BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah
Sebagai proses yang dinamis, identitas tidak dapat dilepaskan dari sejarah atas identitas itu sendiri. Identitas kekinian merupakan cerminan sejarah. Berangkat dari aspek identitas ini peneliti mencoba untuk mengkaji bagaimana identitas kejawaan masyarakat kota Solo dilihat sebagai salah satu strategi city bra nding oleh pemerintah kota Solo. Dalam sebuah perkembangan peradaban, kebudayaan dalam suatu masyarakat selalu memiliki beberapa karakter untuk melihat ciri khas serta nilai lebih yang dilihat dari sebuah masyarakat. Di kota Solo, pemerintah kota mencoba melihat beberapa karakter yang menjadi ciri khas dari kota Solo. Mulai dari “Solo the Spirit of Java”, “Solo Kota Budaya”, hingga “Solo City of Batik”. Semua slogan ini merupakan sebuah upaya Pemerintah Kota untuk melakukan strategi Branding. Semua ini dimaksudkan supaya Solo memiliki nilai jual kepada Dunia dengan memiliki beberapa karakter kota Solo yang ditonjolkan.
(Castells 2002:89) merumuskan tiga bentuk bangunan / konstruksi identitas berdasarkan bentuk dan asal-usulnya yaitu, legitimizing identity (identitas yang sahih), resistance identity (identitas perlawanan), dan project identity. Dalam proses pembentukan identitas Solo Kota Festival dalam strategi city branding yang dilakukan oleh pemerintah kota Solo, dalam bentuk legitimizing identity yaitu, menggambarkan identitas Solo Kota Festival dan usaha pelestarian yang dilakukan oleh pemerintah kota Solo melalui stategi city branding.
Dalam konteks Sosial Budaya, Solo dikenal sebagai kota budaya, karena merupakan pusat kebudayaan jawa yang sarat dengan nilai-nilai sosial yang melatar belakangi berbagai perilaku dan sikap dalam aktualisasi kehidupan masyarakat sebagai potensi dan modal dalam pembangunan ekonomi, sosial, budaya dan politik yang memiliki pengaruh luas dalam tatanan pergaulan secara nasional. Solo sendiri, bukanlah definisi yang selesai. Bahkan juga dalam kepentingan geografis sekali pun. Ia bisa berarti “hanya” seluas pemerintah kota Surakarta, atau berikut kabupaten-kabupaten yang mengitari, atau bahkan lebih luas dari itu semua, yaitu Jawa. Jika di kaitkan dengan budaya maka akan menjadi lebih menarik.
pulang ke Solo?” pun seolah menegaskan bahwa sekalipun dengan pergantian kartu tanda penduduk dan waktu yang telah menahun pun tak membuatnya menjadi bukan “wong solo” lagi. Hal ini ternyata bisa dikatakan menjadi salah satu ciri sikap masyarakat Solo. (Arswendo Atmowiloto, 2008: 15)
Dalam perkembangannya, Pemerintah Kota Surakarta mulai menyadari akan pentingnya sebuah nilai nilai kebudayaan yang merupakan identitas bagi masyarakat Surakarta. Oleh sebab itu Pemerintah Kota Surakarta melakukan upaya-upaya untuk membangun kembali nilai nilai yang seharusnya menjadi dasar atau landasan bagi sebuah
masyarakat yang sadar budaya, sesuai dengan slogan yang Pemerintah Kota Surakarta selalu ungkapkan: “Solo Kota Budaya”. Dalam suatu masyarakat diperlukan sebuah identitas yang menunjukkan jati diri serta kepribadian suatu masyarakat. Identitas berarti membuat sesuatu menjadi identik atau sama; mengakui keberadaan sesuatu yang dilihat, diketahui,
digambarkan; menghubungkan atau membuat sesuatu menjadi lebih dekat. (Allo Liliweri, 2007: 69)
Konsep komunikasi yang di masyarakat luar negeri dicoba dengan susah payah, konsep to whom I must speak today, kepada siapa saya berbicara hari ini, ternyata sudah menjadi bagian dalam kehidupan keseharian. (Kitab Solo, 2008: 19) Konsep ini Pemerintah Kota Solo mencoba untuk menerapkannya dalam berkomunikasi dan berdiskusi mengenai perkembangan baik infrastruktur kota Solo serta kehidupan sosial di masyarakat. Ketika Pemerintah Kota Solo mencetuskan pemikiran untuk menjadikan Solo sebagai Kota Budaya, Pemerintah pun melakukan upaya-upaya untuk mengkomunikasikan sebuah gagasan “Solo Kota Budaya”.
