• Tidak ada hasil yang ditemukan

Implementasi Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak terhadap Anak Pelaku Tndak Pidana Narkotika (Studi Putusan: Nomor 44/Pid.Sus-nak/2015/PN Medan)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Implementasi Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak terhadap Anak Pelaku Tndak Pidana Narkotika (Studi Putusan: Nomor 44/Pid.Sus-nak/2015/PN Medan)"

Copied!
97
0
0

Teks penuh

(1)

DAFTAR PUSTAKA

I. Buku

Nashriana. 2011. Perlindungan Hukum Pidana Bagi Anak di Indonesia. Jakarta : PT Raja Grafindo.

Soetodjo, Wagiati. 2015. Hukum Pidana Anak. Bandung : Rafika Aditama. Marlina. 2011. Hukum Penitensier. Bandung : Rafika Aditama.

Soekanto, Soerjono. 1984. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta : UI Press. Utrecht, E dan Saleh Djindang. 1982. Pengantar Dalam Hukum Indonesia.

Jakarta : Penerbit dan Balai Buku Ichtiar.

Mohammad Ekaputra. 2013. Dasar-Dasar Hukum Pidana. Medan : USU Press. Lamintang, P.A.F. 1997. Dasar-Dasar Hukum Pidana. Bandung : Citra Aditya

Bati.

Sambas, Nandang. 2010. Pembaruan Sistem Pemidanaan Anak di Indonesia. Bandung : Graha Ilmu.

Prakoso, Abintoro. 2012. Pembaruan Sistem Peradilan Pidana Anak. Surabaya : Laksbang Grafika.

Marzuki, Peter Mahmud. 2005. Penelitian Hukum. Surabaya : Kencana Prenada Media Group.

Sholehuddin, M. 2002. Sistem Sanksi Dalam Hukum Pidana. Kota Besar : Rajawali Pers.

Tumpa, Harifin. 2011. Komentar dan Pembahasan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika. Jakarta : Sinar Grafika.

Siswanto, H. 2012. Politik Hukum Dalam Undang-Undang Narkotika (Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009). Jakarta : Rineka Cipta.

Muladi dan Barda Nawawi Arief. 1992. Teori-Teori dan Kebijakan Pidana. Bandung : Alumni.

Adi, Kusno. 2009. Diversi Sebagai Upaya Alternatif Penanggulangan Tindak Pidana Narkotika. Malang : UMM Press.

Marlina. 2010. Pengantar Konsep Diversi dan Restorative Justice, Medan: USU Press

Harahap, M .Yahya. 1985. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP

(2)

II. Majalah

Juniarti, Lidya Elisabeth. 2013. Menyamai Persepsi Penerapan Diversi dan Restoratif

Justice Terhadap Anak Konflik Hukum. Medan : Majalah PLEDOI, Edisi I

Hasibuan, Lidya Rahmadani. 2014. Diversi dan Keadilan Restoratif Pembaharuan Sistem

Peradilan Pidana Anak di Indonesia . Medan : Majalah PLEDOI, Edisi III

Aviandari, Distia. 2013. Menuju Pemberlakuan UU No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem

Peradilan Pidana Anak Medan : Majalah PLEDOI, Edisi I

III. Internet

http://www.kompasiana.com/santarosa/extraordinary-crime extraordinary law_55487d3eaf7e616e0a8b4593

https://id.wikipedia.org/wiki/Badan_Narkotika_Nasional

Ketentuan Pidana Penyalahgunaan Narkotika Serta Upaya Pencegahan dan Penanggulangannya,http://www.academia.edu/2951849/Ketentuan_Pidana_Terha dap_Penyalahgunaan_Narkotika_Serta_Upaya_Pencegahan_dan_Penanggulangannya

IV. Peraturan Perundang-undangan

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak

Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika

(3)

BAB III

IMPLEMENTASI UNDANG – UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK PADA

Putusan : Nomor 44/Pid.Sus - Anak/2015/PN Medan A. Kasus Posisi

1. Kronologis Perkara

Terdakwa134 bernama Tina Novita Lubis merupaka seorang pelaku tindak Pidana narkotika bersama-sama dengan M. Rendi Sanjaya Harahap (berkas perkara terpisah). Kasus ini berawal pada hari Kamis tanggal 7 Mei 2015 sekira pukul 17.12 Wib sewaktu saksi-saksi berada di depan Polsekta Medan Kota, pada saat itu petugas kepolisian bernama K.Lubis menelepon terdakwa dengan mengatakan “adek dimana sekarang”, selanjutnya terdakwa menjawab dengan

mengatakan “adek di hotel Milala”. Petugas kepolisian bernama K.Lubis bertanya

dengan mengatakan “abang kesana ya”, lalu terdakwa menjawab dengan mengatakan “ ya sudah datanglah”.Petugas kepolisian bernama K.Lubis

mengatakan “pompa kita ya (yang dimaksud dengan pompa adalah ngisap shabu),

lalu terdakwa menjawab dengan mengatakan “ya sudah”, selanjutnya petugas kepolisian bernama K.Lubis bertanya dengan mengatakan “siapa yang belanja”,

lalu terdakwa menjawab dengan mengatakan “teman saya” dan setelah itu

pembicaraan terputus.

Saksi-saksi membicarakan akan melakukan penangkapan terhadap terdakwa dengan cara petugas kepolisian bernama K.Lubis menjumpai terdakwa di salah satu kamar hotel Milala Inn dan apabila nanti petugas kepolisian bernma

134Berdasarkan Pasal 1 butir 15 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum

(4)

K.Lubis miskol kepada petugas kepolisian bernama G.Siburian langsung masuk dan melakukan penangkapan.

Para petugas kepolisian kemudian berangkat menuju Hotel Milala Inn dan sesampainya di Kampung Lalang petugas kepolisian bernama K.Lubis kembali menelpon terdakwa dengan mengatakan “adek, sekarang abang sudah di

Kampung Lalang”, lalu terdakwa menjawab dengan mengatakan “ya sudah bang”.

Kemudian lebih kurang 5 (lima) menit petugas kepolisian bernama K.Lubis kembali menelpon terdakwa dengan mengatakan “dek, abang sekarang sudah di

hotel Milala, adek keluarlah”, selanjutnya terdakwa menjawab dengan

mengatakan “ia bang” dan tidak berapa lama kemudian terdakwa datang dan setelag bertemu terdakwa mengajak petugas kepolisian bernama K.Lubis ke salah satu kamar hotel Milala Inn dan di dalam kamar tersebut sudah ada seorang laki-laki dan petugas kepolisian bernama K.Lubis tidak kenal dengan laki-laki-laki-laki tersebut, kemudian petugas kepolisian bernama K.Lubis bertanya dengan mengatakan “jadi

dek belanja shabunya” kemudian terdakwa menjawab dengan mengatakan

“jadilah biar abang ini yang pergi belinya (sambil terdakwa menunjuk laki-laki

yang ada di kamar tersebut yang tidak dikenal). Terdakwa bertanya dengan mengatakan “kita telpon kakak Masita itu Om, suruh datang kemari” lalu petugas

kepolisian bernama K.Lubis menjawab dengan mengatakan “terserah kaulah

bagaimana”.

Terdakwa menelpon saksi Masita dengan mengatakan “kakak kemarilah Om Lubis kangen ini mau jumpa” dan apa jawabannya petugas kepolisian

(5)

(dua ratus ribu rupiah) kepada laki-laki yang tidak dikenal untuk membeli shabu-shabu dan setelah uang diterima selanjutnya laki-laki tersebut pergi entah kemaa dan lebih kurang 15 (lima belas) menit kemudian saksi Masita datang dan kami bertiga berada di dalam kamar tersebut cerita-cerita dan leboh kurang 15 (lima belas) menit kemudian laki-laki yang pergi membeli shabu-shabu tersebut datang dan pada saat itu petugas kepolisian memiskol petugas kepolisian bernama G.Siburian yang menunggu di sekitar Hotel Milala Inn dan setalah kembali laki-laki yang membeli shabu-shabu tersebut memberikan 1 (satu) bungkus plastik kecil warna putih tembus pandang yang berisikan Narkotika jenis Shabu kepada petugas kepolisian bernama K.Lubis dan dalam waktu yang hampir bersamaan datang petugas kepolisian bernama G.Siburian.

Penangkapan135 dilakukan terhadap terdakwa, Masita, dan laki-laki yang membeli shabu-shabu tersebut yang bernama M.Rendi Sanjaya Harahap selanjutnya sewaktu di perjalanan terhadap M.Rendi Sanjaya Harahap dilakukan introgasi dan menjelaskan bahwa shabu-shabu tersebut dibelinya dari seorang perempuan di Asrama TNI Abdul Hamit bergelar MAMI (DPO) dan oleh karena situasinya tidak memungkinkan untuk melakukan penangkapan ke Asrama TNI Abdul Hamid lalu petugas kepolisian membawa para terdakwa beserta dengan barang bukti dibawa ke kantor Dit Res Narkoba Polda Sumut guna proses penyidikan lebih lanjut.

