LAPORAN AKHIR
HIBAH PENELITIAN DOSEN MUDA
PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN KONFLIK
SOSIAL DI BALI DARI PERSPEKTIF HUKUM
Tim Peneliti:
I Ketut Suardita SH, MH (Ketua / NIDN: 0024026903)
I Gusti Ayu Agung Ari Krisnawati SH, MH (Anggota / NIDN: 0014088105)
Dibiayai oleh DIPA PNBP Universitas Udayana sesuai dengan Surat Perjanjian Penugasan Pelaksanaan Penelitian Nomor : 246-21/UN14.2/PNL.01.03.00/2015,
tanggal 21 April 2015
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS UDAYANA
HALAMAN PENGESAHAN
1. Judul Penelitian : Pencegahan Dan Penanggulangan Konflik Sosial Di Bali Dari Perspektif Hukum
2. Ketua Penelitian
a. Nama : I Ketut Suardita, SH, MH
b. Pangkat / Gol / NIP : Penata Tk. I / IIId / 19690224 199702 1 001 c. Jabatan Fungsional : Lektor
d. Fakultas : Hukum
e. Perguruan Tinggi : Universitas Udayana f. Curriculum Vitae : Terlampir
3. Jumlah Anggota Peneliti : 1 Orang 4. Lokasi Penelitian : Propinsi Bali
5. Jangka Waktu Penelitian : 21 April 2015 s/d 30 Oktober 2015. 6. Biaya Penelitian : Rp. 9.000.000
Mengetahui, Denpasar, 8 Oktober 2015 Dekan Fakultas Hukum
Universitas Udayana Ketua Penelitian
Prof. Dr. I Gusti Ngurah Wairocana, SH, MH I Ketut Suardita, SH, MH
NIP : 19530401 198003 1 004 NIP : 19690224 199702 1 001
Mengetahui
Ketua Lembaga Penelitian Dan Pengabdian Kepada Masyarakat Universitas Udayana
DAFTAR ISI
ISI HALAMAN
LEMBAR IDENTITAS DAN PENGESAHAN ... 2
RINGKASAN ... 4
SUMMARY ... 5
BAB I PENDAHULUAN ... 6
1.1 Latar Belakang Masalah ... 6
1.2 Perumusan Masalah ... 9
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 10
BAB III TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN ... 16
3.1 Tujuan Penelitian ... 16
3.2 Manfaat Penelitian ... 16
BAB IV METODE PENELITIAN ... 17
BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN ... 19
BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN ... 35
6.1 Kesimpulan ... ...35
6.2 Saran ... ...36
DAFTAR PUSTAKA ... 38
RINGKASAN
SUMMARY
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Pulau Bali sebagai salah satu daerah tujuan wisata internasional sudah sangat dikenal oleh masyarakat internasional. Tetapi fakta menunjukkan bahwa dalam tatanan sosial kemasyarakatan di Bali masih terdapat konflik-konflik sosial yang mengganggu ketentraman dan kedamaian masyarakat Bali. Konflik sosial yang terjadi di Bali bisa berupa konflik adat, konflik antar agama, konflik antar suku, konflik bernuansa ekonomi dan konflik yang bernuansa plolitik.
terhadap berbagai kekerasan yang terus mengancam kita setiap saat. Kita harus melakukan pendekatan-pendekatan," ujar Wiyana. Model pendekatan seperti apa yang dilakukan? Ketika ditanya demikian, Ketua yayasan Dwijendra ini mengatakan lakukan pendekatan secara umum. Seperti penegagakan hukum.1
Demikian pula seperti yang disampaikan oleh Kabid Humas Polda Bali Kombes Pol. Gede Sugianyar Dwi Putra, Bali sebagai daerah tujuan wisata internasional yang dibingkai ajaran Agama Hindu semestinya tidak menghadapi konflik sosial dalam bentuk apa pun, “Namun faktanya di lapangan dari tahun ke tahun konflik sosial itu terus terjadi dan sampai saat ini belum menemukan pemecahan yang tepat dalam menyelesaikan,” kata Kabid Humas Polda Bali Kombes Pol. Gede Sugianyar Dwi Putra. Ketika tampil sebagai pembicara pada Forum Sarasehan Pemuda Lintas Agama Provinsi Bali, Kombes Pol. Gede Sugianyar mengatakan, pengalaman aparat kepolisian di Polda Bali dalam menangani konflik bernuansa adat dan agama hingga saat ini tidak efektif. Menurut Kombes Pol. Gede Sugianyar, di wilayah hukum Polda Bali yang meliputi delapan kabupaten dan satu kota hingga akhir tahun 2010, ada sekitar 30-an kasus konflik bernuansa adat dan agama yang ditangani. Kasus tersebut jenisnya beragam, antara lain sengketa batas tanah warisan leluhur, lahan kuburan, perubahan status kasta dan nama, serta masalah agama maupun kepercayaan. Selain masuk keranah hukum dan ditangani pihak kepolisian, kata Kombes Pol. Gede Sugianyar, ada juga puluhan kasus lainnya yang diselesaikan sendiri oleh bendesa adat bersama tokoh masyarakat setempat. “Kami telah menangani berbagai kasus adat, namun tidak membuahkan hasil yang efektif. Konflik adat hanya bisa diselesaikan secara adat karena ternyata dengan hukum positif tidak memberikan efek yang signifikan,” katanya. Kombes Pol. Gede Sugianyar juga menyampaikan pesan Kapolda Bali Irjen Hadiatmoko, bahwa Forum Kerukunan Antarumat Beragama (FKUB) Bali untuk bisa merumuskan solusi nyata dan terbaik dalam menyelesaikan konflik sosial yang terjadi di Pulau Dewata. Gubernur Bali Made Mangku Pastika yang tampil sebagai pembicara utama dalam Forum Sarasehan Pemuda Lintas Agama Provinsi Bali tersebut mengatakan, yang terjadi di Bali sebenarnya bukan konflik adat dan budaya. “Fakta menunjukkan, sebenarnya
1
Potensi Konflik Sosial di Bali Tinggi, http://nasional.news.viva.co.id/news/read/219122-potensi-konflik-sosial-di-bali-tinggi, diakses Selasa 16 Juli 2013.
konflik tersebut bersumber dari pribadi-pribadi tertentu yang kemudian dibawa ke ranah sosial budaya sehingga yang muncul keluar adalah konflik sosial budaya,” ujarnya. Mangku Pastika melansir jika sumber konflik tersebut berasal dari faktor ekonomi, pendidikan dan semakin mahalnya harga lahan di Bali saat ini. Seluruh penyebab ini masuk keranah sosial budaya dan masyarakat menyikapinya secara budaya. Akibatnya, kasus ini menyebar, menjadi konsumsi media sehingga Bali secara keseluruhan mendapat getahnya.2
Konflik dan kekerasan di Bali, dikenal dengan istilah biota atau wicara. Pelakunya bukan hanya warga desa pakraman (krama desa), tetapi juga penduduk Bali. Dengan kata lain, setiap orang yang berada di Bali (baik krama desa, krama tamiu maupun tamiu), potensial dapat menimbulkan biota di tanah Bali. Apabila konflik dan kekerasan itu muncul karena pelanggaran norma agama Hindu dan adat Bali, dikenal dengan sebutan “konflik adat”. Konflik adat sebenarnya bukan hal baru, tetapi sudah terjadi sejak zaman kolonial.3
Adanya konflik sosial di Bali yang terwujud dalam konflik berdimensi adat seperti, bentrokan antar-banjar atau perebutan setra, mengindikasikan bahwa desa pakraman di Bali harus mengadakan evaluasi, pembelajaran, dan pendewasaan diri. Hal ini semakin berat dengan masuknya faktor-faktor eksternal seiring dengan menguatnya pengaruh globalisasi dan modernisasi. Oleh karena itu, desa pakraman sebagai pengawal adat, budaya, dan agama Hindu Bali harus diberdayakan keberadaannya agar dapat menjawab tuntutan zaman. Jangan sampai energi desa pakraman habis untuk mengurusi konflik internal, sementara penetrasi budaya global bergerak begitu cepat dan rumit.4 Seiring dengan menguatnya pengaruh modernisasi dan budaya global, desa pakraman sebagai lembaga adat yang merepresentasikan tata nilai tradisional tentu akan menghadapi berbagai masalah dan tantangan. Menurut teori-teori modernisasi, perubahan sosial yang terjadi di masyarakat dapat diamati dari tingginya mobilitas penduduk, tingginya aktivitas pertukaran barang dan jasa, cepatnya perputaran uang, menjamurnya etalase-etalase kapitalis (seperti mall, ruko,
2
Bali Hadapi Konflik Sosial, http://bumnwatch.com/bali-hadapi-konflik-sosial/, diakses Minggu 25 Agustus 2013.
3
Wayan P. Windia, Kajian Hukum Adat untuk Mencegah Konflik Sosial di Masyarakat, dies.unud.ac.id/wp-content/uploads/2008/09/10-windia-hukum.doc , diakses Selasa 16 Juli 2013.
