SKRIPSI
Oleh: Jamilatul Lailia
C51211137
Universitas Islam Negeri Sunan Ampel
Fakultas Syariah dan Hukum
Jurusan Hukum Perdata Islam
Prodi Hukum Keluarga Islam Ahwal al-Syakhsiyyah
Surabaya
i
ANALISIS YURIDIS TERHADAP PANDANGAN HAKIM
PENGADILAN AGAMA PASURUAN TENTANG STATUS ISTRI
SETELAH PEMBATALAN PERKAWINAN
SKRIPSI
Diajukan kepada
Universitas Islam Negeri Sunan Ampel
Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan
Dalam menyelesaikan Program Strata Satu
Ilmu Syariah dan Hukum
Oleh:
Jamilatul Lailia
NIM. C51211137
Universitas Islam Negeri Sunan Ampel
Fakultas Syariah dan Hukum
Jurusan Hukum Perdata Islam
Prodi Hukum Keluarga Islam Ahwal al-Syakhsiyyah
Surabaya
vii
ABSTRAK
Skripsi yang berjudul ‚ Analisis Yuridis terhadap Pandangan Hakim Pengadilan Agama Pasuruan tentang Status Istri Setelah Pembatalan Perkawinan‛ ini merupakan hasil penelitian lapangan yang bertujuan untuk menjawab permasalahan bagaimana pandangan hakim Pengadilan Agama Pasuruan tentang status istri setelah pembatalan perkawinan dan bagaimana analisis yuridis terhadap pandangan hakim Pengadilan Agama Pasuruan tentang status istri setelah pembatalan perkawinan.
Data penelitian disajikan dengan menggunakan metode deskriptif analisis untuk menggambarkan dan menjelaskan data secara rinci dan sistematis segala fakta yang dihadapi, kemudian dianalisis menggunakan pola pikir deduktif yaitu menganalisis data yang diperoleh berangkat dari suatu yang bersifat umum dan ditarik kesimpulan yang bersifat khusus. Dalam hal ini penulis menggunakan teori yang bersifat umum tentang pembatalan perkawinan untuk meninjau data yang bersifat khusus yaitu pandangan hakim Pengadilan Agama Pasuruan mengenai status istri setelah pembatalan perkawinan.
Hasil penelitian menyimpulkan bahwa menurut hakim Pengadilan Agama Pasuruan status istri setelah pembatalan perkawinan ada tiga pendapat. Pendapat pertama adalah janda, tanpa memandang qobla ad-dukhul atau ba’da ad-dukhul maupun batal demi hukum atau dapat dibatalkan. Pendapat kedua adalah perawan, baik qobla ad-dukhul atau ba’da ad-dukhul maupun batal demi hukum atau dapat dibatalkan. Pendapat ketiga adalah perawan jika perkawinannya batal demi hukum dan berstatus janda jika pembatalan perkawinannya dengan sebab dapat dibatalkan. Pandangan hakim Pengadilan Agama Pasuruan tidak seluruhnya sesuai dengan yuridis karena apabila perjanjian batal demi hukum artinya dari semula tidak pernah dilahirkan suatu perjanjian dan dengan demikian tidak pernah ada suatu perikatan, dan suatu perikatan yang dapat dibatalkan berarti ketidakabsahannya berlaku sejak tanggal ada pembatalan. Berdasar hal tersebut, status istri setelah perkawinannya batal demi hukum adalah perawan dan perkawinan yang dapat dibatalkan adalah janda.
xi
DAFTAR ISI
SAMPUL DALAM ... i
PERNYATAAN KEASLIAN ... ii
PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iii
PENGESAHAN ... iv
MOTTO ... v
PERSEMBAHAN ... vi
ABSTRAK ... vii
KATA PENGANTAR ... viii
DAFTAR ISI ... xi
DAFTAR TRANSLITERASI ... xiv
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1
B. Identifikasi Masalah ... 11
C. Rumusan Masalah ... 12
D. Kajian Pustaka ... 12
E. Tujuan Penelitian ... 15
F. Kegunaan Hasil Penelitian ... 15
G. Definisi Operasional ... 16
H. Metode Penelitian ... 17
I. Sistematika Pembahasan ... 21
BAB II PEMBATALAN PERKAWINAN A. Perkawinan 1. Pengertian Perkawinan ... 22
xii
B. Pembatalan Perkawinan
1. Perspektif Undang-undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974... 31
2. Perspektif Kompilasi Hukum Islam ... 33
C. Sebab-sebab Pembatalan Perkawinan... 35
D. Pihak yang Mengajukan Pembatalan Perkawinan ... 38
E. Akibat Hukum Pembatalan Perkawinan ... 39
BAB III PANDANGAN HAKIM PENGADILAN AGAMA PASURUAN TENTANG STATUS ISTRI SETELAH PEMBATALAN PERKAWINAN A. Gambaran Umum Pengadilan Agama Pasuruan 1. Letak Geografis Pengadilan Agama Pasuruan ... 46
2. Wewenang Pengadilan Agama Pasuruan ... 47
3. Landasan Hukum Pengadilan Agama Pasuruan ... 49
4. Visi dan Misi Pengadilan Agama pasuruan ... 49
B. Pandangan Hakim Pengadilan Agama Pasuruan tentang Status Istri Setelah Pembatalan Perkawinan ... 50
BAB IV ANALISIS YURIDIS TERHADAP PANDANGAN HAKIM PENGADILAN AGAMA PASURUAN TENTANG STATUS ISTRI SETELAH PEMBATALAN PERKAWINAN A. Analisis terhadap Pandangan Hakim Pengadilan Agama Pasuruan tentang Status Istri Setelah Pembatalan Perkawinan ... 66
B. Analisis Yuridis terhadap Pandangan Hakim Pengadilan Agama Pasuruan tentang Status Istri Setelah Pembatalan Perkawinan ... 71
xiii
B. Saran ... 78 DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Agama Islam yang diturunkan oleh Allah SWT. sebagai pembawa rahmat bagi seluruh alam, yang mengatur segala sendi kehidupan manusia di alam semesta ini, diantara aturan tersebut adalah hukum mengenai perkawinan. Allah mensyariatkan perkawinan sebagai realisasi kemaslahatan primer, yaitu mempertahankan keturunan, manusia terbebani tanggung jawab untuk membina keluarga dan pendidikan generasi.
Perkawinan berlaku untuk semua makhluk Tuhan, manusia, binatang, tumbuhan, dan kenyataan pasangan kehidupan lainnya yang ada di muka bumi ini. Akan tetapi, tidak semua perkawinan dilaksanakan dengan tatacara yang sama, sebagaimana perkawinan manusia dan binatang. Keduanya sama-sama melakukan perkawinan, tetapi hukum bagi binatang tidak berlaku bagi manusia. Sebagai makhluk yang dimuliakan oleh Allah SWT., manusia memiliki akal, peradaban, budaya, dan norma-norma sosial yang berlaku memiliki, bahkan sistem nilai yang diambil dari suatu agama, misalnya dari Islam.1
1 Beni Ahmad Saebani, Perkawinan dalam Hukum Islam dan Undang-undang, (Bandung: Pustaka
Setia, 2008), 142.
Berdasarkan Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.2
Pencantuman berdasarkan Ketuhanan Yang maha Esa karena Negara Indonesia berdasarkan kepada pancasila yang sila pertamanya adalah Ketuhanan Yang Maha Esa. Perkawinan mempunyai hubungan yang erat sekali dengan agama, kerohanian, sehingga perkawinan bukan saja mempunyai unsur lahir atau jasmani saja, tetapi juga memiliki unsur batin atau rohani.
Salah satu tujuan perkawinan adalah untuk mendapatkan keluarga bahagia yang penuh ketenangan hidup dan rasa kasih sayang,3 sesuai dengan firman Allah SWT dalam surat Ar-Rum ayat 21:
ُ ن م و
ُ
ُ ه تا يا ء
ُ
ُ ن أ
ُ
ُ ق ل خ
ُ
ُ م ك ل
ُ
ُ ن م
ُ
ُ م ك س ف ن أ
ُ
ا جا و ز أ
ُ
ا و ك س ت ل
ُ
ا ه ي ل إ
ُُ و
ُ
ُ ل ع ج
ُ
ُ م ك ي ب
ُ
ُ ة د و م
ُُ و
ُ
ُ ة ْ ر
ُ
ُ ن إ
ُ
ُ ف
ُ
ُ ك ل ذ
ُ
ُ تا ي أ
ُ
ُ م و ق ل
ُ
ُ ن و ر ك ف ت ي
ُُ
Dan di antara tanda-tanda (kebesaran)-Nya ialah Dia menciptakan pasangan-pasangan untukmu dari jenismu sendiri, agar kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan Dia menjadikan di antaramu rasa kasih sayang. Sungguh, pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang berpikir.4
Dari ayat di atas dapat diketahui bahwa ketenangan hidup dan cinta kasih
2 Undang-Undang RI No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan dan KHI, (Bandung: Citra Umbara,
2012), 2.
3Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group,
2006), hal.47.
4Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Qur’an dan terjemahannya (Surabaya:Duta Ilmu, 2005),
sayang dapat ditunjukkan melalui perkawinan.
