• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALISIS MASLAHAH MURSALAH TERHADAP FAKTOR-FAKTOR PENINGKATAN PELAKSANAAN AKAD NIKAH DI KUA SEDATI KABUPATEN SIDOARJO.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "ANALISIS MASLAHAH MURSALAH TERHADAP FAKTOR-FAKTOR PENINGKATAN PELAKSANAAN AKAD NIKAH DI KUA SEDATI KABUPATEN SIDOARJO."

Copied!
89
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS MAS{LAH{AH MURSALAH TERHADAP

FAKTOR-FAKTOR PENINGKATAN PELAKSANAAN AKAD NIKAH DI

KUA SEDATI KABUPATEN SIDOARJO

SKRIPSI

Oleh: Jumiati NIM: C01212019

Universitas Islam Negeri Sunan Ampel

Fakultas Syariah dan Hukum

Jurusan Hukum Perdata Islam

Prodi Hukum Keluarga

Surabaya

(2)
(3)
(4)
(5)
(6)

ABSTRAK

Skripsi ini adalah hasil penelitian lapangan dengan judul Analisis Mas{lah{ah Mursalah Terhadap Faktor-Faktor Peningkatan Pelaksanaan Akad Nikah Di Kua Sedati Kabupaten Sidoarjo. Rumusan masalah adalah: Bagaimana faktor-faktor peningkatan pelaksanaan akad nikah di kua sedati kabupaten sidoarjo? Bagaimana analisis mas{lah{ah mursalah terhadap faktor-faktor peningkatan pelaksanaan akad nikah di kua sedati kabupaten sidoarjo?

Penelitian ini menggunakan kualitatif deskriptif yaitu penelitian yang menggambarkan secara jelas yang datanya bersumber dari lapangan, dengan teknik interviu, observasi, dan dokumentasi terkait peningkatan jumlah perkawinan karena biaya ringan, kemudian di analisis mas{lah{ah mursalah.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa berlakunya Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 2014 tentang biaya nikah dapat meringankan beban biaya perkawinan, juga sebagai solusi menghilangkan adanya gratifikasi. Dampak setelah diberlakukannya Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 2014 sangat dirasakan oleh masyarakat, terbukti dengan peningkatan jumlah perkawinan yang dilaksanakan di KUA pada setiap tahunnya. Faktor peningkatan jumlah perkawinan di KUA Sedati ini disebabkan karena adanya pembebasan biaya perkawinan bagi yang melaksanakan di KUA. Pemerintah dalam hal ini juga memberikan fasilitas yang terbaik dan termudah untuk masyakat, agar tercipta masyarakat yang sejahtera.

Hasil analisis mas{lah{ah mursalah menunjukkan bahwa Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 2014 karena faktor biaya tergolong mas}lah}ah h}a>jiyyah, hal ini jika tidak dilakukan oleh masyarakat sekitar Sedati Kabupaten Sidoarjo, maka akan menimbulkan kesulitan terutama bagi calon pengantin yang kurang mampu. Bahkan yang ditakutkan akan mendatangkan bahaya bagi calon pengantin yang menunda perkawinannya kemudian melakukan perzinaan.

(7)

DAFTAR ISI

Halaman

SAMPUL DALAM ... ... i

PERNYATAAN KEASLIAN ... ii

PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iii

PENGESAHAN ... iv

ABSTRAK ... v

KATA PENGANTAR ... vi

PERSEMBAHAN ... vii

MOTTO ... ix

DAFTAR ISI... ... x

DAFTAR TRANSLITERASI ... xiv

BAB I : PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Identifikasi dan Batasan Masalah ... 6

C. Rumusan Masalah ... 7

D. Kajian Pustaka ... 8

E. Tujuan Penelitian ... 10

F. Kegunaan Hasil Penelitian ... 11

G. Definisi Operasional ... 12

H. Metode Penelitian ... 12

(8)

BAB II : KAJIAN TEORI TENTANG MAS{LAH{AH MURSALAH DALAM USHUL FIQH

A. Perkawinan ... 19

1. Pengertian Perkawinan ... 19

2. Rukun dan Syarat Perkawinan ... 22

3. Tujuan Perkawinan ... 24

4. Pencatatan Perkawinan ... 25

B. Peraturan Pemerintah No. 48 Tahun 2014 ... 30

1. Isi PP No. 48 tahun 2014 tentang Biaya Nikah ... 30

2. Tujuan-tujuan diberlakukannya PP No. 48 tahun 2014 tentang Biaya Nikah ... 33

C. Mas{lah{ah Mursalah ... 35

1. Pengertian dan dasar hukumnya ... 35

2. Macam-macam mas{lah{ah mursalah ... 36

BAB III : FAKTOR-FAKTOR PENINGKATAN PELAKSANAAN AKAD NIKAH DI KUA SEDATI KABUPATEN SIDOARJO A. Gambaran Umum KUA Sedati Kabupaten Sidoarjo ... 48

1. Profil Kantor Urusan Agama (KUA) Sedati ... 48

2. Struktur Kantor Urusan Agama (KUA) Sedati ... 48

3. Fasilitas Pendukung ... 49

B. Peningkatan Pelaksanaan Akad nikah di KUA Sedati Kabupaten Sidoarjo ... 53

(9)

BAB IV : ANALISIS MAS{LAH{AH MURSALAH TERHADAP FAKTOR-FAKTOR PENINGKATAN PELAKSANAAN AKAD NIKAH DI KUA SEDATI KABUPATEN SIDOARJO

A. Analisis Mas{lah{ah Mursalah Terhadap Faktor-Faktor Peningkatan Pelaksanaan Akad Nikah Di Kua Sedati Kabupaten Sidoarjo.. ... 64 B. Analisis Mas{lah{ah Mursalah Terhadap Faktor-Faktor

Peningkatan Pelaksanaan Akad Nikah Di Kua Sedati Kabupaten Sidoarjo ... 68

BAB V : PENUTUP

A. Kesimpulan ... 75 B. Saran ... 78

DAFTAR PUSTAKA ... 79

(10)

BAB I

PENDAHULUAN

A.Latar Belakang

Nikah atau kawin adalah akad yang menghalalkan persetubuhan antara wanita dan laki-laki, disertai dengan kalimat-kalimat yang ditentukan. Dan dengan pernikahan tersebut, maka dibatasilah hak dan kewajiban keduanya, sesuai dengan ajaran Islam.1 Hukum nikah (perkawinan), yaitu hukum yang

mengatur hubungan antara manusia dengan sesamanya yang menyangkut penyaluran kebutuhan biologis antar jenis, dan hak serta kewajiban yang berhubungan dengan akibat perkawinan tersebut.2 Dalam Al-Qur’an

dinyatakan bahwa hidup berpasang-pasangan, hidup berjodoh-jodoh adalah naluri segala makhluk Allah, termasuk manusia, sebagaimana sesuai dengan firman Allah SWT:

            

Dan segala sesuatu kami ciptakan berpasang-pasangan supaya kamu

mengingat akan kebesaran Allah. (QS. Al-Dzariyat (51): 49)3

Adapun menurut syarak nikah adalah akad serah terima antara laki-laki dan perempuan dengan tujuan untuk saling memuaskan satu sama lainnya dan untuk membentuk sebuah bahtera rumah tangga yang sakinah serta masyarakat yang sejahtera.4 Faedah yang terbesar dalam pernikahan ialah

1 Lm Syarifie, Membina Cinta Menuju Perkawinan, (Gresik: Putra Pelajar, 1999), 9. 2 Tihami, Sohari Sahrani, Fikih Munakahat, (Jakarta, Rajagrafindo Persada, 2013), 8.

(11)

2

untuk menjaga dan memelihara perempuan yang bersifat lemah itu dari kebinasaan sebab seorang perempuan apabila sudah menikah, maka nafkahnya wajib ditanggung oleh suaminya. Pernikahan juga berguna untuk memelihara kerukunan anak cucu, sebab kalau tidak dengan nikah, tentulah anak tidak berketentuaan siapa yang akan mengurusnya dan siapa yang bertanggung jawab atasnya.5

Dalam pasal 1 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Bab I Pasal 1

“Menegaskan bahwa perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.” Selanjutnya dalam pasal 2 ayat 1 menyatakan bahwa “Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.” Dan dalam pasal 2 ayat 2 menyatakan bahwa “tiap -tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.6

Pencatatan perkawinan bertujuan untuk mewujudkan ketertiban perkawinan dalam masyarakat. Ini merupakan suatu upaya yang diatur melalui perundang-undangan, untuk melindungi martabat dan kesucian perkawinan, dan lebih khusus lagi pada perempuan dalam kehidupan rumah tangga. Melalui pencatatan perkawinan yang dibuktikan dengan Akta Nikah, yang masing-masing suami-istri mendapat salinannya, apabila terjadi perselisihan

5 Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam, (Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2013), 374.

(12)

3

atau percekcokan di antara mereka atau salah satu tidak bertanggung jawab, maka yang lain dapat melakukan upaya hukum guna mempertahanankan atau memperoleh hak-hak masing-masing karena dengan akta tersebut, isteri memiliki bukti otentik atas perbuatan hukum yang telah mereka lakukan.7

Menurut Peraturan Menteri Agama Nomor 11 Tahun 2007 Tentang

Pencatatan nikah dalam pasal 21 ayat 1 menyebutkan bahwa “Akad nikah

dilaksanakan di KUA”. selanjutnya dalam pasal 21 ayat 2 menyebutkan bahwa

“Atas permintaan calon pengantin dan atas persetujuan PPN, akad nikah dapat

dilaksanakan di luar KUA.”8 Kantor Urusan Agama (KUA) adalah kantor

yang melaksanakan sebagian tugas kantor Kementerian Agama Indonesia di Kabupaten dan Kota madya di bidang urusan agama Islam dalam wilayah kecamatan. Kantor inilah yang memberikan pelayanan kepada umat Islam dalam urusan perkawinan dan pembinaan keluarga muslim agar menjadi keluarga sakinah. Dalam pencatatan perkawinan dilakukan oleh pegawai pencatat nikah/wakil pegawai pencatat nikah (penghulu).

