BAB II
PENGATURAN HUKUM BAGI ANAK SEBAGAI PELAKU TINDAK PIDANA NARKOTIKA
A. Kebijakan Hukum Dalam Undang-Undang No 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak
1. Diversi
Pasal 1 angka 7 Undang-Undang No 11 Tahun 2012 Tentang Sistem
Peradilan Pidana menyatakan bahwa diversi merupakan pengalihan penyelesaian
perkara anak dari proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana.
Konsep diversi ini telah lebih lama diterapkan di beberapa negara. Menurut
catatan sejarah, di Inggris polisi telah lama melakukan diskresi dan mengalihkan
anak kepada proses non formal.36
Catatan pertama kali diterapkannya perlakuan khusus bagi anak atas suatu
tindak pidana yang dilakukannya adalah yaitu pada tahun 1833, yakni dengan
melakukan proses informal di luar peradilan, selain itu terdapat juga pemisahan
peradilan untuk anak-anak di bawah umur yang diatur di dalam Children Act
tahun 1908 yang mana menurut Children Act pada tahun 1908 polisi diberi tugas
untuk menangani anak sebelum masuk ke pengadilan dengan lebih
memperhatikan pemberian kesejahteraan dan keadilan kepada anak pelaku tindak
pidana dan pemberian perlakuan khusus terhadap anak pelaku tindak pidana ini
termasuk ke dalam konsep diversi.37
Tahun 1890 negara Australia semasa berada dalam kolonial Inggris telah
melakukan pemisahan peradilan anak dan dewasa dan telah dilakukan pelatihan
36
Marlina, Pengantar Konsep Diversi dan Restorative Justice, Medan: USU Press, 2010,hlm 24
37
dan pendidikan bagi para pertugas peradilan untuk melakukan rehabilitasi
terhadap anak, sedangkan di Amerika Serikat pengadilan anak dibentuk pada
tahun 1899 dengan menciptakan perlakuan hukum khusus bagi pelaku anak.38 Indonesia memiliki konsep diversi yang pertama sekali diatur di dalam
Undang-Undang No 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, yang
mana konsep diversi merupakan satu terobosan baru dalam sistem peradilan anak
di Indonesia yang mana konsep diversi merupakan suatu pengalihan penyelesaian
kasus-kasus anak yang diduga melakukan tindak pidana tertentu dari proses
pidana formal ke penyelesaian damai antara tersangka/terdakwa/pelaku tindak
pidana dengan korban yang difasilitasi oleh keluarga dan/atau masyarakat,
Pembimbing Kemasyarakatan Anak, Polisi, Jaksa atau Hakim.39
Diversi dilakukan untuk menemukan suatu bentuk penyelesaian yang
bersifat win win solution, yang mana konsep diversi lahir didasarkan pada
kenyataan bahwa proses peradilan pidana terhadap pelaku tindak pidana melalui
sistem peradilan pidana konvensional lebih banyak menimbulkan bahaya daripada
kebaikan.40
Konsep diversi memiliki tujuan seperti yang tertuang dalam Pasal 6
Undang-undang No 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, yakni :
1.Mencapai perdamaian antara korban dan anak;
2.Menyelesaikan perkara anak di luar proses pengadilan;
3.Menghindarkan anak dari perampasan kemerdekaan;
4.Mendorong masyarakat untuk berpartisipasi; dan
38
Ibid, hlm 25
39
Lidya Rahmadani Hasibuan,”Diversi dan Keadilan Restoratif Pembaharuan Sistem Peradilan Pidana Anak di Indonesia”,PLEDOI,Edisi III/2014,hlm 11
40
5.Menanamkan rasa tanggung jawab kepada anak.
Diversi juga memiliki tujuan untuk menghindari stigmatisasi terhadap
anak yang diduga melakukan tindak pidana, sehingga diharapkan anak dapat
kembali ke dalam lingkungan sosial yang wajar dan juga menegakkan hukum
tanpa melakukan tindakan kekerasan yang menyakitkan dengan memberi
kesempatan kepada seseorang untuk memperbaiki kesalahannya tanpa melalui
hukuman pidana oleh negara yang mempunyai otoritas penuh, salah satu contoh
latar belakang pentingnya penerapan konsep diversi dilakukan karena tingginya
jumlah anak yang masuk ke peradilan pidana dan diputus dengan penjara dan
mengalami kekerasan saat menjalani rangkaian proses dalam sistem peradilan
pidana.41
Pertimbangan lain berlakunya konsep diversi dalam sistem peradilan
pidana anak didasarkan pada alasan untuk memberikan keadilan kepada pelaku
yang telah terlanjur melakukan tindak pidana serta memberikan kesempatan pada
pelaku untuk memperbaiki dirinya.
Terdapat 3 jenis pelaksanaan diversi, yaitu :42
1. Berorientasi kontrol sosial (social control orientation), dalam hal ini aparat
penegak hukum menyerahkan anak pelaku pada pertanggungajwaban dan
pengawasan masyarakat;
2. Berorientasi pada social service, yaitu pelayaa sosial oleh masyarakat
dengan melakukan fungsi pengawasan, perbaikan dan menyediakan
pelayanan bagi pelaku dan keluarganya;
41
Ibid, hlm 13-14
42
3. Berorientsi pada restorative justice, yaitu memberikan kesempatan kepada
pelaku untuk
bertanggung jawab atas perbuatannya kepada korban dan masyarakat.
Semua pihak yang terlibat dipertemukan untuk bersama-sama mencapai
kesepakatan, apa tindakan yang terbaik untuk anak pelaku ini.
Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana
Anak dengan tegas menyatakan bahwa dalam penanganan anak yang berkonflik
hukum maka penyidik, jaksa, hakim wajib mengupayakan tindakan diversi.43 Sesuai dengan Pasal 7 ayat (2) Undang-Undang No. 11 Tahun 2012
Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, diversi dapat diberlakukan jika pelaku
anak diancam dengan pidana penjara dibawah 7 (tujuh) tahun dan bukan
merupakan pengulangan tindak pidana, dengan mempertimbangkan kategori
tindak pidana, umur anak, hasil penelitian kemasyarakatan dari Bapas dan
dukungan lingkungan keluarga dan masyarakat (Pasal 9 Undang-undang No. 11
Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak).
Peraturan lain yang mengatur tentang diversi juga terdapat dalam
Peraturan Pemerintah Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 4 Tahun
2014 tentang Pedoman Pelaksanaan Diversi dalam Sistem Peradilan Pidana Anak
dan juga dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 65 Tahun 2015
tentang Pedoman Pelaksanaan Diversi dan Penanganan Anak Yang Belum
Berumur 12 (dua belas) tahun.
43
2. Keadilan Restoratif (Restorative Justice)
Proses penanggulangan anak pelaku tindak pidana dilakukan secara penal
dan non penal, secara penal yaitu dengan cara penerapan sanksi pidana dan secara
non penal dengan tindakan diversi oleh penegak hukum dan penyelesaian di luar
peradilan formal dengan restorative justice.44
Konsep restorative justice merupakan teori keadilan yang tumbuh dan
berkembang dari pengalaman pelaksanaan pemidanaan yang terdapat di berbagai
negara dan akar budaya masyarakat yang ada sebelumnya dalam menangani
permasalahan kriminal jauh sebelum dilaksanakannya sistem peradilan pidana
tradisional.45
Sejarah perkembangan hukum modern menyatakan bahwa penerapan
restorative justice di awali melalui pelaksanaan sebuah program penyelesaian di
luar peradilan tradisional yang dilakukan masyarakat yang disebut dengan victim
offender mediation yang dimulai pada tahun 1970-an di negara Canada. Program
tersebut dilaksanakan sebagai tindakan alternatif dalam menghukum pelaku
kriminal anak, dimana sebelum dilaksanakan hukuman pelaku dan korban
diizinkan untuk bertemu untuk menyusun usulan hukum yang akan menjadi salah
satu pertimbangan dari sekian banyak pertimbangan hakim.46
Indonesia memiliki pengaturan mengenai restorative justice yang diatur
dalam Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana
Anak, Pasal 1 angka 6 Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 Tentang Sistem
Peradilan Pidana Anak mengatakan bahwa keadilan restoratif (restorative justice)
merupakan penyelesaian perkara tindak pidana dengan melibatkan pelaku, korban,
44
Marlina, Pengantar Konsep Diversi dan Restorative Justice,Op.Cit, hlm 28
45
Ibid, hlm 29-30
46
keluarga pelaku/korban, dan pihak lain yang terkait untuk bersama-sama mencari
penyelesaian yang adil dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan
semula, dan bukan pembalasan.
