Studi Kasus Di Wilayah Polres Surabaya Selatan
SKRIPSI
Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum UPN “Veteran” Jawa Timur
OLEH :
Hartyan Romanda NPM . 0671010086
YAYASAN KESEJAHTERAAN PENDIDIKAN DAN PERUMAHAN UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN” JAWA TIMUR
FAKULTAS HUKUM
PROGRAM STUDI ILMU HUKUM SURABAYA
INDONESIA TERHADAP ANAK SEBAGAI PELAKU
PENCABULAN ANAK
Studi Kasus Di wilayah Polres Surabaya Selatan
Disusun oleh :
Hartyan Romanda
NPM. 0671010086
Telah disetujui untuk mengikuti Ujian Skripsi
Menyetujui,
PEMBIMBING UTAMA PEMBIMBING PENDAMPING
Sutrisno.S.H.M.Hum Wiwin Yulianingsih, SH, M.kn
NIP. 030 193 492 NPT. 375 070 70225
MENGETAHUI DEKAN
PENCABULAN ANAK
Studi Kasus di Wilayah Polres Surabaya Selatan
Disusun oleh :
HARTYAN ROMANDA
NPM. 0671010086
Telah dipertahankan dihadapan dan diterima oleh Tim Penguji Skripsi Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Pembangunan
Nasional “Veteran” Jawa Timur Pada tanggal :...
Tim Penguji : Tanda Tangan
1. Prof. Indrati Rini, SH. MS : (...) NIP. 130.936.179
2. Haryo Sulistiyantoro, SH. MM : (...)
NIP. 030.212.027 3. Sutrisno, MH. SHum : (...)
NIP. 030.193.492
Mengetahui DEKAN
Nama : Hartyan Romanda
Tempat/Tgl Lahir : Sidoarjo, 20 April 1988
NPM : 0671010086
Konsentrasi : Pidana
Alamat :Jalan Nginden Baru VIII Blok B No.37 Surabaya.
Menyatakan dengan sebenarnya bahwa skripsi saya yang berjudul :
“UPAYA PENEGAKAN HUKUM KEPOLISIAN REPUBLIK INDONESIA
TERHADAP ANAK SEBAGAI PELAKU PENCABULAN ANAK “ Studi
Kasus Di Wilayah Polres Surabaya Selatan” dalam rangka memenuhi syarat untuk
memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas
Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur adalah benar-benar hasil karya
ciptaan saya sendiri, yang saya buat sesuai dengan ketentuan yang berlaku, bukan
hasil jiplakan (plagiat).
Apabila di kemudian hari ternyata skripsi ini hasil jiplakan (plagiat) maka,
saya bersedia dituntut di depan pengadilan dan dicabut gelar kesarjanaan (Sarjana
Hukum) yang saya peroleh.
Demikian surat pernyataan ini saya buat dengan sebenar-benarnya dengan
penuh rasa tanggung jawab atas segala akibat hukumnya.
Mengetahui Surabaya,
KAPROGDI Penulis
Subani SH, Msi Hartyan Romanda
menyelesaikan proposal ini. Di sini penulis mengambil judul : “ Upaya Penegakan
Hukum Kepolisian Republik Indonesia Terhadap Tindak Pidana Pencabulan Anak
yang dilakukan Anak di Wilayah Polres Surabaya Selatan”.
Penyusunan proposal ini dibuat untuk memenuhi persyaratan sesuai
kurikulum yang ada di Fakultas Hukum UPN Veteran Jawa Timur. Di samping itu
juga diharapkan dapat memberikan bekal tentang hal-hal yang berkaitan dengan
disiplin ilmu sebelum mengadakan penelitian guna penyusunan skripsi.
Penyusunan proposal skripsi ini dapat terselesaikan atas bantuan,
bimbingan, dan dorongan oleh beberapa pihak. Maka pada kesempatan ini penulis
mengucapkan banyak terima kasih yang tak terhingga kepada :
1. Bapak Prof. Dr. Ir. Sumargono, SU selaku pejabat sementara Dekan Fakultas
Hukum UPN “Veteran” Jawa Timur.