PPN atau pegawai pencatat nikah adalah pejabat yang melakukan pemeriksaan persyaratan, pengawasan dan pencatatan peristiwa nikah/rujuk pendaftaran cerai talak, cerai gugat, dan melakukan bimbingan perkawinan. PPN mempunyai kedudukan jelas dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia sejak keluarnya Undang-undang Nomor 22 tahun 1946 sampai

7 Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta, Raja Grafindo, 1997), 107.

(13)

4

sekarang ini, sebagai satu-satunya pejabat yang berwenang mencatat perkawinan yang di langsungkan menurut agama Islam dalam wilayahnya.

Pada tanggal 27 Juni 2014 dilahirkan Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 2014. Peraturan ini lahir untuk menggantikan Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2004 agar terhindar dari pungutan liar atau disebut juga gratifikasi. Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2004 dijelaskan bahwa

“Setiap warga negara yang melaksanakan nikah atau rujuk di Kantor Urusan Agama Kecamatan atau di luar Kantor Urusan Agama (KUA) tidak dikenakan

biaya pencatatan nikah atau rujuk.” Dari penjelasan Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2004, sebagian para penghulu di Indonesia ketika melaksanakan akad nikah luar KUA, meminta biaya tambahan yang alasannya untuk biaya transport, dan lain-lain. Maka kemudian muncullah Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 2014 tentang biaya nikah. Di dalam Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 2014 ini berisi tentang penetapan biaya pencatat nikah di KUA pada jam dan hari kerja Rp 0,00 (nol rupiah) dan apabila dilaksanakan di luar KUA dikenakan biaya Rp 600.000,00 (enam ratus ribu rupiah). Pengecualian terhadap warga negara yang tidak mampu secara ekonomi atau korban bencana yang melaksanakan nikah atau rujuk di luar KUA kecamatan dapat dikenakan tarif Rp 0,00 (nol rupiah).

(14)

5

Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 2014 tentang biaya nikah. Sebelum melaksanakan pernikahan, pihak KUA juga selalu menjelaskan tentang Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 2014 yang berisi tentang penetapan biaya pencatat nikah di KUA pada jam hari kerja adalah Rp. 0,00 (nol rupiah) dan apabila dilaksanakan di luar KUA dikenakan biaya RP. 600.000, 00 (enam ratus ribu rupiah). Pengecualian terhadap warga negara yang tidak mampu secara ekonomi atau korban bencana yang melaksanakan nikah atau rujuk di luar KUA dapat dikenakan biaya Rp. 0,00 (nol rupiah).

Dengan ini, maka penelitian ini membahas tentang faktor-faktor peningkatan pelaksanaan akad nikah di KUA Sedati Kabupaten Sidoarjo. Jadi yang menjadi titik fokus penelitian ini adalah berapa banyak jumlah peningkatan pelaksanaan akad nikah di KUA setelah berlakunya PP Nomor 48 Tahun 2014 dan faktor apa saja yang mengakibatkan perkawinan di KUA meningkat setelah adanya PP tersebut serta apakah peraturan tersebut menimbulkan kemaslahatan bagi calon pengantin dan KUA atau tidak. Mengingat adanya manfaat melakasanakan pernikahan di dalam KUA yaitu memberikan keringanan kepada calon pengantin dalam hal biaya, yakni Rp 0,00 dalam setiap pernikahan dari pada melaksanakan di luar KUA yakni Rp 600.000,00 dalam setiap pernikahan. Maka penulis ingin meneliti, apa saja faktor yang mengakibatkan meningkatnya jumlah perkawinan selain faktor ekonomi atau biaya melaksanakan perkawinan di KUA ringan.

(15)

6

masyarakatnya. Jadi hukum Islam adalah hukum yang bersumber dan menjadi bagian dari agama Islam.9

Dari permasalahan yang dipaparkan tersebut di atas, penulis hendak menganalisa dengan menggunakan analisis hukum Islam. Apa faktor-faktor peningkatan pelaksanaan akad nikah di KUA Sedati Kabupaten Sidoarjo? apakah peraturan pemerintah nomor 48 tahun 2014 tentang biaya nikah mendatangkan kebaikan dan menolak kerusakan atau memberatkan? Apakah peraturan tersebut menimbulkan kemaslahatan atau tidak bagi calon pengantin dan pihak KUA? Apakah faktor-faktor peningkatan pelaksanaan akad nikah di KUA sesuai dengan mas{lah{ah mursalah?

Dari beberapa pemaparan yang dilakukan oleh penulis, baik terkait dengan faktor-faktor peningkatan pelaksanaan akad nikah di KUA maupun tentang hukum Islam. Penulis memilih judul “Analisis Mas{lah{ah Mursalah Terhadap Faktor-Faktor Peningkatan Pelaksanaan Akad Nikah di KUA Sedati Kabupaten Sidoarjo.” Hal ini bertujuan untuk menelaah lebih jauh tentang faktor-faktor peningkatan pelaksanaan akad nikah di KUA setelah Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 2014 tentang biaya nikah tersebut dan apakah peraturan tersebut meinmbulkan kemaslahatan atau tidak bagi calon pengantin dan pihak KUA beserta analisis mas{lah{ah mursalah.

B.Identifikasi dan Batasan Masalah

Dari paparan latar belakang masalah di atas, penulis mengidentifikasikan inti permasalahan yang terkandung di dalamnya sebagai berikut:

(16)

7

1. Jumlah pelaksanaan akad nikah di KUA Sedati Kabupaten Sidoarjo.

2. Faktor-faktor peningkatan pelaksanaan akad nikah di KUA Sedati Kabupaten Sidoarjo.

3. Dampak berlakunya PP Nomor 48 Tahun 2014 Tentang Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak terhadap KUA Sedati Kabupaten Sidoarjo.

4. Analisis mas{lah{ah mursalah terhadap faktor-faktor peningkatan pelaksanaan akad nikah di KUA Sedati Kabupaten Sidoarjo.

Dengan adanya suatu permasalahan di atas, maka untuk memberikan arah yang jelas dalam penelitian penulis membatasi pada masalah-masalah berikut ini:

1. Faktor-faktor peningkatan pelaksanaan akad nikah di KUA Sedati Kabupaten Sidoarjo

2. Analisis mas{lah{ah mursalah terhadap faktor-faktor peningkatan pelaksanaan akad nikah di KUA Sedati Kabupaten Sidoarjo.

C.Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang masalah tersebut di atas, dapat dirumuskan masalah sebagai berikut:

(17)

8

2. Bagaimana analisis mas{lah{ah mursalah terhadap faktor-faktor peningkatan pelaksanaan akad nikah di KUA Sedati Kabupaten Sidoarjo?

D.Kajian Pustaka

Kajian tentang Tingkat perkawinan di KUA Sedati Kabupaten Sidoarjo diberlakukannya PP Nomor 48 Tahun 2014 tentang biaya nikah belum pernah dibahas oleh peneliti lain, akan tetapi peneliti menemukan beberapa penelitian terhadap Efektifitas penerapan PP Nomor 48 Tahun 2014 tentang biaya di KUA diantaranya sebagai berikut:

(18)

9

peraturan tersebut, sedangkan penghulu tidak menerima ataupun meminta uang dari masyarakat.10

2. Skripsi selanjutnya yakni di tulis oleh Endah Iwandari di UIN Walisongo Semarang yang berjudul Efektifitas Berlakunya PP Nomor 48 Tahun 2014 Tentang Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak Yang Berlaku Pada Kementerian Agama (Studi di KUA Kecamatan Toroh Kabupaten Grobongan) yang terbit tahun 2015. Skripsi hasil penelitian bahwa ketika penghulu menikahkan diluar KUA, masyarakat memang sudah tidak memberikan amplop, namun masyarakat masih memberikan rokok kepada penghulu 1-2 bungkus. Meskipun pemberian rokok tersebut sebagai rasa terima kasih masyarakat kepada penghulu, namun pemberian itu tidak diperbolehkan, karena dengan diberlakukannya PP Nomor 48 Tahun 2014 pemberian masyarakat seperti rokok tersebut adalah gratifikasi. Namun dalam pembayaran pencatatan pernikahan KUA Kecamatan Toroh sudah berjalan secara efektif. Ketika masyarakat melaksanakan pernikahan di dalam KUA tidak dikenakan tarif dan ketika melaksanakan pernikahan di luar KUA atau di luar jam kerja dikenakan tarif Rp. 600.000,00 yang dibayarkan di Bank Persepsi BRI cabang Toroh.11

Dari sini, penulis lebih membahas tentang analisis mas{lah{ah mursalah terhadap faktor-faktor peningkatan pelaksanaan akad nikah di KUA Sedati

10Siti Choiroh “Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 2014 Tentang Tarif Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak Yang Berlaku Pada Kementerian Agama studi di KUA Deket Kabupaten Lamongan,(Skripsi--UIN Maulana Malik Ibrahim, Malang, 2015), 1.

(19)

10

Kabupaten Sidoarjo. Apakah faktor-faktor meningkatnya pelaksanaan akad nikah di KUA, karena mengingat adanya manfaat melaksanakan perkawinan di KUA yaitu memberikan keringanan biaya jika perkawinannya dilaksanakan di KUA dan untuk menghindari tuduhan adanya gratifikasi ketika menikah di luar KUA.

