• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II RESTORATIVE JUSTICE DAN DIVERSI MENURUT SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK UNDANG- UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2012

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II RESTORATIVE JUSTICE DAN DIVERSI MENURUT SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK UNDANG- UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2012"

Copied!
19
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

RESTORATIVE JUSTICE DAN DIVERSI MENURUT SISTEM

PERADILAN PIDANA ANAK UNDANG- UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2012

A. Pengertian Restorative Justice dan Diversi Menurut Undang – Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak

1. Restoratife Justice

Konsep asli praktek keadilan restorative berasal dari praktik pemelihara perdamaian yang digunakan suku bangsa Maori, penduduk asli Selandia Baru Menurut Helen Cowie keadilan restorative pada intinya terletak pada konsep komunitas yang peduli dan inklusif.53 Bilamana timbul konflik, praktek restorative justice akan menangani pihak pelaku, korban, dan para stakebolders komunitas tersebut, yang secara kolektif memecahkan masalah.54

Peradilan anak model restorative juga berangkat dari asumsi bahwa anggapan atau reaksi terhadap perilaku delinkuensi anak tidak efektif tanpa adanya kerja sama dan keterlibatan dari korban, pelaku dan masyarakat.

Prinsip yang menjadi dasar adalah bahwa keadilan paling baik terlayani apabila setiap pihak menerima perhatian secara adil dan seimbang, aktif dilibatkan dalam proses peradilan.55

53 Hadi Supeno, Kriminalisasi Anak, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2010, hlm.196 54 Ibid.

55

(2)

Helen Cowie dan Dawn Jennifer mengidentifikasikan aspek-aspek utama keadilan restoratife sebagai berikut 56:

a. Perbaikan , bukanlah tentang memperoleh kemenangan atau menerima kekalahan, tudingan, atau pembalasan dendam, tetapi tentang keadilan. b. Pemulihan hubungan , bukan bersifat hukuman para pelaku criminal

memikul tanggung jawab atas kekeliruan dan memperbaikinya dengan sejumlah cara , tetapi melalui proses komunikasi yang terbuka dan langsung, antara korban dan pelaku criminal, yang berpotensi mengubah cara berhubungan satu sama lain.

c. Reintegrasi, pada tingkatnya yang terluas, memberikan arena tempat anak dan orang tua dapat memperoleh proses yang adil. Maksudnya agar mereka belajar tentang konsekuensi kekerasan dan kriminalias serta memahami dampak perilaku mereka terhadap orang lain.

Howar Zehr membedakan retributive justice dengan restorative justice

sebagai berikut:57

Dalam Retributive Justice:

1. Kejahatan adalah pelanggaran sistem 2. Fokus pada menjatuhkan hukuman 3. Menimbulkan rasa bersalah

4. Korban diabaikan 5. Pelaku pasif

6. Pertanggung jawaban pelaku adalah hukuman 7. Respon terpaku pada prilaku masa lalu pelaku 8. Stigma tidak terhapuskan

9. Tidak di dukung untuk menyesal dan dimaafkan 10. Proses bergantung pada aparat

11. Proses sangat rasional Dalam Restorative Justice 58:

1. Kejahatan adalah perlukaan terhadap individu dan/atau masyarakat 2. Fokus pada pemecahan masalah

3. Memperbaiki kerugian

4. Hak dan kebutuhan korban diperhatikan 5. Pelaku di dorong untuk bertanggung jawab

56 Ibid.

57 Rena Yulia, Viktimologi: Perlindungan Hukum Terhadap Korban Kejahatan, Graha Ilmu,

Yogyakarta, 2009, hlm. 164.

58

(3)

6. Pertanggung jawaban pelaku adalah menunjukan empati dan menolong untuk memperbaiki kerugian.

7. Respon terpaku pada prilaku menyakitkan akibat prilaku-prilaku 8. Stigma dapat hilang melalui tindakan yang tepat

9. Didukung agar pelaku menyesal dan maaf dimungkinkan untuk diberikan oleh korban

10. Proses bergantung pada keterlibatan orang-orang yang terpengaruh oleh kejadian.

11. Dimungkinkan proses menjadi emosional

Model keadilan restorative lebih pada upaya pemulihan hubungan pelaku dan korban, misalnya, seseorang mencuri buku professor, proses keadilannya adalah begaimana cara dan langkah apa agar persoalan bisa selesai sehingga hubungan baik antara orang tersebut dan professor berlangsung seperti semula tanpa ada yang dirugikan.59 Keadilan retributive, masyarakat tidak dilibatkan karena sudah diwakilkan pengacara, sementara alam keadilan restrorative masyarakat dilibatkan melalui tokoh-tokoh masyarakat yang memiliki kewibawaan dalam lingkungan tersebut, misalnya tokoh agama, orang berpengaruh, dan sebagainya.60

Menurut Agustinus Pohan, Restorative Justice adalah sebuah pendekatan untuk membuat pemindahan dan pelembagaan menjadi sesuai dengan keadilan.