Perkawinan akan tercapai apabila perkawinan itu memenuhi beberapa syarat, baik syarat yang telah diatur dalam hukum Islam dan syarat yang berlaku di suatu negara, termasuk Indonesia. Dalam hukum Islam untuk dapat melakukan perkawinan secara sah, tentu saja perlu adanya antara syarat dan rukun perkawinan yang diatur oleh hukum Islam itu sendiri. Sedangkan rukun perkawinan menurut jumhur Ulama’ terdiri atas:
1. Suami dan istri yang akan melakukan perkawinan. 2. Wali dari pihak calon pengantin wanita.
3. Dua orang saksi. 4. S{igat akad nikah.5
Menurut Sayyid Sa@biq pada garis besarnya syarat-syarat sahnya perkawinan ada dua, yaitu:
1. Calon mempelai perempuannya halal dikawin oleh laki-laki yang ingin menjadikannya istri. Jadi, perempuannya itu bukan merupakan orang yang haram dinikahi, baik karena haram dinikah untuk sementara maupun untuk selama-lamanya.
2. Akad nikahnya dihadiri para saksi.6
Adapun dalam perkawinan di Indonesia, Undang-undang telah mengatur syarat-syarat perkawinan baik yang menyangkut orangnya, kelengkapan
administrasi, prosedur pelaksanaanya dan mekanismenya.7 Apabila suatu perkawinan telah memenuhi seluruh syarat dan rukun yang telah ditentukan, maka perkawinan dapat dikatakan sah. Akan tetapi, selain terpenuhinya syarat dan rukun perkawinan, perkawinan tersebut harus terlepas dari segala hal yang menjadi penghalang. Hal ini disebut sebagai larangan dalam perkawinan.
Larangan perkawinan adalah orang-orang yang tidak boleh melakukan perkawinan yaitu perempuan-perempuan mana saja yang tidak boleh dikawini oleh seorang laki-laki, maupun sebaliknya laki-laki mana saja yang tidak boleh dikawin oleh seorang perempuan. Seluruhnya telah diatur dalam al-Qur’an dan hadis. Larangan perkawinan ini ada dua macam:
1. Larangan perkawinan yang berlaku haram untuk selamanya (Mah{ram Mu’abbad), yaitu sampai kapan pun dan dalam keadaan apapun antara laki-laki dan perempuan tidak boleh menikah. Mah{ram mu’abbad ada tiga kelompok, yaitu: disebabkan karena adanya hubungan kekerabatan, adanya hubungan perkawinan (mus{aharah), karena hubungan sesusuan. Keseluruhannya bersumber dari surat an-Nisa ayat 22, 23, dan 24.
2. Mah{ram ghairu mu’abbad yaitu larangan perkawinan antara laki-laki dan perempuan yang berlaku untuk sementara waktu disebabkan oleh hal tertentu, bila hal itu sudah tidak ada, maka larangan tersebut tidak berlaku lagi. Mah{ram ghairu mu’abbad antara lain: mengawini dua orang
saudara dalam satu masa, poligami di luar batas, terikat dalam ikatan perkawinan, adanya talak tiga, sedang melakukan ihram, karena perzinaan, dan karena beda agama.8
Apabila terjadi perkawinan yang melanggar larangan perkawinan atau tidak memenuhi salah satu syarat dan rukun perkawinan, maka perkawinan tersebut tidak sah dan dapat dibatalkan.
Pembatalan Perkawinan adalah pembatalan ikatan perkawinan oleh Pengadilan Agama berdasarkan tuntutan istri atau suami yang dapat dibenarkan Pengadilan Agama atau karena perkawinan yang telah terlanjur menyalahi hukum perkawinan.9
Pasal 22 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, menyatakan bahwa perkawinan dapat dibatalkan, apabila para pihak tidak memenuhi syarat-syarat perkawinan untuk melangsungkan perkawinan.10 Penjelasan kata ‚dapat‛ dalam pasal ini bisa diartikan bisa batal atau bisa tidak batal, bila mana menurut ketentuan hukum agamanya masing-masing tidak menentukan lain. Istilah dapat dibatalkan dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 ini berarti dapat dibatalkan dan batal demi hukum. Dengan demikian perkawinan dapat dibatalkan berarti sebelumnya telah terjadi perkawinan, lalu
8 Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, 111-133. 9 Ibid., 242.
dibatalkan karena adanya pelanggaran terhadap aturan- aturan tertentu.11
Menurut KHI sebab-sebab perkawinan dapat dibatalkan terdapat pada
pasal 71 dan 72 yaitu apabila:12
Pasal 71
1. Seorang suami melakukan poligami tanpa izin Pengadilan Agama.
2. Perempuan yang dikawini ternyata kemudian diketahui masih menjadi
istri pria lain yang mafqud.
3. Perempuan yang dikawini ternyata masih dalam masa ‘iddah dari suami
lain.
4. Perkawinan yang melanggar batas umur perkawinan sebagaimana
ditetapkan dalam pasal 7 Undang-undang No. 1 tahun 1974.
5. Perkawinan yang dilangsungkan tanpa wali atau dilaksanakan oleh wali
yang tidak berhak.
6. Perkawinan yang dilaksanakan dengan paksaan.
Pasal 72
1. Seorang suami atau istri dapat mengajukan permohonan pembatalan
perkawinan apabila perkawinan dilakukan di bawah ancaman yang
11 Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islamdi Indonesia (Study Kritis
Perkembangan Hukum Islam dan Fiqh, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 sampai Kompilasi Hukum Islam), (Kencana: Jakarta, 2006), 106-107.
melanggar hukum.
2. Seorang suami atau istri dapat mengajukan permohonan pembatalan
perkawinan apabila pada waktu berlangsungnya perkawinan terjadi
penipuan atau salah sangka mengenai diri suami atau istri.
3. Apabila ancaman telah berhenti, atau yang bersalah sangka itu menyadari
keadaannya dan dalam jangka waktu 6 (enam) bulan setelah itu masih
tetap hidup sebagai suami istri, dan tidak menggunakan haknya untuk
mengajukan pembatalan, maka haknya gugur.
kedua adalah perkawinan dilangsungkan dibawah ancaman, atau terjadi salah sangka mengenai calon suami dan istri.13
Kenyataan dalam masyarakat masih ada orang-orang yang melaksanakan perkawinan padahal terdapat syarat-syarat yang tidak terpenuhi atau ada larangan-larangan yang telah dilakukan. Misalnya, salah satu pihak masih terikat dalam perkawinan, kemudian melangsungkan perkawinan baru tanpa sepengetahuan atau tanpa seizin istri pertama. Bahkan tidak mengetahui prosedur dari melaksanakan perkawinan maupun tata cara dari pembatalan perkawinan, sehingga akibatnya melahirkan perkawinan dibawah tangan, kawin sirri, ataupun perkawinan yang tidak melengkapi syarat-syarat dari perkawinan.14
Apabila terjadi suatu pembatalan perkawinan, ada beberapa masalah yang akan muncul terkait dengan akibat hukum setelah perkawinan tersebut dibatalkan oleh Pengadilan Agama. Akibat hukum tersebut antara lain terkait dengan kedudukan sah atau tidaknya seorang anak jika pernikahan yang dibatalkan tersebut menghasilkan anak, harta bersama, masa tunggu (‘iddah) bagi istri dan nafkah ‘iddahnya, serta yang tak kalah penting adalah status istri setelah perkawinannya dibatalkan.
Setelah pembatalan perkawinan, status istri menjadi simpang siur. Ada
13Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islamdi Indonesia (Study Kritis
Perkembangan Hukum Islam dan Fiqh, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 sampai Kompilasi Hukum Islam), 107-108.
14 Moh. Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam (Suatu Analisis dari Undang- Undang Nomor
ketidakjelasan hukum terkait dengan status istri karena belum adanya aturan khusus yang secara eksplisit mengatur tentang status istri setelah terjadinya pembatalan perkawinan. Begitu juga mengenai penetapan status atau kedudukan anak dan harta bersama yang sesungguhnya tidak pernah tercantum dalam Amar Putusan Pembatalan Perkawinan. Demikian juga dengan status istri yang tidak pernah tercantum dalam Amar Putusan Pembatalan perkawinan terkait apakah statusnya disamakan dengan cerai mati atau cerai hidup yaitu janda. Karena pembatalan perkawinan berbeda dengen perceraian, tentu terdapat perbedaan antara status istri setelah terjadi perceraian dengan status istri setelah terjadi pembatalan perkawinan. Hal ini disebabkan oleh status keabsahan dari perkawinan yang terjadi sebelum perkawinan itu dibatalkan.
