• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. pembentukan lapisan tanduk secara terus-menerus (keratinisasi dan pelepasan selsel

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA. pembentukan lapisan tanduk secara terus-menerus (keratinisasi dan pelepasan selsel"

Copied!
18
0
0

Teks penuh

(1)

6 BAB II

TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kulit

Kulit merupakan “selimut” yang menutupi permukaan tubuh dan memiliki fungsi utama sebagai pelindung dari berbagai macam gangguan dan rangsangan luar. Fungsi perlindungan ini terjadi melalui sejumlah mekanisme biologis, seperti pembentukan lapisan tanduk secara terus-menerus (keratinisasi dan pelepasan sel-sel yang sudah mati), respirasi dan pengaturan suhu tubuh, produksi sebum dan keringat, dan pembentukan pigmen melanin untuk melindungi kulit dari bahaya sinar ultraviolet matahari, sebagai peraba dan perasa, serta pertahanan terhadap tekanan dan infeksi dari luar (Tranggono dan Latifah, 2007).

Kulit terbagi atas dua lapisan utama, yaitu:

a) Epidermis (kulit ari), sebagai lapisan yang paling luar b) Dermis (korium, kutis, kulit jangat).

Dibawah dermis terdapat Subkutis atau jaringan lemak bawah kulit (Tranggono dan Latifah, 2007).

Dari sudut kosmetik, epidermis merupakan bagian kulit yang menarik karena kosmetik dipakai pada epidermis itu.Meskipun ada beberapa jenis kosmetik yang digunakan sampai ke dermis, namun tetap penampilan epidermis yang menjadi tujuan utama (Tranggono dan Latifah, 2007).

2.2 Fungsi Kulit

Fungsi kulit adalah sebagai sawar utama antara tubuh dan lingkungan hidup yang terdiri atas berbagai macam agen, baik fisik maupun kimia seperti tekanan, tarikan, goresan, kelembaban, panas, dingin, zat kimia, jasad renik, dan

(2)

7

lainnya yang dapat menimbulkan kerusakan pada jaringan kulit. Radiasi solar adalah agen fisik utama yang dapat membahayakan kulit kita.Kerusakan kulit tersebut terjadi akibat adanya komponen sinar ultraviolet dari sinar matahari yang mencapai bumi kita (Wasitaatmadja, 1997).

Ada dua macam komponen sinar ultraviolet yang mencapai bumi, yaitu UVA (320-400 nm) dan UVB (290-320 nm). UVB merupakan komponen yang mempunyai daya rusak tinggi pada kulit, sedangkan UVA lebih condong dapat merusak kulit dengan bantuan fotosinsitizer kimia baik alami maupun sintesis yang terdapat pada kulit (Wasitaatmadja, 1997).

2.3 Tabir Surya

Sediaan tabir surya adalah sediaan kosmetika yang digunakan untuk maksud memantulkan atau menyerap secara efektif cahaya matahari, terutama daerah emisi gelombang ultraviolet dan inframerah, sehingga dapat mencegah terjadinya gangguan kulit karena cahaya matahari (Ditjen POM, 1985).

Ada 2 macam tabir surya, yaitu :

1. Tabir surya kimia, meliputi PABA, PABA ester, benzofenon, salisilat, antranilat, yang dapat mengabsorbsi hampir 95% radiasi sinar UVB yang dapat menyebabkan sunburn (eritema) dan menghalangi UVA penyebab direct tanning, kerusakan sel elastin, actinitic skin damage, dan timbulnya kanker kulit.

2. Tabir surya fisik, misalnya titanium dioksida, Mg silikat, seng oksida, red petrolatum dan kaolin, yang dapat memantulkan sinar. Tabir surya fisik dapat menahan UVA maupun UVB (Wasitaatmadja, 1997).

(3)

8

Untuk mengoptimalkan kemampuan dari tabir surya sering dilakukan kombinasi antara tabir surya kimia dan tabir surya fisik, bahkan ada yang menggunakan beberapa macam tabir surya dalam satu sediaan kosmetik (Wasitaatmadja, 1997).