Bedasarakan hasil Analisis Laboratorium Barang Bukti Narkotika No. Lab.4426/NNF/2015 tanggal 13 Mei 2015 yang ditandatangani oleh Zulni Erma

135

(6)

dan Debora M. Hutagaol, S.Si, Apt barang bukti diterima berupa satu bungkusan yang memenuhi persyaratan pembungkusan dan penyegelan barang bukti dan setelah dibuka didalamnya terdapat : 1(satu) bungkus plastic klip berisi Kristal putih dengan berat netto 0,14 (nol koma empat belas) gram yang diduga mengandung narkotika milik tersangka atas nama Tina Novita Lubis dan M. Rendi Sanjaya Harahap yang di dalam kesimpulan menerangkan bahwa dari hasil analisis barang bukti milik tersangka atas nama Tina Novita Lubis dan M. Rendi Sanjaya Harahap adalah benar mengandung Metamfetamina dan terdaftar dalam Golongan I (satu) nomor urut 61 Lampiran I Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.

2. Dakwaan

Terdakwa telah didakwa oleh Jaksa Penuntut Umum dengan dakwaan136 yang berbentuk subsider, yakni :

1. Primer : sebagimana diatur dan diancam Pidana dalam Pasal 114 ayat (1) jo Pasal 132 (1) Undang-undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika 2. Subsidair : sebagaimana diatur dan diancam Pidana dalam Pasal 112 ayat

(1) jo Pasal 132 (1) Undang-undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika

3. Lebih Subsidair : sebagaimana diatur dan diancam Pidana dalam Pasal 131 jo Pasal 114 (1) Undang-undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.

136

Lihat M.Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP

(Penyidikan dan Penuntutan),Jakarta : Sinar Grafika 1985, hlm 386

(7)

3. Tuntutan

Tuntutan hukum Jaksa Penuntut Umum melakukan tuntutan hukum, yang pada pokoknya menuntut :

1. Menyatakan anak Tina Novita Lubis tidak terbukti bersalah melakukan tindak pidana pemufakatan jahat secara tanpa hak dan melawan hukum menawarkan untuk dijual, menjual, membeli, menerima, menjadi perantara dalam jual beli, menukar atau menyerahkan Narkotika Golongan I sebagaimana diatur dalam Pasal 114 ayat 1 jo Pasal 132 ayat 1 Undang-undang No.35 Tahun 2009 tentang Narkotika dalam dakwaan Primair; 2. Menyatakan anak Tina Novita Lubis tidak terbukti secara bersalah

melakukan tindak pidana pemufakatan jahat secara tanpa hak dan melawan hukum memiliki, meyimpan, menguasai atau menyediakan Narkotika Golongan I bukan tanaman sebagaimana diatur dalam Pasal 112 ayat 1 jo. Pasal 132 ayat 1 Undang-undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika dalam dakwaan Subsidair;

3. Membebaskan anak Tina Novita Lubis dari dakwaan Primair dan dakwaan Subsidair tersebut;

(8)

5. Menjatuhkan tindakan kepada anak Tina Novita Lubis dengan pengembalian kepada orang tua;

6. Menetapkan barang bukti berupa : 1(satu) bungkus plastik kecil tembus pandang yang berisikan shabu-shabu dengan berat netto 0.14 (nol koma empat belas) gram, 1(satu) unit handphone merk Advan dan 1 (satu) unit sepeda motor merk Honda Beat warna putih No. Polisi BK 5964 AFC dipergunakan dalam berkas perkara M.Rendi Sanjaya Harahap;

7. Membebankan biaya perkara kepada anak sebesar Rp1000,00 (seribu rupiah).

4. Fakta-Fakta Hukum a. Saksi 137:

1. G. Siburian

Pada hari Kamis tanggal 7 Mei 2015 sekitar pukul 18.15 telah dilakukan penangkapan terhadap Tina Novita Lubis dan M. Rendi Sanjaya Harahap (berkas terpisah) di Hotel Milala Inn di Jl. Medan-Binjai, Desa Mulyorejo, Kec. Sunggal, Kab. Deli Serdang dimana sebelumnya saksi mendengar pembicaraan saksi K. Lubis dengan seseorang melaui handphone dimana ada pembicaraan terkait dengan menggunakan narkotika dan saksi diminta untuk bersiap-siap di dekat sebuah kamar di hotel Milala Inn dan jika ada panggilan atau miss call dari K. Lubis saksi akan melakukan penangkapan.

137Pasal 1 butir 26 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana

(KUHAP) menyebutkan bahwa saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutatan dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri.

(9)

Saksi melihat di sebuah kamar di Hotel Milala Inn yang dipantau oleh saksi ada seorang wanita masuk ke dalam kamar kemudian ada seorang laki-laki yang keluar dari kamar hotel tersebut dan tidak berapa lama laki-laki tersebut sudah kembai masuk ke dalam kamar hotel dan tiba-tiba ada panggilan/ miss call dari saksi K.Lubis sehingga saksi masuk ke kamar dan melakukan penangkapan terhadap dua orang wanita dan seorang laki-laki dan menyita shabu-shabu dari laki-laki tersebut.

2. K. Lubis

Saksi bersama dengan saksi G. Siburian telah melakukan penangkapan terhadap Tina Novita Lubis dan M. Redi Sanjaya Harahap (berkas terpisah) di Hotel Milala Inn di Jl. Medan-Binjai, Desa Mulyorejo, Kec. Sunggal, Kab. Deli Serdang, dimana dalam penangkapan itu telah disita barang bukti dari M. Rendi Sanjaya Harahap shabu-shabu dengan berat netto 0,14 (nol koma empat belas) gram, 1 (satu) unit handphone dan 1 (satu) unit sepeda motor Honda Beat BK 5694 AFC.

(10)

3. Masita

Pada hari Kamis tanggal 7 Mei 2015 sekira pukul 17.30 Wib sewaktu saksi berada di rumah dan pada saat itu saksi mendapat telpon dari teman saksi yang bernama Tina Novita Lubis dan mengatakan “Kakak kemarilah Om Lubis kangen

ini mau jumpa” selanjutnya saksi menjawab dengan mengatakan “Sebentarlah

nanti kakak datang” dan setelah itu pembicaraan saksi dan terdakwa terputus dan

selanjutnya saksi pun berkemas-kemas dan setelah selesai saksi pun berangkat ke tempat dimana Sdri Tina Novita Lubis berada yaitu di Hotel Milala Inn, Jl. Medan Binjai Km. 12 Desa Mulio Rejo Kec. Sunggal, Kab. Deli Serdang dan lebih kurang 15 (lima belas) menitnkemudian saksi sampai di hotel tersebut dan saksi bertemu dengan Sdri Tina Novita Lubis dan Sdr. K.Lubis dan di kamar tersebut dan mereka bercerita-cerita dan lebih kurang 15 (lima belas) menit kemudian datang Sdr. M.Rendi Sanjaya Harahap dan setelah bertemu Sdr. M. Rendi Sanjaya Harahap memberikan 1 (satu) bungkus plastik kecil warna putih tembus pandang yang berisikn narkotika jenis shabu kepada Sdr K.Lubis dan malam waktu yang hampir bersamaan datang beberapa orang laki-laki yang tidak saksi kenal teman-teman dari Sdr K.Lubis dan masuk ke dalam kamar tersebut dan selanjutna terhadap saya, Sdr. M. Rendi Sanjaya Harahap dan Sdri. Tina Novita Lubis dilakukan penangkapan dan selanjutnya saksi berikut dengan barang buktinya dibawa ke Dit Res Narkotika Pols Sumut guna proses perkara lebih lanjut.

4. M. Rendi Sanjaya Harahap

(11)

bernama Tina Novita Lubis dan pada saat itu Sdri Tina Novita Lubis mendapat telepon dari seorang laki-laki dan saat itu saksi ada mendengar Sdri Tina Novita Lubis antara lain mengatakan “Adek di hotel Milala, Yaa sudah satanglah, Yaa sudah, Teman saya” dan setelah itu pembicaraan mereka terputus dan selanjutnya

sekira pukul 17.38 Sdri Tina Novita Lubis kembali mendapat telpon yang antara lain Sdri Tina Novita Lubis mengatakan “Yaa sudah bang” dan setelah itu pembicaraan mereka terputus, kemudian lebih kurang 5 (lima) menit kemudian Sdri Tina Novita Lubis kembali mendapat telpon yang antara lain mengatakan “Ia

Bang” dan setelah itu Sdri Tina Novita Lubis keluar dari dalam kamar tersebut

dan tidak berapa lama kemudian datang kembali dengan seorang laki-laki yang tidak saksi kenal, setelah saksi bertiga berada di kamar tersebut selanjutnya laki-laki yang tidak saksi kenal tersebut bertanya kepada Sdri Tina Novita Lubis dengan mengatakan “Jadi dek belanja shabunya” selanjutnya Sdri Tina Novita Lubis menjawab dengan mengatakan “Jadilah biar abang ini yang pergi belinya

(sambil Sdri Tina Novita Lubis menunjuk saksi) dan selanjutnya kepada laki-laki tersebut, Sdri. Tina Novita Lubis bertanya dengan mengatakan “Kita telpon kakak Masita itu Om, suruh datang kemari” selanjutnya laki-laki tersebut menjawab dengan mengatakan “Terserah kaulah bagaimana” selanjutnya Sdri Tina Novita

Lubis menelpon Sdri Masita dengan mengatakan “Kakak kemarilah Om Lubis kangen ini mau jumpa” selanjutnya apa jawabannya saksi tidak mendengarnya,

(12)

Jl. Medan Binjai dan sesampainya saksi di alamat tersebut saksi menjumpai seorang perempuan yang bergelar MAMI di teras rumahnya yang beralamat di Jl. Medan Binjai Asrama TNI Abdul Hamid dan setelah bertemu saksi mengatakan “Mami aku beli shabu paket Rp200.000 (dua ratus ribu rupiah)” yang bersamaan

dengan itu saksi memberikan uang sejumlah Rp200.000 (dua ratus ribu rupiah) kepada Mami tersebut dan setelah diterima, selanjutnya Mami tersebut masuk ke dalam rumahnya dan tidak berapa lama kemudian Mami tersebut kembali menjumpai saksi dan setelah bertemu Mami tersebut memberikan 1 (satu) bungkus plastik kecil warna putih tembus pandang yang berisikan narkotika jenis shabu kepada saksi dan setelah saksi terima selanjutnya saksi pergi menjumpai Sdri Tina Novita Lubis.

