BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang
Manusia merupakan makhluk sosial yang selalu memerlukan orang lain,
untuk kelanjutan hidupnya. Manusia juga merupakan makhluk hidup yang memiliki derajat tertinggi dibandingkan makhluk hidup lainnya, untuk itu manusia juga mendapatkan hak- hak dasar yang tidak dimiliki oleh makhluk hidup lainnya.
Manusia memiliki hak-hak dasar yang tercantum dalam UU No 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM), seperti pada Pasal 4 UU No 39 Tahun 1999
hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kebebasan pribadi, pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dan persamaan di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar
hukum yang berlaku surut adalah hak asasi yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun dan oleh siapapun.
Hak dasar manusia juga tercantum dalam Pasal 10 ayat 1 UU No 39 Tahun
1999 tentang Hak Asasi Manusia yaitu “ Setiap orang berhak membentuk suatu
keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah”, artinya
bahwa negara sendiri telah memberikan suatu jaminan bagi manusia untuk melanjutkan keturunannya. Atas dasar tersebut manusia semakin terasa terjamin
untuk membentuk suatu keluarga sehingga dapat melanjutkan keturunannya.
yaitu generasi yang dipersiapkan sebagai subjek pelaksana pembangunan yang
berkelanjutan dan pemegang kendali masa depan suatu negara, tidak terkecuali Indonesia.1
Anak mengalami perkembangan dalam beberapa fase pertumbuhan, adapun proses perkembangan anak terdiri dari beberapa fase pertumbuhan yang
bisa digolongkan berdasarkan para paralelitas perkembangan jasmani anak dengan perkembangan jiwa anak.2
Penggolongan tersebut dibagi ke dalam 3 (tiga) fase, yaitu:3
1. Fase pertama adalah dimulainya pada usia anak 0 tahun sampai dengan 7 (tujuh) tahun yang bisa disebut sebagai masa anak kecil dan masa perkembangan kemampuan mental, pengembangan fungsi-fungsi tubuh,
perkembangan kehidupan emosional, bahasa bayi dan arti bahasa bagi anak-anak, masa kritis (trozalter) pertama dan tumbuhnya seksualitas awal
pada anak.
2. Fase kedua adalah dimulai pada usia 7 sampai 14 tahun disebut sebagai masa kanak-kanak, di mana dapat digolongkan ke dalam 2 periode, yaitu :
a. Masa anak Sekolah Dasar dimulai dari usia 7-12 tahun adalah periode intelektual.
Periode intelektual ini adalah masa belajar awal dimulai dengan memasuki masyarakat di luar keluarga, yaitu lingkungan sekolah
kemudian teori pengamatan anak dan hidupnya perasaan, kemauan
1
Nashriana, Perlindungan Hukum Pidana bagi Anak di Indonesia, Jakarta: Raja Grafindo, 2011, hlm 1.
2
Wagiati Soetodjo, Hukum Pidana Anak, Bandung : Rafika Aditama, 2015, hlm 7
3
serta kemampuan anak dalam berbagai macam potensi, namun
masih bersifat tersimpan atau masa latensi (masa tersembunyi).
b. Masa remaja/pra-pubertas atau pubertas awal yang dikenal dengan sebutan periode pueral.
Pada periode ini, terdapat kematangan fungsi jasmaniah ditandai dengan berkembangnya tenaga fisik yang melimpah-limpah yang menyebabkan tingkah laku anak kelihatan kasar, canggung,
berandal, kurang sopan, liar dan lain-lain.
Sejalan dengan berkembangnya fungsi jasmaniah, perkembangan intelektual pun berlangsung sangat intensif sehingga minat pada pengetahuan dan pengalaman baru pada dunia luar sangat besar
terutama yang bersifat konkret, karenanya anak puber disebut sebagai fragmatis atau utilitas kecil , di mana minatnya terarah
pada kegunaan-kegunaan teknis.