Pengertian diatas meyatakan bahwa restorative justice memiliki hubungan
yang erat dengan diversi yang mana mempunyai tujuan yang sama yaitu
mengalihkan proses peradilan anak dari peradilan formal ke dalam peradilan
non-formal dengan cara melibatkan pelaku, korban, keluarga, masyarakat,
pembimbing kemasyarakatan anak, polisi, jaksa atau hakim melalui suatu bentuk
penyelesaian win win solution yang menekankan pemulihan kembali pada
keadaan semula dan bukan pembalasan.
Susan Sharpe berpendapat ada 5 (lima) prinsip dalam restorative justice,
yakni :47
1. Restorative justice mengandung partisipasi penuh dan konsensus.
Dalam hal ini korban dan pelaku harus dilibatkan secara aktif dalam
perundingan untuk menemukan penyelesaian secara komprehensif. Selain
itu juga membuka kesempatan bagi masyarakat yang selama ini merasa
terganggu keamanan dan ketertibannya oleh pelaku untuk ikut duduk
bersama memecah persoalan itu;
2. Restorative justice mencari solusi untuk mengembalikan dan
menyembuhkan kerusakan atau kerugian akibat tindak pidana yang
dilakukan oleh pelaku. Hal ini juga termasuk upaya penyembuhan atau
pemulihan korban atas tindak pidana yang menimpanya;
47
3. Restorative justice memberikan rasa tanggung jawab yang utuh bagi
pelaku untuk bertanggung jawab atas perbuatannya. Pelaku harus
menunjukan rasa penyesalannya dan mengakui semua kesalahannya serta
menyadari bahwa perbuatannya tersebut mendatangkan kerugian bagi
orang lain;
4. Restorative justice berusaha menyatukan kembali pelaku sebagai warga
masyarakat dengan masyarakatnya yang selama ini terpisah akibat tindak
pidana. Hal ini dilakukan dengan mengadakan rekonsilisasi antara korban
dan pelaku serta mengintegrasikan kembali keduanya dalam kehidupan
masyarakat secara normal. Keduanya harus dibebaskan dari masa lalunya
demi masa depan yang lebih cerah;
5. Restorative justice memberikan kekuatan kepada masyarakat untuk
mencegah supaya tindakan kejahatan tidak terulang kembali. Kejahatan
mendatangkan kerusakan dalam kehidupan masyarakat, tetapi kejahatan
juga dapat memberikan pembelajaran bagi masyarakat untuk membuka
keadilan yang sebenarnya bagi semua masyarakat.
Peneraparan restorative justice telah berkembang di beberapa negara yaitu
Eropa, Amerika Serikat, Canada, Australia dan New Zealand dan dapat
dikelompokkan ke dalam empat jenis praktek yang menjadi pioner penerapan
restorative justice, yaitu Victim Offender Mediation, Confencing/Family Group
Conferencing, Circles dan Restorative Board/Youth Panels.48
48
Victim Offender Mediation memiliki tujuan untuk memberi penyelesaian
terhadap peristiwa dengan membuat sanksi alternatif bagi pelaku atau untuk
melakukan pembinaan di tempat khusus bagi pelanggar yang benar-benar serius.
Bentuk dasar proses ini adalah melibatkan dan membawa korban dan pelakunya
kepada satu mediator yang mengkoordinasi dan memfasilitasi pertemuan.49
Family Group Conferencing memiliki tujuan memberikan kejelasan atas
peristiwa yang terjadi dengan memberi semangat kepada pelaku, mengembalikan
kerugian korban, melakukan reintegrasi korban ke masyarakat dan pertanggung
jawaban bersama.50
Conferencing tidak hanya melibatkan korban utana (primary victim) dan pelaku
utama (primary offender) tapi juga korban sekunder (secondary victim) yaitu
anggota keluarga dan teman korban.51
Circles memiliki tujuan untuk menyelesaikan suatu tindak pidana dengan
mempertemukan korban, pelaku, lembaga yang memperhatikan masalah anak,
masyarakat dan untuk kasus yang serius dihadirkan juga hakim dan jaksa, dimana
semua peserta duduk melingkar dan diberikan kesempatan berbicara memberikan
pandangan terhadap pelaku atas perbuatan yang telah dilakukannya.
Peserta juga berdiskusi untuk menemukan kesepakatan yang terbagik bagi kedua
belah pihak termasuk mengenai restitusi atau ganti rugi atau sanksi lainnya
termasuk putusan tanpa sanksi tapi pemaafanpelaku oleh masyarakat dan
korban.52
49
Lidya Rahmadani Hasibuan, Op.Cit, hlm 7
50
Ibid, hlm 7
51
Marlina, Pengantar Konsep Diversi dan Restorative Justice,Op.Cit, hlm 58
52
Reperetive Board/Youth Panel bertujuan untuk menyelesaikan tindak
pidana yang dilakukan oleh anak dengan cara melibatkan pelaku, korban,
masyarakat, mediator dan juga hakim, jaksa, dan pembela secara bersama
merumuskan bentuk sanksi yang tepat bagi pelaku dang anti rugi bagi korban atau
masyarakat.53
3. Sanksi Pidana dan Sanksi Tindakan
KUHPidana mengatur sistem pemidanaan terhadap anak, meliputi batas
usia di bawah 16 tahun sebagai orang yang dikategorikan anak sebagai pelaku
tindak pidana, tanpa memberikan batas usia terendah seolah-olah anak yang baru
lahirpun dapat diminta pertanggungjawaban pidana, sedangkan masalah jenis
sanksi yang diancam terhadap anak selain mengatur sanksi pidana sebagaimana
yang ditegaskan dalam Pasal 10 KUHPidana yang berupa pidana pokok dan
pidana tambahan.54
Rumusan sanksi pidana dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997
Tentang Pengadilan Anak mengatur dua jenis sanksi pidana yang berupa pidana
dan tindakan namun bentuk sanksi yang ditentukan tidak menunjukkan tujuan
pemidanaan yang hendak melindungi kepentingan anak55.
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak
juga menyatakan bahwa terdapat dua sanksi pidana yaitu berupa pidana dan
tindakan.56
Ancaman sanksi terhadap anak menganut sistem dua jalur atau double
track system. Double track system merupakan sistem dua jalur mengenai sanksi
53
Lidya Rahmadani Hasibuan, Op.Cit, hlm 7
54
Nandang Sambas, Op.Cit, hlm 36
55
Ibid, hlm 215
56
dalam hukum pidana, yakni sanksi pidana di satu pihak dan jenis sanksi pidana di
pihak lain57, jika berbicara tentang ide dasar double track system maka bermakna berbicara tentang gagasan dasar mengenai sistem sanksi yang menjadi dasar
kebijakan dan penggunaan sanksi dalam hukum pidana.
Beberapa literatur tidak menemukan penegasan eksplisit mengeni gagasan
dasar double track system, namun jika dilihat dari latar belakang kemunculannya
dapat disimpulkan bahwa ide dasar sistem tersebut adalah kesetaraan antara sanksi
pidana dan sanksi tindakan. Ide kesetaraan tersebut dapat ditelusuri lewat
perkembangan yang terjadi dalam sistem sanksi hukum pidana dari aliran klasik
ke aliran modern dan aliran neo-klasik58
Aliran klasik pada prinsipnya hanya menganut single track system, yaitu
sistem sanksi tunggal berupa jenis sanksi pidana, berkaitan dengan hal tersebut
Sudarto menyatakan bahwa aliran klasik bersifat retributif dan represif terhadap
tindak pidana.
Aliran klasik muncul pada abad XVIII yang berpaham indeterminisme
yaitu mengenai kebebasan kehendak manusia yang menekankan pada perbuatan
pelaku kejahatan sehingga dikehendakilah hukum pidana perbuatan
(daad-strafrecht) karenanya sistem pidana dan pemidanaan aliran klasik ini sangat
menekankan pada perbuatan, bukan pada pelakunya. Sistem pemidanaan
ditetapkan secara pasti (the definite sentence).