Indonesia sebagai negara hukum bertanggungjawab memberikan kepastian hukum terhadap setiap warga negaranya melalui Pengadilan Agama dan menurut pasal 37 Peraturan Pemerintah RI No. 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-undang No. 1 Tahun 1994 menyebutkan bahwa batalnya suatu perkawinan hanya dapat diputuskan oleh Pengadilan.15
Hakim sebagai pejabat yang melaksanakan kekuasaan kehakiman guna untuk menegakkan keadilan. Dalam menjalankan tugasnya Hakim terkadang menjadi terompet Undang-undang dalam kasus hukum yang telah jelas
ditentukan sehingga Hakim tinggal menerapkannya, tetapi pada saat yang lain hakim harus menafsirkan Undang-undang. Yakni dalam kasus yang hukumnya tidak atau belum jelas sehingga memerlukan penafsiran yang dikenal dalam ilmu hukum. Pada saat yang lain hakim dituntut untuk menemukan hukumnya, yakni saat Undang-undang belum secara khusus mengatur atas kasus tersebut.16
Adapun terkait status istri setelah pembatalan perkawinan ada pihak yang mengatakan bahwa status istri kembali pada status semula sebelum adanya perkawinan, yakni apabila sebelum menikah berstatus perawan maka setelah perkawinannya dibatalkan kembali lagi ke perawan, meskipun dalam perkawinan yang dibatalkan tersebut telah menghasilkan anak. Pihak yang mengatakan kembali ke status semula, berargumen bahwa hal ini dianalogikan dengan sholat, apabila ditengah-tengah sholatnya batal, maka orang tersebut dianggap belum pernah melakukan sholat dan harus melakukan sholat lagi.
Selain pendapat tersebut, ada juga yang berpendapat bahwa statusnya adalah janda. Pihak yang mengatakan janda ini berpendapat bahwa karena pada kenyataannya wanita tersebut sudah pernah melakukan suatu perkawinan walaupun pada akhirnya perkawinannya dibatalkan oleh Pengadilan Agama dan tidak menutup kemungkinan bahwa orang yang melakukannya sendiri, yaitu istri yang perkawinannya dibatalkan tersebut berpendapat bahwa statusnya adalah janda karena merasa bahwa dirinya telah melakukan suatu perkawinan.
16 Wildan Sayuti, Etika Profesi Kode Etik Hakim, ( Jakarta: Pusat Pendidikan dan Pelatihan Pegawai
Terlebih lagi jika dalam perkawinan tersebut menghasilkan anak, yang mana telah diketahui bersama bahwa tidak mungkin seorang yang masih perawan bisa melahirkan seorang anak.
Dari pemaparan di atas, penulis merasa tertarik untuk mengkaji bagaimana pandangan hakim tentang status istri setelah perkawinannya dibatalkan oleh Pengadilan Agama. Oleh karena itu penulis menulis skripsi ini dengan judul ‚ANALISIS YURIDIS TERHADAP PANDANGAN HAKIM PENGADILAN
AGAMA PASURUAN TENTANG STATUS ISTRI SETELAH
PEMBATALAN PERKAWINAN‛
B. Identifikasi dan Batasan Masalah
Dari latar belakang masalah yang telah penulis paparkan di atas, maka dapat ditulis identifikasi masalah sebagai berikut:
1. Pembatalan perkawinan menurut UU Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam.
2. Sebab-sebab perkawinan yang dapat dibatalkan dan batal demi hukum. 3. Orang-orang yang dapat mengajukan pembatalan perkawinan.
4. Akibat hukum pembatalan perkawinan.
6. Analisis yuridis terhadap pandangan hakim Pengadilan Agama Pasuruan tentang status istri setelah pembatalan perkawinan.
Dari identifikasi masalah tersebut penulis membatasi masalah, yaitu:
1. Pandangan hakim Pengadilan Agama Pasuruan tentang status istri setelah pembatalan perkawinan.
2. Analisis yuridis terhadap pandangan hakim Pengadilan Agama Pasuruan tentang status istri setelah pembatalan perkawinan.
C. Rumusan Masalah
Dari identifikasi dan batasan masalah yang telah penulis paparkan di atas, maka dapat ditulis rumusan masalah sebagai berikut:
1. Bagaimana pandangan hakim Pengadilan Agama Pasuruan tentang status istri setelah pembatalan perkawinan?
2. Bagaimana analisis yuridis terhadap pandangan hakim Pengadilan Agama Pasuruan tentang status istri setelah pembatalan perkawinan?
D. Kajian Pustaka
Sebenarnya sudah banyak literatur yang membahas tentang Pembatalan Perkawinan. Tetapi, dalam hal ini peneliti melakukan pembahasan tentang ‚Analisis Yuridis terhadap Pandangan Hakim Pengadilan Agama Pasuruan tentang Status Istri Setelah Pembatalan Perkawinan‛.
Berdasarkan penelitian yang telah penulis lakukan, ada beberapa penelitian yang serupa mengkaji tentang pembatalan perkawinan. Penelitian tersebut antara lain adalah sebagai berikut:
Skripsi Agung Yusfantoro yang berjudul ‛Akibat Hukum Pembatalan Perkawinan Terhadap Status Anak dan Harta Bersama (Studi Kasus di Pengadilan Agama Kelas 1A Kabupaten Kediri)‛. Skripsi ini menyimpulkan bahwa status anak yang lahir sebagai akibat pembatalan perkawinan dianggap sebagai anak sah dan pembatalan perkawinan tersebut tidak berlaku surut bagi anak yang lahir sebelum adanya pembatalan, sehingga berhak atas pemeliharaan, pembiayaan serta waris dari kedua orang tuanya. Adapun terkait harta bersama dalam putusan ini untuk pembagiannya diserahkan sesuai dengan kesepakatan masing-masing.17
Skripsi Nur Afifah yang berjudul ‛ Studi Analisis Terhadap Putusan Pengadilan Agama Jombang tentang Status Anak dari Pembatalan Perkawinan No. 1433/Pdt.G/2008/PA.Jbg‛. Pembahasan dalam penelitian ini adalah
17 Agung Yusfantoro, ‛ Akibat Hukum Pembatalan Perkawinan Terhadap Status Anak dan Harta
pembatalan perkawinan terjadi karena istrinya masih terikat perkawinan dengan laki-laki lain. Oleh karena itu Pengadilan Agama membatalkan perkawinan tersebut dengan bukti-bukti outentik yang sudah diperiksa oleh para hakim. Adapun tentang status hukum anak dari pembatalan perkawinan menurut Undang-undang Perkawinan No. 1 tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam bahwa anak tersebut tetap dinasabkan kepada kedua orang tuanya karena hukum tidak berlaku surut terhadap anak yang dilahirkan dari perkawinan yang dibatalkan tersebut. Sedangkan menurut pendapat fuqoha’ masih terdapat ikhtilaf diantaranya ada yang berpendapat bahwa anak itu dinasabkan kepada kedua orang tuanya dan ada yang berpendapat lain mengatakan bahwa anak tersebut dinasabkan kepada ibunya saja.18
Skripsi Mujayanah yang berjudul ‚Pindah Agama Sebagai Alasan Pembatalan Perkawinan (Studi Komparatif Antara Undang-undang No. 1 tahun 1974 dan Hukum Islam)‛. Dalam skripsi tersebut menyimpulkan bahwa dalam UU no. 1 Tahun 1974 tidak mengatur secara jelas mengenai masalah pembatalan perkawinan yang disebabkan oleh suami murtad, sedangkan dalam hukum Islam diatur secara jelas dan rinci. Sebab-sebab perkawinan yang dapat dibatalkan menurut UU No. 1 tahun 1974 adalah karena tidak terpenuhinya syarat-syarat perkawinan, sedangkan dalam hukum Islam sebab-sebab
18 Nur Afifah, ‚Studi Analisis Terhadap Putusan Pengadilan Agama Jombang tentang Status Anak
perkawinan dapat dibatalkan selain tidak terpenuhinya syarat-syarat perkawinan, juga ada sebab lain yang diatur lebih jelas dan rinci.19
Sedangkan dalam pembahasan dalam penelitian ini berbeda dengan pembahasan yang dilakukan sebelum-sebelumnya, karena selama melakukan peninjauan pustaka ini penulis sama sekali belum menemukan penelitian tentang pandangan hakim tentang status istri setelah Pembatalan Perkawinan. Maka, penulis membahas masalah tersebut dengan judul ‚Analisis Yuridis terhadap Pandangan Hakim Pengadilan Agama Pasuruan tentang Status Istri Setelah Pembatalan Perkawinan‛.
E. Tujuan Penelitian
1. Mengetahui pandangan hakim Pengadilan Agama Pasuruan tentang status istri setelah pembatalan perkawinan.
2. Mengetahui analisis yuridis terhadap pandangan hakim Pengadilan Agama Pasuruan tentang status istri setelah pembatalan perkawinan.
F. Kegunaan Hasil Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat sekurang-kurangnya untuk hal berikut:
19 Mujayanah, ‚Pindah Agama Sebagai Alasan Pembatalan Perkawinan (Studi Komparatif Antara
1. Kegunaan teoritis: penelitian ini bermanfaat untuk menambah khazanah dalam bidang hukum perkawinan, khususnya tentang status istri setelah perkawinannya dibatalkan oleh Pengadilan Agama.
2. Kegunaan praktis: hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat praktis terhadap pihak-pihak yang membutuhkan, baik sebagai pegangan selanjutnya maupun sebagai bahan penyuluhan dalam bidang perkawinan khususnya terkait dengan status istri setelah pembatalan perkawinan.
