EFEKTIVITAS MEDIASI DALAM PROSES PENYELESAIAN
SENGKETA WARIS DI PENGADILAN AGAMA BANGIL PADA
TAHUN 2010-2014
SKRIPSI Oleh M. Hisyam Asy’ari
NIM: C01211053
Universitan Islam Negeri Sunan Ampel Fakultas Syariah dan Hukum
Jurusan Hukum Perdata Islam Prodi Ahwal-Alsyahsiah Surabaya
ABSTRAK
Skripsi ini merupakan hasil peneltian lapangan tentang “Efektivitas Mediasi Dalam Penyelesaian Sengketa Waris Di Pengadilan Agama Bangil Pada Tahun 2010-2014”. Penelitian ini bertujuan untuk menjawab dua pertanyaan. Pertama, Bagaimana pelaksanaan perkara yang dimediasi di Pengadilan Agama Bangil. Kedua, Bagaimana Efektifitas mediasi dalam proses penyelesaian sengketa waris di Pengadilan Agama Bangil.
Penelitian ini merupakan penelitian lapangan (field research) karena data yang digunakan dalam penelitian ini, diperoleh dari masyarakat melalui proses dokumentasi dan wawancara. Sumber data dalam penelitian ini ada dua yaitu sumber langsung atau primer dan sumber skunder. Setelah data terkumpul kemudian dianalisis dengan menggunakan metode deskriptif analisis dengan menggunakan pola pikir deduktif.
Hasil penelitian ini menyimpulan bahwa pelaksanaan proses mediasi di Pengadilan Agama Bangil masih belum dikatakan optimal, hal ini bisa dilihat dari temuan lapangan yakni dari minimnya wakut mediasi, belum adanya tenaga mediator independent, serta masih minimnya tingkat keberhasilan mediasi, untuk itu bisa dinyatakan bahwa proses mediasi pada perkara waris di Pengadilan Agama Bangil belum berjalan efektif, hal ini dibuktikan dengan adanya perkara waris yang berjumlah 4 kasus dalam kurun waktu 5 tahun (2010-2014), tidak ada satupun kasus yang berhasil dalam proses mediasi, hingga keempat kasus tersebut harus berlanjut ke dalam proses litigasi, Sedangkan kendala dalam melaksanakan mediasi adalah a) terbatasnya jumlah hakim untuk melaksanakan mediasi, b) lemahnya pengetahuan para pihak yang bersengketa mengenai keuntungan mediasi, c) terbatasnya waktu yang digunakan oleh mediator dalam melaksanakan mediasi, d) tingkat kerumitan problem yang harus dipecahkan.
DAFTAR ISI
SAMPUL DALAM ... i
PERNYATAAN KEASLIAN ... ii
PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iii
PENGESAHAN ... iv
ABSTRAK ... v
KATA PENGANTAR ... vi
DAFTAR ISI ... ix
DAFTAR TABEL ... xvii
DAFTAR TRANSLITERASI ... xii
BAB I PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Identifikasi Masalah ... 10
C. Batasan Masalah ... 11
D. Rumusan Masalah ... 11
E. Kajian Pustaka ... 11
F. Tujuan Penelitian ... 14
G. Manfaat Hasil Penelitian ... 14
H. Definisi Operasional ... 15
I. Metode Penelitian ... 16
J. Sistematika Pembahasan ... 21
2. Latar Belakang Lahirnya Proses Mediasi ... 28
3. Mediasi Versi PERMA No. 1 Tahun 2008 ... 32
4. Ruang Lingkup Mediasi ... 38
5. Manfaat Dan Tujuan Mediasi ... 41
BAB III HASIL PENELITIAN ... A. Kompetensi Absolut dan Relatif Pengadilan Agama Bangil 1. Sejarah dan Profil PA Bangil ... 43
2. Kompetensi Absolut dan Relatif Pengadilan Agama Bangil ... 45
B. Proses Pelaksanaan Mediasi Pada Perkara Waris di Pengadilan Agama Bangil ... 49
1. Fasilitas Mediasi di Pengadilan Agama Bangil ... 51
2. Tenaga mediator di Pengadilan Agama Bangil ... 52
3. Para Pihak ... 53
4. Proses Mediasi ... 54
5. Perkara Waris di Pengadilan Agama Bangil ... 57
6. Kendala Mediasi Pada Perkara Kewarisan di Pengadilan Agama Bangil ... 62
BAB IV ANALISIS DATA ... A. Analisis Terhadap Pelaksanaan Upaya Mediasi Dalam Proses Penyelesaian Sengketa Waris di Pengadilan Agama Bangil ... 65
1. Analisis Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2008 Tentang Mediasi 2. Analisis Terhadap Pelaksanaan Upaya Mediasi Dalam Proses Penyelesaian Sengketa Waris di Pengadilan Agama Bangil ... 70
B. Analisis Efektivitas Mediasi Dalam Proses Penyelesaian Sengketa Waris di Pengadilan Agama Bangil... 78
BAB V PENUTUP ...
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Manusia diciptakan oleh Allah sebagai makhluk sosial, makhluk yang
memerlukan interaksi guna memenuhi berbagai macam kebutuhannya, tipikal
ini mendorong manusia untuk selalu berinteraksi dan menjalin relasi sebagai
wujud saling membutuhkan antar sesama. Saling membutuhkan itu
menimbulkan unsur-unsur dan nilai-nilai yang harus dijunjung tinggi untuk
mencapai rasa aman antar manusia, berbagai macam nilai senantiasa harus
diperhatikan, seperti halnya nilai keadilan, ketertiban dan keamanan1, dalam
hal ini, hukum juga berfungsi sebagai alat pengikat guna keberlangsungan
interaksi personal maupun kelompok.
Konsekuensi logis dari hubungan baik antar individu maupun
kelompok menjadikan hukum memiliki fungsi sebagai Moral,2 meski disetiap
interaksi sering kali menimbulkan gesekan-gesekan yang menimbulkan
konflik antar sesama, munculnya konflik ini sudah merambah hampir di
segala aspek, baik kaitannya dengan harga diri, perkawinan, bahkan hingga
masalah waris. Keberadaan konflik atau masalah antar manusia juga
mengilhami lahirnya keinginan untuk mengakhiri atau menyelesaikan konflik
atau perselisihan di antara mereka.
1 Munir Fuady, Teori-teori dalam Sosiologi Hukum, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group,2011), IX.
2
Dalam upaya menyelesaikan konflik atau perkara-perkara antara
manusia dalam suatu kelompok memerlukan suatu lembaga peradilan.
Keberadaan peradilan disini memang mutlak diperlukan, karena setiap orang
dengan yang lain memungkinkan sekali terjadi suatu perkara dalam kelompok
dan persengketaan itu harus ada yang mendamaikan, sehingga tidak salah
kalau ditanyakan keberadaan lembaga peradilan dalam suatu kelompok itu
hukumnya fardhu kifayah.3
Para sahabat Nabi saw menetapkan bahwa diantara hal-hal yang
ditetapkan oleh agama adalah mendirikan peradilan, mereka menetapkan
bahwa peradilan itu adalah :
4
Peradilan merupakan tugas suci yang diakui oleh seluruh bangsa baik
negara maju maupun belum, karena, di dalam peradilan mengandung makna
untuk menyuruh kepada hal yang makruf dan mencegah hal yang mungkar,
menyampaikan hak kepada yang menerimanya dan menghalangi orang yang
lalim serta mewujudkan perbaikan umum, dengan peradilan, perdamaian bisa
ditegakkan, maka jiwa, harta dan kehormatan akan terlindungi begitu juga
sebaliknya apabila peradilan tidak terdapat dalam masyarakat, maka
perdamaian mustahil akan tercapai 5
3 Zain Ahmad Noeh, Pengadilan Agaam Islam di Indonesia, (Jakarta: CV Haji
Masagung,2006), i.
4 T.M Hasby Ash Shiddieqy, Peradilan dan Hukum Acara Islam, (Bandung: Fokus
3
Eksistensi peradilan di Indonesia telah dikemukakan dalam berbagai
peraturan perundang-undangan, terutama sejak berlakunya undang-undang
Nomor 14 Tahun 1970. \ Pasal 1 dalam Undang-undang ini dinyatakan “
Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan Negara untuk menyelenggarakan
peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, demi
terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia”. Selanjutnya dalam
pasal 10 ayat 1 disebutkan “Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh pengadilan
dalam lingkup :
a. Peradilan Umum
b. Peradilan Agama
c. Peradilan Militer
d. Peradilan Tata Usaha Negara
Sebagai salah satu penyelenggara kekuasaan kehakiman, Peradilan
Agama adalah peradilan Negara yang sah, disamping sebagai peradilan
khusus yakni peradilan Islam di Indonsia yang diberi wewenang oleh
peraturan perundang-undangan Negara, untuk mewujudkan hukum material
Islam dalam batas-batas kekuasaaannya.