Penetapan sanksi dalam undang-undang tidak memakai sistem peringanan atau
pemberatan yang berhubungan dengan faktor usia, keadaan jiwa si pelaku,
57
M.Sholehuddin, Sistem Sanksi Dalam Hukum Pidana, Kota Besar: Rajawali Press 2002, hlm 17
58
kejahatan-kejahatan yang dilakukanya, karenanya dapat dikatakan bahwa aliran
ini tidak memakai sistem individualisasi pidana.59
Aliran modern lahir pada abad XIX. Aliran modern ini mencari sebab
kejahatan dengan memakai metode ilmu alam dan bermaksud untuk langsung
mendekati atau mempengaruhi penjahat secara positif sejauh dia masih dapat
diperbaiki, bertolak belakang dengan paham aliran klasik, aliran modern
memandang kebebasan kehendak manusian banyak dipengaruhi oleh watak dan
lingkungannya sehigga tidak dapat dipersalahkan dan dipidana dan jika digunakan
istilah pidana, menurut aliran modern harus tetap diorientasikan pada sifat-sifat si
pelaku. Aliran ini bertitik tolak dari pandangan determinisme dan menghendaki
adanya individualisasi pidana yang bertujuan mengadakan resosialisasi terhadap
pelaku kejahatan.60
Perkembangan terjadi dengan muculnya aliran neo-klasik yang juga
menitikberatkan konsepsinya kepada kebebasan kehendak manusia (doctrine of
free will) yang telah berkembang selama abad XIX yang mulai
mempertimbangkan adanya kebutuhan pembinaan individual terhadap pelaku
tindak pidana. Aliran neo-klasik menyatakan dengan tegas bahwa konsep keadilan
sosial berdasarkan hukum, tidak realistis dan bahkan tidak adil. Aliran ini
berpangkal dari aliran klasik yang dalam perkembangannya kemudian
dipengaruhi oleh aliran modern.
Ciri daripada aliran neo-klasik yang relevan pada prinsip individualisasi pidana
adalah modifikasi dari doktrin kebebasan berkehendak dan doktrin
pertanggungjawaban pidana, artinya aliran neo-klasik menerima berlakunya
59
Ibid, hlm 25
60
keadaan-keadaan yang meringankan (mitigating circumstances) baik fiskal,
lingkungan maupun mental, termasuk keadaan-keadaan lain yang dapat
mempengaruhi pengetahuan dan niat seseorang pada waktu terjadinya kejahatan.61 Bermuara dari konsepsi-konsepsi kedua aliran hukum pidana yang tersebut
terdahulu, maka lahirlah ide individualisasi pidana yang memiliki beberapa
karakteristik sebagai berikut 62:
a.Pertanggungjawaban pidana bersifat pribadi/perorangan (asas personal);
b.Pidana hanya diberikan kepada orang yang bersalah (asas culpabilitas/ tiada
pidana tanpa kesalahan);
c.Pidana harus disesuaikan dengan karakteristik dan kondisi si pelaku, ini
berarti harus terdapat fleksibilitas bagi hakim dalam memilih sanksi pidana
dan harus ada kemungkinan modifikasi pidana (perubahan/penyesuaian)
dalam pelaksanaannya.
Konsekuensi dari ide individualisasi pidana, maka sistem pemidanaan
dalam hukum pidana modern berorientasi pada pelaku dan perbuatan. Jenis sanksi
yang ditetapkan tidak hanya meliputi sanksi pidana saja melainkan juga sanksi
tindakan. Pengakuan tentang kesetaraan antara sanksi pidana dan sanksi tindakan
inilah yang merupakan hakikat asasi dari konsep double track system.
Sesuai dengan Pasal 71 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 11 Tahun
2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak sanksi pidana meliputi :
1. Pidana pokok bagi anak terdiri atas :
a. Pidana peringatan,
b. Pidana dengan syarat,
61
Ibid, hlm 26
62
(1) Pembinaan di luar lembaga,
(2) Pelayanan masyarakat, atau
(3) Pengawasan
c. Pelatihan kerja
d. Pembinaan dalam lembaga, dan
e. Penjara
2. Pidana tambahan terdiri atas :
a. Perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana; atau
b. Pemenuhan kewajiban adat
Sanksi tindakan diatur dalam Pasal 82 Undang-undang Nomor 11 Tahun
2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak yang meliputi :
a. Pengembalian kepada orangtua/wali;
b. Penyerahan kepada seseorang;
c. Perawatan di rumah sakit jiwa;
d. Perawatan di LPKS,
e. Kewajiban mengikuti pendidikan formal dan/atau pelatihan yang
diadakan oleh pemerintah atau badan swasta,
f. Pencabutan surat izin mengemudi, dan/ atau
g. Perbaikan akibat tindak pidana
4. Perbedaan Kebijakan Antara Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 dan Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997
Undang-undang tentang Sistem Peradilan Pidana Anak telah mengalami
Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 dan Undang-undang Nomor 3 Tahun
1997 yaitu 63:
1. Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 mengedepankan pendekatan
keadilan restoratif serta penerapan diversi dalam sistem peradilan pidana.
Keadilan restoratif adalah penyelesaian perkara tindak pidana dengan
melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku/korban, dan pihak lain yang
terkait untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil dengan
menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula, dan bukan
pembalasan (Pasal 1 angka 6). Secara konsep melalui pendekatan ini
respon terhadap “kerusakan” yang terjadi dari suatu perbuatan yang
dikualifikasi sebagai tindak pidana yang dilakukan oleh anak lebih
ditekankan pada bagaimana memulihkan kepada keadaan semula, bukan
untuk melakukan pembalasan terhadap anak sebagai pelaku.
2. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak yang
pada dasarnya hanya mengatur tata cara peradilan pidana dalam
menangani anak sebagai pelaku dalam suatu tindak pidana (mulai dari
tersangka, terdakwa hingga terpidana), sedangkan Undang-Undang
Nomor 11 Tahun 2012 juga mengatur bagaimana penanganan terhadap
anak sebagai korban dan anak sebagai saksi. Undang-undang tersebut
menyebutkan bahwa anak yang menjadi korban atau saksi dalam tindak
pidana berhak atas upaya rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial, baik di
dalam lembaga maupun di luar lembaga, jaminan keselamatan baik fisik,
63
Distia Aviandari,”Menuju Pemberlakuan UU No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem
Peradilan Pidana Anak”,PLEDOI,Edisi I/2013,hlm 13
mental maupun sosial, serta kemudahan dalam mendapatkan informasi
mengenai perkembangan perkara (Pasal 90 ayat (1)).
3. Batas usia pertanggungjawaban pidana menjadi 12 tahun (Pasal 1 angka
3), hal ini berbeda dengan Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 yang
mengatur batas usia pertanggungjawaban pidana yaitu 8 (delapan) tahun.
4. Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 menetapkan batasa lebih ketat
dalam menerapkan penahanan bagi anak. Beberapa hal yang menjadi
pembatasan adalah:
a. Penahanan terhadap anak tidak boleh dilakukan dalam hal anak
memperoleh jaminan dari orang tua/Wali dan/atau lembaga bahwa
anak tidak akan melarikan diri, tidak akan menghilangkan atau
merusak barang bukti, dan/atau tidak akan mengulangi tindak pidana.
b. Penahanan hanya dapat dilakukan jika memenuhi beberapa
persyaratan, yaitu anak telah berumur 14 (empat belas) tahun atau
lebih; diduga melakukan tindak pidana dengan ancaman pidana
penjara 7 (tujuh) tahun atau lebih.
c. Masa penahanan untuk tiap tahapan peradilan lebih singkat
dibandingkan masa penahanan yang diatur dengan undang-undang
sebelumnya.
5. Perubahan pola penanganan dalam melakukan penahanan dan
pemenjaraan dengan tidak menempatkan anak di Rutan maupun Lapas,
namun anak-anak akan ditempatkan di Lembaga Penempatan Anak
Khusus Anak (LKPA) untuk proses penahanan dan di Lembaga
Pembinaan Khusus Anak (LPKA) untuk proses pemenjaraan.
B. Tindak Pidana Narkotika
Narkotika merupakan zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan
tanaman, baik sintesis maupun semisintesis yang dapat menyebabkan penurunan
atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan
rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan.64
Peredaran dan penggunaan narkotika secara yuri adalah sah
keberadaannya, penggunaan narkotika ditujukan bagi dunia kesehatan yang mana
untuk meningkatkan derajat kesehatan pada peningkatan di bidang pengobatan
serta pelayanan kesehatan, namun seiring dengan berjalannya waktu penggunaan
narkotika sering kali disalahgunakan bukan untuk kepentigan pengobatan dan
ilmu pengetahuan namun dijadikan sebagai suatu kejahatan yang mana akan
berimbas pada rusaknya mental baik fisik maupun psikis pada pemakai narkotika
khususnya generasi muda.
Indonesia memandang bahwa kejahatan narkotika termasuk dalam
extraordinary crime (kejahatan luar biasa) yang sudah sangat merajalela maka
dari itu selayaknya diterapkan extraordinary law yang mana bahwa dalam kondisi
darurat tindak kejahatan yang merajalela, menjarah, dan mengancam bangsa ini
perlu sesegera mungkin dibinasakan dengan penegakan hukum yang
seadil-adilnya dengan prosedur yang jelas dan penegakan hukum seadil-seadil-adilnya.65
Mencegah dan memberantas penyalahgunaan narkotika memerlukan suatu
peraturan khusus yang mengatur tentang narkotika yaitu Undang-Undang Nomor
64
Pasal 1 Angka 1 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009
41
9 Tahun 1976 Tentang Narkotika kemudian mengalami perubahan menjadi
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 Tentang Narkotika, namun pada Sidang
Umum Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Tahun 2002 melalui
Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor
VI/MPR/2002 telah merekomendasikan kepada Dewan Perwakilan Rakyat
Republik Indonesia dan Presiden Republik Indonesia untuk melakukan perubahan
atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika.66
Upaya mengefektifkan pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan
dan peredaran gelap narkotika memerlukan suatu lembaga khusus yang mengatur
hal tersebut maka dibentuklah suatu lembaga yang khusus mengatur mengenai
pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan perdearan gelap narkotika
tersebut, badan tersebut adalah Badan Narkotika Nasional (BNN), Badan
Narkotika Nasional adalah sebuah Lembaga Pemerintah Non
Kementerian (LPNK) Indonesia yang mempunyai tugas melaksanakan tugas
pemerintahan di bidang pencegahan, pemberantasan penyalahgunaan dan
peredaran gelap psikotropika, prekursor, dan bahan adiktif lainnya kecuali bahan
adiktif untuk tembakau dan alkohol. BNN dipimpin oleh seorang kepala yang
bertanggung jawab langsung kepada Presiden melalui
koordinasi Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia.67
BNN dibentuk berdasarkan pada Peraturan Presiden Nomor 83 Tahun
2007 dan memiliki perwakilan di daerah provinsi, dan kabupaten/kota sebagai
instansi vertikal yakni BNN Provinsi dan BNN Kabupaten/Kota.
66
Harifin. A. Tumpa, Komentar&Pembahasan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, Jakarta: Sinar Grafika, 2011, hlm 59
67
Sidang Umum Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia
Tahun 2002 memutuskan bahwa Undang-Undang tentang Narkotika mengalami
perubahan menjadi Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika.
Tindak pidana narkotika merupakan suatu perbuatan yang dapat dipidana
oleh hukum, maka beberapa negara berpendapat bahwa perbuatan dan sikap batin
seseorang dapat dipersatukan dan menjadi syarat suatu perbuatan yang dapat
dipidana.
Zainal Abidil Farid berpendapat bahwa asas tersebut adalah unsur actus reus
harus didahulukan yaitu perbuatan criminal (criminal act). Hal tersebut sejalan
dengan syarat pemidanaan (strafvoraus setzungen) yang mendahulukan adanya
perbuatan pidana. Setelah diketahui adanya suatu perbuatan pidana sesuai
rumusan undang-undang barulah diselidiki tentang sikap batin atau niat pembuat
atau pelakunya (mens rea)68
Penjelasan Pasal 6 Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 Tentang
Narkotika menjelaskan bahwa jenis narkotika digolongkan ke dalam tiga
golongan, yaitu :
a. Narkotika Golongan I merupakan narkotika yang hanya dapat digunakan
untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan dan tidak digunakan dalam
terapi serta mempunyai potensi sangat tinggi mengakibatkan
ketergantungan.
b. Narkotika Golongan II merupakan narkotika yang berkhasiat pengobatan
digunakan sebagai pilihan terakhir dan dapat digunakan dalam terapi
68
dan/atau untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan serta mempunyai
potensi tinggi mengakibatkan ketergantungan.
c. Narkotika Golongan III merupakan narkotika yang berkhasiat pengobatan
dan banyak digunakan dalam terapi dan/atau untuk tujun pengembangan
ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi ringan mengakibatkan
ketergantungan.
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 menyebutkan 4 kategori yang
merupakan tindakan melawan hukum yang dilarang oleh undang-undang dan
diancam dengan sanksi pidana, antara lain sebagai berikut :69
a. Kategori pertama, yaitu perbuatan-perbuatan berupa memiliki, menyimpan,
menguasai, atau menyediakan narkotika dan prekursor narkotika
( Terdapat pada Pasal 111 dan Pasal 112 untuk Narkotika Golongan I,
Pasal 117 untuk Narkotika Golongan II, Pasal 122 untuk Narkotika
Golongan III dan Pasal 129 Huruf (a));
b. Kategori kedua, yaitu perbuatan-perbuatan berupa memproduksi,
mengimpor, mengekspor, atau menyalurkan narkotika dan prekursor
narkotika ( Terdapat pada Pasal 113 untuk Narkotika Golongan I, Pasal
118 untuk Narkotika Golongan II, Pasal 123 untuk Narkotika Golongan III,
dan Pasal 129 (b));
c. Kategori ketiga, yaitu perbuatan-perbuatan berupa menawarkan untuk
dijual, menjual, membeli, menerima, menjadi perantara dalam jual beli,
menukar atau menyerahkan narkotika dan prekursor narkotika (Terdapat
pada Pasal 114 dan Pasal 116 untuk Narkotika Golongan I, Pasal 119 dan
69
Pasal 121 untuk Narkotika Golongan II, Pasal 124 dan Pasal 126 untuk
Golongan Narkotika Golongan III, dan Pasal 129 c));
d. Kategori keempat, yakni perbuatan-perbuatan berupa membawa, mengirim,
mengangkut, atau mentransit narkotika dan prekusor narkotika ( Terdapat
pada Pasal 115 untuk Golongan I, Pasal 120 untuk Narkotika Golongan II,
Pasal 125 untuk Narkotika Golongan III, dan Pasal 129 (d)).
Berdasarkan kategori tersebut di atas, maka dapat disimpulkan bahwa
berdasarkan Undang-undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, jenis – jenis
tindak Pidana narkotika yang terdapat dalam ketentuan Pidana yang diatur dalam
Bab XV Undang-undang Narkotika dapat dikeleompokkan dari segi bentuk
perbuatannya sebagai berikut :70
a. Tindak Pidana yang berkaitan dengan penggolongan narkotika, dan
prekusor narkotika, meliputi :
1. Menanam, memelihara, memiliki, menyimpan, menguasai,
menyediakan narkotika golongan I dalam bentuk tanaman, dan bukan
tanaman, narkotika golongan II.
2. Pengadaan dan peredaran narkotika golongan I, II, dan golongan III
yang tidak menaati ketentuan perundang-undangan yang berlaku,
yaitu :
a. Memproduksi, mengimpor, mengekspor, atau menyalurkan
narkotika golongan I, narkotika golongan II, narkotika golongan III.
70
b. Menawarkan untuk dijual, menjual, membeli, menerima, menjadi
perantara dalam jual beli, menukar atau menyerahkan narkotika
golongan I, narkotika golongan II, narkotika golongan III.
c. Membawa, mengirim, mengangkut, atau mentransit narkotika
golongan I, narkotika golongan II, narkotika golongan III.
d. Menggunakan narkotika golongan I terhadap orang lain, atau
memberikan narkotika untuk digunakan orang lain, narkotika
golongan I, narkotika golongan II, narkotika golongan III.
e. Setiap penyalahguna narkotika golongan I, narkotika golongan II,
dan narkotika golongan III bagi diri sendiri.71
b. Tindak Pidana Orang Tua/ Wali dari Pecandu Narkotika yang Belum
Cukup Umur 72
Tindak Pidana yang berkaitan dengan orang tua atau wali dari pecandu
yang belum cukup umur yang sengaja tidak melaporkan adanya tindak
Pidana Pasal 111 sampai dengan Pasal 129.
c. Tindak Pidana yang Dilakukan oleh Korporasi73
Dalam hal tindak Pidana dalam Pasal 111 sampai dengan Pasal 126 dan
Pasal 129 yang dilakukan oleh Korporasi atau dilakukan secara
terorganisasi.