G. Definisi Operasional
Skripsi ini penulis beri judul ‚Analisis Yuridis terhadap Pandangan Hakim Pengadilan Agama Pasuruan tentang Status Istri Setelah Pembatalan Perkawinan‛
Guna memahami maksud dari penelitian ini, juga untuk menghindari kesalahpahaman dalam menginterpretasikan judul ke dalam penelitian, maka perlu dijelaskan bahwa pengertian kata-kata yang terdapat dalam judul ini adalah sebagai berikut:
Pandangan Hakim : Pendapat yang berdasar pada pengetahuan hakim-hakim di Pengadilan Agama Pasuruan tentang status istri setelah pembatalan perkawinan.20
Status Istri : Keadaan atau kedudukan istri setelah perkawinannya dibatalkan oleh Pengadilan Agama yaitu dikembalikan status awal sebelum adanya perkawinan (perawan) atau janda.
Pembatalan Perkawinan: Pembatalan ikatan perkawinan oleh Pengadilan Agama berdasarkan tuntutan istri atau suami yang dapat dibenarkan Pengadilan Agama atau karena perkawinan yang telah terlanjur menyalahi hukum perkawinan.
Dari penjelasan tersebut, maka maksud dari judul di atas adalah bagaimana pandangan hakim Pengadilan Agama Pasuruan tentang status istri yang perkawinannya dibatalkan oleh Pengadilan Agama.
H. Metode Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian lapangan (field research), yaitu data yang dijadikan rujukan dalam penelitian ini adalah fakta-fakta yang berkaitan langsung dan tidak langsung dengan pandangan hakim Pengadilan Agama Pasuruan tentang status istri setelah perkawinannya dibatalkan. Adapun penulisan skripsi ini menggunakan metode pembahasan sebagai berikut ini:
20 Departemen Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Ke-3,
1. Data yang Dikumpulkan
Sesuai rumusan masalah yang telah dikemukakan di atas, agar dalam pembahasan skripsi ini nantinya bisa di pertanggung jawabkan tentang kualitas mutunya, maka penulis membutuhkan data sebagai berikut:
a. Data yang terkait pandangan hakim Pengadilan Agama Pasuruan tentang status istri setelah pembatalan perkawinan.
b. Data yang terkait dasar hukum hakim Pengadilan Agama Pasuruan tentang status istri setelah pembatalan perkawinan.
2. Sumber Data
Sumber data dalam penelitian adalah subjek dari mana data tersebut dapat diperoleh.21 Dari data yang akan dikumpulkan di atas, maka sumber data dalam penelitian ini adalah:
a. Sumber Data Primer:
Sumber data primer adalah data yang diperoleh atau dikumpulkan langsung di lapangan oleh orang yang melakukan penelitian atau orang yang memerlukannya.22 Sumber data primer dalam skripsi ini adalah hakim-hakim dan panitera dan putusan Pengadilan Agama Pasuruan. b. Sumber Data Sekunder
21 Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik, ( Jakarta: PT. Rineka Cipta,
2010), 172.
Data sekunder adalah data yang diperoleh atau dikumpulkan oleh orang yang melakukan penelitian dari sumber-sumber yang telah ada, baik dari perpustakaan atau dari laporan-laporan peneliti terdahulu.23 Data sekunder dalam skripsi ini adalah:
1) Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. 2) Peraturan Pemerintah No. 5 Tahun 1975.
3) Kompilasi Hukum Islam. 3. Teknik Pengumpulan Data
a. Wawancara (interview), yaitu teknik memperoleh data dengan tanya jawab langsung secara lisan dengan Hakim-hakim Pengadilan Agama Pasuruan. Wawancara ini dilakukan dengan pokok pertanyaan yang telah disiapkan kemudian dilanjutkan dengan variasi wawancara yaitu pengembangan dari wawancara guna memperoleh data yang diperlukan. b. Dokumen (Dokumenter), yaitu memperoleh data dengan menelusuri
dan memperoleh dokumen yang berupa buku-buku yang relevan dengan status istri setelah perkawinannya dibatalkan.
4. Teknik Pengolahan Data
Data yang sudah terkumpul kemudian diolah dengan cara-cara sebagai berikut:
a. Editing (pemeriksaan data) yaitu memeriksa kembali semua data yang diperoleh dengan memilih dan menyeleksi data tersebut dari berbagai segi yang meliputi kesesuaian, keselarasan satu dengan yang lainnya, keaslian, kejelasan serta relevansinya dengan permasalahan.24
b. Organizing, yaitu mengatur dan menyusun data sedemikian rupa sehingga dapat memperoleh gambaran yang sesuai dengan rumusan masalah.
5. Teknik Analisis Data
Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis ‚Deskriptif Analisis‛, yaitu metode yang menggambarkan dan menjelaskan data secara rinci dan sistematis sehingga diperoleh pemahaman yang mendalam dan menyeluruh.25 Kemudian menggunakan pola pikir deduktif yaitu menganalisis data yang bertitik tolak dari teori yang bersifat umum tentang pembatalan perkawinan untuk meninjau data yang bersifat khusus yaitu pandangan hakim Pengadilan Agama Pasuruan tentang status istri setelah pembatalan perkawinan.
I. Sistematika Pembahasan
Secara garis besar penelitian ini dibagi menjadi lima bab, setiap bab mempunyai sub-bab pembahasan sebagai berikut:
24Abdul Kadir Muhammad, Hukum dan Penelitian Hukum, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2004), 91.
Bab pertama merupakan bab Pendahuluan yang terdiri dari Latar Belakang Masalah, Identifikasi Masalah, Batasan Masalah, Rumusan Masalah, Kajian Pustaka, Tujuan Penelitian, Kegunaan Hasil Penelitian, Definisi Operasional, Metode Penelitian dan Sistematika Pembahasan.
Bab kedua berisi landasan teori yang meliputi pengertian perkawinan,s yarat sahnya perkawinan, pengertian umum tentang pembatalan perkawinan menurut Undang-undang Perkawinan dan KHI, sebab-sebab perkawinan yang dapat dibatalkan dan batal demi hukum, pihak yang dapat mengajukan pembatalan perkawinan, akibat hukum pembatalan perkawinan.
Bab ketiga menguraikan tentang hasil penelitian yang meliputi gambaran umum Pengadilan Agama Pasuruan, yang meliputi letak geografis, wilayah yurisdiksi, struktur organisasi, uraian tentang pandangan Hakim tentang status istri setelah pembatalan perkawinan serta dasar hukumnya.
Bab keempat merupakan bab yang membahas kajian analisis Yuridis terhadap pandangan Hakim-hakim Pengadilan Agama Pasuruan tentang status istri setelah Pembatalan perkawinan.
BAB II
PEMBATALAN PERKAWINAN SECARA YURIDIS
A. Perkawinan
1. Pengertian Perkawinan
Perkawinan merupakan institusi yang sangat penting dalam masyarakat. eksistensi institusi ini adalah melegalkan hubungan hukum antara seorang laki-laki dan perempuan. Perkawinan dalam bahasa Indonesia berasal dari kata ‚kawin‛ yang menurut bahasa artinya membentuk keluarga dengan lawan jenis, melakukan hubungan kelamin atau bersetubuh.1 Secara bahasa
arti kata nikah berarti ‚bergabung‛ (
ُ م ض
), ‚hubungan kelamin‛ (ُ ء ط ولا
), danjuga berarti ‚akad‛ (
ُ د ق ع
) .Adanya dua kemungkinan ini karena dalamal-Quran mengandung dua arti kata tersebut. Kata nikah terdapat dalam surat al-Baqarah ayat 230:
ُ
ُ ُ ُ ُ ُ ُ ُ ُ ُ ُ ُ ُ ُ ُ ُ ُ ُ ُ ُ ُ ُ ُ ُ ُ ُ ُ ُ ُ ُ ُ ُ ُُُTalak (yang dapat dirujuk) itu dua kali. (setelah itu suami dapat) menahan dengan baik, atau melepaskan dengan baik. Tidak halal bagi kamu mengambil kembali sesuatu yang telah kamu berikan kepada mereka, kecuali keduanya (suami dna istri) khawatir tidak mampu menjalankan hukum-hukum Allah. Jika kamu (wali) khawatir bahwa keduanya tidak mampu
1Abdul Rahman Ghozali, Fiqh Munakahat, (Jakarta: Kencana, 2010), 7.
menjalankan hukum-hukum Allah, maka keduanya tidak berdosa atas bayaran yang (harus) diberikan (oleh istri) untuk menebus dirinya. Itulah hukum-hukum Allah, maka janganlah kamu melanggarnya. Barang siapa melanggar hukum-hukum Allah, mereka itulah orang-orang dzalim.2
Maksud dari kata ‚nikah‛ dalam ayat ini adalah bersetubuh3 dan bukan
hanya sekedar akad nikah karena ada petunjuk dari hadis Nabi bahwa setelah akad nikah dengan laki-laki kedua, perempuan itu belum boleh dinikahi oleh mantan suaminya kecuali suami yang kedua telah merasakan nikmatnya hubungan kelamin dengan perempuan tersebut.