Setelah terbitnya UU no 7 Tahun 1989, yang mulai berlaku sejak
tanggal diundangkan (29 Desember), maka Hukum Acara Peradilan Agama
menjadi konkrit, pasal 54 dari UU tersebut berbunyi :
“Hukum acara yang berlaku pada pengadilan dalam lingkungan
4
peradilan umum kecuali yang telah diatur secara khusus dalam
undang-undang ini.”
Menurut pasal di atas, Hukum Acara Peradilan Agama bersumber
(garis besarnya) kepada dua aturan, yaitu (1) yang terdapat dalam UU No 7
Tahun 1989, dan (2) yang berlaku di lingkungan peradilan umum lainnya :
HIR RBg, RBv, BW, UU Nomor 2 Tahun 1986 tentang peradilan Umum dan
Peraturan Perudang-undangan lainnya.6
Sistem peradilan kita terdapat saluran yang bisa digunakan oleh
masyarakat agar sengketa bisa diselesaikan secara sederhana, cepat, dan
biaya ringan sebagaimana yang diamanatkan dalam Undang-undang No 4
Tahun 2004 pasal 4 ayat 2 yaitu melalui lembaga perdamaian (dading), dalam
Pasal 1851 KHUperdata juga dinyatakan:
“Perdamaian adalah suatu persetujuan dimana kedua belah pihak
dengan menyerahkan, menjanjikan atau menahan suatu barang, mengakhiri
suatu perkara yang bergantung atau mencegah timbulnya perkara”.
Bentuk perdamaian yang dikenal dalam lingkup Peradilan adalah
mediasi. Mediasi adalah suatu proses penyelesaian sengketa antara dua pihak
atau lebih melalui perundingan atau cara mufakat dengan bantuan pihak
netral yang tidak memilih kewenangan memutus. Pihak netral itu disebut
mediator dengan tugas memberikan bantuan prosedural dan substansial.7
6 Raihan A Rasyid, Hukum Acara Peradilan Agama, (Jakarta: Bumi Aksara,2009), 20-21.
5
Definisi atau pengertian di atas memberikan pernyataan bahwa,
mediasi memiliki unsur-unsur penting, yaitu :
1. Mediasi merupakan cara penyelesaian sengketa melalui perundingan
berdasarkan pendekatan mufakat atau konsensus para pihak;
2. Para pihak meminta bantuan pihak lain yang bersifat tidak memihak yang
disebut mediator;
3. Mediator tidak memiliki kewenangan memutus, tetapi hanya membantu
para pihak yang bersengketa dalam mencari penyelesaian yang dapat
diterima para pihak.
Mediasi dalam konsep Islam dikenal dengan istilah s}ulhu}/Is}lah},
beberapa ahli fiqih memberikan definisi yang hampir sama meskipun dalam
redaksi yang berbeda, arti yang mudah difahami adalah memutus suatu
persengketaan, dalam penerapan yang kita fahami adalah suatu akad dengan
maksud untuk mengakhiri suatu persengketaan antara dua orang yang saling
bersengketa dan berakhir dengan perdamaian.8 Allah SWT telah
mengingatkan kepada kita akan posisi antara sesama manusia, hal tersebut
tercantum di dalam Al-Qur’an surat Al-Hujurat ayat 10 yakni :
Artinya:
“Sesungguhnya orang-orang mukmin itu bersaudara, karena itu damaikanlah antara kedua saudaramu (yang berselisih) dan bertakwalah kepada Allah agar kamu mendapat rahmat.” (Qs al Hujarat:10).
8 Syahrizal Abbas, Medasi Dalam Perspektif Hukum Syari’ah, Hukum Adat Dan
6
Maksud ayat diatas adalah jika ada dua orang yang bertengkar atau
berperkara maka damaikanlah mereka, perdamaian itu hendaklah dilakukan
dengan adil dan benar, sebab Allah SWT senang berlaku adil.
Mediasi bagi para pihak merupakan tahapan pertama yang harus
dilakukan seorang hakim dalam menyidangkan suatu perkara yang diajukan,
untuk mencapai sebuah keputusan yang adil dalam penyelesaian perkara,
seorang hakim harus menggali dan mendengarkan keterangan dari kedua
belah pihak yang bersengketa, begitu juga dalam hal mediasi, mediator
hendaknya dapat menggali informasi sedalam-dalamnya terhadap
permasalahan yang diselisihkan, Sehingga ia tahu bagaimana seharusnya
mengambil keputusan, seperti hadist Rasulullah saw berikut:
9
Artinya:
“Jika kamu sedang mengadili dua orang yang sedang bersengketa maka janganlah kamu beri keputusan kepada pihak pertama hingga kamu mendengar laporan dari pihak kedua, dengan demikian kamu akan mengetahui bagaimana cara mengambil keputusan.”
Prinsip perdamaian selalu di kedepankan jika kaitannya dengan
sengketa perdata yang terjadi di lingkup Pengadilan, hal ini sesuai dengan apa
yang tercatum dalam pasal 130 HIR maupun pasal 154 RBg yakni
pengintensifan para pihak dengan jalur damai, selain itu, adapula istilah
penyelesaian sengketa atau alternative dispute resolution atau ADR
Undang-Undang (LN Tahun 1999 No. 138) No. 30 Tahun 1999 Tentang Arbitase dan
7
Alternatif Penyelesaian Sengketa yang mempunyai ruang lingkup
konseptual pendamaian para pihak. Usaha mendamaikan para pihak
merupakan beban yang diwajibkan oleh hukum kepada setiap hakim dalam
setiap memeriksa, mengadili dan memutuskan perkara. Tindakan hakim
dalam mendamaikan para pihak yang bersengketa adalah untuk
menghentikan para pihak yang bersengketa dan mengupayakan mereka untuk
berdamai.10 Tahap mediasi sendiri dilakukan guna penertib, memperlancar,
pendisiplinan serta pemerosesan secara damai setiap perkara yang masuk ke
Pengadilan Agama.
Keterangan di atas menunjukkan bahwa proses mediasi memiliki
peran yang sangat penting prihal penyelesaian perkara, apabila proses mediasi
berjalan dengan efektif maka proses mediasi sudah bisa dijadikan tahap akhir
dalam proses beracara dengan jalan damai tanpa ada dendam di antara para
pihak, jika demikian, maka mediasi seolah menjadi langkah cerdas dan
sejalan dengan asas berpekara di Pengadilan, yakni cepat, ekonomis dan
efisien, dengan adanya kekuatan yang berbentuk akta perdamaian menjadikan
fungsi mediasi sebagai proses penyelesaian sengketa yang sangat tepat bagi
para pihak, selain itu, mediasi yang tidak diatur secara terperinci di dalam
perundang-undangan menjadikan mediasi mempunyai keluwesan dan tidak
8
terikat sehingga mediasi memiliki keunggulan tersendiri dibandingan proses
penyelesaian litigasi yang lebih resmi dengan formalitas surat gugatan11.
Beberapa keunggulan proses hukum melalui proses mediasi antara
lain:12
1. Relatif lebih murah dibandingkan dengan alternatif-alternatif yang lain;
2. Adanya kecendrungan dari pihak yang bersengketa untuk menerima dan
memiliki putusan mediasi;
3. Dapat menjadi dasar bagi para pihak yang bersengketa untuk menegosiasi
sendiri sengketa-sengketanya dikemudian hari;
4. Terbukanya kesempatan untuk menelaah masalah-masalah yang
merupakan dasar dari suatu sengketa;
5. Membuka kesempatan untuk saling percaya di antara pihak-pihak yang
bersengketa sehingga dapat dihindari rasa bermusuhan dan dendam.
Hakim yang memiliki peran dalam mengupayakan perdamaian adalah
hakim yang disidang perkara ketika sidang perkara dimulai, sementara
mediator merupakan juru damai yang ditunjuk langsung oleh ketua hakim
majelis untuk mengupayakan perdamaian bagi para pihak di luar sidang
Pengadilan berdasarkan kesepakatan para pihak.
Selain mediasi memiliki berbagai macam keunggulan, mediator juga
dituntut untuk bisa menjadi pribadi yang luwes moderat dan mampu
berkomunikasi lancar dengan para pihak yang berperkara guna mencapai hasil
11 Rahmadi Takdir, Mediasi: Penyelesaian Sengketa Melalui Pendekatan Mufakat,
(Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,2010), 21-22.
12 Munir Fuady, Teori-Teori Dalam Sosiologi Hukum, (Jakarta: Kencana Prenada
9
mediasi sehingga dapat menghasilkan penyelesaian yang adil dan win-win
solution, tanpa kompetensi tersebut, mediasi tidak mungkin berjalan
maksimal.