Restorative Justice dibangun atas dasar nilai-nilai tradisional komunitas yang positif dan sanksi-sanksi yang dilaksanakan menghargai hak asasi manusia (HAM).61

Prinsip-prinsip Restorative Justice adalah, membuat pelaku bertanggung jawab untuk membuktikan kapasitas dan kualitasnya sebaik dia mengatasi rasa bersalahnya dengan cara yang konstruktif, melibatkan korban, orang tua, keluarga,

59 Hadi Supeno, op.cit., hlm.165. 60 Ibid.

61

(4)

sekolah atau teman bermainnya, membuat forum kerja sama, juga dalam masalah yang berhubungan dengan kejahatan untuk mengatasinya.62

Watchel dan McCold yang banyak melakukan praktik keadilan restorative di lingkungan sekolah, mengonseptualkan kerangka kultur yang adil dan setara beradasarkan hubungan yang positif dan penuh kepedulian, sebagaimana ditunjukkan dalam skema 1 tentang Pembuatan Kerangka bagi Praktek Keadilan Restoratif.

. Pembuatan Kerangka bagi Praktik Keadilan Restoratife 63

Tinggi

Bersifat memulihkan Bersifat Menghukum (Kolaboratif/integrasi) (otoriter/mencela aib)

Kontrol (penetapan batasan,akuntabilitas)

Bersifat Lalai Bersifat Membebaskan (acuh tak-acuh/pasif) (terapeutik/melindungi)

Rendah Tinggi

Gambar tersebut, tentang poros vertical merujuk pada batas yang perlu guna mempertahankan struktur yang baik dalam komunitas (sekolah, masyarkat) seutuhnya

62 Ibid.

(5)

sementara pada poros horizontal merujuk pada dukungan emosi dan pengasuhan yang dibutuhkan komunitas dan individu di dalamnya.64

a. Praktik yang kekurangan struktur dan dukungan dianggap sebagai lalai (tidak

melibatkan siapa pun ketika terjadi delikuensi anak).

b. Praktik yang memiliki pengendalian yang tinggi , tetapi dukungan rendah, bersifat menghukum (menerapkan kekuasaan terhadap orang banyak dengan cara menuduh para peserta dalam kekerasan dan dengan demikian melanggengkan kultur menyalahkan dan mencela aib.

c. Praktik yang pengendaliannya rendah dan dukungannnya tinggi dirasakan sebagai sesuatu yang bersifat pasrah ( melakukan hal-hal bagi orang,tetapi pada saat sama tidak memberdayakan merekan dan tidak menantang mereka, jadi mereka tidak belajar secara proaktif dalam menantang kekerasan).65

d. Praktik yang mempertahankan standar perilaku dan batasan yang tinggi, dan pada saat yang bersamaanjuga bersifat mendukung, dirasakan sebagai

restoratif (disini sekolah bekerja sama dengan orang dan dengan demikian turut menciptakan kultur kerja sama dan memfasilitasi perasaan tanggung jawab dan kepemilikan pada komunutas).66

64 Ibid.

65 Ibid. 66

(6)

Muladi mengungkapkan bahwa dalam keadilan restrorative korban diperhitungkan martabatnya. Pelaku harus bertanggung jawab dan diintegrasikan kembali kedalam komunitasnya. Pelaku dan korban berkedudukan seimbang dan saling membutuhkan karena itu harus dirukunkan.67

Mantan Ketua Mahkamah Agung RI Bagir Manan berpandangan, dalam keadilan restoratife perkara harus diubah, bukan lagi demi kepentingan ketertiban, melainkan demi kepentingan korban beserta pemulihan segi materi dan psikisnya. Intinya, bagaimanana menghindarkan pelaku dari pemenjaraan, tetapi tetap bertanggung jawab.68

