• Tidak ada hasil yang ditemukan

Laporan Penelitian Naskah Akademik Rancangan Peraturanrah Daerah Kabupaten Badung tentang Rencana Induk Pembangunan Kepariwisataan Daerah Tahun 2015-2030.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Laporan Penelitian Naskah Akademik Rancangan Peraturanrah Daerah Kabupaten Badung tentang Rencana Induk Pembangunan Kepariwisataan Daerah Tahun 2015-2030."

Copied!
88
0
0

Teks penuh

(1)

LAPORAN PENELITIAN

NASKAH AKADEMIK RANCANGAN

PERATURAN DAERAH

KABUPATEN BADUNG

TENTANG

RENCANA INDUK PEMBANGUNAN

KEPARIWISATAAN DAERAH

(2)

TIM PENELITI

1.

Prof. Dr. I Gusti Ngurah Wairocana, SH.MH

(3)

KATA PENGANTAR

Setiap daerah mempunyai hak dan kewajiban mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahannya untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan kepada masyarakat demikian amant Pasal 18 ayat 6 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Lebih lanjut dalam Undang-undang Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan mewajibkan bagi kabupaten atau kota yang menyusun Rencana Induk Pembangunan kepariwisataan diatur dalam bentuk Peraturan daerah, diperlukan pula argumentasi tentang (urgensi) membentuk Peraturan Daerah tersebut, yang secara garis besar meliputi argumentasi filosofis, sosiologis, dan yuridis.

Dalam kerangka inilah perlu disusun Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten Badung tentang Rencana Induk Pembangunan Kepariwsataan Daerah Tahun 2015 - 2030.

(4)

DAFTAR ISI

Kata Pengantar ………. 2

Daftar Isi ……….. 3

Daftar Tabel……….. 5

Daftar Matrik……… 5

BAB I PENDAHULUAN ... 6

1.1 Latar Belakang Masalah ... 6

1.2 Identifikasi Masalah ... 7

1.3 Tujuan dan Kegunaan Penyusunan Naskah Akademis 8 1.4 Metode ... 9

a. Pendekatan ... 9

b. Sumber Bahan Hukum ... 11

c. Pengumpulan Bahan Hukum ... 13

d. Analisis ... 13

BAB II KAJIAN TEORITIS DAN PRAKTIK EMPIRIS ... 14

2.1 Kajian Teoritik Tentang Kepariwisataan ... 14

2.2 Kajian terhadap Asas/Prinsip yang terkait dengan Penyusunan Norma Hukum Kepariwisataan ... 16

2.3 Kajian terhadap Praktik Penyelenggara, Kondisi Yang ada, Serta Permasalahan yang dihadapi Masyarakat .... 19

2.4 Kajian terhadap implikasi penerapan Rencana Induk Pembangunan Kepariwisataan yang akan diatur dalam peraturan daerah terhadap aspek ekonomi, sosial-budaya dan lingkungan.. ... 31

BAB III EVALUASI DAN ANALISIS PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN TERKAIT ... 39

3.1 Kajian Terhadap Peraturan Perundang-Undangan yang Memuat Kondisi Hukum yang ada ... 39

3.2. Kajian Terhadap Peraturan Daerah Kabupaten Badung yang memuat kondisi hukum yang ada terkait dengan Kepariwisataan ... 64

BAB IV LANDASAN FILOSOFIS, SOSIOLOGIS DAN YURIDIS 72 4.1 Landasan Filosofis ... 72

4.2 Landasan Sosiologis ... 73

(5)

BAB V JANGKAUAN, ARAH PENGATURAN DAN RUANG LINGKUP MATERI MUATAN PERATURAN DAERAH

76 5.1. Jangkauan dan Arah Pengaturan Rencana Induk

Pengembangan Kepariwisataan... 76

5.2. Ruang Lingkup Materi dan Jangkauan Pengaturan Rencana Induk Pengembangan Kepariwisataan. ... 77

BAB VI PENUTUP ... 86

6.1 Kesimpulan ... 86

6.2 Saran ... 86

DAFTAR PUSTAKA ... 87

LAMPIRAN

Konsep Awal Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten Bandung Tentang Rencana Induk Pembangunan Pariwisata (RIPARDA) Kabupaten Badung………..

(6)

DAFTAR TABEL

No Nama Tabel hal

1 Tabel 2.1 Kawasan Pariwisata di Kabupaten Badung Tahun

2009 20

2 Tabel 2.2 Daftar DTW, Jenis Wisata, dan Lokasi Per

Kecamatan di Kabupaten Badung 21 3 Tabel 2.3 Daftar DTW yang berpotensi untuk dikembangkan

di Kabupaten Badung 22 4 Tabel 2.4 Jumlah Usaha Akomodasi di Kabupaten Badung

Tahun 2005-2011 23 5 Tabel 2.5 Perkembangan Jumlah Restoran, Rumah Makan,

Bar, dan Catering di Kabupaten Badung Tahun

2006-2011 24

6 Tabel 2.6 Daftar Biro Perjalanan Wisata dan Cabang

di Kabupaten Badung Tahun 2011 25 7 Tabel 2.7 Daftar Konsultan Pariwisata di Kabupaten Badung

Tahun 2011 28

8 Tabel 2.8 Data Kunjungan Wisatawan Nusantara ke

Kabupaten Badung 28 9 Tabel 2.9 Data Kunjungan Wisatawan Mancanegara ke Kab.

BadungTahun 2007-2011 29 10 Tabel 2.10 Pengeluaran Wisatawan Mancanegara Tahun 2010 30 11 Tabel 2.11 Pengeluaran Wisatawan Nusantara Tahun 2010 30

DAFTAR MATRIK

No Nama Matrik Hal

1

Peraturan Perundang-Undangan dan Rumusan Norma Yang Berkaitan Dengan Kewenangan Kabupaten Bidang Kepariwisataan... 39

(7)

BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Masalah

Secara filosofis Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten Badung dilandasi oleh pemikiran bahwa pembangunan nasional adalah untuk memajukan kesejahteraan umum sebagaimana dimuat di dalam Undang-Undang Dasar 1945, pada hakekatnya adalah pembangunan manusia Indonesia seutuhnya dan pembangunan seluruh masyarakat Indonesia yang menekankan pada keseimbangan pembangunan, kemakmuran lahiriah dan kepuasan batiniah, dalam suatu masyarakat Indonesia yang maju dan berkeadilan sosial berdasarkan Pancasila.

Secara filosofis, pembangunan kepariwisataan memerlukan perencanaan induk, yang mempunyai peranan yang sangat strategis dalam menjamin keberlanjutan penyelenggaraan kepariwisataan. Untuk itu maka penyelenggaraan kepariwisataan perlu diatur dan dibina demi kelangsungan dan peningkatan kehidupan serta penghidupan masyarakat, sekaligus untuk mewujudkan pengelolaan kepariwisataan yang serasi, selaras dan seimbang. Melalui penetapan rencana induk pembangunan kepariwisataan (RIPPARDA) diharapkan dapat menopang dan menunjang tujuan pembangunan di Kabupaten Badung yang berlandaskan prinsip Tri Hita Karana.

(8)

Dari aspek yuridis Pemerintah Kabupaten Badung sampai akhir tahun 2014 memiliki beberapa ketentuan regulasi terkait dengan keperiwisataan, namun belum memiliki Peraturan Daerah tentang Rencana Induk Pengembangan Pembangunan Kepariwisataan.

Dengan latar belakang pemikiran secara filosofis, sosiologis, dan yuridis tersebut di atas, maka penyusunan Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten Badung tentang Pembangunan Kepariwisataan dipandang perlu guna mendapatkan kajian yang mendalam dan konprehensif baik secara teoritik maupun pemikiran ilmiah dalam merumuskan Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten Badung tentang Pembangunan Kepariwisataan.

1.2.Identifikasi Masalah

Kajian hukum perundang-undangan atau kajian terhadap suatu pengaturan menyangkut dua isu pokok, yakni penormaan materi muatan dan prosedur pembentukan. Kajian ini focus pada upaya penyusunan naskah akademik rancangan peraturan daerah, oleh karena itu berada pada isu penormaan materi muatan atau perumusan materi muatan sebagai suatu aturan yang mengandung norma hukum.

Isu perumusan aturan melingkupi beberapa sub isu yakni : a) landasan, b) asas-asas dalam pengaturan, c) batas-batas kewenangan pengaturan dan d) ruang lingkup materi muatan pengaturan.

Dikaitkan dengan isu pembangunan kepariwisataan di Kabupaten Badung, maka kajian ini dapat diidentifikasi permasalahannya sebagai berikut: 1.Destinasi :

a. Ketimpangan pembangunan antar wilayah Badung bagian Utara, Tengah, dan Selatan.

b. Pelanggaran atas kawasan suci, sempadan jurang, dan sempadan pantai.

c. Pelanggaran tata ruang wilayah.

d. Pengelolaan limbah yang belum mengikuti standar baku pengelolaan.

e. Kemacetan lalu lintas, terutama di wilayah Badung bagian selatan. f. Terbatasnya sumber daya air permukaan dan penggunaan sumber

daya tanah yang tidak terkendali.

g. Alih fungsi lahan pertanian menjadi fasilitas penunjang pariwisata. h. Kebersihan lingkungan daya tarik yang tidak terjaga.

(9)

j. Rendahnya pemahaman dan interpretasi daya tarik wisata (DTW). k. Aksessibiltas menuju ke beberapa DTW masih minim.

l. Kemacetan lalu lintas di wilayah Badung Utara sebagai akibat adanya pasar tumpah.

m.Alternative moda transportasi (angkutan laut) untuk mengatasi kemacetan lalu lintas sekaligus sebagai atraksi wisata.

n. Rawan bencana seperti : tsunami, banjir dan longsor.