(13)

(satu) unit sepeda motor merk Honda Beat warna putih No. Plisi BK 5694 AFC serta 1 (satu) unit handphone merek Advan warna putih.

b. Barang Bukti :

Bahwa dipersidangan telah diperlihatkan barang bukti sebanyak 3 (tiga) buah sebagai berikut :

1. 1(satu) bungkus plastik kecil tembus pandang yang berisikan shabu-shabu seberat netto 0.14 (nol koma empat belas) gram;

2. 1 (satu) unit handphone merk Advan;

3. 1(satu) unit sepeda motor Honda Beat warna putih No. Polisi BK 5694 AFC.

c. Keterangan Orangtua Terdakwa

Pada saat di persidangan telah di dengar keterangan orangtua dari anak Tina Novita Lubis yang pada pokoknya menerangkan sebagai berikut :

a. Bahwa benar Tina Novita Lubis adalah anak kandungnya, anak pertama dari empat bersaudara;

b. Bahwa Tina Novita Lubis putus sekolah (tingkat SMP) karena kemauannya sendiri dan tidak mau lagi melanjutkan sekolah;

c. Bahwa sebagai orangtua tidak mengetahui apa yang dilakukan oleh Tina Novita Lubis selama di luar rumah;

d. Bahwa benar Tina Novita Lubis sering pergi dari rumah dan juga sering pulang sampai larut malam;

(14)

f. Bahwa sebagai orangtua memohon agar Tina Novita Lubis dihukum yang seringan-ringannya karena masih tergolong anak-anak dan sebagai orang tua berjanji akan lebih mendidik dan mengawasi Tina Novita Lubis supaya bisa menjadi baik kembali.

d. Keterangan Terdakwa138 :

Terdakwa telah memberikan keterangan di persidangan, yang pada pokoknya sebagai berikut :

a. Pada hari Kamis tanggal 7 Mei 2015 sekitar pukul 17.12 WIB sewaktu Terdakwa ada di sebuah kamar di Hotel Milala Inn bersama M. Rendi Sanjaya Harahap, Terdakwa telah ditelpon saksi K. Lunis yang mengajak untuk menggunakan shabu-shabu dan saksi K.Lubis menanyakan siapa yang akan membeli shabu-shabu dan dijawab Terdakwa nanti teman saya; b. Saksi K. Lubis datang ke sebuah kamar di Milala Inn dimana Terdakwa

dan M. Rendi Sanjaya berada, kemudian saksi K. Lubis menyuruh M. Rendi Sanjaya Harahap untuk membeli shabu-shabu seharga Rp200.000,00 (dua ratus ribu rupiah) dengan menggunakan uang dari saksi K.Lubis

c. M.Rendi Sanjaya keluar dengan menggunakan sepeda motor Terdakwa untuk membeli shabu-shabu dan setelah tidak lama M.Rendi Sanjaya datang kembali ke hotel dengan menyerahkan shabu-shabu kepada K.Lubis namun tidak beberapa lama masuklah G.Siburian ke dalam kamar hotel dan melakukan penangkapan terhadap Terdakwa dan M.Rendi Sanjaya Harahap dan menyita barang-barang bukti;

138Pasal 189 ayat (1) KUHAP menyebutkan bahwa keterangan terdakwa ialah apa yang

(15)

d. Bahwa yang mengajak menggunakan shabu-shabu adalah saksi K.Lubis dan yang menyuruh membeli shabu-shabu juga adalah saksi K.Lubis dengan menggunakan uang K.Lubis.

5. Amar Putusan Pengadilan Negeri

Memperhatikan, Pasal 131 jo. Pasal 114 Undang-undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak dan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, adapun amar putusan139 Majelis Hakim adalah sebagai berikut : 1. Menyatakan anak Tina Novita Lubis tersebut diatas tidak terbukti secara sah

dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana dakwaan Primer dan dakwaan Subsidair;

2. Membebaskan anak Tina Novita Lubis dari dakwaan Primair dan Subsidair tersebut;

3. Menyatakan anak Tina Novita Lubis terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana dengan sengaja tidak melaporkan adanya tindak pidana narkotika sebagaimana dalam dakwaan lebih subsidair;

4. Menjatuhkan tindakan kepada anak oleh karena itu dengan tindakan berupa mengembalikan anak kepada orang tuanya;

5. Menetapkan barang bukti berupa : 1 (satu) bungkus plastik bening tembus pandang berisikan shanu-shabu dengan berat netto 0,14 (nol koma empat belas) gram, 1 (satu) unit handphone merk Advan dan 1 (satu) unit sepeda

139

Pada penjelasan Pasal 2 ayat (1) Undang-undang Nomor 22 Tahun 2002 tentang Grasi

yang berbunyi : Yang dimaksud dengan “putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap” adalah :

1. Putusan pengadilan tingkat pertama yang tidak diajukan banding atau kasasi dalam waktu yang ditentukan oleh Undang-undang Hukum Acara Pidana,

2. Putusan pengadilan tingkat banding yang tidak diajukan kasasi dalam waktu yang ditentukan oleh Undang-undang tentang Hukum Acara Pidana, atau

(16)

motor merk Honda Beat No. Polisi BK 5694 AFC dipergunakan dalam perkara M. Rendi Sanjaya Harahap;

6. Membebankan anak untuk membayar biaya perkara sejumlah Rp1.000,00 (seribu rupiah)

B.Analisis Yuridis Terhadap Putusan Hakim

Berdasarkan kasus yang telah diuraikan di atas maka dapat dilihat bahwa anak Tina Novita Lubis telah didakwan oleh jaksa penuntut umum dengan dakwaan Subsidair yakni sebagai berikut :

1. Primer : sebagimana diatur dan diancam Pidana dalam Pasal 114 ayat (1) jo Pasal 132 (1) Undang-undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika 2. Subsidair : sebagaimana diatur dan diancam Pidana dalam Pasal 112 ayat

(1) jo Pasal 132 (1) Undang-undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika

3. Lebih Subsidair : sebagaimana diatur dan diancam Pidana dalam Pasal 131 jo Pasal 114 (1) Undang-undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.

Dalam dakwaan primer sebagaimana yang diatur dan diancam dalam Pasal Pasal 114 ayat (1) jo Pasal 132 (1) Undang-undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika memiliki unsur-unsur sebagai berikut :

1. Setiap orang

2. Percobaan atau pemufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana narkotika

(17)

4. Menawarkan untuk dijual, menjual, membeli, menerima, menjadi perantara dalam jual beli, menukar atau menyerahkan Narkotika Golongan I.

Unsur I : Setiap Orang.

Setiap orang adalah manusia yang merupakan subjek hukum yang menyandang hak dan kewajiban di dalam hukum dan dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatannya.

Dalam hal ini orang perseorangan adalah terdakwa yang berada dalam keadaan sehat rohani dan jasmani sehingga dapat dipertanggungjawabakan atas setiap perbuatannya dan dengan demikian unsur ini telah terbukti.

Unsur II : Percobaan atau pemufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana narkotika.

Anak Tina Novita Lubis terbukti sedang melakukan percobaan atau pemufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana narkotika. Hal tersebut dibuktikan dalam kronologi kasus yang menjelaskan bahwa Pada hari Kamis tanggal 7 Mei 2015 Tina Novita Lubis sedang berada di kamar Hotel Milala Inn bersama M.Rendi Sanjaya Harahap kemudian saksi K.Lubis melalui telepon mengatakan akan datang ke hotel dan menawarkan untuk menggunakan shabu-shabu (pompa) dan hal tersebut disetujui oleh anak Tina Novita Lubis melalui jawaban anak Tina Novita Lubis “ya sudah datanglah”.

(18)

Unsur III : Tanpa hak atau melawan hukum

Unsur ini menyebutkan bahwa perbuatan yang dilakukan oleh anak merupakan perbutan yang tanpa hak dan melawan hukum sebagaimana yang telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.

Berdasarkan penjelasan di atas anak Tina Novita Lubis terbukti melakukan perbuatan sebagaimana dalam unsur ini.

Unsur IV : Menawarkan untuk dijual, menjual, membeli, menerima, menjadi perantara dalam jual beli, menukar atau menyerahkan Narkotika Golongan I.