Adapun persamaan dari peneliti dengan kajian pustaka yang telah disebutkan diatas yaitu efektivitas penerapan Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 2014 tentang biaya nikah. Akan tetapi perspektif penulis berbeda, penulis lebih fokus kepada faktor-faktor meningkatnya pelaksanaan akad nikah di KUA karena melihat kenyataannya, setelah adanya Peraturan tersebut pelaksanaan akad nikah di KUA meningkat dan tidak semua orang yang perkawinannya dilaksanakan di KUA hanya karena faktor ekonomi atau biaya ringan saja. Melainkan masih banyak faktor-faktor lain yang mengakibatkan pelaksanaan akad nikah di KUA meningkat. Jadi penulis lebih tertarik membahas tentang faktor-faktor peningkatan pelaksanaan akad nikah di KUA serta menganalisa dengan mas{lah{ah mursalah.

E. Tujuan Penelitian

Sejalan dengan rumusan masalah yang diuraikan di atas, tujuan penelitian adalah sebagai berikut:

(20)

11

2. Mengetahui analisis mas{lah{ah mursalah terhadap faktor-faktor peningkatan pelaksanaan akad nikah di KUA Sedati Kabupaten Sidoarjo.

F. Kegunaan Hasil Penelitian

Kegunaan peneliti ini dapat ditempuh melalui dua aspek yaitu: 1. Aspek Keilmuan (Teoritis)

Dari hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan dan memperkaya khasanah keilmuan hukum keluarga, sehingga dapat memberikan kontribusi akademis, yaitu peningkatan dan pengembangan di bidang studi hukum keluarga dan selanjutnya menyangkut Peraturan Pemerintah, untuk lebih memahami dan menambah wawasan mengenai Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 2014 tentang biaya nikah.

2. Aspek Terapan/ Praktis

(21)

12

G.Definisi Operasional

Sesuai dengan judul skripsi ini, yaitu analisis hukum Islam terhadap faktor-faktor peningkatan pelaksanaan akad nikah di KUA Sedati Kabupaten Sidoarjo, ada beberapa kata yang perlu penulis jelaskan secara operasional terhadap kata-kata tersebut.

Mas{lah{ah mursalah :Hujah syariat yang dijadikan dasar pembentukan hukum, dan bahwasannya kejadian yang tidak ada hukumnya dalam nas dan ijmak atau kias atau istihsan itu disyariatkan padanya hukum yang dikehendaki oleh maslahat umum, dan tidaklah berhenti pembentukan hukum atas dasar maslahah ini karena adanya saksi yang sesuai syariat Islam yang mengakuinya.

Perkawinan : Perkawinan adalah suatu akad suci dan luhur antara laki-laki dengan perempuan yang menjadi sebab sahnya status sebagai suami istri dan di halalkannya hubungan seksual.

H.Metode Penelitian

(22)

13

dan sistematis. Dalam metode penelitian ini yang digunakan adalah sebagai berikut:

1. Data yang dikumpulkan

Jenis penelitian ini adalah penelitian bersifat lapangan, oleh karena data yang peneliti peroleh adalah berupa data-data yang ada di lapangan yakni faktor-faktor peningkatan pelaksanaan akad nikah di KUA Sedati Kabupaten Sidoarjo, yang mana kita bisa mengetahui apakah peraturan tersebut menimbulkan kemaslahatan atau tidak bagi calon pengantin dan pihak KUA.

2. Sumber Data

Berdasarkan tempat dan sumber data yang digunakan, jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian lapangan, adapun sumber-sumber yang diperlukan sebagai berikut:

a. Sumber primer yaitu data-data yang diperoleh dari data KUA, wawancara dengan Kepala KUA Sedati, dan pasangan yang menikah terhadap alasan meningkatnya perkawinan di KUA Sedati Kabupaten Sidoarjo .

b. Sumber sekunder yaitu sumber data yang berupa buku-buku yang menjadi dasar acuan, mas{lah{ah mursalah dan bacaan lain yang memiliki keterkaitan dengan bahan skripsi. Antara lain:

1) Slamet Abidin dan Aminuddin, Fiqh Munakahat .

(23)

14

3) Lm Syarifie, Membina Cinta Menuju Perkawinan. 4) Tihami, Sohari Sahrani, Fikih Munakahat.

5) Kompilasi Hukum Islam

6) Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia.

7) Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam.

8) Undang-undang Perkawinan Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam.

9) Ahmad Rofiq, Hukum Islam Di Indonesia.

10) Peraturan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2007 Tentang Pencatatan Nikah Dengan Rahmat Tuhan Yang Maha Esa Menteri Agama Republik Indonesia,

3. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data merupakan langkah yang paling strategis dalam penelitian, karena tujuan dari penelitian adalah mendapatkan data. Tanpa mengetahui teknik pengumpulan data, maka peneliti tidak akan mendapatkan data yang memenuhi standar data yang diterapkan.12

a. Wawancara

Dalam penelitian ini peneliti menggunakan teknik pengumpulan data yakni wawancara terhadap kepala KUA Sedati, dan pasangan calon pengantin yang menikah di KUA. Wawancara adalah suatu kegiatan komunikasi verbal dengan tujuan mendapatkan informasi. Di samping akan mendapatkan gambaran yang menyeluruh, juga akan mendapatkan informasi yang penting. Menurut Denzin, wawancara adalah pertukaran

(24)

15

percakapan dengan tatap muka di mana seseorang memperoleh informasi dari yang lain.13

Wawancara dilakukan karena ada anggapan bahwa hanya respondenlah yang paling tahu tentang dirinya, sehingga informasi yang tidak dapat diamatinya atau tidak dapat diperoleh dengan alat lain, akan diperoleh dengan wawancara. Seperti di amati oleh peneliti tentang apa faktor-faktor peningkatan pelaksanaan akad nikah di KUA Sedati Kabupaten Sidoarjo.

Dalam penelitian ini, wawancara dilakukan dengan masyarakat, pegawai KUA Kecamatan Sedati Kabupaten Sidoarjo. Wawancara ini dilakukan untuk mendapatkan data primer sebagai sebagai data pokok, yaitu data tentang faktor-faktor peningkatan pelaksanaan akad nikah di KUA.

b. Metode Dokumen

Metode dokumenter adalah salah satu metode pengumpulan data yang digunakan metodologi penelitian sosial. Pada intinya metode dokumenter adalah metode yang digunakan untuk menelusuri data historis.14 Metode ini digunakan untuk penulis dalam mencari data-data

berupa foto, surat-surat dan sebagainya untuk memberikan gambaran terhadap faktor-faktor peningkatan pelaksanaan akad nikah di KUA Sedati Kabupaten Sidoarjo.

13 James A Black, Dean J. Champiom, Metode Dan Masalah Penelitian Sosial, (Bandung: PT Eresco, 1992), 306

(25)

16

4. Teknik Pengolahan Data

Data yang telah terkumpul di atas di olah dengan teknik editing, pengorganisasian dan tabulasi, yaitu:

a. Teknik Editing

Yaitu kegiatan yang dilaksanakan setelah peneliti selesai menghimpun data lapangan.15 Kegiatan ini menjadi penting karena kenyataannya

bahwa data yang terhimpun kadangkala belum memenuhi harapan peneliti, untuk itu penulis memerlukan pemeriksaan kembali semua data yang diperoleh, kejelasan makna, kesesuaian makna satu dengan yang lainnya.

b. Teknik Pengorganisasian

Yaitu mengatur dan menyusun data sedemikian rupa sehingga dapat memperoleh gambaran yang sesuai dengan rumusan masalah.16

5. Teknik Analisis Data

Data yang berhasil di himpun dari data primer akan dianalisis secara kualitatif yakni berupa bentuk kalimat, uraian-uraian, bahkan dapat berupa cerita pendek.17 Dengan tataran analisis deskriptif yang bertujuan untuk

menggambarkan, meringkaskan berbagai kondisi, berbagai situasi atau variabel yang timbul di masyarakat yang menjadi objek penelitian.18

Metode ini digunakan untuk menggambarkan atau mendeskripsikan secara jelas tentang Faktor-faktor Peningkatan pelaksanaan akad nikah di KUA

15 James A Black, Dean J. Champiom, Metode Dan Masalah Penelitian Sosial ..., 182. 16 Ibid., 192.

(26)

17

Sedati Kabupaten Sidoarjo. Selanjutnya dianalisis dengan menggunakan pola pikir deduktif yaitu diawali dengan menggunakan teori atau dalil yang bersifat umum tentang Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 2014 dan mas{lah{ah mursalah, kemudian teori tersebut digunakan sebagai alat untuk menganalisis faktor-faktor peningkatan pelaksanaan akad nikah di KUA Sedati kabupaten Sidoarjo, serta melihat analisis mas{lah{ah mursalah terhadap faktor-faktor peningkatan pelaksanan akad nikah di KUA Sedati Kabupaten Sidoarjo.

I. Sistematika Pembahasan

Sistematika pembahasan dipaparkan dengan tujuan untuk memudahkan pembahasan masalah-masalah dalam penelitian ini. Dan agar dapat di pahami permasalahannya lebih sistematis dan kronologis, maka pembahasan ini akan disusun penulis sebagai berikut:

Bab Pertama, bab ini memuat pendahuluan yang meliputi latar belakang, rumusan masalah, identifikasi dan batasan masalah, rumusan masalah, kajian pustaka, tujuan penelitian, kegunaan hasil penelitian, definisi operasional, metode penelitian, dan sistematika pembahasan.

(27)

18

Bab Ketiga, data tentang penelitian terhadap faktor-faktor peningkatan pelaksanaan akad nikah di KUA Sedati Kabupaten Sidoarjo.