3. Fase ketiga adalah dimulai pada usia 14 sampai 21 tahun , yang dinamakan masa remaja, dalam arti sebenarnya yaitu fase pubertas dan adolescent, di mana terdapat masa penghubung dan masa peralihan dari anak menjadi orang dewasa.
Masa remaja atau masa pubertas bisa dibagi dalam 4 (empat) fase, yaitu : a. Masa awal pubertas, disebut pula sebagai masa pueral/pra-pubertas.
c. Masa pubertas sebenarnya, mulai kurang lebih 14 tahun. Masa
pubertas pada anak wanita pada umumnya berlangsung lebih awal dari pada masa pubertas laki- laki.
d. Fase adolescence, mulai kurang lebih usia 17 tahun sampai sekitar 19 hingga 21 tahun.
Anak di dalam setiap fase pertumbuhannya membutuhkan peranan keluarga. Keluarga merupakan tempat sosialisasi pertama bagi anak di dalam
kehidupannya untuk itu peran keluarga sangat penting dalam mendampingi anak di masa pertumbuhannya karena keluargalah yang nantinya kelak akan membentuk karakter, sifat serta mental anak. Tidak hanya itu curahan kasih
sayang dari keluarga juga sangat dibutuhkan oleh anak agar ia merasa dirinya diperhatikan, disayang, dan dihargai.
Keluarga pada kenyatannya dewasa ini kurang memperhatikan anak-anaknya, mereka hanya memenuhi anak dari segi materi saja namun tidak secara
total memperhatikan masa pertumbuhan anaknya. Hal tersebut mungkin disebabkan oleh urusan pekerjaan, bisnis, atau hal-hal penting lainnya yang sering kali menyebabkan mereka melalaikan tugas utamanya yaitu mendampingi anak.
Anak yang kurang mendapat perhatian dari keluarganya dari akan mulai
mencari tempat pelarian yang dianggap nya mampu untu mengisi ruang kosong di hatinya, karena lemahnya perananan orang tua dalam mendampingi anak maka anak pun semakin mudah untuk terjerumus dalam hal-hal yang negatif, anak
Kenakalan anak diambil dari istilah juvenile delinquency, tetapi bukan kenakalan yang dimaksud dalam Pasal 489 KUHP.4
Istilah juvenile delinquency, berasal dari juvenile artinya young, anak-anak, anak
muda, ciri karakteristik pada masa muda, sifat-sifat khas pada periode remaja sedangkan, delinquency artinya wrong doing, terabaikan/mengabaikan, yang kemudian diperluas artinya menjadi jahat, a-sosial, kriminal, pelanggar aturan,
pembuat rebut, pengacau, penteror, tidak dapat diperbaiki lagi, durjana, dursila, dan lain-lain.
Istilah kenakalan anak pertama kali dberikan oleh Badan Peradilan di Amerika Serikat dalam rangka usaha membentuk suatu Undang-Undang Peradilan bagi anak di negara tersebut, dalam pembahasannya ada kelompok yang
menekankan segi pelanggaran hukumnya, ada pula kelompok yang menekankan pada sifat tindakan anak apakah sudah menyimpang dari norma yang berlaku atau
belum melanggar hukum, namun semua sependapat bahwa dasar pengertian kenakalan anak adalah perbuatan atau tingkah laku yang bersifat antisosial.5
Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mencatat lebih dari 7000 Anak berKonflik dengan Hukum (AKH)6 sebagai pelaku tindak pidana masuk
dalam proses peradilan setiap tahun, sementara data yang diperoleh dari Dirjenpas Depkumham pada bulan Juli 2010 terdapat 6.723 anak yang berada di tahanan dan
Lapas di seluruh Indonesia yang terdiri dari 3.076 anak dengan status tahanan,
4
Pasal 489 KUHP berbunyi :
(1) Kenakalan terhadap orang atau barang sehingga dapat mendatagkan bahaya, kerugian atau kesusahan dihukum denda sebanyak-banyaknya Rp225,-
(2) Jika pada waktu melakuka pelanggaran itu belum lalu satu tahun, sejak ketetapan putusan hukuman yang dahulu bagi si tersalah karena pelanggaran serupa itu juga, maka denda itu dapat diganti dengan hukuman kurungan selama-lamanya tiga hari.