4
Sistem Sosial Masyarakat Bali, http://www.cakrawayu.org/ artikel/ 8-guru-sukarma/ 51-sistem-sosial-masyarakat-bali.html, diakses Selasa 16 Juli 2013.
bar, restoran, dan lain-lain), dan sebagainya. Kemudian secara kultural, masyarakat modern dicirikan dengan menguatnya gaya hidup (life style) dan pencitraan diri (image). Selain itu, juga menguatnya pengaruh nilai-nilai modern, seperti individualistis, materialistis, praksis (efektif dan efisien), demokratis, dan ketergantungan pada penggunaan informasi dan teknologi dalam berbagai bidang kehidupannya.5
Konflik sosial yang terjadi di Bali juga disebabkan karena masyarakat adat dan Hindu di Bali juga sedang mengalami tekanan dari berbagai faktor eksternal yang menyebabkan Bali berada dalam keterkepungan, baik secara ideologi, politik, ekonomi, sosial, budaya, dan agama. Secara ideologi, masyarakat Bali berada dalam kegamangan ideologi akibat masuk dan berkembangnya ideologi asing dengan terbukanya Bali sebagai pertemuan lintas etnis, ras, bangsa, dan agama sebagai akses langsung pengembangan kepariwisataan di Bali. Secara politik, masuknya bermacam-macam partai politik ke Bali, baik disadari maupun tidak, akan menjadi alat bagi elit politik pusat untuk menggarap Bali.6 Hal ini sering menyebabkan kehidupan sosial-politik masyarakat Bali terganggu.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian pendahuluan maka dapat dirumuskan permasalahan dalam penelitian sebagai berikut:
1. Bagaimanakah pengaturan (aturan hukum) tentang pencegahan dan penanggulangan konflik sosial di Bali ?
2. Upaya-upaya apakah yang harus dilakukan untuk mencegah sedini mungkin terjadinya konflik sosial di Bali ?
5
Sistem Sosial Masyarakat Bali, http://www.cakrawayu.org/ artikel/ 8-guru-sukarma/ 51-sistem-sosial-masyarakat-bali.html, diakses Selasa 16 Juli 2013.
6
Sistem Sosial Masyarakat Bali, http://www.cakrawayu.org/ artikel/ 8-guru-sukarma/ 51-sistem-sosial-masyarakat-bali.html, diakses Selasa 16 Juli 2013.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Keanekaragaman suku, agama, ras, dan budaya Indonesia dengan jumlah penduduk lebih dari 230 juta jiwa, pada satu sisi merupakan suatu kekayaan bangsa yang secara langsung ataupun tidak langsung dapat memberikan kontribusi positif bagi upaya menciptakan kesejahteraan masyarakat. Namun pada sisi lain, kondisi tersebut dapat membawa dampak buruk bagi kehidupan nasional apabila terdapat ketimpangan pembangunan, ketidakadilan dan kesenjangan sosial dan ekonomi, serta ketidakterkendalian dinamika kehidupan politik. Di samping itu, transisi demokrasi dalam tatanan dunia yang makin terbuka mengakibatkan makin cepatnya dinamika sosial, termasuk faktor intervensi asing. Kondisi tersebut menempatkan Indonesia sebagai salah satu negara yang rawan konflik, terutama konflik yang bersifat horisontal. Konflik tersebut, terbukti telah mengakibatkan hilangnya rasa aman, timbulnya rasa takut masyarakat, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, korban jiwa dan trauma psikologis seperti dendam, benci, dan antipati, sehingga menghambat terwujudnya kesejahteraan umum.7 Untuk mencegah agar tidak terjadi konflik dalam masyarakat maka peranan hukum mutlak diperlukan. Peranan hukum dalam masyarakat adalah berfokus pada otoritas dan kontrol yang memungkinkan kehidupan kolektif manusia itu selalu berada dalam keadaan yang tertib dan tentram.8 Hukum diartikan sebagai suatu kontrol sosial dan berhubungan dengan pembentukan dan pemeliharaan aturan-aturan sosial.9 Hukum berfungsi sebagai mekanisme untuk melakukan integrasi terhadap berbagai kepentingan warga masyarakat, yang berlaku baik ada konflik maupun tidak ada konflik. Jika terjadi konflik di dalam masyarakat, maka hukum harus berperan. Olehnya itu, menurut Hobbes hukum itu ditentukan untuk mengatur
7
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2012 Tentang Penanganan Konflik Sosial,
http://statushukum.com/ undang- undang- republik- indonesia- nomor- 7- tahun- 2012- tentang-penanganan-konflik-sosial.html, diakses Selasa 16 Juli 2013.
8
Soetandyo Wignjosoebroto, 2013, Hukum Dalam Masyarakat, Cet. I, Graha Ilmu, Yoyakarta, hlm. 1.
9
konflik-konflik yang timbul sebagai akibat adanya interaksi sosial. Inilah yang disebut oleh Hobbes fungsi hukum sebagai mekanisme pengintegrasi.10
Konflik berasal dari kata kerja Latin configere yang berarti saling memukul. Secara sosiologis, konflik diartikan sebagai suatu proses sosial antara dua orang atau lebih (bisa juga kelompok) dimana salah satu pihak berusaha menyingkirkan pihak lain dengan menghancurkannya atau membuatnya tidak berdaya. Konflik dilatarbelakangi oleh perbedaan ciri-ciri yang dibawa individu dalam suatu interaksi. Perbedaan-perbedaan tersebut diantaranya adalah menyangkut ciri fisik, kepandaian, pengetahuan, adat istiadat, keyakinan, dan lain sebagainya. Konflik bertentangan dengan integrasi. Konflik dan Integrasi berjalan sebagai sebuah siklus di masyarakat. Konflik yang terkontrol akan menghasilkan integrasi, sebaliknya integrasi yang tidak sempurna dapat menciptakan konflik.11
Konflik dalam kamus umum bahasa Indonesia adalah pertentangan atau percecokan. Manajemen konflik merupakan serangkaian aksi dan reaksi antara pelaku maupun pihak luar dalam suatu konflik. Manajemen konflik termasuk pada suatu pendekatan yang berorientasi pada proses yang mengarahkan pada bentuk komunikasi (termasuk tingkah laku) dari pelaku maupun pihak luar dan bagaimana mereka mempengaruhi kepentingan (interests) dan interpretasi. Bagi pihak luar (di luar yang berkonflik) sebagai pihak ketiga, yang diperlukannya adalah informasi yang akurat tentang situasi konflik. Hal ini karena komunikasi efektif di antara pelaku dapat terjadi jika ada kepercayaan terhadap pihak ketiga.12
Konflik sosial mengacu pada sebuah bentuk interaksi sosial yang bersifat antara dua orang / kelompok atau lebih, di mana masing-masing pihak berusaha untuk saling mengalahkan atau bahkan meniadakan pihak lainnya. Sebagai sebuah bentuk interaksi sosial yang bersifat negatif, konflik sosial dapat dipahami sebagai akibat tidak sempurnanya
10
Ahmad Ubbe dkk, Laporan Pengkajian Hukum Tentang Mekanisme Penanganan Konflik Sosial, Pusat Penelitian dan Pengembangan Sistem Hukum Nasional Badan Pembinaan Hukum Nasional Kementerian Hukum dan HAM RI 2011, http:///www.bphn.go.iddatadocumentspkj-2011-10, diakses Rabo 10 Juni 2015.pdf
11
Konflik Sosial, http://riko11f.blogspot.com/2012/06/konflik-sosial.html, diakses Selasa 16 Juli 2013.
12
kontak sosial dan komunikasi sosial yang terjadi di antara pihak-pihak yang berkonflik. Dengan demikian sebuah interaksi sosial dapat menjadi sebuah kerjasama atau konflik, secara teoritis dapat diprediksi dari apakah kontak dan komunikasi sosial antara kedua pihak yang berinteraksi tersebut bersifat positif atau negatif. Sebagai salah satu bentuk interaksi sosial antar individu dan kelompok yang beraneka, konflik sosial adalah salah satu hakekat alamiah dari interaksi sosial itu sendiri. Konflik sosial tidak dapat ditiadakan, yang dapat dilakukan adalah upaya pengelolaan dan mempertahankan konflik pada tingkat yang tidak menghancurkan kebersamaan yang dibayangkan dan diinginkan bersama.13
Pengertian konflik sosial terdapat dalam Pasal 1 Ayat 1 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2012 Tentang Penanganan Konflik Sosial, yang menyatakan Konflik Sosial, yang selanjutnya disebut Konflik, adalah perseteruan dan/atau benturan fisik dengan kekerasan antara dua kelompok masyarakat atau lebih yang berlangsung dalam waktu tertentu dan berdampak luas yang mengakibatkan ketidakamanan dan disintegrasi sosial sehingga mengganggu stabilitas nasional dan menghambat pembangunan nasional.14
Pandangan ahli tentang konflik disampaikan oleh Robbin (1996: 431) mengatakan konflik dalam organisasi disebut sebagai The Conflict Paradoks, yaitu pandangan bahwa di satu sisi konflik dianggap dapat meningkatkan kinerja kelompok, tetapi di sisi lain kebanyakan kelompok dan organisasi berusaha untuk meminimalisasikan konflik. Pandangan ini yang meliputi antara lain:15
1. Pandangan tradisional (The Traditional View). Bahwa konflik itu hal yang buruk, sesuatu yang negatif, merugikan, dan harus dihindari. Konflik disinonimkan dengan istilah violence, destruction, dan irrationality. Konflik ini merupakan suatu hasil disfungsional akibat komunikasi yang buruk, kurang kepercayaan, keterbukaan di antara orang - orang.
2. Pandangan hubungan manusia (The Human Relation View). Konflik dianggap sebagai suatu peristiwa yang wajar terjadi di dalam kelompok atau organisasi.