Bab Keempat, menjelaskan tentang analisis hukum Islam terhadap faktor-faktor peningkatan pelaksanaan akad nikah di KUA Sedati Kabupaten Sidoarjo.

(28)

BAB II

KAJIAN TEORI TENTANG MAS{LAH{AH MURSALAH DALAM

USHUL FIQH

A. Perkawinan

1. Pengertian Perkawinan

Nikah secara bahasa berarti

عمجا

(menghimpun),

مضلا

(mengumpulkan), dikatakan

راجشاا تحكانت

(pohon-pohon itu saling

berhimpun antara satu dengan yang lain) jika suatu bagian bagian pohon itu saling berhimpun antara satu dengan yang lainnya.1 perkawinan salah

satu sunnatullah yang umum berlaku pada semua makhluk Tuhan, baik pada manusia, hewan maupun tumbuh-tumbuhan.2

Menurut “ahli ushul”, arti nikah terdapat 3 macam pendapat,

yakni:3

a. Menurut ahli ushul golongan Hanafi, arti aslinya adalah setubuh dan menurutr arti majazi (metaphoric) adalah akad yang dengannya menjadi halal hubungan kelamin antara pria dan wanita.

1 Syaikh Muhammad Saryani al-Khotibi, Iqna’ juz II,(Semarang: Maktabah wa Matba’ah Toha Putra), 115.

2 Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah 6, (Bandung: Alma’arif, 1990), 9.

(29)

20

b. Menurut ahli ushul golongan Syafi’i, nikah menurut arti aslinya

adalah akad yang dengannya menjadi halal hubungan kelamin antara pria dan wanita, sedangkan menurut arti majazi adalah setubuh. c. Menurut Abul Qasim Azzajjad, Imam Yahya, Ibnu Hazm, dan

sebagian ahli Ushul dari sahabat Abu Hanifah mengartikan nikah, bersyarikat artinya antara akad dan setubuh.

Menurut sebagian ulama Hanifah, nikah adalah akad yang memberikan faedah (mengakibatkan) kepemilikan untuk bersenang-senang secara sadar (sengaja) bagi seorang pria dengan seorang wanita, terutama guna mendapatkan kenikmatan biologis. Sedangkan menurut sebgaian mazhab Maliki, nikah adalah sebuah ungkapan (sebutan) atau titel bagi suatu akad yang dilaksanakan dan dimaksudkan untuk meraih kenikmatan (seksual) semata-mata. Mazhab Syafi’iah, nikah dirumuskan

dengan akad yang menjamin kepemilikan (untuk) bersetubuh dengan

menggunakan redaksi (lafal) “inkah atau tazwij” atau turunan (makna) dari keduanya. Sedangkan ulama Hanabilah mendefinisikan nikah dengan akad yang dilakukan dengan menggunakan kata inkah atau tazwij guna mendapatkan kesenangan (bersenang-senang).4

(30)

21

Anwar Haryono menyatakan bahwa perkara pernikahan adalah suatu perjanjian suci antara seorang laki-laki dan seorang perempuan untuk membentuk keluarga bahagia.5

Adapun perkawinan menurut Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan menjelaskan bahwa perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.6 Di samping definisi yang diberikan oleh UU No. 1

Tahun 1974 tersebut di atas, KHI pasal 2 memberikan definisi lain yang tidak mengurangi art-arti definisi Undang-Undang tersebut namun bersifat menambah penjelasan yaitu perkawinan menurut Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau mitsaqan ghalizhan untuk menaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah.7

Pada prinsipnya, perkawinan atau nikah adalah akad untuk menghalalkan hubungan serta membatasi hak dan kewajiban, tolong-menolong antara laki-laki dan perempuan di mana antara keduanya bukan muhrim.8

Dari pengertian-pengertian tersebut tidak terdapat pertentangan satu sama lain, karena intinya secara sederhana dapat di tarik kesimpulan hakikat pernikahan adalah perjanjian anntara calon suami istri untuk

5 Hasan Saleh, Fiqih Nabawi & Fiqih Kontemporer, (Jakarta: Raja Grafindo Pustaka, 2008), 298. 6 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan, (Citra Media Wacana), 8.

7 Kompilasi Hukum Islam

(31)

22

membolehkan bergaul sebagai suami-istri, guna membentuk suatu keluarga.9

2. Rukun dan Syarat Perkawinan

Rukun adalah unsur yang melekat pada peristiwa hukum atau perbuatan hukum (misal akad perkawinan), baik dari segi para subjek hukum maupun objek hukum yang merupakan bagian dari perbuatan hukum atau peristiwa hukum (akad nikah) ketika peristiwa hukum tersebut berlangsung. Rukun menentukan sah atau tidak sahnya suatu perbuatan atau peristiwa hukum. Jika salah satu rukun dalam peristiwa atau perbuatan hukum itu tidak terpenuhi berakibat perbuatan hukum

atau peristiwa hukum tersebut adalah tidak sah dan statusnya “batal demi

hukum”.10

Syarat adalah hal-hal yang melekat pada masing-masing unsur yang menjadi bagian dari suatu perbuatan hukum atau peristiwa hukum. Akibat tidak terpenuhinya syarat adalah tidak dengan sendirinya membatalkan perbuatan hukum atau peristiwa hukum, namun perbuatan

atau peristiwa hukum tersebut “dapat dibatalkan”.11

Perspektif fikih munakahat, pernikahan merupakan bagian integral

dari syaria’at Islam. Pernikahan diatur melalui aturan-aturan hukum

9 Abd. Shomad, Hukum Islam Penormaan Prinsip Syarih dalam Hukum Islam, cet kedua..., 261. 10 Neng Djubaidah, Pencatatan Perkawinan & Perkawinan Tidak di Catat, (Jakarta, Sinar Grafika, 2010), 90.

(32)

23

Islam. Pernikahan memerlukan syarat dan rukun agar dapat dipandang sah menurut hukum Islam. Yang dimaksud dengan syarat di sini ialah syarat perkawinan yaitu yang berkaitan dengan rukun-rukun pernikahan itu sendiri.12

Dalam UU No. 1 Tahun 1974 meliputi syarat-syarat formil dan materil. Syarat materil yaitu syarat-syarat yang mengenai diri pribadi calon mempelai yang terdapat dalam KHI Pasal 15 sampai 18.13 Adapun

tentang syarat-syarat perkawinan yang lain diatur di dalam Bab II UU No. 1 Tahun 1974, terutama pasal 6 dan pasal 7.14 Sedangkan syarat

formil menyangkut formalitas atau tata cara yang harus dipenuhi sebelum dan pada saat dilangsungkan perkawinan.

Rukun dan syarat perkawinan dalam Hukum Islam merupakan hal yang penting demi terwujudnya suatu ikatan perkawinan antara seorang lelaki dengan seorang perempuan. Rukun perkawinan merupakan faktor penentu bagi sahn atau tidaknya suatu perkawinan. Rukun perkawinan, untuk melaksanakan perkawinan harus ada beberapa komponen, yakni:15

a. Calon mempelai laki-laki,: 1) Calon mempelai wanita, 2) Wali nikah,

b. Dua orang saksi,

12 H. S. A. Alhamdi, Risalah Nikah, Terj. Agus Salim, (Jakarta: Pustaka Amani, 1989), 30-31. 13 Kompilasi Hukum Islam..., 5.

(33)

24

c. Ijab kabul. 3. Tujuan Perkawinan

Pada dasarnya tujuan perkawinan dalam Islam itu tidak hanya untuk memenuhi kebutuhan hidup jasmani dan rohani saja, akan tetapi untuk membentuk keluarga dan memelihara serta meneruskan keturunan dalam menjadikan hidupnya di dunia ini, juga mencegah perzinaan, agar tercipta ketenangan dan ketentraman jiwa bagi yang bersangkutan, ketentraman keluarga dan masyarakat.

Adapun tujuan dalam Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 Pasal 1, yang menyatakan bahwa “Perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dan dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia

dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.”16 Di dalam Kompilasi

Hukum Islam (KHI) dalam Pasal 3 menyatakan bahwa “Perkawinan

bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah dan rahmah.17

Secara rinci tujuan perkawinan yaitu:18

a. Menghalalkan hubungan kelamin untuk memenuhi hajat tabiat kemanusiaan.

16 Undang-Undang Perkawinan Indonesia, Wipress 2007, 1-2. 17 Kompilasi Hukum Islam, (Bandung: Nuansa Aulia, 2013), 2.

(34)

25

b. Membentuk rumah tangga (keluarga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

c. Memperoleh keturunan yang sah.

d. Menumbuhkan kesungguhan berusaha mencari rezeki penghidupan yang halal, memperbesar rasa tanggung jawab.

e. Membentuk rumah tangga yang sakinah, mawaddah dan rahmah (keluarga yang tenteram, penuh cinta kasih, dan kasih sayang).

f. Ikatan perkawinan sebagai mitsaqan ghalizan sekaligus mentaati perintah Allah SAW bertujuan untuk membentuk dan membina tercapainya ikatan lahir batin antara seorang pri dan wanita sebagai suami istri.