2. Industri Pariwisata

a. Ketersediaan akomodasi wisata yang melebihi kapasitas terutama di wilayah Badung Selatan.

b. Masifnya perkembangan akomodasi (villa illegal).

c. Peningkatan SDM pariwisata yang berbasis masyarakat masih sangat rendah.

d. Hygine sanitasi belum diterapkan secara optimal.

e. Kurang tertatanya lay-out bangunan restoran.

f. Persaingan usaha yang kurang sehat.

3. Pemasaran

a. Belum optimalnya pemasaran pariwisata yang berbasis IT. b. Citra pariwisata kurang baik.

c. Keterpaduan antara stackholders pariwisata dalam pemasaran belum optimal.

d. Pengembangan pasar untuk agrowisata, ekowisata dan desa wisata belum berjalan dengan baik.

e. Peningkatan kualitas pariwisata melalui peningkatan lama tinggal (length of stay) dan daya beli (spending power) wisatawan.

4. Kelembagaan

a. Pengolalaan dan penataan DTW belum optimal.

b. Desa wisata yang telah ditetapkan belum berkembang secara optimal.

1.3.Tujuan dan Kegunaan Kegiatan Penyusunan Naskah Akademik

Sesuai dengan ruang lingkup identifikasi masalah yang diungkapkan diatas, tujuan dan kegunaan penyusunan naskah akademik dirumuskan sebagai berikut:

1. Tujuan penyusunan naskah akademik ini yakni :

(10)

b. Untuk merumuskan arah dan cakupan ruang lingkup materi bagi penyusunan Rancangan Peraturan Daerah Pemerintah Kabupaten Badung tentang pembangunan kepariwisataan.

2. Kegunaan penyusuanan naskah akademik ini, yakni :

a. Hasil kajian hukum ini diharapkan berguna sebagai masukan bagi pembuat Rancangan Peraturan Daerah Pemerintah Kabupaten Badung tentang pembangunan kepariwisataan.

b. Hasil kajian hukum ini diharapkan berguna bagi pihak-pihak yang berkepentingan dalam pembuatan Peraturan Daerah Pemerintah Kabupaten Badung tentang pembagunan kepariwisataan.

1.4.Metode

Penyusunan naskah akademik pada dasarnya merupakan suatu kegiatan penelitian, sehingga metode yang digunakan dalam penyusunan naskah akademik yakni penelitian hukum yang berbasiskan metode penelitian hukum. Penelitian hukum dapat dilakukan melalui metode yuridis normatif dan metode yuridis empiris.

Dalam penyusunan akademik ini dilakukan penelitian hukum dengan metode yuridis normatif dengan melakukan studi pustaka yang menelaah (terutama bahan hukum primer yang berupa Peraturan Perundang-undangan dan dokumen hukum lainnya). Dalam penelitian ini juga dilakukan wawancara, untuk verifikasi bahan hukum primer dan diskusi (focus group discussion), dan rapat dengar pendapat. Berdasarkan metode penelitian hukum di atas, langkah-langkah yang dilakukan dalam penelitian ini antara lain:

a. Pendekatan

Penelitian hukum mengenal beberapa metode pendekatan, yaitu pendekatan perundang-undangan (statute approach), pendekatan konsep

(conseptual approach), pendekatan analitis (analytical approach),

pendekatan perbandingan (comparative approach), pendekatan historis (historical approach), pendekatan filsafat (philosophical approach) dan pendekatan kasus (case approach)1

Pendekatan yang digunakan dalam penyusunan naskah akademik ranperda ini adalah pendekatan perundang-undangan ( statute approach), pendekatan konsep (conseptual approach), pendekatan analitis (analytical approach) dan pendekatan filsafat (philosophical approach).

(11)

a. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 244, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5587), sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 24, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5657).

b. Undang-Undang No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang ( Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 68 Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4725). c. Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan

Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil ( Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 84 Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4739).

d. Undang Undang Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 11 Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4966). e. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan Dan

Pengelolaan Lingkungan Hidup.(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 140 Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5059).

f. Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4737).

g. Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional.(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 48, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4833).

h. Peraturan Pemerintah Nomor 50 Tahun 2011 tentang Rencana Induk Pembangunan Kepariwisataan Nasional Tahun 2010-2025 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4562). i.Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 51 Tahun 2014

(12)

j.Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 5 Tahun 2005 tentang Persyaratan Arsitektur Bangunan Gedung.(Lembaran Daerah Provinsi Bali Tahun 2005 Nomor 5).

k. Peraturan Daerah Kabupaten Badung No. 26 Tahun 2013 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Badung.(Lembaran Daerah Kabupaten Badung Tahun 2013 Nomor 26, Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Badung Nomor 25).

Pendekatan konsep hukum (conceptual approach) dilakukan dengan menelaah konsep-konsep para ahli mengenai kepariwisataan, pengelolaan pariwisata dan konsep-konsep lain yang terkait. Pendekatan analitis (analytical approach) adalah suatu pendekatan yang dilakukan dengan menguraikan aturan hukum yang terkait dengan pembangunan kepariwsataan sehingga mendapatkan komponen-komponen pengelolaan pariwisata atau unsur-unsurnya untuk dapat ditetapkan dalam suatu persoalan tertentu. Pendekatan filsafat (philosophical approach) adalah pendekatan yang dilakukan dengan menelaah asas-asas yang terkandung dan/atau melandasi kaidah hukum kepariwisataan.

b.Sumber Bahan Hukum.

Sumber bahan hukum yang digunakan adalah bahan hukum primer dan hukum bahan hukum sekunder2. Bahan hukum primer adalah segala

dokumen resmi yang memuat ketentuan hukum, dalam hal ini, bahan hukum primer yang dipergunakan dalam penyusunan naskah akademik ini terdiri atas:

a. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 244, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5587), sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 24, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5657).

b. Undang-Undang No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang ( Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 68 Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4725). c. Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan

(13)

Indonesia Tahun 2007 Nomor 84 Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4739).

d. Undang Undang Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 11 Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4966). e. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan Dan

Pengelolaan Lingkungan Hidup.(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 140 Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5059).

f. Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4737).

g. Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional.(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 48, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4833).

h. Peraturan Pemerintah Nomor 50 Tahun 2011 tentang Rencana Induk Pembangunan Kepariwisataan Nasional Tahun 2010-2025 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4562). i. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 51 Tahun 2014

Tentang Perubahan atas Peraturan Presiden Nomor 45 Tahun 2011 Tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Perkotaan Denpasar, Badung, Gianyar, Dan Tabanan.(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 121)

j. Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 5 Tahun 2005 tentang Persyaratan Arsitektur Bangunan Gedung.(Lembaran Daerah Provinsi Bali Tahun 2005 Nomor 5).

k. Peraturan Daerah Kabupaten Badung No. 26 Tahun 2013 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Badung.(Lembaran Daerah Kabupaten Badung Tahun 2013 Nomor 26, Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Badung Nomor 25).

Bahan hukum sekunder adalah dokumen atau bahan hukum yang memberikan penjelasan terhadap bahan hukum primer seperi hasil penelitian atau karya tulis para ahli hukum yang memiliki relevansi dengan penelitian ini.

(14)

yang membidangi tentang kepariwisataan. Bahan ini digunakan sebagai penunjang dan untuk mengkonfirmasi bahan hukum primer dan sekunder.

c.Pengumpulan Bahan Hukum

Metode pengumpulan bahan hukum dilakukan dengan cara:

a. Studi dokumenter dan kepustakaan untuk bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder.

b. Untuk bahan informatif dilakukan dengan studi lapangan yaitu wawancara dan FGD (focus group discussion).

d. Analisis

(15)

BAB II

KAJIAN TEORITIS DAN PRAKTIK EMPIRIS

2.1.Kajian Teoritik Tentang Kepariwisataan

Menurut Undang-Undang No. 10 Tahun 2009 Tentang Kepariwisataan Bab I Pasal 1 dinyatakan bahwa Kepariwisataan adalah keseluruhan kegiatan yang terkait dengan pariwisata dan bersifat multidimensi serta multidisiplin yang muncul sebagai wujud kebutuhan setiap orang dan negara serta interaksi antara wisatawan dan masyarakat setempat, sesame wisatawan, Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan pengusaha.

Pembangunan adalah suatu proses perubahan kearah yang lebih baik yang di dalamnya meliputi upaya-upaya perencanaan, implementasi dan pengendalian,dalam rangka penciptaan nilai tambah sesuai yang dikehendaki. Pembangunan kepariwisataan diwujudkan melalui pelaksanaan rencana pembangunan kepariwisataan dengan memperhatikan keaneka ragaman, keunikan, dan kekhasan budaya dan alam, serta kebutuhan manusia untuk berwisata. Pembangunan kepariwisataan nasional meliputi:

a. Destinasi Pariwisata; b. Pemasaran Pariwisata; c. Industri Pariwisata; dan

d. Kelembagaan Kepariwisataan.

(16)

ditujukan untuk mendukung penciptaan kemudahan, kenyamanan, keselamatan wisatawan dalam melakukan kunjungan ke Destinasi Pariwisata.