Menurut Pasal 1 angka (6) Undang-Undang No 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak , Keadilan Restoratif adalah penyelesain perkara tindak pidana dengan melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku, korban dan pihak lain yang terkait untuk bersama–sama mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula, dan bukan pembalasan.69

Peradilan pidana anak dengan keadilan restoratif bertujuan untuk:

1) Mengupayakan perdamaian antara korban dan anak;

2) Mengutamakan penyelesaian di luar proses peradilan;

3) Menjauhkan anak dari pengaruh negative proses peradilan;

67 Muladi, KKR dan Keadilan Restoratif,”Kompas Cyber Media, 21 April 2005. 68 Bagir Manan,Suara Karya Online, Edisi 27 November 2008

69

(7)

4) Menanamkan rasa tanggung jawab anak;

5) Mewujudkan kesejahteraan anak;

6) Menghindarkan anak dari perampasan kemedekaan;

7) Mendorong masyarakat untuk berpartisipasi;

8) Meningkatkan keterampilan hidup anak.

Sebenarnya dalam UU No.3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, sudah ada upaya pengubahan paradigma pemidanaan anak di Indonesia, yang bukan lagi di tujukan intuk memberikan pembalasan (dalam pandangan retributif), tetapi lebih diarahkan pada proses pembinaan agar masa depannya menjadi lebih baik.70 Paradigma ini dirasakan tidak cukup karena perkembang lebih jauh dari aturan dalm undang-undang pengadilan anak dimana paradigma yang berkembang kemudian bukan lagi sekedar mengubah jenis pidana menjadi jenis pidana yang bersifat mendidik, tetapi seminimal mungkin memasukkan anak ke dalam proses peradilan anak.

Pemahaman bahwa menjauhkan anak dari proses peradilan pidana menjadi lebih penting karena hal ini merupakan bagian upaya perlindungan hak asasi anak yang tercantum dalam Konvensi Hak Anak pasal 37 (b) The Beijing Rules (Butir 13.1

70

(8)

dan 2). Pasal 40 dan Beijing Rules (Butir 6 dan Butir 11. 1, 2, 3 dan 4) diberikan peluang bagi dilakukannya diversi.71

Pengalihan perkara oleh polisi dan penuntut umum serta pejabat lain yang berwenang untuk menjauhkan anak dari proses peradilan formil, penahanan, atau pemenjaraan. Program divesi ini dilakukan dengan menempatkan anak dibawah pengawasan badan - badan sosial tertentu yang membantu pelaksanaan sistem peradilan pidana anak sebagaimana disebut dalam Undang - Undang.72

Pasal 5 Ayat (1) Undang-undang No 11 Tahun 2012” Sistem Peradilan Pidana Anak wajib mengutamakan pendekatan Keadilan Restoratif. 73

Ide mengenai restorative justice masuk dalam Pasal 5, bahwa sistem peradilan pidana anak wajib mengutamakan pendekatan keadilan restoratif ayat (1), yang meliputi :

a. Penyidikan dan penututan pidana anak yang dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang - undangan, kecuali ditentukan lain dalam undang - undang ini;

b. Persidangan anak dilakukan oleh pengadilan di lingkungan peradilan umum;

c. Pembinaan, pembimbingan, pengawasan, atau pendampingan selama proses pelaksanaan pidana, tindakan dan setelah menjalani pidana atau tindakan.

2. Pengertian Diversi Dalam Undang – Undang Nomor 11 Tahun 2012

71 Ibid. 72 Ibid. 73

(9)

Ide diversi pada mulanya dirancangkan dalam United Nations Standard Minimum Rules for the Administration of Juvenile Justice (SMRJJ) yang disebut The Beijing Rules. Prinsip-prinsip Diversi Menurut The Beijing Rule 11 adalah 74:

a. Diversi dilakukan setelah melihat pertimbangan yang layak, yaitu

penegak hukum (polisi, jaksa, hakim, dan lembaga lainnya) diberi kewenangan untuk menangani pelanggar - pelanggar hukum berusia muda tanpa menggunakan pengadilan formal.

b. Kewenangan untuk menentukan Diversi diberikan kepada aparat penegak hukum seperti polisi, jaksa, hakim, dan lembaga lain yang sesuai dengan kriteria yang ditentukan untuk tujuan itu di dalam sistem hukum masing-masing dan juga sesuai dengan prinsip-prinsip yang terkandung dalam The Beijing Rules.

c. Pelaksanaan Diversi harus dengan persetujuan anak, atau orang tua walinya, namun demikian keputusan pelaksanaan Diversi setelah ada kajian oleh pejabat yang berwenang atas permohonan Diversi tersebut.

d. Pelaksanaan Diversi memerlukan kerja ama dan peran masyarakat,sehubungan dengan adanya program Diversi seperti : Pengawasan, bimbingan sementara, pemulihan, dan ganti rugi kepada korban.