Adapun dalam al-Quran terdapat pula kata nikah dengan arti akad, yaitu terdapat dalam surat an-Nisa’ ayat 22:
ُ ُ ُ ُ ُ ُ ُ ُ ُ ُ ُ ُ ُ ُ ُ ُ ُ ُ ُ ُُ
Dan janganlah kamu menikahi perempuan-perempuan yang telah dinikahi oleh ayahmu, kecuali (kejadian pada masa) yang telah lampau. Sungguh, perbuatan itu sangat keji dan dibenci (oleh Allah) dan seburuk-buruk jalan (yang ditempuh).4
Ayat tersebut mengandung arti bahwa perempuan yang dinikahi oleh ayah itu haram dinikahi, dengan semata karena ayah telah melangsungkan
2Kementerian Agama RI, al-Qur’an dan Tafsirnya, (Jakarta: Widya Cahaya, 2011), 336.
3 M. Shaleh al-Utsaimin dan A. Aziz Ibn Muhammad Dawud, Pernikahan dalam Islam, Dasar Hukum
Hidup Berumah Tangga, (Surabaya: Risalah Gusti, 1996), 28.
akad nikah dengan perempuan tersebut, meskipun diantara keduanya belum berlangsung hubungan kelamin.5
Terkait dengan arti dari kata nikah terdapat perbedaan pendapat di antara ulama’. Ulama’ Sha@fi’iyah berpendapat bahwa kata nikah berarti akad dalam arti yang sebenarnya (hakiki), yang mengatakan:
ُ د ق ع
ُ
ُ م ض ت ي
ُ نُ
ُ ة حا ب إ
ُ
ُ ء ط و لا
ُ
ُ ظ ف ل ب
ُ
ُ حا ك ن أا
ُ
ُ ج ي و ز تلا و ا
6Akad atau perjanjian yang mengandung maksud membolehkan hubungan kelamin dengan menggunakan lafad na-ka-ha atau zawaja.
Sedangkan dapat juga berarti untuk hubungan kelamin untuk arti yang bukan sebenarnya (majazi). Sebaliknya, ulama’ H{ana@fiyah berpendapat bahwa kata ini mengandung arti secara hakiki untuk hubungan kelamin, berarti pula untuk yang lainnya seperti untuk akad adalah dalam arti majazi yang memerlukan penjelasan untuk maksud tersebut. Ulama’ H{ana@bilah berpendapat penunjukan kata nikah untuk kemungkinan tersebut adalah dalam arti sebenarnya sebagaimana terdapat dalam dua contoh ayat yang disebutkan sebelumnya.7
Menurut Hazairin inti perkawinan adalah hubungan seksual. Menurutnya tidak ada nikah (perkawinan) bilamana tidak ada hubungan seksual diibaratkan bila tidak ada hubungan seksual antara suami istri, maka
5
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, 36.
6
Jala@luddi@@n al-Mahally, Syarh Minhaj al-Tha@libi@n, (Beirut: Dar Ihya@ al-Kutub al-Kubra,tt), 206.
7
tidak perlu ada tenggang waktu menunggu (‘iddah) untuk menikahi lagi
bekas istri itu dengan laki-laki lain. Sedangkan menurut Ibrahim Hosen, nikah dalam arti sebenarnya dapat juga berarti akad dengannya menjadi halal hubungan kelamin antara pria dan wanita, sedang menurut arti lain adalah bersetubuh.8
Menurut pasal 1 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Rumusan pasal 1 Undang-undang Perkawinan ini bukan hanya memuat pengertian saja, tetapi juga mencantumkan tujuan dan dasar hukum perkawinan. Pengertian perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang laki-laki dan seorang perempuan sebagai suami istri, sedangkan tujuannya adalah membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Hal ini menunjukkan motivasi agama merupakan dasar bagi perkawinan dan oleh karenanya perkawinan dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya atau kepercayaan agamanaya itu. Kepercayaan ini bukan kepercayaan yang terlepas dari agama, melainkan kepercayaan yang berhubungan dengan agama atau dinamakan dengan kepercayaan agamanya. Sehubungan dengan itu, dalam pasal 2 ayat (1) Undang-undang Perkawinan
dinyatakan bahwa perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum agamanya atau kepercayaan agamanya masing-masing.9
Berdasarkan pengertian tersebut maka unsur-unsur perkawinan adalah: a. Ikatan lahir batin,
b. Antara seorang pria dan wanita, c. Sebagai suami istri,
d. Membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal, e. Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Undang-undang No. 1 Tahun 1974 dan hukum Islam memandang bahwa perkawinan itu tidak hanya dilihat aspek formal semata, tetapi juga dilihat dari aspek agama dan sosial. Aspek agama menetapkan tentang keabsahan perkawinan, sedangkan aspek formal menyangkut aspek administratif, yaitu pencatatan di KUA dan pencatatan sipil. Pelaksanaan perkawinan diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 dan Peraturan Menteri Agama No. 3 dan 4 Tahun 1975. Bab II pasal 2 (1) PP No. 9 Tahun 1975 pencatatan perkawinan dari mereka yang melangsungkan menurut agama Islam dilakukan dilakukan oleh pegawai pencatat perkawinan sebagaimana Undang-undang No. 32 Tahun 1954 tentang pencatatan talak dan rujuk.
9 Rachmadi Usman, Aspek-aspek Hukum Perorangan dan Kekeluargaan di Indonesia, (Jakarta: Sinar
Sebagai negara yang berdasarkan Pancasila dimana sila pertamanya adalah Ketuhanan Yang Maha Esa, maka perkawinan mempunyai hubungan yang erat sekali dengan agama/kerohanian, sehingga perkawinan bukan saja mempunyai unsur lahir/jasmani, tetapi unsur batin/rohani juga mempunyai peranan yang penting.10
2. Rukun dan Syarat Perkawinan
Rukun dan syarat menentukan suatu perbuatan hukum, terutama yang menyangkut dengan sah atau tidaknya perbuatan tersebut dari segi hukum. Kedua kata tersebut mengandung arti yang sama yaitu keduanya merupakan sesuatu yang harus diadakan. Dalam suatu perkawinan rukun dan syarat tidak boleh tertinggal, dalam artian bila rukun dan syarat tidak ada atau tidak lengkap, maka perkawinan tersebut tidak sah. Rukun adalah sesuatu yang berada di dalam hakikat dan merupakan bagian atau unsur yang mewujudkannya, sedangkan syarat adalah sesuatu yang berada di luarnya dan tidak merupakan unsur. Syarat ada yang berkaitan dengan rukun dalam arti syarat yang berlaku untuk setiap unsur yang menjadi rukun. Ada pula syarat itu berdiri sendiri dalam arti tidak merupakan kriteria dari unsur-unsur rukun.11
10 Mohd. Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam, 3.
Rukun perkawinan secara lengkap adalah sebagai berikut: a. Adanya suami dan istri yang akan melakukan perkawinan. b. Adanya wali dari pihak calon pengantin wanita.
c. Adanya dua orang saksi. d. S{igat akad nikah.12
Menurut jumhur Ulama’ rukun perkawinan ada lima dan masing-masing rukun mempunyai syarat-syarat tertentu, sebagai berikut:
a. Calon suami, syarat-syaratnya: 1) Beragam Islam,
2) Laki-laki, 3) Jelas orangnya,
4) Dapat memberikan persetujuan, 5) Tidak terdapat halangan perkawinan. b. Calon istri, syarat-syaratnya:
1) Beragama Islam, 2) Perempuan, 3) Jelas orangnya,
4) Dapat dimintai persetujuan,
5) Tidak terdapat halangan perkawinan. c. Wali nikah, syarat-syaratnya:
1) Laki-laki, 2) Dewasa,
3) Mempunyai hak perwalian,
4) Tidak terdapat halangan perwalian. d. Saksi, syarat-syaratnya:
1) Minimal dua orang laki-laki, 2) Hadir dalam ijab qabul, 3) Dapat mengerti maksud akad, 4) Islam,
5) Dewasa.
e. Ijab dan Qabul, syarat-syaratnya adalah: 1) Adanya pernyataan mengawinkan dari wali,
2) Adanya pernyataan penerimaan dari calon mempelai,
3) Menggunakan kata-kata nikah, tazwij atau terjemahan dari kata-kata tersebut,
4) Antara ijab dan qabul bersambungan, 5) Antara ijab dan qabul jelas maksudnya,
6) Orang yang terkait dengan ijab dan qabul tidak sedang ihram haji dan umrah,
dua orang saksi.13
Undang-undang Perkawinan sama sekali tidak membahas tetang rukun perkawinan. Undang-undang Perkawina hanya membicarakan syarat-syarat perkawinan, yang mana syarat-syarat tersebut lebih banyak berkenaan dengan unsur-unsur atau rukun perkawinan yaitu terdapat pada pasal 6 dan 7 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974. Sedangkan KHI secara jelas mencantumkan rukun perkawinan sebagaimana yang terdapat dalam pasal 14 yang keseluruhan rukun tersebut mengikuti madhab Sha@fi’i dengan tidak memasukkan mahar dalam rukun.