d. Tindak Pidana bagi Orang yang Tidak Melaporkan Adanya Tindak Pidana
Narkotika74
71
Lihat Pasal 127 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika
72
Lihat Pasal 128 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika
73
Lihat Pasal 130 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika
74
Setiap orang yang sengaja tidak melaporkan adanya tindak pidana Pasal
111 sampai dengan Pasal 129.
e. Tindak Pidana terhadap Percobaan dan Pemufakatan Jahat Melakukan
Tindak Pidana Narkotika dan Prekursor75
Percobaan atau pemufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana
narkotika dan prekusor narkotika dalam Pasal 111 sampai degan Pasal 126
dan Pasal 129 dipidana pidana penjara dan pidana denda maksimumnya
ditambah sepertiga, tapi pemberatan pidana tersebut tidak berlaku bagi
tindak pidana yang diancam dengan pidana mati, pidana penjara seumur
hidup atau pidana penjara 20 tahun.
f. Tindak Pidana berkaitan dengan Pemanfaatan Anak76
Menyuruh, membujuk, memaksa dengan kekerasan, tipu muslihat,
membujuk anak yang belum cukup umur untuk melakukan tindak pidana
dalam Pasal 111 sampai dengan Pasal 126 dan Pasal 129.
g. Tindak Pidana bagi Pecandu Narkotika dan Keluarganya yang Tidak
Melaporkan Diri77
Pecandu narkotika yang sudak cukup umur dan dengan sengaja tidak
melaporkan diri atau keluarga dari pecandu narkotika yang dengan sengaja
tidak melaporkan pecandu narkotika tersebut.
h. Tindak Pidana terhadap Hasil-Hasil Tindak Pidana Narkotika dan/atau
Prekusor Narkotika78
75
Lihat Pasal 132 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika
76
Lihat Pasal 133 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika
77
Lihat Pasal 134 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika
78
1. Menempatkan, membayarkan, atau membelanjakan, menitipkan,
menukarkan, menyembunyikan atau menyamarkan, menginvestasikan,
menyimpan, menghibahkan, mewariskan, dan/atau mentransfer uang,
harta, dan benda, atau asset baik dalam bentuk benda bergerak maupun
tidak bergerak, berwujud atau tidak berwujud, yang berasal dari tindak
pidana narkotika dan/atau tindak pidana prekusor narkotika,
2. Menerima penempatan, pembayaran, atau pembelanjaan, penitipan,
penukaran, penyembunyian, atau penyamaran investasi, simpanan atau
transfer, hibah, waris, harta atau uang, benda atau asset, baik dalam
bentuk benda bergerak maupun tidak bergerak, berwujud maupun tidak
berwujud yang diketahui berdasar dari tindak pidana narkotika
dan/atau tindak pidana prekusor narkotika.
i. Tindak pidana narkotika yang dilakukan oleh para pejabat yang berkaitan
dengan narkotika, meliputi :
1. Pengurus industri farmasi yang tidak melaksanakan kewajiban
menurut Pasal 45.79
2. Pimpian rumah sakit, pusat kesehatan masyarakat, balai pengobatan,
sarana penyimpanan persediaan farmasi milik pemerintah, dan apotek
yang mengedarkan narkotika golongan II dan III bukan untuk
kepentingan masyarakat.80
79
Lihat Pasal 135 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika
80
3. Pimpinan, lembaga ilmu pengetahuan yang menanam, membeli,
menyimpan atau menguasai tanaman narkotika bukan untuk
kepentingan ilmu pengetahuan.81
4. Pimpinan industri farmasi tertentu yang memproduksi narkotika
golongan I bukan untuk kepentingan lembaga ilmu pengetahuan.82 5. Pimpinan pedagang besar farmasi yang mengedarkan narkotika
golongan I yaitu bukan untuk kepentingan pengembangan ilmu
pengetahuan atau mengedarkan narkotika golongan II dan III bukan
untuk kepentingan pelayanan kesehatan dan/atau bukan untuk
kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan.83
6. Nahkoda atau kapten penerbang yang secara melawan hukum tidak
melaksanakan ketentuan dalam Pasal 27 atau Pasal 28 (Pasal 139).
7. Penyidik Pengawai Negeri Sipil yang secara melawan hukum tidak
melaksanakan ketentuan dalam Pasal 88 dan Pasal 89 (Pasal 140 ayat
(1)).
8. Penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia dan penyidik BNN
yang tidak melaksanakan ketentuan dalam Pasal 87, Pasal 89, Pasal 90,
Pasal 91 ayat (2), dan ayat (3), dan Pasal 92 ayat (1), ayat (2), ayat (3)
dan ayat (4) (Pasal 140 ayat (2)).
9. Kepala Kejaksaan Negeri yang secara melawan hukum tidak
melaksanakan ketentuan dalam Pasal 91 ayat (1) pidana penjara dan
pidana denda (Pasal 141).
81
Lihat Pasal 147 hurfuf (b) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika
82
Lihat Pasal 147 huruf (c) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika
83
10.Petugas Laboratorium yang memalsukan hasil pengujian atau secara
melawan hukum tidak melakukan kewajiban tidak melaporkan hasil
pengujiannya kepada penyidik atau penuntut umum, dipidana dengan
pidana penjara dan pidana denda.84
j. Ketentuan lain dalam rangka pemeriksaan terhadap tindak pidana narkotik,
meliputi:
1. Menghalang-halangi atau mempersulit penyidikan serta penuntutan
dan pemeriksaan perkara tindak pidana narkotika dan/atau tindak
pidana prekusor narkotika di muka sidang pengadilan.85
2. Narkotika dan prekusor narkotika serta hasil-hasil yang diperoleh dari
tindak pidana prekusor narkotika dan/atau tindak pidana prekusor
narkotika, baik berupa asset dalam bentuk benda bergerak maupun
tidak bergerak, berwujud atau tidak berwujud serta barang-barang atau
peralatan yang digunakan untuk melakukan tindak pidana narkotika
dan tindak pidana prekusor narkotika dirampas untuk negara.86
3. Saksi yang memberikan keterangan tidak benar dalam pemeriksaan
perkara tindak pidana narkotika dan prekusor narkotika di muka
pengadilan dipidana dengan pidana penjara dan pidana denda.87
C.Pertanggungjawaban Tindak Pidana Narkotika
Pertanggungawaban berasal dari kata tanggung jawab, menurut KBBI
pertanggungjawaban merupakan perbuatan (hal dan sebagainya) bertanggung
jawab atau sesuatu yang dipertanggungjawabkan.
84
Lihat Pasal 142 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika
85
Lihat Pasal 138 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika
86
Lihat Pasal 136 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika
87
Perbuatan pidana tidak termasuk dalam pertanggungjawaban pidana, perbuatan
pidana hanya menunjuk pada apa yang dilarang dan diancamnya perbuatan
dengan suatu pidana.
Unsur yang harus dipenuhi agar seseorang dapat dimintai
pertanggungjawaban pidana atas perbuatannya adalah :88 a. Adanya kesalahan
b. Adanya kemampuan bertanggung jawab
c. Tidak ada alasan penghapus pidana
Seseorang yang melakukan suatu perbuatan kemudian dijatuhi pidana
berhubungan erat dengan apakah dalam melakukan perbuatan ini ia memiliki
kesalahan atau tidak, sebab asas dalam pertanggungjawaban dalam hukum pidana
ialah : Tidak dipidana jika tidak ada kesalahan (Geen straf zonder schuld; Actus
non facit reum nisi mens sist rea)89.