Diversi, merupakan pemberian kewenangan kepada aparat penegak hukum untuk mengambil tindakan - tindakan kebijaksanaan dalam menangani atau menyelesaikan masalah pelanggar anak dengan tidak mengambil jalan formal antara lain menghentikan atau tidak meneruskan, melepaskan dari proses peradilan pidana atau mengembalikan, menyerahkan kepada masyarakat.75 Dan dapat diserahkan kepada tempat - tempat sosial atau pelayanan sosial lainnya. Penerepan Diversi dapat diterapkan di semua tingakat pemeriksaan, dimaksudkan untuk mengurangi dampak negatife keterlibatan anak dalam proses peradilan tersebut

74 Angger Sigit Pramukti & Fuandy Primaharsya, op.cit., hlm.67. 75

(10)

Di Indonesia, istilah Diversi pertama kali dimunculkan dalam perumusan hasil seminar nasional peradilan anak yang diselenggarakan oleh Fakultas Hukum Universitas Padjajaran Bandung tanggal 5 Oktober 1996.76 Perumusan hasil seminar tersebut tentang hal-hal yang disepakati,antara lain”Diversi”, yaitu kemungkinan hakim menghentikan atau mengalihkan atau tidak meneruskan pemeriksaan perkara dan pemeriksaan terhadap anak selam proses pemeriksaan di muka sidang,77

Kebijakan legislative tentang perlindungan hukum terhadap anak yang berhadapan dengn hukum melalui diversi dalam sistem peradila anak adalah dengan membentuk peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang Diversi dalam sistem peradilan pidan anak.78

Diundangkannya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak pada tanggal 30 Juli 2012, maka Indonesia sudah secara sah memiliki suatu peraturan yang memberi perlindungan hukum terhadap anak yang berhadapan denagn hukum dengan salah satu metodenya adalah Diversi.79 Undang-Undang No.3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak belum menerapkan lembaga Diversi dalam rumusannya. Menyebabkan banyak perkara pidana bermuara dari tindak kenakalan anak yang sifatnya Juneville Delinquency

semata, yang seharusnya tidak perlu proses sampai ke ranah pidana .

76 Romli Atmasasmita,op.cit.,hlm.201 77 Ibid.

78 Angger Sigit Pramukti & Fuandy Primaharsya, op.cit., hlm 68 79

(11)

Undang-Undang NO.11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, Diversi sudah merupakan suatu kesatuan dalam proses pidana anak. Hal ini menarik karena sebelumnya, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) banyak menangani kasus anak dan sudah menggunakan ide Diversi ini sebagai salah satu cara penyelesaian kasus anak sebelum Undang-Undang No.11 Tahun 2012 berlaku.80 KPAI menggunakan dasar Undang - Undang No 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak sebagai dasar melaksanakan Diversi.

Diversi adalah suatu pengalihan penyelesaian kasus-kasus anak yang diduga melakukan tindak piada tertentu dari proses pidana formal ke penyelesain damai antara tersangka, terdakwa, pelaku tindak pidana dengan korban yang difasilitasi oleh keluarga dan atau masyarakat, Pembimbingan Kemasyarakatan Anak, polisi, jaksa atau hakim.81

Pada pasal 6 UU Sistem Peradilan Pidana Anak, disebutkan tujuan diversi, yakni antara lain :

a. Mencapai perdamain antara korban dan anak;

b. Menyelesaikan perkara anak di luar proses peradilan

c. Menghindarkan anak dari perampasan kemerdekaan;

d. Mendorong masyarakat untuk berpartisipasi; dan

e. Menanamkan rasa tanggung jawab kepada anak.

80 Ibid., hlm. 69.

81

(12)

Tujuan diversi tersebut merupakan implementasi dari keadilan restoratif yang berupaya mengembalikan pemulihan terhadap sebuah permasalahan, bukan sebuah

pembalasan yang selama ini dikenal dalam hukum pidana.