Mediator harus mempunyai skill primer berupa good comunication
dengan beberapa prinsip yaitu:
1. Analisis percakapan memerlukan data yang amat terperinci baik berupa
verbal maupun nonverbal;
2. Suatu komunikasi harus diasumsikan sebagai keteraturan sehingga si
aktor (yang berbicara) mempunyai sistematis metodik;
3. Suatu percakapan seperti interaksi yang lain membutuhkan kesetabilan
dan keteraturan;
4. Mempunyai kerangka percakapan yang fundamental.
Fungsi dan peran mediator tidak bisa dapat dianggap remeh. mediator
yang berkompeten diharapkan mampu membawa suatu kefektivan mediasi
seperti yang diamanatkan dan dicita-citakan oleh Peraturan Mahkamah
Agung Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2008. Sesuai dengan peraturan
tersebut, maka perlu adanya suatu penelitian yang mengkhususkan kajiannya
pada keefektivan mediasi dalam proses beracara di Pengadilan Agama.
Pengadilan Agama Bangil memiliki berbagai macam kasus yang
masuk dan sudah diputus, kasus yang diputus tidak setiap tahun mengalami
kenaikan angka, berikut klasifikasinya13
Tabel 1.1
10
Jumlah Perkara Yang Masuk Di Pengadilan Agama Bangil Pada Tahun 2010-2014
berkaitan dengan masalah kewarisan14, dari keempat kasus tersebut, tidak ada
yang berhasil dalam proses mediasi, hal ini menimbulkan pertanyaan terkait
efektivitas mediasi yang telah diterapkan di Pengadilan Agama Bangil
mengingat pengintegrasian mediasi ke dalam proses beracara bertujuan
menjadi salah satu instrument mengatasi masalah penumpukan perkara di
pengadilan, serta memperkuat dan memaksimalkan fungsi lembaga
pengadilan dalam penyelesaian sengketa.
Berangkat dari tujuan awal diadakannya mediasi yang diantaranya
adalah untuk mengurangi jumlah perkara atau peningkatan jumlahnya., maka
perlu diadakan penilitan untuk dijadikan obyek penelitian dan dibuat skripsi.
B. Identifikasi dan Batasan Masalah
1. Identifikasi Masalah
Sehubungan dengan permasalahan yang telah dipaparkan di atas,
maka identifikasi masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
11
a. Diskripsi mediasi menurut undang-undang.
b. Tujuan mediasi di Pengadilan Agama.
c. Peran mediator dalam mendamaikan para pihak yang berperkara.
d. Kompetensi mediator di Pengadilan Agama Bangil.
e. Proses pelaksanaan mediasi dalam perkara Waris di Pengadilan
Agama Bangil.
f. Efektivitas mediasi dalam proses penyelesaian sengketa waris di
Pengadilan Agama Bangil.
2. Batasan Masalah
Beberapa indentifikasi masalah di atas dapat diambil dua batasan
masalah pada penelitian ini :
a. Proses pelaksanaan mediasi dalam perkara Waris di Pengadilan
Agama Bangil.
b. Efektivitas mediasi dalam proses penyelesaian sengketa waris di
Pengadilan Agama Bangil.
C. Rumusan Masalah
Dalam pembahasan skripsi ini untuk lebih terarah dan signifikan,
maka perlu adanya masalah yang akan dibahas, antara lain:
1. Bagaiamana proses pelaksanaan mediasi dalam perkara Waris di
Pengadilan Agama Bangil?\
2. Seberapa besar efektivitas mediasi dalam proses penyelesaian sengketa
12
D. Kajian Pustaka
Kajian pustaka merupakan deskripsi ringkas tentang kajian atau
penelitian yang sudah pernah dilakukan seputar permasalahan yang akan
diteliti. Kajian pustaka dilakukan untuk menegaskan bahwa kajian penelitian
yang ditulis sama sekali bukan pengulangan atau duplikasi dari kajian atau
penelitian sebelumnya, adapun penelitian skripsi yang berkaitan dengan judul
penelitian ini tidak begitu banyak yang membahas masalah ini, berikut data
yang berhasil diperoleh terkait penelitian yang terdahulu:
1. Peran Hakam Dalam Penyelesaian Perselisihan Syiqaq Di Pengadilan
Agama Kudus, dikaji oleh Iwhan Miftahuddin, Fakultas Syari'ah Jurusan
Al-Ahwal Al-Syahsiyah Institut Agama Islam Negeri Walisongo Semarang
pada tahun 2006. Kajian dari pembahasanya adalah tentang perselisihan
syiqaq di Pengadilan. Walau dalam skripsi tersebut tidak membahas tentang
mediasi dan bagaimana perananya dalam upaya pemufakatan para pihak,
serta mediator, dalam penelitian ini di temukan kesamaan fungsi hakam
dengan mediator yang titiknya berada pada juru perdamai15, perbedaan
dengan skripsi yang diteliti terletak pada objek penelitian dan sumber data
yang dipakai, objek penelitian dalam skirpsi terdahulu membahas tentang
peran hakam sebagai penyelesaian syiqaq, sedangkan peneltian kali ini
lebih membahas tentang mediasi sebagai penyelesaian sengketa waris pada
tahun 2010-2014, adapun sumber data diambil dari Pengadilan Agama
13
Bangil, hal ini jelas berbeda dengan apa yang tercantum di penelitian di atas
yang mengambil sumber data di Pengadilan Agama Kudus.
2. Efetivitas Mediasi Dalam Perkara Perceraian Di Pengadilan Agama Sleman
Yogyakarta Tahun 2012, dikaji oleh Arfi Rijal Fadilah, Fakultas Syari'ah
Jurusan Al-Ahwal Al-Syahsiyah Unieversitas Negeri Sunan Kali Jaga
Yogyakarta pada tahun 2014. Kajian dari pembahasanya adalah tentang
efektifitas mediasi dalam masalah perceraian di Pengadilan Agama
Yogyakarta pada tahun 2012, penelitian ini mengambil dokumen-dokumen
tentang mediasi langsung dari Pengadilan Agama tersebut, kesimpulan dari
penelitian ini menyatakan bahwa mediasi dalam pengadilan Agama
Yogyakarta ini belum berjalan efektif, hal ini terbukti dengan adanya 528
kasus pada tahun 2012 dan hanya ada satu kasus yang berhasil dimediasi16,
perbedaan dengan skripsi yang diteliti terletak pada objek penelitian dan
sumber data yang dipakai, objek penelitian dalam skirpsi terdahulu
membahas tentang Efektivitas mediasi dalam perkara perceraian pada tahun
2012, sedangkan peneltian kali ini lebih membahas tentang mediasi sebagai
penyelesaian sengketa waris pada tahun 2010-2014, adapun sumber data
diambil dari Pengadilan Agama Bangil, hal ini jelas berbeda dengan apa
yang tercantum di penelitian di atas yang mengambil sumber data di
Pengadilan Agama Sleman Yogyakarta.
14
3. Efetivitas Mediasi Dalam Perkara Perceraian Di Pengadilan Agama Sleman
Yogyakarta Tahun 2005-2009, dikaji oleh Ahmad Jauhari, Fakultas
Syari'ah Jurusan Al-Ahwal Al-Syahsiyah Unieversitas Negeri Sunan Kali
Jaga Yogyakarta pada tahun 2010. Kajian dari pembahasanya adalah
tentang efektifitas mediasi dalam masalah perceraian di Pengadilan Agama
Yogyakarta pada tahun 2005-2009, dalam penelitian ini disimpulkan bahwa
mediasi masih belum berjalan efektif dilingkup Pengadilan Agama
Yogyakarta, hal ini terbukti dengan masih meningkatnya angka perceraian
yang terjadi dalam rentang waktu 2005 hingga 200917, perbedaan dengan
skripsi yang diteliti terletak pada objek penelitian dan sumber data yang
dipakai, objek penelitian dalam skirpsi terdahulu membahas tentang
Efektivitas mediasi dalam perkara perceraian pada tahun 2005 hingga 2009,
sedangkan peneltian kali ini lebih membahas tentang mediasi sebagai
penyelesaian sengketa waris pada tahun 2010-2014, adapun sumber data
diambil dari Pengadilan Agama Bangil, hal ini jelas berbeda dengan apa
yang tercantum di penelitian di atas yang mengambil sumber data di
Pengadilan Agama Sleman Yogyakarta.