KUHPidana tidak ada merumuskan dengan tegas masalah
pertanggungjawaban pidana. Pasal 44 (1) KUHPidana justru merumuskan tentang
keadaan megenai kapan seseorang tidak mampu bertangung jawab agar tidak
dipidana, artinya merumuskan perihal kebalikan (secara negatif) dari kemampuan
bertanggung jawab, sementara itu mengenai kapan seseorang dianggap mampu
bertanggung jawab dapat diartikan kebalikannya yaitu apabila tidak terdapat
tentang dua keadaan jiwa sebagaimana yang diterangkan dalam Pasal 44
tersebut.90
88
Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana Edisi Revisi, Jakarta : Rineka Cipta, 2008, hlm 50
89
Ibid, hlm 165
90
Pasal 44 KUHPidana menyebutkan terdapat 2 (dua) keadaan jiwa yang
tidak mampu bertanggung jawab adalah sebagai berikut :
1. Karena jiwanya cacat dalam pertumbuhan;
2. Jiwanya terganggu karena penyakit
Ketidakmampuan bertanggung jawab seseorang juga dapat dilihat dalam
Pasal 48-51 KUHPidana, antara lain sebagai berikut :
1. Pasal 48 KUHPidana mengatakan bahwa barang siapa yang melakukan
tindak pidana karna daya paksa (overmacht) maka tidak dapat dipidana;
2. Pasal 49 (1) KUHPidana mengatakan bahwa seseorang yang melakukan
pembelaan terpaksa (noodweer) baik untuk diri sendiri maupun orang lain
maka tidak dapat dipidana;
3. Pasal 49 (2) KUHPidana mengatakan bahwa seseorang yang melakukan
pembelaan terpaksa (noodweer) yang melampaui batasn maka tidak dapat
dipidana;
4. Pasal 50 KUHPidana mengatakan bahwa seseorang yang melakukan
perbuatan untuk melaksanaka ketentuan undang-undang maka tidak dapat
dipidana;
5. Pasal 51 (1) KUHPidana mengatakan bahwa seseorang yang
melaksanakan perintah jabatan yang diberikan oleh pihak yang berwenang
maka tidak dapat dipidana;
Perbuatan pidana yang seharusnya dapat dimintai pertanggungjawaban
menjadi tidak dapat dijatuhkan pidana dikarenakan adanya alasan-alasan tertentu,
Hukum pidana memiliki alasan-alasan yang dapat menghapuskan pidana antara
lain adalah sebagai berikut :91
1. Alasan pembenar, yaitu alasan yang menghapuskan sifat melawan
hukumnya perbuatan, sehingga apa yang dilakukan oleh terdakwa lalu
menjadi perbuatan yang patut dan benar;
2. Alasan pemaaf, yaitu alasan yang menghapuskan kesalahan terdakwa.
Perbuatan yang dilakukan oleh terdakwa tetap bersifat melawan hukum
jadi tetap merupakan perbuatan pidana, tetapi ia tidak dipidana, karena
tidak ada kesalahan;
3. Alasan penghapus penuntutan, dalam hal ini bukan soal ada alasan
pembenar maupun alasan pemaaf, tidak ada pemikiran mengenai sifatnya
perbuatan maupun sifatnya orang yang melakukan perbuatan, tetapi
pemerintah menganggap bahwa atas dasar utilitas atau kemanfaatannya
kepada masyarakat, sebaiknya tidak diadakan penuntutan.
Pertanggungjawaban pidana ini juga erat kaitannya dengan asas legalitas
(nullum delictum, nulla poena sine praevia lega poenali), bila suatu perbuatan
telah memenuhi unsur delik yang dilarang, tetapi ternyata perbuatan tersebut
dilakukan sebelum berlakunya ketentuan atau peraturan, maka perbuatan tersebut
bukan saja tidak dapat dituntut dimuka persidangan tetapi juga pihak yang terkait
tidak dapat dimintai pertanggungjawaban.92
Seseorang yang melakukan tindak pidana narkotika jika ia tidak termasuk
dalam kategori yang tidak dapat diminta pertanggungjawaban seperti yang telah
disebutkan di atas, maka perbuatannya haruslah dapat dipertanggungjawabkan.
91
Ibid,hlm 148
92
Pertanggungjawaban tindak pidana narkotika tidak hanya dilakukan dengan cara
mencocokkan perbuatan terdakwa dengan unsur delik dalam undang-undang,
tetapi hakim juga harus memperhatikan syarat pemidanaan yang ditentukan oleh
undang-undang. Syarat pemidanaan terdiri atas dua yaitu tindak pidana dan
pertanggungjawaban pidana. Unsur dari tindak pidana adalah perbuatan yang
terdiri dari mencocoki rumusan delik, melawan hukum, dan tidak ada alasan
pembenar sedangkan unsur pertanggungjawaban pidana adalah pembuat yag
terdiri dari mampu beratanggungjawab, kesalahan, dan tidak ada alasan pemaaf.
D. Sanksi Pidana terhadap Tindak Pidana Narkotika
KBBI menyebutkan sanksi merupakan tindakan atau hukuman yang
memaksa orang untuk menaati perjanjian atau menaati ketentuan undang-undang
dan pidana merupakan kejahatan sementara dala hukum pidana tidak hanya
mengenal kejahatan saja namun juga pelanggaran, dapat dikatakan bahwa sanksi
pidana merupakan hukuman kepada seseorang yang melakukan kejahatan atau
pelanggaran dan juga sebagai alat pemaksa agar seseorang menaati norma-norma
yang telah diatur di dalam peraturan perundang-undangan.
Menurut Simons dalam buku Hukum Penitensier, berpendapat bahwa
pidana merupakan suatu penderitaan yang oleh undang-undang pidana telah
dikaitkan dengan pelanggar terhadap suatu norma yang dengan suatu putusan
hakim telah dijatuhkan bagi seorang yang bersalah.93
93
Marlina, Hukum Penitensier, Op.Cit, hlm 18
56
Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-Teori dan Kebijakan Pidana, Bandung,: Alumni, 1992, hlm 20.
Sanksi pidana dimaksudkan untuk mencegahnya terjadinya pengulangan
tindak pidana (to prevent recidivism), mencegah orang lain melakukan perbuatan
yang sama seperti yang dilakukan si terpidana (to deter other from the
performance of similar acts), menyediakan saluran untuk mewujudkan
motif-motif balas (to provide a channel for the expression of retaliatory motives).94 Pasal 10 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana mengatur jenis pidana atau
hukuman yaitu :
a. Pidana Pokok
1. Pidana mati
2. Pidana penjara
3. Pidana kurungan
4. Pidana denda
5. Pidana tutupan
b. Pidana Tambahan :
1. Pencabutan hak-hak tertentu
2. Perampasan barang-barang tertentu
3. Pengumuman putusan hakim
Sanksi pidana secara garis besar dapat dikenakan bagi pelaku tindak
Pidana narkotika dalam Undang-Undang No. 35 Tahun 2009, yaitu sebagai
berikut :95
95
Ketentuan Pidana Penyalahgunaan Narkotika Serta Upaya Pencegahan dan Penanggulangannya,http://www.academia.edu/2951849/Ketentuan_Pidana_Terhadap_Penyalahgu naan_Narkotika_Serta_Upaya_Pencegahan_dan_Penanggulangannya, diakses pada tanggal 3 Maret 2015.
