Monolog
GERBONG
Karya Den AslamDi sebelah kiriku ada seorang nenek tua yang baru pulang menjen-guk anaknya di Jakarta. Padahal, lazimnya anak menjenmenjen-guk ibu, bukan se-baliknya. Aku bisa menebak suatu saat nanti semua ibu akan dibariskan di lapangan tembak seperti yang terjadi di Nanking. Memang bukan lapan-gan tembak tempat belajar dan latihan kaum militer atau bangsawan. Setidaknya, bukan secara harfiah, berdasarkan arti leksikal, tempat apapun itu dipakai untuk eksekusi mati, yaitu dengan cara ditembak sam-pai mati bahkan sudah mati masih ditembak lagi patut disebut lapangan tembak. Terlalu kejam, memang. Tetapi, itulah yang terjadi. Dan sekarang aku tengah melihat kekejaman seorang anak di nganga mulut nenek tua di samping kiriku ini. Semuanya terang jelas. Di guratan wajahnya yang tak teratur, kutemukan tangisan induk beruang madu ketika para Pawnee mengulitinya perlahan. Seperti itulah yang terjadi saat ini.
Pertama kali aku bertemu dengannya, meskipun sudah sering bertemu dengan kepahitan serupa. Di kedipannya ketika pertama kulihat kutemukan setitik bintang di tengah milyaran bintang di padang angkasa. Aku merasa malu tidak menjadi ibu. Seharusnya aku bisa menjadi anak, ibu, dan bapak dalam satu waktu. Biar bisa aku menghukum diri sendiri seandainya kita –tiga peran tadi saling melukai, dan cambuk pisau orang Persia itu bisa sedikit improvisasi menyayat kulit sang pendosa ini.
Nenek tua itu mulai berusaha memejamkan matanya. Namun pendingin ruangan yang berjejer banyak di tiap gerbong terlampau dingin baginya. Tanganya disilangkan memeluk tubuhnya. Ia ubah lagi posisi nyamannya, kakinya diangkat ke kursi, mirip seorang bayi yang kesepian dalam rahim seorang ibu. Konon, setelah empat bulan janin dalam kan-dungan mulai memiliki ruh. Jabang bayi mulai dipersiapkan pendamping yaitu Qarin.
Barangkali perlu diketahui, menurut orang Hindu Dewi Gayatri yang dipuja Brahma, Syiwa, dan Wisnu ketika mereka masih kanak-kanak. Gay-atri menidurkan mereka di Akasha. Dari tidur mereka tercipta mimpi-mimpi—mencipta segala yang ada di semesta, termasuk semesta itu sendiri. Dari air mata mereka ketika terbangun mencari ibu Gayatri tercip-talah samudra kemudian setelah surut air matanya jadilah sungai, danau, dan telaga. Tetapi nenek tua di samping kiriku bukan Gayatri yang elok karena sari merahnya yang mampu melelapkan segala, wajahnya serupa cahaya purnama, di tubuhnya bermacam-macam perhiasan tergantung di leher, tangan, serta kakinya. Tetapi nenek tua di samping kiriku bukan Gayatri, bukan pula Sri yang mana orang-orang Sunda dan Jawa meng-harap kesuburan padanya. Nenek tua di samping kiriku hanya memiliki satu anak di Jakarta yang baru ia jenguk tadi, begitu kira-kira yang sem-pat ia katakan sebelum kereta Pangrango melaju.
Kini ia meringkuk menghadap ke kanan; ke hadapanku. Semakin je-las wajahnya yang keriput, serta kedipnya yang lemas. Kutawarkan selen-dang hitamku padanya. Ia menggelengkan kepalan, sambil mengen-cangkan ikatan tangannya ke tubuhnya. Pikirku, mungkin tubuhnya din-gin, namun hatinya terlanjur memuncak panas. Bukan karena suhu Jakarta yang lembab dan panas. Hal itu terjadi ketika kekecewaannya da-pat terbaca olehku di kosong matanya. Tak lama, seseorang yang ia sebut Abah menelponnya. Percakapan terjadi begitu cepat. Ia menutup percaka-pan dengan lemas.
Banyak ibu yang menganggap anaknya sebagai duplikat dirinya. Tetapi, seperti yang dikatakan seorang penyair abad ke-19 asal Lebanon Kahlil Gibran:
“Anakmu bukanlah milikmu,
mereka adalah putra-putri Sang Hidup, yang rindu akan diriNya sendiri.
Mereka lahir lewat engkau, tetapi bukan dari engkau,
Sajak itu kemudian menjelmakan aku menjadi nenek tua di samping kiriku ini. Aku masuk ke dalam pikirannya yang suntuk. Pikiran yang meni-adakan rasa memiliki. Di pikirannya aku duduk bersamadi, kadang kulihat sosok mata tak berkelopak mengurai air mata, suara-suara aneh meng-hantam telinga, serta kenangan-kenangan masa muda nenek tua ini yang begitu gemerlapan harta. Kutujukan pikiranku menyatu dengan pikiran-nya, tetap tak bisa. Aku, bukanlah seorang ibu pun aku tak bisa merumahkan pikirannya yang bisu. Aku palingkan wajahku keluar jendela, kudapati malam yang gelap. Sawah-sawah dan kebun-kebun itu mencoba menenangkan rasa ini. Mereka membawaku ke tempat dimana aku berpu-lang. Saat ini, dan kelak ke rumah yang maha abadi.
Metafora cinta adalah kesakitan. Ialah wujud dari meniadakan apapun, termasuk diri sendiri. Nenek tua di samping kiriku, aku bersajak lewat rautmu yang pilu, tubuhmu yang lesu. Sepulang nanti kau akan temukan kebahagiaan. Garis keriput di wajahmu itu tempat mengalirnya sungai-sungai nirwana; tempat para pecinta membasuh wajahnya. Per-jalanan pulang ini hanya sementara.