4. Efektivitas Mediasi pada Penyelesaian Perkara Perceraian di Pengadilan
Agama Bondowoso 4 tahun Sesudah Berlakunya Peraturan Mahkamah
Agung Nomor 1 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi, dikaji oleh Riska
Zulinda Fatmawati, Fakultas Syari'ah Jurusan Al-Ahwal Al-Syahsiyah
17 Ahmad Jauhari, “Efetifitas Mediasi Dalam Perkara Perceraian Di Pengadilan Agama
Sleman Yogyakarta Tahun 2005-2009” (Skripsi--program sarjanah Satrata satu
15
Unieversitas Negeri Sunan Ampel pada tahun 2013. Kajian dari
pembahasanya adalah perkara perceraian sebelum berlakunya Perma
Nomor 1 Tahun 2008 dan sesudah berlakunya Perma Nomor 1 Tahun
2008, diperoleh nilai yang tidak signifikan, hal tersebut dibuktikan
dengan rata-rata persentase keberhasilan mediasi tiap tahun hanya sebesar
3.10 %. Dengan demikian maka dapat disimpulkan bahwa mediasi pada
perkara perceraian di Pengadilan Agama Bondowoso kurang efektif18,
perbedaan dengan skripsi yang diteliti terletak pada objek penelitian dan
sumber data yang dipakai, objek penelitian dalam skirpsi terdahulu
membahas tentang Efektivitas Mediasi pada Penyelesaian Perkara
Perceraian di Pengadilan Agama Bondowoso 4 tahun Sesudah Berlakunya
Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2008, sedangkan peneltian
kali ini lebih membahas tentang mediasi sebagai penyelesaian sengketa
waris, adapun sumber data diambil dari Pengadilan Agama Bangil, hal ini
jelas berbeda dengan apa yang tercantum di penelitian di atas yang
mengambil sumber data di Pengadilan Agama Bondowoso.
E. Tujuan Penelitian
Sesuai dengan rumusan masalah yang telah ditetapkan, maka tujuan
yang hendak dicapai dalam peneltian ini adalah :
1. Mendiskripsikan tentang proses pelaksanaan mediasi dalam perkara waris
di Pengadilan Agama Bangil.\
18 Riska Zulinda Fatmawati, “Efektivitas Mediasi pada Penyelesaian Perkara Perceraian di Pengadilan Agama Bondowoso 4 tahun Sesudah Berlakunya Peraturan Mahkamah
Agung Nomor 1 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi” (Skripsi--program sarjanah
16
2. Menganalisis terhadap seberapa besar efektivitas mediasi dalam proses
penyelesaian sengketa Waris di Pengadilan Agama Bangil.
F. Kegunaan Penelitian
Penelitian yang mengkaji tentang seberapa besar efektivitas mediasi
dalam proses berperkara di Pengadilan Agama Bangil ini memiliki berbagai
macam kegunaan seperti berikut:
1. Aspek keilmuan (teoritis)
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memperluas dan memperkaya
ilmu pengetahuan tentang ketentuan pelaksanaan mediasi. lebih lanjut,
penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan kajian ilmiah sekaligus bahan
penelitian selanjutnya.
2. Secara terapan (praktis)
Penelitian ini kiranya dapat berguna bagi penerapan suatu ilmu
pengetahuan dan dapat dijadikan bahan acuan sumbangan pemikiran pada
masyarakat guna mengetahui bagaimana pentingnya mediasi dalam
berperkara di Pengadilan Agama serta menyadarkan masyarakat bahwa
proses berpekara dipengadilan mempunyai varian dan tidak cenderung
bertipikal harus diselesaikan dengan cara diputus. Skripsi ini juga dapat
dijadikan contoh dan modal pertimbangan untuk menjalankan mediasi
sebagai penyelesaian perkara secara optimal dan berkekuatan hukum
tetap.
17
Penelitian inii memerlukan adanya uraian variable yang tercantum
dalam judul tersebut agar terhindar dari kesalahfahaman, adapun yang perlu
dijelaskan dalam definisi operasional tersebut adalah:
1. Efektivitas Mediasi adalah ketepatgunaan atau kesesuaian fungsi dan
tujuan pengikutsertaan pihak ketiga sebagai penasihat dan pihak utuk
memperoleh kesepakatan antara kedua belah pihak dalam penyelesaian
sengketa di Pengadilan Agama Bangil.
2. Penyelesaian Sengketa Waris adalah proses pemecahan masalah mengenai
kewarisan di Pengadilan Agama Bangil pada kurun waktu 2010-2014.
Dalam hal dicantumkannya definisi operasional diatas, diharapkan
memberikan diskripsi tentang kajian efektivitas mediasi dalam proses
penyelesaian sengketa Waris di Pengadilan Agama Bangil.
H. Metode Penelitian
Suatu penelitian dianggap sebagai karya tulis ilmiyah apabila
didalamnya memuat metodologi. Istilah Metodologi dapat dimaknai sebagai
pengetahuan tentang berbagai cara kerja yang disesuaikan dengan objek studi
ilmu yang bersangkutan, atau metodologi adalah penjelasan tentang tata cara
dan langkah yang akan ditempuh untuk mencapai tujuan penelitian.19
Soerjono Soekanto berpendapat bahwa metode penelitian memiliki
berbagai macam kemungkinan sebagai berikut :
1. Suatu tipe pemikiran yang dipergunakan dalam penelitian dan penilaian.
2. Suatu teknik yang umum bagi ilmu pengetahuan.
18
3. Cara tertentu untuk melaksanakan suatu prosedur.20
Sejalan dengan ketentuan di atas, maka penulisan skripsi ini perlu
menggunakan metode penelitian skripsi sebagai berikut:
1. Data yang dikumpulkan
Terkait dengan rumusan masalah di atas, maka dalam penelitian
ini data yang dikumpulkan yaitu :
a. Ketentuan mediasi dalam PERMA NO. 1 TAHUN 2008.
b. Data tentang proses pelaksanaan mediasi dalam perkara waris di
Pengadilan Agama Bangil pada tahun 2010-2014
c. Data tentang efektivitas pelaksanaan mediasi dalam proses
penyelesaian sengketa Waris di Pengadilan Agama Bangil
2. Sumber Data
Sumber data penelitian ini antara lain:
a. Sumber primer
Sumber Data Primer merupakan data yang diperoleh langsung
dari lapangan sebagai objek penulisan21, adapun sumber data dalam
penelitian ini adalah Laporan mediator kepada Majelis Hakim
Pemeriksa, mediator, serta hakim di Pengadilan Agama Bangil.
b. Data Sekunder
Data sekunder merupakan data yang diperoleh secara tidak
langsung, namun mempunyai keterkaitan dengan masalah yang
20 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: UI-Press, 2006), 5.
19
diteliti. Sumber data sekunder yaitu sumber tambahan berupa
dokumen, buku atau kitab, yang diperoleh dari bahan pustaka serta
memiliki hubungan dengan penelitian, adapun dalam penelitian ini
sumber data sekunder berupa:
Data sekunder dalam penelitian ini berupa :
1) Undang-Undang No. 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan
Kehakiman.
2) KHI, Bandung Citra Umbara, 2007.
3) Syahrizal Abbas, Medasi Dalam Perspektif Hukum Syari’ah,
Hukum Adat Dan Hukum Nasional, ( Jakarta : Kencana Prenada
Media Group, 2009 )
4) UU Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternative
Penyelesaian Sengketa.
5) R.Subekti dkk, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (BW);
(Jakarta: P.T Pradnya Baramita, 1992)
6) Rahmadi Takdir, Mediasi: penyelesaian sengketa melalui
pendekatan mufakat, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2010)
7) Peraturan Mahkamah Agung nomor 1 tahun 2008 tentang
prosedur mediasi di pengadilan
3. Teknik Pengumpulan Data
Data yang sudah dikumpulkan diatas kemudian diolah, adapun
20
a. Dokumentasi merupakan teknik pengumpulan data yang tidak
langsung ditujukan pada subyek penelitian, namun melalui dokumen,
atau melalui berkas yang ada. Dokumen yang diteliti dalam penelitian
ini adalah Laporan mediator kepada Majelis Hakim Pemeriksa
Perkara, data perkara masuk, diputus dan berhasil dimediasi.
b. Wawancara merupakan suatu bentuk komunikasi atau percakapan
antara dua orang atau lebih guna memperoleh informasi. Seorang
peneliti bertanya langsung kepada subjek atau responden untuk
mendapatkan informasi yang diinginkan guna mencapai tujuannya
dan memperoleh data yang akan di jadikan sebagai bahan laporan
penelitian,22 walaupun penelitian ini adalah penelitian hukum murni,
wawancara digunakan untuk memperjelas dan menggali keterangan
tambahan guna mengklarifikasi dengan pihak terkait, adapun pihak
terkait dalam penelitian adalah panitera dan hakim mediator yang
bertugas memediasi orang yang bersengketa tentang masalah Waris.
4. Teknik Pengolaan Data
Tahapan-tahapan yang akan ditempuh guna mengolah data yang
sudah terkumpul adalah sebagai berikut:
a. Editing merupakan pemeriksaan kembali terhadap data tentang proses
pelaksanaan dan efektivitas mediasi tentang kewarisan di lingkup
Pengadilan Agama Bangil yang telah diperoleh dalam kejelasan untuk
penelitian.
21
b. Coding, merupakan pemberian kode dan pengkatagorian data. Peneliti
menggunakan teknik ini untuk mengkatagorisasikan sumber data yang
sudah dikumpulkan agar terdapat relevansi dengan pembahasan dalam
penelitian ini.
c. Organizing, adalah menyusun secara sitematis data yang diperoleh
tentang proses pelaksanaan dan efektivitas mediasi tentang
Kkewarisan di lingkup Pengadilan Agama Bangil dalam
menyelesaikan sengketa antara dua belah pihak agar bisa berdamai
tanpa perlu adanya proses lebih lanjut untuk memperoleh bukti-bukti
dan gambaran secara jelas tentang permasalahan yang diteliti.