Kemampuan menahan sinar ultraviolet dari tabir surya dinilai dalam faktor proteksi sinar (Sun Protecting Factor/SPF) yaitu perbandingan antara dosis minimal yang diperlukan untuk menimbulkan eritema pada kulit yang diolesi tabir surya dengan yang tidak. Nilai SPF ini berkisar antara 0 sampai 100, dan kemampuan tabir surya yang dianggap baik berada di atas 15. Pathak membagi tingkat kemampuan tabir surya sebagai berikut :

1. Minimal bila SPF antara 2-4, contoh salisilat, antranilat. 2. Sedang, bila SPF antara 4-6, contoh sinamat, benzofenon. 3. Ekstra, bila SPF antara 6-8, contoh derivat PABA.

4. Maksimal, bila SPF antara 8-15, contoh PABA

5. Ultra, bila SPF lebih dari 15, contoh kombinasi PABA, non PABA,dan Fisik (Wasitaatmadja, 1985).

Tabel 2.1 Tabir surya yang diizinkan untuk digunakan Bahan aktif tabir surya Konsentrasi

Maksimum % (Amerika Serikat) Konsentrasi Maksimum % (Komunitas Ekonomi Eropa) Asam aminobenzoat 15 5 Avobenzon 3 5 Sinosat 3 10 Dioksibenzon 3 10 Homosalat 15 10 Maradimat (Mentil antranilat) 5 - Oktotrilen (etilheksil 2-siano-3,3-difenilakrilat 10 10 Oktinosat (Oktil metoksisinamat) 7,5 10

(4)

9

Oktisalat (Oktil salisilat) 5 5

Oksibenzon 6 10

Padimat O 8 8

Ensulizol (Asam sulfonat fenilbenzimidazol) 4 8 Sulisobenzon 10 - Titanium dioksida 25 - Trolamin salisilat (Trietanolamin salisilat) 12 - Zink oksida 25 - (Sumber : Rieger, 2000).

2.4 Proteksi Terhadap Ultraviolet

Perlindungan dari paparan radiasi UV menyebabkan penurunan risiko untuk perkembangan kanker kulit. Oleh karena itu, fotoproteksi optimal secara teratur menggunakan tabir surya, mengenakan pakaian pelindung, termasuk menghindari paparan UV jika dimungkinkan. Rekomendasi untuk fotoproteksi yang mencakup ketiga pendekatan ini paling efektif dalam mengurangi resiko kanker kulit. Tabir surya bekerja terutama melalui dua mekanisme: (i) menghamburkan dan refleksi energi UV, dan (ii) penyerapan energi UV. Banyak tabir surya saat ini mengandung bahan-bahan yang bekerja melalui kedua mekanisme baik dalam hal perlindungan UV. Faktor yang paling penting untuk menentukan efektivitas tabir surya adalah Sun Protection Factor (SPF).

Pengukuran SPF menunjukkan kemampuan tabir surya untuk mencegah terjadinya eritema pada paparan radiasi UV, terutama UVB. Nilai SPF didefinisikan sebagai perbandingan energi UVB yang dibutuhkan untuk menghasilkan eritema minimal pada kulit yang dilindungi dengan eritema yang sama pada kulit yang tidak dilindungi dalam individu yang sama. Untuk contoh, seorang individu menggunakan tabir surya SPF 4 akan mengambil empat kali lebih lama untuk mengalamai eritema pada kutan ketika terpapar radiasi UVB,

(5)

10

dibandingkan dengan ketika individu tidak memiliki perlindungan. Food and Drug Administration (FDA) yang mengawasi pemasaran dan distribusi produk-produk tabir surya di Amerika Serikat, menyarankan bahwa tabir surya harus menyediakan setidaknya nilai SPF 2. Kebanyakan di pasaran tersedia produk tabir surya memiliki nilai SPF yang melebihi perlindungan minimum. Nilai SPF tabir surya terutama mengukur kemampuan untuk melindungi terhadap radiasi UVB dan tidak cukup mengatasi efek UVA (Draelos, 2006).