a. Sanksi bagi Penanam :
Menanam, memelihara, memiliki, menyimpan, menguasai, atau
menyediakan narkotika golongan I, golongan II, golongan III, dikenakan
ketentuan Pidana :
1) Golongan I, diancam pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan
paling lama 12 (dua belas) tahun. Denda paling sedikit
Rp800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah) dan paling banyak
Rp8.000.000.000,00 (delapan miliar rupiah), apabila beratnya melebihi
1 (satu) kilogram atau melebihi 5 (lima) batang pohon (untuk tanaman)
maka pidana denda maksimum ditambah 1/3 (sepertiga).96
2) Golongan II, diancam Pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan
paling lama 10 (sepuluh) tahun, denda paling sedikit Rp600.000.000,00
(enam ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima
miliar rupiah), apabila beratnya melebihi 5 (lima) gram maka pela
Pidana denda maksimum ditambah 1/3 (sepertiga).97
3) Golongan III, diancam Pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan
paling lama 10 (sepuluh) tahun. Denda paling sedikit Rp
400.000.000,00 (empat ratus juta rupiah) dan paling banyak
Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah), apabila beratnya melebihi lima
gram, maka Pidana denda maksimum ditambah 1/3 (sepertiga).98 b. Sanksi Pengedar :
Membawa, mengirim, mengangkut atau mentransito, menawarkan
untuk dijual, menjual, membeli, menerima, menjadi perantara dalam jual beli,
96
Lihat Pasal 111 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika
97
Lihat Pasal 117 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika
98
menukar atau menyerahkan narkotika golongan I, golongan II, dan golongan
III, dikenakan ketentuan Pidana :
1) Golongan I diancam dengan Pidana penjara paling singkat 4 (empat)
tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun. Denda paling sedikit
Rp800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah) dan paling banyak
Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah), apabila beratnya
melebihi 1 (satu) kilogram atau melebihi 5 (lima) batang pohon (untuk
tanaman) dan melebihi 5 (lima) gram (bukan tanaman), maka Pidana
denda maksimum ditambah 1/3(sepertiga).99
2) Golongan II, diancam Pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan
maksimum pidan paling lama 10 (sepuluh) tahun. Denda paling sedikit
Rp600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah) dan paling banyak
Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah). Apabila beratnya melebihi 5
(lima) gram, maka pidana denda maksimum ditambah 1/3 (sepertiga).100 3) Golongan III, diancam dengan Pidana penjara paling singkat 2 (dua)
tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun. Denda paling sedikit
Rp600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah) dan paling banyak
Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah). Apabila beratnya melebihi 5
(lima) gram, maka pidana denda maksimum ditambah 1/3 (sepertiga).101 c. Sanksi bagi Produsen
Memproduksi, mengimpor, mengekspor, atau menyalurkan narkotika
golongan I, golongan II, dan golongan III, dikenakan dengan Pidana :
99
Lihat Pasal 115 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika
100
Lihat Pasal 120 Undng-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika
101
1) Golongan I, dipidana dengan Pidana penjara paling singkat 5 (lima)
tahun dan pidana paling lama 15 (lima belas)tahun. Pidana denda
paling sedikit Rp1.000.000.00,00 (satu miliar rupiah) dan paling
Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar). Apabila beratnya melebihi 1
(satu) kilogram atau melebihi 5 (lima) batang pohon (dalam bentuk
tanaman) dan melebihi 5 (lima) gram (dalam bentuk bukan tanaman),
maka Pidana dengan maksimum ditambah 1/3 (sepertiga).102
2) Golongan II, dipidana dengan Pidana penjara paling singkat 4 (empat)
tahun dan pidana paling lama 12 (dua belas) tahun. Denda paling
sedikit Rp800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah) dan paling
banyak Rp8.000.000.000,00 (delapan miliar rupiah). Apabila beratnya
melebihi 5 (lima) gram, maka pidana denda maksimum ditambah 1/3
(sepertiga).103
3) Golongan III, dipidana degan Pidana penjara paling singkat 3 (tiga)
tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun. Pidana denda paling sedikit
Rp600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah) dan paling banyak
Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah). Apabila beratnya melebihi 5
(lima) gram, maka pidana denda maksimum ditambah 1/3
(sepertiga).104 d. Sanksi bagi Pengguna :
Menggunakan narkotika golongan I, golongan II , atau golongan III
terhadap orang lain atau memberikan narkotika golongan I, golongan II, atau
golongan III untuk digunakan orang lain, diancam dengan Pidana :
102
Lihat Pasal 113 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika
103
Lihat Pasal 118 Undang-Undag Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika
104
1). Golongan I, diancam dengan Pidana penjara paling singkat 5 (lima)
tahun dan pidana paling lama 15 (lima belas) tahun. Denda paling
sedikit Rp1.000.000.000,00 (satu miliar), dan paling banyak
Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar). Apabila mengakibatkan orang
lain mati atau cacat permanen, maka pidana denda maksimum ditambah
1/3 (sepertiga).105
2). Golongan II, diancam dengan Pidana penjara paling singkat 4 (empat)
tahun dan pidana paling lama 12 (dua belas) tahun.Denda paling sedikit
Rp800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah) dan paling banyak
Rp8.000.000.000,00 (delapan miliar rupiah). Apabila mengakibatkan
orang lain mati atau cacat permanen, maka pidana denda maksimum
ditambah 1/3 (sepertiga).106
3) Golongan III, dipidana dengan Pidana penjara paling singkat 3 (tiga)
tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun. Dengan paling sedikit
Rp600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah) dam paling banyak Rp
5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah). Apabila mengakibatkan orag lain
mati atau cacat permanen, maka pidana denda maksimum ditambah 1/3
(sepertiga).107
e . Sanksi bagi Penyalahguna Narkotika108
Pasal 1 angka 15 menyebutkan Penyalah Guna adalah orang yang
menggunakan Narkotika tanpa hak atau melawan hukum.
Setiap Penyalahguna dikenakan Pidana sebagai berikut :
105
Lihat Pasal 116 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika
106
Lihat Pasal 121 Undang Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika
107
Lihat Pasal 126 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika
108
1) Narkotika Golongan I bagi diri sendiri dipidana dengan Pidana penjara
paling lama 4 (empat) tahun;
2) Narkotika Golongan II bagi diri sendiri dipidana dengan Pidana penjara
paling lama 2 (dua) tahun; dan
3) Narkotika Golongan III bagi diri sendiri dipidana dengan Pidana penjara
paling lama 1 (satu) tahun.
f.Sanksi terhadap Tindak Pidana Prekusor Narkotika
Memiliki, menyimpan, menguasai atau menyediakan. Memproduksi,
mengimpor, mengekspor, atau menyalurkan. Menawarkan untuk dijual,
menjual, membeli, menerima, menjadi perantara dalam jual beli, menukar, atau
menyerahkan. Membawa, mengirim, mengangkut, atau mentransito precursor
narkotika untuk pembuatan narkotika. Dipidana dengan Pidana penjara paling
singkat 4 (empat) dan paling lama 20 (dua puluh) tahun. Denda paling banyak
Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).109
Undang-undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika juga telah
mengatur jenis-jenis sanksi yang diberikan pada tindak Pidana narkotika,
antara lain :
1. Sanksi bagi Orang Tua/ Wali dari Pecandu Narkotika yang Belum Cukup
Umur yang tidak melaporkan kepada pusat kesehatan masyarakat, rumah
sakit, dan/atau lembaga rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial yang
ditunjuk oleh pemerintah, untuk mendapatkan pengobatan dan/atau
perawatan melalui rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial tersebut, dapat
dikenai ancaman Pidana kurungan. Dipidana dengan Pidana kurungan
109
paling lama 6 (enam) bulan atau pidana denda paling banyak
Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah).110
2. Sanksi bagi Korporasi yang melakukan tindak Pidana Pasal 111 sampai
dengan Pasal 129 dipidana dengan Pidana penjara dan Pidana denda
dengan pemberatan 3 (tiga) kali. Korporasi dapat dijatuhi Pidana tambahan
berupa pencabutan izin usaha dan/atau pencabutan status badan hukum.111 3. Sanksi bagi Orang yang Tidak Melaporkan Adanya Tindak Pidana
Narkotika dipidana dengan Pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau
Pidana denda paling banyak Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).112 4. Sanksi terhadap Percobaan dan Pemufakatan Jahat Melakukan Tindak
Pidana Narkotika dan Prekursor dipidana dengan Pidana penjara yang
sama sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal-pasal
tersebut, dan jika dilakuan secara terorganisir dipidana penjara dan Pidana
denda maksimumnya ditambah sepertiga (Pasal 132).
5. Sanksi bagi Orang yang Menyuruh, Memberi, Membujuk, Memaksa
dengan Kekerasan, Tipu Muslihat, Membujuk Anak.113
Ayat (1) : untuk melakukan tindak Pidana Pasal 111 sampai dengan Pasal
129 dipidana dengan Pidana mati atau Pidana seumur hidup, atau Pidana
paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan
Pidana denda paling sedikit Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah) dan
paling banyak Rp20.000.000.000,00 (dua puluh miliar rupiah).
110
Lihat Pasal 128 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika
111
Lihat Pasal 130 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika
112
Lihat Pasal 131 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika
113
Ayat (2) : untuk menggunakan Narkotika dipidana dengan Pidana penjara
paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan
Pidana denda paling sedikit Rp1.000.000.000,00 (satu miliar) dan paling
banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) (Pasal 133).
6. Sanksi bagi Pecandu Narkotika yang Tidak Melaporkan Diri kepada
instalasi rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial dipidana dengan Pidana
kurungan paling lama 6 (enam) bulan atau Pidana denda paling banyak
dua juta rupiah. Dan keluarganya dipidana dengan Pidana kurungan paling
lama 3 (tiga) bulan atau Pidana denda paling banyak Rp1.000.000,00 (satu
juta rupiah).114
7. Sanksi bagi Pengurus Farmasi Industri yang Tidak Melaksanakan
Kewajiban dipidana dengan Pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun
dan paling lama 7 (tujuh) tahun dan Pidana denda paling sedikit
Rp40.000.000,00 (empat puluh juta rupiah) dan paling banyak
Rp400.000.000,00 (empat ratus juta rupiah).115
8. Sanksi terhadap Hasil-hasil Tindak Pidana Narkotika dan/atau Prekursor
Narkotika yang terdapat dugaan kejahatan money loundering.116
Huruf (a) : dipidana dengan Pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun
dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan Pidana denda paling sedikit
Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak
Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).