4. Pencatatan perkawinan

Ada beberapa analisis yang dapat di kemukakan mengapa pencatatan perkawinan tidak diberi perhatian yang serius oleh fikih walaupun ada ayat al-Qur’an yang menganjurkan untuk mencatat segala

bentuk transaksi muamalah, yaitu pertama, larangan untuk menulis sesuatu selain al-Qur’an. Kedua, mereka sangat mengandalkan hafalan

(ingatan). Ketiga, tradisi walimat al-‘urusy. Keempat, ada kesan

perkawinan yang berlangsung pada masa-masa awal Islam belum terjadi antar wilayah yang berbeda. Sehingga alat bukti kawin selain saksi belum dibutuhkan. 19

(35)

26

Sejalan perkembangan zaman dengan dinamika yang terus berubah maka banyak sekali perubahan-perubahan yang terjadi. Masyarakat menuntut dijadikannya akta, surat sebagai bukti autentik. Saksi hidup tidak lagi bisa diandalkan tidak saja karena bisa hilang dengan sebab Kematian, manusia dapat juga mengalami kelupaan. Atas dasar ini diperlukan sebuah bukti yang abadi itulah yang disebut dengan akta.20

Pencatatan perkawinan bertujuan untuk mewujudkan ketertiban perkawinan dalam masyarakat. Ini merupakan suatu upaya yang diatur melalui perundang-undangan, untuk melindungi martabat dan kesucian (mithaqan ghalizan) perkawinan, dan lebih khusus lagi perempuan dalam kehidupan rumah tangga. Melalui pencatatan perkawinan yang dibuktikan dengan akta nikah, yang masing-masing suami istri mendapat salinannya, apabila terjadi perselisihan atau percekcokan di antara mereka, atau salah satu tidak bertanggung jawab, maka yang lain dapat melakukan upaya hukum guna mempertahankan atau memperoleh hak-hak masing-masing, karena dengan akta tersebut, suami istri memiliki bukti otentik atas perbuatan hukum yang telah mereka lakukan.21

Ini merupakan suatu upaya yang diatur melalui perundang-undangan untuk melindungi martabat dan kesucian perkawinan dan khususnya bagi perempuan dalam kehidupan rumah tangga. Melalui pencatatan perkawinan yang dibuktikan oleh akta, apabila terjadi

20 Ibid, 121

(36)

27

perselisihan di antara suami istri maka salah satu di antaranya dapat melakukan upaya hukum guna mempertahankan atau memperoleh hak masing-masing, karena dengan akta tersebut, suami istri memiliki bukti autentik atas perbuatan hukum yang telah mereka lakukan.22

Dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 pasal 2 ayat 2

dinyatakan bahwa: “Tiap-tiap perkawinan di catat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.” Ini adalah satu-satunya ayat yang mengatur tentang pencatatan perkawinan. Di dalam penjelasannya tidak ada uraian yang lebih rinci kecuali yang dimuat di dalam PP No. 9 Tahun 1975. Dengan demikian, pencatatan perkawinan ini walaupun di dalm UUP hanya diatur oleh satu ayat, namun sebenarnya masalah pencatatan ini sangat dominan. Tidaklah berlebihan jika ada sementara pakar hukum yang menempatkannya sebagai syarat administratif yang juga menentukan sah atau tidaknya sebuah perkawinan.23

Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan mengatur tentang tata cara dan tata laksana melaksanakan perkawinan dan pencatatan perkawinan. Beberapa pasal yang dianggap penting untuk di kemukakan yaitu Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 ayat (1) yang menentukan pencatatan perkawinan bagi orang Islam

22 Ibid, 107

(37)

28

dilakukan oleh Pegawai Pencatat Nikah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun.24

Di dalam Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang pelaksanaan undang-undang perkawinan pasal 3 dinyatakan:25

(1) Setiap orang yang akan melangsungkan perkawinan memberitahukan kehendaknya kepada Pegawai Pencatat di tempat perkawinannya akan di langsungkan.

(2) Pemberitahuan tersebut dalam ayat (1) dilakukan sekurang-kurangnya 10 hari kerja sebelum perkawinan dilangsungkan.

(3) Pengecualian terhadap jangka waktu tersebut dalam ayat 2 disebabkan sesuatu alasan yang penting, diberikan oleh Camat (atas nama) Bupati Kepala Daerah.

Sahnya perkawinan bagi orang Islam di Indonesia, menurut pasal 2

RUU Perkawinan tahun 1973 ditentukan berdasarkan “pencatatan

perkawinan” sebagai unsur penentu. Hukum agama (Islam) dapat diberlakukan sepanjang tidak bertentangan dengan undang-undang ini yang berfungsi sebagai pelengkap, bukan penentu.26 RUU Perkawinan

Tahun 1973 merumuskan sahnya perkawinan dalam Pasal 2 ayat (1),

sebagai berikut”

“Perkawinan adalah sah apabila dilakukan di hadapan pegawai

pencatat perkawinan, dicatatkan dalam daftar pencatat perkawinan oleh

24 Neng Djubaidah, Pencatatan Perkawinan & Perkawinan Tidak di Catat, 217 25 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975.

(38)

29

pegawai tersebut, dan dilangsungkan menurut ketentuan hukum perkawinan pihak-pihak yang melakukan perkawinan, sepanjang tidak bertentangan dengan undang-undang ini.”

Adapun dalam Pasal 5 KHI dinyatakan bahwa:27

(1) Agar terjamin ketertiban perkawinan bagi masyarakat Islam setiap perkawinan harus di catat.

(2) Pencatatan perkawinan tersebut pada ayat (1), dilakukan oleh Pegawai Pencatat Nikah sebagaimana yang di atur dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1946 jo Undang-Undang-undang Nomor 32 Tahun 1954. Selanjutnya pada Pasal 6 dijelaskan bahwa:

(1) Untuk memenuhi ketentuan dalam pasal 5, setiap perkawinan harus dilangsungkan di hadapan dan di bawah Pengawasan Pegawai Pencatat Nikah.

(2) Perkawinan yang dilakukan di luar pengawasan Pegawai Pencatat Nikah tidak mempunyai kekuatan hukum.

Yang dimaksud dengan Pegawai Pencatat Nikah (PPN) adalah Pegawai Pencatat Nikah dan perceraian pada KUA Kecamatan bagi umat Islam dan Catatan Sipil bagi non muslim.28 PPN mempunyai kedudukan

jelas dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia sejak keluarnya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1946 sampai sekarang ini, sebagai

27 Kompilasi Hukum Islam, (Bandung: Nuansa Aulia, 2011), 2-3.

(39)

30

satu-satunya pejabat yang berwenang mencatat perkawinan yang dilangsungkan menurut agama Islam dalam wilayahnya.

Di dalam Pasal 1 Undang-Undang Tentang Pencatatan Nikah Talak dan rujuk, menyatakan bahwa:29

(1) Nikah yang dilakukan agama Islam, selanjutnya disebut nikah, diawasi oleh pegawai pencatat nikah yang diangkat oleh Menteri Agama atau pegawai yang ditunjuk olehnya. Talak dan rujuk yang dilakukan menurut agama Islam, selanjutnya disebut talak dan rujuk, diberitahukan kepada pegawai pencatat nikah.

(2) Yang berhak melakukan pengawasan atas nikah dan menerima pemberitahuan tentang talak dan rujuk, hanya pegawai yang diangkat oleh Menteri Agama atau pegawai yang ditunjuk olehnya.

(3) Bila pegawai itu tidak ada atau berhalangan, maka pekerjaan itu dilakukan oleh orang yang di tunjuk sebagai wakilnya oleh kepala jabatan Agama Daerah.

B. Peraturan Pemerintah No. 48 Tahun 2014

1. Isi PP No.48 Tahun 2014

Pada tanggal 27 Juni 2014 Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menandatangani Peraturan Pemerintah No.48 Tahun 2014. Peraturan

(40)

31

pemerintah No.48 Tahun 2014 ini merupakan perubahan atas peraturan pemerintah No. 47 Tahun 2004 tentang tarif atas jenis penerimaan negara bukan pajak yang berlaku pada departemen agama. Isinya adalah sebagai berikut:30

Pasal 1

Beberapa ketentuan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2004 tentang Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berlaku pada Departemen Agama (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4455) diubah sebagai berikut:

Ketentuan Pasal 6 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 6

a. Setiap warga negara yang melakukan nikah atau rujuk di Kantor Urusan Agama Kecamatan atau di luar Kantor Urusan Agama Kecamatan tidak dikenakan biaya pencatatan nikah atau rujuk.

b. Dalam hal nikah atau rujuk dilaksanakan di luar Kantor Urusan Agama kecamatan dikenakan biaya transportasi dan jasa profesi sebagai penerimaan dari Kantor Urusan Agama Kecamatan.

c. Terhadap warga negara yang tidak mampu secara ekonomi dan/ atau korban bencana yang melaksanakan nikah atau rujuk di luar Kantor

(41)

32

Urusan Agama Kecamatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat dikenakan tarif Rp.0,00 (nol rupiah).

Ketentuan lebih lanjut mengenai syarat dan tata cara untuk dapat dikenakan tarif Rp.0,00 (nol rupiah) kepada warga negara yang tidak mampu secara ekonomi dan/ atau korban bencana yang melaksanakan nikah atau rujuk di luar Kantor Urusan Agama Kecamatan sebagaimana pada ayat (3) diatur dengan Peraturan Menteri Agama setelah berkoordinasi dengan Menteri Keuangan.

Ketentuan dalam Lampiran angka II mengenai Penerimaan dari Kantor Urusan Agama Kecamatan diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak

Satuan Tarif (Rp) II. penerimaan Dari Kantor

Urusan Agama Kecamatan

Per peristiwa nikah atau rujuk

600.000,00

Pasal 11

Peraturan pemerintah ini mulai berlaku setelah 7 (tujuh) hari terhitung sejak tanggal diundangkan.

(42)

33

Untuk meningkatkan pelayanan pencatatan nikah atau rujuk serta untuk melakukan penyesuaian jenis dan tarif atas jenis penerimaan negara bukan pajak sebagaimana di atur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2004 tentang tarif jenis penerimaan negara bukan pajak yang berlaku pada Kementerian Agama, perlu dilakukan penyesuaian jenis dan tarif atas jenis penerimaan negara bukan pajak yang berlaku pada Kementerian Agama.