2.5 Sun Protecting Factor (SPF)

Efektivitas dari suatu sediaan tabir surya dapat ditunjukkan salah satunya adalah dengan nilai sun protecting factor (SPF), yang didefinisikan sebagai jumlah energi UVB yang dibutuhkan untuk mencapai minimal erythema dose (MED) pada kulit yang dilindungi oleh suatu tabir surya, dibagi dengan jumlah energi UVB yang dibutuhkan untuk mencapai MED pada kulit yang tidak diberikan perlindungan (Wood et al, 2000; Wolf et al, 2001).

Minimal erythema dose (MED) didefinisikan sebagai waktu jangka waktu terendah atau dosis radiasi sinar UV yang dibutuhkan untuk menyebabkan terjadinya erythema (Wood et al, 2000; Wolf et al, 2001).

Secara sederhana SPF dapat dirumuskan sebagai berikut : SPF = minimal erythema dose in sunscreen protected skin minimal erythema dose in nonsuscreen protected skin

Pengukuran nilai SPF suatu sediaan tabir surya dapat dilakukan secara in vitro. Metode pengukuran nilai SPF secara in vitro secara umum dibagi dalam dua tipe. Tipe pertama adalah dengan cara mengukur serapan atau transmisi radiasi UV melalui lapisan produk tabir surya pada plat kuarsa atau biomembran. Tipe

(6)

11

yang kedua adalah dengan menentukan karakteristik serapan tabir surya menggunakan analisis secara spektrofotometri larutan hasill pengenceran dari tabir surya yang diuji (Fourneron et al, 1999; Gordon, 1993; Mansur et al, 1986; Pissavini et al, 2003; Walters et al, 1997).

Mansur (1986), mengembangkan suatu persamaan matematis untuk mengukur nilai SPF secara in vitro dengan menggunakan spektrofotometer. Persamaannya adalah sebagai berikut :

SPF = CF x x EE x I Dimana : EE = Spektrum efek eritemal

I = Intensitas spektrum sinar Abs = Serapan produk tabir surya CF = Faktor koreksi (= 10)

Tabel 2.2 Ketetapan nilai EE x I (Sayre et al, 1979)

Panjang gelombang (nm) Nilai EE x I

290 0,0150 295 0,0817 300 0,2874 305 0,3278 310 0,1864 315 0,0839 320 0,0180 2.6 Avobenzone

Avobenzone atau dikenal dengan nama lain yaitu Butil Metoksidibenzoilmetan disetujui untuk digunakan oleh FDA pada tahun 1997, merupakan serbuk putih yang larut dalam minyak yang menunjukkan baik pada absorbansi UVA (lamda maks. 358). Avobenzone dapat digunakan sendiri atau dapat dikombinasikan dengan tabir surya lain, seperti :

(7)

12

• Dietanolamin metoksisinamat (saat ini tidak disetujui FDA) • Dioksibenzone • Oktokrilene • Oktinosat • Oktisalat • Oksibenzone • Sulisobenzone

• Trolamin Salisilat (Rieger, 2000).

Gambar 2.1 Rumus bangun Avobenzone (Sumber : USP 32- NF 27, 2009). 2.7 Oktil Metoksisinamat

Oktil metoksisinamat adalah bahan yang paling banyak digunakan dalam sediaan tabir surya. Oktil metoksisinamat tergolong dalam tabir surya kimia yang melindungi kulit dengan cara menyerap energi dari radiasi UVB dan mengubahnya menjadi energi panas. Senyawa-senyawa golongan ini menyerap radiasi UVB dan mengubahnya ke dalam bentuk radiasi dengan panjang gelombang yang lebih besar. Radiasi yang diserap senyawa ini menyebabkan molekulnya tereksitasi ke bentuk yang memiliki energi lebih besar daripada ground state. Dan ketika molekul yang tereksitasi ini kembali ke keadaan ground state, energi diemisikan dalam bentuk yang lebih rendah daripada energi yang diserap. Energi ini diemisikan dalam bentuk panjang gelombang yang lebih besar.