2. Bapak Haryo Sulistiyantoro, SH. M.Hum selaku WADEK I Fakultas Hukum
yang ramah dalam menjawab pertanyaan dari mahasiswa ataupun memberikan
saran kepada mahasiswa.
3. Bapak Sutrisno, SH, M.Hum selaku WADEK II Fakultas Hukum dan Dosen
Pembimbing Utama yang selalu memberi kemudahan dan solusi kepada
5. Pak Eko Wahyudi, SH, Pak Fauzul S.H.I, M.Hum, Bu Wiwin Yulianingsih,
S.H, M.Kn dan Bu Mas Anienda Tien. F, S.H, MH yang selalu bersikap
fleksibel dan tidak terkesan formil kepada mahasiswa sehingga menjadikan
lebih terbuka dalam berkomunikasi.
6. Seluruh Bapak dan Ibu Dosen program studi Ilmu Hukum yang tidak bisa
sebutkan satu-persatu.
7. Seluruh staf TU Fakultas Hukum yang sabar dan ramah dalam melayani
mahasiswa.
8. Bapak Soeyono dan Ibu Yuni Susilowati sebagai orang tua yang selalu
memberikan pelajaran mengenai arti sebuah kehidupan serta tak
henti-hentinya memberikan bantuan dan doa.
9. Kakak tercinta Elova Desteen dan Yeye Borntya Safety yang selalu membuat
peneliti lebih berfikir dewasa dalam menilai dan melakukan segala hal.
10.Keluarga besar yang selalu mendukung peneliti Wiwik Utami, Karisna
Ramazaki, Citho Aditya Pratama, Janes dan yang tidak bisa penulis sebutkan
satu persatu.
11.Teman-teman mahasiswa satu perjuangan yang selalu ada di hati khususya
kepada Dony, Fajar, Putu, Rudy, Sigit, Ruben, Reny, Lucia, Kiki, Maya,
HALAMAN PERSETUJUAN DAN MENGESAHAN UJIAN SKRIPSI . ii
HALAMAN PERSETUJUAN DAN PENGESAHAN SKRIPSI ... iii
SURAT PERNYATAAN KEASLIAN SKRIPSI ... iv
KATA PENGANTAR... v
DAFTAR ISI………. viii
ABSTRAK ... ix
DAFTAR TABEL ... x
BAB I. PENDAHULUAN ... 1
1. Latar Belakang Masalah ... 1
2. Perumusan Masalah... 5
3. Tujuan Penelitian... 5
4. Manfaat Penelitian... 5
5. Kajian Pustaka ... 6
a. Pengertian Tindak Pidana ... 6
b. Pengertian Pencabulan... 7
c. Pengertian Anak……….... 8
d. Pengertian Penegakan Hukum ... 8
e. Pengertian Perlindungan Hukum ... 8
6. Metode Penelitian... 9
a. Jenis dan Tipe Penelitian ... 9
BAB II. BENTUK PENEGAKAN HUKUM KEPOLISIAN
REPUBLIK INDONESIA ...……….14
1. Faktor-faktor Penyebab Terjadinya Tindak Pidana Pencabulan 14 2. Bentuk Preventif... …… 17
3. Bentuk Represif ... 20
4. Kasus Tindak Pidana Pencabulan... 24
a. Fakta Hukum……… ... 24
b. Pertimbangan Hukum……... 25
c. Analisis Hukum……….. ... 27
5. Proses Penanganan oleh Pihak Kepolisian... 28
a. Skema Proses Penanganan Menurut KUHAP………….. ... 28
b. Penerapan Sanksi Pidana... 32
c. Skema Proses Penanganan Menurut UU Perlindungan Anak 33 d. Penerapan Sanksi Pidana... 38
BAB III. BENTUK PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KORBAN TINDAK PIDANA PENCABULAN OLEH KEPOLISIAN... 40
1. Upaya Perlindungan Korban oleh Kepolisian……..………... 40
a. Menurut UU HAM ... 43
b. Menurut UU Perlindungan Anak... 44
1. Kesimpulan…... 49
2. Saran ... 50
pencabulan anak dan mengetahui upaya perlindungan yang diberikan kepada korban tindak pidana pencabulan. Penelitian ini menggunakan metode Yuridis Normatif, sumber data diperoleh dari literatur-literatur, karya tulis ilmiah, perundang-undangan yang berlaku dan data-data dari Kepolisian Resor Surabaya Selatan, analisa data menggunakan metode kualitatif. Hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa Seorang anak dapat dikatakan mampu bertanggung jawab apabila anak tersebut mengerti akan akibat perbuatannya sehingga anak tetap diproses dan dilakukan pemeriksaan sesuai prosedur Kepolisian Resor Surabaya Selatan yang mengacu pada Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Pelindungan Anak.
Lampiran 1 : Surat Ijin Penelitian
Lampiran 2 : Surat Perintah Penyelidikan
Lampiran 3 : Surat Perintah Penyidikan
Lampiran 4 : Perintah Penahanan
1
Berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi memberikan
dampak positif dan negatif bagi masyarakat. Salah satu dampak positif
adalah berkembangnya pembangunan perekonomian di Indonesia.
Perkembangan pembangunan perekonomian tidak lepas dari peran serta
masyarakat dalam usahanya untuk berpartisipasi dalam pembangunan yang
memerlukan situasi dan kondisi yang aman dan tertib.
Usaha mewujudkan keamanan dan ketentraman bagi masyarakat,
pemerintah telah melaksanakan usaha penanggulangan terhadap setiap
gangguan keamanan, baik yang bersifat pencegahan atau preventif dengan
cara mengadakan penyuluhan-penyuluhan kepada masyarakat, maupun
dengan penindakan atau represif menindak tegas setiap anggota masyarakat
yang melakukan gangguan keamanan atau tindak pidana. Sedangkan
dampak negatif yang ditimbulkan antara lain yaitu semakin berkembang dan
variasi pula tindak pidana yang terjadi.
Tindak pidana secara sederhana merupakan suatu bentuk perilaku yang dirumuskan sebagai suatu tindakan yang membawa konsekwensi hukum berupa sanksi pidana pada siapapun yang melakukannya. Oleh karena perumusan suatu tindakan pidana akan selalu mengacu pada hal-hal diatas. Yakni suatu penentuan apakah suatu perilaku itu merupakan suatu hal yang diancam dengan sanksi pidana atau tidak. Suatu perilaku dikenakan pidana apabila itu dianggap dapat mengancam keseimbangan dalam masyarakat.1
Anak merupakan bagian dari generasi muda sebagai salah satu
sumber daya manusia yang merupakan potensi dan penerus cita-cita bangsa
yang memiliki peranan strategis dan mempunyai ciri serta sifat khusus yang
memerlukan pembinaan dan perlindungan dalam rangka menjamin
pertumbuhan dan perkembangan fisik, mental, dan sosial secara utuh, selaras
serasi dan seimbang.
Keberadaan anak dilingkungan masyarakat perlu mendapatkan
perhatian secara khusus, terutama mengenai tingkah lakunya. Kenakalan
anak dapat disebabkan karena pengaruh lingkungan, terutama lingkungan
diluar rumah, jika pengaruh lingkungan tidak baik maka anak pasti
terpengaruh oleh lingkungan tersebut, karena itu diperlukan peran dan
tanggung jawab orang tua terhadap anak, terutama dalam membimbing dan
mengarahkan anak untuk melakukan perbuatan yang baik. Tanggung jawab
orang tua terhadap anak merupakan perwujudan atas hak-hak yang dimiliki
seorang anak.