Kewajiban mengupayakan diversi dari mulai penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan perkara anak di pengadilan negeri, dilaksanakan dalam hal tindak pidana yang dilakukan:

a. diancam dengan pidana penjara di bawah 7 (tujuh) tahun.82

b. bukan merupakan pengulanagn tindak pidana.83

Ketentuan ini menjelaskan bahwa anak yang melakukan tindak pidana yang ancamannya lebih dari 7 (tujuh) tahun dan merupakan sebuah pengulangan maka tidak wajib diupayakan diversi, hal ini memang penting mengingat kalau ancaman hukuman lebih dari 7 (tujuh tahun) tergolong pada tindakan pidana berat,dan merupakan suatu pengulanagn, artinya anak pernah melakukan tindak pidana baik itu sejenis maupun tidak sejenis termasuk tindak pidana yang diselesaikan melalui diversi. Pengulangan tindak pidana oleh anak, menjadi bukti bahwa tujuan diversi tidak tercapai yakni menanamkan rasa tanggung jawab kepada anak untuk tidak mengulangi perbuatan yang berupa tindakan pidana. Upaya diversi terhadapnya bisa saja tidak wajib diupayakan.

82 Pasal 7 ayat (1) UU Sistem Peradilan Pidana Anak 83

(13)

Proses Diversi dilakukan melalui musyawarah dengan melibatkan anak dan orang tua atau walinya, korban dan atau orang tua atau walinya, pembimbing Kemasyarakatan, dan Pekerja Sosial Profesional berdasarkan pendekatan Keadilan Restoratif.84 Musyawarah tersebut juga dapat melibatkan Tenaga Kesejahteraan Sosial, dan atau masyarakat.

Proses diversi sendiri wajib memperhatikan:85 a. kepentingan korban;

b. kesejahteraan dan tanggung jawab anak; c. penghindaraan stigma negative;

d. penghindaran pembalasan; e. keharmonian masyarakat;dan

f. kepatutan, kesusilaan, dan ketertiban umum.

Pada proses penegakan hukum pidana anak, maka aparat baik itu penyidik, penuntut umum, dan hakim dalam melakukan diversi harus mempertimbangkan kategori tindak pidana , umur anak, hasil pnelitian kemasyarakatan dari Bapas dan dukungan lingkungan keluarga dan masyarakat.86

B. Analisis Yuridis Putusan Nomor : 06/PID.SUS- ANAK/2014/PN.MDN

Putusan yang dijatuhkan hakim terhadap Muhammad Fadil Als Rangga yang melakukan tindak pidana penggelapan yang berusia 17 Tahun dijatuhi hukuman 11 bulan oleh Pengadilan Negeri Medan , pada tanggal 1 September 2014. Pasal yang

84 Pasal 8 ayat (1) UU Sistem Peradilan Pidana Anak 85 Pasal 8 ayat (3) UU Sistem Peradilan Pidana Anak 86

(14)

dilanggar adalah Pasal 372 KUHP tentang tindak pidana penggelapan , dengan ancaman maksimal 4 tahun sebagai pelaku tindak pidana.

Berdasarkan Pasal 1 angka 6 UU SPPA disebutkan bahwa Keadilan Restoratif adalah penyelesaian perkara tindak pidana dengan melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku/korban, dan pihak lain yang terkait untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula, dan bukan pembalasan.87 Pasal 5 ayat (1) disebutkan bahwa Sistem Peradilan Pidana Anak wajib mengutamakan pendekatan Keadilan Restoratif. Keadilan restoratif yang dimaksud dalam UU SPPA adalah kewajiban melaksanakan Diversi.88

Dalam pasal 7 UU SPPA disebutkan bahwa :

Ayat (1) “Pada tingkat penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan perkara Anak di pengadilan negeri wajib diupayakan diversi”.

Ayat (2) “Diversi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dalam hal tindak pidana yang dilakukan :

1. diancam dengan pidana penjara di bawah 7 (tujuh) tahun; dan 2. bukan merupakan pengulangan tindak pidana”.