(8)

13

2-etilheksil 4-metoksisinamat atau oktinosat adalah senyawa golongan sinamat yang menyerap sinar pada panjang gelombang 290-320 nm pada daerah UVB. Saat terekspos ke cahaya, oktilmetoksisinamat berubah menjadi bentuk yang memiliki kemampuan absorbsi lebih rendah (dari bentuk trans- menjadi bentuk cis-) sehingga menurunkan efektifitasnya (Barel et al, 2001).

Gambar 2.2 Rumus bangun Oktil Metoksisinamat (Sumber :Merck Index, 2001). 2.8 Emulgel

Emulgel adalah emulsi, baik itu tipe minyak dalam air (M/A) maupun air dalam minyak (A/M), yang dibuat menjadi sediaan gel dengan mencampurkan bahan pembentuk gel (Mohamed, 2004; Jain et al, 2010; Bhanu et al, 2011). Sedangkan emulsi adalah suatu sistem yang tidak stabil secara termodinamika yang mengandung paling sedikit dua fase cair yang tidak bercampur, dimana satu diantaranya didispersikan sebagai globul-globul dalam fase cair lain (Martin et al, 1993). Fase tersebut terdiri atas fase hidrofil, umumnya adalah air, dan fase lipofil (hidrofob) yaitu minyak mineral, minyak tumbuhan, atau pelarut lipofil seperti kloroform, benzene, dan sebagainya. Untuk menstabilkan emulsi dibutuhkan emulgator atau bahan pengemulsi (Voight, 1995).

Emulsi sering digunakan sebagai bentuk sediaan topikal karena memiliki tingkat elegan tertentu dan dapat dengan mudah dicuci dengan air kapanpun bila diinginkan. Emulsi juga memiliki kemampuan penetrasi yang tinggi dalam menembus lapisan kulit. Selain itu, peneliti dapat dengan mudah mengatur

(9)

14

penampilan, kelicinan, dan kekentalannya untuk dibuat suatu sediaan emulsi kosmetik atau dermatologis (Mohamed, 2004).

Terdapat dua tipe emulsi sederhana, yaitu emulsi air dalam minyak (A/M) dan emulsi minyak dalam air (M/A). Emulsi air dalam minyak terbentuk bila medium pendispersi/fase kontinu/fase luar adalah minyak dan fase terdispersi/fase dalam adalah air, sedangkan emulsi minyak dalam air merupakan minyak sebagai fase dalam didispersikan didalam fase kontinu air (Martin et al, 1993). Baik emulsi minyak dalam air atau air dalam minyak telah banyak digunakan sebagai bahan pembawa untuk menghantarkan obat melalui rute pemberian topikal (Mohamed, 2004). Namun emulsi minyak dalam air merupakan tipe emulsi yang paling banyak digunakan karena lebih mudah dihilangkan dari kulit serta tidak mengotori pakaian. Basis ini disebut dengan basis tercuci. Kerugian dari basis ini adalah air dapat menguap serta bakteri dan jamur lebih mudah tumbuh sehingga memerlukan pengawet (Panwar et al, 2011).

Pada emulgel, emulsi dicampurkan kedalam basis gel yang telah dibuat secara terpisah. Kapasitas gel dari sediaan emulgel membuat formulasi emulsi menjadi lebih stabil karena adanya penurunan tegangan permukaan dan tegangan antar muka secara bersamaan dengan meningkatnya viskositas dari fase air (Khullar et al, 2012). Emulgel memilki karakteristik yang dimiliki oleh suatu sediaan emulsi dan gel sehingga memiliki tingkat penerimaan oleh pasien yang tinggi. Oleh karena itu emulgel saat ini telah banyak digunakan sebagai pembawa dalam sediaan topikal (Panwar et al, 2011).

