www.hukumonline.com
MENGUBAH "GRONDHUUR-ORDONNANTIE" (S. 1918 NO. 88) DAN "VORSTENLANDSCHGRONDHUURREGLEMENT" (S. 1918 NO. 20)
UMUM
Perubahan dalam peraturan-peraturan tentang persewaan tanah diusulkan dengan Undang-undang Darurat, karena waktu untuk mulai penanaman tebu buat tahun 1951/1952 sudah amat mendesak. Sesungguhnya perubahan ini sudah sejak pertengahan tahun 1950 dirasa perlu, tetapi perundingan-perundingan dengan organisasi tani dan pihak pengusaha pabrik sedemikian lambat jalannya, hingga sampai kini pun belum tercapai persetujuan bulat antara kedua pihak. Dalam pada itu pemerintah menginsafi, bahwa penghasilan gula bagi negara dan rakyat sangat pentingnya, buat rakyat karena konsumsi gula termasuk bahan makanan yang tidak dapat ditinggalkan; bagi negara karena mengingat pentingnya perusahaan gula menjadi salah satu sumber deviezen pula. Mengingat pentingnya perusahaan gula itu maka pemerintah berpendapat, bahwa dalam soal persewaan tanah yang belum dapat dipecahkan dengan usaha perundingan tadi, pemerintah harus menentukan sikapnya yang tegas.
Menurut peraturan lama (S. 1918 No. 88 dan S. 1918 No. 206) maka sewa-menyewa tanah dari rakyat kepada perusahaan gula didasarkan azas sukarela. Sungguhpun demikian, oleh karena rakyat tani adalah pihak yang lemah menghadapi pengusaha yang bermodal besar, maka dalam peraturan yang lama itu diadakan ketentuan-ketentuan untuk melindungi kepentingan pemilik tanah. Sebaliknya ada pula ketentuan untuk menjamin, supaya pabrik mendapatkan tanah secukupnya. Kedua maksud itu digabungkan menjadi suatu peraturan, ialah yang menetapkan akan adanya minimum uang sewa untuk persewaan tanah dengan kontrak panjang. Penetapan minimum sewa itu tidak berlaku buat persewaan tanah yang hanya buat satu atau dua tahun saja. Pada sekarang ini Pemerintah berpendirian, bahwa undang-undang persewaan tanah tahun 1918 No. 88 (buat di Solo dan Yogyakarta Undang-undang tahun 1918 No. 20) perlu diganti baru, karena dasar sewa-menyewa tidak dapat dipakai seterusnya untuk mewujudkan perusahaan gula sebagai "Belangengemeenschap". Sementara Undang-undang baru itu belum terbentuk,
Pemerintah tidak menghendaki adanya persewaan tanah dengan kontrak panjang; bahkan hanya dapat mengizinkan sewa tanah buat paling lama satu musim.
Dengan hanya ada kemungkinan sewa tanah buat satu musim, peraturan minimum sewa tanah tidak dapat dipakai lagi, yang hanya berlaku buat kontrak panjang, Pun perhitungan minimum menurut cara lama tidak dapat disetujui Pemerintah pula, karena memang pangkal pendirian yang menjadi dasar perhitungan itu ialah menjamin rakyat tani, supaya jangan sampai mendapat uang sewa yang terlalu rendah. Demikianlah minimum sewa tanah menurut peraturan lama itu sengaja diperhitungkan "aande lage kant"; pada azasnya si-tani boleh menuntut sewa yang lebih tinggi, sekalipun di dalam prakteknya jarang tercapai itu.
Maksud Pemerintah sekarang ialah, menjamin kepada rakyat tani, supaya mendapat uang sewa yang seimbang dengan penghasilan perusahaan gula; artinya, supaya keuntungan yang dicapai oleh pabrik itu ikut dirasakan juga oleh si pemilik tanah. Jaminan sewa itu mengharuskan kepada pabrik supaya menyewa dengan harga yang ditetapkan Pemerintah; di bawahnya itu tidak mungkin, atau pabrik tidak menyewa tanah. Tetapi pun si-tani sekarang terikat; kalau ia
menyewakan tanah, maka sewanya tidak boleh lebih dari penetapan Pemerintah itu juga; atau ia tidak menyewakan tanah.
www.hukumonline.com
www.hukumonline.com