(19)

Berdasarkan fakta tersebut, maka dalam hal ini anak Tina Novita Lubis tidak terkait dengan pembelian, penjualan, penerimaan, penyerahan, penukaran, ataupun sebagai perantara jual beli Narkotika oleh karena itu unsur ini tidak terpenuhi, oleh karena salah satu unsur esensial dalam dakwaan primair tidak terpenuhi, maka pertimbangan hakim yang membebaskan terdakwa dari dakwaan Primer dalam putusannya adalah benar.

Selanjutnya akan dipertimbangkan tentang dakwaan Subsidair sebagaimana yang diatur dan diancam dalam Pasal 112 ayat (1) jo Pasal 132 (1) Undang-undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika memiliki unsur-unsur sebagai berikut :

1. Setiap orang

2. Percobaan atau pemufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana narkotika

3. Tanpa hal atau melawan hukum

4. Memiliki, meyimpan, menguasai atau menyediakan Narkotika Golongan I Bukan Tanaman

Berdasarkan kronologi kasus di atas, sesuai dengan dakwaan sebelumnya maka unsur 1, 2, dan 3 dalam dakwaan Subsidair ini telah terpenuhi, namun dalam unsur yang ke-empat yakni memiliki, menyimpan, menguasai atau menyediakan Narkotika Golongan I Bukan Tanaman harus dipertimbangkan.

(20)

Berdasarkan pertimbangan di atas maka salah satu unsur esensial yaitu unsure ke-empat dalam dakwaan Subsidair tersebut tidak terpenuhi, maka pertimbangan hakim yang membebaskan terdakwa dari dakwaan primer dalam putusannya adalah benar.

Selanjutnya akan dipertimbangkan tentang dakwaan Lebih Subsidair sebagaimana yang diatur dan diancam dalam Pasal 131 jo Pasal 114 ayat (1) Undang-undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika memiliki unsur-unsur sebagai berikut :

1. Setiap orang

2. Sengaja tidak melaporkan adanya unsur tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 114 Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.

Unsur I : Setiap orang

Bahwa yang dimaksud dengan “setiap orang” adalah manusia sebagai

subjek hukum, maka dari itu unsur ini terpenuhi.

Unsur II : Sengaja tidak melaporkan adanya unsur tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 114 Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.

(21)

Tina Novita Lubis mengetahui atau selayaknya harus mengetahui bahwa perbuatan jual-beli narkotika tersebut dilarang oleh Undang-undang.

Dakwaan Lebih Subsidair ini menjelaskan bahwa seluruh unsur yang termuat di dalamnya sudah terpenuhi, menurut penulis putusan hakim yang menyatakan anak Tina Novita Lubis terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana dengan sengaja tidak melaporkan adanya tindak pidana narkotika adalah benar.

Majelis Hakim sebelum menjatuhkan pidana atas diri anak Tina Novita Lubis terlebih dahulu mempertimbangkan hal-hal yang memberatkan dan hal-hal yang meringankan anak Tina Novita Lubis yaitu :

Hal-hal yang memberatkan :

- Kurang mendukung upaya pemerintah dalam pemberantasan peredaran obat-obat terlarang

Hal-hal yang meringankan :

- Terdakwa masih tergolong anak-anak

- Terdakwa mengakui perbuatannya dan merasa bersalah - Terdakwa belum pernah dipidana

(22)

undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak dan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana

Penulis berpendapat bahwa dasar hukum dalam pertimbangan amar putusan majelis hakim adalah keliru karena Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak yang dipergunakan tidak sesuai lagi dengan keadaan yang ada, seharusnya Undang-undang yang dipergunakan dalam kasus tersebut adalah Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, yang mana tempus delicti pada kasus tersebut adalah pada tahun 2015 sedangkan Undang-undang tentang Sistem Peradilan Pidana Anak dikeluarkan pada tahun 2012 dan menurut ketentuan penutup Pasal 108 Undang- undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak maka undang-undang tersebut berlaku setelah 2 (dua) tahun terhitung sejak tanggal diundang-undangkan, artinya sejak tahun 2014 undang-undang tersebut sudah wajib dipergunakan oleh penegak hukum dalam pertimbangan hukumnya.

Undang- Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana diatur mengenai konsep diversi dan restorative justive yaitu suatu konsep untuk mengalihkan proses peradilan pidana anak dari formal menuju non formal dan konsep diversi tersebut wajib untuk diupayakan oleh penegak hukum pada tingkat penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan anak di pengadilan negeri.

(23)

Amar putusan hakim menyebutkan, menjatuhkan tindakan kepada anak oleh karena itu dengan tindakan berupa pengembalian kepada orang tua.

Menurut penulis tindakan yang lebih tepat dijatuhkan kepada anak Tina Novita Lubis adalah berupa kewajiban mengikuti pendidikan formal dan/atau pelatihan yang diadakan oleh pemerintah atau badan swasta (sesuai dengan Pasal 82 Ayat 1 huruf e Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak), karena berdasarkan keterangan orangtua terdakwa bahwa anak Tina Novita Lubis putus sekolah (tingkat SMP) karena kemauannya sendiri dan tidak mau melanjutkan sekolah lagi, menurut penulis jika anak Tina Novita Lubis dikembalikan kepada orangtuanya maka peluang untuk Tina Novita Lubis melakukan pengulangan tindak pidana tetap ada dikarenakan anak Tina Novita Lubis tidak memiliki kegiatan sehari-hari akibat putus sekolah.

Menurut keterangan orangtua anak Tina Novita Lubis menerangkan bahwa orangtua kurang memberikan pengawasan kepada anak Tina Novita Lubis, jika Tina Novita Lubis dijatuhi sanksi tindakan dengan mengembalikan kepada orangtua, maka menurut penulis ketika anak Tina Novita Lubis dikembalikan kepada orangtua maka anak Tina Novita Lubis memiliki cenderung akan melakukan pengulangan tindak pidana.

(24)

BAB IV PENUTUP A. Kesimpulan

Berdasarkan uraian-uraian tersebut, dapat ditarik bebrapa kesimpulan yakni :

1. Kebijakan hukum dalam Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak mengatur konsep diversi dan keadilan restoratif (restorative justice) dalam undang-undang tersebut yang mana tujuan diberlakukannya kebijakan tersebut adalah untuk memberikan perlindungan terhadap anak yaitu menghindarkan anak agar tidak berakhir di penjara namun memberi tindakan perawatan (treatment) dan perbaikan (rehabilitation) kepada pelaku kejahatan sebagai pengganti dari hukuman.

Bagi anak pelaku tindak pidana narkotika yang telah memenuhi syarat sesuai yang ditetapkan undang-undang diterapkan sanksi alternatif (alternative sanction) yaitu diversi atau sanksi lain berupa sanksi tindakan agar anak merasa tidak terasingkan dan tetap diterima di tengah-tengah masyarat.

(25)

Putusan tersebut menujukkan bahwa penerapan Undang-Undang Nomor 11 tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak adalah keliru karena para penegak hukum dalam kasus tersebut masih mempergunakan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak dalam pertimbangan hukumnya yang menyebabkan anak menjadi kehilangan hak sepatutnya ia dapatkan.

B.Saran

1. Para penegak hukum hendaknya memperhatikan dengan cermat undang-undang apa yang sebenarnya harus diterapkan dalam pertimbangan hukum suatu kasus, hal tersebut merupakan sesuatu yang bersifat fundamental dalam menangani suatu kasus. Penegak sebaiknya tidak keliru dalam memperhatikan undang-undang tersebut karena apabila para penegak hukum keliru maka akan banyak orang-orang yang akan kehilangan haknya akibat kekeliruan itu.

(26)

BAB II

PENGATURAN HUKUM BAGI ANAK SEBAGAI PELAKU TINDAK PIDANA NARKOTIKA

A. Kebijakan Hukum Dalam Undang-Undang No 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak

1. Diversi

Pasal 1 angka 7 Undang-Undang No 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana menyatakan bahwa diversi merupakan pengalihan penyelesaian perkara anak dari proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana. Konsep diversi ini telah lebih lama diterapkan di beberapa negara. Menurut catatan sejarah, di Inggris polisi telah lama melakukan diskresi dan mengalihkan anak kepada proses non formal.36

Catatan pertama kali diterapkannya perlakuan khusus bagi anak atas suatu tindak pidana yang dilakukannya adalah yaitu pada tahun 1833, yakni dengan melakukan proses informal di luar peradilan, selain itu terdapat juga pemisahan peradilan untuk anak-anak di bawah umur yang diatur di dalam Children Act tahun 1908 yang mana menurut Children Act pada tahun 1908 polisi diberi tugas untuk menangani anak sebelum masuk ke pengadilan dengan lebih memperhatikan pemberian kesejahteraan dan keadilan kepada anak pelaku tindak pidana dan pemberian perlakuan khusus terhadap anak pelaku tindak pidana ini termasuk ke dalam konsep diversi.37

Tahun 1890 negara Australia semasa berada dalam kolonial Inggris telah melakukan pemisahan peradilan anak dan dewasa dan telah dilakukan pelatihan

36

Marlina, Pengantar Konsep Diversi dan Restorative Justice, Medan: USU Press, 2010,hlm 24

37

(27)

dan pendidikan bagi para pertugas peradilan untuk melakukan rehabilitasi terhadap anak, sedangkan di Amerika Serikat pengadilan anak dibentuk pada tahun 1899 dengan menciptakan perlakuan hukum khusus bagi pelaku anak.38