Dibandingkan dengan sediaan lain, emulgel memiliki beberapa kelebihan, yaitu :

(10)

15

a. Dapat membawa obat yang bersifat hidrofobik dan tidak larut air. Obat-obat hidrofobik tidak dapat dicampurkan secara langsung kedalam basis gel biasa karena kelarutan menjadi penghalang utama dan menjadi masalah ketika obat akan dilepaskan. Emulgel membantu mencampurkan obat hidrofobik kedalam fase minyak lalu globul minyak tersebut didispersikan dalam fase air dengan mencampurkannya pada basis gel

b. Stabilitas yang lebih baik. Sediaan transdermal/topikal lain memiliki stabilitas yang lebih rendah bila dibandingkan dengan emulgel. Misalnya sediaan serbuk bersifat higroskopis, krim yang menunjukkan inversi fase atau breaking dan salep dapat menjadi tengik karena menggunakan basis berminyak.

c. Kapasitas penyerapan obat lebih baik bila dibandingkan dengan sistem partikulat seperti niosom dan liposom. Niosom dan liposom yang berukuran nano dan merupakan struktur vesikular dapat terjadi kebocoran sehingga dapat menyebabkan efisiensi penyerapan yang lebih rendah. Sedangkan gel yang merupakan konstituen dengan jaringan yang lebih luas dapat menyerap obat lebih baik.

d. Memungkinkan biaya produksi yang lebih rendah. Pembuatan emulgel terdiri dari tahapan yang pendek dan sederhana sehingga memungkinkan untuk diproduksi. Tidak ada alat khusus yang dibutuhkan untuk memproduksi emulgel. Selain itu, bahan yang digunakan merupakan bahan yang mudah dijangkau secara ketersediaan dan ekonomis.

e. Tidak memerlukan proses sonikasi yang intensif. Dalam membuat molekul vesikular memerlukan sonikasi yang dapat menyebabkan kebocoran atau

(11)

16

degradasi obat. Namun, permasalahan ini tidak ditemui ketika membuat emulgel karena tidak memerlukan sonikasi.

f. Emulgel dapat dibuat menjadi sediaan lepas terkendali untuk obat-obat dengan waktu paruh pendek (Panwar et al, 2011).

Emulgel dibuat dengan mencampurkan emulsi dengan gel dengan perbandingan tertentu.Bahan tambahan yang biasa digunakan dalam pembuatan emulgel adalah gelling agent yang dapat meningkatkan viskositas, emulsifying agent untuk menghasilkan emulsi yang stabil, humektan dan pengawet. Syarat sediaan emulgel sama seperti syarat untuk sediaan gel, yaitu untuk penggunaan dermatologi harus mempunyai syarat sebagai berikut : tiksotropik, mempunyai daya sebar yang mudah melembutkan, dapat bercampur dengan beberapa zat tambahan (Mohamed, 2004).

Emulgel merupakan emulsi, baik minyak dalam air (m/a) maupun air dalam minyak (a/m) yang dicampurkan bersama agen pembentuk gel sehingga membentuk emulgel.Bentuk sediaan emulgel lebih disukai oleh pasien karena memiliki keuntungan sifat emulsi dan gel. Oleh karena itu, emulgel digunakan sebagai pembawa berbagai macam obat pada kulit (Mohamed, 2004).

2.9 Teori Emulsifikasi

Beberapa teori emulsifikasi berikut menjelaskan bagaimana zat pengemulsi bekerja dalam menjaga stabilitas dari dua zat yang tidak saling bercampur:

a. Adsorpsi Monomolekuler

Surfaktan, atau amfifil, mengurangi tegangan antarmuka karena adsorpsinya pada antarmuka minyak-air membentuk selaput monomolekuler.

(12)

17

Tetesan terdispersi dilapisi oleh suatu lapisan tunggal koheren yang membantu mencegah penggabungan antara dua tetesan ketika satu sama lain mendekat. Idealnya, lapisan selaput tersebut bersifat fleksibel sehingga mampu membentuk kembali dengan cepat jika pecah atau terganggu. Efek lain yang meningkatkan stabilitas adalah adanya muatan permukaan yang akan menyebabkan tolak-menolak antara partikel-partikel yang berdekatan (Sinko, 2006).