5. Teknik Analisis Data
Analisis data merupakan upaya mencari dan menata secara
sistematis catatan hasil dokumentasi dan wawancara untuk meningkatkan
pemahaman penelitian tentang kasus yang diteliti dan menyajikannya
sebagai tujuan bagi orang lain.23Analisis data dilakukan secara
komperhensif dan lengkap, yakni secara mendalam dari berbagai aspek
sesuai dengan lingkup penelitian dan tidak ada yang terlupakan.24
Langkah selanjutnya yaitu setelah data yang diperlukan terkumpul,
maka data tersebut akan dianalisis dengan menggunakan metode
deskriptif analisis dengan pola pikir deduktif yang bertujuan untuk
membuat deskripsi atau gambaran mengenai objek penelitian secara
23 Noeng Muhajir, Metodologi Kualitatif, (Yogyakarta: Rake Sarasia, 1994), 183.
24Abdulkadir Muhammad, Hukum dan Penelitian Hukum, (Bandung: Citra Aditya
22
sistematis, faktual dan akurat mengenai fakta-fakta, sifat-sifat serta
hubungan antara fenomena yang diselidiki.25
Kemudian data tersebut diolah dan dianalisis dengan pola pikir
deduktif, yakni bermula dari hal-hal yang bersifat umum yaitu berupa
buku-buku atau kitab maupun peraturan Undang-Undang yang
menjelaskan tentang mediasi, lalu aturan itu digunakan untuk
menganalisis hal-hal yang bersifat khusus yaitu tentang urgensi dan
efektivitas mediasi dalam menyelsaikan sengketa Waris di Pengadilan
Agama Bangil.
Dari hasil analisis inilah diharapkan bisa menjadi suatu jawaban
atas rumusan masalah diatas dan sekaligus sebagai bahan untuk
pembahasan hasil penelitian dan bisa ditarik suatu kesimpulan.
I. Sistematika Pembahasan
Penyusunan dalam sebuah karya tulis berfungsi membantu mudahnya
memahami penulisan secara runtut dan sistematis. Berkaitan dengan
penulisan penelitian ini maka rancangan sistematisnya adalah terdiri dari
lima bab, dengan detail sebagai berikut:
Bab pertama, merupakan bab Pendahuluan berisi Latar belakang,
Identifikasi masalah, Rumusan masalah, Kajian Pustaka, Tujuan penelitian,
Kegunaan hasil penelitian, Identifikasi masalah, Definisi operasional, Metode
penelitian, dan Sistematika pembahasan.
23
Bab kedua, bab ini berisi tentang Pengertian dan dasar hukum
mediasi, Latar belakang mediasi, Mediasi versi Perma Tahun 2008, Peran dan
fungsi mediasi, Prosedur mediasi.
Bab ketiga, bab ini berisi tentang laporan penelitian yang terdiri dari
A. kompetensi Pengadilan Agama Bangil B. Pelaksanaan Mediasi dalam
perkara waris di Pengadilan Agama Bangil C. Kendala Mediasi di Pengadilan
Agama Bangil.
Bab keempat, merupakan bab yang menganalisis lebih mendalam
mengenai pelaksanaan mediasi di Pengadilan Agama Bangil serta efektivitas
mediasi dalam perkara Waris di Pengadilan Agama Bangil.
Bab kelima, merupakan bab Penutup berisi tentang kesimpulan dan
saran. Kesimpulan tersebut diperoleh setelah mengadakan analisis terhadap
data yang diperoleh, sebagaimana diuraikan pada bab sebelumnya dan
24
BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG MEDIASI
A. Pengertian Medasi
Kata “mediasi“ berasal dari bahasa inggris “mediation” yang artinya
penyelesaian sengketa yang melibatkan pihak ketiga sebagai penengah atau
penyelesaian sengketa secara menengahi, adapun yang menengahinya
dinamakan mediator atau orang yang menjadi penengah.26
Secara umum, dalam Kamus Besar Indonesia, disebutkan bahwa yang
dimaksud dengan mediasi adalah proses pengikutsertaan pihak ketiga dalam
menyelesaikan suatu perselisihan sebagai penasihat.27 Sedangkan pengertian
perdamaian menurut Hukum Positif sebagaimana dicantumkan dalam pasal
1851 KUHPerdata adalah suatu perjanjian dimana kedua belah pihak dengan
menyerahkan, menjanjikan atau menahan suatu barang, mengakhiri suatu
perkara yang sedang bergantung atau mencegah timbulnya suatu perkara
kemudian.28
Dikenal juga istilah Dading yaitu suatu persetujuan tertulis secara
damai untuk menyelesaian atau memberhentikan berlangsungnya terus suatu
perkara.29 dalam Undang-Undang Nomor 30 tahun 1999 tidak ditemukan
pengertian mediasi, namun hanya memberikan keterangan bahwa jika sengketa
26 John, Echols, Hasan, Shadily, Kamus Inggris Indonesia. Cet xxv (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2003), 377.
27 Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa
Indonesia, (Jakarta : Balai Pustaka, 2000), 640.
28 Subekti dan Tjitrosudibio, Kitab Undang-undang Hukum Perdata (Jakrta : Pradnya Paramita, 1985), 414.
25
tidak mencapai kesepakatan maka sengketa bisa diselesaikan melalui penasehat
ahli atau mediator.30
Secara yuridis, pengertian mediasi hanya dapat dijumpai dalam
PERMA Nomor 1 tahun 2008 dalam pasal 1 ayat 7, yang menyebutkan bahwa:
“Mediasi adalah cara penyelesaian sengeketa melalui proses perundingan untuk
memperoleh kesepakatan para pihak dengan dibantu oleh mediator.“31 namun,
meski tidak dijelaskan secara tersurat mengenai definisi mediasi, aturan
mengenai mediasi juga bisa dijumpai dalam beberapa literatur lain seperti
berikut:
a. Pasal 130 HIR / 154 Rgb
Ayat (1) ”Apabila pada hari yang sudah ditentukan, kalau kedua belah
pihak hadir dalam persidangan, maka pengadilan dengan perantara ketua sidang
berusaha mendamaikan kedua belah pihak yang sedang bersengketa”.
Ayat (2) ”Jika perdamaian tercapai pada waktu persidangan dilaksanakan,
maka dibuat suatu akta perdamaian yang mana kedua belah pihak dihukum
untuk melaksanakan perjanjian perdamaian itu akta perdamaian ini mengikat
para pihak yang membuatnya dijalankan sebagai putusan biasa”.
b. Pasal 1851 KUH Perdata
“Perdamaian adalah suatu persetujuan dengan mana kedua belah pihak
menyerahkan, menjanjikan atau menahan suatu barang, mengakhiri suatu
30 Bunyi pasal 6 ayat (3) UU No. 30 Tahun 1999 adalah “Dalam hal sengketa atau beda pendapat sebagaimana dimaksud dalam ayat (2)”.
31 Dalam pasal 1 ayat (6) perma Nomor 1 tahun 2008 disebutkan bahwa yang dimaksud dengan mediator adalah pihak netral yang membantu para pihak dalam proses perundingan guna mencari berbagai kemungkinan penyelesaian sengketa tanpa menggunakan cara memutus atau
26
perkara yang sedang bergantung, maupun mencegah terjadinya suatu perkara
persetujuan ini tidak sah jika dibuat secara tertulis.”32
Menurut Hukum Islam, secara etimologi perdamaian disebut dengan
istilah islah} (as-sulh}) yang menurut bahasa adalah memutuskan suatu
persengketaan antara dua pihak, adapun menurut Syara’ adalah suatu akad
dengan maksud untuk mengakhiri suatu persengketaan antar dua belah pihak
yang saling bersengketa.33
Pandangan tentang as-sulh dapat dianalisa sebagaimana firman Allah
SWT dalam ayat-ayat berikut :
Artinya:
“Dan kalau ada dua golongan dari mereka yang beriman itu
berperang hendaklah kamu damaikan antara keduanya! tapi kalau yang satu melanggar Perjanjian terhadap yang lain, hendaklah yang melanggar Perjanjian itu kamu perangi sampai surut kembali pada perintah Allah. kalau Dia telah surut, damaikanlah antara keduanya menurut keadilan, dan hendaklah kamu Berlaku adil; Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang Berlaku adil.”(Al-Hujarat: 9).34
\
ۚ
Artinya:
“Orang-orang beriman itu Sesungguhnya bersaudara. sebab itu damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu itu dan
takutlah terhadap Allah, supaya kamu mendapat rahmat”(Qs al
Hujarat:10).35
32
Kitab Undang-undang Hukum Perdata,( Rhedbook Publisher, 2008), 420.