Indonesia memiliki konsep diversi yang pertama sekali diatur di dalam Undang-Undang No 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, yang mana konsep diversi merupakan satu terobosan baru dalam sistem peradilan anak di Indonesia yang mana konsep diversi merupakan suatu pengalihan penyelesaian kasus-kasus anak yang diduga melakukan tindak pidana tertentu dari proses pidana formal ke penyelesaian damai antara tersangka/terdakwa/pelaku tindak pidana dengan korban yang difasilitasi oleh keluarga dan/atau masyarakat, Pembimbing Kemasyarakatan Anak, Polisi, Jaksa atau Hakim.39

Diversi dilakukan untuk menemukan suatu bentuk penyelesaian yang bersifat win win solution, yang mana konsep diversi lahir didasarkan pada kenyataan bahwa proses peradilan pidana terhadap pelaku tindak pidana melalui sistem peradilan pidana konvensional lebih banyak menimbulkan bahaya daripada kebaikan.40

Konsep diversi memiliki tujuan seperti yang tertuang dalam Pasal 6 Undang-undang No 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, yakni :

1.Mencapai perdamaian antara korban dan anak;

2.Menyelesaikan perkara anak di luar proses pengadilan; 3.Menghindarkan anak dari perampasan kemerdekaan; 4.Mendorong masyarakat untuk berpartisipasi; dan

38

Ibid, hlm 25 39

Lidya Rahmadani Hasibuan,”Diversi dan Keadilan Restoratif Pembaharuan Sistem Peradilan Pidana Anak di Indonesia”,PLEDOI,Edisi III/2014,hlm 11

40

(28)

5.Menanamkan rasa tanggung jawab kepada anak.

Diversi juga memiliki tujuan untuk menghindari stigmatisasi terhadap anak yang diduga melakukan tindak pidana, sehingga diharapkan anak dapat kembali ke dalam lingkungan sosial yang wajar dan juga menegakkan hukum tanpa melakukan tindakan kekerasan yang menyakitkan dengan memberi kesempatan kepada seseorang untuk memperbaiki kesalahannya tanpa melalui hukuman pidana oleh negara yang mempunyai otoritas penuh, salah satu contoh latar belakang pentingnya penerapan konsep diversi dilakukan karena tingginya jumlah anak yang masuk ke peradilan pidana dan diputus dengan penjara dan mengalami kekerasan saat menjalani rangkaian proses dalam sistem peradilan pidana.41

Pertimbangan lain berlakunya konsep diversi dalam sistem peradilan pidana anak didasarkan pada alasan untuk memberikan keadilan kepada pelaku yang telah terlanjur melakukan tindak pidana serta memberikan kesempatan pada pelaku untuk memperbaiki dirinya.

Terdapat 3 jenis pelaksanaan diversi, yaitu :42

1. Berorientasi kontrol sosial (social control orientation), dalam hal ini aparat penegak hukum menyerahkan anak pelaku pada pertanggungajwaban dan pengawasan masyarakat;

2. Berorientasi pada social service, yaitu pelayaa sosial oleh masyarakat dengan melakukan fungsi pengawasan, perbaikan dan menyediakan pelayanan bagi pelaku dan keluarganya;

41

Ibid, hlm 13-14

42

(29)

3. Berorientsi pada restorative justice, yaitu memberikan kesempatan kepada pelaku untuk

bertanggung jawab atas perbuatannya kepada korban dan masyarakat. Semua pihak yang terlibat dipertemukan untuk bersama-sama mencapai kesepakatan, apa tindakan yang terbaik untuk anak pelaku ini.

Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak dengan tegas menyatakan bahwa dalam penanganan anak yang berkonflik hukum maka penyidik, jaksa, hakim wajib mengupayakan tindakan diversi.43

Sesuai dengan Pasal 7 ayat (2) Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, diversi dapat diberlakukan jika pelaku anak diancam dengan pidana penjara dibawah 7 (tujuh) tahun dan bukan merupakan pengulangan tindak pidana, dengan mempertimbangkan kategori tindak pidana, umur anak, hasil penelitian kemasyarakatan dari Bapas dan dukungan lingkungan keluarga dan masyarakat (Pasal 9 Undang-undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak).

Peraturan lain yang mengatur tentang diversi juga terdapat dalam Peraturan Pemerintah Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2014 tentang Pedoman Pelaksanaan Diversi dalam Sistem Peradilan Pidana Anak dan juga dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 65 Tahun 2015 tentang Pedoman Pelaksanaan Diversi dan Penanganan Anak Yang Belum Berumur 12 (dua belas) tahun.

43

(30)

2. Keadilan Restoratif (Restorative Justice)

Proses penanggulangan anak pelaku tindak pidana dilakukan secara penal dan non penal, secara penal yaitu dengan cara penerapan sanksi pidana dan secara non penal dengan tindakan diversi oleh penegak hukum dan penyelesaian di luar peradilan formal dengan restorative justice.44

Konsep restorative justice merupakan teori keadilan yang tumbuh dan berkembang dari pengalaman pelaksanaan pemidanaan yang terdapat di berbagai negara dan akar budaya masyarakat yang ada sebelumnya dalam menangani permasalahan kriminal jauh sebelum dilaksanakannya sistem peradilan pidana tradisional.45

Sejarah perkembangan hukum modern menyatakan bahwa penerapan restorative justice di awali melalui pelaksanaan sebuah program penyelesaian di luar peradilan tradisional yang dilakukan masyarakat yang disebut dengan victim offender mediation yang dimulai pada tahun 1970-an di negara Canada. Program tersebut dilaksanakan sebagai tindakan alternatif dalam menghukum pelaku kriminal anak, dimana sebelum dilaksanakan hukuman pelaku dan korban diizinkan untuk bertemu untuk menyusun usulan hukum yang akan menjadi salah satu pertimbangan dari sekian banyak pertimbangan hakim.46

Indonesia memiliki pengaturan mengenai restorative justice yang diatur dalam Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, Pasal 1 angka 6 Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak mengatakan bahwa keadilan restoratif (restorative justice) merupakan penyelesaian perkara tindak pidana dengan melibatkan pelaku, korban,

44 Marlina, Pengantar Konsep Diversi dan Restorative Justice, Op.Cit, hlm 28 45

Ibid, hlm 29-30

46

(31)

keluarga pelaku/korban, dan pihak lain yang terkait untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula, dan bukan pembalasan.

Pengertian diatas meyatakan bahwa restorative justice memiliki hubungan yang erat dengan diversi yang mana mempunyai tujuan yang sama yaitu mengalihkan proses peradilan anak dari peradilan formal ke dalam peradilan non-formal dengan cara melibatkan pelaku, korban, keluarga, masyarakat, pembimbing kemasyarakatan anak, polisi, jaksa atau hakim melalui suatu bentuk penyelesaian win win solution yang menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula dan bukan pembalasan.

Susan Sharpe berpendapat ada 5 (lima) prinsip dalam restorative justice, yakni :47

1. Restorative justice mengandung partisipasi penuh dan konsensus.

Dalam hal ini korban dan pelaku harus dilibatkan secara aktif dalam perundingan untuk menemukan penyelesaian secara komprehensif. Selain itu juga membuka kesempatan bagi masyarakat yang selama ini merasa terganggu keamanan dan ketertibannya oleh pelaku untuk ikut duduk bersama memecah persoalan itu;

2. Restorative justice mencari solusi untuk mengembalikan dan menyembuhkan kerusakan atau kerugian akibat tindak pidana yang dilakukan oleh pelaku. Hal ini juga termasuk upaya penyembuhan atau pemulihan korban atas tindak pidana yang menimpanya;

47

(32)

3. Restorative justice memberikan rasa tanggung jawab yang utuh bagi pelaku untuk bertanggung jawab atas perbuatannya. Pelaku harus menunjukan rasa penyesalannya dan mengakui semua kesalahannya serta menyadari bahwa perbuatannya tersebut mendatangkan kerugian bagi orang lain;

4. Restorative justice berusaha menyatukan kembali pelaku sebagai warga masyarakat dengan masyarakatnya yang selama ini terpisah akibat tindak pidana. Hal ini dilakukan dengan mengadakan rekonsilisasi antara korban dan pelaku serta mengintegrasikan kembali keduanya dalam kehidupan masyarakat secara normal. Keduanya harus dibebaskan dari masa lalunya demi masa depan yang lebih cerah;

5. Restorative justice memberikan kekuatan kepada masyarakat untuk mencegah supaya tindakan kejahatan tidak terulang kembali. Kejahatan mendatangkan kerusakan dalam kehidupan masyarakat, tetapi kejahatan juga dapat memberikan pembelajaran bagi masyarakat untuk membuka keadilan yang sebenarnya bagi semua masyarakat.