Huruf (b) : dipidana dengan Pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun
dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan Pidana denda paling sedikit
114
Lihat Pasal 134 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika
115
Lihat Pasal 135 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika
116
Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) dan paling banyak
Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
9. Sanksi bagi Orang yang Menghalangi atau Mempersulit Penyidikan,
Penuntutan dan Pemeriksaan Perkara tindak Pidana narkotika, dipidana
dengan Pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan Pidana denda
paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).117
10.Sanksi bagi Nakhoda atau Kapten Penerbang yang Tidak Melaksanakan
Ketentuan Pasal 27 dan Pasal 28, dipidana dengan Pidana penjara paling
singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan Pidana
denda paling sedikit Rp100.000.000 (seratus juta rupiah) dan paling
banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).118
11.Tindak Pidana bagi PPNS, Penyidik Polri, Penyidik BNN yang Tidak
Melaksanakan Ketentuan tentang Barang Bukti, dipidana dengan Pidana
penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun
dan pidana denda paling sedikit Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah)
dan paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).119
12.Sanksi bagi Kepala Kejaksaan Negeri yang Tidak Melaksanakan
Ketentuan Pasal 91 Ayat (1) dipidana dengan Pidana penjara paling
singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan pidana
denda paling sedikit Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling
banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah rupiah).120
117
Lihat Pasal 138 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika
118
Lihat Pasal 139 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika
119
Lihat Pasal 140 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika
120
13.Sanksi bagi Petugas Laboratorium yang Memalsukan Hasil Pengujian
dipidana denga Pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan Pidana
denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).121
14.Sanksi bagi Saksi yang Memberikan Keterangan Tidak Benar dipidana
dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 10
(sepuluh) tahun dan Pidana dan denda paling sedikit Rp60.000.000,00
(enam puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp600.000.000,00 (enam
ratus juta rupiah).122
15.Tindak Pidana bagi Setiap Orang yang Melakukan Pengulangan Tindak
pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 144, dimana jangka waktu 3 (tiga)
tahun melakukan pengulangan tindak Pidana, dipidana dengan pidana
maksimumnya ditambah 1/3 (sepertiga).123
16.Sanksi bagi Warga Negara Indonesia yang Melakukan Tindak Pidana di
Luar Wilayah Negara Republik Indonesiaberbuat salah satu dari
kejahatan-kejahatan yang termasuk tindak Pidana narkotika meskipu diluar
Indonesia, dapat dikenakan undang-undang Pidana Indonesia.124
17.Sanksi bagi Warga Negara Asing yang Melakukan Tindak Pidana
Narkotika dipidana sebagaimana ketentuan dalam undang-undang ini, dan
dapat dilakukan pengusiran dari wilayah Indonesia, dan bagi WNA yang
pernah melakukan tindak Pidana narkotika diluar negeri dilarang
memasuki wilayah Indonesia.125
121
Lihat Pasal 142 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika
122
Lihat Pasal 143 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika
123
Lihat Pasal 144 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika
124
Lihat Pasal 145 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika
125
18.Sanksi bagi Pimpinan Rumah Sakit, Pimpinan Lembaga Ilmu Pengetahuan,
Pimpinan Industri Farmasi, dan Pimpinan Pedagang Farmasi yang
Melakukan Tindak Pidana yang diatur dalam Pasal 147, dipidana dengan
pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 10 (sepuluh)
tahun dan pidana denda paling sedikit Rp100.000.000,00 (seratus juta
rupiah) dan paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).126 19.Putusan Pidana Denda yang tidak dapat dibayar oleh Pelaku Tindak
Pidana, maka dilakukan penggantian pidana denda dengan pidana penjara
menurut ketentuan ini paling lama 2 (dua) tahun.127
E. Anak Sebagai Pelaku Tindak Pidana Narkotika
Anak merupakan generasi penerus bangsa yang sangat diharapkan untuk
meneruskan cita-cita bangsa nantinya, tapi sangat disayangkan dewasa ini anak
justru sering kali melakukan perbuatan melawan hukum yang memberikan
kerugian bagi perkembangan kehidupan anak.
KOMNAS Anak pada Tahun 2011 menerima 1.851 pengaduan anak yang
berhadapan dengan hukum (anak sebagai pelaku tindak pidana) yang diajukan ke
pengadilan. Angka ini meningkat dibanding pengaduan pada tahun 2010, yakni
730 kasus. Hampir 52 persen dari angka tersebut adalah kasus pencurian diikuti
dengan kasus kekerasan, perkosaan, narkoba, perjudian, serta penganiayaan dan
hampir 89,8 persen kasus anak yang berhadapan dengan hukum tersebut berakhir
pada pemidanaan atau diputus pidana.128
126
Lihat Pasal 147 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika
127
Lihat Pasal 148 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika
128
Lidya Rahmadani Hasibuan,”Diversi dan Keadilan Restoratif Pembaharuan Sistem
Anak yang melakukan tindak pidana narkotika dikatakan anak yang
berhadapan dengan hukum harus diproses secara hukum yaitu dijatuhin pidana.
Penerapan sanksi bagi anak sebagai pelaku tindak pidana narkotika, selain
merujuk pada Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika
penegak hukum juga harus memperhatikan ketentuan-ketentuan yang terdapat
dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana
Anak, undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak karena peraturan
tentang anak yang berhadapan dengan hukum telah diatur secara khusus agar anak
tidak diperlakukan sama selayaknya orang yang sudah dewasa.
Undang-Undang Narkotika tidak mengatur secara khusus tentang stelsel
sanksi bagi anak sebagai pelaku tindak pidana melainkan mengatur sanksi bagi
anak sebagai korban dalam suatu tindak pidana narkotika yaitu tindak pidana
narkotika yang berkaitan dengan pemanfaatan anak (Pasal 133 Undang-undang
Nomor 35 Tahun 2009), dalam merumuskan berlakunya stelsel sanksi dalam
Undang Narkotika penegak hukum juga harus memberlakukan
Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak sebagai ketentuan khusus yang diterapkan
terhadap anak maka disinilah berlakunya konsekuensi adanya asas lex specialis
derogate legi generalis.129
Bab V Pasal 69 Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem
Peradilan Pidana Anak menyebutkan bahwa anak yang melakukan tindak pidana
hanya dapat dijatuhi pidana atau dikenai tindakan, dan bagi anak yang belum
berusia 14 (empat belas) tahun hanya dapat dikenai tindakan.
129
Teori penerapan sanksi pidana bagi anak ternyata justru menimbulkan
berbagai dampak negatif, karena berbagai dampak negatif itulah penggunaan
sanksi sebagai sarana penanggulangan kejahatan sering menjadi perdebatan
konseptual dan bahkan akhir-akhir ini ada kecenderugan internasional untuk
selalu mencari alternatif pidana perampasan kemerdekaan dalam bentuk sanksi
alternatif (alternative sanction).130
Penyalahgunaan narkotika pada dasarnya dapat dikualifikasikan sebagai
crime without victim (kejahatan tanpa korban) maka dari itu korban kejahatan
penyalahgunaan narkotika adalah pelaku itu sendiri bukan orang lain, begitupun
anak yang melakukan penyalahgunaan narkotika tidak dapat dilihat semata-mata
sebagai pelaku tindak pidana tetapi juga harus dilihat sebagai korban.131
Sanksi alternatif (alternative sanction) yang diberikan bagi anak selaku
pelaku tindak pidana narkotika adalah diversi. Diversi merupakan peralihan
proses pemidanaan anak dari formal menuju non-formal. Diversi pada hakikatnya
juga mempunyai tujuan agar anak terhindar dari dampak negatif penerapan pidana.
Diversi juga mempunyai esensi untuk tetap menjamin anak tumbuh dan
berkembang baik secar fisik maupun mental.132, melalui diversi hak-hak anak menjadi lebih diperhatikan dan perlakuan terhadap anak pelaku tindak pidana
tidak lagi sama dengan orang yang sudah dewasa
Anak pelaku tindak pidana narkotika selain dapat dikenakan sanksi
alternatif (alternative sanction) yaitu diversi juga dapat dipertimbangkan untuk
dijatuhi sanksi tindakan yang mana tujuannya adalah untuk tidak membuat anak
sebagai pelaku tindak pidana berakhir di penjara melainkan memberikan tindakan
130
Ibid,hlm 124
131
Ibid,hlm120
132