Pemasaran Pariwisata adalah serangkaian proses untuk menciptakan, mengkomunikasikan,menyampaikan produk wisata dan mengelola relasi dengan wisatawan untuk mengembangkan Kepariwisataan dan seluruh pemangku kepentingannya. Industri Pariwisata adalah kumpulan Usaha Pariwisata yang saling terkait dalam rangka menghasilkan barang dan/atau jasa bagi pemenuhan kebutuhan wisatawan dalam penyelenggaraan pariwisata.Kelembagaan Kepariwisataan adalah kesatuan unsur beserta jaringannya yang dikembangkan secara terorganisasi, meliputi Pemerintah, Pemerintah Daerah, swasta dan masyarakat, sumber daya manusia, regulasi dan mekanisme operasional, yang secara berkesinambungan guna menghasilkan perubahan ke arah pencapaian tujuan di bidang Kepariwisataan.

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Undang-Undang No. 10 Tahun 2009 Tentang Kepariwisataan pasal 8 menyebutkan bahwa Pembangunan kepariwisataan dilakukan berdasarkan rencana induk pembangunan kepariwisataan yang terdiri atas rencana induk pembangunan kepariwisataan nasional, rencana induk pembangunan kepariwisataan provinsi, dan rencana induk pembangunan kepariwisataan kabupaten/kota. Rencana induk pembangunan kepariwisataan kabupaten/kota diatur dengan Peraturan Daerah kabupaten/kota. Penyusunan rencana induk pembangunan kepariwisataan dilakukan dengan melibatkan pemangku kepentingan. Rencana induk pembangunan kepariwisataan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) meliputi perencanaan pembangunan industri pariwisata, destinasi pariwisata, pemasaran, dan kelembagaan kepariwisataan.

(17)

2.2. Kajian terhadap Asas/Prinsip yang terkait dengan Penyusunan Norma Hukum Kepariwisataan.

Asas pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang baik, yang secara teoritik meliputi Asas Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang baik yang bersifat formal dan Asas Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang baik yang bersifat materiil. Asas pembentukan perundang-undangan yang baik dan bersifat formal dituangkan dalam Pasal 5 UU Nomor 12 Tahun 2011 (khususnya dalam pembentukan Peraturan Daerah, asas-asas tersebut diatur pula dalam pasal 137 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah (selanjutnya

disebut UU Pemda), “Perda dibentuk berdasarkan pada asas pembentukan

peraturan perundang-undangan” yang meliputi : 1. Kejelasan tujuan;

2. Kelembagaan atau organ pembentuk yang tepat; 3. Kesesuaian antara jenis dan materi muatan; 4. Dapat dilaksanakan;

5. Kedayagunaan dan kehasilgunaan; 6. Kejelasan rumusan; dan

7. Keterbukaan.

Sedangkan asas-asas materiil pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik diatur dalam Pasal 6 ayat (1) dan ayat (2) UU No 12 Tahun 2011 (khususnya berkenaan dengan peraturan daerah diatur dalam Pasal 138 ayat (1) dan ayat (2) UU Pemda), yakni materi muatan Peraturan Perundang-undangan mengandung asas:

1.Pengayoman; 2.Kemanusiaan; 3.Kebangsaan; 4.Kekeluargaan; 5.Kenusantaraan; 6.Bhineka tunggal ika; 7.Keadilan;

8.Kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan; 9.Ketertiban dan kepastian hukum; dan/atau

10. Keseimbangan, keserasian, dan keselarasan.

(18)

a. Dalam Hukum Pidana misalnya asas legalitas, asas tiada hukuman tanpa kesalahan, asas pembinaan narapidana, dan asas praduga tak bersalah.

b. Dalam Hukum Perdata misalnya dalam hukum perjanjian antara lain asas kesepakatan, asas kebebasan berkontrak, dan asas itikad baik. Relevansi asas-asas formal pembentukan perundang-undangan yang baik dengan pengaturan penyelenggaraan pembangunan kepariwisataandi Kabupaten Badung dapat diuraikan sebagai berikut:

Pertama, kejelasan tujuan. Pengaturan Pembanguanan Kepariwisataan di Pemerintah Kabupaten Badung bertujuan:

1) meningkatkan kualitas dan kuantitas Destinasi Pariwisata;

2) mengkomunikasikan Destinasi Pariwisata Indonesia dengan menggunakan media pemasaran secara efektif, efisien dan bertanggung jawab

3) mewujudkan Industri Pariwisata yang mampu menggerakkan perekonomian nasional; danmengembangkan Kelembagaaan Kepariwisataan dan tata kelola pariwisata yang mampu

1) mensinergikan Pembangunan Destinasi Pariwisata, Pemasaran Pariwisata, dan Industri Pariwisata secara profesional, efektif dan efisien

2) Ketegasan mengenai larangan dalam pembangunan kepariwisataan

3) Ketertiban dalam penyelenggaraan pembangunan kepariwisataan; 4) Kejelasan tugas, wewenang, dan tanggung jawab instansi terkait di

Pemerintah Daerah Kabupaten Badung dalam pembangunan kepariwisataan.

Kedua, kelembagaan atau organ pembentuk yang tepat. Contoh: Pengaturan Pembangunan Kepariwisataan dengan Peraturan Daerah dilakukan Bupati Badung dengan persetujuan bersama DPRD Kabupaten Badung. Rangcangan dapat berasal dari Bupati atau dari DPRD Kabupaten Badung, dalam konteks ini Rancangan Perda tentang Pembangunan Kepariwisataan Daerah ini merupakan inisiatif Bupati Kabupaten Badung.

Ketiga, kesesuaian antara jenis dan materi muatan.Pengaturan pembanguanan kepariwisataan dapat dengan Peraturan Daerah.Adapun materi pokok yang diatur dengan Peraturan Daerah mengacu pada peraturan perundang-undangan yang terkait dengan pembanguanan kepariwisataan, seperti kajian dalam bab-bab berikutnya dalam kajian naskah akademis ini.

(19)

Kabupaten Badung; (2) yuridis, ada jaminan kepastian hukum dalam penyelenggaraan pembangunan kepariwisataan di Pemerintah Kabupaten Badung, termasuk substansinya tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi; dan (3) sosiologis, penyelenggaraan pembangunan kepariwisataan di Pemerintah Kabupaten Badung memang dapat memberikan manfaat, baik bagi pemerintah daerah maupun bagi masyarakat, termasuk substansinya tidak bertentangan dengan kepentingan umum.

Kelima, kedayagunaan dan kehasilgunaan.Asas ini dapat diwujudkan sepanjang penyelenggaraan pembangunan kepariwisataan di Pemerintah Kabupaten Badung memang benar-benar dibutuhkan dan bermanfaat dalam mengatur kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

Keenam, kejelasan rumusan.Asas ini dapat terwujud dengan pembentukan Peraturan daerah tentang penyelenggaraan pembangunan kepariwisataan di Pemerintah Kabupaten Badung, sesuai persyaratan teknik penyusunan peraturan perundang-undangan, sistematika dan pilihan kata atau terminologi, serta bahasa hukum yang jelas dan mudah dimengerti, sehingga tidak menimbulkan berbagai macam interpretasi dalam pelaksanaannya.Singkatnya, rumusan aturan hukum dalam Peraturan daerah tentang pembangunan kepariwisataan menjamin kepastian.

Ketujuh, keterbukaan.Proses pembentukan Peraturan Daerah ini harus menjamin partisipasi masyarakat, dalam artian masyarakat dijamin haknya untuk memberikan masukan, baik tertulis maupun lisan, serta kewajiban Pemerintah Daerah untuk menjamin masukan tersebut telah dipertimbangkan relevansinya. Untuk terselenggaranya partisipasi masyarakat itu, maka terlebih dahulu Pemerintah Daerah memberikan informasi tentang proses pembentukan Peraturan daerah tentang pembangunan kepariwisataan ini.

Relevansi asas-asas materiil pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik dengan pengaturan pembangunan kepariwisataan dapat diuraikan sebagai berikut:

(20)

Kedua, kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan.Berdasarkan asas ini materi muatan peraturan daerah tentang pembangunan kepariwisataan tidak berisi ketentuan-ketentuan yang bersifat membedakan berdasarkan latar belakang antara lain agama, suku, ras, golongan, gender, atau status sosial. Inti dari kesamaan adalah keadilan, yang menjamin perlakuan yang sama, sesuai hak dan kewajibannya.

Ketiga, ketertiban dan kepastian hukum.Agar peraturan daerah tentang pembangunan kepariwisataan dapat menimbulkan ketertiban dalam masyarakat melalui jaminan adanya kepastian hukum.Jaminan kepastian hukum mempunyai dua arti.Pertama, kepastian hukum dalam arti kepastian pelaksanaannya, yakni bahwa hukum yang diundangkan dilaksanakan dengan pasti oleh negara.Kedua, kepastian hukum dalam arti kepastian orientasi, yakni hukum harus sedemikian jelas sehingga masyarakat dan pemerintah serta hakim dapat berpedoman padanya.Masing-masing pihak dapat mengetahui tentang hak dan kewajibannya.Dalam konteks ini, yang dimaksud dengan kepastian hukum adalah kepastian hukum dalam arti kepastian orientasi. Ini berarti norma hukum pembangunan kepariwisataan harus sedemikian jelas sehingga masyarakat dan pemerintah daerah serta hakim dapat berpedoman padanya, terutama masyarakat dapat dengan jelas mengetahui hak dan kewajiban dalam kaitannya dengan pembangunan kepariwisataan, termasuk norma hukum tentang sanksi atas pelanggarannya tidak boleh berlaku surut.

Keempat, keseimbangan, keserasian, dan keselarasan. Dalam konteks penyusunan norma hukum pembangunan kepariwisataan harus ada keseimbangan beban dan manfaat, atau kewajiban dengan hak yang didapatkannya. Juga harus ada keseimbangan antara sanksi antara aparatur dan masyarakat ketika melakukan kelalaian atau pelanggaran.

2.3. Kajian Terhadap Praktik Penyelenggaraan, Kondisi Yang ada Serta Permasalahan yang Dihadapi Masyarakat.

Kajian terhadap praktik penyelenggaraan, kondisi yang ada serta permasalahan yang dihadapi masyarakat berkaitan dengan kepariwisataan di Kabupaten Badung diuraikan dalam beberapa aspek dibawah ini.

1. Destinasi Pariwisata

(21)

wisata buatan. Seluruh DTW tersebut ditetapkan berdasarkan Peraturan Bupati Badung Nomor 7 Tahun 2005, tanggal 7 Februari 2005 tentang Daya Tarik Wisata di Kabupaten Badung. Daerah Badung Selatan memiliki potensi wisata alam, sebagian besarnya berupa wisata pantai, taman bakau, dan pelestarian penyu. Sedangkan wisata budayanya berupa Pura dan desa tradisional, dan wisata buatan berupa Monumen GWK dan Tempat Rekreasi Water Boom Park and Spa.

Wilayah-wilayah yang dijadikan sebagai kawasan pariwisata di Kabupaten Badung meliputi 3 (tiga) kawasan, yaitu Nusa Dua, Kuta, dan Tuban. Ketiga kawasan tersebut ditetapkan berdasarkan Peraturan Daerah Provinsi Daerah No. 16 Tahun 2009, Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Bali.

Selengkapnya ditampilkan pada Tabel 2.1 yang memaparkan Kawasan Pariwisata, dan Tabel 2.2 yang memaparkan DTW di Kabupaten Badung, serta Tabel 2.3 yang memaparkan DTW yang berpotensi untuk dikembangkan.

Tabel 2.1.

Kawasan Pariwisata di Kabupaten Badung Tahun 2009 No Nama

Kawasan Desa/Kel Kecamatan Batas Fisik

1. Nusa Dua Benoa Jimbaran Unggasan Pecatu

Kuta Selatan Kuta Selatan Kuta Selatan Kuta Selatan

Utara: Batas selatan Bandara Ngurah Rai ;

Timur: Pantai Timur Kel (Tuban, Jimbaran dan Benoa) ;

Selatan: Pantai Selatan Kel (Benoa, Ungasan, Pecatu) ;

Barat: Pantai Barat Desa (Pecatu, Jimbaran dan Tuban).

2. Kuta Kuta

Kerobokan Canggu

Kuta

Kuta Utara Kuta Utara

Utara: Batas utara kel./desa (Canggu dan Kerobokan) ;

Timur: Batas Timur Kel. (Kerobokan dan Kuta) ;

Selatan: Batas selatan Kel. Kuta ;

Barat: Pantai Barat Kel/desa (Kerobokan dan Kuta).

3. Tuban Tuban Kuta Utara: Jalan Bakungsari, Mertasari dan Tujungmekar-By Pass ;

(22)

Selatan: Batas utara Bandara Udara Ngurah Rai ;

Barat: Pantai Barat Kel. Kuta dan Tuban.

Sumber : Perda Provinsi Bali Nomor 16/2009 tentang RTRW Provinsi Bali

Tabel 2.2

Daftar DTW, Jenis Wisata, dan Lokasi Per Kecamatan di Kabupaten Badung

No. Nama DTW Jenis Wisata Lokasi

Desa/Kel. Kecamatan

1. Kawasan Luar Pura Uluwatu

Wisata

Budaya Pecatu

Kuta Selatan

2. Pantai Nyang-Nyang Wisata Alam Pecatu

Kuta Selatan

3. Pantai Padang-Padang Wisata Alam Pecatu

Kuta Selatan

4. Pantai Labuan Sait Wisata Alam Pecatu

Kuta Selatan

5. Pantai Suluban Wisata Alam Pecatu

Kuta Selatan

6. Pantai Batu Pageh Wisata Alam Unggasan

Kuta Selatan

7. Pantai Samuh Wisata Alam Benoa

Kuta Selatan

8. Pantai Geger Sawangan Wisata Alam Benoa

Kuta Selatan

9. Pantai Nusa Dua Wisata Alam Benoa

Kuta Selatan

10. Pantai Tanjung Benoa Wisata Alam

Tanjung Benoa

Kuta Selatan 11. Pelestarian Penyu di

Deluang Sari Wisata Alam

Tanjung Benoa

Kuta Selatan

12.

Taman Rekreasi Hutan

Bakau Wisata Alam

Tanjung Benoa

Kuta Selatan

13. Pantai Jimbaran Wisata Alam Jimbaran

Kuta Selatan

14.

Garuda Wisnu Kencana (GWK)

Wisata

Budaya Jimbaran

(23)

No. Nama DTW Jenis Wisata Lokasi

Desa/Kel. Kecamatan

Kemanusiaan Budaya

20. Pantai Peti Tenget Wisata Alam Kerobokan Kuta Utara 21. Pantai Berawa Wisata Alam Tibubeneng Kuta Utara 22. Pantai Canggu Wisata Alam Canggu Kuta Utara 23. Pantai Seseh Wisata Alam Munggu Mengwi

24. Pura Sadha Kapal

Wisata

Budaya Kapal Mengwi

25.

Kawasan Luar Pura Taman Ayun

Wisata

Budaya Mengwi Mengwi

26.

Kawasan Pura Keraban Langit

Wisata

Budaya Sading Mengwi 27. Desa Wisata Baha Wisata Alam Baha Mengwi

28. Bumi Perkemahan Blahkiuh

Wisata

Remaja Blahkiuh Abiansemal 29. Alas Pala Sangeh Wisata Alam Sangeh Abiansemal 30. Tanah Wuk Wisata Alam Sangeh Abiansemal 31. Air Terjun Nungnung Wisata Alam Pelaga Petang 32. Wisata Agro Pelaga Wisata Alam Pelaga Petang 33. Kawasan Luar Pura Puncak

Tedung Wisata Alam Pelaga Petang

Sumber : Profil Pariwisata Kabupaten Badung, 2012

Tabel 2.3

Daftar DTW yang berpotensi untuk dikembangkan di Kabupaten Badung

No. Nama Objek Wisata Jenis Wisata Lokasi

Kecamatan Desa/Kel.

1. Pantai Dreamland Wisata Alam Kuta Selatan Pecatu 2. Pantai Blue Point Wisata Alam Kuta Selatan Pecatu 3. Pantai Bingin Wisata Alam Kuta Selatan Pecatu 4. Pantai Tegal Wangi Wisata Alam Kuta Selatan Pecatu

5. Water Park Wisata Buatan Kuta Selatan Pecatu

6. Pantai Gunung Payung Wisata Alam Kuta Selatan Ungasan 7. Pantai Pandawa Wisata Alam Kuta Selatan Kutuh

8. Water Sport Wisata Alam Kuta Selatan Tanjung Benoa

9. Selancar Air Wisata Alam Kuta Kuta 10. Pantai Echo Wisata Alam Kuta Utara Tibubeneng 11. Pantai Batu Bolong Wisata Alam Kuta Utara Canggu 12. Pantai Pererenan Wisata Alam Mengwi Pererenan 13. Pantai Batu Ngaus Wisata Alam Mengwi Cemagi 14. Pantai Mangening Wisata Alam Mengwi Cemagi

(24)

Menyusul dikeluarkannya Peraturan Bupati Badung No 43 Tahun 2014 Kabupaten badung kembali menetapkan 3 (tiga) daya tarik wisata yaitu : Daya Tarik Wisata Pantai Pandawa, Daya Tarik Wisata Bali Elephant Camp dan Daya Tarik Wisata Jembatan Tukad Bangkung. Selain itu melalui Peraturan Bupati Badung No 47 Tahun 2010 Kabupaten Badung menetapkan 11 (sebelas) desa wisata di Kabupaten Badung yaitu; Desa Bongkasa Pertiwi, Desa Pangsan, Desa Petang, Desa Plaga, Desa Belok, Desa Carang Sari , Desa Sangeh, Desa Baha, Desa Kapal, Desa Mengwi, dan Desa Munggu.

2. Industri Pariwisata

Industri pariwisata di Kabupaten Badung dibentuk oleh perusahaan yang bergerak pada bidang akomodasi wisata (hotel dan restoran), BPW (biro perjalanan wisata), , tourist attraction, dan pusat oleh-oleh. Perkembangan industri pariwisata di Kabupaten Badung saat ini terbilang sangat cepat. Hal ini dibuktikan dengan meningkatnya jumlah wisatawan yang melakukan perjalanan, ditambahnya jalur-jalur penerbangan dengan rute-rute baru, investasi besar-besaran dibidang pariwisata seperti pembukaan destinasi wisata dengan produk-produknya yang baru, meningkatnya pembangunan sarana akomodasi, sampai pada perbaikan infrastruktur.

Industri Pariwisata Kabupaten Badung lebih banyak berkembang di Kawasan Badung Selatan (Kelurahan Kuta Utara, Kuta dan Kuta Selatan). Perkembangan akomodasi wisata serta pusat oleh-oleh sangat signifikan dalam 10 tahun terakhir.

a. Akomodasi dan Restoran

Berdasarkan Tabel 2.4. akomodasi wisata yang terdapat di Kabupaten Badung terus mengalami peningkatan. Data pada tahun 2012 menunjukkan, akomodasi terbanyak adalah pondok wisata sebanyak 647 unit dengan jumlah kamar 2.870 kamar. Kemudian hotel melati sebanyak 642 unit dengan jumlah kamar sebanyak 19.248 kamar, dan hotel bintang sebanyak 98 unit dengan jumlah kamar sebanyak 16.360 kamar. Maka, total kamar yang tersedia di Kabupaten Badung adalah 40.806 kamar.