33 Atabik Ali, Ahmad Zuhdi Muhdlor, Kamus Kontemporer (Arab-Indonesia). ( Yogyakarta: Multi Karya Grafika, 1999), 1188.
34
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemah (Surabaya: PT. Surya Cipta Aksara, 1993), 947.
35
27
Prof. Dr. Takdir Rahmadi\ berpendapat bahwa mediasi adalah suatu
proses penyelesaian sengketa antara dua belah pihak atau lebih melalui
perundingan atau cara mufakat dengan bantuan pihak netral yang tidak
memiliki kewenangan memutus.36 Pihak netral tersebut disebut mediator
dengan tugas memberikan bantuan prosedural dan subtansial. Istilah mediasi
juga dipopulerkan oleh para akademisi dewasa ini.
Garry Goopaster yang dinukil oleh Dr. Syahrial Abbas memberikan
definisi mediasi sebagai proses negosiasi dimana pihak luar yang tidak
memihak bekerjasama dengan pihak-pihak yang bersengketa untuk membantu
mereka memperoleh perjanjian dan kesepakatan yang memuaskan.37
Beberapa unsur penting dalam mediasi anatar lain sebagai berikut:
1. Mediasi adalah proses penyelesaian sengketa berdasarkan perundingan.
2. Mediator terlibat dan diterima para pihak yang bersengketa di dalam
perundingan.
3. Mediator bertugas membantu para pihak yang bersengeketa untuk
mencari penyelesaian.
4. Mediator tidak mempunyai kewenangan membuat keputusan selama
perundingan berlangsung.
36Takdir, Rahmadi, Mediasi penyelesaian sengketa melalui pendekatan mufakat, (Jakarta: Raja Grafindo Persada,2010), 12.
37Syahrial,Abbas, Mediasi (Dalam Perspeltif Hukum Syariah, Hukum Adat, dan Hukum
28
5. Tujuan mediasi adalah untuk mecapai atau menghasilkan kesepakatan
yang diterima pihak-pihak yang bersengketa guna mengakhiri
sengketa.38
Mediator yang dituntut untuk mengedapankan negosiasi yang bersifat
kompromis, hendaklah memiliki keterampilan-keterampilan khusus,
keterampilan khusus yang dimaksud ialah :
1. Mengetahui bagaimaana cara mendengarkan para pihak yang
bersengketa.
2. Mempunyai keterampilan bertanya terhadap hal-hal yang
dipersengketakan.
3. Mempunyai keterampilan membuat pilihan-pilihan dalam
menyelesaikan sengketa yang hasilnya akan menguntungkan para pihak
yang bersengketa (win-win solution).
4. Mempunyai keterampilan tawar menawar secara seimbang.
5. Membantu para pihak untuk menemukan solusi mereka sendiri terhadap
hal-hal yang dipersengketakan.39
B. Latar Belakang Lahirnya Proses Mediasi
Melihat dari sejarah Negara Indonesia, tata cara penyelesaian sengketa
secara damai telah lama dan biasa dipakai oleh masyarakat Indonesia. Hal ini
dapat dilihat dari ketentuan hukum adat yang menempatkan kepala adat
sebagai penengah dan memberi putusan adat bagi sengketa di antara warganya.
38 Suyut Margono, ADR dan Arbitrase Proses Pelembagaan dan Aspek Hukum, (Bogor. PT. Graha Indonesia,2000), 59.
39Harijah Damis, “ Hakim Mediasi Versi Sema Nomor 1 tahun 2002 tentang Pemberdayaan
Pengadilan Tingkat Pertama Menerapkan Lmebaga Damai”. Dalam Mimbar Hukum, Nomor 63
29
Proses mediasi sendiri juga mendapat persetujuan dari Undang-undang
dasar pada tahun 1945, tata cara ini telah resmi menjadi salah satu falsafah
Negara dari bangsa Indonesia yang tercermin dalam asas Musyawarah untuk
Mufakat.
Mediasi atau alternatif penyelesaian sengketa di Indonesia adalah
merupakan culture (budaya) bangsa Indonesia sendiri, baik dalam masyarakat
tradisional maupun sebagai dasar Negara Pancasila yang dikenal istilah
musyawarah untuk mufakat. Seluruh suku bangsa di Indonessia pasti mengenal
makna dari istilah tersebut, walaupun penyebutannya berbeda, akan tetapi
mempunyai makna yang sama. Dalam klausa-kluasa suatu kontrak atau
perjanjian, pada bagian penyelesaian sengketa selalu diikuti dengan kata-kata
“kalau terjadi sengketa atau perselisihan akan diselesaikan dengan cara
musyawarah dan apabila tidak tercapai suatu kesepakatan akan diselesaikan di
Pengadilan.40\
Pemberlakuan mediasi dalam sistem Peradilan di Indonesia didasarkan pada
PERMA Nomor 1 Tahun 2008 yang menetapkan mediasi sebagai bagian dari
hukum acara dalam perkara perdata, sehingga suatu putusan akan menjadi batal
demi hukum jika tidak melalui proses mediasi (perma pasal 2). Meskipun tidak
dapat dibandingkan dengan Undang-undang, PERMA ini dipandang sebagai
kemajuan dari undang-undang Nomor 30 tahun 1999 tentang Arbitrase dan
Alternatif Penyelesaian Sengketa yang masih menganggap mediasi sebagai
penyelesaian sengketa di luar Pengadilan, (Pasal 1 butir 10), sedangkan tujuan
utama dari pengintregasian mediasi dalam proses beracara di Peradilan adalah
30
tidak lain untuk mengurangi penumpukan perkara di MA yang semakin
meningkat dari tahun ketahun.
Berdasarkan uraian tersebut, maka yang menjadi latar belakang adanya
proses mediasi ialah sebagai berikut:
1. Sistem litigasi (peradilan): proses yang memakan waktu (waste time)
Mahkamah Agung sebagai pucuk Lembaga Peradilan telah
memberlakukan kebijakan dengan suratnya yang ditujukan kepada
seluruh ketua pengadilan tingkat pertama dan pengadilan tingkat tinggi,
yang isinya tentang pelaksaan proses peradilan pada tingkat pertama
dan tingkat banding masing-masing untuk tidak melebihi 6 bulan.
Kebijakan tersebut dapat dianggap efektif berjalan lancar sesuai
harapan. namun yang terjadi adalah penumpukan perkara pada tingkat
MA karena arus perkara yang demikian tinggi, sehingga setelah
melewati masa kurang lebih 1 tahun (tingkat pertama dan tingkat
banding) masih harus menunggu pada tingkat MA yang lamanya
rata-rata lebih dari tiga tahun. Waktu tersbut belum ditambah apabila ada
pihak yang mengajukan Peninjauan Kembali.
2. Biaya yang tinggi
Biaya mahal yang harus dikeluarkan oleh para pihak untuk
menyelesaikan sengketa di Pengadilan timbul oleh karena mereka
diwajibkan memebayar biaya perkara yang secara resmi telah ditentukan
oleh Pengadilan. Belum lagi upah yang harus dibayarkan kepada
pengacara/advokat bagi pihak yang menggunakan jasa mereka.41
3. Putusan pengadilan tidak menyelesaikan perkara
31
“Menang jadi arang kalah jadi abu” bagitu kira-kira slogan yang
menggambarkan jika suatu sengketa diselesaikan dengan menggunakan
jalur litigasi. Sinyal tersebut mencerminkan putusan Pengadilan
terkadang tidak serta merta menyelesaikan persoalan sengketa melalui
jalan perundingan, karena dengan melalui hal itu akan mencegah
terjadinya kerugian yang lebih besar, baik kerugian material maupun
moral.
Menurut Yahya Harahap, tidak ada putusan Pengadilan yang
mengantar para pihak yang bersengsengketa ke arah penyelesaian
masalah, putusan Pengadilan tidak bersifat problem solving di antara
pihak yang bersengketa melainkan putusan Pengadilan cenderung
menempatkan kedua belah pihak pada dua sisi ujung yang saling
berhadapan, karena menempatkan salah satu pihak pada posisi menang
atau kalah, selanjutnya dalam posisi ada pihak yang menang dan kalah,
bukan kedamaian yang akan dicapai melainkankan timbul dendam dan
kebencian dari pihak yang kalah.42
Putusan hakim terpaku dengan aturan formil yang jika tidak
dipenuhi akan mengakibatkan batal demi hukum, pada perkara-perkara
tertentu, seseorang yang mempunyai hak sering kali dirugikan karena
tidak memenuhi persyaratan formal. Sebaliknya orang yang seharusnya
dihukum memberikan ganti rugi karena tidak terbukti secara formal
maupun material maka dia bebas dari jeratan hukum.