5
Nashriana, Op.Cit, hlm 25
6
3.197 narapidana dan 56 berstatus sebagai anak negara, dari 6.273 anak tersebut di
atas, 2.357 anak ditempatkan di Lapas Anak sedangkan sisanya sebanyak 3.916 anak ditempatkan di Lapas Dewasa.7
Sumatera Utara memiliki jumlah AKH masih cukup memprihatinkan, jika dilihat pada tahun 2011 mencapai 600 anak, tahun 2013 mencapai 315 anak dan
tahun 2013 sampai bulan Juni mencapai 293 anak yang melakukan tindak pidana.
Dari data tersebut kasus yang dominan adalah kasus narkotika.8
Penyalahgunaan narkotika yang dilakukan oleh anak pada dasarnya dapat
dikualifikasikan sebagai crime without victim. Korban kejahatan penyalahgunaan narkotika adalah pelaku itu sendiri, bukan orang lain. Maka dari itu, anak sebagai pelaku tindak pidana narkotika tidak hanya dilihat sebagai pelaku (tindak pidana)
saja namun juga dilihat sebagai korban.9
Pemerintah mengupayakan perlindungan terhadap anak sebagai pelaku
tindak pidana yang tujuannya adalah agar hak-hak anak dijamin oleh hukum, untuk itu lahirlah Undang-undang No. 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak dimana dalam Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 ini mengatur
tentang konsep diversi dan keadilan restoratif (restorative justice) yang tujuannya menghindarkan anak untuk tidak berakhir di penjara melainkan memberikan
tindakan perawatan (treatment) dan perbaikan (rehabilitation) kepada anak pelaku tindak pidana sebagai pengganti dari penghukuman, hal ini sesuai dengan tujuan daripada teori treatment (Teori pembinaan/perawatan)10
7
Lidya Elisabeth Juniarti P,”Menyamai Persepsi Penerapan Diversi dan Restoratif Justice Terhadap Anak Konflik Hukum”,PLEDOI,Edisi I/2013,hlm 3
8
Ibid,hlm 3
9
Kusno Adi,Diversi Sebagai Upaya Alternatif Penanggulangan Tindak Pidana Narkotika Oleh Anak, Malang : UMM Press,2009, hlm 120
10
Pertimbangan hakim dalam putusan Nomor 44/Pid.Sus-Anak/2015/PN
Mdn menunjukkan bahwa hakim memperhatikan Pasal 131 jo. Pasal 114 Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, Undang-Undang-undang Nomor 3
Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, dan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana serta peraturan perundang-undangan lain yang bersangkutan untuk memutus perkara tersebut.
Kasus tersebut menerangkan bahwa terdakwa adalah seorang anak bernama Tina Novita Lubis yang berumur 16 (enam belas) tahun yang dalam
Pasal 1 angka 4 Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 termasuk dalam kategori AKH karena telah berumur 12 (dua belas) tahun, tetapi belum berumur 18 (delapan belas) tahun, untuk itu harus dipergunakan Undang-undang Nomor 11
Tahun 2012 dalam kasus tersebut.
Pertimbangan hakim dalam putusan Nomor 44/Pid.Sus-Anak/2015/PN
Mdn menunjukkan bahwa hakim masih mempergunakan Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 dalam pertimbangan hukumnya, yang dimana menurut Pasal 108 ketentuan penutup Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 undang-undang
tersebut berlaku setelah 2 (dua) tahun terhitung sejak tanggal diundangkan. Hal itu berarti sejak tahun 2014 Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 wajib untuk
diterapkan bagi setiap anak yang berkonflik dengan hukum.
Berdasarkan latar belakang dan uraian masalah di atas, penulis ingin
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian diatas dapat dirumuskan beberapa permasalahan sebagai berikut :
1. Bagaimanakah pengaturan hukum bagi anak sebagai pelaku tindak pidana narkotika ?
2. Bagaimanakah penerapan Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang
Sistem Peradilan Pidana Anak dalam Putusan Nomor 44/Pid.Sus-Anak/2015/PN Medan?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian adalah untuk mendapatkan pengetahuan tentang suatu gejala, sehingga dapat merumuskan masalah serta memperoleh pengetahuan yang
lebih mendalam tentang suatu gejala, sehingga dapat merumuskan hipotesa11 1. Untuk mengetahui pengaturan hukum bagi anak sebagai pelaku tindak
pidana narkotika
2. Untuk mengetahui penerapan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak dalam Putusan Nomor
44/Pid.Sus-Anak/2015/PN Medan
D. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat penelitian ini terbagi menjadi dua yaitu manfaat teoritis dan manfaat praktis.
11
1. Manfaat Teoritis
Secara teoritis, pemikiran ini diharapkan bermanfaat untuk membantu memberikan sumbangan pemikiran dalam pegembangan ilmu hukum
khususnya memahami implementasi Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak dalam menangani kasus anak sebagai pelaku tindak pidana narkotika dan juga bermanfaat untuk kalangan akademis
dan para pembaca pada umumnya sehingga dapat dijadikan referensi bagi para akademis yang berminat pada masalah-masalah hukum pidana.
Hasil penelitian ini juga diharapkan dapat digunakan sebagai pengembangan konsep dan teori dalam upaya perlindungan anak sebagai pelaku tindak pidana.
2. Manfaat Praktis
Secara praktis, dapat memberikan pandangan baru dalam penanganan perkara anak selaku pelaku tindak pidana bagi para penegak hukum maupun
kepada masyarakat, dan dengan permasalahan yang dapat dibahas dapat menambah informasi kepada pihak-pihak terkait mengenai penerapan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 sebagaimana merupakan perlindungan terhadap
anak pelaku tindak pidana. Anak pelaku tindak pidana narkotika sudah seharusnya mendapat perlindungan khusus dan bukan berakhir di penjara.
E. Keaslian Penulis
Berdasarkan hasil pemeriksaan yang telah dilakukan oleh peneliti di
perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, tidak ditemukan judul dan permasalahan yang sama dengan penelitian ini, sebab penelitian dalam skripsi ini memfokuskan kajiannya berdasarkan Putusan Nomor
Putusan tersebut belum pernah dilakukan penelitian oleh peneliti lain
dalam topik dan permasalahan yang sama, dengan demikian maka penelitian ini dapat dikatakan memiliki keaslian dan jauh dari unsur plagiat serta sesuai dengan
asas-asas keilmuan yang harus dijunjung tinggi yakni kejujuran, rasional, objektif, dan terbuka serta sesuai dengan prosedur menemukan kebenaran ilmiah sehingga dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya secara ilmiah.
F. Tinjauan Kepustakaan
1. Pengertian Anak Dalam Hukum Positif
Hukum berbicara tentang aturan yang pada saat ini atau pada saat yang tertentu di tempat tertentu. Misalnya, peraturan-peraturan hukum dalam Kitab Undang-undang Kitab Hukum Pidana (KUHPidana)12, peraturan-peraturan daerah
yang sekarang (atau pernah dahulu) berlaku, hukum yang sekarang (atau pernah dahulu) berlaku di desa walaupun tidak tertulis, dan sebagainya.