Pada praktiknya, sekarang ini kombinasi bahan pengemulsi lebih sering digunakan daripada pengemulsi tunggal dalam pembuatan emulsi. Pada tahun 1940, Schulman dan Cockbain untuk pertama kalinya mengetahui perlunya pengemulsi hidrofilik terutama dalam fase air dan bahan hidrofobik dalam fase minyak untuk membentuk suatu selaput kompleks pada antarmuka. Tiga campuran bahan pengemulsi pada antarmuka minyak-air digambarkan pada Gambar 2.3. Kombinasi natrium setil sulfat dan kolesterol menyebabkan terbentuknya suatu selaput kompleks Gambar 2.3a, yang menghasilkan emulsi yang sangat baik. Natrium setil sulfat dan oleil alkohol zat tunggal tidak membentuk selaput yang terkondensasi atau tersusun rapat Gambar 2.3, dan karenanya, kombinasi keduanya menghasilkan emulsi yang tidak baik. Pada Gambar 2.3c, setil alkohol dan natrium oleat menghasilkan selaput yang tersusun rapat, tetapi kompleksasinya terabaikan sehingga juga menghasilkan suatu emulsi yang buruk.

Atlas – ICI menganjurkan untuk mengkombinasi Tween yang hidrofilik dengan Span yang lipofilik, dengan memvariasikan perbandingannya untuk menghasilkan emulsi m/a atau a/m yang diinginkan. Boyd dkk membahas penggabungan molekular Tween 40 dan Span 80 dalam menstabilkan emulsi.

(13)

18

Pada Gambar 2.4, bagian hidrokarbon molekul Span 80 (Sorbitan monoleat) berada dalam globul minyak dan radikal sorbitan berada dalam fase air. Kepala sorbitan yang besar pada molekul Span mencegah ekor-ekor hidrokarbon bergabung rapat dalam fase minyak. Ketika Tween 40 (polioksietilen sorbitan monopalmitat) ditambahkan, senyawa ini mengarah pada antarmuka dengan ekor hidrokarbonnya berada dalam fase minyak, sedangkan sisa rantainya, bersama dengan cincin sorbitan dan rantai polioksietilen, berada dalam fase air.Rantai hidrokarbon molekul Tween 40 teramati berada dalam globul minyak diantara rantai-rantai Span 80, dan orientasi ini menghasilkan tarik-menarik van der Waals yang efektif. Dengan cara ini, selaput antarmuka diperkuat dan stabilitas emulsi m/a ditingkatkan terhadap penggabungan partikel (Sinko, 2006).

Gambar 2.3 Gambaran kombinasi bahan pengemulsi pada antarmuka minyak-air suatu emulsi (Martin et al, 1993).

(14)

19

Gambar 2.4 Skema tetesan minyak dalam emulsi minyak-air, menunjukkan orientasi molekul Tween dan Span pada antarmukanya (Martin et al, 1993).

Tipe emulsi yang dihasilkan, m/a atau a/m, terutama bergantung pada sifat bahan pengemulsi. Karakteristik ini disebut sebagai kesimbangan hidrofil-lipofil (hydrophile-lipophile balance, HLB). Surfakatan merupakan suatu pengemulsi, bahan pembasah, detergen, atau bahan pelarut dapat diperkirakan dari harga HLB (Sinko, 2006).

b. Adsorpsi Multimolekuler dan Pembentukan Selaput

Koloid lipofilik terhidrasi telah digunakan selama bertahun-tahun sebagai bahan pengemulsi, meskipun penggunaannya menurun karena saat ini banyak tersedia bahan pengemulsi sintetis. Artinya, koloid ini dapat dianggap sebagai

(15)

20

aktif permukaan karena tampak pada antarmuka minyak-air. Namun, koloid ini berbeda dari bahan aktif permukaan sintetis, yaitu tidak menyebabkan penurunan tegangan antarmuka yang berarti dan zat ini membentuk suatu lapisan multimolekuler dan bukan lapisan monomolekuler pada antarmuka. Kerja koloid ini sebagai bahan pengemulsi terutama disebabkan oleh efek yang kedua karena selaput yang terbentuk kuat dan mencegah penggabungan. Suatu efek pembantu yang meningkatkan stabilitas adalah peningkatkan viskositas medium dispersi yang signifikan. Karena bahan pengemulsi yang membentuk multilapisan di sekitar tetesan selalu hidrofilik, bahan pengemulsi tersebut cenderung menyebakan pembentukan emulsi m/a (Sinko, 2006).

c. Adsorpsi Partikel Padat

Partikel padat yang terbagi halus yang dibasahi hingga derajat tertentu oleh minyak dan air dapat bekerja sebagai bahan pengemulsi. Hal ini disebabkan partikel padat tersebut menghasilkan suatu selaput partikulat di sekitar tetesan terdispersi sehingga mencegah penggabungan. Serbuk yang lebih mudah dibasahi dengan air membentuk emulsi m/a, sedangkan yang lebih mudah dibasahi dengan minyak membentuk emulsi a/m (Sinko, 2006).