Peneraparan restorative justice telah berkembang di beberapa negara yaitu Eropa, Amerika Serikat, Canada, Australia dan New Zealand dan dapat dikelompokkan ke dalam empat jenis praktek yang menjadi pioner penerapan restorative justice, yaitu Victim Offender Mediation, Confencing/Family Group Conferencing, Circles dan Restorative Board/Youth Panels.48

48

(33)

Victim Offender Mediation memiliki tujuan untuk memberi penyelesaian terhadap peristiwa dengan membuat sanksi alternatif bagi pelaku atau untuk melakukan pembinaan di tempat khusus bagi pelanggar yang benar-benar serius. Bentuk dasar proses ini adalah melibatkan dan membawa korban dan pelakunya kepada satu mediator yang mengkoordinasi dan memfasilitasi pertemuan.49

Family Group Conferencing memiliki tujuan memberikan kejelasan atas peristiwa yang terjadi dengan memberi semangat kepada pelaku, mengembalikan kerugian korban, melakukan reintegrasi korban ke masyarakat dan pertanggung jawaban bersama.50

Conferencing tidak hanya melibatkan korban utana (primary victim) dan pelaku utama (primary offender) tapi juga korban sekunder (secondary victim) yaitu anggota keluarga dan teman korban.51

Circles memiliki tujuan untuk menyelesaikan suatu tindak pidana dengan mempertemukan korban, pelaku, lembaga yang memperhatikan masalah anak, masyarakat dan untuk kasus yang serius dihadirkan juga hakim dan jaksa, dimana semua peserta duduk melingkar dan diberikan kesempatan berbicara memberikan pandangan terhadap pelaku atas perbuatan yang telah dilakukannya.

Peserta juga berdiskusi untuk menemukan kesepakatan yang terbagik bagi kedua belah pihak termasuk mengenai restitusi atau ganti rugi atau sanksi lainnya termasuk putusan tanpa sanksi tapi pemaafanpelaku oleh masyarakat dan korban.52

49

Lidya Rahmadani Hasibuan, Op.Cit, hlm 7

50Ibid, hlm 7 51

Marlina, Pengantar Konsep Diversi dan Restorative Justice, Op.Cit, hlm 58

52

(34)

Reperetive Board/Youth Panel bertujuan untuk menyelesaikan tindak pidana yang dilakukan oleh anak dengan cara melibatkan pelaku, korban, masyarakat, mediator dan juga hakim, jaksa, dan pembela secara bersama merumuskan bentuk sanksi yang tepat bagi pelaku dang anti rugi bagi korban atau masyarakat.53

3. Sanksi Pidana dan Sanksi Tindakan

KUHPidana mengatur sistem pemidanaan terhadap anak, meliputi batas usia di bawah 16 tahun sebagai orang yang dikategorikan anak sebagai pelaku tindak pidana, tanpa memberikan batas usia terendah seolah-olah anak yang baru lahirpun dapat diminta pertanggungjawaban pidana, sedangkan masalah jenis sanksi yang diancam terhadap anak selain mengatur sanksi pidana sebagaimana yang ditegaskan dalam Pasal 10 KUHPidana yang berupa pidana pokok dan pidana tambahan.54

Rumusan sanksi pidana dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak mengatur dua jenis sanksi pidana yang berupa pidana dan tindakan namun bentuk sanksi yang ditentukan tidak menunjukkan tujuan pemidanaan yang hendak melindungi kepentingan anak55.

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak juga menyatakan bahwa terdapat dua sanksi pidana yaitu berupa pidana dan tindakan.56

Ancaman sanksi terhadap anak menganut sistem dua jalur atau double track system. Double track system merupakan sistem dua jalur mengenai sanksi

53

Lidya Rahmadani Hasibuan, Op.Cit, hlm 7

54Nandang Sambas, Op.Cit, hlm 36 55

Ibid, hlm 215

56

(35)

dalam hukum pidana, yakni sanksi pidana di satu pihak dan jenis sanksi pidana di pihak lain57, jika berbicara tentang ide dasar double track system maka bermakna berbicara tentang gagasan dasar mengenai sistem sanksi yang menjadi dasar kebijakan dan penggunaan sanksi dalam hukum pidana.

Beberapa literatur tidak menemukan penegasan eksplisit mengeni gagasan dasar double track system, namun jika dilihat dari latar belakang kemunculannya dapat disimpulkan bahwa ide dasar sistem tersebut adalah kesetaraan antara sanksi pidana dan sanksi tindakan. Ide kesetaraan tersebut dapat ditelusuri lewat perkembangan yang terjadi dalam sistem sanksi hukum pidana dari aliran klasik ke aliran modern dan aliran neo-klasik58

Aliran klasik pada prinsipnya hanya menganut single track system, yaitu sistem sanksi tunggal berupa jenis sanksi pidana, berkaitan dengan hal tersebut Sudarto menyatakan bahwa aliran klasik bersifat retributif dan represif terhadap tindak pidana.

Aliran klasik muncul pada abad XVIII yang berpaham indeterminisme yaitu mengenai kebebasan kehendak manusia yang menekankan pada perbuatan pelaku kejahatan sehingga dikehendakilah hukum pidana perbuatan (daad-strafrecht) karenanya sistem pidana dan pemidanaan aliran klasik ini sangat menekankan pada perbuatan, bukan pada pelakunya. Sistem pemidanaan ditetapkan secara pasti (the definite sentence).

Penetapan sanksi dalam undang-undang tidak memakai sistem peringanan atau pemberatan yang berhubungan dengan faktor usia, keadaan jiwa si pelaku,

57M.Sholehuddin, Sistem Sanksi Dalam Hukum Pidana, Kota Besar: Rajawali Press 2002,

hlm 17

58

(36)

kejahatan-kejahatan yang dilakukanya, karenanya dapat dikatakan bahwa aliran ini tidak memakai sistem individualisasi pidana.59

Aliran modern lahir pada abad XIX. Aliran modern ini mencari sebab kejahatan dengan memakai metode ilmu alam dan bermaksud untuk langsung mendekati atau mempengaruhi penjahat secara positif sejauh dia masih dapat diperbaiki, bertolak belakang dengan paham aliran klasik, aliran modern memandang kebebasan kehendak manusian banyak dipengaruhi oleh watak dan lingkungannya sehigga tidak dapat dipersalahkan dan dipidana dan jika digunakan istilah pidana, menurut aliran modern harus tetap diorientasikan pada sifat-sifat si pelaku. Aliran ini bertitik tolak dari pandangan determinisme dan menghendaki adanya individualisasi pidana yang bertujuan mengadakan resosialisasi terhadap pelaku kejahatan.60

Perkembangan terjadi dengan muculnya aliran neo-klasik yang juga menitikberatkan konsepsinya kepada kebebasan kehendak manusia (doctrine of free will) yang telah berkembang selama abad XIX yang mulai mempertimbangkan adanya kebutuhan pembinaan individual terhadap pelaku tindak pidana. Aliran neo-klasik menyatakan dengan tegas bahwa konsep keadilan sosial berdasarkan hukum, tidak realistis dan bahkan tidak adil. Aliran ini berpangkal dari aliran klasik yang dalam perkembangannya kemudian dipengaruhi oleh aliran modern.

Ciri daripada aliran neo-klasik yang relevan pada prinsip individualisasi pidana adalah modifikasi dari doktrin kebebasan berkehendak dan doktrin pertanggungjawaban pidana, artinya aliran neo-klasik menerima berlakunya

59

Ibid, hlm 25

60

(37)

keadaan-keadaan yang meringankan (mitigating circumstances) baik fiskal, lingkungan maupun mental, termasuk keadaan-keadaan lain yang dapat mempengaruhi pengetahuan dan niat seseorang pada waktu terjadinya kejahatan.61

Bermuara dari konsepsi-konsepsi kedua aliran hukum pidana yang tersebut terdahulu, maka lahirlah ide individualisasi pidana yang memiliki beberapa karakteristik sebagai berikut 62:

a.Pertanggungjawaban pidana bersifat pribadi/perorangan (asas personal); b.Pidana hanya diberikan kepada orang yang bersalah (asas culpabilitas/ tiada

pidana tanpa kesalahan);

c.Pidana harus disesuaikan dengan karakteristik dan kondisi si pelaku, ini berarti harus terdapat fleksibilitas bagi hakim dalam memilih sanksi pidana dan harus ada kemungkinan modifikasi pidana (perubahan/penyesuaian) dalam pelaksanaannya.

Konsekuensi dari ide individualisasi pidana, maka sistem pemidanaan dalam hukum pidana modern berorientasi pada pelaku dan perbuatan. Jenis sanksi yang ditetapkan tidak hanya meliputi sanksi pidana saja melainkan juga sanksi tindakan. Pengakuan tentang kesetaraan antara sanksi pidana dan sanksi tindakan inilah yang merupakan hakikat asasi dari konsep double track system.

Sesuai dengan Pasal 71 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak sanksi pidana meliputi :

1. Pidana pokok bagi anak terdiri atas : a. Pidana peringatan,

b. Pidana dengan syarat,

61

Ibid, hlm 26

62

(38)

(1) Pembinaan di luar lembaga, (2) Pelayanan masyarakat, atau (3) Pengawasan

c. Pelatihan kerja

d. Pembinaan dalam lembaga, dan e. Penjara

2. Pidana tambahan terdiri atas :

a. Perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana; atau b. Pemenuhan kewajiban adat

Sanksi tindakan diatur dalam Pasal 82 Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak yang meliputi :

a. Pengembalian kepada orangtua/wali; b. Penyerahan kepada seseorang; c. Perawatan di rumah sakit jiwa; d. Perawatan di LPKS,

e. Kewajiban mengikuti pendidikan formal dan/atau pelatihan yang diadakan oleh pemerintah atau badan swasta,

f. Pencabutan surat izin mengemudi, dan/ atau g. Perbaikan akibat tindak pidana

4. Perbedaan Kebijakan Antara Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 dan Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997

(39)

Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 dan Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 yaitu 63:

1. Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 mengedepankan pendekatan keadilan restoratif serta penerapan diversi dalam sistem peradilan pidana. Keadilan restoratif adalah penyelesaian perkara tindak pidana dengan melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku/korban, dan pihak lain yang terkait untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula, dan bukan pembalasan (Pasal 1 angka 6). Secara konsep melalui pendekatan ini respon terhadap “kerusakan” yang terjadi dari suatu perbuatan yang

dikualifikasi sebagai tindak pidana yang dilakukan oleh anak lebih ditekankan pada bagaimana memulihkan kepada keadaan semula, bukan untuk melakukan pembalasan terhadap anak sebagai pelaku.

2. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak yang pada dasarnya hanya mengatur tata cara peradilan pidana dalam menangani anak sebagai pelaku dalam suatu tindak pidana (mulai dari tersangka, terdakwa hingga terpidana), sedangkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 juga mengatur bagaimana penanganan terhadap anak sebagai korban dan anak sebagai saksi. Undang-undang tersebut menyebutkan bahwa anak yang menjadi korban atau saksi dalam tindak pidana berhak atas upaya rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial, baik di dalam lembaga maupun di luar lembaga, jaminan keselamatan baik fisik,

63

Distia Aviandari,”Menuju Pemberlakuan UU No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak”,PLEDOI,Edisi I/2013,hlm 13

(40)

mental maupun sosial, serta kemudahan dalam mendapatkan informasi mengenai perkembangan perkara (Pasal 90 ayat (1)).

3. Batas usia pertanggungjawaban pidana menjadi 12 tahun (Pasal 1 angka 3), hal ini berbeda dengan Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 yang mengatur batas usia pertanggungjawaban pidana yaitu 8 (delapan) tahun. 4. Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 menetapkan batasa lebih ketat

dalam menerapkan penahanan bagi anak. Beberapa hal yang menjadi pembatasan adalah:

a. Penahanan terhadap anak tidak boleh dilakukan dalam hal anak memperoleh jaminan dari orang tua/Wali dan/atau lembaga bahwa anak tidak akan melarikan diri, tidak akan menghilangkan atau merusak barang bukti, dan/atau tidak akan mengulangi tindak pidana. b. Penahanan hanya dapat dilakukan jika memenuhi beberapa

persyaratan, yaitu anak telah berumur 14 (empat belas) tahun atau lebih; diduga melakukan tindak pidana dengan ancaman pidana penjara 7 (tujuh) tahun atau lebih.

c. Masa penahanan untuk tiap tahapan peradilan lebih singkat dibandingkan masa penahanan yang diatur dengan undang-undang sebelumnya.

(41)

Khusus Anak (LKPA) untuk proses penahanan dan di Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA) untuk proses pemenjaraan.

B. Tindak Pidana Narkotika

Narkotika merupakan zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman, baik sintesis maupun semisintesis yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan.64

Peredaran dan penggunaan narkotika secara yuri adalah sah keberadaannya, penggunaan narkotika ditujukan bagi dunia kesehatan yang mana untuk meningkatkan derajat kesehatan pada peningkatan di bidang pengobatan serta pelayanan kesehatan, namun seiring dengan berjalannya waktu penggunaan narkotika sering kali disalahgunakan bukan untuk kepentigan pengobatan dan ilmu pengetahuan namun dijadikan sebagai suatu kejahatan yang mana akan berimbas pada rusaknya mental baik fisik maupun psikis pada pemakai narkotika khususnya generasi muda.

Indonesia memandang bahwa kejahatan narkotika termasuk dalam extraordinary crime (kejahatan luar biasa) yang sudah sangat merajalela maka dari itu selayaknya diterapkan extraordinary law yang mana bahwa dalam kondisi darurat tindak kejahatan yang merajalela, menjarah, dan mengancam bangsa ini perlu sesegera mungkin dibinasakan dengan penegakan hukum yang seadil-adilnya dengan prosedur yang jelas dan penegakan hukum seadil-seadil-adilnya.65

Mencegah dan memberantas penyalahgunaan narkotika memerlukan suatu peraturan khusus yang mengatur tentang narkotika yaitu Undang-Undang Nomor

64Pasal 1 Angka 1 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 41

(42)

9 Tahun 1976 Tentang Narkotika kemudian mengalami perubahan menjadi Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 Tentang Narkotika, namun pada Sidang Umum Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Tahun 2002 melalui Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor VI/MPR/2002 telah merekomendasikan kepada Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia dan Presiden Republik Indonesia untuk melakukan perubahan atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika.66

Upaya mengefektifkan pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika memerlukan suatu lembaga khusus yang mengatur hal tersebut maka dibentuklah suatu lembaga yang khusus mengatur mengenai pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan perdearan gelap narkotika tersebut, badan tersebut adalah Badan Narkotika Nasional (BNN), Badan Narkotika Nasional adalah sebuah Lembaga Pemerintah Non Kementerian (LPNK) Indonesia yang mempunyai tugas melaksanakan tugas pemerintahan di bidang pencegahan, pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap psikotropika, prekursor, dan bahan adiktif lainnya kecuali bahan adiktif untuk tembakau dan alkohol. BNN dipimpin oleh seorang kepala yang bertanggung jawab langsung kepada Presiden melalui koordinasi Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia.67

BNN dibentuk berdasarkan pada Peraturan Presiden Nomor 83 Tahun 2007 dan memiliki perwakilan di daerah provinsi, dan kabupaten/kota sebagai instansi vertikal yakni BNN Provinsi dan BNN Kabupaten/Kota.

66 Harifin. A. Tumpa, Komentar&Pembahasan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009

tentang Narkotika, Jakarta: Sinar Grafika, 2011, hlm 59

67

(43)

Sidang Umum Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Tahun 2002 memutuskan bahwa Undang-Undang tentang Narkotika mengalami perubahan menjadi Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika.

Tindak pidana narkotika merupakan suatu perbuatan yang dapat dipidana oleh hukum, maka beberapa negara berpendapat bahwa perbuatan dan sikap batin seseorang dapat dipersatukan dan menjadi syarat suatu perbuatan yang dapat dipidana.

Zainal Abidil Farid berpendapat bahwa asas tersebut adalah unsur actus reus harus didahulukan yaitu perbuatan criminal (criminal act). Hal tersebut sejalan dengan syarat pemidanaan (strafvoraus setzungen) yang mendahulukan adanya perbuatan pidana. Setelah diketahui adanya suatu perbuatan pidana sesuai rumusan undang-undang barulah diselidiki tentang sikap batin atau niat pembuat atau pelakunya (mens rea)68

Penjelasan Pasal 6 Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika menjelaskan bahwa jenis narkotika digolongkan ke dalam tiga golongan, yaitu :

a. Narkotika Golongan I merupakan narkotika yang hanya dapat digunakan untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan dan tidak digunakan dalam terapi serta mempunyai potensi sangat tinggi mengakibatkan ketergantungan.

b. Narkotika Golongan II merupakan narkotika yang berkhasiat pengobatan digunakan sebagai pilihan terakhir dan dapat digunakan dalam terapi

68

H.Siswanto, Politik Hukum Dalam Undang-Undang Narkotika ( UU Nomor 35 Tahun

(44)

dan/atau untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi tinggi mengakibatkan ketergantungan.

c. Narkotika Golongan III merupakan narkotika yang berkhasiat pengobatan dan banyak digunakan dalam terapi dan/atau untuk tujun pengembangan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi ringan mengakibatkan ketergantungan.

Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 menyebutkan 4 kategori yang merupakan tindakan melawan hukum yang dilarang oleh undang-undang dan diancam dengan sanksi pidana, antara lain sebagai berikut :69

a. Kategori pertama, yaitu perbuatan-perbuatan berupa memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan narkotika dan prekursor narkotika ( Terdapat pada Pasal 111 dan Pasal 112 untuk Narkotika Golongan I, Pasal 117 untuk Narkotika Golongan II, Pasal 122 untuk Narkotika Golongan III dan Pasal 129 Huruf (a));

b. Kategori kedua, yaitu perbuatan-perbuatan berupa memproduksi, mengimpor, mengekspor, atau menyalurkan narkotika dan prekursor narkotika ( Terdapat pada Pasal 113 untuk Narkotika Golongan I, Pasal 118 untuk Narkotika Golongan II, Pasal 123 untuk Narkotika Golongan III, dan Pasal 129 (b));

c. Kategori ketiga, yaitu perbuatan-perbuatan berupa menawarkan untuk dijual, menjual, membeli, menerima, menjadi perantara dalam jual beli, menukar atau menyerahkan narkotika dan prekursor narkotika (Terdapat pada Pasal 114 dan Pasal 116 untuk Narkotika Golongan I, Pasal 119 dan

69

(45)

Pasal 121 untuk Narkotika Golongan II, Pasal 124 dan Pasal 126 untuk Golongan Narkotika Golongan III, dan Pasal 129 c));

d. Kategori keempat, yakni perbuatan-perbuatan berupa membawa, mengirim, mengangkut, atau mentransit narkotika dan prekusor narkotika ( Terdapat pada Pasal 115 untuk Golongan I, Pasal 120 untuk Narkotika Golongan II, Pasal 125 untuk Narkotika Golongan III, dan Pasal 129 (d)).