32
C. Mediasi versi perma RI nomor 1 Tahun 2008
Beberapa kekhususan PERMA No 1 tahun 2008 adalah sebagai berikut:
1. Kewajiban proses mediasi
Berdasarkan ketentuan pasal 2 ayat (2) dan ayat (3) serta pasal 4
PERMA No 1 Tahun 2008 maka, setiap sengketa perdata yang diajukan
ke Pengadilan tingkat pertama wajib terlebih dahulu diupayakan
penyelesaian sengketa melalui prosedur mediasi, yakni penyelesaian
dengan upaya perdamaian dengan bantuan mediator, kelalaian atau
mengabaikan prosedur mediasi merupakan pelanggaran terhadap pasal
130 HIR dan atau Pasal 154 RBg yang mengakibatkan putusan batal
demi hukum.43
2. Biaya Proses
Biaya pemanggilan para pihak untuk menghadiri proses mediasi
terlebih dahulu dibebankan kepada pihak penggugat melalui uang panjar
biaya perkara, jika para pihak berhasil mencapai kesepakatan, biaya
pemanggilan para pihak ditanggung bersama sesuai kesepakatan, namun,
apabila gagal, biaya dibebankan kepada yang kalah (pasal 3).44
3. Hak dan Kewajiban Mediator
Mediator adalah pihak netral yang membantu para pihak dalam
proses perundingan guna mencari berbagai kemungkinan penyelesaian
sengketa tanpa menggunakan cara memutus atau memaksakan sebuah
penyelesaian.
43
Peraturan Mahkamah Agung Republik Indoneisa Nomor . 01 Tahun 2008
44
33
Penggunaan jasa mediator hakim tidak dipungut biaya,
sedangkan jasa mediator bukan hakim ditanggung bersama oleh para
pihak atau berdasarkan kesepakatan para pihak (pasal 10).
Mediator wajib memepersiapkan usulan jadwal pertemuan
mediasi kepada para pihak untuk dibahas dan disepakati dan jika
dianggap perlu mediator dapat melakukan kaukus (pertemuan antara
mediator dengan salah satu pihak tanpa dihadiri oleh pihak yang
lainnya), (Pasal 15), Jika diperlukan dan atas dasar kesepakatan para
pihak, mediasi dapat dilakukan secara jarak jauh dengan menggunakan
alat bantu komunikasi (pasal 13 ayat (6)).
Atas persetujuan para pihak atau kuasa hukum, mediator dapat
mengundang seorang atau lebih ahli dalam bidang tertentu untuk
memberikan penjelasan atau pertimbangan yang dapat membantu
menyelesaikan perbedaan pendapat di antara para pihak (Pasal 16 ayat
1).
Mediator wajib menyatakan mediasi telah gagal jika salah satu
pihak atau para pihak atau kuasa hukumnya telah dua kali berturut-turut
tidak menghadiri pertemuan mediasi sesuai jadwal pertemuan yang telah
disepakati, atau telah dua kali berturut-turut tidak menghadiri
pertemuan mediasi tanpa alasan setelah dipanggil secara patut (Pasal 14
Ayat 1).
Mediator juga dapat menyampaikan kepada para pihak dan
hakim pemeriksa bahwa perkara yang bersangkutan tidak layak
34
berkaitan dengan hak atau kepentingan pihak lain yang tidak disebutkan
dalam surat gugatan (Pasal 14 Ayat 2)
Mediator wajib memeriksa materi kesepakatan perdamaian yang
telah disepakati oleh para pihak sebelum mereka tanda tangani untuk
menghindari adanya kesepakatan yang bertentangan dengan hukum atau
yang tidak dilaksanakan atau yang memuat I’tikad tidak baik (Pasal 17
ayat 4).
Mediator wajib menyatakan secara tertulis bahwa proses
mediasi telah gagal dan memberitahukan kegagalan tersebut kepada
hakim jika sampai lampau waktu maksimal mediasi (40 hari kerja)
sebagaimana dimaksud dalam pasal 13 ayat (3), para pihak tidak mampu
menghasilkan kesepakatan (Pasal 13 ayat 1).
Mediator tidak boleh diminta menjadi saksi dalam porses
persidangan perkara yang bersangkutan dan tidak dapat dikenai
pertanggungjawaban pidana maupun perdata atau isi kesepakatan
perdamaian hasil proses mediasi (Pasal 19 ayat 3-4).45
4. Hak dan Kewajiban Para Hakim
Para pihak berhak memilih mediator di antara pilihan-pilihan
berikut :
a. Hakim bukan pemeriksa perkara Pengadilan yang bersangkutan;
Advokat atau Akademisi hukum;
b. Profesi bukan hukum yang dianggap para pihak menguasai atau
berpengalaman dalam pokok sengketa;
c. Hakim Majelis pemeriksa perkara;
45
35
d. Gabungan antara mediator yang disebut dalam butir a dan b, atau
gabungan butir b dan d, atau gabungan butir c dan d (Pasal 8 ayat 1).
Para pihak segera menyampaikan mediator pilihan mereka
kepada Ketua Majelis Hakim dan jika setelah jangka waktu maksimal
dua hari kerja para pihak tidak dapat bersepakat memilih mediator yang
dikehendaki, maka para pihak wajib menyampaikan kegagalan mereka
memilih mediator kepada Ketua Majelis Hakim (Pasal 11 ayat 2 dan 4).
Para pihak wajib menempuh proses mediasi dengan iktikad baik,
jika ternyata salah satu pihak menempuh mediasi dengan I’tikad tidak
baik, maka pihak lainnya dapat menyatakan mundur dari proses mediasi
(Pasal 12). Para pihak dengan bantuan mediator wajib merumuskan
secara tertulis kesepakatan yang telah dicapai dan menandatangani
kesepakatan tersebut bersama-sama dengan mediator (Pasal 17 ayat 1),
Jika dalam proses mediasi para pihak diwakili oleh kuasa
hukum, maka para pihak wajib menyatakan secara tertulis
persetujuannya atau kesepakatan yang dicapai, selanjutnya para pihak
wajib menghadap kembali kepada hakim pada hari sidang yang telah
ditentukan untuk memberitahukan kesepakatan perdamaian (Pasal 17
ayat 2 dan 4),
Para pihak dapat mengajukan kepada hakim agar kesepakatan
perdamaian yang telah dirumuskannya dikuatkan dalam bentuk akta
perdamaian ataupun tidak, hanya saja jika para pihak tidak menghendaki
36
memuat klausul pencabutan gugatan dan atau klausul yang menyatakan
perkara sudah selesai (Pasal 17 ayat 5-6).46
5. Hasil Akhir Mediasi
Setelah proses mediasi dijalani oleh para pihak dengan bantuan
mediator, maka hasil akhirnya ada dua kemungkinan:
a. Diperoleh kesepakatan perdamaian yang dirumuskan secara tertulis
dan ditanda tangani oleh para pihak dan mediator (Pasal 17 ayat
(1))
b. Pernyataan secara tertulis yang dibuat oleh mediator yang
menyatakan bahwa proses mediasi telah gagal (Pasal 14 ayat (1)).
6. Tindakan Majelis Pemeriksa Perkara Mediasi.
Dalam hal mediasi menghasilkan kesepakatan perdamaian dan
para pihak menghendaki agar kesepakatannya dituangkan dalam bentuk
suatu akta perdamaian, maka majelis segera mengeluarkan akta
perdamaian, sedangkan jika para pihak tidak menghendaki akta
perdamaian dan dalam kesepakatannya telah mencantumkan klausul
pencabutan gugatan dan atau menyatakan perkara telah selesai, maka
Majelis hanya mengeluarkan penetapan yang amarnya menyatakan
bahwa perkara telah selesai (Pasal 17 ayat 5 dan 6).
Dalam hal mediasi tidak mencapai kesepakatan perdamaian dan
mediator telah menyatakan secara tertulis bahwa mediasi telah gagal
maka Majelis Hakim melanjutkan pemeriksaan perkara sesuai dengan
ketentuan hukum acara yang berlaku dengan tidak menutup
kemungkinan Majelis masih mendorong para pihak untuk berdamai atau
46
37
mengusahakan perdamaian hingga sebelum pengucapan putusan (Pasal
18 ayat 1-3).47
7. Perdamaian Ditingkat Banding Kasasi dan PK
Apabila para pihak bersepakat untuk menempuh upaya
perdamaian sedangkan perkara sedang berada dalam proses upaya
hukum Banding, Kasasi, atau Peninjauan Kembali tetapi belum diputus,
maka para pihak wajib menyampaikan secara tertulis kehendaknya itu
kepada Ketua Pengadilan Agama yang mengadili perkara yang
bersangkutan (Pasal 21 aya 1-2)
Majelis Hakim pemeriksa di tingkat banding, kasasi atau
peninjauan kembali wajib menunda pemeriksaan perkara yang
bersangkutan selama 14 (empat belas) hari kerja sejak menerima
pemberitahuan tentang adanya kehendak para pihak untuk menempuh
upaya perdamaian (Pasal 21 ayat 4).48
D. Ruang Lingkup Mediasi
Mediasi dalam ruang lingkupnya mempunyai cakupan luas
sejauh interaksi manusia dengan sosial hidupnya. Pandangan konflik
dalam setiap interaksi mempunyai pengerucutan dalam dua hal yaitu
wilayah publik dan privat. konflik dalam wilayah publik berkaitan erat
dengan kepentingan umum, dimana negara berkepentingan untuk
mempertahankan kepentingan umum tersebut.49 Hal ini berbeda dengan
hukum privat yang hanya berhubungan dengan perseorangan atau
38
pribadi, namun dimensi dan cakupan dari keduanya sama-sama luas.