Hal ini sejalan dengan upaya mengoptimalkan Penerimaan Negara Bukan Pajak guna menunjang pembangunan nasional, sebagai salah sumber penerimaan negara yang perlu dikelola dan dimanfaatkan untuk peningkatan pelayanan kepada masyarakat.

Sehubungan dengan hal tersebut dan untuk memenuhi ketentuan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1997 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak, perlu menetapkan jenis dan tarif atas jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang berlaku pada Kementerian Agama dengan Peraturan Pemerintah ini.

b. Tujuan Berlakunya PP Nomor 48 Tahun 2014

(43)

34

dilakukan di luar KUA dan di luar jam kerja, maka ada ketentuan

yang menyangkut biaya. “Kalau karena satu dan lain hal harus

menggunakan tempat lain di luar KUA apalagi di luar kerja maka ada biaya-biaya yang harus menjadi beban masyarakat itu sendiri dan itu

sudah ditentukan di PP itu besarnya,” terang Menag.31

Selain itu, PP ini juga mengatur bahwa penerimaan Negara bukan pajak dari Kantor Urusan Agama atas pencatatan pernikahan dan rujuk yang dilakukan di luar KUA sebesar Rp.600.000,00-, salah satu pertimbangan penyesuain jenis dan tarif atas jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang berlaku sebagaimana di atur dalam PP ini adalah untuk meningkatkan pelayanan pencatatan nikah atau rujuk.

Tujuan dari PP Nomor 48 Tahun 2014 adalah ingin menjadikan KUA yang berintegritas dan terbebas dari gratifikasi. Itulah ungkapan dari Irjen Kemenag M. Jasin ketika PP Nomor 48 Tahun 2014 di tanda tangani oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Maka Khoirul Anwar, SHI selaku penghulu KUA Saketi Pandeglang Banten menyimpulkan bahwa dengan hal tersebut, untuk merubah KUA ke arah yang lebih baik, rupanya harus di mulai dari lingkungan kita sendiri, jalankan segala aturan yang ada secara maksimal dan konsisten. Jadikan KUA adalah tempat pelayanan masyarakat dalam hal keagamaan, di antaranya adalah pernikahan.

(44)

35

Bagaimana bisa merubah KUA ke arah yang lebih baik, jika di dalam pelayanan kita masih mengharapkan keuntungan dari masyarakat dalam bentuk gratifikasi. Apalagi, remunerasi / tunjangan kinerja akan diberikan kepada seluruh pegawai di kementerian Agama. Jadi tidak ada alasan untuk tidak melayani masyarakat dengan pelayanan yang prima dengan tetap mengemban motto kemenag “ikhlas beramal”.32

C. Masl{ah{ah Mursalah

1. Pengertian Masl{ah{ah Mursalah

Mas{lah{ah )

ةَحَلْصَم

(

berasal dari kata s{alah{a (

َحَلَص

)

dengan

penambahan alif di awalnya yang secara arti kata berarti baik lawan dari buruk dan rusak. Mas{lah{ah adalah mas{dar dengan arti kata s{alahu

(

حَلَص

)

yaitu manfaat atau terlepas dari padanya kerusakan. Pengertian

mas{lah{ah dalam bahasa arab adalah perbuatan-perbuatan yang mendorong keada kebaikan manusia.33

Menurut Abdul Wahhab Khallaf pengertian mas{lah{ah mursalah (kesejahteraan umum) yaitu sesuatu yang di anggap maslahat dimana shari’ tidak mensyariatkan hukum untuk

32 http://bimasislam.kemenag.go.id/post/opini/pp-48-2014-dan-pma-24-2014-menuju-kua-berintegritas.

(45)

36

mewujudkan maslahat itu, juga tidak terdapat dalil yang menunjukkan atas pengakuannya atau pembatalannya.34

Jumhur ulama’ berpendapat, setiap hukum yang di tetapkan

oleh nas atau ijma’ di dasarkan atas hikmah dalam bentuk meraih manfaat atau kemaslahatan dan menghindarkan mafsadah.35

Berdasarkan pengertian tersebut, pembentukan hukum berdasarkan kemaslahatan ini semata-mata dimaksudkan untuk mencari kemaslahatan manusia. Maksudnya didalam rangka mencari yang menguntungkan dan menghindari kemadharatan manusia yang bersifat sangat luas. Mashlahah itu merupakan sesuatu yang berkembang berdasarkan perkembangan yang selalu ada disetiap lingkungan.36

Sumber asal metode mas{lah{ah mursalah di ambil dari nas Alquran, yaitu:

ديري

ٱ

َّ

مكب

ٱ

ل

سي

ر

ل و

ديري

مكب

ٱ

ل

سع

ر

كتل و

اول

ٱ

ل

َدع

اورِ كتل و

ٱ

َّ

ى ل ع

ا م

ى د ه

مك

مكَل ع ل و

ش ت

ورك

Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. (QS. Albaqarah 185).37

2. Macam-macam Mas{lah{ah

Dilihat dari pembagian mas{lah{ah ini, di bedakan menjadi dua macam yaitu, dilihat dari segi tingkatannya dan eksistensinya.

34 Abdul Wahhab Khallaf, Kaidah-kaidah Hukum Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996), 126

35 Abd Rahman Dahlan, Us}u>l Fiqh (Jakarta: Amzah, 2010), 206.

36 Miftahul Arifin dan Faisal Haq, Ushul Fiqh, Kaidah-kaidah Penetapan Hukum Islam, (Surabaya: Citra Media, 1997), 142.

(46)

37

a. Mas{lah{ah dari segi tingkatannya

1) Al-Mas}lah}ah al-d}aru>riyyah (

ةَيِرْو رَضلا

ةَحَلْصَمْلَا

)

Al-Mas}lah}ah al-d}aru>riyyah adalah kemaslahatan yang menjadi dasar tegaknya kehidupan asasi manusia baik yang berkatan dengan agama maupun dunia. Jika ia luput dari kehidupan manusia maka mengakibatkan rusaknya tatanan kehidupan manusia tersebut. Al-Mas}lah}ah al-d}aru>riyyah ini meliputi: (1) memelihara agama (muh}afaz}at al-di>n); (2) memelihara jiwa (muh}afaz}at al-nafs); (3) memelihara keturunan (muh}afaz}at nasl); (4) memelihara harta benda (muh}afaz}at al-ma>l); (5) memelihara akal (muh}afaz}at al-‘aql).38

2) Al-Mas}lah}ah al-h}a>jiyyah (

ةَي ِج

اَْْا

ةَحَلْصَمْلا

)

Persoalan-persoalan yang dibutuhkan oleh manusia untuk menghilangkan kesulitan dan kesusahan yang dihadapi. Apabila tidak ada, maka tidak sampai menyebabkan rusaknya tatanan kehidupannya. Dengan kata lain, dilihat dari segi kepentingannya maka mas}lah}ah ini lebih rendah tingkatannya dari al-mas}lah}ah al-d}aru>riyyah.39

3) Al-Mas}lah}ah al-tah}si>niyah

)

ةَيِنْيِسْحَتلا

ةَحَلْصَمْلَا

(

(47)

38

Mas}lah}ah ini juga bisa disebut Al-Mas}lah}ah al-tah}si>niyah yaitu mas}lah}ah yang sifatnya untuk memelihara kebagusan dan kebaikan budi pekerti serta keindahan saja. Sekiranya kemaslahatan tidak dapat diwujudkan dalam kehidupan tidaklah menimbulkan kesulitan kesulitan dan kegoncangan serta rusaknya tatanan kehidupan manusia. Namun kebutuhan tersebut perlu dipenuhi dalam rangka memberi kesempurnaan dan keindahan dalam hidup manusia. 40

b. Al-Mas}lah}ah dilihat dari segi eksistensinya 1) Al-Mas}lah}ah al-mu‘tabarah

Kemaslahatan yang terdapat nas} secara tegas menjelaskan dan mengakui keberadaannya dan terdapat dalil untuk memelihara dan melindunginya. Contohnya, dalil yang menunjukkan langsung kepada mas}lah}ah misalnya, tidak baiknya mendekati perempuan yang sedang haid dengan alasan haid itu adalah penyakit.41

2) Al-Mas}lah}ah al-mulghah

Mas}lah}ah yang berlawanan dengan ketentuan nas}. Artinya, mas}lah}ah yang bertolak karena ada dalil yang menunjukkan bahwa ia bertentangan dengan ketentuan dalil yang jelas. Contohnya, masyarakat pada jaman sekarang lebih mengakui emansipasi wanita untuk menyamakan derajat

(48)

39

dengan laki-laki dalam memperoleh harta warisan dan inipun dianggap sejalan dengan tujuan ditetapkannya hukum waris oleh Allah Swt. untuk memberikan hak waris kepada perempuan sebagaimana yang berlaku bagi laki-laki. Dalam hal ini, hukum Allah Swt, telah jelas dan ternyata berbeda dengan apa yang dikira baik oleh akal itu, yaitu hak yaitu hak waris laki-laki adalah dua kali lipat hak waris perempuan,

sebagaimana ditegaskan dalam Q>S Annisa’(4): 11.