Rukun dan syarat perkawinan tersebut wajib dipenuhi, apabila ada yang tidak terpenuhi maka perkawinannya tidak sah. Dalam kitab Fiqh ‘ala al-Madhahib al-Arba’ah disebutkan bahwa nikah fasid adalah nikah yang tidak memenuhi syarat-syaratnya, sedangkan nikah bathil adalah nikah yang tidak memenuhi rukunnya dan hukum nikah fasid dan nikah bathil adalah tidak sah.14
13 Ahmad Rafiq, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, (Jakarta: Rajawali Pers, 1998), 71.
14 Abdurrahman al-Jaziry, al-Fiqh ‘ala al-Mazha@hib al-Arba’ah, Juv IV,(Beirut: Dar al-Fikr, 1982),
B. Pembatalan Perkawinan
1. Perspektif Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
Apabila terjadi suatu perkawinan yang tidak memenuhi syarat-syarat pada pasal 22-28 UU No. 1 Tahun 1974, berarti perkawinan ini batal. Akan tetapi, karena perkawinan tersebut telah dilaksanakan, menurut Undang-undang Perkawinan, pada prinsipnya perkawinan dapat dibatalkan, apabila para pihak tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan sebagaimana terdapat dalam pasal 22 UU No. 1 Tahun 1974.15
Undang-undang No.1 Tahun 1974 tentang perkawinan dan Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 tidak secara tegas menyatakan adanya pembatalan perkawinan yang batal demi hukum maupun yang dapat dibatalkan, hanya saja ada pasal-pasal yang mengatur tentang batalnya perkawinan dan tata cara permintaan pembatalan perkawinan serta alasan-alasan yang diperbolehkan mengajukan pembatalan perkawinan yaitu pasal 22 sampai pasal 28 Undang-undang Perkawinan. Adapun substansi dalam praktik pembatalan perkawinan yang diajukan ke Pengadilan Agama adalah kurangnya rukun dan syarat-syarat yang diperlukan untuk sahnya suatu perkawinan.16
15 Sudarsono, Hukum Perkawinan Nasional, (Jakarta: Rineka Cipta, 1991), 106.
Dengan demikian, secara tersirat dapat diketahui bahwa pembatalan perkawinan yang batal demi hukum maupun yang dapat dibatalkan diakui eksistensinya dalam Undang-undang Perkawinan dan Peraturan Pelaksanaannya, meskipun tidak secara tegas dinyatakan bahwa perkawinan yang batal demi hukum dan perkawinan dapat dibatalkan merupakan suatu institusi yang berdiri sendiri. Hal ini dapat diketahui dengan banyaknya pasal-pasal dalam kedua perundang-undangan tersebut menggunakan kata-kata pembatalan perkawinan yang substansinya adalah sama dengan ketentuan perkawinan yang batal demi hukum dan perkawinan yang dapat dibatalkan.17
Terdapat kesan pembatalan perkawinan ini terjadi karena tidak adanya fungsi pengawasan dari pihak keluarga maupun pejabat yang berwenang, sehingga perkawinan tersebut tetap terlaksana walaupun pada akhirnya ditemukan pelanggaran terhadap Undang-undang No. 1 Tahun 1994 tentang perkawinan maupun hukum perkawinan Islam. Setelah hal ini terjadi, maka Pengadilan Agama dapat membatalkan perkawinan tersebut. Adapun pihak-pihak yang dapat mengajukan pembatalan perkawinan menurut UU tentang perkawinan adalah para keluarga pada garis lurus ke atas dari suami atau istri
dan orang-orang yang memiliki kepentingan langsung terhadap perkawinan tersebut.18
Adapun hikmah dibolehkannya pembatalan perkawinan adalah memberikan kemaslahatan kepada umat manusia yang telah dan sedang menempuh hidup berumah tangga. Dalam masa perkawinan mungkin ditemukan hal-hal yang tidak memungkinkan keduanya mencapai tujuan perkawinan, yaitu kehidupan sakinah, mawaddah, dan rahmah, atau perkawinan itu akan merusak hubungan antar keduanya atau dalam masa perkawinannya itu ternyata bahwa keduanya mestinya tidak mungkin melakukan perkawinan, namun kenyataannya telah terjadi. Hal-hal yang memungkinkan mereka keluar dari kemelut itu adalah perceraian.19
2. Perspektif Kompilasi Hukum Islam
Sehubungan dengan sahnya perkawinan, selain harus memenuhi syarat-syarat dan rukun perkawinan perlu diperhatikan juga ketentuan-ketentuan yang ada dalam hukum perkawinan Islam. Apabila di kemudian hari ditemukan penyimpangan terhadap syarat perkawinan maka perkawinan tersebut dapat dibatalkan. Pembatalan perkawinan dalam hukum Islam disebut fasakh yang artinya merusakkan atau membatalkan. Jadi fasakh
18 Ahmad Rafiq, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, 71.
19
sebagai salah satu sebab putusnya perkawinan adalah merusakkan atau membatalkan hubungan perkawinan yang telah berlangsung.20 Fasakh disebabkan oleh dua hal, yaitu:
a. Disebabkan oleh adanya hal-hal yang membatalkan akad nikah yang dahulunya tidak/belum diketahui,
b. Disebabkan salah satu pihak menemui cela pada pihak lain atau merasa tertipu atas hal-hal yang belum diketahui sebelum berlangsungnya perkawinan.21
Pembatalan perkawinan diatur dalam pasal 70 sampai 76 Kompilasi Hukum Islam. Pasal 70 sampai pasal 72 menegaskan tentang alasan-alasan pembatalan perkawinan. Permohonan pembatalan perkawinan menurut pasal 74 Kompilasi Hukum Islam dapat diajukan kepada Pengadilan Agama yang mewilayahi tempat tinggal suami atau istri atau tempat perceraian dapat dilangsungkan. Disebutkan juga dalam pasal ini bahwa batalnya suatu perkawinan dimulai setelah putusan Pengadilan Agama mempunyai kekuatan hukum tetap dan berlaku sejak saat berlangsungnya perkawinan.22
20 Ahmad Azhar Basyir, Hukum Perkawinan Islam, (Yogyakarta: UII Press, 2000), 85.
21 Soemiyati, Hukum Perkawinan Islam dan Undang-undang Perkawinan, (Yogyakarta: Liberty,
2007), 113.
22
C. Sebab-sebab Pembatalan Perkawinan
Istilah ‚batal‛nya perkawinan dalam pasal 22 UU No. 1 Tahun 1974 bahwa perkawinan dapat dibatalkan apabila para pihak tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan dapat menimbulkan kesalahpahaman, karena terdapat beragam pengertian terkait batal (nietig) tersebut. Batal berarti nietig zonder kracht (tidak ada kekuatan), zonder waarde (tidak ada nilai). Dapat dibatalkan berarti nietig verklaard, sedangkan absolute nietig adalah pembatalan mutlak.23
Istilah dapat dibatalkan dalam Undang-undang ini adalah dapat difasidkan jadi relatif nietig. Dengan demikian perkawinan dapat dibatalkan apabila sebelumnya telah terjadi perkawinan lalu dibatalkan karena terdapat pelanggaran terhadap aturan-aturan tertentu.24
Bagi perkawinan yang dilangsungkan secara Islam pengaturan pembatalan perkawinan lebih lanjut dimuat dalam pasal 27 Peraturan Menteri Agama RI Nomor 3 Tahun 1975 yang menyatakan apabila pernikahan telah berlangsung kemudian ternyata terdapat larangan menurut hukum munakahat atau peraturan perundang-undangan tentang perkawinan, Pengadilan Agama dapat membatalkan perkawinan tersebut atas permohonan pihak-pihak yang
23
Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia (Study Kritis Perkembangan Hukum Islam dan Fiqh, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 sampai Kompilasi Hukum Islam), 107.
berkepentingan. Dengan demikian suatu perkawinan dapat batal demi hukum dan bisa dibatalkan oleh Pengadilan.25
Undang-undang Perkawinan tidak menjelaskan secara langsung tentang perkawinan batal demi hukum. Sedangkan dalam Kompilasi Hukum Islam dijelaskan secara rinci dalam pasal 70 bahwa perkawinan batal apabila:26 1. Suami melakukan perkawinan sedangkan ia tidak berhak melakukan akad
nikah karena sudah mempunyai empat orang istri sekalipun salah satu dari keempat istrinya dalam iddah talak raj’i.
2. Seseorang menikahi bekas istrinya yang telah dili’annya.
3. Seseorang menikahi bekas istrinya yang pernah dijatuhi tiga kali talak olehnya, kecuali bekas istri tersebut pernah menikah dengan pria lain kemudian bercerai lagi ba’da ad-dukhul dari pria tersebut dan telah habis masa ‘iddahnya.
4. Perkawinan dilakukan antara dua orang yang mempunyai hubungan darah, semenda, dan sesusuan sampai derajat tertentu yang menghalangi perkawinan menurut pasal 8 Undang-undang No. 1 Tahun 1974, yaitu:
a. Berhubungan darah dalam garis keturunan lurus ke bawah atau ke atas, b. Berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping, yaitu saudara,
antara seseorang dengan saudara orang tua dan antara seorang dengan saudara neneknya,
c. Berhubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri, menantu dan ibu atau ayah tiri,
d. Berhubungan sesusuan, yaitu orang tua sesusuan, anak sesusuan, dan bibi atau paman sesusuan.