2.10 Stabilitas Emulsi Terhadap Ukuran Partikel

Umumnya suatu emulsi dianggap tidak stabil secara fisik jika :

a) fase dalam atau fase terdispersi pada pendiaman cenderung untuk membentuk agregat dari bulatan-bulatan.

b) jika bulatan-bulatan atau agregat dari bulatan naik ke permukaan atau turun ke dasar emulsi tersebut akan membentuk suatu lapisan pekat dari fase dalam (Ansel, 1989).

(16)

21

Menurut persamaan Stokes, laju pemisahan dari fase terdispersi dari suatu emulsi dapat dihubungkan dengan faktor-faktor seperti, ukuran partikel dari fase terdispersi, perbedaan dalam kerapatan antarfase, dan viskositas fase luar. Perlu diingat bahwa laju pemisahan ditingkatkan oleh makin besarnya ukuran partikel fase dalam, makin besarnya perbedaan kerapatan antara kedua fase, dan berkurangnya viskositas fase luar. Oleh karena itu untuk meningkatkan stabilitas suatu emulsi, bulatan atau ukuran partikel harus dibuat sehalus mungkin, perbedaan fase terdispersi dan fase luar harus sekecil mungkin dan viskositas fase luar harus cukup tinggi (Ansel, 1989).

2.11 Ketidakstabilan Emulsi

Emulsi yang secara termodinamika tidak stabil umumnya disebabkan oleh tingginya energi bebas permukaan yang terbentuk. Hal ini terjadi karena pada proses pembuatannya luas permukaan salah satu fase akan bertambah berlipat ganda, sedangkan seluruh sistem cenderung kembali kepada posisinya yang paling stabil, yaitu pada saat energi bebasnya paling rendah. Oleh karena itu, globul-globul akan bergabung sampai akhirnya sistem memisah kembali. Berdasarkan fenomena tersebut dikenal beberapa peristiwa ketidakstabilan emulsi yaitu flokulasi, creaming, koalesen, dan demulsifikasi (Lund, 1994).

Flokulasi dan creaming terjadi karena penggabungan kembali globul terdispersi yang disebabkan oleh adanya energi bebas permukaan. Flokulasi adalah suatu peristiwa terbentuknya kelompok-kelompok globul yang posisinya tidak beraturan di dalam emulsi, sedangkan creaming adalah suatu peristiwa terjadinya lapisan-lapisan dengan konsentrasi yang berbeda-beda di dalam emulsi.Lapisan-lapisan tersebut terjadi karena pengaruh faktor gravitasi. Pada

(17)

22

kedua peristiwa tersebut, emulsi masih dapat diperbaiki melalui pengocokan (Lund, 1994).

Koalesen dan demulsifikasi terjadi bukan semata-mata karena energi bebas permukaan tetapi juga disebabkan oleh ketidaksempurnaan pelepasan globul. Koalesen adalah peristiwa terjadinya penggabungan globul-globul menjadi lebih besar, sedangkan demulsifikasi terjadi akibat proses lanjutan dari koalesen. Untuk kedua peristiwa ini, emulsi tidak dapat diperbaiki melalui pengocokan (Lund, 1994).

Ketidakstabilan emulsi yang lain adalah terjadinya inversi fase. Inversi fase terjadi bila emulsi yang semula merupakan emulsi minyak dalam air (m/a) berubah menjadi emulsi air dalam minyak (a/m). Inversi fase dapat terjadi karena jumlah fase terdispersi ditingkatkan hingga mencapai atau melebihi batas maksimum yaitu 74% dari volume total, perubahan suhu, atau penambahan bahan yang dapat mengganggu kestabilan emulsi. Inversi fase juga dapat terjadi karena penggunaan peralatan yang kotor atau prosedur pencampuran yang salah (Lund, 1994).