Hukum tersebut diberi nama hukum positif atau disebut hukum berlaku atau positief recht, geldend recht, atau stelling recht.13
Menurut hukum positif pengertian anak terdapat dalam beberapa
undang-undang sebagai berikut :
1. Menurut KUHPidana, anak yang belum dewasa apabila seseorang
tersebut belum berumur 16 tahun.14
2. Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata)15, seseorang belum dapat dikatakan dewasa jika orang tersebut umurnya
12
Kitab Undang-undang Hukum Pidana selanjutnya disebut KUHPidana 13
E.Utrecht/Moh.Saleh Djindang, Pengantar Dalam Hukum Indonesia, Jakarta : Penerbit dan Balai Buku Ichtiar,1982,hlm 20
14
belum genap 21 tahun, kecuali seseorang tersebut telah menikah
sebelum umur 21 tahun.16
3. Menurut Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak, AKH yang selanjutnya disebut Anak adalah anak yang telah berumur 12 (dua belas) tetapi belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang diduga melakukan tindak pidana.17
4. Menurut Undang-Undang Ketenagakerjaan, Anak adalah orang laki-laki atau wanita yang berumur kurang dari 15 tahun.18
5. Menurut Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.19
6. Menurut Undang-Undang Kesejahteraan Anak, Anak adalah seseorang yang belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun dan belum pernah kawin.20
7. Menurut Undang-Undang Hak Asasi Manusia, Anak adalah setiap manusia yang berusia dibawah 18 (delapan belas) tahun dan belum menikah, termasuk anak yang masih dalam kandungan apabila hal tersebut adalah demi kepentingannya.21
2. Pengertian Tindak Pidana
Tindak pidana memiliki istilah yang dikenal dalam hukum pidana Belanda
yaitu “ strafbaar feit”. Ahli hukum mengemukakan istilah yang berbeda-beda
dalam upaya memberikan arti dari strafbaar feit tersebut. Adami Chazawi dalam buku Mohammad Ekaputra telah menginventarisir sejumlah istilah-istilah yang
pernah digunakan baik dalam perundang-undangan yang ada maupun dalam
15
Kitab Undang-undang Hukum Perdata selanjutnya disebut KUPerdata
16
Pasal 330 ayat 1 KUHPerdata
17
Pasal 1 angka 3 Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak
18
Pasal 1 angka 20 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1997 Tentang Ketenagakerjaan
19
Pasal 1 angka 5 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 Tentang Tindak Pidana Perdagangan Orang
20
Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 Tentang Kesejahteraan Anak
21
berbagai literatur hukum sebagai terjemahan dri istilah strafbaar feit, yaitu sebagai berikut :22
1. Tindak pidana, dapat dikatakan berupa istilah resmi dalam undangan pidana kita, dalam hampir seluruh peraturan perundang-undangan menggunakan istilah tindak pidana, seperti dalam UU No. 6 Tahun 1982 tentang Hak Cipta, UU No. 31 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi jo. UU No. 20 Tahun 2001, dan perundang-undangan lainnya.
Ahli hukum yang menggunakan istilah ini, misalnya seperti Prof. Dr. Wirjono Prodjodikoro, S.H.;
2. Peristiwa pidana, digunakan oleh beberapa ahli hukum, misalnya: Mr. R
Tresna dalam bukunya “Azas-azas Hukum Pidana”, Mr. Drs. H.J van
Schravendijk dalam buku pelajaran tentang Hukum Pidana, Prof. A. Zainal Abidin, S.H dalam bukunya “Hukum Pidana”. Pembentuk UU juga pernah
menggunakan istilah peristiwa pidana, yaitu dalam UUD’S 1950 [baca Pasal 14 ayat (1)];
3. Delik, yang sebenarnya berasal dari bahasa Latin “delictum” juga digunakan untuk menggambarkan tetang apa yang dimaksud dengan
strafbaar feit. Istilah ini dapat dijumpai dalam berbagai literatur, misalnya Prof. Drs. E. Utrecht, S.H, walaupun juga beliau menggunakan istilah lain
yakni peristiwa pidana (dalam buku Hukum Pidana I). Prof. A. Zainal Abidin dalam buku beliau “Hukum Pidana I” . Prof.Moeljatno pernah juga
menggunakan istilah ini seperti pada judul buku “Delik-Delik Percobaan
22
Delik-Delik Penyertaan”, walaupun menurutnya lebih tepat dipergunakan
istilah perbuatan pidana.
