan berpengaruh terhadap proses selanjutnya. Penelitian pada sebuah lembaga yang baru terbentuk, dalam hal ini adalah Puslatmas, dapat berfungsi sebagai sarana monitoring dan evaluasi di tingkat awal atau starting point bagi upaya peningkatan kapasitas kelembagaan. Di sisi lain, kekurangan-kekurangan yang ditemui dalam lembaga yang diteliti, akan menjadi masukan bagi kebijakan pemerintah di masa yang akan datang, dalam hal pembentukan sebuah lembaga baru yang diharapkan dapat berperan lebih optimal.

B. Rumusan Masalah

Keberadaan Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi merupakan upaya Pemerintah untuk mewujudkan pemberdayaan masyarakat desa, yang salah satunya hendak dicapai dengan tugas fungsi dari Puslatmas. Karenanya, kapasitas kelembagaan Puslatmas menjadi penting untuk

(13)

13

dianalisis, terlebih dengan adanya perubahan struktur organisasi kementerian dengan penggabungan tiga sektor yang menangani SDM masyarakat, yaitu desa, daerah tertinggal, dan transmigrasi ke dalam Kementerian Desa PDTT, yang menyebabkan target Puslatmas diarahkan bagi target grup yang sangat luas, yaitu masyarakat yang bermukim di lokasi cakupan ketiga sektor tersebut ; desa dan kawasan perdesaan, daerah tertinggal dan daerah tertentu, serta permukiman transmigrasi dan kawasan transmigrasi. Dalam menghadapi tantangan tersebut, Puslatmas tidak cukup hanya sekedar menjalankan tugas opersasional berdasarkan legalitas dan sumber daya yang dimiliki, namun perlu diketahui apakah lembaga tersebut memiliki kapasitas yang cukup untuk mendukung tercapainya pemberdayaan masyarakat. Untuk itu, perlu dikaji lebih lanjut mengenai kapasitas lembaga Pusat Pelatihan Masyarakat dalam mendukung pemberdayaan masyarakat Desa/kawasan perdesaan, daerah tertinggal/daerah tertentu, dan permukiman transmigrasi/kawasan transmigrasi.

Adapun rumusan permasalahan tersebut akan dijawab melalui pertanyaan penelitian sebagai berikut :

Bagaimanakah unsur-unsur kapasitas lembaga Puslatmas pada level input dan output dalam mendukung pemberdayaan masyarakat?

(14)

14

C. Tujuan Penelitian

Sesuai dengan rumusan masalah di atas maka tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui kapasitas kelembagaan Pusat Pelatihan Masyarakat (Puslatmas) melalui variabel-variabel pada level input dan output, dalam mendukung peran lembaga Puslatmas untuk mencapai pemberdayaan masyarakat Desa.

D. Manfaat Penelitian

Secara teoritis hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah referensi ilmu pengetahuan dengan topik kapasitas lembaga, dalam hal ini khususnya kegiatan pemberdayaan masyarakat desa melalui kebijakan-kebijakan pelatihan masyarakat yang disusun oleh Pusat Latihan Masyarakat (Puslatmas) dan dilaksanakan oleh unit-untit teknis Balai Latihan Masyarakat, Kementerian Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi. Hasil penelitian ini juga diharapkan dapat menunjukkan kapasitas lembaga pelatihan sebagai salah satu unsur penting dalam pemberdayaan masyarakat desa. Di sisi lain, hasil dan rekomendasi penelitian dapat digunakan sebagai sarana evaluasi bagi keberadaan lembaga tersebut, serta digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam penyusunan atau perbaikan rencana strategis bagi lembaga yang terkait.

Referensi

Dokumen terkait

Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Kuasa atas rahmatNya dan bimbingan-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan berjudul “Pengaruh Ekstrak Air Herba

Figur Rano Karno yang kapasitasnya sebagai incumbent, Wahidin Halim yang dianggap memiliki pengalaman birokrasi dan politik yang sangat matang, Andika Hazrumy

Salah satu komponen teknologi yang memiliki peran nyata dalam meningkatkan produksi dan kualitas hasil komoditas pertanian adalah varietas unggul, diantaranya

[r]

satu cara paling mudah yang bisa kita lakukan untuk melestarikan budaya batik pada. siswa adalah dengan memakainya di

Sistem PLS KNN-SVM yang diaplikasikan pada data Microarray Breast Cancer cenderung kecil dengan nilai rata-rata 56.16% , walaupun dengan reduksi dimensi PLS nilai akurasi lebih

(2) Dalam hal terjadi penghapusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemohon mengajukan permohonan penghapusan sertifikat Jaminan Fidusia secara tertulis kepada Menteri. surat

Dinas Pelayanan Pajak merupakan pelaksana Pemerintah Daerah yang diberikan tugas untuk melakukan pemungutan pendapatan daerah dan mengadakan pelayanan pajak daerah