13
Ahmad Ubbe dkk, Laporan Pengkajian Hukum Tentang Mekanisme Penanganan Konflik Sosial, Pusat Penelitian dan Pengembangan Sistem Hukum Nasional Badan Pembinaan Hukum Nasional Kementerian Hukum dan HAM RI 2011, www.bphn.go.iddatadocumentspkj-2011-10, diakses Rabo 10 Juni 2015.pdf
14
Pasal 1 Ayat 1 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2012 Tentang Penanganan Konflik Sosial, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 116.
15
Konflik dianggap sebagai sesuatu yang tidak dapat dihindari karena di dalam kelompok atau organisasi pasti terjadi perbedaan pandangan atau pendapat antar anggota. Oleh karena itu, konflik harus dijadikan sebagai suatu hal yang bermanfaat guna mendorong peningkatan kinerja organisasi. Dengan kata lain, konflik harus dijadikan sebagai motivasi untuk melakukan inovasi atau perubahan di dalam tubuh kelompok atau organisasi.
Demikian pula konflik yang terjadi pada manusia ada berbagai macam ragamnya, bentuknya, dan jenisnya. Soetopo (1999) mengklasifikasikan jenis konflik, dipandang dari segi materinya menjadi empat, yaitu:16
1. Konflik Tujuan
Konflik tujuan terjadi jika ada dua tujuan atau yang kompetitif bahkan yang kontradiktif.
2. Konflik Peranan
Konflik peranan timbul karena manusia memiliki lebih dari satu peranan dan tiap peranan tidak selalu memiliki kepentingan yang sama.
3. Konflik Nilai
Konflik nilai dapat muncul karena pada dasarnya nilai yang dimiliki setiap individu dalam organisasi tidak sama, sehingga konflik dapat terjadi antar individu, individu dengan kelompok, kelompok dengan organisasi.
4. Konflik Kebijakan
Konflik kebijakan dapat terjadi karena ada ketidaksetujuan individu atau kelompok terhadap perbedaan kebijakan yang dikemukakan oleh satu pihak dan kebijakan lainnya.
Menurut Sumaatmaja (2003:6.5) penyebab konflik adalah tiap-tiap manusia mempunyai sifat, watak, kehendak, dan kepentingannya masing-masing. Kehendak dan kepentingan orang di sekitarnya, maka akan terjalin hubungan kerja sama yang harmonis untuk mewujudkan keinginannya dan harapannya. Namun kenyataannya tidak jarang
16
kehendak dan keinginan serta kepentingan manusia yang satu dengan yang lainnya itu saling bertabrakan, maka akibatnya akan terjadi konflik diantara manusia itu.17
Adapun dampak negatif yang ditimbulkan oleh konflik sosial adalah sebagai berikut:18
1. Konflik dapat menimbulkan keretakan hubungan antara individu dan kelompok. 2. Konflik menyebabkan rusaknya berbagai harta benda dan jatuhnya korban jiwa. 3. Konflik menyebabkan adanya perubahan kepribadian.
4. Konflik menyebabkan dominasi kelompok pemenang.
Sumaatmaja (2003:6.5) menyebutkan bahwa sumber-sumber konflik antar suku bangsa dan golongan dalam negara-negara berkembang seperti Indonesia, paling sedikit 5 (lima) macam sumber konflik yaitu :19
1. Konflik bisa terjadi kalau warga dari dua suku bangsa masing-masing bersaing dalam
hal mendapatkan lapangan mata pencaharian hidup yang sama.
2. Konflik bisa terjadi kalau warga dari satu suku bangsa mencoba memaksakan
unsur-unsur dari kebudayaan kepada warga dari suatu suku bangsa lain.
3. Konflik bisa terjadi kalau warga dari satu suku bangsa mencoba memaksakan
konsep-konsep agamanya terhadap warga dari suku lain dari suku bangsa lain yang berbeda agama.
4. Konflik akan terjadi kalau satu suku bangsa berusaha mendominasi suatu suku bangsa
lain secara politis.
5. Potensi konflik terpendam ada dalam hubungan anatar suku-suku bangsa yang telah
bermusuhan secara adat.
Beberapa wujud konflik sosial yang perlu mendapat perhatian khusus karena sangat kuat terkonfirmasi sebagai konflik yang mengakar dan mengemuka secara berulang sepanjang sejarah kehidupan masyarakat Indonesia. Tiga diantaranya hádala :20
17
http://rizalardyansyah23. blogspot.com /2012/ 12/ makalah-bk-sosial-konflik.html, diakses Selasa 16 Juli 2013.
18
Konflik Sosial, http://riko11f.blogspot.com/2012/06/konflik-sosial.html, diakses Selasa 16 Juli 2013.
19
a. Konflik ideologis yang bersumber pada perbenturan nilai tentang bentuk negara yang digunakan sebagai bingkai bagi bangsa Indonesia yang merdeka.
b. Konflik horisontal rasial, yang bersumber pada perbedaan etnis yang cenderung rasial, dan dipicu oleh kesenjangan dalam penguasaan sumber-sumber ekonomi.
c. Konflik vertikal yang bersumber pada ketidak-puasan masyarakat pada penguasa, yang seringkali meledak dalam bentuk konflik horisontal karena dua faktor, yaitu rasa frustrasi dan tidak berdaya masyarakat dalam menghadapi kuatnya kekuasaan dan pemanfaatan potensi-potensi konflik horisontal oleh penguasa untuk mempertahankan kelanggengan kekuasaannya.
d. Konflik politik yang bersumber pada pertarungan antara kepentingan pemerintah dan masyarakat lokal, pemerintah nasional, dan kepentingan-kepentingan masyarakat internasional, yang dapat berakibat pada ancaman serius bagi kelanggengan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
20
BAB III
TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN
3.1 Tujuan Penelitian
Adapun tujuan penelitian ini adalah:
a. Untuk melaksanakan salah satu bidang Tri Dharma Perguruan Tinggi, yaitu bidang Penelitian.
b. Untuk memberikan dukungan terhadap kemajuan perkembangan ilmu pengetahuan khususnya Ilmu Hukum.
c. Untuk mengetahui persoalan-persoalan hukum yang timbul di masyarakat dan memberikan sumbangan pemikiran untuk memecahkan masalah-masalah hukum tersebut.
d. Untuk menambah wawasan keilmuan peneliti tentang hubungan antara Ilmu Hukum dengan masyarakat.
3.2 Manfaat Penelitian
Adapun manfaat penelitian ini adalah:
a. Untuk mengetahui dan memahami secara lebih mendalam pengaturan (aturan hukum) tentang pencegahan dan penanggulangan konflik sosial dan upaya-upaya yang harus dilakukan untuk mencegah sedini mungkin terjadinya konflik sosial di Bali.
b. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan bagi pemerintah di tingkat pusat maupun daerah dalam merumuskan kebijakan-kebijakan yang dapat mencegah terjadinya konflik sosial di Bali.
BAB IV
METODE PENELITIAN
1. Jenis penelitian
Penelitian ini adalah penelitian hukum yuridis normativ yang menggunakan data sekunder yaitu bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder sebagai bahan hukum untuk menganalisis permasalahan dalam penelitian dan kemudian ditunjang dengan informasi atau data lapangan.
2. Sifat penelitian
Ditinjau dari sifat penelitian, maka penelitian ini termasuk dalam kategori penelitian yang bersifat deskriptif yaitu bertujuan menggambarkan atau menjelaskan secara tepat sifat-sifat suatu individu, keadaan, gejala, kelompok tertentu, atau untuk menentukan ada tidaknya hubungan antara suatu gejala dengan gejala lainnya di masyarakat. Serta menjelaskan fungsi atau peran asas-asas hukum, prinsip-prinsip hukum dan norma-norma hukum terhadap fakta-fakta atau masalah-masalah sosial yang muncul di masyarakat.
3. Sumber bahan hukum
Penelitian ini didukung oleh data sekunder berupa bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Bahan hukum primer berupa peraturan perundang-undangan nasional, seperti misalnya: konstitusi negara, undang-undang, peraturan pemerintah dan lain-lain. Bahan hukum sekunder adalah bahan hukum sebagai penunjang dari bahan hukum primer, yaitu berupa: buku-buku hukum, jurnal-jurnal hukum, majalah-majalah hukum, tulisan-tulisan atau artikel-artikel hukum dan kamus hukum yang terkait dengan pokok permasalahan dalam penelitian ini.
4. Teknik pengumpulan bahan hukum
mencari, mempelajari dan memahami berbagai pendapat, teori dan konsepsi yang berhubungan dengan pokok permasalahan yang didapatkan dari literatur-literatur yang tersedia serta peraturan perundang-undangan.
5. Tehnik pengolahan dan analisa bahan hukum
BAB V
HASIL DAN PEMBAHASAN
Transisi demokrasi dalam tatanan dunia yang makin terbuka mengakibatkan makin cepatnya dinamika sosial, termasuk faktor intervensi asing. Kondisi tersebut menempatkan Indonesia sebagai salah satu negara yang rawan konflik, terutama konflik yang bersifat horisontal. Konflik tersebut, terbukti telah mengakibatkan hilangnya rasa aman, timbulnya rasa takut masyarakat, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, korban jiwa dan trauma psikologis seperti dendam, benci, dan antipati, sehingga menghambat terwujudnya kesejahteraan umum.21
Bali merupakan salah satu bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Konflik sosial yang bersifat horizontal juga sering terjadi di Bali. Membayangkan masyarakat Bali semata-mata anggung dan mempesona bagai di post card dan lukisan naturalis merupakan sebuah kekeliruan besar. Dibalik keanggunan dan keindahan tersebut, di sana sini terdapat konflik sosial.22 Konflik sosial yang terjadi di Bali pada umumnya dilatarbelakangi oleh masalah ekonomi, politik, hukum dan adat budaya. Namun konflik sosial yang terjadi di Bali yang sering muncul ke permukaan dan menjadi perhatian publik adalah konflik sosial yang berdimensi adat.