4. Pelanggaran pidana, dapat dijumpai dalam buku Mr. M.H.Tirtaamidjaja yang berjudul Pokok-Pokok Hukum Pidana.
5. Perbuatan yang boleh dihukum, istilah ini digunakan oleh M.Karni dalam buku beliau “Ringkasan tentang Hukum Pidana begitu juga Schravendijk
dalam bukunya “Buku Pelajaran Tentang Hukum Pidana Indonesia”;
6. Perbuatan yang dapat dihukum, digunakan oleh Pembentuk Undang-Undang di dalam UU No. 12/Drt/1951 tentang Senjata Api dan Bahan Peledak (Pasal 3);
7. Perbuatan pidana, digunakan oleh Prof. Mr. Moeljatno dalam berbagai tulisan beliau, misalnya dalam buku Azas-azas Hukum Pidana
Istilah yang dipergunakan oleh Konsep KUHP Baru sebagai terjemahan dari
istilah strafbaarfeit adalah tindak pidana.
Penjelasan mengenai pengertian tindak pidana tidak menemukan apa yang dimaksud dengan strafbaar feit baik di dalam KUHPidana maupun di luar
KUHPidana, oleh karena para ahli hukum berusaha untuk memberikan arti dan isi dari istilah itu, yang sampai saat ini belum ada keseragaman pendapat. Pengertian
tindak pidana penting dipahami untuk mengetahui unsur-unsur yang terkandung di dalamnya. Unsur-unsur tindak pidana ini dapat menjadi patokan dalam upaya
menentukan apakah perbuatan seseorang itu merpakan tindak pidana atau tidak.23
23
Beberapa ahli hukum yang memberikan pengertian mengenai strafbaar feit adalah sebagai berikut :
1. HAZEWINKEL-SURINGA dalam membuat suatu rumusan yang
bersifat umum dari “strafbaar feit” sebagai suatu perilaku manusia
yang pada suatu saat tertentu telah ditolak di dalam sesuatu pergaulan hidup tertentu dan dianggap sebagai perilaku yang harus ditiadakan
oleh hukum pidana dengan menggunakan sarana-sarana yang bersifat memaksa yang terdapat di dalamnya.24
2. Profesor POMPE menyatakan “strafbaar feit” itu secara teoritis dapat
dirumuskan sebagai “suatu pelanggaran norma (gangguan terhadap
tertib hukum) yang dengan sengaja ataupun tidak dengan sengaja telah
dilakukan oleh seorang pelaku, dimana penjatuhan hukuman terhadap pelaku tersebut adalah perlu demi terpeliharanya tertib hukum dan
terjaminnya kepentingan hukum”25
3. Profesor van HATTUM berpendapat bahwa sesuatu tindakan itu tidak dapat dipisahkan dari orang yang telah melakukan tindakan tersebut.
Beliau berpendapat, perkataan “strafbaar” itu berarti “voor straf in
aanmerking komend” atau “straf verdinend” yang juga mempunyai arti
sebagai “pantas untuk dihukum” , sehingga perkataan “strafbaar feit”
seperti yang telah digunakan oleh pembentuk undang-undang di dalam KUHPidana itu secara “eliptis” haruslah diartikan sebagai suatu
“tindakan yang karena telah melakukan tindakan semacam itu
24
P.A.F Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana, Bandung : Citra Aditya Bati, 1997, hal 181.
25
membuat seseorang menjadi dapat dihukum” atau suatu “feit terzake
van hetwelk een person strafbaar is”26
Syarat-syarat pokok dari sesuatu delik itu adalah 27:
a. Dipenuhinya semua unsur dari delik seperti yang terdapat di dalam rumusan delik;
b. Dapat dipertangungjawabkannya si pelaku atas perbuatannya;
c. Tindakan dan pelaku tersebut harusalah dilakukan dengan sengaja ataupun tidak sengaja, dan
d. Pelaku tersebut dapat dihukum, sedangkan syarat-syarat penyertaan seperti dimaksud di atas itu merupakan syarat yang harus terpenuhi setelah tindakan seseorang itu memenuhi semua unsur yang terdapat di dalam
rumusan delik.