3) Al-Mas}lah}ah al-mursalah

(49)

40

sebagai suami-istri.42 Pengadaan rambu-rambu lalu lintas guna

melindungi diri dari kecelakaan yang berbahaya bagi jiwa. Dari macam-macam peringkat mas}lah}ah tersebut di atas, dapat diketahui dari cara memandangnya, di antaranya:

a. Kemaslahatan ditinjau dari segi pengaruhnya atas kehidupan umat manusia. Kemaslahatan ini meliputi tiga kemaslahatan yaitu primer, sekunder, dan tersier seperti yang telah dijelaskan di atas.

b. Kemaslahatan ditinjau dari segi hubungannya dengan kepentingan umum dan individu dalam masyarakat. Dapat dipandang dari dua bentuk kemaslahatan, yaitu kemaslahatan yang bersifat universal dan menyangkut kepentingan kolektif (kulliyah) dan kepentingan individu (fard{iyah). Dalam praktiknya, pengukuran kemaslahatan ini bergantung pada kesepakatan masyarakat dan individu, kemaslahatan ini lebih bersifat pragmatis.

c. Kemaslahatan ditinjau dari segi kepentingan pemenuhannya dalam rangka pembinaan dan kesejahteraan umat manusia dan individu. Kemaslahatan ini ada tiga peringkat, yaitu:

1) Kemaslahatan yang mau tidak mau mesti ada bagi terpenuhinya kepentingan manusia.

2) Kemaslahatan yang di duga kuat mesti ada bagi kebanyakan orang.

3) Kemaslahatan yang diperkirakan harus ada.43

(50)

41

3. Syarat-syarat dalam kehujahan mas{lah{ah mursalah

Untuk menetapkan apakah sesuatu itu mengandung maslahat atau tidak, diperlukan pendidikan yang mendalam atas kemanfaatan dari kemudaratannya. Para ulama yang menjadikan hujah mas{lah{ah mursalah, mereka berhati-hati dalam hal itu, sehingga tidak menjadi pintu bagi pembentukan hukum syariat menurut hawa nafsu dan keinginan perorangan. Oleh karena itu, dibentuk syarat-syarat dalam mas{lah{ah mursalah sebagai metode istinbath hukum Islam, di antaranya:

a. Kemaslahatan sesuai dengan prinsip-prinsip apa yang ada dalam ketentuan shari‘, yang secara us{u>l dan furu>‘nya tidak bertentangan dengan nas.

b. Kemaslahatan hanya dapat dikhususkan dan diaplikasikan dalam bidang-bidang sosial dimana dalam bidang ini menerima dengan rasionalitas dibandingkan dengan bidang ibadah, karena tidak diatur secara rinci dalam nas. 44

c. Berupa maslahat yang hakiki, bukan maslahat yang bersifat dugaan. Yaitu agar dapat direalisir pembentukan hukum suatu kejadian itu, dan dapat mendatangkan keuntungan atau menolak mudarat.

d. Berupa maslahat yang umum, bukan mas{lah{ah yang bersifat khusus (perorangan). Yaitu agar dapat direalisir bahwa dalam pembentukan hukum suatu kejadian dapat mendatangkan keuntungan kepada

43 Juhaya S. Praja, Filsafat Hukum Islam..., 105-106.

(51)

42

kebanyakan umat manusia, atau dapat menolak mudarat dari mereka, bukan mendatangkan keuntungan pada seseorang atau beberapa orang saja di antara mereka.45

e. Hasil maslahat merupakan pemeliharaan terhadap aspek-aspek d{aru>riyyah, h{{a>jiyyah, dan tah{si>niyyah. Metode mas{lah{ah adalah sebagai langkah untuk menghilangkan kesulitan dalam berbagai aspek kehidupan, terutama dalam masalah-masalah sosial kemasyarakatan.46

Allah Swt. berfirman dalam Alquran Surah Alhajj ayat 78:

ا م و

ل ع ج

ي ل ع

مك

يف

ٱ

نيِدل

نم

ج ر ح

Dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan. (QS. Alhajj : 78).47

Adapun Alasan yang dikemukakan jumhur ulama dalam menetapkan mas{lah{ah sebagai hujah dalam menetapkan hukum, sebagai berikut:

a. Bahwa mas{lah{ah mursalah umat manusia itu selalu baru dan tidak ada habisnya. Maka seandainya tidak disyariatkan hukum mengenai kemaslahatan manusia yang baru dan mengenai sesuatu yang dikehendaki oleh perkembangan mereka, serta pembentukan hukum itu hanya berkisar atas maslahat yang diakui oleh shari’ saja, maka berarti telah ditinggalkan beberapa kemaslahatan umat manusia pada berbagai zaman dan tempat.

45 Abdul Wahhab Khallaf, Kaidah-kaidah..., 131. 46 Al-Syatibi, al-I’tis{om..., 115-129.

(52)

43

b. Bahwa orang yang meneliti pembentukan hukum para sahabat, tabiin dan para mujtahid, maka jadi jelas bahwa mereka telah mensyariatkan beberapa hukum untuk merealisir maslahat secara umum, bukan karena saksi yang mengakuinya. Misalnya menetapkan hasil pajak, pembukuan administrasi pengadaan penjara-penjara di tahun kelaparan.48

Dalam kehujahan mas{lah{ah mursalah, terdapat perbedaan pendapat dikalangan ulama usul diantaranya:

a. Mas{lah{ah mursalah tidak dapat menjadi hujah atau dalil menurut ulama mazhab Syafii, ulama mazhab Hanafi, dan sebagian ulama mazhab Malikiseperti Ibnu Hajib dan Ahli Zahir.

b. Mas{lah{ah mursalah dapat menjadi dalil atau hujah menurut sebagian ulama Imam Maliki, sebagian ulama Syafii, tetapi harus memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan oleh ulama ulama usul.

c. Imam al-Qarafi berkata tentang mas{lah{ah mursalah “Sesungguhnya

berhujah dengan mas{lah{ah mursalah dilakukan oleh semua mazhab, karena mereka membedakan antara satu dengan yang lainnya karena adanya ketentuan-ketentuan hukum yang mengikat”.

Kehujahan mas{lah{ah mursalah pada prinsipnya jumhur ulama mazhab menerimanya sebagai salah satu alasan dalam menetapkan hukum

shara‘, sekalipun dalam menentukan syarat, penerapan, dan penempatannya, mereka berbeda pendapat.

(53)

44

Mazhab Hanafi mengatakan bahwa untuk menjadikan mas{lah{ah mursalah sebagai dalil, disyaratkan maslahat tersebut berpengaruh pada hukum. Artinya, terdapat ayat, hadis atau ijmak yang menunjukkan bahwa sifat tersebut merupakan ilat (motivasi hukum) dalam penetapan suatu hukum, atau jenis sifat yang menjadi motivasi hukum tersebut dipergunakan oleh nas sebagai motivasi suatu hukum. Menghilangkan kemudaratan bagaimanapun bentuknya merupakan tujuan shara‘ yang wajib dilakukan. Dengan demikian, mazhab Hanafi menerima mas{lah{ah mursalah sebagai dalil dalam menetapkan hukum.49

Mazhab Maliki dan Hanbali juga menerima mas{lah{ah mursalah sebagai dalil dalam menetapkan hukum, bahkan mereka dianggap sebagai ulama fikih yang paling banyak dan luas menerapakan konsep ini. Imam Malik inilah mujtahid yang pertama kali memperkenalkan mas}lah}ah mursalah sebagai hujah syariat. Menurut mereka mas}lah}ah mursalah merupakan induksi dari logika sekumpulan nas, bukan dari nas yang parsial seperti yang berlaku dalam teori kias.50 Dan mazhab Syafii pada

dasarnya juga menjadikan maslahat sebagai salah satu dalil shara‘. Akan tetapi Imam Syafi’i memasukkannya dalam kias.51\

Sementara itu menurut pemikiran hukum Islam dalam menanggapi penggunaan mas{lah{ah mursalah sebagai dalil shari>’ah ini, mereka bersifat tawasut{ (tidak menolak sepenuhnya, tapi juga tidak mempermudah

(54)

45

penggunaannya). Hal ini sebagaimana pendapat Yusuf Qardhawy bahwa mungkin terjadi dalam syariat yang telah pasti, ada suatu hukum yang bertentangan dengan maslahat mahluk atau terdapat hukum yang membahayakan mereka.52

4. Aplikasi mas{lah{ah mursalah dalam kehidupan

Telah diketahui bahwa perbedaan lingkungan dan waktu ternyata berpengaruh pada pembentukan hukum-hukum shara‘, sebagaimana firman Allah Swt.:

ا م

خ سن ن

نم

يا ء

و أ

ا سنن

أ ن

ي خب

ر

نِم

ا

و أ

م

ا ل

م ل أ

ع ت

م ل

َ أ

ٱ

َّ

ى ل ع

ِلك

ي ش

ء

ريد ق

Apa saja ayat yang kami nasakhkan atau Kami jadikan (manusia) lupa kepadanya. Kami datangkan yang lebih baik dari padanya atau yang sebanding dengannya. Tiadakah kamu mengetahui bahwa sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu. (QS. Albaqarah : 106).53

Dalam hal ini, Muhammad Rasyid Ridlo dalam tafsir al-Manar menginterpretasikan sebagai berikut:

Sesungguhnya hukum itu dapat berbeda karena perbedaan waktu, tempat (lingkungan) dan situasi. Kalau suatu hukum diundangkan pada waktu sangat dibutuhkannya hukum itu, kemudian kebutuhan itu tidak ada lagi pada waktu lain, maka adalah suatu tindakan bijaksana menghapuskan hukum itu dan menghentikannya dengan hukum lain yang lebih sesuai dengan waktu yang belakangan (akhir) itu.54

52 Amin Farih, Kemaslahatan dan Pembaharuan..., 43-44.

53 Kementerian Agama RI, Al-Qur’an dan Tafsirnya, Jilid 1..., 276.

(55)

46

Dengan adanya penafsiran terhadap ayat 106 surah Albaqarah di atas, maka para ulama menetapkan sebuah kaidah usul fikih yaitu:

رِ يَغَ ت

مِاَكْحَاا

رِ يَغَ تِب

ِةَنِمْزَاا

ِةَنِكْمَاْاَو

ِلاَوْحَاْاَو

Hukum-hukum itu bisa berubah karena perubahan zaman, tempat, dan keadaan.55

Lebih lanjut Ibn Qayyim mengemukakan dalam kitab I‘la>m al

-Muwaqqi‘i>n” tersebut sebagai berikut:

Syariat itu adalah keadilan dan seluruhnya merupakan rahmat, dan kemaslahatan bagi umat secara keseluruhan, dan mempunyai kebijaksanaan semuanya. Maka setiap maslahat yang keluar dari garis keadilan kepada keaniayaan, dari rahmat kepada lawannya, dan dari kemaslahatan kepada kerusakan, dan dari kebijaksanaan kepada kesia-siaan, semuanya tidaklah termasuk dalam syariat walaupun dimasukkan ke dalamnya segala macam dalil.56

Sehingga dapatlah dikatakan bahwa penggunaan kepentingan umum ini adalah sebagai salah satu sumber yurisprudensi hukum Islam dan merupakan suatu hal yang telah disepakati sebagai metode alternatif dalam menghadapi perkembangan hukum Islam.