Terkait dengan itu, dalam mengakomodir prinsip-prinsip perlindungan anak terutama prinsip non diskriminasi yang mengutamakan kepentingan terbaik bagi anak dan hak untuk hidup, kelangsungan hidup dan perkembangan anak, Undang-Undang

87 Pasal 1 angka 6 UU Sistem Peradilan Pidana Anak 88

(15)

Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (selanjutnya disingkat UU SPPA) yang merupakan pergantian terhadap Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak telah mengatur secara tegas mengenai Keadilan Restoratif dan Diversi yang dimaksudkan untuk menghindari dan menjauhkan anak dari proses peradilan sehingga dapat menghindari stigma terhadap anak yang berhadapan dengan hukum dan si anak dapat kembali ke dalam lingkungan sosial secara wajar.

Putusan yang dijatuhkan hakim sama sekali tidak menerapkan adanya Restoratif Justice dan Diversi yang tercantum dalam Pasal 1 angka (6) dan Pasal 7 ayat (2) Undang – Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem peradilan Anak, pada tahap awal hingga ke persidangan konsep diversi dalam UU SPPA belum diterapkan dan vonis hakim tetap mempergunakan pendekatan UU Pengadilan Anak, ini menunjukkan bahwa konsep keadilan restoratif juga masih belum sepenuhnya dipahami oleh penegak hukum. Penerapan diversi merupakan suatu kewajiban, maka menjadi penting bagi pejabat dalam setiap tingkat pemeriksaan untuk benar-benar memahami bagaimana mekanisme penerapan diversi tersebut.

Hambatan Tidak diterapkannya Pendekatan Restoratif Justice dan Diversi (Putusan Nomor : 06/PID.SUS-ANAK/2014/PN.MDN), walaupun keadilan Restoratif Justice dan Diversi sudah mulai dikenal sebagai alternatif penanganan anak berhadapan dengan hukum dari peradilan pidana dan mulai mendapatkan dukungan banyak pihak masih banyak hambatan yang dihadapi oleh sistem peradilan anak.

(16)

Terdapat faktor – faktor penghambat terhadap upaya implementasi restoratife justice dan diversi dalam sistem peradilan pidana anak Indonesia saat ini.89

1. Hambatan Internal dalam putusan Nomor : 06/PID. SUS.ANAK/2014/ PN.MDN

Terdapat hambat Internal belum diterapkannya konsep keadilan restoratif justice dan diversi dalam putusan Nomor : 06/PID.SUS.ANAK/2014/PN.MDN

a. Kebutuhan yang semakin meningkat tidak sebanding dengan sumber daya (baik personel maupun fasilitas).

b. Pemahaman yang berbeda dalam penanganan anak berhadapan dengan hukum dan korban di antara aparat penegak hukum.

c. Kurangnya kerja sama antara pihak yang terlibat (aparat penegak hukum dan pekerja sosial anak).

d. Permasalahan etika dan hambatan birokrasi dalam penukaran data dan informasi antara aparat penegak hukum.

e. Koordinasi antara aparat penegak hukum (Polisi, Jaksa, Hakim, Advokat, Bapas, Rutan, Lapas) masih tersendat karena kendala ego sektoral atau belum adanya sosialisasi terhadap Restoratif Justice dan Diversi.

89 Feri hidayat, diversi dalam sistem peradilan pidana anak di Indonesia , https:// ferli1982

(17)

f. Belum ada persamaan persepsi antar-aparat penegak hukum mengenai penanganan anak berhadapan dengan hukum untuk kepentingan terbaik bagi

anak. g. Terbatasnya sarana dan prasarana penanganan anak berhadapan dengan

hukum selama proses pengadilan (pra dan pasca putusan pengadilan) .

h. Kurangnya kebijakan formulasi untuk melaksanakan proses rehabilitasi sosial anak nakal dalam hal ini Departemen social atau Organisasi sosial kemasyarakat yang bergerak dibidang pendidikan, pembinaan dan latihan kerja sehingga dapat dikirim ke panti sosial untuk dibina secara khusus diberi pemulihan mental dan perilaku.

i. Kurangnya perlindungan anak yang melakukan tindak pidana namun kehendak demikian tidaklah mudah dilakukan karena kerena ketentuan dalam sistem pemasyakatan anak saat ini tidak memberi peluang yang demikian.

j. Pandangan penegak hukum sisem peradilan pidana anak masih berpangkal pada tujuan pembalasan atas perbuatan jahat pelaku anak, sehingga hakim akan menjatuhkan pidana semata – mata diharapkan agar anak jera dan tidak mengulanginya lagi.