3. Pengertian Sistem Peradilan Pidana Anak
Pengaturan mengenai sistem peradilan pidana anak sebelum adanya Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak melihat pada peraturan yang secara khusus diatur dalam tiga pasal, yaitu Pasal 45, 46, dan 47
KUHPidana. Pengaturan sistem pemidanaan secara umum tersebar dalam ketentuan umum buku I KUHPidana yang mana bahwa berdasarkan perjalanan
sejarah KUHPidana yang berlaku saat ini berasal dari KUHPidana Belanda yang
disebut “Wetboek van Strarecht” (WvS) melalui modifikasi.28
26
Ibid, hlm 184
27
Ibid, hlm 187
28
Peraturan khusus tentang anak diatur dalam Undang-Undang Nomor 3
Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak maka dalam hal anak yang berhadapan dengan hukum para penegak hukum berpedoman pada peraturan tersebut, namun
seiring berjalannya waktu peraturan tersebut dirasa kurang cukup untuk memberikan perlindungan khusus bagi anak, maka dari itu dikeluarkanlah suatu pembaharuan dalam sistem peradilan pidana anak dalam Undang-undang Nomor
11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak .
Sesuai dengan Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak defenisi daripada Sistem Peradilan Pidana
Anak adalah keseluruhan proses penyelesaian perkara anak yang berhadapan dengan hukum, mulai dari tahap penyelidikan sampai dengan tahap
pembimbingan setelah menjalani pidana.
Yahya Harahap dalam buku Abintoro Prakoso berpendapat bahwa sistem peradilan pidana anak adalah sistem pengendalian kenakalan anak atau juvenile delinquency yang terdiri dari lembaga-lembaga yang menangani penyelidikan anak, penyidikan anak, penuntutan anak, pengadilan anak dan pemasyarakatan
anak.29
Sistem peradilan anak dalam defenisi lain adalah segala unsur sistem peradilan pidana yang terkait di dalam penanganan kasus-kasus kenakalan anak.
Pertama, Polisi sebagai institusi formal ketika anak nakal pertama kali bersentuhan dengan sistem peradilan, yang juga akan menentukan apakah anak
akan dibebaskan atau diproses lebih lanjut.
29
Kedua, Jaksa dan lembaga pembebasan bersyarat yang juga akan menentukan apakah anak akan dibebaskan atau diproses ke pengadilan anak.
Ketiga, Pengadilan anak yang merupakan tahapan ketika anak akan ditempatkan dalam pilihan-pilihan, mulai dari dibebaskan sampai dimasukkan dalam institusi penghukuman.30
G. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian
Penelitian hukum adalah suatu proses untuk menemukan aturan hukum, prinsip-prinsip hukum, maupun doktrin-doktrin hukum guna menjawab isu hukum
yang dihadapi.31
Jenis penelitian yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah
penelitian yuridis normatif. Penelitian yuridis normatif dalam penelitiannya dilakukan penelitian terhadap peraturan perundang-undangan, putusan pengadilan dan beberapa literatur yang berkaitan dengan permasalahan dalam skripsi ini.
2. Jenis Pendekatan
Pendekatan yang dilakukan dalam skripsi ini adalah pendekatan
perundang-undangan (statute approach), pendekatan kasus serta pendekatan historis.32
Pendekatan perundang-undangan (statue approach) adalah menelaah
semua undang-undang dan regulasi yang bersangkut paut dengan isu hukum yang sedang ditangani, dalam skripsi ini adalah Undang-Undang Nomor 11 Tahun
30
Ibid, hlm 142
31
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Surabaya: Kencana Prenada Media Group, 2005, hlm 35
32
2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak dan Undang-undang Nomor 35
Tahun 2009 Tentang Narkotika.