Konflik di Bali juga bisa dilacak dari ekses negatif ideologi pembangunan model tricle down efect, tetesan ke bawah. Hal ini memang tidak bersifat langsung, namun masih bisa dilacak peroses pertumbuhannya. Pembangunan model itu, amat bergantung pada peran konglomerat, karena itu kelompok ini, harus dibangun secara instant melalui konglomerasi dan nepotisme. Mereka inilah yang diberikan kesempatan untuk mengubah pola ekonomi pariwisata dari yang kerakyatan menjadi ”kekaisaran”. ”Kaisar-kaisar” pariwisata datang ke Bali, tidak saja melakukan eksploitasi ekonomi, tetapi juga penetrasi budaya dengan menghancurkan dan mengesampingkan budaya lokal. Lebih jauh dari itu mereka juga melakukan dominasi poltik dengasn mendikte elit kekuasaan lokal baik sipil maupun militer, dipaksa tunduk terhadap kehendak ”sang kaisar.” Hal ini kemudian menimbulkan
21
http:// statushukum. com/ undang- undang- republik- indonesia- nomor- 7- tahun- 2012- tentang- penanganan- konflik- sosial. html, diakses Selasa 16 Juli 2013.
22
konflik baru antara mahasiswa dan para pemerhati Bali melawan penguasa yang didukung aparat keamanan.23
Sementara konflik ekonomi sosial yang muncul dari ekses pembangunan model tricle down efect bermula dari adanya akumulasi kapital pada segelintir orang, yang kemudian melahirkan kecemburuan sosial golongan miskin dengan golongan kaya. Pembakaran dan penjarahan yang dilakukan oleh rakayat Bali pada kerusuhan sosial – politik 20-21Oktober 1999, sangat cocok untuk menerangkan bahwa ketimpangan sosial ekonomi mempunyai peluang yang besar meningkatkan kadar konflik tataran tertinggi, yakni tindakan-tindakan anarkhi.24
Konflik sosial yang juga sering menjadi perhatian publik yang terjadi di Bali adalah konflik adat atau kasus adat. Yang dimaksud dengan konflik ataupun kasus adat adalah kasus-kasus yang bertentangan dengan Tri Hita Karana (Parahyangan, Pawongan dan Palemahan) (Surpha, 2002:154). Di Bali konflik adat merupakan ancaman besar bagi eksistensi masyarakat Bali yang kini mendapatkan perhatian besar dari banyak kalangan. Konflik yang terjadi dalam masyarakat Bali beberapa tahun ini intensitasnya sangat tinggi. Beberapa kasus setelah diidentifikasi dapat digolongkan ke dalam ranah konflik adat tapi ada pula konflik yang diklaim menjadi konflik adat atau tindakan kriminal yang diadatkan, seperti permasalahan pribadi yang kemudian mengajak kelompok besar seperti banjar adat sampai desa pakraman untuk ikut serta dalam putaran konflik tersebut. Latar belakang terjadinya konflik adat antara lain disebabkan oleh adanya perubahan sosial yang tampak pada perubahan perilaku warga masyarakat, dan terjadinya pergeseran nilai budaya (Sirtha, 2008:75).25 Ditengah perkembangan kemajuan teknologi dan pengetahuan, dinamika kehidupan sosial masyarakat kini pun kian berubah. Kesadaran akan peningkatan kesejahteraan yang semakin tinggi akibat dari perubahan yang cepat mengikuti perkembangan masyarakat yang semakin maju, mengakibatkan adanya pergeseran nilai-nilai budaya masyarakat. Dengan kemajuan yang sedemikian rupa saat ini fenomena yang
23
Bahaya Konflik Multidimensi Mengintip Bali, http://www.sejarawantsp.com/bahaya-konflik-multidimensi-mengintip-bali/, diakses Minggu 14 Juni 2015.
24
Bahaya Konflik Multidimensi Mengintip Bali, http://www.sejarawantsp.com/bahaya-konflik-multidimensi-mengintip-bali/, diakses Minggu 14 Juni 2015.
25
muncul adalah masyarakat sudah mulai berubah menjadi masyarakat yang konsumtif, eksploitatif, bernafsu tinggi, individualistik, konsumeristik, dan sekuler. Pergeseran yang terjadi antara lain, terjadi pergeseran nilai sakral menjadi profan, dan nilai agama bergeser menjadi nilai ekonomi. Dengan terjadinya perubahan nilai dalam perubahan orientasi dari kesederhanaan dan hemat menjadi rakus antara lain merupakan penyebab munculnya berbagai konflik di desa pakraman termasuk konflik batas wilayah yang melibatkan desa pakraman (Windia, 2010:28).26
Konflik berasal dari kata kerja Latin configere yang berarti saling memukul. Secara sosiologis, konflik diartikan sebagai suatu proses sosial antara dua orang atau lebih (bisa juga kelompok) dimana salah satu pihak berusaha menyingkirkan pihak lain dengan menghancurkannya atau membuatnya tidak berdaya. Tidak satu masyarakat pun yang tidak pernah mengalami konflik antar anggotanya atau dengan kelompok masyarakat lainnya, konflik hanya akan hilang bersamaan dengan hilangnya masyarakat itu sendiri.27
Pengertian dari kata ”konflik” sangat banyak diberikan oleh para ahli. Menurut Stoner dan Freeman (1989:392) membagi pandangan menjadi dua bagian, yaitu pandangan tradisional (Old view) dan pandangan modern (Current View) :28
1. Pandangan tradisional. Pandangan tradisional menganggap bahwa konflik dapat dihindari. Hal ini disebabkan konflik dapat mengacaukan organisasi dan mencegah pencapaian tujuan yang optimal. Oleh karena itu, untuk mencapai tujuan yang optimal, konflik harus dihilangkan. Konflik biasanya disebabkan oleh kesalahan manajer dalam merancang dan memimpin organisasi. Dikarenakan kesalahan ini, manajer sebagai pihak manajemen bertugas meminimalisasikan konflik.
2. Pandangan modern. Konflik tidak dapat dihindari. Hal ini disebabkan banyak faktor, antara lain struktur organisasi, perbedaan tujuan, persepsi, nilai – nilai, dan sebagainya. Konflik dapat mengurangi kinerja organisasi dalam berbagai tingkatan. Jika terjadi konflik, manajer sebagai pihak manajemen bertugas mengelola konflik sehingga tercipta kinerja yang optimal untuk mencapai tujuan bersama.
26
Dinamika Desa Pakraman, http://dhebotblogbelog.blogspot.com/2014/01/dinamika-desa-pakraman.html, diakses Rabo 10 Juni 2015.
27
Konflik, http://id.wikipedia.org/wiki/Konflik, diakses Minggu 14 Juni 2015.
28
Selain pandangan menurut Robbin dan Stoner dan Freeman, konflik dipahami berdasarkan dua sudut pandang, yaitu: tradisional dan kontemporer (Myers, 1993:234)29
1. Dalam pandangan tradisional, konflik dianggap sebagai sesuatu yang buruk yang harus dihindari. Pandangan ini sangat menghindari adanya konflik karena dinilai sebagai faktor penyebab pecahnya suatu kelompok atau organisasi. Bahkan seringkali konflik dikaitkan dengan kemarahan, agresivitas, dan pertentangan baik secara fisik maupun dengan kata-kata kasar. Apabila telah terjadi konflik, pasti akan menimbulkan sikap emosi dari tiap orang di kelompok atau organisasi itu sehingga akan menimbulkan konflik yang lebih besar. Oleh karena itu, menurut pandangan tradisional, konflik haruslah dihindari.
2. Pandangan kontemporer mengenai konflik didasarkan pada anggapan bahwa konflik merupakan sesuatu yang tidak dapat dielakkan sebagai konsekuensi logis interaksi manusia. Namun, yang menjadi persoalan adalah bukan bagaimana meredam konflik, tapi bagaimana menanganinya secara tepat sehingga tidak merusak hubungan antarpribadi bahkan merusak tujuan organisasi. Konflik dianggap sebagai suatu hal yang wajar di dalam organisasi. Konflik bukan dijadikan suatu hal yang destruktif, melainkan harus dijadikan suatu hal konstruktif untuk membangun organisasi tersebut, misalnnya bagaimana cara peningkatan kinerja organisasi.
Adapun penyebab konflik tersebut adalah :30
Perbedaan individu, yang meliputi perbedaan pendirian dan perasaan.
Setiap manusia adalah individu yang unik. Artinya, setiap orang memiliki pendirian dan perasaan yang berbeda-beda satu dengan lainnya. Perbedaan pendirian dan perasaan akan sesuatu hal atau lingkungan yang nyata ini dapat menjadi faktor penyebab konflik sosial, sebab dalam menjalani hubungan sosial, seseorang tidak selalu sejalan dengan kelompoknya. Misalnya, ketika berlangsung pentas musik di lingkungan pemukiman, tentu
29
Konflik, http://id.wikipedia.org/wiki/Konflik, diakses Minggu 14 Juni 2015.
30
perasaan setiap warganya akan berbeda-beda. Ada yang merasa terganggu karena berisik, tetapi ada pula yang merasa terhibur.
Perbedaan latar belakang kebudayaan sehingga membentuk pribadi-pribadi yang berbeda.
Seseorang sedikit banyak akan terpengaruh dengan pola-pola pemikiran dan pendirian kelompoknya. Pemikiran dan pendirian yang berbeda itu pada akhirnya akan menghasilkan perbedaan individu yang dapat memicu konflik.
Perbedaan kepentingan antara individu atau kelompok.
Perubahan-perubahan nilai yang cepat dan mendadak dalam masyarakat.
Perubahan adalah sesuatu yang lazim dan wajar terjadi, tetapi jika perubahan itu berlangsung cepat atau bahkan mendadak, perubahan tersebut dapat memicu terjadinya konflik sosial. Misalnya, pada masyarakat pedesaan yang mengalami proses industrialisasi yang mendadak akan memunculkan konflik sosial sebab nilai-nilai lama pada masyarakat tradisional yang biasanya bercorak pertanian secara cepat berubah menjadi nilai-nilai masyarakat industri. Nilai-nilai yang berubah itu seperti nilai kegotongroyongan berganti menjadi nilai kontrak kerja dengan upah yang disesuaikan menurut jenis pekerjaannya. Hubungan kekerabatan bergeser menjadi hubungan struktural yang disusun dalam organisasi formal perusahaan. Nilai-nilai kebersamaan berubah menjadi individualis dan nilai-nilai tentang pemanfaatan waktu yang cenderung tidak ketat berubah menjadi pembagian waktu yang tegas seperti jadwal kerja dan istirahat dalam dunia industri. Perubahan-perubahan ini, jika terjadi seara cepat atau mendadak, akan membuat kegoncangan proses-proses sosial di masyarakat, bahkan akan terjadi upaya penolakan terhadap semua bentuk perubahan karena dianggap mengacaukan tatanan kehidupan masyarakat yang telah ada.
A. Pencegahan Dan Penanggulangan Konflik Sosial Di Bali Dari Perspektif Hukum Negara (Hukum Nasional)
undang-undang tentang pencegahan dan penanggulangan konflik sosial, yaitu Undang-undang Nomor 7 Tahun 2012 tentang Penanganan Konflik Sosial.
Menyadari kondisi dan tantangan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara yang demokratis, pada tanggal 10 Mei 2012 Pemerintah telah menerbitkan Undang-undang Nomor 7 Tahun 2012 tentang Penanganan Konflik Sosial. Undang-undang tersebut juga telah menetapkan ruang lingkup penanganan konflik meliputi Pencegahan Konflik, Penghentian Konflik, dan Pemulihan Pasca Konflik.31 Pengertian konflik sosial terdapat dalam Pasal 1 Ayat 1 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2012 Tentang Penanganan Konflik Sosial, yang menyatakan: Konflik Sosial, yang selanjutnya disebut Konflik, adalah perseteruan dan/atau benturan fisik dengan kekerasan antara dua kelompok masyarakat atau lebih yang berlangsung dalam waktu tertentu dan berdampak luas yang mengakibatkan ketidakamanan dan disintegrasi sosial sehingga mengganggu stabilitas nasional dan menghambat pembangunan nasional.32
Mengacu pada strategi penanganan konflik yang dikembangkan oleh pemerintah, kerangka regulasi yang ada mencakup tiga strategi. Pertama, kerangka regulasi dalam upaya pencegahan konflik seperti regulasi mengenai kebijakan dan strategi pembangunan yang sensitif terhadap konflik dan upaya pencegahan konflik. Kedua, kerangka regulasi bagi kegiatan penanganan konflik pada saat terjadi konflik yang meliputi upaya penghentian kekerasan dan pencegahan jatuhnya korban manusia ataupun harta benda. Ketiga, kerangka regulasi bagi penanganan pascakonflik, yaitu ketentuan yang berkaitan dengan tugas penyelesaian sengketa/proses hukum serta kegiatan pemulihan, reintegrasi, dan rehabilitasi. Kerangka regulasi yang dimaksud adalah segala peraturan perundang-undangan, baik yang tertuang dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 maupun dalam peraturan perundang-undangan yang lain, termasuk di dalamnya Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (TAP MPR).33
31
Penanganan Konflik Komunal dan Kekerasan Horizontal dari Perspektif Implementasi UU No. 7 Tahun 2012, http://www.indonesia.go.id/en/ penjelasan- umum/ 12392- penanganan- konflik- komunal- dan-kekerasan-horizontal-dari-perspektif-implementasi-uu-no-7-tahun-2012, diakses Selasa 16 Juli 2013.
32
Pasal 1 Ayat 1 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2012 Tentang Penanganan Konflik Sosial, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 116.
33
Berdasarkan pemikiran tersebut, pada dasarnya terdapat tiga argumentasi pentingnya Undang-Undang tentang Penanganan Konflik Sosial, yaitu argumentasi filosofis, argumentasi sosiologis, dan argumentasi yuridis.34
Argumentasi filosofis berkaitan dengan pertama, jaminan tetap eksisnya cita-cita pembentukan Negara Kesatuan Republik Indonesia, mewujudkan persatuan dan kesatuan bangsa, tanpa diganggu akibat perbedaan pendapat atau Konflik yang terjadi di antara kelompok masyarakat. Kedua, tujuan Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah melindungi segenap bangsa Indonesia yang terdiri atas beragam suku bangsa, agama, dan budaya serta melindungi seluruh tumpah darah Indonesia, termasuk memberikan jaminan rasa aman dan bebas dari rasa takut dalam rangka terwujudnya kesejahteraan umum sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Ketiga, tanggung jawab negara memberikan pelindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi melalui upaya penciptaan suasana yang aman, tenteram, damai, dan sejahtera baik lahir maupun batin sebagai wujud hak setiap orang atas pelindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda serta hak atas rasa aman dan pelindungan dari ancaman ketakutan. Bebas dari rasa takut merupakan jaminan terhadap hak hidup secara aman, damai, adil, dan sejahtera.35
Selanjutnya, argumentasi sosiologis pembentukan Undang-Undang tentang Penanganan Konflik Sosial adalah sebagai berikut; Pertama, Negara Republik Indonesia dengan keanekaragaman suku bangsa, agama, dan budaya yang masih diwarnai ketimpangan pembangunan, ketidakadilan, dan kesenjangan sosial, ekonomi dan politik, berpotensi melahirkan Konflik di tengah masyarakat. Kedua, Indonesia pada satu sisi sedang mengalami transisi demokrasi dan pemerintahan, membuka peluang bagi munculnya gerakan radikalisme di dalam negeri, dan pada sisi lain hidup dalam tatanan dunia yang terbuka dengan pengaruh asing sangat rawan dan berpotensi menimbulkan Konflik. Ketiga, kekayaan sumber daya alam dan daya dukung lingkungan yang makin terbatas dapat menimbulkan Konflik, baik karena masalah kepemilikan maupun karena kelemahan dalam
34
http:// statushukum. com/ undang- undang- republik- indonesia- nomor- 7- tahun- 2012- tentang- penanganan- konflik- sosial. html, diakses Selasa 16 Juli 2013.
35
sistem pengelolaannya yang tidak memperhatikan kepentingan masyarakat setempat. Keempat, Konflik menyebabkan hilangnya rasa aman, timbulnya rasa takut, rusaknya lingkungan dan pranata sosial, kerugian harta benda, jatuhnya korban jiwa, timbulnya trauma psikologis (dendam, benci, antipati), serta melebarnya jarak segresi antara para pihak yang berkonflik sehingga dapat menghambat terwujudnya kesejahteraan umum. Kelima, Penanganan Konflik dapat dilakukan secara komprehensif, integratif, efektif, efisien, akuntabel, dan transparan serta tepat sasaran melalui pendekatan dialogis dan cara damai berdasarkan landasan hukum yang memadai. Keenam, dalam mengatasi dan menangani berbagai Konflik tersebut, Pemerintah Indonesia belum memiliki suatu format kebijakan Penanganan Konflik komprehensif, integratif, efektif, efisien, akuntabel dan transparan, serta tepat sasaran berdasarkan pendekatan dialogis dan cara damai.36
Argumentasi yuridis pembentukan Undang-Undang tentang Penanganan Konflik Sosial adalah mengenai permasalahan peraturan perundang-undangan terkait Penanganan Konflik yang masih bersifat sektoral dan reaktif, dan tidak sesuai dengan perkembangan sistem ketatanegaraan.37
Transisi demokrasi dalam tatanan dunia yang makin terbuka mengakibatkan makin cepatnya dinamika sosial, termasuk faktor intervensi asing. Kondisi tersebut menempatkan Indonesia sebagai salah satu negara yang rawan Konflik, terutama Konflik yang bersifat horisontal. Konflik tersebut, terbukti telah mengakibatkan hilangnya rasa aman, timbulnya rasa takut masyarakat, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, korban jiwa dan trauma psikologis seperti dendam, benci, dan antipati, sehingga menghambat terwujudnya kesejahteraan umum.38 Berdasarkan fakta tersebut, maka dibentuklah undang-undang tentang penanganan konflik sosial, yaitu Undang-undang Nomor 7 Tahun 2012 tentang Penanganan Konflik Sosial. Undang-undang Nomor 7 Tahun 2012 terdiri dari 10 (Sepuluh) Bab dan 62 (Enam Puluh Dua) Pasal. Bab I tentang Ketentuan Umum, Bab II tentang Asas, Tujuan, Dan Ruang Lingkup, Bab III tentang Pencegahan Konflik, Bab IV tentang Penghentian Konflik, Bab V tentang Pemulihan Pasca Konflik, Bab VI tentang Kelembagaan Dan Mekanisme Penyelesain Konflik, Bab VII tentang Peran Serta
36
http:// statushukum. com/ undang- undang- republik- indonesia- nomor- 7- tahun- 2012- tentang- penanganan- konflik- sosial. html, diakses Selasa 16 Juli 2013.
37
http:// statushukum. com/ undang- undang- republik- indonesia- nomor- 7- tahun- 2012- tentang- penanganan- konflik- sosial. html, diakses Selasa 16 Juli 2013.
38
Masyarakat, Bab VIII tentang Pendanaan, Bab IX tentang Ketentuan Peralihan, Bab X tentang Ketentuan Penutup.
Dengan menggunakan pemahaman terhadap hakekat konflik sosial dan hakekat masyarakat Indonesia sebagai masyarakat multikultural, berikut ini adalah beberapa prinsip yang perlu diperhatikan dalam menangani konflik sosial secara efektif melalui aturan perundang-undangan, yaitu :39
a. Konflik sosial harus diterima sebagai salah satu realitas sosial yang merupakan salah satu hakekat kebersamaan, ilusi tentang terciptanya kebersamaan yang bersifat otomatis, dapat menyebabkan lahirnya sikap menghindari konflik yang akhirnya melumpuhkan kemampuan masyarakat untuk mengelola konflik secara mandiri dalam kehidupan bersama.
b. Penanganan konflik sosial dapat dilakukan secara lebih dini dengan mengidentifikasi pola-pola kontak dan komunikasi sosial yang dapat memprediksi bentuk-bentuk interaksi sosial yang bersifat negatif dari dua orang individu atau kelompok.
c. Penanganan konflik sosial dapat dilakukan secara efektif dengan mengidentifikasi dan mempelajari lebih seksama berbagai kepentingan spesifik yang merupakan konsekuensi dari perbedaan-perbedaan hakiki dan alami dari setiap individu atau kelompok yang membangun kesatuan sosial tersebut.
d. Penanganan konflik sosial tidak hanya dilakukan pada saat konflik sudah terbuka, yang biasanya sudah terlambat. Penanganan konflik perlu dilakukan secara lebih dini dengan cara mengidentifikasi secara cermat bentuk-bentuk konflik tersembunyi, kadar ketegangan yang timbul dari konflik tersembunyi tersebut, faktor-faktor yang potensial menjadi pemicu, serta pengaruh intervening variables penting yang ikut mempercepat proses perubahan sebuah konflik tersembunyi menjadi sebuah konflik terbuka.
e. Penanganan konflik secara efektif, juga dapat dilakukan dengan mengidentifikasi secara cepat dan akurat mengenai dimensi konflik yang terjadi. Konflik yang bersifat vertikal, perlu ditangani secara berbeda dengan konflik horisontal karena melibatkan dua individu atau kelompok sosial yang berbeda stata dan kekuatan hegemoniknya.
39
f. Penanganan konflik sosial secara efektif tidak hanya memperhatikan wujud konflik yang fisikal, melainkan juga yang bersifat ideologis yang berakar pada perbenturan nilai-nilai dasar, serta konflik normatif yang berakar pada perbedaanmengenai aturan berperilaku. g. Dalam konteks masyarakat multikultural, aturan perundang-undangan harus mampu
menumbuhkan kemampuan setiap individu dan kelompok masyarakat untuk memiliki kapasitas penting untuk hidup bersama, yaitu kesadaran akan jati diri dan sadar akan kepentingannya, kesadaran bertindak publik yang berlandas pada kemampuan menyadari dan menerima kepentingan orang lain dan kelompok lain setara dengan kepentingannya, memiliki keterampilan untuk menjadi juru bicara yang fasih dan elegan bagi kepentingan diri dan kelompoknya, menjadi pendengar yang peka terhadap kepentingan orang dan kelompok lain, serta mampu memberikan solusi-solusi kontributif yang larap dengan kerangka besar mosaik kebersamaan.
B. Pencegahan Dan Penanggulangan Konflik Sosial Di Bali Dari Perspektif Kearifan Lokal (Local Wisdom).
Bali sebagai bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah juga sebagai kesatuan masyarakat hukum adat dan memiliki nilai-nilai kearifan lokal. Kesatuan masyarakat hukum adat yang ada di seluruh Indonesia termasuk Bali, secara tegas telah mendapat pengakuan secara hukum. Hal ini ditegaskan dalam Konstitusi Negara Republik Indonesia, yaitu Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD 1945 setelah perubahan) pada Pasal 18B Ayat 2, yang menyatakan :
(2) Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang.
Selanjutnya dalam Pasal 28I ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 dinyatakan bahwa identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan jaman dan peradaban.
tentang pengesahan Konvensi PBB tentang Keanekaragaman Hayati yang memuat prinsip free and prior inform consent.40
Kehidupan masyarakat Bali dari waktu ke waktu terus mengalami dinamika. Dinamika perkembangan masyarakat Bali sangat dipengaruhi oleh era globalisasi yang memunculkan arus demokrasi dan perubahan yang begitu luas dan mempengaruhi segala segi kehidupan masyarakat Bali. Era globalisasi yang menimbulkan dinamika politik, ekonomi, sosial dan budaya terhadap masyarakat Bali telah memunculkan pertentangan atau konflik di Bali, yaitu konflik yang bersifat horisontal atau vertikal. Konflik dan kekerasan di Bali, dikenal dengan istilah biota atau wicara. Pelakunya bukan hanya warga desa pakraman (krama desa), tetapi juga penduduk Bali. Dengan kata lain, setiap orang yang berada di Bali (baik krama desa, krama tamiu maupun tamiu), potensial dapat menimbulkan biota di tanah Bali.41 Konflik sosial yang terjadi di Bali dilatarbelakangi oleh masalah politik, ekonomi, adat dan lain-lain. Konflik sosial yang terjadi di Bali yang sering muncul ke publik adalah dilatar belakangi oleh masalah adat. Apabila konflik dan kekerasan itu muncul karena pelanggaran norma agama Hindu dan adat Bali, dikenal dengan sebutan “konflik adat”. Konflik adat sebenarnya bukan hal baru, tetapi sudah terjadi sejak zaman kolonial, berlanjut sampai sekarang dengan berbagai menifestasi.42 Konflik adat yang juga merupakan konflik sosial sering muncul pada desa pakraman di Bali. Untuk mencegah munculnya konflik di desa pakraman, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan, sebagai berikut. Pertama, sanksi adat yang telah terbukti menjadi sorotan berbagai pihak karena dianggap tidak sesuai dengan perkembangan zaman dan hak azasi manusia (HAM) seperti sanksi adat kasepekang, sebaiknya ditinggalkan dan diganti dengan jenis sanksi lainnya yang lebih menjamin tercapainya tujuan pengenaan sanksi adat, yaitu mengembalikan keseimbangan dalam masyarakat dan menciptakan kasukertan sekala niskala (kedamaian lahir batin). Kedua, prajuru desa perlu mengadakan perubahan orientasi dalam menegakkan
40
Hendra Wahanu Prabandani, Pembangunan Hukum Berbasis Kearifan Lokal, http://birohukum. bappenas.go.id/data/data_artikel_jdih/PEMBANGUNAN%20HUKUM%20BERBASIS%20KEARIFAN%2 0 LOKAL.pdf, diakses Minggu 14 Juni 2015.
41
Wayan P. Windia, Kajian Hukum Adat untuk Mencegah Konflik Sosial di Masyarakat, dies.unud.ac.id/wp- content/uploads/2008/09/10-windia-hukum.doc , diakses Selasa 16 Juli 2013.
42
hukum adat (awig-awig desa). Penegakan awig-awig tidak lagi harus bersikukuh pada interpretasi teks, melainkan lebih berorientasi pada konteks ruang dan waktu serta manfaat yang didapat. Dalam hubungan dengan usaha menciptakan kasukertan (kedamaian) desa, hal ini mengandung arti bahwa dalam mengambil keputusan, perangkat pimpinan desa pakraman (prajuru desa) tidak semata-mata harus berpegang pada suara terbanyak (briuk siyu), melainkan patut meperhatikan kepatutan yang berlaku umum.43
Hukum adat di Bali mempunyai peranan yang sangat penting dalam mencegah dan menanggulangi konflik sosial yang terjadi di Bali. Hukum adat di Bali merupakan perwujudan dari nilai-nilai budaya Bali dan nilai-nilai kearifan lokal yang ada di Bali. Hukum adat dalam prakteknya adalah berisi kearifan-kearian lokal yang saat ini sedang mengemuka karena kapasitasnya telah terbukti bermanfaat sebagai pendekatan dalam berbagai aspek kehidupan.44 Soerjono Soekanto (1988) menyatakan bahwa hukum harus dianggap sebagai ekspresi dari suatu sikap kebudayaan, artinya tertib hukum harus dipelajari dan dipahami secara fungsional dari sistem kebudayaan. Hukum merupakan konkretisasi dari nilai-nilai budaya suatu masyarakat, dengan kata lain hukum merupakan penjelmaan dari sistem nilai-nilai budaya masyarakat. Oleh karena setiap masyarakat selalu menghasilkan kebudayaan, maka hukumpun selalu ada dalam masyarakat dan tampil dengan kekhasan masing-masing.45 Sebagai bagian dari produk kebudayaan, hukum tidak hanya dipandang sebagai bangunan norma peraturan yang dibuat oleh pihak yang memiliki otoritas untuk membuat hukum negara. Lebih dari itu, perspektif antropologi hukum memperlihatkan wujudnya sebagai sistem pengendalian sosial (social control) untuk menciptakan keteraturan sosial (social order) dan menjaga ketertiban dalam kehidupan bersama (legal order).46
43
Wayan P. Windia, Kajian Hukum Adat untuk Mencegah Konflik Sosial di Masyarakat, dies.unud.ac.id/wp- content/uploads/2008/09/10-windia-hukum.doc , diakses Selasa 16 Juli 2013.
44
Hendra Wahanu Prabandani, Pembangunan Hukum Berbasis Kearifan Lokal, http://birohukum. bappenas.go.id/data/data_artikel_jdih/PEMBANGUNAN%20HUKUM%20BERBASIS%20KEARIFAN%2 0 LOKAL.pdf, diakses Minggu 14 Juni 2015.
45
Hendra Wahanu Prabandani, Pembangunan Hukum Berbasis Kearifan Lokal, http://birohukum. bappenas.go.id/data/data_artikel_jdih/PEMBANGUNAN%20HUKUM%20BERBASIS%20KEARIFAN%2 0 LOKAL.pdf, diakses Minggu 14 Juni 2015.
46
Demikian pula nilai-nilai kearifan lokal yang ada di Bali juga dapat mencegah dan menanggulangi terjadinya konflik sosial di Bali. Kearifan lokal (local genius / local wisdom) merupakan pengetahuan lokal yang tercipta dari hasil adaptasi suatu komunitas yang berasal dari pengalaman hidup yang dikomunikasikan dari generasi ke generasi. Kearifan lokal dengan demikian merupakan pengetahuan lokal yang digunakan oleh masyarakat lokal untuk bertahan hidup dalam suatu lingkungannya yang menyatu dengan sistem kepercayaan, norma, budaya dan diekspresikan didalam tradisi dan mitos yang dianut dalam jangka waktu yang lama.47 Dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud sebagai kearifan lokal adalah nilai-nilai, norma, hukum-hukum dan pengetahuan yang dibentuk oleh ajaran agama, kepercayaan-kepercayaan, tata nilai tradisional dan pengalaman-pengalaman yang diwariskan oleh leluhur yang akhirnya membentuk sistem pengetahuan lokal yang digunakan untuk memecahkan permasalahan-permasalahan sehari-hari oleh masyarakat.48
Masyarakat Bali sebagai satu kesatuan geografis, suku, ras, agama memiliki nilai kearifan lokal yang telah teruji dan terbukti daya jelajah sosialnya dalam mengatasi berbagai problematika kehidupan sosial. Nilai kearifan lokal tersebut diantaranya :49
1. Nilai kearifan Tri Hita Karana; suatu nilai kosmopolit tentang harmonisasi hubungan manusia dengan tuhan (sutata parhyangan), hubungan manusia dengan sesama umat manusia (sutata pawongan) dan harmonisasi hubungan manusia dengan alam lingkungannya (sutata palemahan). Nilai kearfian lokal ini telah mampu menjaga dan menata pola hubungan sosial masyarakat yang berjalan sangat dinamis.
47
AA G Oka Wisnumurti, Mengelola Nilai Kearifan Lokal Dalam Mewujudkan Kerukunan Umat Beragama (Suatu Tinjauan Empiris-Sosiologis), http://www.yayasankorpribali.org/artikel-dan-berita/59-mengelola-nilai-kearifan-lokal-dalam-mewujudkan-kerukunan-umat-beragama.html, diakses Selasa 16 Juli 2013.
48
Hendra Wahanu Prabandani, Pembangunan Hukum Berbasis Kearifan Lokal, http://birohukum. bappenas.go.id/data/data_artikel_jdih/PEMBANGUNAN%20HUKUM%20BERBASIS%20KEARIFAN%2 0 LOKAL.pdf, diakses Minggu 14 Juni 2015.
49
2. Nilai kearifan lokal Tri Kaya Parisuda; sebagai wujud keseimbangan dalam membangun karakter dan jatidiri insani, dengan menyatukan unsur pikiran, perkataan dan perbuatan. Tertanamnya nilai kearfan ini telah melahirkan insan yang berkarakter, memiliki konsistensi dan akuntabilitas dalam menjalankan kewajiban sosial.
3. Nilai kearifan lokal Tatwam Asi; kamu adalah aku dan aku adalah kamu, nilai ini memberikan fibrasi bagi sikap dan prilaku mengakui eksistensi seraya menghormati orang lain sebagaimana menghormati diri sendiri. Nilai ini menjadi dasar yang bijaksana dalam membangun peradaban demokrasi moderen yang saat ini sedang digalakkan.
4. Nilai Salunglung Sabayantaka, Paras Paros Sarpanaya; sutu nilai sosial tentang perlunya kebersamaan dan kerjasama yang setara antara satu dengan yang lainnya sebagai satu kesatuan social yang saling menghargai dan menghormati.
5. Nilai Bhineka Tunggal Ika sebagai sikap sosial yang menyadari akan kebersamaan ditengah perbedaan, dan perbedaan dalam kebersamaan. Semangat ini sangat penting untuk diaktualisasikan dalam tantanan kehidupan sosial yang multikultural. 6. Nilai kearifan lokal Menyama Braya; mengandung makna persamaan dan
persaudaraan dan pengakuan sosial bahwa kita adalah bersaudara. Sebagai satu kesatuan sosial persaudaraan maka sikap dan prilaku dalam memandang orang lain sebagai saudara yang patut diajak bersama dalam suka dan duka.
keampuhannya, paling tidak ketika proses reformasi berlangsung, pemilu multi partai dan konflik-konflik sosial yang bernuansa antar pemuda, masalah ekonomi dan politik dapat diredam.50
50
BAB VI
KESIMPULAN DAN SARAN
6.1 Kesimpulan
Transisi demokrasi dalam tatanan dunia yang makin terbuka mengakibatkan makin cepatnya dinamika sosial, termasuk faktor intervensi asing. Kondisi tersebut menempatkan Indonesia sebagai salah satu negara yang rawan Konflik, terutama Konflik yang bersifat horisontal. Konflik tersebut, terbukti telah mengakibatkan hilangnya rasa aman, timbulnya rasa takut masyarakat, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, korban jiwa dan trauma psikologis seperti dendam, benci, dan antipati, sehingga menghambat terwujudnya kesejahteraan umum. Demikian halnya dengan Bali, Bali merupakan salah satu bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Konflik sosial yang bersifat horizontal juga sering terjadi di Bali. Konflik sosial yang terjadi di Bali pada umumnya dilatarbelakangi oleh masalah ekonomi, politik, hukum dan adat budaya.
Menyadari kondisi dan tantangan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara yang demokratis, maka pada tanggal 10 Mei 2012 Pemerintah telah menerbitkan Undang-undang Nomor 7 Tahun 2012 tentang Penanganan Konflik Sosial. Undang-undang tersebut juga telah menetapkan ruang lingkup penanganan konflik meliputi Pencegahan Konflik, Penghentian Konflik, dan Pemulihan Pasca Konflik. Dalam konteks Indonesia sebagai negara hukum, seperti ditegaskan pada Pasal 1 Ayat 3 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945 setelah perubahan), maka sudah sewajarnya negara (pemerintah) menciptakan norma-norma hukum atau produk hukum (peraturan perundang-undangan) yang mengatur kehidupan seluruh komponen bangsa, termasuk membuat peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang pencegahan dan penanggulangan konflik sosial. Bali sebagai sebuah Provinsi yang merupakan bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia tentu harus tunduk dan terikat untuk melaksanakan undang-undang yang sudah diundangkan dalam Lembaran Negara, termasuk tunduk dan melaksanakan undang-undang tentang pencegahan dan penanggulangan konflik sosial, yaitu Undang-undang Nomor 7 Tahun 2012 tentang Penanganan Konflik Sosial.
budaya lokal Bali (kearifan lokal Bali). Hukum adat di Bali mempunyai peranan yang sangat penting dalam mencegah dan menanggulangi konflik sosial yang terjadi di Bali. Hukum adat di Bali merupakan perwujudan dari nilai-nilai budaya Bali dan kearifan lokal yang ada di Bali. Sebagai bagian dari produk kebudayaan, hukum tidak hanya dipandang sebagai bangunan norma peraturan yang dibuat oleh pihak yang memiliki otoritas untuk membuat hukum negara. Lebih dari itu, perspektif antropologi hukum memperlihatkan wujudnya sebagai sistem pengendalian sosial (social control) untuk menciptakan keteraturan sosial (social order) dan menjaga ketertiban dalam kehidupan bersama (legal order). Eksitensi kesatuan masyarakat hukum adat di Bali telah mendapat pengakuan negara, hal ini ditegaskan dalam Konstitusi Negara Republik Indonesia, yaitu Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD 1945 setelah perubahan) pada Pasal 18B Ayat 2, dan Pasal 28I ayat (3).
Kearifan lokal adalah nilai-nilai, norma, hukum-hukum dan pengetahuan yang dibentuk oleh ajaran agama, kepercayaan-kepercayaan, tata nilai tradisional dan pengalaman-pengalaman yang diwariskan oleh leluhur yang akhirnya membentuk sistem pengetahuan lokal yang digunakan untuk memecahkan permasalahan-permasalahan sehari-hari oleh masyarakat. Masyarakat Bali sebagai satu kesatuan geografis, suku, ras, agama memiliki nilai kearifan lokal yang telah teruji dan terbukti daya jelajah sosialnya dalam mengatasi berbagai problematika kehidupan sosial. Nilai kearifan lokal tersebut diantaranya: Tri Hita Karana; Tri Kaya Parisuda; Tatwam Asi; Salunglung Sabayantaka, Paras Paros Sarpanaya; Bhineka Tunggal Ika; Menyama Braya.
Sederertan nilai-nilai kerafian lokal tersebut akan bermakna bagi kehidupan sosial apabila dapat menjadi rujukan dan bahan acuan dalam menjaga dan menciptakahn relasi sosial yang harmonis. Nilai kearifan lokal akan memiliki makna apabila tetap menjadi rujukan dalam mengatasi setiap dinamika kehidupan sosial, lebih-lebih lagi dalam menyikapi berbagai perbedaan yang rentan menimbulkan konflik.
6.2 Saran
pemangku kepentingan di Bali. Sosialisasi ini juga penting ditujukan kepada tokoh-tokoh masyarakat Bali yang menjadi panutan dan disegani di Bali. Pada konteks masyarakat Bali, tokoh-tokoh masyarakat masih dianggap memiliki kemampuan yang kuat untuk mengarahkan pemikiran dan tindakan masyarakat. Adanya sosialisasi Undang-undang Nomor 7 Tahun 2012 tentang Penanganan Konflik Sosial terhadap masyarakat yang ada di Bali, maka masyarakat diharapkan mengerti dan memahami substansi Undang-undang Nomor 7 Tahun 2012. Dengan dipahaminya substansi undang-undang tersebut oleh masyarakat, maka hal ini akan dapat mencegah terjadinya konflik sosial di Bali.
DAFTAR PUSTAKA
A. Buku
Adam Podgorecki dan Christoper J. Whelan (Editor), 1987, Pendekatan Sosiologis Terhadap Hukum, judul asli: Sociological Approaches To Law penerjemah: Rnc. Widyaningsih dan G. Kartasapoetra,Cet. I, Bina Aksara, Jakarkat.
Soetandyo Wignjosoebroto, 2013, Hukum Dalam Masyarakat, Cet. I, Graha Ilmu, Yoyakarta.
B. Peraturan Perundang-Undangan
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2012 Tentang Penanganan Konflik Sosial, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 116.
C. Artikel / Jurnal
Ahmad Ubbe dkk, Laporan Pengkajian Hukum Tentang Mekanisme Penanganan Konflik Sosial, Pusat Penelitian dan Pengembangan Sistem Hukum Nasional Badan Pembinaan
Hukum Nasional Kementerian Hukum dan HAM RI 2011,
http:///www.bphn.go.iddatadocumentspkj-2011-10, diakses Rabo 10 Juni 2015.
AA G Oka Wisnumurti, Mengelola Nilai Kearifan Lokal Dalam Mewujudkan Kerukunan Umat Beragama (Suatu Tinjauan Empiris-Sosiologis), http://www. yayasankorpribali. org/ artikel- dan- berita/ 59- mengelola- nilai- kearifan- lokal- dalam-mewujudkan- kerukunan-umat-beragama.html, diakses Selasa 16 Juli 2013.
Bali Hadapi Konflik Sosial, http://bumnwatch.com/ bali- hadapi- konflik- sosial/, diakses Minggu 25 Agustus 2013.
Hendra Wahanu Prabandani, Pembangunan Hukum Berbasis Kearifan Lokal, http://birohukum. bappenas.go.id/data/data_ artikel_ jdih/ PEMBANGUNAN% 20 HUKUM% 20BERBASIS%20KEARIFAN%20 LOKAL.pdf, diakses Minggu 14 Juni 2015.
http://rizalardyansyah23.blogspot.com/2012/12/ makalah- bk-sosial- konflik.html, diakses Selasa 16 Juli 2013.
Konflik Sosial, http://riko11f.blogspot.com/2012/06/konflik-sosial.html, diakses Selasa 16 Juli 2013.
Penanganan Konflik Komunal dan Kekerasan Horizontal dari Perspektif Implementasi UU No. 7 Tahun 2012, http://www.indonesia. go.id/en/ penjelasan- umum/ 12392- penanganan- konflik- komunal- dan- kekerasan- horizontal- dari- perspektif-implementasi-uu-no-7- ahun-2012, diakses Selasa 16 Juli 2013.
Potensi Konflik Sosial di Bali Tinggi, http://nasional.news.viva.co.id/news/read/219122-potensi-konflik-sosial-di-bali-tinggi, diakses Selasa 16 Juli 2013.
Sistem Sosial Masyarakat Bali, http://www.cakrawayu.org/ artikel/ 8-guru-sukarma/ 51-sistem-sosial-masyarakat-bali.html, diakses Selasa 16 Juli 2013.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2012 Tentang Penanganan Konflik Sosial, http://statushukum.com/ undang- undang- republik- indonesia- nomor- 7- tahun- 2012- tentang-penanganan-konflik-sosial.html, diakses Selasa 16 Juli 2013.
Personalia Penelitian
1. Ketua Peneliti
a. Nama : I Ketut Suardita, SH, MH
b. Pangkat/Golongan/NIP : Penata Tk.I / IIId / 19690224 199702 1 001 c. Jabatan Fungsional : Lektor
d. Fakultas : Hukum
e. Perguruan Tinggi : Universitas Udayana
f. Bidang Keahlian : Ilmu Hukum
2. Anggota Peneliti
a. Nama : I Gusti Ayu Agung Ari Krisnawati, SH, MH
b. Pangkat/Golongan/NIP : Penata Muda Tk.I/IIIb/19810814 200312 2 001 c. Jabatan Fungsional : Asisten Ahli
d. Fakultas : Hukum
CURRICULUM VITAE
Nama : I Ketut Suardita, SH, MH
NIP : 19690224 199702 1 001
Tempat dan Tanggal Lahir : Besan, Dawan, Klungkung, 24 Pebruari 1969
Jenis Kelamin : Laki-laki
Status Perkawinan : Kawin
Agama : Hindu
Golongan / Pangkat : IIId / Penata Tingkat I
Jabatan Akademik : Lektor
Perguruan Tinggi : Fakultas Hukum Universitas Udayana
Alamat : Jl. Pulau Bali No. 1 Denpasar
Telp / Faks : (0361) 222666 / Fax. 234888
Alamat Rumah : Jl. Pakusari, V. No. 2 Sesetan, Denpasar Selatan, Denpasar
Telp / Faks / Hp : 0817552858
1993 Sarjana (S1) Univ. Udayana Hukum Administrasi
Negara / Ilmu Hukum
2010 Magister (S2) Univ. Udayana Hukum Pemerintahan
/Ilmu Hukum
2010 Penataran Penulisan Buku Ajar Bagi Dosen UNUD
UPT Penerbit Universitas Udayana 13 s/d 14 April 2010 Strengthening Faculty Of Law Udayana University Intetrnational Cooperation Between Udayana University And Maastricht
University 2010 Training Development And
Educational Methodology Problem Base Learning
NPT Project NUFFIC IND 223, Strengthening Faculty Of Law Udayana University Intetrnational Strengthening Faculty Of Law Udayana University Intetrnational
2011 Workshop Nasional Legal Reasoning, Legal Research, Academic and Library Staffs Faculty of Law Udayana Univversity
NPT Project NUFFIC IND 223, Strengthening Faculty Of Law Udayana University Intetrnational
Hukum Pariwisata S1 Block Book
(Noncetak)
PENGALAMAN PENELITIAN
Tahun Judul Penelitian Ketua/
anggotaTim
Sumber Dana
2003 Hubungan Antara Desa Dinas dengan Desa Adat Dalam Wilayah Desa Adat Di Kabupaten Tabanan
Anggota Dana Dik Universitas Udayana Tahun anggaran 2003 dengan Sengketa Dalam Wilayah Desa Pakraman Di Kabupaten Badung Setelah Berlakunya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999
Anggota Proyek Peningkatan Penelitian Pendidikan Tinggi Dirjen PT. Dep. Pendidikan Nasioanal, Sesuai dengan Surat perjanjian Pelaksanaan osen Muda, Studi Kajian Wanita dan Sosial
Anggota Dana Dik Universitas Udayana Tahun anggaran 2004 dengan
nomor kontrak :
2057/J14/KU.02.03/2004 2006 Pelaksanaan Pembayaran Ganti Rugi
Dalam Hal Terjadinya Kecelakaan Angkutan Penumpang Umum Di Denpasar
Ketua Dana Dipa Universitas Udayana 2006 Dengan kontrak
Nomor :
002055/J.14/KU.04.07/2006 2008 Arah Kebijakan Pembangunan Sistem
Hukum Nasional Di Masa Depan
Mandiri Mandiri 2008 Konsep Dualism Desa Di Bali (Tipe
Ideal Desa Di Masa Depan)
2009 Eksistensi Lembaga Peradilan Pajak Di Indonesia Dalam Lintasan Sejarah
2010 Normatifisasi Falsafah Tri Hita Karana Dalam Produk Hukum
Kepada Peraturan Gubernur Di Bali
Anggota Dana Dipa Universitas Udayana No: 0161/023-04.2/XX/2010
2010 Konsekuensi Perubahan Konstitusi Terhadap Peraturan Perundang-Undangan
Mandiri Mandiri
2011 Sinkronisasi Nilai Palemahan Dalam Konsep Tri Hita Karana Sebagai