Tabel 2.4

Jumlah Usaha Akomodasi di Kabupaten Badung Tahun 2005-2011 No

.

Tahu n

Jenis Akomodasi Wisata (Unit)

(25)

2 9

Selanjutnya, Tabel 2.5. menampilkan jumlah restoran, rumah makan, bar, dan catering, yang terus mengalami peningkatan tiap tahunnya. Pertambahan terbanyak berupa restoran dari 150 unit dan 16.543 kursi pada tahun 2006, menjadi 384 unit dan 32.395 kursi pada tahun 2011, atau rata-rata bertambah 45 unit/tahun dan 3.170 kursi/tahun. Demikian juga dengan fasilitas penunjang akomodasi lainnya terus bertambah walaupun tidak sebanyak restoran.

Tabel 2.5.

Perkembangan Jumlah Restoran, Rumah Makan, Bar, dan Catering di Kabupaten Badung Tahun 2006-2011

No

(26)

b. Biro Perjalanan Wisata (BPW)

Jumlah BPW yang terdapat di Kabupaten Badung adalah sebanyak 95 perusahaan atau 29,7 % dari total BPW yang terdapat di Provinsi Bali. Meskipun pada tahun 2011 jumlahnya mengalami peningkatan menjadi 320 perusahaan, namun masih tidak dapat kembali seperti pada tahun 2009 yang mencapai 611 perusahaan.

Tabel 2.6

Daftar Biro Perjalanan Wisata dan Cabang di Kabupaten Badung Tahun 2011 No Kelompok dan Nama BPW

1 All Star Bali Wisata 2 Alliance Vast

3 Alia Travel Sense 4 Asia Koleksi Travel 5 Anek Bintang Surya 6 Amanda Legian Tours 7 Abad Bali Wisata 8 Adi Tours And Travel

9 Bali Bahagia Holiday Tour & Travel PT 10 Bahagia Dewata Wisata

11 Bali Bersama Prima Sakti 12 Bali Dorada Tours

13 Bali Duta Express 14 Bali Pesona Wisata 15 Bali Megah Wisata 16 Bali ITO PT

17 Bali Suzuya

18 Bali Segara Utama 19 Bali Cipta Bahari T&T 20 Bali Rasa Sayang T&T 21 Bali Intan Graha 22 Bali Damai T&T 23 Bali Arrow 24 Bali Becik 25 Bali Untukmu

26 Bali Partners Tour & Travel 27 Bali Tri Dinamik

(27)

No Kelompok dan Nama BPW

30 Bali Wish International 31 Baliaga T&T

32 Bali Surga Liburan 33 Be Wish International 34 BPW Satriavi ( Aerotravel) 35 Bravo Indonesia

36 Carefree Bali Holiday 37 Coconut Bali Tours PT. 38 Cosmo Bali

39 Catur Lintas Wisata 40 Ceria T&T PT

41 Cempaka Krisna Jaya 42 Calvinku Internasional

43 Cendrawasih Ceria Internasional 44 Dongan Sahuta T&T

45 Giri Puncak Sari PT. 46 Golden Rama Express 47 Gajah Bali Wisata 48 Harum Indah Sari 49 Halo Bali

50 Indo Net Travel 51 Inti Citra Selaras

52 Intra Jasatamasya Era Wisata 53 Jatra Idola Tour

54 Jelajah Turunan Enam 55 Kaya Bali Tour & Travel 56 Kuta Emas

57 Kuta Cemerlang Bali Jaya 58 Kharisma Gayatri Mandiri 59 Kirana Bali Wisata

60 Khrisna Tohpati Perdana 61 Kuta Cemerlang Bali Convex 62 Lotusindo Asia Tour

63 Look Asia Bali 64 Mava Holidays 65 Maju Ika Jaya

66 Modernika Citra Wisata 67 Natourin Wisata

(28)

No Kelompok dan Nama BPW

75 Pranayama Ayumjay

76 Padma Nuansa Wisata T&T 77 Pearl Tour & Travel

78 Pollow Indonesia 79 Prima Indo Wisata 80 Rama Wira Perdana

81 Rivon Angkasa Jaya Abadi 82 Sarana Nusa Wisata

83 Sinar Wahana Bali 84 STO Travel

85 Selamat Jalan Tour Bali

86 Siam Moters International Travel 87 Susana Tour & Travel

88 Top Bali Citra Wisata 89 Tria Uma Wisata 90 Tropical Sejahtera 91 Trinita Dunia Wisata 92 Valencia Intan Permata

93 Varia Indo Perdana Wisata PT. 94 Windys Bali Dewata Agung 95 Wina Graha Wisesa Travel

c. MICE

Perkembangan MICE di Kabupaten Badung sudah mencapai hasil yang cukup menggembirakan. Adanya elemen-elemen pariwisata terkait seperti Dinas Pariwisata yang juga telah bekerja sama dengan Bali Hotels Association, INCCA (Indonesia Congress and Convention Association), ASITA, Perhimpunan Hotel dan Restoran (PHRI), dan institusi serupa, membuat Kabupaten Badung menjadi tujuan MICE di dunia nantinya. Hal ini terbukti dengan banyaknya kegiatan dunia yang diselenggarakan di Kabupaten Badung seperti UNFCC dan Asian Beach Games di Nusa Dua. Perkembangan dunia MICE di Bali dan khususnya Kabupaten Badung telah menjamah sektor perhotelan, hal ini dibuktikan dimana hampir semua hotel bintang 5 memiliki fasilitas standard meeting seperti meeting venue, dan departemen yang mengatur khusus berlangsungnya MICE di hotel tersebut.

d. Konsultan Pariwisata

(29)

Kegiatan usaha jasa konsultan pariwisata meliputi: studi kelayakan; perencanaan; pengawasan; manajemen; dan penelitian. Lingkup usaha jasa konsultan pariwisata meliputi bidang: usaha jasa pariwisata; pengusahaan obyek dan daya tarik wisata; serta usaha sarana wisata.

Usaha jasa konsultan pariwisata diselenggarakan oleh badan usaha yang berbentuk perseroan terbatas (PT) atau koperasi yang maksud dan tujuannya tercantum dalam akte pendirian. Usaha jasa konsultan pariwisata terbuka untuk Penanaman Modal Asing (PMA) dan Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) yang dilaksanakan sesuai dengan ketentuan dan undang-undang yang berlaku. Berikut adalah Konsultan Pariwisata yang terdapat di Kabupaten Badung.

Tabel 2.7

Daftar Konsultan Pariwisata di Kabupaten Badung Tahun 2011

No Konsultan Pariwisata

1 Exotic Konsulting Indonesia 2 Globalindo Nusantara

3 Success 569

Sumber : Data Direktori Dinas Pariwisata Prov. Bali, 2011

3. Pemasaran Pariwisata a. Kunjungan Wisatawan

Jumlah wisatawan mancanegara yang datang ke Kabupaten Badung melalui Bandara Ngurah Rai setiap tahun mengalami peningkatan, sedangkan jumlah wisatawan nusantara mengalami peningkatan yang signifikan. Pada tahun 2009 wisatawan nusantara yang datang sebanyak 212.375 orang, pada tahun 2011 sebanyak 509.328 orang atau mengalami peningkatan lebih dari 2 (dua) kali lipat. Sedangkan wisatawan mancanegara yang datang pada tahun 2007 sebanyak 1.668.531 orang dan pada Tahun 2011 sebanyak 2.826.709 atau meningkat sebesar 69,41%. Jumlah data kunjungan wisatawan nusantara dan mancanegara ke Kabupaten Badung dapat dilihat padaTabel 2.7.

Tabel 2.8

Data Kunjungan Wisatawan Nusantara ke Kabupaten Badung Tahun 2009-2011

No. Bulan Tahun

2009 2010 2011

(30)

3 Maret 15.356 17.775 20.616 4 April 11.710 17.151 28.688 5 Mei 16.324 10.995 28.215 6 Juni 5.722 27.062 36.878 7 Juli 20.846 27.483 34.234 8 Agustus 17.712 17.187 27.606 9 September 19.113 23.252 89.815 10 Oktober 19.245 21.355 50.155 11 Nopember 19.478 26.696 87.952 12 Desember 26.634 26.949 58.107

JUMLAH 212.375 252.497 509.328

Sumber : Badung dalam Angka, 2012

Tabel 2.9.

Data Kunjungan Wisatawan Mancanegara ke Kab. Badung Tahun 2007-2011

No. Bulan Jumlah

2007 2008 2009 2010 2011

1. Januari 109.875 140.275 164.962 170.170 209.093 2. Februari 118.483 153.757 139.282 182.566 207.195 3. Maret 119.458 153.534 159.315 192.745 207.907 4. April 125.393 147.836 179.889 185.675 224.704 5. Mei 129.039 160.223 182.337 200.608 209.058 6. Juni 145.500 171.301 189.734 225.976 245.652 7. Juli 164.972 183.325 224.955 253.696 283.524 8. Agustus 167.031 187.879 222.760 244.616 258.337 9. September 152.804 181.314 208.220 231.329 258.440 10. Oktober 146.385 181.084 211.132 231.221 247.565 11. November 142.124 164.920 175.489 198.279 221.603 12. Desember 147.467 166.851 211.142 218.281 253.591

JUMLAH 1.668.531 1.992.299 2.269.217 2.535.162 2.826.709

Sumber : Badung dalam Angka, 2012

b. Jumlah Pengeluaran Wisatawan

Menurut data Neraca Satelit Pariwisata Daerah (NESPARDA) Kabupaten Badung Tahun 2010 yang diterbitkan oleh BPS Kabupaten Badung, tercatat bahwa sebanyak 1,795 juta orang wisatawan nusantara dan 1,67 juta orang wisatawan mancanegara ke Kabupaten Badung pada tahun yang sama, yaitu tahun 2010.Pengeluaran wisatawan nusantara per harinya adalah Rp. 409.000,00, dengan lama tinggal selama 5,06 hari.

(31)

adalah sebesar Rp. 3,72 triliun, sedangkan pengeluaran wisatawan mancanegara adalah sebesar Rp. 13,08 triliun (asumsi Rp. 9.000,00/$).

Tabel 2.10.

Pengeluaran Wisatawan Mancanegara Tahun 2010 No. Rincian Pengeluaran Jumlah

(juta rupiah) Distribusi

1. Akomodasi 5.570.074,41 42,57 2. Makanan dan Minuman 941.291,55 7,19 3. Penerbangan Domestik 4.515.304,21 34,51 4. Transport Lokal 166.872,95 1,28 5. Belanja 619.297,25 4,73 6. Hiburan 212.144,61 1,62 7. Kesehatan dan Kecantikan 138.146,99 1,06 8. Pendidikan 14.392,28 0,11 9. Paket Wisata Lokal 61.043,62 0,47 10. Tamasya 97.066,05 0,74 11. Pramuwisata 41.909,85 0,32 12. Souvenir 475.480,78 3,63 13. Lainnya 230.228,91 1,76

Total 13.083.253,47 100,00

Sumber : Nesparda Kabupaten Badung, 2010

Tabel 2.11

Pengeluaran Wisatawan Nusantara Tahun 2010 No. Rincian Pengeluaran Jumlah

(juta rupiah) Distribusi

1. Akomodasi 838.733,99 22,53 2. Makanan dan Minuman 259.080,14 6,96 3. Angkutan Darat 135.672,39 3,64 4. Angkutan K.A. 852,81 0,02 5. Angkutan Air 13.547,87 0,36 6. Angkutan Udara 1.761.823,99 47,32 7. Bahan Bakar Pelumas 123.649,15 3,32 8. Sewa Kendaraan 29.084,26 0,78 9. Jasa Perbaikan Kendaraan 7.323,31 0,20 10. Paket Perjalanan 222.177,22 5,97 11. Pramuwisata 1.040,01 0,03 12. Pertunjukan Seni 402,70 0,01 13. Museum dan Jasa Kebudayaan 8.969,30 0,24 14. Jasa Hiburan Rekreasi 46.989,90 1,26 15. Belanja/Cinderamata 207.488,36 5,57 16. Lainnya 66.522,93 1,79

Total 3.723.358,32 100,00

(32)

Berdasarkan Tabel di atas, yang memaparkan tentang distribusi pengeluaran wisatawan mancanegara, disimpulkan jika pengeluaran terbesar wisman terdistribusi pada akomodasi, yaitu sebesar 42,57%. Kemudian disusul penerbangan domestik, sebesar 34,51%, serta pengeluaran untuk makanan dan minuman sebesar 7,19%. Sedangkan Tabel 2.10. , yang memaparkan tentang distribusi pengeluaran wisatawan nusantara, disimpulkan jika pengeluaran terbesar wisnus terdistribusi pada angkutan udara sebesar 47,32%, disusul akomodasi sebesar 22,53%, %, serta pengeluaran untuk makanan dan minuman sebesar 6,96%.

4. Kelembagaan Kepariwisataan

Kelembagaan Kepariwisataan merupakan suatu integrasi antara pemerintah, organisasi, pelaku pariwisata, peraturan, dan teknis pelaksanaan, yang berlangsung secara terus-menerus, agar tujuan kepariwisataan dapat tercapai. Organisasi kepariwisataan yang ada di Kabupaten Badung terdiri dari Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI), BPPD, Pengelola DTW, dan POKDARWIS.

2.4. Kajian terhadap implikasi penerapan Rencana Induk Pembangunan Kepariwisataan yang akan diatur dalam peraturan daerah terhadap aspek ekonomi, sosial-budaya dan lingkungan.

Pariwisata telah diakui sebagai lokomotif pembangunan ekonomi dibanyak negara berkembang di dunia, dan para ahli menjadikan industri tanpa asap (smokeless industry) ini sebagai paspor menuju pembangunan. Sebagai industri terbesar di dunia, pariwisata dianggap sebagai sarana untuk mencapai pembangunan berkelanjutan dengan manfaat yang sangat signifikan di bidang ekonomi, sosial budaya, dan lingkungan, serta memberi kesempatan seluas luasnya bagi masyarakat lokal untuk meningkatkan kesejahteraannya (Sharpley, 2002).

(33)

Penegasan serta penjabaran tersebut mengindikasikan tentang pentingnya perencanaan dan pengelolaan sumberdaya pariwisata sedemikian rupa agar pembangunannya dapat berkelanjutan dan memberikan manfaat optimal kepada masyarakat. Perencanan dan pengelolaan destinasi maupun daya tarik wisata secara profesional dan berkelanjutan, yang melibatkan berbagai pemangku kepentingan akan menentukan tiga hal pokok berikut, yakni: a) keunggulan daya tarik destinasi tersebut bagi pasar wisatawan; b) manfaatnya secara ekologi, ekonomi, sosial dan budaya bagi masyarakat dan daerah; serta c) daya saingnya di antara pasar destinasi pariwisata international (Damanik & Teguh, 2012).

Sejumlah alasan penting kenapa prinsip-prinsip keberlanjutan (sustainability) perlu diterapkan dalam pengelolaan destinasi pariwisata khususnya di Indonesia: pertama semakin tajamnya kompetisi destinasi di tingkat global maupun nasional; kedua tingginya variasi dan ketimpangan perkembangan destinasi pariwisata di tanah air; dan ketiga rendahnya daya saing pariwisata Indonesia dibandingkan dengan negara-negara tetangga. Apabila destinasi pariwisata tidak dikelola secara professional dalam kerangka keberlanjutan, maka akan sulit diharapkan destinasi tersebut memiliki daya saing tinggi dalam jangka panjang (Osmanovic, Kenjic, & Zrnic, 2010).

(34)

dengan distribusi yang adil, termasuk kesempatan kerja yang stabil dan kesempatan memperoleh penghasilan, serta berkontribusi kepada upaya pengentasan kemiskinan.

Pembangunan pariwisata berkelanjutan membutuhkan partisipasi dari seluruh stakeholders serta kepemimpinan politik yang kuat untuk memastikan adanya partisipasi yang luas dalam membangun konsensus bersama. Pembangunan berkelanjutan merupakan proses yang terus menerus dan membutuhkan monitoring yang tidak pernah berhenti terhadap dampak-dampak yang ditimbulkannya.

Dari perspektif manajemen destinasi pariwisata, karakteristik produk wisata yang berbeda dengan produk jasa lainnya, membutuhkan implementasi pengelolaan yang ketat dan berbeda, karena pada dasarnya manajemen destinasi pariwisata bertujuan untuk menjamin kualitas destinasi itu sendiri dan kepuasan berwisata. Secara singkat, tujuan pengelolaan destinasi dapat dibagi menjadi dua: pertama untuk melindungi asset, dan sumberdaya wisata dari penurunan mutu dan manfaat bagi pengelola, masyarakat lokal, maupun wisatawan; kedua meningkatkan daya saing destinasi pariwisata melalui tawaran pengalaman berwisata yang berkualitas kepada wisatawan. Semakin tinggi kualitas pengalaman yang dapat ditawarkan, maka semakin tinggi pula potensi daya saing destinasi tersebut. Daya saing yang tinggi inilah menjadi faktor kunci yang menjamin keberlanjutan perkembangan destinasi tersebut, karena jumlah wisatawan dan pengeluarannya akan terus meningkat, sehingga memberikan dampak positif kepada pelaku usaha, komunitas lokal, pemerintah, dan lingkungan setempat (RAMBOLL Water & Environment, 2003).

Sejumlah manfaat yang dapat diperoleh dari pengelolaan destinasi pariwisata yang dilakukan secara professional, antara lain: (1) meningkatnya kepuasan wisatawan sebagai akibat dari semakin baiknya kualitas pelayanan berwisata di destinasi; (2) meningkatnya daya saing destinasi, sehingga dapat menarik investor lebih banyak untuk menanamkan modalnya; (3) jaminan atas keberlanjutan ekonomi, sosial-budaya dan lingkungan semakin kuat; (4) ter-ciptanya kemitraan yang semakin kuat dari para pemangku kepentingan; dan (5) perbaikan serta inovasi secara terus menerus atas seluruh atribut destinasi pariwisata (European Communities, 2003; Kim & Lee, 2004; Anonim, 2007; Damanik & Teguh, 2012).

(35)

1.Aspek Ekonomi

a. Adanya ketimpangan pembangunan antar wilayah Kabupaten Badung Bagian Utara, Tengah dan Selatan, yang berdampak pula terhadap ketim-pangan pendapatan masyarakat di wilayah-wilayah tersebut. Tingkat pendapatan per kapita masyarakat di Badung Selatan bisa jauh lebih tinggi daripada saudara-saudaranya di utara, sehingga ketimpangan ini apabila dibiarkan dapat memicu terjadinya berbagai permasalahan di bidang sosial dan keamanan di wilayah tersebut. b. Ketersedian akomodasi wisata yang melebihi kapasitas (over supply)

terutama di Badung Selatan. Hal ini berdampak pada semakin rendahnya rataan harga kamar (average room rate), sehingga berpengaruh terhadap yield dari usaha jasa akomodasi tersebut. Dalam jangka panjang hal ini berakibat pada turunnya keuntungan pengusaha, rendahnya take home pay karyawan, serta menurunnya pendapatan pajak pemerintah.

c. Masifnya perkembangan akomodasi (villa) illegal yang juga memperparah kondisi supply jasa akomodasi di Kabupaten Badung. Selain memperburuk kondisi persaingan yang akan menekan harga kamar, potensi pajak pemerintah menjadi hilang, karena pengusaha jasa akomodasi yang illegal tersebut akan berusaha untuk menghindari pajak pemerintah.

d. Pengembangan pasar untuk agrowisata, ekowisata dan desa wisata belum dilakukan. Selain konsep produk dari ke tiga jenis wisata tersebut belum jelas, variasi kegiatan wisata yang dapat dilakukan juga belum berkembang dengan baik. Hal tersebut berdampak pada masih sulitnya menyusun konsep pemasaran yang tepat dari produk-produk wisata yang sesungguhnya sangat potensial untuk dikembangkan di Badung. Belum lagi permasalahan keterpaduan antara stakeholders pariwisata dalam pemasaran yang belum terintegrasi, sehingga kegiatan pemasaran destinasi pariwisata di Kabupaten Badung dirasakan juga belum optimal. Pemanfaatan IT dalam pemasaran produk wisata di Badung perlu terus ditingkatkan, mengingat media ini relatif mudah dan murah serta sudah menjadi kebutuhan primer bagi sebagian besar masyarakat dunia.

e. Peningkatan kualitas pariwisata melalui peningkatan lama tinggal (length of Stay) dan daya beli (spending power) wisatawan. Hal ini hanya dapat dilakukan melalui peningkatan variasi produk dan kualitas daya tarik wisata yang ada, sehingga wisatawan bisa tinggal lebih lama pada destinasi di Kabupaten Badung.Pengeluarannyapun akan semakin banyak, karena berbagai variasi produk yang bisa mereka beli.

(36)

dapat dihindari. Hal ini menimbulkan inefisiensi di bidang ekonomi, pencemaran udara, stress, dan dampak buruk lainnya. Dibutuhkan kebijakan yang bernas untuk mencari solusi terhadap persoalan yang semakin lama semakin memburuk tersebut, salah satunya adalah membangun moda trasportasi laut yang menghubungkan satu lokasi dengan lokasi lainnya di Badung maupun Kabupaten lainnya.

g. Peningkatan SDM Pariwisata yang berbasis masyarakat belum optimal. Disinyalir oleh banyak pihak, bahwa SDM pariwisata terutama yang bersumber dari masyarakat lokal masih perlu ditingkatkan kualitasnya. Peningkatan kualitas SDM ini merupakan keniscayaan, mengingat tingkat persaingan pariwisata yang semakin tajam. Kemampuan pengelolaan (manajemen) daya tarik wisata yang ada di masyarakat (terutama di perdesaan) harus ditingkatkan secara berkelanjutan, sehingga mampu mengintepretasikan dengan baik daya tarik wisata yang ada di wilayah mereka, serta menghasilkan aktivitas wisata variatif yang dapat memberikan pengalaman berwisata unik kepada wisatawan.

2.Aspek Sosial Budaya

a. Pelanggaran atas kawasan suci, sempadan jurang, dan sempadan pantai. Pembangunan sarana wisata yang dilakukan investor di beberapa kawasan pariwisata di Kabupaten Badung yang mengabaikan bhisama kawasan suci, dapat melukai perasaan Umat Hindu di Bali. Gangguan perasaan ini dapat menimbulkan berbagai persoalan di bidang sosial budaya, misalnya perasaan terganggu dan tidak nyaman mereka dalam melakukan persembahyangan karena keberadaan fasilitas wisata yang terlalu dekat dengan Pura yang merupakan tempat suci umat Hindu. Demikian pula kecenderungan para pengusaha yang membangun fasilitas wisatanya di tepi jurang dan melanggaar sempadan, yang bisa sangat berbahaya karena adanya kemungkinan longsor misalnya. Pembangunan sarana wisata seperti hotel, maupun restoran dan sarana wisata lainnya di banyak tempat di Badung juga tidak sedikit yang mengabaikan keselamatan dan estetika lingkungan, karena dibangun sangat berdekatan dengan bibir pantai (melanggar sempadan pantai). Bahkan di wilayah Canggu ada hotel besar yang sengaja menutup (memagari) pantai, dengan alasan sudah mendapat dukungan Desa Adat. Hal-hal semacam ini perlu diatur dalam Peraturan Daerah agar tidak menjadi contoh buruk bagi daerah lainnya di Badung.

b. Pelanggaran tata ruang wilayah. Banyak kasus di Kabupaten Badung yang wilayahnya sudah tidak cocok lagi dengan peruntukannya sesuai dengan ketentuan yang diatur pemerintah. Misalnya jalur hijau yang berubah menjadi kawasan permukiman dan kawasan perdagangan atau kawasan lainnya. Kondisi demikian tentu dapat mengacaukan tata ruang wilayah yang dapat berakibat buruk pada aktivitas manusia yang ada di dalamnya.

(37)

Namun dalam beberapa tahun terakhir, hal tersebut sudah tidak lagi terdengar. Hal ini tentu terjadi sebagai akibat dari alih fungsi lahan pertanian yang konon terjadi lebih dari 1.000 ha setiap tahun. Pembangunan sarana prasarana wisata yang masif terjadi di Badung sebagai dampak dari pesatnya pertumbuhan kepariwisataan di Bali berakibat pada dialihkannya fungsi lahan pertanian tersebut menjadi fungsi lainnya. Padahal budaya pertanian di Bali dengan subak serta budaya turunannya menjadi daya tarik wisata yang dikagumi wisatawan dan menjadi sumberdaya wisata yang tiada habis-habisnya. Kondisi ini perlu mendapatkan perhatian serius dari pemerintah dalam bentuk pembuatan kebijakan yang dapat melindungi alih fungsi lahan tersebut, misalnya pembuatan Perda Pertanian Abadi dengan mengkonservasi daerah-daerah pertanian yang masih tersisa di Kabupaten Badung.

d. Langgam bangunan gedung usaha pariwisata mengabaikan arsitektur tradisional Bali. Saat ini banyak bangunan sarana pariwisata maupun jenis bangunan lainnya khususnya yang ada di Kabupaten Badung, mengabaikan ciri khas bangunan Bali. Jika hal tersebut terus terabaikan maka Bali bisa kehilangan karakternya sebagai daerah tujuan wisata dengan branding wisata budaya.

3. Aspek Lingkungan

a. Pengelolaan limbah belum mengikuti standar baku pengelolaan. Pesatnya pembangunan sarana wisata, khususnya di Badung selatan akan menyisakan limbah sebagai konsekuensi aktivitas yang dilakukannya. Bagi sarana wisata yang bertaraf international, masalah limbah mampu mereka atasi, sehingga hasil olahannya telah memenuhi persyaratan baku mutu limbah yang layak untuk dibuang ke lingkungan atau dimanfaatkan untuk kebutuhan lain, seperti untuk menyiram tanaman. Namun tidak sedikit sarana wisata lain yang hasil pengolahan limbahnya belum mampu memenuhi baku mutu lingkungan, bahkan diduga tidak sedikit sarana wisata yang tidak mengolah sama sekali limbah yang dihasilkannya.

b. Terbatasnya sumber daya air permukaan dan penggunaan sumber daya tanah yang tidak terkendali. Hal ini merupakan masalah sangat serius terutama di Badung selatan yang pembangunan sarana wisata maupun permukimannya sangat masif. Keterbatasan ketersediaan air permukaan yang mampu disupply oleh perusahaan air minum, memaksa pengusaha di bidang pariwisata maupun masyarakat untuk memenuhi kebutuhan air bersihnya dengan membuat sumur dalam. Hal ini sangat berbahaya, karena apabila tidak terkendali, maka interusi air laut tidak akan terhindarkan. c. Kebersihan lingkungan daya tarik wisata yang tidak terjaga. Di

(38)

pantas dibuangi sampah. Di Pura Luhur Uluwatu misalnya, walaupun di areal pura cukup bersih, namun pemedek dengan seenaknya membuang sampah ke arah jurang di sisi utara pura. Di lokasi daya tarik wisata lain, misalnya Pantai Kuta, masalah sampah terutama saat musim angin barat tiba juga hampir-hampir tidak tertangani. Ke dua contoh tersebut membutuhkan penanganan serius dengan pembuatan sistem penanganan sampah terpadu, sehingga masalah sampah di DTW dapat tertangani dengan tuntas. d. Kemacatan lalu lintas di Badung Utara akibat pasar tumpah. Pasar

tradisional dimana masyarakat menggelar barang dagangannya sampai ke pinggir jalan raya, serta para pembeli yang tidak sabar ingin cepat-cepat memperoleh barang yang dibutuhkannya,

mengakibatkan aktivitas jual beli di pasar tersebut “tumpah” ke jalan

raya. Kondisi pasar seperti ini dijumpai di beberapa wilayah Badung Utara ( Pasar Sibang Gede,Pasar Mambal, Pasar Blahkiuh), yang menghambat laju kendaraan wisatawan menuju daya tarik wisata yang ingin mereka kunjungi.

e. Ketersediaan parkir yang sangat minim pada wilayah yang pariwisatanya berkembang pesat. Pada saat puncak-puncak kunjungan dimana wisatawan datang dalam jumlah banyak dan bersamaan waktunya, kendaraan mereka tidak bisa ditampung di areal parkir yang tersedia, sehingga kemacetan tidak bisa dihindarkan. Kondisi ini dapat menimbulkan gangguan keamanan, stress, dan terutama terhambatnya wisatawan menuju destinasi berikutnya yang mereka ingin kunjungi.

f. Rawan bencana seperti: tsunami, banjir dan longsor. Pada musim hujan saat intensitas turunnya air hujan demikian tinggi, banjir sudah menjadi langganan di Bali dan pada beberapa wilayah Badung khususnya. Demikian juga tanah longsor terutama di Badung Utara yang kondisi topografinya berbukit, serta tanah yang labil. Di Wilayah Badung Selatan yang topografinya landai dengan ketinggian sampai 0 dpl, memiliki potensi yang cukup tinggi terjadi tsunami saat ada gempa bumi. Kondisi ini perlu diantisipasi terutama berkaitan dengan mekanisme peringatan dini dan penanganan pasca bencana. g. Higiene sanitasi belum diterapkan dengan optimal. Hal ini

(39)

Pengawasan terhadap penerapan higiene dan sanitasi lingkungan inipun harus dilakukan secara berkesinambungan.

(40)

BAB III

EVALUASI DAN ANALISIS

PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN TERKAIT

3.1.Kajian Terhadap Peraturan Perundang-Undangan yang Memuat Kondisi Hukum yang ada.

Kajian berupa evaluasi dan analisis peraturan perundang-undangan terkait, dilakukan untuk mengetahui kondisi hukum atau peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai Rencana Induk Pembangunan Pariwisata Kabupaten Badung, serta untuk mengetahui posisi dari peraturan daerah yang baru, guna menghindari terjadinya tumpang tindih pengaturan. Kajian terhadap peraturan perundang-undangan yang memuat kondisi hukum yang ada, mempergunakan pendekatan perundangan-undangan dengan melihat jenis, hierarki dan materi muatan peraturan perundang-undangan berkaitan dengan kewenangan pemerintah kabupaten tentang pengaturan kepariwisataan.

Dengan mempergunakan rujukan ketentuan Pasal 7 ayat 1 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 peraturan perundang-undangan dan rumusan norma yang berkaitan dengan kewenangan kabupaten bidang kepariwisataan, ditampilkan dalam tabel berikut dibawah ini

Matrik 1. Peraturan Perundang-Undangan dan Rumusan Norma Yang Berkaitan Dengan Kewenangan Kabupaten Bidang Kepariwisataan.

No Peraturan Perundang-Undangan

Rumusan Normanya Analisis

1 Undang-Undang Dasar Negara Republik

Indonesia Tahun 1945

Pasal 18 ayat 6

Pemerintahan daerah berhak menetapkan peraturan daerah dan peraturan perundang-undangan lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan

Pemerintah daerah Kabupaten Badung mempunyai

wewenang untuk menetapkan

peraturan daerah tentang untuk melaksanakan otonomi.

Dengan demikian Pemerintah

Kabupaten Badung, mempunyai

wewenang untuk menetapkan

Peratuuran Daerah tentang Rencana Induk

(41)

Pariwisata

Kabupaten Badung 2 Undang-Undang

Nomor 69 Tahun 1958 tentang Pembentukan Daerah-daerah Tingkat II Dalam Wilayah Daerah-daerah Tingkat I Bali, Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur (Lembaran

Negara Republik Indonesia Tahun 1958 Nomor 122, Tambahan Lembaran

Negara Republik Indonesia Nomor 1655);

BAB II

TENTANG URUSAN RUMAH TANGGA DAN KEWAJIBAN DAERAH

Pasal 4

(2) Apabila daerah yang dibentuk menurut pasal 1 adalah suatu Daerah Swapraja, maka dengan tidak mengurangi ketentuan dimaksud dalam ayat 1, untuk sementara waktu sampai diadakan ketentuan lain, segala urusan rumah-tangga Daerah Swapraja yang bersangkutan itu menurut peraturan-peraturan yang ada tidak merupakan urusan Pemerintah Pusat, menjadi urusan daerah tingkat II yang bersangkutan;

Berdasarkan

ketentuan ini Pemerintah

Kabupaten Badung mempunyai

kewenangan untuk mengatur urusan rumah tangga termasuk

didalamnya urusan kepariwisataan

3 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang. ( Lembaran

(5)Penataan ruang berdasarkan nilai strategis kawasan terdiri atas penataan ruang kawasan strategis nasional, penataan ruang kawasan strategis provinsi, dan penataan ruang kawasan strategis kabupaten/kota.

Pasal 11

(1)Wewenang pemerintah daerah kabupaten/kota dalam enyelenggaraan penataan ruang meliputi:

a. pengaturan,

pembinaan, dan pengawasan

Kabupaten Badung mempunyai

wewenang untuk melakukan

perencanaan tata ruang wilayah kabupaten.

Kegiatan penyusunan RIPPARDA

(42)

pelaksanaan

penataan ruang wilayah

kabupaten/kota dan kawasan strategis kabupaten/kota; b. pelaksanaan

penataan ruang wilayah

kabupaten/kota; c. pelaksanaan

penataan ruang kawasan strategis kabupaten/kota; dan d.kerja sama penataan ruang antar kabupaten/ kota. (2)Wewenang pemerintah

daerah kabupaten/kota dalam pelaksanaan penataan ruang wilayah kabupaten/kota

sebagaimana

dimaksud pada ayat (1) huruf b meliputi:

a.perencanaan tata ruang wilayah kabupaten/ kota; b.pemanfaatan ruang

wilayah

kabupaten/kota; dan

c.pengendalian

pemanfaatan ruang wilayah

kabupaten/kota. (3)Dalam pelaksanaan

penataan ruang kawasan strategis kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, pemerintah daerah kabupaten/kota

melaksanakan:

a.penetapan kawasan strategis

kabupaten/kota; b.perencanaan tata

(43)

ruang kawasan strategis

kabupaten/kota; c.pemanfaatan ruang

kawasan strategis kabupaten/kota; dan

d.pengendalian

pemanfaatan ruang kawasan strategis kabupaten/kota. (4)Dalam melaksanakan

kewenangan

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), pemerintah daerah kabupaten/kota

mengacu pada pedoman bidang penataan ruang dan petunjuk pelaksanaannya.

(5)Dalam pelaksanaan wewenang sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4), pemerintah daerah kabupaten/kota:

a. menyebarluaskan informasi yang berkaitan dengan rencana umum dan rencana rinci tata ruang dalam rangka pelaksanaan

penataan ruang wilayah

kabupaten/kota; dan b. melaksanakan

standar pelayanan minimal bidang penataan ruang. (6) Dalam hal pemerintah

(44)

provinsi dapat mengambil langkah penyelesaian sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

3 Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil ( Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 84, Tambahan

Lembaran

Negara Republik Indonesia Nomor 4739).

Pasal 55

(1)Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil pada tingkat kabupaten/kota

dilaksanakan secara terpadu yang dikoordinasi oleh dinas yang membidangi kelautan dan perikanan. (2)Jenis kegiatan yang

dikoordinasikan

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:

a. penilaian setiap usulan rencana kegiatan tiap-tiap pemangku

kepentingan sesuai dengan perencanaan Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil terpadu; b. perencanaan

antarinstansi, dunia usaha, dan masyarakat;

c. program akreditasi skala

kabupaten/kota; d. rekomendasi izin

kegiatan sesuai dengan kewenangan tiap-tiap dinas otonom atau badan daerah; serta

e. penyediaan data dan informasi bagi Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil skala

wewenang untuk mengelola wilayah pesisir yang dilaksanakan secara terpadu oleh dinas yang

Gambar

Daftar DTW yang berpotensi untuk dikembangkan Tabel 2.3 di Kabupaten Badung
Tabel 2.4 Jumlah Usaha Akomodasi di Kabupaten Badung Tahun 2005-2011
Tabel 2.5.
Tabel 2.9.
+2

Referensi

Dokumen terkait

harus menjamin partisipasi masyarakat, dalam artian masyarakat dijamin haknya untuk memberikan masukan, baik tertulis maupun lisan, serta kewajiban Pemerintah Daerah

bahwa Perubahan Rencana Strategis Badan Perencanaan Pembangunan Daerah, Penelitian dan Pengembangan Kabupaten Badung sebagaimana dimaksud dalam huruf b, perlu

Mengingat Rencana Pembangunan Industri Provinsi Nusa Tenggara Barat sangat penting artinya dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah untuk melaksanakan amanat

Berdasarkan Ketentuan Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional menyatakan bahwa Rencana Pembangunan

Selanjutnya, di dalam Undang-undang Nomor 25 Tahun 2004 pada pasal 5 ayat (2), dijelaskan bahwa Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) merupakan penjabaran

(4) Visi pembangunan kepariwisataan Daerah Tahun 2013 sampai dengan Tahun 2028 sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a adalah Terwujudnya Kalimantan Selatan

Arah kebijakan pembangunan kualitas SDM Pariwisata sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66 huruf a, diwujudkan dalam bentuk peningkatan kapasitas dan kapabilitas SDM Pariwisata di

Untuk itu melalui penyusunan Peraturan Daerah tentang Rencana Pembangunan Industri ini dapat kiranya menjadi salah satu solusi yang coba diterapkan di Kabupaten Banjar dalam