Dalam kehidupan sehari-hari kemaslahatan (mas{lah{ah mursalah) sering dilakukan oleh para sahabat dan ulama terdahulu, hal itu dilakukan dalam rangka untuk mencari alternatif terhadap berbagai masalah yang

(56)

47

timbul dalam masyarakat dimana tidak diterangkan secara jelas dalam nas}.57

Keputusan dan berbagai kebijaksanaan Imam baik yang berupa undang-undang atau pembuatan pada berbagai fasilitas umum untuk kemanfaatan masyarakat itu dapat dijadikan sebagai landasan hukum karena hal tersebut mengandung kemaslahatan bagi kemaslahatan dunia atau akhirat. Misalnya dalam pembentukan Bank sebagai kekuatan ekonomi rakyat, membentuk untuk menjaga kelangsungan dan kestabilan negara Islam, sehingga dengan sendirinya orang kafir tidak dapat memberontak terhadap keberadaan negara Islam. Dan permasalahan-permasalahan lain yang menyangkut kebijakan Imam yang adil pada berbagai pembangunan yang bermanfaat bagi kepentingan umum.58

Ketentuan di atas menunjukkan bahwa karena kebijakan Imam yang mengandung kemaslahatan, maka hal itu dapat dijadikan sebagai

landasan hukum sesuai dengan ketentuan “mas{lah{ah mursalah” dimana

semuanya tidak terkandung secara rinci dalam Alquran.

(57)

BAB III

FAKTOR-FAKTOR PENINGKATAN PELAKSANAAN AKAD

NIKAH DI KUA SEDATI KABUPATEN SIDOARJO

A. Gambaran Umum KUA Sedati Kabupaten Sidoarjo

1. Profil Kantor Urusan Agama (KUA) Sedati

Kantor Urusan Agama (KUA) Sedati beralamatkan di Jalan Raya Sedati Gede Nomor 27 Sidoarjo (61253). Wilayah hukum (Yurisdiksi) Kantor Urusan Agama (KUA) Sedati meliputi 16 desa, yaitu: Sedati Gede, Sedati Agung, Betro, Kwangsan, Pepe, Buncitan, Karanganyar, Tambak Cemandi, Gisik Cemandi, Cemandi, Bulungan, Semampir, Peranti, Banjar Kemuning, Segoro Tambak serta Pabean1.

2. Struktur Kantor Urusan Agama (KUA) Sedati

Di Kantor Urusan Agama (KUA) Sedati juga terdapat struktur organisasi sebagai acuan praktis yang membagi posisi dan tugas masing-masing pegawai berdasarkan garis instruksi maupun koordinasi. Tercatat ada 7 pegawai, yaitu:

Kepala KUA : Drs. H. Moch. Syaifullah Penghulu : 1. Drs. H. Moch. Syaifullah

2. Amirsyah., S. H

(NIP. 196404231991031002)

(58)

49

Staff KUA : 1. Mashuri. S. Pdi

(NIP. 197009292007011031)

2. Inamah, S. Pdi (NIP. 1976120520091020001)

3. Pristanti. S. E

(NIP. 196909241992031003) Penyuluhan Agama : Aftihatud Dalilah.S. Ag

(NIP. 197202052000032002) 3. Fasilitas Pendukung

Kantor Urusan Agama (KUA) Sedati dalam melaksanakan tugasnya didukung oleh beberapa fasilitas sarana dan perasarana. Hal ini sangat membantu dan menunjang kinerja para pegawai KUA dalam melayani masyarakat, di antaranya2:

a. Gedung KUA

Gedung KUA kecamatan Sedati yang bertempat di Jalan Sedati Gede Nomor 27 Kabupaten Sidoarjo ini merupakan fasilitas pendukung utama dalam menjalankan tugas Kantor Urusan Agama yang mempunyai beberapa ruangan, di antaranya adalah3:

1) Ruang Kepala KUA, 2) Ruang Tunggu, 3) Ruang Rafak,

4) Ruang Kerja Karyawan,

(59)

50

5) Musholla, 6) Kamar Mandi, 7) Ruang Pendaftaran 8) Tempat Parkir.

b. Fasilitas Komputer

Kantor Urusan Agama (KUA) Sedati memiliki tiga unit komputer yang dapat digunakan oleh karyawan untuk keperluan pendataan dan penyimpanan arsip4.

Di Kantor Urusan Agama (KUA) Sedati juga sudah menggunakan program Sistem Informasi Manajemen Nikah (SIMKAH). Program ini ke depan di proyeksikan akan menjadi sebuah kemajuan teknologi yang nantinya bisa di akses secara Online untuk melihat dan mencari data pernikahan seseorang se-Indonesia5.

c. Fungsi Kantor Urusan Agama (KUA) Sedati

Adapun fungsi dari Kantor Urusan Agama (KUA) Sedati, yaitu6: 1) Menyelenggarakan surat-menyurat, pengurusan surat, kearsipan

dan rumah tangga KUA Kecamatan.

2) Pencatatan Perkawinan. 3) Konsultasi Keluarga Sakinah. 4) Penasehatan BP4.

5) Pembuatan Akta Ikrar Wakaf.

4 Ibid.

(60)

51

6) Ikrar Masuk Islam. 7) Ihram Haji.

8) Pembinaan Kemasjidan. 9) Pembinaan Masjid Ta’lim.

10)Pembinaan TPA/TPQ.

11)Pembinaan Produk Pangan Halal. 12)Pembinaan Kemitraan Umat.

13)Pembinaan Lembaga ZIS dan Wakaf.

d. Visi Kantor Urusan Agama (KUA) Sedati

“Unggul dalam pelayanan masyarakat Islam dalam bidang

Nikah, Rujuk, Hisab Rukyat, Produksi Halal, Kemasjidan, Haji, dan

Keluarga Sakinah.”

e. Misi Kantor Urusan Agama (KUA) Sedati

Adapun Misi Kantor Urusan Agama (KUA) Sedati, yaitu7: 1) Meningkatkan pelayanan di bidang Nikah dan Rujuk.

2) Meningkatkan pemahaman masyarakat tentang Hisab Rukyat. 3) Meningkatkan pemahaman masyarakat tentang Produk Halal. 4) Meningkatkan fungsi Masjid.

5) Meningkatkan pemahaman masyarakat tentang Haji. 6) Meningkatkan Pelayanan Bimbingan Manasik Haji.

7) Meningkatkan pemahaman masyarakat dalam Usaha Menciptakan

Keluarga Sakinah.

(61)

52

f. Tugas Pokok dan Fungsi Pegawai Kantor Urusan Agama (KUA) Dalam melaksanakan tugasnya sebagaimana kewenangan Kantor Urusan Agama (KUA) Sedati membagi

Gambar

Tabel 1.2 Data praktek Pernikahan Januari-April Tahun 2013-2016.

Referensi

Dokumen terkait

Ampas tebu merupakan residu yang dihasilkan dari proses penggilingan tebu yang telah di peras atau di ekstrak untuk diambil niranya guna dimanfaatkan sebagai bahan

Rentenir memiliki eksistensi disebabkan ekosistem rentenir dan peminjam terbentuk oleh adanya saling menguntungkan, karenanya dilakukan penelitian dengan tujuan untuk

Tercapainya kemakmuran dan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia adalah salah satu cita-cita yang diinginkan oleh para pendiri negara Indonesia. Proses

Setelah programmer yakin bahwa kode yang dibuat di bahasa abstrak ini telah teruji, maka sudah saatnya untuk melakukan transformasi dari Lingu ke bahasa konkrit yang akan digunakan

Bagi mereka yang mengalami kesukaran dalam melakukan regangan untuk kedua-dua lutut, anda boleh cuba senaman ini dengan satu lutut.. Perhatian: Jangan lengkungkan

Para penulis geguritan (peng gurit ) di Surabaya merupakan salah satu subkultur yang ada di Surabaya pada khususnya dan Indonesia, melalui karya geguritan yang mereka

Ditinjau dari pengertian ‘urf menurut Abd Karim Zaidan yang mengatakan sebagai sesuatu yang tidak asing lagi bagi suatu masyarakat karena telah menjadi kebiasaan dan menyatu

Analisis ‘Urf Terhadap Larangan Pernikahan Temon Aksoro Setelah mengetahui arti dan makna sekaligus akibat dari Temon aksoro yang melarang pernikahan antara Dusun Temu dan