Pendekatan kasus melalui Putusan Nomor 44/Pid.Sus-Anak/2015/PN Mdn, dan
pendekatan historis melalui perkembangan Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan yang mengalami perkembangan menjadi Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Anak.
3. Data dan Sumber Data
Data yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah data sekunder,
sebagaimana data sekunder diperoleh dari :
a. Bahan hukum primer, dalam hal ini bukanlah peraturan peradilan atau yurisprudensi melainkan peraturan perundang-undangan 33 , seperti
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak dan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika,
kemudian bahan hukum primer berupa putusan-putusan pengadilan yang berkaitan dengan isu hukum yang dihadapi34, dalam skripsi ini adalah Studi Putusan Nomor 44/Pid.Sus-Anak/2015/PN Mdn.
b. Bahan hukum sekunder, yaitu suatu sumber yang memberikan kepada peneliti semacam petunjuk ke arah mana peneliti melangkah, yang dalam
skripsi ini adalah buku-buku hukum termasuk skripsi dan jurnal-jurnal hukum35
4. Teknik Pengumpulan Data
Pengumpulan data dalam penulisan skripsi ini adalah melalui studi pustaka atau library research yaitu dengan melakukan penelitian terhadap berbagai
33
Ibid, hlm 144
34
Ibid, hlm 146
35
literatur yang memiliki kaitan dengan permasalahan skripsi ini seperti buku-buku,
majalah, artikel dan informasi yang diperoleh penulis dari internet yang bertujuan untuk mencari atau memperoleh konsepsi-konsepsi, teori-teori atau bahan-bahan
yang berkenaan dengan sistem perlindungan pidana anak dan tindak pidana narkotika.
5. Analisis Data
Analisis data merupakan suatu proses menyusun data agar data tersebut dapat ditafsirkan. Dalam hal ini, analisis yang digunakan adalah analisis data
kualitatif yaitu data yang tidak bisa diukur atau dinilai dengan angka secara langsung.
Dengan demikian maka setelah data primer dan data sekunder telah
lengkap maka selanjutnya dianalisis dengan peraturan yang berkaitan dengan masalah yang diteliti.
H.Sistematika Penulisan
Penulis dalam penyusunan dan pemahaman skripsi ini membuat suatu sistematika penulisan secara teratur dari berbagai hal dan bagian yang memiliki
hubungan santara satu dengan yang lainnya.
Sistematika dalam penulisan tersebut terdiri atas beberapa bab dan diantara
bab-bab tersebut terdiri pula atas sub-sub bab-bab.
Sistematika penulisan skripsi ini dibagi dalam 4 (empat) bab yakni sebagai
berikut :
BAB I PENDAHULUAN
Bab ini merupakan bab yang menguraikan latar belakang
penelitian, keaslian penulis, tinjauan pustaka, metode penelitian
dan diakhiri dengan sistematika penulisan.
Tinjauan pustaka pada bab ini penulis memaparkan tentang
pengertian anak dalam hukum positif, pengertian tindak pidana serta pengertian sistem peradilan pidana anak.
BAB II PENGATURAN HUKUM BAGI ANAK PELAKU TINDAK
PIDANA NARKOTIKA
Bab ini membahas tentang kebijakan Undang-Undang Nomor 11
Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak dan hubungannya dengan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2009 Tentang Narkotika dalam hal anak sebagai pelaku tindak pidana
narkotika
BAB III PENERAPAN UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN
2012 TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK DALAM STUDI PUTUSAN Nomor 44/Pid.Sus-Anak/2015/PNMedan
Bab ini akan membahas tentang pertimbangan hakim dalam menjatuhkan hukuman bagi anak pelaku tindak pidana narkotika,
bab ini juga akan memberikan pembahasan yang berkaitan dengan kronologi kasus, dakwaan, tuntutan, putusan dan analisis
yuridis terhadap putusan hakim. BAB IV PENUTUP
Bab ini merupakan rangkuman dari seluruh pembahasan pada
berisi saran-saran yang diharapkan dapat digunakan sebagai