5. Istri adalah saudara kandung atau bibi atau kemenakan dari istri atau istri-istrinya.
Terkait alasan-alasan perkawinan yang dapat dibatalkan oleh Pengadilan Undang-undang No. 1 Tahun 1974 telah mengaturnya yaitu sebagai berikut: 1. Pasal 24:
25 Bahder Johan Nasution dan Sri Warjiati, Hukum Perdata Islam (Kompetensi Peradilan Agama
tentang Perkawinan, Waris, Wasiat, Hibah, Wakaf dan Shodaqoh), (Bandung: Mandar Maju, 1997), 26.
Barang siapa karena perkawinan masih terikat dirinya dengan salah satu dari kedua belah pihak dan atas dasar masih adanya perkawinan dapat mengajukan pembatalan perkawinan yang baru, dengan tidak mengurangi ketentuan pasal 3 ayat (2) dan pasal 4 UU Perkawinan.27
2. Pasal 26 (1):
Perkawinan yang dilangsungkan di muka pegawai pencacat perkawinan yang tidak berwenang, wali nikah yang tidak sah, atau dilangsungkan tanpa dihadiri oleh 2 orang saksi dapat dimintakan pembatalannya oleh para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dari suami atau istri, jaksa dan suami atau istri.28
3. Pasal 27 (1):
Seorang suami atau istri dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan apabila perkawinan dilangsungkan di bawah ancaman yang melanggar hukum.29
4. Pasal 27 (2):
Seorang suami atau istri dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan apabila pada waktu berlangsungnya perkawinan terjadi salah sangka mengenai diri suami atau istri.30
Pasal 24 dan 26 Undang-undang No. 1 Tahun 1974 ini dijelaskan dalam Kompilasi Hukum Islam dengan pasal 71 dan 72 dengan rumusan:
1. Pasal 71:
a. Seorang suami melakukan poligami tanpa izin Pengadilan Agama,
b. Perempuan yang dikawini ternyata kemudian diketahui masih menjadi istri pria lain yang mafqud,
c. Perempuan yang dikawini ternyata masih dalam masa ‘iddah dari suami lain,
d. Perkawinan yang melanggar batas umur perkawinan sebagaimana ditetapkan dalam pasal 7 Undang-undang No. 1 tahun 1974,
e. Perkawinan yang dilangsungkan tanpa wali atau dilaksanakan oleh wali
27
Undang-Undang RI No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan dan KHI, 9.
28Ibid. 29Ibid. 10.
30
yang tidak berhak,
f. Perkawinan yang dilaksanakan dengan paksaan.31 2. Pasal 72:
a. Seorang suami atau istri dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan apabila perkawinan dilakukan di bawah ancaman yang melanggar hukum,
b. Seorang suami atau istri dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan apabila pada waktu berlangsungnya perkawinan terjadi penipuan atau salah sangka mengenai diri suami atau istri,
c. Apabila ancaman telah berhenti, atau yang bersalah sangka itu menyadari keadaannya dan dalam jangka waktu 6 (enam) bulan setelah itu masih tetap hidup sebagai suami istri, dan tidak menggunakan haknya untuk mengajukan pembatalan, maka haknya gugur.32
D. Pihak yang Mengajukan Pembatalan Perkawinan
Pengajuan permohonan pembatalan perkawinan diajukan kepada
Pengadilan Agama dalam daerah hukum dimana perkawinan dilangsungkan
atau di tempat tinggal kedua suami istri, atau di tempat suami maupun di
tempat istri, berdasarkan permintaan pembatalan yang diajukan oleh salah
seorang dari:33
1. Keluarga para pihak dalam garis keturunan lurus ke atas dan ke bawah dari
suami atau istri,
31 Ibid. 344 32 Ibid.
33 Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam dan Penyelenggaraan Haji Departemen Agama
2. Suami atau istri,
3. Pejabat yang berwenang mengawasi pelaksanaan perkawinan menurut
Undang-undang,
4. Para pihak yang berkepentingan yang mengetahui adanya cacat dalam rukun
dan syarat perkawinan menurut hukum Islam dan menurut
perundang-undangan yang berlaku.
Sedangkan menurut ketentuan yang terdapat dalam pasal 73 Kompilasi
Hukum Islam yang dapat mengajukan pembatalan perkawinan adalah:34
1. Para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dan ke bawah dari suami atau istri,
2. Suami atau istri,
3. Pejabat yang berwenang mengawasi pelaksanaan perkawinan menurut Undang-undang,
4. Para pihak yang berkepentingan yang mengetahui adanya cacat dalam rukun dan syarat perkawinan menurut hukum Islam dan peraturan Perundang-undangan sebagaimana tersebut dalam pasal 67.
E. Akibat Hukum Pembatalan Perkawinan
Terkait dengan akibat hukum pembatalan perkawinan, hendaklah
dicermati terlebih dahulu permasalahan yang berkaitan dengan saat mulai
pembatalan perkawinan yang tercantum dalam pasal 28 (1), yang berbunyi:
Batalnya suatu perkawinan dimulai setelah keputusan Pengadilan Agama
34
mempunyai kekuatan hukum yang tetap, dan berlaku sejak saat berlangsungnya
perkawinan.
1. Terhadap Anak
Permasalahan yang berkenaan dengan akibat hukum pembatalan
perkawinan terhadap anak dimuat dalam pasal 28 (2) UUP, sebagai
berikut: Keputusan tidak berlaku surut terhadap (1) Anak-anak yang
dilahirkan dari perkawinan tersebut, (2) Suami atau istri yang bertindak
dengan iktikad baik, kecuali terhadap harta bersama, apabila pembatalan
perkawinan didasarkan atas adanya perkawinan lain yang lebih dahulu, (3)
Orang-orang ketiga lainnya yang tidak termasuk dalam a dan b sepanjang
mereka memperoleh hak-hak dengna iktikad baik sebelum keputusan
pembatalan perkawinan mempunyai kekuatan hukum tetap.35
Anak-anak yang dilahirkan dalam perkawinan yang telah dibatalkan
tidak berlaku surut, dengan demikian menurut Undang-undang Perkawinan
anak-anak ini dianggap sebagai anak sah meskipun salah seorang dari
orang tuanya atau keduanya mempunyai iktikad buruk.36 Hal ini
berdasarkan kemanusiaan dan kepentingan anak-anak yang tidak berdosa,
35
Undang-Undang RI No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan dan KHI, 10.
36 Wibowo Reksopradoto, Hukum Perkawinan Nasional Jilid II tentang Batal dan Putusnya
patut mendapatkan perlindungan hukum. Dan tidak seharusnya anak-anak
yang tidak berdosa harus menanggung akibat tidak mempunyai orang tua,
hanya karena kesalahan kedua orang tuanya. Sehingga menurut
Undang-undang Perkawinan anak-anak yang dilahirkan tersebut mempunyai status
hukum yang jelas sebagai anak sah dari kedua orang tunya yang
perkawinannya dibatalkan.
2. Terhadap Harta Bersama
beritikad buruk dan segala perjanjian perkawinan yang merugikan pihak yang beritikad baik dianggap tidak pernah ada.37
Pasal 35 ayat (1) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 disebutkan bahwa harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama. Dan di dalam Pasal 35 ayat (2) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 jo Pasal 87 ayat (1) Kompilasi Hukum Islam disebutkan bahwa harta bawaan dari masing-masing suami dan isteri dan harta yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan adalah dibawah penguasaan masing-masing, sepanjang para pihak tidak menentukan lain dalam perjanjian perkawinan. Jadi jika suatu perkawinan dibatalkan maka harta yang diperoleh selama perkawinan yang merupakan harta bersama pembagiannya diatur menurut hukumnya masing-masing.38
3. Terhadap Pihak Ketiga
Pasal 28 UU Perkawinan menyebutkan bahwa: Orang-orang ketiga lainnya tidak termasuk dalam a dan b sepanjang mereka memperoleh hak-hak dengan iktikad baik sebelum keputusan tentang pembatalan mempunyai kekuatan hukum tetap.39
37
R. Soetojo Prawirohamidjojo dan Marthalena Pohan, Hukum Orang dan Keluarga, (Surabaya: Airlangga University Press, 2008), 39.
38Undang-Undang RI No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan dan KHI, 249.
39
Terhadap pihak ketiga yang beritikad baik pembatalan perkawinan tidak mempunyai akibat hukum yang berlaku surut, jadi segala perbuatan perdata atau perikatan yang diperbuat suami isteri sebelum pembatalan perkawinan tetap berlaku, dan ini harus dilaksanakan oleh suami isteri tersebut, sehingga pihak ketiga yang beritikad baik tidak dirugikan. Misalnya istri mempunyai hutang karena membeli barang-barang rumah tangga sehari-hari, juga setelah perkawinan dinyatakan batal oleh hakim, maka pihak ketiga dapat menagih pembayarannya kepada suami.40
4. Terhadap Status Istri
Kompilasi Hukum Islam secara eksplisit menerangkan dua terminologi pembatalan perkawinan, yaitu perkawinan batal demi hukum dan perkawinan yang dapat dibatalkan. Adapun perkawinan batal demi hukum seperti yang termuat pada Pasal 70 yang meliputi:
a. Seorang suami melakukan poligami tanpa izin Pengadilan Agama.
b. Perempuan yang dikawini ternyata kemudian diketahui masih menjadi
istri pria lain yang mafqud.
c. Perempuan yang dikawini ternyata masih dalam masa ‘iddah dari
suami lain.
d. Perkawinan yang melanggar batas umur perkawinan sebagaimana
ditetapkan dalam pasal 7 Undang-undang No. 1 tahun 1974.
e. Perkawinan yang dilangsungkan tanpa wali atau dilaksanakan oleh
wali yang tidak berhak.
f. Perkawinan yang dilaksanakan dengan paksaan.