Berdasarkan kategori tersebut di atas, maka dapat disimpulkan bahwa berdasarkan Undang-undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, jenis – jenis tindak Pidana narkotika yang terdapat dalam ketentuan Pidana yang diatur dalam Bab XV Undang-undang Narkotika dapat dikeleompokkan dari segi bentuk perbuatannya sebagai berikut :70

a. Tindak Pidana yang berkaitan dengan penggolongan narkotika, dan prekusor narkotika, meliputi :

1. Menanam, memelihara, memiliki, menyimpan, menguasai, menyediakan narkotika golongan I dalam bentuk tanaman, dan bukan tanaman, narkotika golongan II.

2. Pengadaan dan peredaran narkotika golongan I, II, dan golongan III yang tidak menaati ketentuan perundang-undangan yang berlaku, yaitu :

a. Memproduksi, mengimpor, mengekspor, atau menyalurkan narkotika golongan I, narkotika golongan II, narkotika golongan III.

70

(46)

b. Menawarkan untuk dijual, menjual, membeli, menerima, menjadi perantara dalam jual beli, menukar atau menyerahkan narkotika golongan I, narkotika golongan II, narkotika golongan III.

c. Membawa, mengirim, mengangkut, atau mentransit narkotika golongan I, narkotika golongan II, narkotika golongan III.

d. Menggunakan narkotika golongan I terhadap orang lain, atau memberikan narkotika untuk digunakan orang lain, narkotika golongan I, narkotika golongan II, narkotika golongan III.

e. Setiap penyalahguna narkotika golongan I, narkotika golongan II, dan narkotika golongan III bagi diri sendiri.71

b. Tindak Pidana Orang Tua/ Wali dari Pecandu Narkotika yang Belum Cukup Umur 72

Tindak Pidana yang berkaitan dengan orang tua atau wali dari pecandu yang belum cukup umur yang sengaja tidak melaporkan adanya tindak Pidana Pasal 111 sampai dengan Pasal 129.

c. Tindak Pidana yang Dilakukan oleh Korporasi73

Dalam hal tindak Pidana dalam Pasal 111 sampai dengan Pasal 126 dan Pasal 129 yang dilakukan oleh Korporasi atau dilakukan secara terorganisasi.

d. Tindak Pidana bagi Orang yang Tidak Melaporkan Adanya Tindak Pidana Narkotika74

71Lihat Pasal 127 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika 72 Lihat Pasal 128 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika 73

Lihat Pasal 130 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika

74

(47)

Setiap orang yang sengaja tidak melaporkan adanya tindak pidana Pasal 111 sampai dengan Pasal 129.

e. Tindak Pidana terhadap Percobaan dan Pemufakatan Jahat Melakukan Tindak Pidana Narkotika dan Prekursor75

Percobaan atau pemufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana narkotika dan prekusor narkotika dalam Pasal 111 sampai degan Pasal 126 dan Pasal 129 dipidana pidana penjara dan pidana denda maksimumnya ditambah sepertiga, tapi pemberatan pidana tersebut tidak berlaku bagi tindak pidana yang diancam dengan pidana mati, pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara 20 tahun.

f. Tindak Pidana berkaitan dengan Pemanfaatan Anak76

Menyuruh, membujuk, memaksa dengan kekerasan, tipu muslihat, membujuk anak yang belum cukup umur untuk melakukan tindak pidana dalam Pasal 111 sampai dengan Pasal 126 dan Pasal 129.

g. Tindak Pidana bagi Pecandu Narkotika dan Keluarganya yang Tidak Melaporkan Diri77

Pecandu narkotika yang sudak cukup umur dan dengan sengaja tidak melaporkan diri atau keluarga dari pecandu narkotika yang dengan sengaja tidak melaporkan pecandu narkotika tersebut.

h. Tindak Pidana terhadap Hasil-Hasil Tindak Pidana Narkotika dan/atau Prekusor Narkotika78

75Lihat Pasal 132 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika 76 Lihat Pasal 133 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika 77

Lihat Pasal 134 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika

78

(48)

1. Menempatkan, membayarkan, atau membelanjakan, menitipkan, menukarkan, menyembunyikan atau menyamarkan, menginvestasikan, menyimpan, menghibahkan, mewariskan, dan/atau mentransfer uang, harta, dan benda, atau asset baik dalam bentuk benda bergerak maupun tidak bergerak, berwujud atau tidak berwujud, yang berasal dari tindak pidana narkotika dan/atau tindak pidana prekusor narkotika,

2. Menerima penempatan, pembayaran, atau pembelanjaan, penitipan, penukaran, penyembunyian, atau penyamaran investasi, simpanan atau transfer, hibah, waris, harta atau uang, benda atau asset, baik dalam bentuk benda bergerak maupun tidak bergerak, berwujud maupun tidak berwujud yang diketahui berdasar dari tindak pidana narkotika dan/atau tindak pidana prekusor narkotika.

i. Tindak pidana narkotika yang dilakukan oleh para pejabat yang berkaitan dengan narkotika, meliputi :

1. Pengurus industri farmasi yang tidak melaksanakan kewajiban menurut Pasal 45.79

2. Pimpian rumah sakit, pusat kesehatan masyarakat, balai pengobatan, sarana penyimpanan persediaan farmasi milik pemerintah, dan apotek yang mengedarkan narkotika golongan II dan III bukan untuk kepentingan masyarakat.80

79Lihat Pasal 135 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika 80

(49)

3. Pimpinan, lembaga ilmu pengetahuan yang menanam, membeli, menyimpan atau menguasai tanaman narkotika bukan untuk kepentingan ilmu pengetahuan.81

4. Pimpinan industri farmasi tertentu yang memproduksi narkotika golongan I bukan untuk kepentingan lembaga ilmu pengetahuan.82 5. Pimpinan pedagang besar farmasi yang mengedarkan narkotika

golongan I yaitu bukan untuk kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan atau mengedarkan narkotika golongan II dan III bukan untuk kepentingan pelayanan kesehatan dan/atau bukan untuk kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan.83

6. Nahkoda atau kapten penerbang yang secara melawan hukum tidak melaksanakan ketentuan dalam Pasal 27 atau Pasal 28 (Pasal 139). 7. Penyidik Pengawai Negeri Sipil yang secara melawan hukum tidak

melaksanakan ketentuan dalam Pasal 88 dan Pasal 89 (Pasal 140 ayat (1)).

8. Penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia dan penyidik BNN yang tidak melaksanakan ketentuan dalam Pasal 87, Pasal 89, Pasal 90, Pasal 91 ayat (2), dan ayat (3), dan Pasal 92 ayat (1), ayat (2), ayat (3) dan ayat (4) (Pasal 140 ayat (2)).

9. Kepala Kejaksaan Negeri yang secara melawan hukum tidak melaksanakan ketentuan dalam Pasal 91 ayat (1) pidana penjara dan pidana denda (Pasal 141).

81Lihat Pasal 147 hurfuf (b) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika 82

Lihat Pasal 147 huruf (c) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika

83

(50)

10.Petugas Laboratorium yang memalsukan hasil pengujian atau secara melawan hukum tidak melakukan kewajiban tidak melaporkan hasil pengujiannya kepada penyidik atau penuntut umum, dipidana dengan pidana penjara dan pidana denda.84

j. Ketentuan lain dalam rangka pemeriksaan terhadap tindak pidana narkotik, meliputi:

1. Menghalang-halangi atau mempersulit penyidikan serta penuntutan dan pemeriksaan perkara tindak pidana narkotika dan/atau tindak pidana prekusor narkotika di muka sidang pengadilan.85

2. Narkotika dan prekusor narkotika serta hasil-hasil yang diperoleh dari tindak pidana prekusor narkotika dan/atau tindak pidana prekusor narkotika, baik berupa asset dalam bentuk benda bergerak maupun tidak bergerak, berwujud atau tidak berwujud serta barang-barang atau peralatan yang digunakan untuk melakukan tindak pidana narkotika dan tindak pidana prekusor n

Referensi

Dokumen terkait

− Direktorat Statistik Kependudukan dan ketenagakerjaan − Direktorat Statistik Kesejahteraan Rakyat − Direktorat Statistik Ketahanan Sosial Laporan Monitoring Kinerja BPS

Pada permasalahan ini studi kasus yang diangkat adalah peta Jawa Timur yaitu bagaimana membentuk suatu graf coloring dari sebuah peta, dengan kota sebagai vertexnya dan

Kepala Seksi Bina Satuan Linmas atau Kepala Seksi Bina Potensi Masyarakat membuat nota dinas dan konsep surat pemberitahuan Pembinaan dan Pemberdayaan Satuan Linmas atau

Penelitian ini akan melakukan pemodelan struktur Zeolit A untuk mengetahui variasi rasio Si/Al pada Zeolit A dan penambahan variasi kation dengan menggunakan kation Li

Tujuan penelitian ini adalah mengekspresikan dan mempurifikasi protein rekombinan non-struktural NS1 virus dengue serotipe 1 (DENV-1) strain Indonesia (915846) di

Obligasi ini tidak dijamin dengan suatu agunan khusus dan tidak dijamin oleh pihak ketiga manapun dan tidak termasuk dalam Program Jaminan Pemerintah Terhadap

Jika pada periode berikutnya, jumlah kerugian penurunan nilai berkurang dan pengurangan tersebut dapat dikaitkan secara obyektif pada peristiwa yang terjadi setelah

[r]