Semisal hukum privat mempunyai cakupan seperti hukum Kewarisan,
hukum kekayaan, hukum keluarga, hukum perjanjian (kontrak), bisnis
dan lain-lain. Penjelasan dalam hukum perdata atau hukum privat para
pihak dapat menyelesaikan perkaranya melalui jalur hukum (pengadilan)
atau melalui jalur non hukum.
Berbeda dengan wilayah publik yang mengharuskan suatu
kejahatan dan pelangaran yang dilakukan sesorang harus diselesaikan
secara hukum, dalam kasus pidana pelaku kejahatan atau pelangaran
tidak boleh melakukan tawar-menawar (bargaining) dengan negara
sebagai penjaga utama kepentingan umum, dalam kasus seperti ini
seorang pelaku kejahatan sedang berkonflik dengan negara dan tidak
dapat melakukan negosiasi atau kompensasi kepada negara. sedangkan
bila kita melihat wilayah hukum pada masing tipikalnya yaitu publik
dan perdata, mediasi ruang lingkupnya berkutat pada permasalan pribadi
atau privat. sengketa-sengketa kelurga seperti sengketa waris, kekayaan,
kontrak, perbankan, bisnis, lingkungan hidup dan berbagai kasus perdata
dapat diselesaiakan melalui jalur mediasi. Undang-Undang Kekuasaan
Kehakiman dan Mahkamah Agung menyebutkan jenis perkara yang
dapat dimediasi kecuali perkara yang diselesaikan melalui prosedur
Pengadilan niaga, Pengadilan hubungan industrial, keberatan atas
putusan badan penyelesaian sengketa konsumen, dan keberatan atas
putusan komisi pengawas persaiangan usaha, semua sengketa yang
diajukan ke Pengadilan tingkat pertama wajib lebih dahulu diupayakan
39
Menurut pasal 2 PERMA No. 2 Tahun 2003 menegaskan setiap
Hakim, Mediator, dan para pihak wajib mengikuti prosedur penyelesaian
sengketa melalui mediasi. Peraturan tersebut mempunyai ruang gerak
yang luas yaitu setiap perkara yang masuk ke Pengadilan Agama tingkat
pertama wajib mengutamakan mediasi sebagai alternatif penyelesaian
perkara. Hal ini dikuatkan kembali oleh peraturan selanjutnya yang
berbunyi “Tidak menempuh prosedur mediasi berdasarkan peraturan ini
merupakan pelangaran terhadap ketentuan Pasal 130 HIR dan atau Pasal
154 Rbg yang mengakibatkan putusan batal demi hukum. Pasal 5 UU
No. 30 Tahun 2000 menjelaskan sengketa yang dapat diselesaikan
melalui arbitrase hanya sengketa dibidang Perdagangan. Sengketa yang
tidak dapat diselesaikan melalui arbitrase menurut Perundang-Undangan
adalah sengketa yang tidak dapat diadakan perdamaian. Sangat berbeda
dengan arbitrase, mediasi mempunyai ruang lingkup yang lebih luas
untuk menyelesaikan perkara melalui perdamaian.50
Analogi tersebut sangat serasi dengan penjelasan PERMA NO 1
Tahun 2008 yang menegaskan luasnya ruang lingkup mediasi yang
mencakup seluruh perkara perdata dalam kewenangan Pengadilan
Agama dan Pengadilan Umum pada tingkat pertama. Kewenangan
Pengadilan Agama meliputi perkara Perkawinan, Kewarisan, Wakaf,
Hibah, Sedekah, Wasiat, dan Ekonomi Islam.
E. Manfaat dan Tujuan Mediasi
Salah satu tujuan diadakannya mediasi adalah menyelesaikan
sengketa dengan melibatkan pihak ketiga yang bersifat imparsial dan
40
nertral. Mediasi dapat mengantarkan para pihak dengan kesepakatan
damai yang permanen dan lestari. Mediasi menempatkan para pihak
dalam kedudukan yang sama atau tidak ada yang dimenangkan dan
tidak ada yang dikalahkan (win-win solution),51 dalam mediasi para
pihak bersikap proaktif terhadap sengketa atau perkaranya sedangkan
mediator hanya menengahi atau tidak punya kewenangan untuk
memutus. Tujuan dari mediasi adalah perdamaian dan atau dapat
dicapainya kesepakatan di antara para pihak yang dapat mengantarkan
pada pemenuhan kepentingan yang saling menguntungakan dan
berakhirnya sengketa. Mediasi dapat memberikan keuntungan di
antaranya:52
1. Mediasi dapat menyelesaikan sengketa secara cepat dan relatif
murah dari pada perkara tersebut dibawa ke Pengadilan atau
Lembaga Aarbitrase;
2. Mediasi akan menyadarkan para pihak pada kepentingan mereka
dan pada kebutuhan secara emosional dan psikologis, sehingga
mediasi tidak hanya mengantar pada hak-hak hukumnya;
3. Mediasi memberikan peluang terbuka kepada para pihak untuk
aktif memberikan ide-ide dan alternatif penyelesaian sengketa;
4. Mediasi memberikan kontrol kepada para pihak atas proses dan
hukumnya;
5. Mediasi dapat memperjelas hasil melalui konsensus \yang tidak
didapat dalam proses litigasi dan arbitrase;
51
Ibid., 24.
41
6. Mediasi menghasilkan akta perdamaian yang tahan uji, karna
berdasarkan kesepakatan para pihak sendiri dan atas inisiatif
mereka sendiri;
7. Mediasi mampu menghilangkan konflik yang hampir selalu
mengiringi suatu pemutusan hukum serta memuaskan para pihak.
BAB III
HASIL PENELITIAN
A. Kompetensi realtif dan absolut Pengadilan Agama Bangil
1. Sejarah
Setelah melakukan penggalian data di Pengadilan Agama Bangil,
tidak dapat diketahui secara pasti sejak kapan berdirinya Pengadilan Agama
Bangil sebab tidak ditemukan dokumen tentang hal itu. Hanya saja pada
tahun 1950 Pengadilan Agama Bangil pernah dihapus oleh Menteri Agama
RI dengan Surat Keputusannya Nomor: 199/A/B-16 tanggal 4 September
1950. Kemudian Surat Keputusan Menteri Agama RI tersebut dicabut
dengan Surat Keputusan Nomor: 5 tahun 1952 tanggal 1 Maret 1952.
Dengan demikian maka sejak tanggal 1 Maret 1952 Pengadilan Agama
Bangil mulai beraktivitas kembali melayani masyarakat yang beragama
Islam sesuai dengan kewenangannya sampai sekarang.
Sebagaimana diuraikan di atas bahwa Pengadilan Agama Bangil
didirikan kembali berdasarkan Penetapan Menteri Agama Nomor : 5 tahun
42
1. Mencabut kembali surat Putusan Menteri Agama tanggal 4 Desember
1951 Nomor : 199/A/B-16 tentang Penghapusan Peradilan Agama di
Bangil.
2. Mendirikan kembali Pengadilan Agama di Bangil dengan daerah
hukum yang sama dari Pengadilan Negeri di tempat itu terhitung mulai
tanggal 1 Maret 1952.
3. Menentukan bahwa mulai tanggal 1 Maret 1952, daerah hukum dari
Pengadilan Agama di Pasuruan adalah sama dengan daerah hukum dari
Pengadilan Negeri Pasuruan.
Berdasarkan Keputusan tersebut, seharusnya yuridiksi Pengadilan
Agama Bangil adalah sama dengan yuridiksi pengadilan Negeri Bangil yang
meliputi seluruh wilayah Kabupaten Pasuruan (24 Kecamatan) hal ini sesuai
dengan ketentuan pasal 4 ayat 1 Undang-Undang Nomor 3 tahun 2006
tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 tahun 1989 tentang
Peradilan Agama yang menyatakan bahwa: Pengadilan Agama berkedudukan
di Ibukota Kabupaten / Kota dan daerah hukumnya meliputi wilayah
Kabupaten/Kota.
Tetapi faktanya (defacto) yuridiksi Pengadilan Agama Bangil tidak
demikian, Pengadilan Agama Bangil hanya mewilayahi 11 Kecamatan dari
24 Kecamatan yang ada di Kabupaten Pasuruan. Dengan demikian ada
pertentangan antara defacto dan dejure.