2. Hambatan Eksternal dalam Putusan Nomor : 06/PID.SUS-ANAK/2014/

PN.MDN

Penerapkan sistem Restoratif Justice dan Diversi masih banyak hambatan eksternal yang ditimbulkan yaitu :

(18)

a. Ketiadaan Payung Hukum

Belum adanya payung hukum menyebabkan tidak semua pihak memahami implementasi keadilan restorative dengan tujuan pemulihan bagi pelaku, korban, dan masyarakat. Akibatnya sering ada pihak-pihak yang mengintervensi jalanya proses mediasi. Banyak pihak yang belum memahami prinsip dalam ketentuan pasal 16 ayat (3) Undang – Undang tentang perlindungan anak yang menyebutkan bahwa penangkapan, penahanan, penjatuhan hukuman pidana bagi anak adalah upaya terakhir. Selain itu Undang – Undang tentang Pengadilan Anak saat ini tidak memberikan ruang yang cukup bagi implementasi ide diversi. Namun demikian sebenarnya jika melihat pada Undang – Undang Hak Asasi Manusia, Undang – Undang Perlindungan Anak, dan Keputusan Presiden tentang Pengesahan Hak – Hak Anak, terdapat ketentuan yang mengarah dan menghendaki implementasi diversi. Patut disayangkan karena penegak hukum cenderung melalaikan hal tersebut.

b. Inkonsistensi penerapan peraturan

Belum adanya payung hukum sebagai landasan dan pedoman bagi semua lembaga penegak hukum, inkonsistensi penerapan peraturan di lapangan dalam penanganan anak berhadapan dengan hukum masalah yang paling sederhana dapat dilihat pada beragamnya batasan yang menjadi umur minimal seorang anak pada peraturan-peraturan yang terkait. Akibatnya aparat penegak hukum membuat putusan yang tidak konsisten dalam kasus anak berhadapan dengan hukum yang memiliki kemiripan unsur-unsur perbuatan.

(19)

c. Kurangnya dukungan dan kerjasama antar lembaga

Masalah ini merupakan hambatan yang lain yang masih banyak terjadi dalam menegakkan suatu ketentuan hukum, termasuk penanganan anak berhadapan dengan hukum banyak kalangan professional hukum yang masih menganggap mediasi sebagai metode pencarian keadilan kelas dua dengan berpandangan bahwa mediasi tidak berhasil mencapai keadilan sama sekali karena tidak lebih dari hasi kompromi pihak – pihak yang terlibat, padahal saat ini hakim adalah satu-satu pihak yang bisa memediasi perkara anak yang berhadapan dengan hukum tidak seperti mediasi perdata yang memperbolehkan non-hakim menjadi mediator di pengadilan .

d. Pandangan masyarakat perbuatan tindak pidana

Ide diversi masih terhalang adanya pandangan masyarakat yang cenderung dendam dan ingin melakukan pembalasan terhadap pelaku kejahatan, termasuk pada pelaku anak.

Referensi

Dokumen terkait

Ayat (1) pasal 9 model UN menyebutkan tentang pemberian wewenang kepada salah satu negara untuk melakukan verifikasi atas transaksi antar pihak yang mempunyai hubungan istimewa,

Sikap pegawai/anggota Dinas Pariwisata terhadap dikeluarkannya Perda no 2 tahun 2016 tentang Pariwisata halal ini disampaikan narasumber, Bapak H. Haris dalam

Ubah data Data golongan yang akan dirubah di dalam database, klik simpan maka Data pada server Database akan berubah. Data golongan yang akan dirubah di dalam database,

Pemerian dari etanol yaitu merupakan cairan tidak berwarna, jernih, mudah menguap dan mudah bergerak, memiliki bau yang khas dan rasa yang panas.. Mudah terbakar

[r]

Tujuan dari penelitian ini untuk mengetahui sejauh mana upaya yang dilakukan oleh Perpustakaan Daerah Provinsi Jawa Tengah terhadap penerapan hak cipta yang ada pada koleksi

Kebudayaan yang berasal dari kata budayaadalah: hasil kegiatan dan penciptaan batin (akal budi manusia), seperti kepercayaan, keseniaan, dan adat istiadat. Pusat Kebudayaan

Dua tahap penelitian dilakukan untuk mengevaluasi penambahan enzim cairan rumen domba dalam menurunkan kandungan serat kasar kulit buah kakao (KBK) dan mengevaluasi ketercernaan