Sedangkan perkawinan yang dapat dibatalkan (relatif) seperti yang terdapat pada Pasal 71 yang meliputi:41
a. Seorang suami atau istri dapat mengajukan permohonan pembatalan
perkawinan apabila perkawinan dilakukan di bawah ancaman yang
melanggar hukum.
b. Seorang suami atau istri dapat mengajukan permohonan pembatalan
perkawinan apabila pada waktu berlangsungnya perkawinan terjadi
penipuan atau salah sangka mengenai diri suami atau istri.
c. Apabila ancaman telah berhenti, atau yang bersalah sangka itu
menyadari keadaannya dan dalam jangka waktu 6 (enam) bulan
setelah itu masih tetap hidup sebagai suami istri, dan tidak
menggunakan haknya untuk mengajukan pembatalan, maka haknya
gugur.
41
Menurut Subekti apabila perjanjian batal demi hukum artinya dari semula tidak pernah dilahirkan suatu perjanjian dan dengan demikian tidak pernah ada suatu perikatan. Tujuan para pihak yang melakukan perjanjian semacam itu yakni melahirkan perikatan hukum telah gagal. Jadi, tidak ada dasar untuk saling menuntut di muka hakim.42 Sedangkan perikatan yang dibatalkan berarti ketidakabsahannya berlaku sejak tanggal ada pembatalan. Berdasar penjelasan tersebut, status istri setelah perkawinannya dibatalkan ada perbedaan antara perkawinan tersebut dibatalkan karena alasan batal demi hukum atau perkawinan yang dapat dibatalkan. Perkawinan yang batal demi hukum berarti perkawinan tersebut dianggap tidak pernah ada, maka status istri dikembalikan kepada status semula atau perawan. Sedangkan apabila pembatalan perkawinan tersebut disebabkan karena perkawinan yang dapat dibatalkan, maka status istri menjadi janda karena ketidakabsahan perkawinan berlaku sejak tanggal ada pembatalan.
42
BAB III
PANDANGAN HAKIM PENGADILAN PASURUAN TENTANG STATUS ISTRI SETELAH PEMBATALAN PERKAWINAN
A. Gambaran Umum Pengadilan Agama Pasuruan 1. Letak Geografis Pengadilan Agama Pasuruan
Pengadilan Agama Pasuruan terletak di Jalan Ir. H. Juanda No. 11 A, wilayah hukumnya meliputi dua daerah, yaitu kabupaten dan kota Pasuruan.
Secara astronomi berkedudukan antara 7030’- 7040’ LS dan 112030’-
112055’BT. Batas wilayah administratif Kabupaten/Kota Pasuruan sebagai
berikut:
a. Sebelah Utara dengan Selat Madura,
b. Sebelah Timur dengan Kabupaten Probolinggo,
c. Sebelah Selatan dengan Kabupaten Malang,
d. Sebelah Barat Kabupaten Sidoarjo dan Kabupaten Pasuruan.
Berdasarkan dari sumber Badan Pusat Statistik Kota dan Kabupaten
Pasuruan jumlah penduduk wilayah hukum Pengadilan Agama Pasuruan
sebanyak 790.216 jiwa terdiri:
a. Penduduk yang beragama Islam berjumlah 763.616 jiwa.
b. Penduduk yang beragama Kristen berjumlah 7.092 jiwa.
c. Penduduk yang beragama Katolik berjumlah 3.532 jiwa.
d. Penduduk yang beragama Hindu berjumlah 13.761 jiwa.
e. Penduduk yang beragama Budha berjumlah 2.212 jiwa.
Adapun Daerah Kabupaten Pasuruan meliputi 13 Kecamatan terdiri
dari: Kecamatan Rejoso terdiri dari 15 desa, Kecamatan Lekok terdiri dari 11
desa, kecamatan Grati terdiri dari 15 desa, kecamatan Nguling terdiri dari 15
desa, kecamatan Kraton terdiri dari 25 desa, kecamatan Pohjentrek terdiri
dari 9 desa, kecamatan Kejayan terdiri dari 25 desa, kecamatan Puspo terdiri
dari 7 desa, kecamatan Gondangwetan terdiri dari 20 desa, kecamatan
Winongan terdiri dari 18 desa, kecamatan Lubang terdiri dari12 desa,
kecamatan Pasrepan terdiri dari 16 desa, kecamatan Tosari terdiri dari 8
desa. Daerah Kota Pasuruan meliputi 3 Kecamatan yang terdiri dari 34
Kelurahan, yakni:Kecamatan Bugul Kidul terdiri dari 13 kelurahan,
kecamatan Gadingrejo terdiri dari 11 kelurahan, kecamatan Purworejo terdiri
dari 10 kelurahan.
2. Wewenang Pengadilan Agama Pasuruan
Undang-undang No. 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.
Untuk melaksanakan tugas pokok tersebut, Pengadilan Agama Pasuruan mempunyai fungsi sebagai berikut:
a. Memberikan pelaksanaan teknis yustisial dan administrasi kepaniteraan bagi perkara tingkat pertama serta penyitaan dan eksekusi,
b. Memberika pelayanan di bidang administrasi perkara banding, kasasi, dan peninjauan kembali serta administrasi lainnya,
c. Memberikan pelayanan administrasi umum kepada semua unsur di lingkungan Pengadilan Agama (Umum, Kepegawaian, dan Keuangan kecuali biaya perkara).
d. Memberikan keterangan, pertimbangan dan nasehat tentang Hukum Islam pada instansi Pemerintah di daerah hukumnya serta memberikan keterangan itsbat kesaksian rukyatul hilal dalam penentuan awal bulan pada tahun Hijtiyah, sebagaimana diatur dalam pasal 52 ayat (1) UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama jo. Pasal 52A UU No. 3 Tahun 2006 tentang Peribahan atas UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama,
yang beragama Islam yang dilakukan berdasarkan Hukum Islam sebagaimana diatur dalam pasal 107 ayat (2) UU No, 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama,
f. Waarmerking Akta Keahliwarisan di bawah tangan untuk pengambilan deposito/tabungan, pensiunan dan sebagainya,
g. Melaksanakan tugas-tugas pelayanan lainnya seperti penyuluhan hukum, memberikan pertimbangan hukum agama, pelayanan riset/penelitian, pengawasan terhadap advokat/penasehat hukum dan sebagainya.
3. Landasan Hukum Pengadilan Agama Pasuruan
Pengadilan Agama Pasuruan dibentuk berdasarkan Stbl. Nomor: 152/1882, Ketetapan Raja No. 24 Tahun 1882 tentang Pembentukan Raad Agama/Pengadilan Agama Jawa dan Madura. Pengadilan Agama Pasuruan baru berdiri pada tahun 1950 berkantor di Masjid Jami’ Pasuruan dan sebagai ketua KH. Ahmad Rifai dengan jumlah karyawan 5 orang.
4. Visi dan Misi Pengadilan Agama Pasuruan a. Visi
b. Misi
1) Mewujudkan peradilan yang sederhana, cepat, biaya ringan dan transparansi,
2) Meningkatkan kualitas Sumber Daya Aparatur Peradilan dalam rangka peningkatan pelayanan pada masyarakat,
3)
Melaksanakan pengawasan dan pembinaan yang efektif dan efisien. B. Pandangan Hakim Pengadilan Agama Pasuruan tentang Status Istri SetelahPembatalan Perkawinan
Pembatalan perkawinan merupakan salah satu sebab putusnya perkawinan selain perceraian. Setelah adanya penetapan pembatalan perkawinan ada beberapa akibat hukum yang terjadi setelahnya, seperti status anak, harta bersama, hubungannya dengan pihak ketiga, masa ‘iddah, serta status istri setelah perkawinannya dibatalkan. Akan tetapi masyarakat kurang memahami dengan akibat hukum setelah pembatalan perkawinan khususnya tentang status istri setelah pembatalan perkawinan karena Undang-undang belum mengatur tentang status istri tersebut.
definisi perkawinan serta sebab pembatalan perkawinan yang batal demi hukum maupun perkawinan yang dapat dibatalkan.
Menurut hakim Moh. Hosen terminologi pembatalan perkawinan dibagi menjadi dua, yaitu pembatalan perkawinan yang batal demi hukum dan dapat dibatalkan. Perkawinan batal demi hukum adalah perkawinan yang dilaksanakan oleh seorang laki-laki dengan perempuan tetapi salah satu rukun yang ditetapkan oleh syara’ tidak terpunuhi. Sedangkan perkawinan yang dapat dibatalkan adalah perkawinan yang dilakukan oleh seorang laki-laki dengan seorang perempuan tetapi salah satu syarat perkawinan yang ditentukan oleh syara’ tidak terpenuhi. Tetapi beliau berpendapat bahwa dalam praktik di Pengadilan Agama hanya ada satu