2.12 Analisis Ukuran Partikel

Mikromimetik adalah ilmu dan teknologi tentang partikel kecil, salah satunya adalah partikel. Dalam bidang kefarmasian terdapat beberapa informasi yang perlu diperoleh dari partikel, yaitu bentuk dan luas permukaan partikel serta ukuran partikel dan distribusi partikel. Data tentang ukuran partikel diperoleh dalam diameter partikel dan distribusi diameter partikel, sedangkan bentuk partikel member gambaran tentang luas permukaan spesifik partikel dan teksturnya (Martin et al, 1993).

(18)

23

Metode mikroskopik merupakan metode sederhana yang hanya menggunakan satu alat yaitu mikroskop yang bukan merupakan alat yang rumit dan memerlukan penanganan khusus. Kerugian dari metode mikroskopik adalah bahwa garis tengah yang diperoleh hanya dua dimensi dari partikel tersebut yaitu diameter, selain itu jumlah partikel yang harus dihitung sekitar 200-500 partikel agar mendapatkan suatu perkiraan yang baik dari distribusi, sehingga metode ini membutuhkan waktu dan ketelitian (Martin et al, 1993).

Setiap kumpulan partikel biasanya berupa polidispersi. Oleh sebab itu, perlu untuk mengetahui tidak hanya ukuran partikel tertentu, tetapi juga jumlah partikel berukuran sama yang terdapat dalam sampel. Jadi, kita membutuhkan suatu perkiraan kisaran ukuran yang ada dan banyaknya atau berat fraksi setiap ukuran partikel atau disebut juga dengan distribusi partikel (Sinko, 2006).

Berdasarkan distribusi partikel ini kita dapat menghitung ukuran partikel rerata untuk sampel tersebut. Distribusi ukuran partikel dilihat dengan cara memplotkan jumlah partikel yang terletak dalam suatu kisaran ukuran tertentu terhadap kisaran ukuran atau ukran partikel rata-rata, maka akan diperoleh kurva distribusi frekuensi. Dari kurva distribusi frekuensi dapat dilihat juga ukuran partikel berapa yang sering muncul (Sinko, 2006).

Gambar

Tabel 2.1 Tabir surya yang diizinkan untuk digunakan   Bahan aktif tabir surya  Konsentrasi
Tabel 2.2 Ketetapan nilai EE x I (Sayre et al, 1979)
Gambar 2.1 Rumus bangun  Avobenzone (Sumber : USP 32- NF 27, 2009).
Gambar 2.2 Rumus bangun Oktil Metoksisinamat (Sumber :Merck Index, 2001).
+3

Referensi

Dokumen terkait

Keunggulan-keunggulan yang dimaksud adalah antara lain (1) sebagai daftar kosakata dasar yang cepat dapat menentukan hubungan kekerabatan satu bahasa (bahasa

BAB III : Merupakan implementasi metode cerita dalam pembelajaran sejarah kebudayaan Islam di SMP Muhammadiyah 1 Semarang. yang terdiri dari gambaran umum SMP

Petikan keputusan - keputusan Jawatankuasa Tetap Kewangan (JKTK) UPSI ini disusun bermula daripada keputusan mesyuarat yang terawal iaitu pada tahun 1998

[r]

Berdasarkan hasil analisis dan sintesis dari tinjauan pustaka di atas terdapat beberapa faktor yang perlu dipertimbangkan dalam membangun rantai pasok produk unggas secara

Pada Bab III Metode Penelitian akan menguraikan tentang variabel-variabel yang digunakan dalam penelitian, definisi operasional, populasi dan sampel, jenis dan

Vaikka koulutus voi vaikuttaa luottamukseen välillisesti, ei edes koulutuksen ja poliittisen luottamuksen välistä yhteyttä useinkaan löydetä (van Elsas

Melihat kenyataan ini, peneliti selaku pengawas Dabin VII melakukan sebuah riset mengenai peningkatkan kompetensi guru dalam menyusun soal ulangan harian melalui workshop