Selama di bawah kepemimpinan Joko Widodo (Jokowi), Kota Solo mengalami perubahan pesat. Berbagai sarana dan prasarana kebutuhan kota dibangun mulai city walk, pusat jajanan kuliner malam Gladak Langen Boga (Galabo), taman kota, apartemen, mal, serta penyediaan moda transportasi massal (Bus Batik Solo Trans dan railbus) dan bus tingkat
pariwisata. Secara tidak langsung, Kota Solo sedang berproses menjadi kota metropolis. Maraknya fasilitas atau infrastruktur kosmopolitan sebagai penanda kota metropolis berpengaruh terhadap citra identitas yang diinginkan bersama. Cepat atau lambat hal ini melahirkan branding baru. Solo Kota Budaya, Solo Kota Vokasi, Kota Bunga, dan bahkan
metropolis. Dampak ini akan menyatu dengan alam pikiran bawah sadar masyarakat Solo. (Suara Merdeka, 26/2/2011)
Kalangan seniman dan budayawan di Solo mengkritik bahwa aspek kultural kini makin pudar. Kesan keramahan fasilitas umum juga makin berkurang karena pembatasan tata ruang yang menjadikan kotanya kaku. Bahkan, doktor sosiologi dari UNS, Mahendra Wijaya, mengatakan kalangan muda di Solo saat ini mengalami gegar budaya. Indikatornya makin sedikit anak muda yang mengenal dan nguri-uri budaya Jawa dalam kehidupan sehari-hari (Solopos, 17/02/11)
Upaya pemerintah dalam konteks pelesatrian budaya disalurkan lewat festival-festival seni budaya yang diselenggarakan di Kota Solo. Pemerintah ingin menunjukkan identitas kota Solo sebagai Kota Festival. Tetapi bila di tinjau lebih dalam lagi, jika hal itu hanya
bertujuan komersil tanpa adanya usaha pelestarian maka upaya ini hanya akan menjadi komoditi pariwisata. Ada ranah ekonomi di balik upaya pemerintah. Sebagai generasi muda yang lebih peka dan kritis kita harus dapat menjaga seluruh aktivitas budaya yang dilakukan oleh seluruh masyarakat, demi terwujudnya cita-cita bersama untuk dapat menjadikan kota Solo sebagai salah satu kota tujuan pariwisata dengan menonjolkan festival-festival seni budaya sebagai daya tariknya. Festival-fstival seni budaya ini tentunya membuka ruang adanya transkulturasi budaya karena kesenian yang ditampilkan ditiap event merupakan kesenian secara global, tak hanya kesenian nasional akan tetapi juga kesenian yang bersifat internasional.
1.2Rumusan Masalah
Bagaimana strategi Pemkot Solo dalam pembentukan city branding sebagai Kota Festival ?
1.3 Tujuan Penelitian
Untuk mengetahui strategi Pemkot Solo dalam pembentukan city branding sebagai Kota Festival.
1.4 Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memperluas kajian ilmu komunikasi mengenai teori identity formation jika dikaji melalui ilmu komunikasi serta city branding sebagai salah satu kajian dalam ilmu komunikasi.
Manfaat Praktis: