• Tidak ada hasil yang ditemukan

Laporan Akhir. Analisis Kawasan Lindung DAS Cisadane-Angke-Ciliwung

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Laporan Akhir. Analisis Kawasan Lindung DAS Cisadane-Angke-Ciliwung"

Copied!
92
0
0

Teks penuh

(1)

Analisis Kawasan Lindung

DAS Cisadane-Angke-Ciliwung

Asisten Deputi Urusan Data dan Informasi

Deputi Bidang Pembinaan Sarana Teknis dan Peningkatan Kapasitas Kementerian Negara Lingkungan Hidup

(2)

Analisis Kawasan Lindung

DAS Cisadane-Angke-Ciliwung

Penanggung Jawab Ir. Isa Karmisa Ardiputra Dra. Siti Aini Hanum, M.A. Ir. Hari Wibowo

Penyusun

Harimurti, S.P., M.A. Solichin, S.Hut., M.Sc. Adi Fajar Ramly, S.Pi., M.M. Heru Subroto

Asisten Deputi Bidang Data dan Informasi

Deputi Bidang Pembinaan Sarana Teknis dan Peningkatan Kapasitas Kementerian Negara Lingkungan Hidup

(3)

Ringkasan Eksekutif

Laporan ini merupakan laporan akhir hasil kegiatan analisis kawasan lindung di daerah aliran sungai Cisadane, Ciliwung dan Angke. Kegiatan analisis ini meliputi kajian aspek hukum terkait dengan penataan ruang dan penetapan kawasan lindung. Selanjutnya berdasarkan kriteria yang telah ditetapkan dilakukan upaya pemetaan secara spasial untuk kawasan-kawasan lindung tersebut. Tujuan utama dari kegiatan ini adalah melakukan kajian luasan dan kondisi kawasan lindung serta menyediakan pedoman bagi pemerintah daerah agar dapat menerapkan kegiatan ini terkait dengan perencanaan tata ruang dan pembangunan wilayah yang berkelanjutan.

Pengelolaan kawasan lindung secara khusus diatur oleh Keputusan Presiden nomor 32 tahun 1990. Kebijakan tersebut disusun sebagai pedoman pengelolaan kawasan lindung di dalam pengembangan pola tata ruang wilayah. Undang-undang No 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang juga menyebutkan keharusan penetapan kawasan lindung selain kawasan budidaya. Selain itu juga terdapat peraturan-peraturan terkait lainnya yang digunakan sebagai dasar analisis.

Berdasarkan kajian peraturan, kawasan lindung dibagi menjadi 7 kelompok yaitu:

1. Kawasan yang memberikan perlindungan kawasan bawahannya yang meliputi hutan lindung, daerah resapan air dan lahan gambut.

2. Kawasan perlindungan setempat meliputi sempadan pantai, sempadan sungai, kawasan sekitar danau/waduk, kawasan sekitar mata air dan ruang terbuka hijau.

3. Kawasan suaka alam yang meliputi cagar alam dan suaka margasatwa. 4. Kawasan pelestarian alam yang meliputi taman nasional, taman wisata

alam dan taman hutan raya.

5. Kawasan cagar budaya meliputi situs budaya dan geologi.

6. Kawasan rawan bencana alam meliputi bencana gunung berapi, bencana longsor, bencana banjir, gelombang pasang dan gempa bumi.

(4)

7. Kawasan lindung lainnya meliputi taman buru, cagar biosfer, kawasan pelestarian plasma nutfah, daerah pengungsian satwa, kawasan berhutan bakau dan terumbu karang.

Berdasarkan analisis yang dilakukan, luas kawasan lindung di DAS Cisadane hampir mencapai 59 ribu hektar atau 36,6% dari luas total DAS. Sedangkan kawasan lindung di DAS Ciliwung dan Angke hanya seluas 23 ribu hektar atau hanya sekitar 23% dari luas DASnya.

Luas hutan di DAS Ciliwung-Angke sangat jauh dari syarat minimal luas kawasan hutan dalam suatu DAS, yaitu hanya 4,5 persen. Dalam Pasal 17 ayat 5 Undang-Undang No 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang, dijelaskan bahwa luas minimal kawasan hutan dalam suatu DAS adalah 30%. Walaupun di dalam UU Kehutanan No 41/1999, luas minimal juga dapat didasari atas luas total pulau. Luas kawasan hutan di DAS Cisadane juga masih dibawah proporsi yang ditetapkan dalam undang-undang yaitu sebesar 17,1 persen.

Sebagian besar daerah DAS Cisadane, Ciliwung dan Angke didominasi oleh tipe penutupan lahan kebun campur. Lebih dari 45% DAS Cisadane berupa kebun campur, sementara jenis penutupan hutan kurang dari 23% dan pemukiman lebih dari 15%. Sebagian besar areal berhutan berada di kawasan Taman Nasional Gunung Salak Halimun.

Kondisi DAS Ciliwung dan Angke tidak lebih baik dari DAS Cisadane. Penutupan hutan pada DAS ini hanya dibawah 10% yang sebagian besar berada di kawasan puncak. Sedangkan luas pemukiman mencapai 44% dari luas total DAS Cisadane dan Angke, mengingat kedua sungai ini melintasi provinsi DKI yang merupakan kota metropolitan. Lebih dari 37% kawasan lindung DAS Ciliwung Angke berada di Kota DKI Jakarta. Kondisi tersebut menjadi salah satu alasan mengapa masalah banjir di DKI Jakarta sangat sulit diatasi.

Pemukiman di kawasan lindung DAS Ciliwung Angke menutupi 33% atau hampir mencapai 8 ribu hektar dari luas DAS. Berbeda dengan kawasan

(5)

lindung DAS Cisadane yang hanya ditutupi pemukiman sebanyak 9 persen dari luas total DAS. Selain itu keberadaan mangrove di kedua DAS tersebut sangatlah terbatas dalam jumlah yang sangat kecil. Lebih dari 65% kawasan hutan di DAS Cisadane dan DAS Ciliwung-Angke masih ditutupi oleh areal berhutan. Sebagian besar kawasan ini berada di dua taman nasional yaitu TN Gede Pangrango dan TN Salak Halimun yang merupakan ekosistem gunung yang berada di bagian selatan kedua DAS.

Banyak data spasial yang diperlukan untuk penentuan kawasan lindung berdasarkan peraturan, masih belum tersedia. Antara lain, data penyebaran sungai bertanggul, penyebaran mata air, data pasang surut di sepanjang hutan bakau, penyebaran laha gambut dengan kedalaman lebih dari 3 m, kawasan pelestarian plasma nutfah, kawasan pengungsian satwa, batas cagar biosfer. Selain itu tidak adanya pedoman teknis pelaksanaan pemetaan beberapa kawasan lindung, antara lain kawasan rawan bencana alam dan daerah resapan air, juga menyebabkan kesulitan bagi pihak pemerintah daerah di dalam upaya pemetaannya. Beberapa peraturan bahkan tumpang tindih di dalam menetapkan kriteria kawasan lindung. Salah satu contoh adalah, kriteria luas minimal ruang terbuka hijau menurut Kepmendagri No. 1/2007 adalah sebesar 20 persen, sedangkan berdasarkan UU 26/2007 sebesar 30 persen.

Banyak kasus dimana kawasan lindung masih belum dimasukkan ke dalam peta tata ruang wilayah. Padahal undang-undang tentang penataan ruang, baik UU No 24/1992 maupun UU No 47/1997, secara tegas telah menetapkan bahwa pemanfaatan ruang wilayah dibagi atas dua fungsi utama yaitu kawasan budidaya dan kawasan lindung. Banyaknya peraturan yang tumpang tindih yang dikeluarkan oleh berbagai sektor menyebabkan ambiguitas di dalam penerapan penetapapan kawasan lindung. Untuk itu diperlukan upaya untuk mendorong instansi terkait untuk duduk bersama membahas peraturan yang saling tumpang tindih atau peraturan pelaksana yang mengatur lebih lanjut hal-hal terkait dengan kawasan lindung.. Koordinasi antar sektor, karenanya sangat lah penting untuk menghindari penyalahgunaan pola

(6)

pemanfaatan ruang yang dapat merusak lingkungan. Di atas semuanya, diperlukan komitmen yang tinggi dari semua pihak.

(7)

Kata Pengantar

Pengelolaan kawasan lindung merupakan salah satu prasyarat utama di dalam pembangunan daerah yang berkelanjutan. Kurangnya komitmen pemerintah di dalam perlindungan kawasan lindung salah satunya disebabkan karena kurang pahamnya pengambil keputusan mengenai fungsi dan manfaat kawasan lindung. Yang pada akhirnya hanya menjadikan pembangunan secara berkelanjutan sebagai jargon. Selain itu, kurangnya sosialisasi dan pemahaman tentang kawasan lindung juga menjadikan pemerintah daerah kurang terpicu dalam mengintegrasikan kawasan lindung secara komprehensif ke dalam peta tata ruang wilayahnya masing-masing.

Laporan ini merupakan laporan kegiatan analisis spasial kawasan lindung. Penetapan dilakukan berdasarkan kriteria yang telah ditetapkan berdasarkan peraturan-peraturan yang berlaku, khususnya terkait dengan kawasan lindung dan penataan ruang. Sebuah pedoman teknis menggunakan aplikasi GIS juga disusun sebagai salah satu keluaran dari kegiatan ini. Pedoman tersebut dapat digunakan oleh pemerintah daerah untuk memetakan kawasan lindung di wilayahnya masing-masing.

(8)

Daftar Isi

Ringkasan Eksekutif ... i

Kata Pengantar... v

Daftar Isi ... vi

Daftar Tabel ...vii

Daftar Gambar ...viii

Daftar Lampiran...iix Pendahuluan... 1 1.1. Latar Belakang... 1 1.2. Tujuan ... 3 1.3. Maksud... 3 1.4. Ruang Lingkup ... 3

Penetapan Kawasan Lindung... 4

2.1. Kajian Hukum... 4

2.1.1. Pengelompokkan Kawasan Lindung ... 5

2.1.2. Kriteria Kawasan Lindung... 6

2.2. Penetapan Kawasan Lindung secara Spasial ... 17

2.2.1. Penerapan Kriteria menjadi Data Spasial ... 17

2.2.2. Data yang Digunakan... 29

2.2.3. Software yang Digunakan... 31

Hasil Analisis... 32

3.1. Penentuan Daerah Aliran Sungai... 32

3.1.1. Model Elevasi Dijital ... 32

3.1.2. Batas DAS Cisadane-Angke-Ciliwung... 33

3.2. Pemetaan Kawasan Lindung... 34

3.2. Analisis Tutupan Lahan melalui Interpretasi Citra Satelit... 35

3.3.1. Analisa Tutupan Lahan di Kawasan Lindung... 36

3.3.2. Analisa Tutupan Lahan di Kawasan Hutan ... 37

Pembahasan ... 39

4.1. Ketersediaan Data ... 39

4.2. Pedoman Teknis... 41

4.3. Peraturan dan Implementasi... 42

4.4. Fungsi dan Kondisi Kawasan Lindung... 44

4.5. Pengendalian Pemanfaatan Ruang Kawasan Lindung... 48

Kesimpulan dan Rekomendasi... 51

Literatur ... 54

(9)

Daftar Tabel

Tabel 1. Nilai Skor Faktor Kelerengan Lapangan ... 7

Tabel 2. Nilai Skor Faktor Jenis Tanah Menurut Kepekaannya Terhadap Erosi ... 7

Tabel 3. Klasifikasi dan Nilai Skor Faktor Intensitas Hujan Harian Rata–Rata... 7

Tabel 4. Matriks penyusunan data spasial kawasan lindung berdasarkan kriteria yang berlaku... 19

Tabel 5. Perbedaan luas DAS hasil analisis batas menggunakan data topografi dan DEM ... 33

Tabel 6. Luas kawasan lindung dan non lindung... 34

Tabel 7. Luas dan persentase kawasan hutan dan non kawasan hutan ... 34

Tabel 8. Tutuan lahan hasil klasifikasi citra Landsat 5 tahun 2007... 35

Tabel 9. Penyebaran kawasan lindung DAS Ciasadane dan Ciliwung berdasarkan batas administratif... 36

Tabel 10. Tutupan lahan di kawasan lindung tahun 2007 ... 36

Tabel 11. Tutupan lahan di kawasan hutan tahun 2007... 38

(10)

Daftar Gambar

Gambar 1. Diagram alir pemetaan kawasan lindung menggunakan data

yang telah tersedia... 30 Gambar 2. Diagram alir penentuan batas DAS menggunakan data topografi RBI. ... 32 Gambar 3. Perbandingan batas DAS hasil dijitasi visual dan analisis dijital DEM. ... 34 Gambar 4. Cagar Biosfer di Indonesia yang termasuk dalam UNESCO’s Biosphere

Reserves (www.unesco.org). ... 41 Gambar 5. Kondisi Sungai Ciapus yang merupakan bagian hulu DAS Cisadane... 45

(11)

Daftar Lampiran

Lampiran 1. Policy Memo Kajian Pemetaan Kawasan Lindung sesuai Peraturan... 55

Lampiran 2. Policy Memo Pemantauan Tata Ruang Wilayah... 59

Lampiran 3. Notulen Diskusi 1... 62

Lampiran 4. Notulen Diskusi 2... 63

(12)

Pendahuluan

1.1. Latar Belakang

Manusia dan lingkungan memiliki hubungan yang tidak dapat terpisahkan. Manusia sangat bergantung kepada lingkungan yang memberikan sumberdaya alam untuk tetap bertahan hidup. Mengingat adanya keterbatasan daya dukung (carrying capacity) lingkungan, manusia harus memperhatikan kelestarian lingkungan agar fungsi-fungsi lingkungan masih dapat berjalan sehingga tetap memberikan keuntungan bagi manusia. Eksploitasi sumberdaya alam ataupun perusakkan lingkungan atas nama pembangunan yang berlebihan karenanya akan berdampak buruk bagi kualitas lingkungan dalam menjalankan fungsinya yang pada akhirnya mempengaruhi kualitas hidup dan bahkan keberlangsungan hidup manusia.

Pemanfaatan sumberdaya alam serta pelestarian lingkungan perlu diatur untuk menghindari kerusakkan lingkungan atau bencana lingkungan sehingga pembangunan dan kelestarian lingkungan dapat secara sinergis berjalan bersamaan. Banyak produk hukum dibuat oleh pemerintah terkait dengan pengelolaan sumberdaya alam maupun pelestarian lingkungan, namun exploitasi sumberdaya alam masih terjadi secara besar-besaran tanpa memperhatikan kemampuan alam untuk memperbaiki diri.

Salah satu contoh nyata adalah pemanfaatan hasil hutan alam di luar pulau Jawa. Deforestasi dan degradasi hutan terjadi akibat pembalakan berlebihan dan pembalakan liar (illegal logging), sebagian besar hutan alam tidak berada dalam kondisi suksesi klimaks yang berfungsi melindungi kelestarian lingkungan. Kondisi demikian menyebabkan hutan yang terdegradasi dan rusak menjadi rentan terhadap kebakaran. Kebakaran hutan dan lahan menjadi bencana yang mulai sering terjadi dan berdampak sangat buruk terhadap kesehatan dan kualitas hidup manusia. Dampak yang ditimbulkan tidak hanya bersifat lokal dan temporer. Asap lintas batas (transboundary

(13)

haze) menjadi masalah yang membatasi keharmonisan dengan negara

tetangga, selain itu pelepasan karbon akibat kebakaran mencapai nilai yang hampir setara dengan emisi yang dikeluarkan oleh negara industri. Perubahan iklim akibat pemanasan global memberikan dampak merugikan secara jangka panjang, khususnya bagi negara kepulauan seperti Indonesia.

Pengaturan pelestarian lingkungan juga perlu diperhatikan di dalam pengaturan tata ruang. Berbagai kebijakan pemerintah cukup jelas dan tegas mengatur tata ruang pengembangan wilayah baik dari tingkat nasional, provinsi dan kabupaten atau kota dengan memperhatikan aspek lingkungan ke dalam penataan ruang wilayah yang harus dilindungi untuk kepentingan kelestarian fungsi lingkungan. Kawasan lindung dan kawasan budidaya ditetapkan untuk menjaga keharmonisan antara pembangunan daerah dengan kelestarian fungsi lingkungan. Pengelolaan kawasan lindung secara khusus diatur oleh Keputusan Presiden nomor 32 tahun 1990. Kebijakan tersebut disusun sebagai pedoman pengelolaan kawasan lindung di dalam pengembangan pola tata ruang wilayah. Undang-undang No 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang juga menyebutkan keharusan penetapan kawasan lindung selain kawasan budidaya.

Kelemahan di dalam upaya pengendalian penerapan rencana tata ruang menjadi kendala utama di dalam menjamin kelestarian fungsi kawasan lindung yang telah ditetapkan sebelumnya. Tanpa adanya informasi yang aktual dan valid terkait dengan kondisi kawasan lindung juga akan menyulitkan upaya pengendalian tata ruang. Karenanya sistem pemantauan secara reguler perlu dikembangkan untuk mengetahui apakah rencana tata ruang yang dibuat sesuai dengan kondisi di lapangan, bagaimana kondisinya serta perubahan apa yang terjadi di dalam kawasan lindung tersebut. Informasi yang diperoleh selanjutnya dapat digunakan sebagai dasar pertimbangan perbaikan kebijakan terkait dengan pengelolaan kawasan lindung sehingga dapat memaksimalkan fungsinya untuk melindungi dan mencegah terjadinya bencana lingkungan.

(14)

1.2. Tujuan

- Melakukan identifikasi dan analisa spasial di dalam penetapan kawasan lindung sesuai aturan perundang-undangan.

- Melakukan analisa perbandingan antara kawasan lindung dengan RTRWP dan penutupan lahan aktual.

- Melakukan analisa kondisi kawasan lindung serta analisis proporsi areal terbangun.

- Penyusunan pedoman analisa spasial kawasan lindung.

1.3. Maksud

Untuk mengetahui perbedaan pola penetapan dan pengelolaan kawasan lindung sehingga diperoleh hasil analisa yang dapat digunakan sebagai acuan perbaikan kebijakan terkait dengan penataan ruang wilayah yang mengintegrasikan kawasan lindung serta upaya pengelolaannya.

Selain itu, juga diperlukan adanya pedoman teknis yang dapat diterapkan oleh pemerintah daerah di dalam penentuan dan pemantauan kondisi kawasan lindung.

1.4. Ruang Lingkup

Ruang lingkup kegiatan ini meliputi kajian hukum terkait dengan pengelolaan kawasan lindung, analisa spasial penetapan kawasan lindung sesuai peraturan serta pemantauan kondisi kawasan lindung di DAS Cisadane, Ciliwung dan Angke.

(15)

Penetapan Kawasan

Lindung

2.1. Kajian Hukum

Beberapa produk hukum telah dikeluarkan untuk mengatur upaya penataan ruang yang memperhatikan aspek lingkungan. Analisis penetapan kawasan lindung dilakukan dengan mengacu pada peraturan yang berlaku. Peraturan perundang-undangan yang digunakan sebagai dasar analisis antara lain:

1. Undang-Undang No 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang. 2. Undang-Undang No 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.

3. Undang-Undang No 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya.

4. Peraturan Pemerintah No 47 Tahun 1997 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (hingga laporan ini ditulis, Peraturan Pemerintah tentang RTRWN yang baru masih berupa rancangan).

5. Peraturan Pemerintah No 35 Tahun1991 tentang Sungai.

6. Peraturan Pemerintah No 68 Tahun 1998 tentang Kawasan Suaka Alam dan Pelestarian Alam.

7. Peraturan Pemerintah No 63 Tahun 2002 tentang Hutan Kota.

8. Keputusan Presiden No 32 Tahun 1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung. 9. Peraturan Menteri Dalam Negeri No 1 Tahun 2007 tentang Ruang Terbuka Hijau

Kawasan Perkotaan.

10. Peraturan Menteri Kehutanan No: P.56/Menhut-II/2006 tentang Zonasi Taman Nasional.

11. Surat Keputusan Menteri Pertanian No 837/Kpts/Um/11 /1980 tentang Kriteria Penetapan Hutan Lindung.

12. Surat Keputusan Menteri Pertanian No 681/Kpts/Um/8/1981 tentang Kriteria Penetapan Kawasan Suaka Alam dan Pelestarian Alam.

(16)

2.1.1. Pengelompokkan Kawasan Lindung

Penetapan kawasan lindung sebagai daerah yang perlu di jaga kelestariannya telah diatur di dalam beberapa peraturan dan undang-undang. Keputusan Presiden No 32 tahun 1990 secara khusus mengatur tentang pengelolaan kawasan lindung. Kawasan lindung didefinisikan sebagai kawasan yang ditetapkan dengan fungsi utama melindungi kelestarian lingkungan hidup yang mencakup sumber alam, sumber daya buatan dan nilai sejarah serta budaya bangsa guna kepentingan pembangunan berkelanjutan.

Kawasan lindung berdasarkan Keputusan Presiden No 32 tahun 1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung dikelompokkan ke dalam 4 kelompok, yaitu: 1. Kawasan yang Memberikan Perlindungan Kawasan Bawahannya. 2. Kawasan Perlindungan Setempat.

3. Kawasan Suaka Alam dan Cagar Budaya 4. Kawasan Rawan bencana Alam.

Sedangkan Undang-Undang No 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang mengelompokkan kawasan lindung ke dalam 5 kelompok, yaitu:

1. Kawasan yang memberikan pelindungan kawasan bawahannya, antara lain, kawasan hutan lindung, kawasan bergambut, dan kawasan resapan air; 2. Kawasan perlindungan setempat, antara lain, sempadan pantai, sempadan sungai, kawasan sekitar danau/waduk, dan kawasan sekitar mata air;

3. Kawasan suaka alam dan cagar budaya, antara lain, kawasan suaka alam, kawasan suaka alam laut dan perairan lainnya, kawasan pantai berhutan bakau, taman nasional, taman hutan raya, taman wisata alam, cagar alam, suaka margasatwa, serta kawasan cagar budaya dan ilmu pengetahuan;

4. Kawasan rawan bencana alam, antara lain, kawasan rawan letusan gunung berapi, kawasan rawan gempa bumi, kawasan rawan tanah longsor, kawasan rawan gelombang pasang, dan kawasan rawan banjir; dan

5. Kawasan lindung lainnya, misalnya taman buru, cagar biosfer, kawasan perlindungan plasma nutfah dan kawasan pengungsian satwa. Selain itu, Undang-Undang 26/2007 menambahkan kawasan terumbu karang sebagai salah satu kawasan lindung.

(17)

Sedangkan berdasarkan Peraturan Pemerintah No 47 tahun 1997 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional mengelompokkan kawasan lindung ke dalam 7 kelompok, yaitu:

1. Kawasan yang memberikan perlindungan kawasan bawahannya; 2. Kawasan perlindungan setempat;

3. Kawasan suaka alam; 4. Kawasan pelestarian alam; 5. Kawasan cagar budaya;

6. Kawasan rawan bencana alam; 7. Kawasan lindung lainnya.

Pengelompokkan kawasan lindung di dalam PP No 47/1997 cenderung lebih lengkap dibandingkan peraturan lainnya. Ruang terbuka hijau dan hutan kota dijelaskan dan dikelompokkan ke dalam Kawasan perlindungan setempat. Sementara di KepPres 32/1990 kedua kawasan tersebut tidak dijelaskan dan tidak dikelompokkan ke dalam kelompok kawasan lindung. Sementara UU No 26/2007 tidak mengelompokkan RTH ke dalam kelompok kawasan lindung, tetapi RTH dijelaskan di dalam paragraf tata ruang wilayah kota. Hutan Kota tidak dijelaskan sama sekali di dalam Undang-undang tersebut.

2.1.2. Kriteria Kawasan Lindung

A. Kawasan Perlindungan Kawasan di Bawahnya

Kawasan yang memberikan perlindungan kawasan bawahnya memiliki tujuan untuk melindungi areal yang berada di bawah kawasan lindung yang meliputi: hutan lindung, kawasan bergambut dan kawasan resapan air.

Hutan lindung adalah kawasan hutan yang memiliki sifat khas yang mampu memberikan perlindungan kepada kawasan sekitar maupun bawahnya sebagai pengatur tata air, pencegah banjir dan erosi serta memelihara kesuburan tanah, baik dalam kawasan hutan yang bersangkutan maupun kawasan yang dipengaruhi di sekitarnya. Kriteria penetapan hutan lindung dijelaskan secara lengkap di Surat Keputusan Menteri Pertanian Nomor 2837/Kpts/Um/11 /1980. Jika di dalam penggabungan atau tumpang susun antar faktor

(18)

kelerengan, jenis tanah dan curah hujan memiliki nilai lebih dari 175 maka ditetapkan sebagai hutan lindung (Tabel 1-3).

Tabel 1. Nilai Skor Faktor Kelerengan Lapangan

Kelas Kelerengan (%) Klasifikasi Nilai Skor

I 0 - 8 Datar 20

II 8 - 15 Landai 40

III 15 - 25 Agak Curam 60

IV 25 - 40 Curam 80

V > 40 Sangat Curam 100

Sumber: SK Mentan No 2837/Kpts/Um/11 /1980

Tabel 2. Nilai Skor Faktor Jenis Tanah Menurut Kepekaannya Terhadap Erosi

Kelas Jenis tanah Klasifikasi Nilai

Skor I Aluvial,Glei, Planosol,Hidromorf kelabu,

Laterit air tanah Tidak peka 15

II Latosol Kurang peka 30

III Brown forest soil, non calcic brown, mediteran.

Agak peka 45 IV Andosol, Laterit, Grumusol, Podsol,

Podsolic

Peka 60 V Regosol, Litosol, Organosol, Rensina. Sangat peka 75

Sumber: SK Mentan No 2837/Kpts/Um/11 /1980

Tabel 3. Klasifikasi dan Nilai Skor Faktor Intensitas Hujan Harian Rata–Rata Kelas Intensitas Hujan

(mm/hari)

Klasifikasi Nilai Skor

I 0 – 13,6 Sangat rendah 10

II 13,6 – 20,7 Rendah 20

III 20,7 – 27,7 Sedang 30

IV 27,7 – 34,8 Tinggi 40

V > 34,8 Sangat Tinggi 50

Sumber: SK Mentan No 2837/Kpts/Um/11 /1980

Selain itu, kawasan hutan yang mempunyai lereng lapangan 40 % atau lebih, serta kawasan hutan yang berada pada ketinggian 2000 meter atau lebih di atas permukaan laut juga ditetapkan sebagai hutan lindung. Penilaian tersebut dilakukan oleh Departemen Kehutanan sebagai dasar penetapan kawasan hutan lindung yang selanjutnya diintegrasikan ke dalam peta kawasan hutan atau rencana tata ruang wilayah. Penyusunan peta kawasan hutan yang meliputi hutan produksi, hutan lindung dan hutan konservesi (suaka alam dan

(19)

pelestarian alam) merupakan wewenang Pusat Pengukuhan dan Penatagunaan Kawasan Hutan, Badan Planologi Departemen Kehutanan.

Kawasan bergambut merupakan kawasan yang unsur pembentuk tanahnya sebagian besar berupa sisa-sisa bahan organik yang tertimbun dalam waktu yang lama dengan kedalaman lebih atau sama dengan 3 meter. Kawasan ini berfungsi untuk menjaga hidrologi, menyimpan cadangan air, mencegah banjir serta melindungi ekosistem yang khas di wilayah yang bersangkutan. Lahan gambut juga berfungsi sebegai penyerap dan penyimpan karbon jika berada dalam kondisi alami dan tidak terdegradasi. Namun sebaliknya, lahan gambut yang rusak akan menyebabkan pelepasan karbon ke atmosfir baik melalui kebakaran maupun proses oksidasi akibat drainase atau pengeringan.

Kawasan resapan air merupakan daerah yang mempunyai kemampuan tinggi untuk meresapkan air hujan sehingga merupakan tempat pengisian air bumi (aquifer) yang berguna sebagai sumber air. Kriteria penetapan kawasan resapan air adalah curah hujan yang tinggi, struktur tanah yang mudah meresapkan air dan bentuk geomorfologi yang mampu meresapkan air hujan secara besar-besaran. Namun kriteria dan batasan yang jelas rinci tidak dijelaskan lebih lanjut.

B. Kawasan Perlindungan Setempat

Kawasan perlindungan setempat meliputi: sempadan sungai, sempadan pantai, kawasan sekitar waduk atau danau serta kawasan ruang terbuka hijau termasuk di dalamnya hutan kota.

Sempadan sungai merupakan kawasan sepanjang kiri kanan sungai, termasuk sungai buatan/kanal/ saluran irigasi primer, yang mempunyai manfaat penting untuk mempertahankan kelestarian fungsi sungai. Berdasarkan Keppres 32/1990 lebar minimal 100 meter untuk sungai besar dan 50 meter untuk sungai kecil. Di sekitar pemukiman, lebar kawasan sempadan sekitar 10-15 meter. Sedangkan pada PP 47/1997, kriteria sempadan sungai yang bertanggul minimal 5 meter dari batas luar tanggul, sedangkan yang tidak bertanggul ditentukan oleh pejabat berwenang berdasarkan pertimbangan teknis dan

(20)

sosial. Di dalam sektor kehutanan, melalui Undang-Undang Kehutanan No 41/1999, kriteria sempadan sungai sesuai dengan kriteria berdasarkan KepPres 32/1990.

Perlindungan terhadap sempadan pantai dilakukan untuk melindungi wilayah pantai dari kegiatan yang menganggu kelestarian fungsi pantai. Kriteria sempadan pantai adalah daratan sepanjang tepian yang lebarnya proporsional dengan bentuk dan kondisi fisik pantai minimal 100 meter dari titik pasang tertinggi ke arah darat. Untuk itu diperlukan data pasang surut untuk menentukan titik pasang tertinggi.

Perlindungan terhadap kawasan sekitar danau/waduk dilakukan untuk melindungi danau/waduk dari kegiatan budidaya yang dapat menganggu kelestarian fungsinya. Kawasan perlindungan tersebut merupakan daratan sepanjang tepian yang lebarnya proporsional dengan bentuk dan kondisi fisik danau/waduk antara 50 –100 meter dari titik pasang tertinggi ke arah darat. Di kawasan hutan, kawasan perlindungan sekitar danau/waduk berada di tepian selebar 500 meter (UU 41/1999).

Perlindungan terhadap kawasan sekitar mata air dilakukan untuk melindungi mata air dari kegiatan budidaya yang dapat merusak kualitas air dan kondisi fisik kawasan sekitarnya. Kawasan tersebut merupakan daerah dengan lebar sekurang-kurangnya 200 meter di sekitar mata air.

Ruang terbuka hijau dan hutan kota dijelaskan di dalam Undang-Undang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional No 47/97 dan Undang Undang Kehutanan No 41/1999. Ruang terbuka hijau (RTH) adalah area memanjang/jalur dan/atau mengelompok, yang penggunaannya lebih bersifat terbuka, tempat tumbuh tanaman, baik yang tumbuh secara alamiah yang dikelola oleh Pemda Kota. Kawasan terbuka hijau dapat berupa pohon-pohonan maupun tanaman hias atau herba. Terdapat ruang terbuka hijau publik dan privat. Kawasan yang dimaksud berada di kawasan pemukiman, industri ataupun tepi sungai, pantai dan jalan yang berada di kawasan perkotaan.

(21)

Adapun kriteria RTH meliputi: 1. lokasi sasaran kawasan terbuka hijau kota termasuk di dalamnya hutan kota antara lain di kawasan permukiman, industri, tepi sungai/pantai/ jalan yang berada di kawasan perkotaan; 2. jenis tanaman hias untuk kawasan terbuka hijau kota adalah berupa pohon-pohonan dan tanaman hias atau herba, dari berbagai jenis baik jenis asing atau eksotik maupun asli atau domestik; 3. proporsi ruang terbuka hijau minimal 30% dari total luas wilayah dengan minimal 20% RTH publik; 4. yang termasuk ruang terbuka hijau publik, antara lain, adalah taman kota, taman pemakaman umum, dan jalur hijau sepanjang jalan, sungai, dan pantai; 5. yang termasuk ruang terbuka hijau privat, antara lain, adalah kebun atau halaman rumah/gedung milik masyarakat/swasta yang ditanami tumbuhan.

Hutan Kota berupa suatu hamparan lahan yang bertumbuhan pohon-pohon yang kompak dan rapat di dalam wilayah perkotaan baik pada tanah negara maupun tanah hak, yang ditetapkan sebagai hutan kota oleh pejabat yang berwenang. Hutan kota berfungsi untuk mengatur iklim mikro, estetika serta resapan air yang berupa hamparan pohon-pohonan baik jenis domestik maupun eksotik.

Kriteria hutan kota meliputi: 1. hutan yang terbentuk dari komunitas tumbuhan yang berbentuk kompak pada satu hamparan, berbentuk jalur atau merupakan kombinasi dari bentuk kompak dan bentuk jalur; 2. jenis tanaman untuk hutan kota adalah tanaman tahunan berupa pohon-pohonan, bukan tanaman hias atau herba, dari berbagai jenis baik jenis asing atau eksotik maupun jenis asli atau domestik; 3. hutan yang terletak didalam wilayah perkotaan atau sekitar kota dengan luas hutan minimal 0,25 hektar; 4. Paling sedikit 10% dari luas wilayah perkotaan.

C. Kawasan Suaka Alam

Kawasan suaka alam selain diatur di Keppres 32 tahun 1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung juga dijelaskan di dalam Undang Undang Kehutanan No 41 tahun 1999 tentang Kehutanan. Kawasan hutan yang

(22)

menjadi wewenang Departemen Kehutanan, selain memiliki fungsi pokok hutan produksi, juga memiliki fungsi hutan konservasi dan hutan lindung. Hutan konservasi yang dimaksud meliputi kawasan suaka alam, kawasan pelestarian alam dan taman buru.

Kawasan suaka alam adalah kawasan dengan ciri khas tertentu baik di darat maupun di perairan yang mempunyai fungsi pokok sebagai kawasan pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya serta sebagai wilayah sistem penyangga kehidupan yang terdiri dari cagar alam dan suaka margasatwa.

Kawasan cagar alam adalah kawasan suaka alam yang karena keadaannya mempunyai kekhasan tumbuhan, satwa dan ekosistemnya atau ekosistem tertentu yang perlu dilindungi dan perkembangannya secara alami. Kriteria keberadaan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwaliar merupakan faktor penting di dalam penentapan suatau wilayah menjadi sebuah cagar alam, sehingga bermanfaat untuk keperluan konservasi dan ilmu pengetahuan.

Kriteria cagar alam meliputi: 1. memiliki keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa serta type ekosistemnya; 2. memiliki formasi biota tertentu dan/atau unit-unit penyusun; 3. mempunyai kondisi alam, baik biota maupun fisiknya yang masih asli dan tidak/belum diganggu manusia; 4. mempunyai luas dan bentuk tertentu agar menunjang pengelola yang efektif dengan daerah-daerah penyangga yang cukup luas; 5. mempunyai ciri khas dan dapat merupakan satusatunya contoh di suatu daerah serta keberadaannya memerlukan konservasi.

Sedangkan kawasan suaka margasatwa adalah kawasan suaka alam yang mempunyai ciri khas berupa keanekaragaman dan atau keunikan jenis satwa yang untuk kelangsungan hidupnya dapat dilakukan pembinaan diluar habitatnya. Kriteria penetapan kawasan pelestarian alam dijelaskan di dalam SK Menteri Pertanian No 681/Kpts/Um/8/1981 tentang Kriteria dan Tata Cara Penetapan Hutan Suaka Alam dan Hutan Wisata.

(23)

Kriteria penetapan kawasan suaka margasatwa meliputi: 1. tempat hidup dan berkembangbiaknya suatu jenis satwa yang perlu dikonservasi; 2. memiliki keanekaragaman dan populasi yang tinggi; 3. merupakan tempat dan kehidupan bagi jenis satwa migran tertentu; 4. mempunyai luasan yang cukup sebagai habitat jenis satwa yang bersangkutan.

D. Kawasan Pelestarian Alam

Kawasan pelestarian alam adalah kawasan hutan dengan ciri khas tertentu, yang mempunyai fungsi pokok perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa, serta pemanfaatan secara lestari sumber daya alam hayati dan ekosistemnya. Kawasan pelestarian alam terdiri dari taman nasional, taman hutan raya dan taman wisata alam yang ditujukan untuk pelestarian ekosistem, pendidikan serta rekreasi.

Kawasan taman nasional adalah kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli, dikelola dengan sistem zonasi yang dimanfaatkan untuk keperluan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, pariwisata dan rekreasi. Zonasi di dalam taman nasional meliputi:

a. Zona inti

b. Zona rimba dan Zona perlindungan bahari untuk wilayah perairan c. Zona pemanfaatan

d. Zona lain (zona tradisional, zona rehabilitasi, zona religi, budaya dan sejarah serta zona khusus)

Kriteria penetapan zonasi di dalam taman nasional dijelaskan di dalam Peraturan Menteri Kehutanan No: P.56/Menhut-II/2006 Tentang Pedoman Zonasi Taman Nasional.

Kriteria penetapan taman nasional meliputi: 1. wilayah yang ditetapkan mempunyai luas yang cukup untuk menjamin kelangsungan proses ekologis secara alami; 2. memiliki sumber daya alam yang khas dan unik baik berupa jenis tumbuhan maupun jenis satwa dan ekosistemnya serta gejala alam yang

(24)

masih utuh dan alami; 3. satu atau beberapa ekosistem yang terdapat di dalamnya secara materi atau secara fisik tidak dapat diubah oleh eksploitasi maupun pendudukan oleh manusia; 4. memiliki keadaan alam yang asli dan alami untuk dikembangkan sebagai pariwisata alam; 5. merupakan kawasan yang dapat dibagi ke dalam zona inti, zona pemanfaatan dan zona lain yang dapat mendukung upaya pelestarian sumber daya alam hayati dan ekosistemnya.

Kawasan taman hutan raya adalah kawasan pelestarian alam untuk tujuan koleksi tumbuhan dan atau satwa yang alami atau bukan alami, jenis asli dan atau bukan asli yang dimanfaatkan bagi kepentingan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, budaya, pariwisata dan rekreasi.

Kriteria penetapan taman hutan raya meliputi: 1. merupakan wilayah dengan ciri khas baik asli maupun buatan, baik pada kawasan yang ekosistemnya masih utuh ataupun kawasan yang sudah berubah; 2. memiliki keindahan alam, tumbuhan, satwa, dan gejala alam; 3. mudah dijangkau dan dekat dengan pusart-pusat pemukiman penduduk; 4. mempunyai luas wilayah yang memungkinkan untuk pembangunan.

Kawasan taman wisata alam adalah kawasan pelestarian alam dengan tujuan utama untuk dimanfaatkan bagi kepentingan pariwisata alam dan rekreasi alam. Kriteria penetapan hutan wisata diatur dalam Keputusan Menteri Pertanian No 681/Kpts/Um/8/1981 tentang Kriteria dan Tata Cara Penetapan Hutan Suaka Alam dan Hutan Wisata.

Kriteria penetapan taman hutan raya meliputi: 1. memiliki keadaan yang menarik dan indah baik secara alami maupun buatan; 2. memenuhi kebutuhan manusia dan rekreasi dan olah raga serta terletak dekat pusat-pusat pemukiman penduduk.

(25)

E. Kawasan Cagar Budaya

Kawasan cagar budaya adalah Ruang disekitar bangunan bernilai budaya tinggi, situs purbakala dan kawasan dengan bentukan geologi tertentu bermanfaat tinggi untuk ilmu pengetahuan. Kawasan ini memiliki fungsi melindungi nilai-nilai budaya, seperti situs kerajaan, candi, prasasti ataupun struktur geologi tertentu. Karena itu, kawasan ini dilindungi bukan untuk tujuan pelestarian alam atau mempertahankan fungsi lingkungan.

F. Kawasan Bencana Alam

Berdasarkan Undang-Undang No 26 tahun 2007 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional, bencana alam yang dimaksud meliputi longsor, gempa bumi, banjir, gunung meletus dan gelombang air pasang. Kawasan yang dimaksud merupakan daerah yang sering dan berpotensi tinggi terjadi bencana. Penetapan kawasan bencana alam dimaksudkan untuk melindungi masyarakat dari bencana sehingga terhindar dari kerugian yang sangat besar.

G. Kawasan Lindung Lainnya

Berdasarkan Undang-Undang No 26 tahun 2007 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional, kawasan lindung lainnya meliputi taman buru, cagar biosfer, kawasan pelestarian plasma nutfah, kawasan pengungsian satwa, kawasan pantai berhutan bakau serta terumbu karang.

Taman Buru adalah kawasan hutan yang ditetapkan sebagai tempat diselenggarakan perburuan satwa buru secara teratur. Taman buru ditetapkan oleh Departemen Kehutanan. (cari PP 13/1994!!.). Kriteria penetapannya meliputi: 1. areal yang ditunjuk mempunyai luas yang cukup dan lapangannya tidak membahayakan; 2. terdapat satwa buru yang dapat dikembangbiakkan sehingga memungkinkan perburuan secara teratur dengan mengutamakan segi rekreasi, olah raga dan kelestarian satwa.

Penetapan sebuah cagar biosfer bertujuan untuk menjaga kelestarian lingkungan dan penelitian serta secara bersamaan mengembangkan pengelolaan pemanfaatan untuk tujuan ekonomi, sosial dan budaya. Upaya

(26)

penetapan cagar biosfer memiliki keterkaitan yang erat dengan UNESCO melalui program Biosphere Reserve yang secara internasional juga ditetapkan sebagai daerah perlindungan. Namun cagar biosfer ditetapkan oleh pemerintah sebuah negara.

Cagar biosfer memiliki kriteria antara lain: 1. keterwakilan ekosistem yang masih alami/modifikasi/binaan, komunitas alam unik langkah dan indah, bentang alam cukup luas; 2. kawasan yang mempunyai komunitas alam yang unik, langka, dan indah; 3. merupakan bentang alam yang cukup luas yang mencerminkan interaksi antara komunitas alami dengan manusia beserta kegiatannya secara harmonis; 4. tempat bagi penyelenggaraan pemantauan perubahan-perubahan ekologi melalui kegiatan penelitian dan pendidikan.

Kawasan pelestarian plasma nutfah dan pengungsian satwa merupakan kawasan konservasi yang berada di luar kawasan hutan konservasi (kawasan pelestarian alam dan kawasan suaka alam). Karena berada di kawasan hutan produksi, penetapannya dilakukan bersama-sama antara pihak pengelola hutan dan Departemen Kehutanan.

Kawasan pelestarian plasma nutfah merupakan kawasan hutan yang karena keadaan dan sifat fisiknya perlu dibina dan dipertahankan dengan maksud untuk menjaga keanekaragaman jenis plasma nutfah. Kawasan hutan yang karena keadaan dan sifat fisiknya perlu dibina dan dipertahankan dengan maksud sebagai tempat hidup dan kehidupan satwa tertentu. Kriteria penetapan kawasan plasma nutfah dan pengungsian satwa diatur di dalam Keputusan Menteri Pertanian No 681/Kpts/Um/8/1981 tentang Kriteria dan Tata Cara Penetapan Hutan Suaka Alam dan Hutan Wisata.

Kriteria penetapan kawasan pelestarian plasma nutfah antara lain: 1. memiliki plasma nutfah tertentu yang belum terdapat di dalam kawasan konservasi yang telah ditetapkan; 2. memiliki jenis plasma nutfah tertentu yang belum terdapat di kawasan konservasi yang telah ditetapkan.

(27)

Kawasan pengungsian satwa merupakan kawasan hutan yang karena keadaan dan sifat fisiknya perlu dibina dan dipertahankan dengan maksud sebagai tempat hidup dan kehidupan satwa tertentu. Kriteria penetapannya meliputi: 1. merupakan wilayah kehidupan satwa yang sejak semula menghuni areal tersebut; 2. mempunyai luas tertentu yang memungkinkan berlangsungnya proses hidup dan kehidupan baru bagi satwa tersebut; 3. merupakan areal tempat pemindahan satwa yang merupakan tempat kehidupan baru bagi satwa tersebut.

Kawasan pesisir berhutan bakau merupakan kawasan pesisir laut yang merupakan habitat alami hutan bakau bakau (mangrove) yang berfungsi memberi perlindungan kepada perikehidupan pantai dan lautan. Kawasan dimaksud memiliki lebar 130 x nilai rata-rata perbedaan air pasang tertinggi dan terendah tahunan diukur dari garis air surut terendah kearah darat.

Eksploitasi hutan bakau di pesisir Lampung untuk kegiatan pertambakkan menyebabkan penyusutan hutan bakau hingga mencapai 90%. Hal ini menyebabkan terjadinya abrasi pantai sekitar 30 – 50 meter per tahunnya (SLHI 2006). Kejadian tsunami yang terjadi pada tahun 2004 di Aceh membuktikan bahwa kawasan hutan bakau selain menjaga pantai dari proses abrasi dan intrusi air laut, juga menghambat arus gelombang tsunami sehingga mengurangi dampak kerusakan dan korban jiwa yang ditimbulkan.

Terumbu karang merupakan areal di pantai dangkal yang menjadi tempat hidup, berkembang biak, pertumbuhan, berlindung dari serangan pemangsa serta mencari makan berbagai ikan dan makhluk laut lainnya. Terumbu karang baru mulai dikategorikan sebagai kawasan lindung sejak dikeluarkannya UU 26/2007 tentang Penataan Ruang.

(28)

2.2. Penetapan Kawasan Lindung secara Spasial 2.2.1. Penerapan Kriteria menjadi Data Spasial

Berdasarkan kriteria yang telah ditetapkan di dalam beberapa peraturan, penetapan kawasan lindung dapat dilakukan menggunakan pendekatan analisa spasial. Penetapan kawasan lindung secara spasial dilakukan terlepas dari apakah kriteria tersebut sesuai atau tidak dengan fungsinya.

Beberapa kawasan lindung perlu disusun dengan menggunakan data tambahan, sehingga memerlukan proses sederhana sebelumnya. Misalnya untuk menentukan daerah sempadan sungai, danau atau garis pantai, maka diperlukan data sungai, danau dan garis pantai untuk mendapatkan daerah buffer sesuai dengan kriteria.

Selain itu, kawasan lindung yang merupakan kawasan hutan seperti: hutan lindung, kawasan suaka alam dan pelestarian alam harus diperoleh dari Departemen Kehutanan atau Dinas Kehutanan setempat. Peta penunjukkan kawasan hutan yang dikeluarkan oleh Departemen Kehutanan cenderung memiliki resolusi yang rendah yaitu skala 1: 250.000, sehingga hanya relevan untuk diterapkan pada skala provinsi.

Sebagian kawasan lindung bahkan belum atau sulit diterapkan, mengingat ketidaktersediaan data dan metodologi serta kritreriayang kurang jelas. Contohnya kawasan rawan bencana alam yang meliputi rawan banjir, longsor, gempa bumi, gelombang air pasang dan gunung berapi. Banyak konsep yang telah dikembangkan oleh berbagai pihak di dalam pemetaan daerah rawan, namun belum ada pihak berwenang yang mengkoordinasikan kelayakan metode yang telah disusun tersebut. Hal ini menyebabkan terjadinya perbedaan persepsi di dalam penentuan kawasan lindung.

Demikian halnya dengan daerah resapan air, yang memperhatikan kondisi geomorfologi serta jenis tanah yang mampu menyerap air secara besar-besaran. Selain kriteria yang kurang aplikatif, konsep penetapan daerah resapan juga kurang dapat diterima oleh beberapa ahli. Konsep lain di dalam

(29)

penetapan daerah resapan, cenderung tidak memperhatikan kondisi geomorfologi, namun lebih memperhatikan aliran air tanah. Namun mengingat keterbatasan data dan sulitnya metode penetapan, maka kawasan ini tidak diterapkan dalam analisis ini.

Adanya perbedaan kritera yang dijelaskan dalam beberapa peraturan juga agak menyulitkan di dalam melakukan interpretasi penetapan kawasan. Misalnya di dalam penetapan sempadan sungai, beberapa peraturan menjelaskan beberapa kriteria yang berbeda-beda. (untuk lebih rinci silahkan melihat matriks dan diagram alir penentuan kawasan lindung secara spasial pada Tabel 4).

(30)

Tabel 4. Matriks penyusunan data spasial kawasan lindung berdasarkan kriteria yang berlaku

Jenis Kawasan

Lindung Kriteria Penetapan Tambahan Ketetapan Sumber Data Permasalahan dan Keterangan Solusi atau Pendekatan Spasial

a. Kawasan Hutan

Lindung Skor 175 (Kelas Lereng, Jenis Tanah & Intensitas hujan), Lereng lapangan ≥ 40 %, ketinggian ≥ 2000 m dpl. SK penunjukkan kawasan hutan oleh Menhut

- Kontur, Sungai, Titik Tinggi (untuk penyusunan elevasi dan kelerengan) - Peta Tanah (land system)

- Curah hujan

Penetapan hutan lindung dilakukan oleh

Departemen Kehutanan melalui penunjukkan kawasan hutan, yang termasuk di dalamnya Hutan Lindung, Hutan Produksi dan Hutan Konservasi.

Kriteria yang diatur tidak perlu digunakan, cukup menggunakan Peta TGHK Paduserasi yang telah ditetapkan oleh

Departemen Kehutanan atau Dinas Kehutanan setempat.

- Peta tanah atau Landsystem, Skala 1: 250.000

- Data tidak tersedia dalam kualitas/skala yang memadai, klasifikasi kedalaman gambut tidak sesuai dengan kriteria dimaksud.

Pengeboran di lahan gambut perlu dilakukan di beberapa lokasi dgn kedalaman lebih dari 2,5 meter.

b. Kawasan bergambut

Ketebalan tanah gambut ≥ 3 m di hulu sungai dan rawa

-

- Peta lahan gambut Wetland International dan Puslitanak

- Tersedia untuk Pulau

Kalimantan dan Sumatra Untuk wilayah luar pulau Jawa dapat menggunakan data penyebaran lahan gambut dari Wetlands International

- Data curah hujan

c. Kawasan Resapan Air

Curah Hujan tinggi, struktur tanah meresapkan air dan bentuk geomorfologi mampu meresepkan air hujan secara besar-besaran

-

- Geomorfologi

Kriteria tidak spesifik, sehingga menyulitkan di dalam penentuan secara spasial. Diperlukan pedoman teknis

penyusunan peta resapan air yang dapat

mengadopsi kriteria lokal.

Perlu didiskusikan lebih lanjut dengan para ahli iklim dan tanah yang memahami karakteristik lokasi terkait. Dalam pedoman ini, penentuan kawasan resapan air tidak diterapkan.

a. Sempadan

Pantai Daratan sepanjang tepian yang lebarnya proporsional dengan bentuk -

Garis pantai (RBI), Penentuan titik pasang

(31)

Jenis Kawasan

Lindung Kriteria Penetapan Tambahan Ketetapan Sumber Data Permasalahan dan Keterangan Solusi atau Pendekatan Spasial

dan kondisi fisik. Lebar minimal 100 meter dari titik pasang tertinggi ke arah darat

- Data pasang surut secara spasial. pantai dari peta dasar RBI

- Minimal 100 meter kiri kanan sungai besar, 50 meter sungai kecil

di luar pemukiman.

- 10-15 meter kiri kanan sungai di

dalam pemukiman

- Sungai (RBI) masih perlu

dirapihkan, banyak danau-danau kecil perlu dipisahkan, data

pemukiman (LULC)

Dengan adanya PP 47/1997 seharusnya parameter sungai lebar dan kecil tidak berlaku lagi

Untuk tingkat provinsi dan kabupaten, kriteria ini cenderung lebih relevan. Kriteria ini digunakan dalam aplikasi dalam pedoman ini.

Bertanggul: minimal 5 m di sebelah

luar sepanjang kaki tanggul, - Secara spasial sulit mendijitasi sungai-sungai

bertanggul, tidak ada data pendukung.

Perlu dilakukan survey lapangan atau kompilasi datapembangunan tanggul oleh Dinas PU.

Tidak bertanggul ditetapkan

berdasarkan pertimbangan teknis dan sosial oleh pejabat berwenang.

- Data sungai bertanggul

dan tidak bertanggul tidak tersedia

-Penetapan sempadan Sungai tidak bertanggul hanya dilakukan oleh pihak berwenang, tanpa ada kriteria dan arahan yang tegas (tidak dijelaskan siapa).

Sungai di kawasan hutan produksi: kiri kanan lebar 100 m

Kriteria ini sama dengan kriteria dalam KepPres 32/1990

cukup jelas b. Sempadan

Sungai

Anak Sungai di kawasan hutan produksi: kiri kanan lebar 50 m

c. Kawasan Sekitar Danau/ Waduk

Lebar 50-100 meter dari titik pasang tertinggi kearah darat

Di kawasan hutan produksi selebar 500 m

-

--Danau RBI Dapat ditambahkan dari data landcover

Data dasar yang tersedia tidak merinci apakah deliniasi danau dilakukan pada saat pasang tertinggi atau tidak.

Dalam aplikasi ini menggunakan data dari peta RBI.

(32)

Jenis Kawasan

Lindung Kriteria Penetapan Tambahan Ketetapan Sumber Data Permasalahan dan Keterangan Solusi atau Pendekatan Spasial

d. Kawasan

Sekitar Mata Air Jari-jari 200 meter di sekitar mata air - Data tidak tersedia Data lokasi mata air tidak tersedia secara spasial.

Perlu dilakukan survey lokasi mata air. Dalam aplikasi ini tidak diterapkan mengingat

ketidaktersediaan datadan keterbatasan waktu.

1. lokasi sasaran kawasan terbuka hijau kota termasuk di dalamnya hutan kota antara lain di kawasan permukiman, industri, tepi

sungai/pantai/ jalan yang berada di kawasan perkotaan;

- RTRW Kota, Interpretasi - Citra High Resolution, Ground check

Ditetapkan oleh Pemerintah Kota dan dimasukkan ke dalam RTRW

Menggunakan data hasil penetapan pemkot

2. jenis tanaman hias untuk kawasan terbuka hijau kota adalah berupa pohon-pohonan dan tanaman hias atau herba, dari berbagai jenis baik jenis asing atau eksotik maupun asli atau domestik.

3. Proporsi ruang terbuka hijau minimal 30% dari total luas wilayah

dengan minimal 20% RTH publik.

4. Yang termasuk ruang terbuka hijau publik, antara lain, adalah taman kota, taman pemakaman umum, dan jalur hijau sepanjang

jalan, sungai, dan pantai.

e. Kawasan RTH

Kota

5. Yang termasuk ruang terbuka hijau privat, antara lain, adalah kebun atau halaman rumah/gedung milik masyarakat/swasta yang

Perda RTRW Kota

(33)

Jenis Kawasan

Lindung Kriteria Penetapan Tambahan Ketetapan Sumber Data Permasalahan dan Keterangan Solusi atau Pendekatan Spasial

1. hutan yang terbentuk dari

komunitas tumbuhan yang berbentuk kompak pada satu hamparan, berbentuk jalur atau merupakan kombinasi dari bentuk kompak dan bentuk jalur;

Ditetapkan oleh Dephut dan Pemkot, dimasukkan ke dalam RTRW

Menggunakan data hasil penetapan pemkot

2. jenis tanaman untuk hutan kota adalah tanaman tahunan berupa pohon-pohonan, bukan tanaman hias atau herba, dari berbagai jenis baik jenis asing atau eksotik maupun jenis asli atau domestik;

3. hutan yang terletak didalam wilayah perkotaan atau sekitar kota dengan luas hutan minimal 0,25

hektar;

f. Hutan Kota

4. Paling sedikit 10% dari luas wilayah perkotaan Penunjukkan kawasan hutan kota oleh Dephut dan Pemkot 1. Memiliki keanekaragaman jenis

tumbuhan dan satwa serta type ekosistemnya

Peta Kawasan Hutan (RTRWP/K)

Ditetapkan oleh Dephut dalam peta penunjukkan kawasan hutan

2. Memiliki formasi biota tertentu dan/atau unit-unit penyusun 3. Mempunyai kondisi alam, baik biota maupun fisiknya yang masih asli dan tidak/belum diganggu manusia

a. Cagar Alam

4. Mempunyai luas dan bentuk tertentu agar menunjang pengelola yang efektif dengan daerah-daerah penyangga yang cukup luas

SK

penunjukkan kawasan hutan oleh

Menhut

Kriteria yang diatur tidak perlu digunakan, cukup menggunakan Peta TGHK Paduserasi yang telah ditetapkan oleh

Departemen Kehutanan atau Dinas Kehutanan setempat.

(34)

Jenis Kawasan

Lindung Kriteria Penetapan Tambahan Ketetapan Sumber Data Permasalahan dan Keterangan Solusi atau Pendekatan Spasial

5. Mempunyai ciri khas dan dapat merupakan satusatunya contoh di suatu daerah serta keberadaannya memerlukan konservasi

1. Tempat hidup dan

berkembangbiaknya suatu jenis satwa yang perlu dikonservasi

Peta Kawasan Hutan (RTRWP/K)

Ditetapkan oleh Dephut dalam peta penunjukkan kawasan hutan

2. Memiliki keanekaragaman dan populasi yang tinggi

3. Merupakan tempat dan kehidupan bagi jenis satwa migran tertentu b. Suaka

Margasatwa

4. Mempunyai luasan yang cukup sebagai habitat jenis satwa yang bersangkutan SK penunjukkan kawasan hutan oleh Menhut

Kriteria yang diatur tidak perlu digunakan, cukup menggunakan Peta TGHK Paduserasi yang telah ditetapkan oleh

Departemen Kehutanan atau Dinas Kehutanan setempat.

Peta Kawasan Hutan

(RTRWP/K) Ditetapkan oleh Dephut dalam peta penunjukkan kawasan hutan

1. Wilayah yang ditetapkan

mempunyai luas yang cukup untuk menjamin kelangsungan proses

ekologis secara alami;

2. Memiliki sumber daya alam yang khas dan unik baik berupa jenis tumbuhan maupun jenis satwa dan ekosistemnya serta gejala alam yang

masih utuh dan alami;

3. Satu atau beberapa ekosistem yang terdapat di dalamnya secara materi atau secara fisik tidak dapat diubah oleh eksploitasi maupun

pendudukan oleh manusia;

4. Memiliki keadaan alam yang asli dan alami untuk dikembnagkan

sebagai pariwisata alam;

a. Taman Nasional SK

penunjukkan kawasan hutan oleh Menhut

Kriteria yang diatur tidak perlu digunakan, cukup menggunakan Peta TGHK Paduserasi yang telah ditetapkan oleh

Departemen Kehutanan atau Dinas Kehutanan setempat.

(35)

Jenis Kawasan

Lindung Kriteria Penetapan Tambahan Ketetapan Sumber Data Permasalahan dan Keterangan Solusi atau Pendekatan Spasial

dibagi ke dalam zona inti, zona pemanfaatan dan zona lain yang dapat mendukung upaya pelestarian sumber daya alam hayati dan ekosistemnya.

1. Merupakan wilayah dengan ciri khas baik asli maupun buatan, baik pada kawasan yang ekosistemnya masih utuh ataupun kawasan yang sudah berubah;

Peta Kawasan Hutan (RTRWP/K)

Ditetapkan oleh Dephut dalam peta penunjukkan kawasan hutan

2. Memiliki keindahan alam,

tumbuhan, satwa, dan gejala alam;

3. Mudah dijangkau dan dekat dengan pusart-pusat pemukiman

penduduk;

4. Mempunyai luas wilayah yang

memungkinkan untuk pembangunan

b. Taman Hutan Raya SK penunjukkan kawasan hutan oleh Menhut

Kriteria yang diatur tidak perlu digunakan, cukup menggunakan Peta TGHK Paduserasi yang telah ditetapkan oleh

Departemen Kehutanan atau Dinas Kehutanan setempat.

1. Memiliki keadaan yang menarik dan indah baik secara alami maupun buatan

Peta Kawasan Hutan

(RTRWP/K) Ditetapkan oleh Dephut dalam peta penunjukkan kawasan hutan

c. Taman Wisata Alam

2. Memenuhi kebutuhan manusia dan rekreasi dan olah raga serta terletak dekat pusat-pusat pemukiman penduduk SK penunjukkan kawasan hutan oleh Menhut

Kriteria yang diatur tidak perlu digunakan, cukup menggunakan Peta TGHK Paduserasi yang telah ditetapkan oleh

Departemen Kehutanan atau Dinas Kehutanan setempat.

a. Kawasan Cagar

Budaya Ruang disekitar bangunan bernilai budaya tinggi, situs purbakala dan kawasan dengan bentukan geologi tertentu bermanfaat tinggi untuk ilmu pengetahuan Ditetapkan dalam RTRW RTRWK

Ditetapkan oleh Pemda melalui RTRW

Tidak diterapkan dalam aplikasi ini

(36)

Jenis Kawasan

Lindung Kriteria Penetapan Tambahan Ketetapan Sumber Data Permasalahan dan Keterangan Solusi atau Pendekatan Spasial

- Peta rawan banjir

- Peta rawan longsor - Peta rawan gunung berapi

- Peta rawan gelombang pasang

- Peta gempa bumi

- Dalam peraturan tata ruang dan kawasan lindung tidak dijelaskan siapa pihak berwenang yang menetapkan daerah rawan bencana. Beberapa instansi sektoral memiliki Tupoksi terkait, misalnya PU Pengairan terkait dengan banjir, Direktorat Vulkanologi terkait dengan gunung berapi. di

Beberapa daerah, instansi lingkungan juga berperan aktif di dalam

menyediakan peta rawan bencana. Undang-undnag no 24/2007 tentang Bencana Alam

mengamanatkan bahwa penyusunan peta rawan bencana merupakan tugas badan

penanggulanganbencana daerah.

Tidak diterapkan dalam aplikasi ini

a. Kawasan

Rawan Bencana Alam

Sering/berpotensi tinggi mengalami bencana alam seperti letusan gunung berapi, gempa bumi dan tanah longsor, gelombang pasang dan banjir

-

- Selain itu belum ada

pedoman teknis metodologi penyusunan

peta rawan serta kriteria dan tingkat rawan apa yang perlu menjadi kawasan lindung.

a. Taman Buru 1. Areal yang ditunjuk mempunyai luas yang cukup dan lapangannya

SK

penunjukkan

Peta Kawasan Hutan (RTRWP/K)

Ditetapkan oleh Dephut dalam peta penunjukkan

Kriteria yang diatur tidak perlu digunakan, cukup

(37)

Jenis Kawasan

Lindung Kriteria Penetapan Tambahan Ketetapan Sumber Data Permasalahan dan Keterangan Solusi atau Pendekatan Spasial

2. Mengandung satwa buru yang dapat dikembangbiakkan sehingga memungkinkan perburuan secara teratur dengan mengutamakan segi rekreasi, olah raga dan kelestarian satwa.

hutan oleh

Menhut kawasan hutan yang telah ditetapkan oleh

Departemen Kehutanan atau Dinas Kehutanan setempat.

Ditetapkan oleh Pemerintah (Dephut) dalam peta penunjukkan kawasan cagar biosfer. Indonesia hanya memiliki 6 cagar biosfer yang sebagian besar merupakan Taman Nasional, yaitu (Komodo, Lore Lindu, Siberut, Cibodas, Leuser dan Tanjung Putting)

Tidak diterapkan dalam aplikasi ini, mengingat zona inti dalam cagar biosfer merupakan kawasan taman nasional. Sedangkan zona

penyangga dan zona transisi diperuntukkan untuk tujuan pemanfaatan dan pembangunan. 1. kawasan yang mempunyai

keperwakilan ekosistem yang masih alami dan kawasan yang sudah mengalami degradasi, modifikasi, dan/atau binaan;

2. kawasan yang mempunyai komunitas alam yang unik, langka, dan indah;

3. merupakan bentang alam yang cukup luas yang mencerminkan interaksi antara komunitas alami dengan manusia beserta kegiatannya secara harmonis; b. Cagar Biosfir

4. tempat bagi penyelenggaraan pemantauan perubahan-perubahan ekologi melalui kegiatan penelitian dan pendidikan. SK penunjukkan kawasan hutan oleh Menhut

Peta Kawasan Hutan

c. Kawasan Perlindungan Plasma Nutfah

1. Memiliki plasma nutfah tertentu yang belum terdapat di dalam kawasan konservasi yang telah ditetapkan

2. Memiliki jenis plasma nutfah tertentu yang belum terdapat di kawasan konservasi yang telah ditetapkan Diusulkan oleh konsesi hutan dan ditetapkan oleh Dephut

- Peta Rencana Kerja HPH/HTI

Data tersebut umumnya dapat diakses melalui Rencana Kerja konsesi kehutanan (HPH/HTI) atau melalui Departemen Kehutanan

Tidak diterapkan dalam aplikasi ini

(38)

Jenis Kawasan

Lindung Kriteria Penetapan Tambahan Ketetapan Sumber Data Permasalahan dan Keterangan Solusi atau Pendekatan Spasial

3. Merupakan areal tempat

pemindahan satwa yang merupakan tempat kehidupan baru bagi satwa tersebut

1. Merupakan wilayah kehidupan satwa yang sejak semula menghuni areal tersebut

Data tersebut umumnya dapat diakses melalui Rencana Kerja konsesi kehutanan (HPH/HTI) atau melalui Departemen Kehutanan

d. Kawasan Pengungsian Satwa

2. Mempunyai luas tertentu yang memungkinkan berlangsungnya proses hidup dan kehidupan baru bagi satwa tersebut.

3. Merupakan areal tempat

pemindahan satwa yang merupakan tempat kehidupan baru bagi satwa tersebut Diusulkan oleh konsesi hutan dan ditetapkan oleh Dephut

- Peta Rencana Kerja HPH/HTI

Tidak diterapkan dalam aplikasi ini

e. Kawasan Pantai

Berhutan Bakau Lebar 130 x nilai rata-rata perbedaan air pasang tertinggi dan terendah tahunan diukur dari garis air surut terendah kearah darat.

- - Penutupan lahan

- Pasang surut Stasiun pemantau pasang surut tidak tersebar di seluruh wilayah pantai Indonesia. Pemerintah daerah perlu melakukan pemantauan beda pasang tertinggi dan terendah jika memiliki hutan bakau. Selain itu untuk penetapan wilayah mana saja yang berhutan bakau, juga relatif tidak jelas. Apakah

Dalam aplikasi ini hanya menggunakan data penyebaran hutan bakau terbaru.

(39)

Jenis Kawasan

Lindung Kriteria Penetapan Tambahan Ketetapan Sumber Data Permasalahan dan Keterangan Solusi atau Pendekatan Spasial

historis atau data aktual. Mengingat penutupan hutan bakau cenderung berkurang. f. Terumbu Karang - - - Penyebaran terumbu karang Data tersedia di DKP skala nasional Data BRNP tersedia di KLH

Belum terapkan dalam aplikasi ini.

(40)

2.2.2. Data yang Digunakan

A. Peta Rupa Bumi Indonesia (RBI)

Peta dasar yang dikeluarkan oleh Bakosurtanal ini memiliki skala 1:25.000 untuk wilayah pulau Jawa. Data spasial yang digunakan meliputi:

1. Sungai besar: harus memiliki format “POLYGON”. 2. Sungai kecil: harus memiliki format “LINE”.

3. Danau: harus memiliki format “POLYGON”. 4. Garis pantai: harus memiliki format “LINE”.

5. Garis kontur: harus memiliki format “LINE” dan memiliki atribut data ketinggian.

6. Titik tinggi: harus memiliki format “POINT” dan memiliki atribut data ketinggian.

Dua data terakhir disebut digunakan untuk membuat DEM dan batas DAS. Ke enam data tersebut harus dipisahkan dalam data layer yang berbeda, mengingat kriteria yang diterapkan dari masing-masing data berbeda satu sama lain.

B. Peta Kawasan Hutan

Peta Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK) dikeluarkan oleh Departemen Kehutanan yang dikoordinasikan dengan berbagai instansi sektor lainnya. Sedangkan peta TGHK Paduserasi telah disesuaikan dengan kepentingan daerah atau disesuaikan dengan Rencana Tata Ruang Wilayah. Dari peta kawasan hutan kita dapat mengekstrak beberapa kawasan lindung yang mencakup:

1. Hutan Lindung, 2. Taman Nasional, 3. Taman Wisata Alam, 4. Taman Hutan Rakyat, 5. Cagar Alam dan

(41)

Keenam data tersebut harus memiliki format data”POLYGON”.

C. Penutupan lahan

Penutupan lahan diperoleh dari hasil interpretasi citra satelit. Dari citra penutupan lahan diperoleh batas hutan bakau yang merupakan kawasan lindung. Selain itu, data penutupan lahan digunakan untuk proses evaluasi kondisi kawasan lindung. Data yang digunakan dalam analisis ini adalah hasil interpretasi citra Landsat 5 tahun 2007.

D. Peta Tanah

Peta jenis tanah diperoleh dari peta sistem satuan lahan yang dikeluarkan oleh Puslitanak Bogor. Selain itu, Wetlands International juga melakukan kajian penyebaran lahan gambut di wilayah Sumatra, Kalimantan, Papua dan sebagian Sulawesi. Lahan gambut yang merupakan kawasan lindung adalah yang memiliki kedalaman gambut > 300 cm.

E. Peta RTRW

Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Bogor diperoleh dari Bappeda Kota Bogor.

Gambar 1. Diagram alir pemetaan kawasan lindung menggunakan data yang telah tersedia.

(42)

2.2.3. Software yang Digunakan

Aplikasi ini menggunakan dua pendekatan yang merupakan pilihan yang perlu disesuaikan dengan kapasitas pengguna. Yaitu menggunakan pendekatan berbasis raster dan vektor.

Analisis overlay berbasis raster cenderung lebih cepat dibandingkan berbasis raster. Penentuan penggunaan pendekatan berbasis raster sebenarnya lebih mempertimbangkan ketersediaan perangkat lunak opensource yang pengembangannya relatif maju. Dalam hal ini digunakan aplikasi ILWIS 3.4. yang dikembangkan oleh the International Institute for Geo-Information Science

and Earth Observation (ITC) Belanda (http://www.ilwis.org).

Pendekatan berbasis vektor merupakan pendekatan spasial yang umum digunakan di dalam aplikasi SIG. Vektor memiliki beberapa kelebihan, antara lain penyimpanan data yang relatif lebih kecil. Aplikasi berbasis vektor yang digunakan dalam pedoman ini adalah perangkat lunak yang dikeluarkan oleh

Environmental System Research Institute (ESRI) yaitu ArcGIS/ArcInfo 9.2 dan

ArcGIS Spatial Analyst (http://www.esri.com). Untuk mengetahui persyaratan minimum komputer yang diperlukan silahkan merujuk ke spesifikasi masing-masing software:

(43)

Hasil Analisis

3.1. Penentuan Daerah Aliran Sungai

Batas daerah aliran sungai (DAS) ditentukan berdasarkan topografi wilayah. DAS digunakan sebagai batas analisis penentuan kawasan lindung, mengingat areal dalam wilayah DAS yang sama memiliki kesamaan aliran air permukaan. Pengendalian lingkungan karenanya perlu mengacu kepada batas alami. DAS Ciliwung, Angke dan Ciliwung sebagian besar masuk ke dalam wilayah administrasi Jabodetabek yang ditetapkan sebagai Kawasan Khusus (PP 47/1997).

3.1.1. Model Elevasi Dijital

Model elevasi dijital atau digital elevation model (DEM) dibuat sebagai data dasar penentuan batas DAS. Diperlukan data kontur serta titik tinggi untuk menyusun DEM. Peta Rupa Bumi Indonesia (RBI) menyediakan data topografi hingga skala 1:25.000 untuk wilayah pulau Jawa, yang dapat digunakan untuk menyusun DEM wilayah Cisadane-Angke-Ciliwung.

Gambar 2. Diagram alir penentuan batas DAS menggunakan data topografi RBI.

Untuk melakukan analisis batas DAS dengan cakupan yang luas seperti pulau Jawa atau pulau Sumatra, data DEM SRTM (Shuttle Radar

(44)

3.1.2. Batas DAS Cisadane-Angke-Ciliwung

Dengan menggunakan data DEM yang diperoleh dari peta Rupa Bumi Indonesia, batas DAS disusun untuk daerah Cisadane, Angke dan Ciliwung. DAS Cisadane memiliki luas 16 ribu hektar, Angke seluas 58 ribu hektar dan Ciliwung 41 ribu hektar.

Tabel 5. Perbedaan luas DAS hasil analisis batas menggunakan data topografi dan DEM

Luas DAS (Ha) DAS

KLH DEM RBI DEM SRTM

Angke 64840 58751 66451 Ciliwung 50159 41462 43695 Cisadane 151243 161245 158447

Dibandingkan dengan batas DAS yang digunakan oleh KLH (Dijitasi secara manual), batas DAS yang diperoleh dari analisa DEM relatif lebih akurat. Hal ini dikarenakan penentuannya dilakukan secara otomatis berdasarkan topografi serta arah aliran air.

Cisadane Angke Ciliwung cisadane angke ciliwung Cisadane Angke Ciliwung A B Keterangan: A: Batas DAS yang digunakan oleh KLH yang didijitasi secara visual. B: Batas DAS yang diperoleh dari analisis DEM Topografi peta RBI

C: Batas DAS yang diperoleh dari analisis DEM SRTM C

(45)

Gambar 3. Perbandingan batas DAS hasil dijitasi visual dan analisis dijital DEM.

Penurunan kualitas batas DAS terjadi di wilayah yang memiliki topografi sangat datar seperti di bagian utara Jakarta. Khususnya data DAS yang berasal dari kontur peta RBI (Gambar 2 bagian B). Untuk itu diperlukan tambahan dijitasi secara manual dengan melihat aliran sungai di sekitar wilayah tersebut. Namun hal tersebut sulit dilakukan, mengingat sudah banyaknya aliran sungai yang sudah tidak alami atau dibuatnya saluran irigasi di wilayah utara Jakarta.

3.2. Pemetaan Kawasan Lindung

Pemetaan kawasan lindung dilakukan berdasarkan analisis peraturan terkait dengan penataan ruang dan pengelolaan kawasan lindung. Tidak semua jenis kawasan lindung dapat dipetakan mengingat keterbatasan data penunjang. Sebagian besar kawasan lindung merupakan kawasan hutan suaka alam, kawasan pelestarian alam, hutan lindung, hutan bakau serta sempadan sungai, danau dan garis pantai.

Tabel 6. Luas kawasan lindung dan non lindung

Cisadane Ciliwung-Angke Kawasan

Luas (ha) Persen Luas(ha) Persen

Lindung 58905 36.6 23667 23.5 NonLindung 102242 63.4 76834 76.5

Total 161147 100502

Berdasarkan analisis yang dilakukan, luas kawasan lindung di DAS Cisadane hampir mencapai 59 ribu hektar atau 36,6% dari luas total DAS. Sedangkan kawasan lindung di DAS Ciliwung dan Angke hanya seluas 23 ribu hektar atau hanya sekitar 23% dari luas DASnya. Hal ini disebabkan luas kawasan hutan yang masuk ke dalam kawasan lindung di DAS Ciliwung Angke, masih sangat kecil atau hanya seluas 4 ribu hektar atau kurang dari 5% dari luas total DASnya (lihat Tabel 7).

Tabel 7. Luas dan persentase kawasan hutan dan non kawasan hutan

Cisadane Ciliwung-Angke Kawasan Hutan

Luas (ha) Persen Luas (ha) Persen

(46)

Cisadane Ciliwung-Angke Kawasan Hutan

Luas (ha) Persen Luas (ha) Persen

Hutan Produksi 4373 2.7 2060 2.1 Hutan Lindung dan

Konservasi 23097 14.4 2397 2.4

Total 160536 99876

Luas hutan di DAS Ciliwung-Angke sangat jauh dari syarat minimal luas kawasan hutan dalam suatu DAS, yaitu hanya 4,5 persen. Dalam Pasal 17 ayat 5 Undang-Undang No 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang, dijelaskan bahwa luas minimal kawasan hutan dalam suatu DAS adalah 30%. Walaupun di dalam UU Kehutanan No 41/1999, luas minimal juga dapat didasari atas luas total pulau. Luas kawasan hutan di DAS Cisadane juga masih dibawah proporsi yang ditetapkan dalam undang-undang yaitu sebesar 17,1 persen.

3.2. Analisis Tutupan Lahan melalui Interpretasi Citra Satelit

Interpretasi citra satelit dilakukan untuk mendapatkan data penutupan lahan aktual. Dua scene citra satelit Landsat 5 tahun 2007 diinterpretasi dengan menggunakan metode object-oriented classification, atau klasifikasi yang tidak berbasis pixel.

Tabel 8. Tutuan lahan hasil klasifikasi citra Landsat 5 tahun 2007 Cisadane

Ciliwung

Angke

Tutupan Lahan DAS

Luas (Ha) % Luas (Ha) %

Air 6889 4.3 2804 2.8 Awan 275 0.2 70 0.1 Bayangan 199 0.1 100 0.1 Hutan jarang 21170 13.1 4796 4.8 Hutan rapat 13447 8.3 3354 3.3 Mangrove 13 0.0 24 0.0 Rawa 793 0.5 686 0.7 Kebun Campur 73184 45.4 37248 37.1 Kebun Karet 809 0.5 68 0.1 Kebun teh 1284 0.8 230 0.2 Pertanian Campur 5326 3.3 4424 4.4 Sawah 8229 5.1 1392 1.4 Rumput 3811 2.4 511 0.5 Tanah terbuka 365 0.2 481 0.5 Pemukiman 25354 15.7 44313 44.1 TOTAL 161147 100502

(47)

Sebagian besar daerah DAS Cisadane, Ciliwung dan Angke didominasi oleh tipe penutupan lahan kebun campur. Lebih dari 45% DAS Cisadane berupa kebun campur, sementara jenis penutupan hutan kurang dari 23% dan pemukiman lebih dari 15%. Sebagian besar areal berhutan berada di kawasan Taman Nasional Gunung Salak Halimun.

Tabel 9. Penyebaran kawasan lindung DAS Ciasadane dan Ciliwung berdasarkan batas administratif.

Cisadane Ciliwung Angke

Kota/Kabupaten Ha % Ha % BOGOR 48263 81.5 8437 35.6 CIANJUR 0 0.0 163 0.7 KOTA BOGOR 2215 3.7 1108 4.7 KOTA DEPOK 165 0.3 2949 12.5 KOTA DKI JAKARTA 182 0.3 8781 37.1 KOTA TANGERANG 1675 2.8 1081 4.6

SUKABUMI 0 0.0 31 0.1

TANGERANG 6688 11.3 1049 4.4

Kondisi DAS Ciliwung dan Angke tidak lebih baik dari DAS Cisadane. Penutupan hutan pada DAS ini hanya dibawah 10% yang sebagian besar berada di kawasan puncak. Sedangkan luas pemukiman mencapai 44% dari luas total DAS Cisadane dan Angke, mengingat kedua sungai ini melintasi provinsi DKI yang merupakan kota metropolitan. Lebih dari 37% kawasan lindung DAS Ciliwung Angke berada di Kota DKI Jakarta. Kondisi tersebut menjadi salah satu alasan mengapa masalah banjir di DKI Jakarta sangat sulit diatasi.

3.3.1. Analisa Tutupan Lahan di Kawasan Lindung

Pemantauan kondisi kawasan lindung perlu dilakukan untuk mengetahui keadaan kawasan lindung secara aktual. Kawasan lindung yang diperoleh dari hasil analisis spasial dioverlaykan dengan data tutupan lahan hasil klasifikasi citra satelit.

Tabel 10. Tutupan lahan di kawasan lindung tahun 2007

Cisadane Ciliwung Angke

Tutupan Lahan

Kawasan Lindung Luas (ha) % Luas (ha) %

Air 3311 5.6 1250 5.3

Awan 242 0.4 30 0.1

Gambar

Tabel 2. Nilai Skor Faktor Jenis Tanah Menurut Kepekaannya Terhadap Erosi
Tabel 4. Matriks penyusunan data spasial kawasan lindung berdasarkan kriteria yang berlaku
Gambar 1. Diagram alir pemetaan kawasan lindung menggunakan data yang  telah tersedia
Gambar 2. Diagram alir penentuan batas DAS menggunakan data topografi  RBI.
+7

Referensi

Dokumen terkait

Kedua, dalam hal Gujarat sebagai tempat singgah, teori Persia mempunyai persamaan dengan teori Makkah, tetapi yang membedakannya adalah teori Makkah memandang

Menimbang, bahwa pada sidang selanjutnya yakni tanggal 27 Desember 2010, Mediator dalam laporan tertulisnya menyampaikan bahwa mediasi yang telah dilaksanakan pada tanggal

Dalam konteks budaya Jawa, hubungan interpersonal yang baik dalam keluarga seperti meluangkan waktu untuk saling bercerita atau bertukar pikiran, dan menyelesaikan

Mengingat begitu pentingnya penggunaan bahan bakar alternatif biodiesel sebagai pengganti bahan bakar minyak yang tidak dapat diperbaharui maka perlu adanya studi lanjutan

Perempuan adalah wanita, begitu pula sebaliknya. Namun, perbedaan antara perempuan dengan wanita adalah mengenai pengucapannya. Kata perempuan lebih dianggap santun

Ketahuan atau knowledge ini merupakan terminologi generik yang mencakup segenap bentuk yang kita tahu seperti filsafat, ekonomi, seni, beladiri, cara menyulam.

lafadz , tentunya tidak akan pernah ada tulisan, dan tanpa adanya tulisan dar mana kita bisa memahami dan mendapatkan ilmu. Berkaitan dengan ilmu nahwu yang juga disebut sebagai

Dengan membaca dan mengamati gambar, siswa mengidentifikasi sumber daya alam yang bisa dimanfaatkan sebagai sumber energi alternatif dengan penuh kepedulian.. Dengan