Penyimpangan perilaku kenakalan bahkan tindak pidana yang
dilakukan oleh anak, disebabkan oleh berbagai macam faktor antara lain,
adanya dampak negatif dari perkembangan pembangunan yang cepat dan
disertai dengan arus globalisasi di bidang komunikasi dan informasi,
kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi serta perubahan gaya hidup
masyarakat membawa perubahan sosial serta memberikan pengaruh
terhadap nilai dan perilaku anak. Dampak negatif dari pembangunan yang
Penyimpangan perilaku yang dilakukan anak antara lain, perampasan,
pencabulan, dan bahkan pemerkosaan.
Dewasa ini bahkan telah terjadi suatu fenomena yang terjadi bahwa perkosaan dalam pengertian pemaksaan perbuatan pencabulan, baik dengan unsur kekerasan atau ancaman kekerasan, juga dilakukan oleh orang atau anak laki-laki dengan memposisikan anak laki-laki sebagai korbannya. Hal ini yang biasanya disebut sebagai “ sodomi “.2
Kejadian di atas merupakan salah satu contoh tentang perilaku
kenakalan anak yang dikategorikan sebagai tindak pidana atau kejahatan.
Anak yang melakukan tindak pidana harus berhadapan dengan aparat hukum
untuk mempertanggung jawabkan perbuatannya.
Adapun persoalannya apakah anak yang melakukan tindak pidana
dengan latar belakang kenakalan dan karena lemahnya kedudukan anak
terhadap orang dewasa, sehingga mereka sangat mudah dijadikan obyek
pencabulan dengan berbagai alasan dan sering kali dengan menggunakan
modus penipuan berupa iming-iming uang ataupun barang yang disenangi si
anak. Jika melihat arti penting anak bagi perkembangan pembangunan
bangsa dan negara, pemerintah perlu memberikan aturan secara formal dan
materiil untuk pelaksanaan perlindungan anak. Salah satu peraturan yang
mengatur tentang anak adalah Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 yang
mengatur tentang Perlindungan Anak.( untuk selanjutnya disingkat UU
No.23 Tahun 2002).
Kasus yang dapat peneliti sampaikan sesuai dengan wawancara
bersama Kanit V Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA), Inspektur Satu
(IPTU) Kurnia Satuan Resort Kriminal Kepolisian Resort Surabaya Selatan
Jl.Dukuh Kupang XVI/26-28 Surabaya adalah sebagai berikut :
Yang bernama Beny (tersangka) yang berumur 10 tahun warga
Dukuh Kupang dengan Risa (korban) yang berumur 8 tahun yang juga
bertempat tinggal juga di daerah Dukuh Kupang. Korban dan tersangka
adalah tetangga dekat, saat bermain bersama tersangka mengajak korban
bermain dokter-dokteran selanjutnya tersangka mengajak korban masuk
kekamar rumahnya dan menutup pintu kamar tersebut, lalu tersangka
menyuruh korban berbaring ditempat tidur kemudian tersangka menyikap
pakaian korban serta meraba-raba kemaluan korban juga memasukkan jari
tangannya kedalam vagina korban, yang mengakibatkan korban merasakan
perih pada saat buang air kecil. Hal tersebut diketahui oleh orang tua atau
ibu korban yang kemudian melaporkan kejadian tersebut kepada pihak
Kepolisian (Pasal yang dipersangkakan 81 UU No.23 Tahun 2002). Untuk
tersangka anak dimungkinkan penyidik mengambil tindakan Restoratif
Justice atau kebijaksanaan diluar prosedur hukum dengan tujuan
kepentingan yang terbaik untuk anak. Kasus pencabulan terhadap anak
diawali pengaduan oleh pihak korban dan keluarganya terhadap tindak
kejahatan yang telah terjadi dengan disertai permohonan untuk segera
2. Perumusan Masalah.
a. Bagaimana upaya penegakan hukum oleh Kepolisian terhadap pelaku
pencabulan anak yang dilakukan oleh anak di wilayah Polres Surabaya
Selatan ?
b. Apa upaya perlindungan hukum terhadap korban pencabulan anak oleh
Kepolisian Resort Surabaya Selatan ?
3. Tujuan Penelitian.
a. Untuk mengetahui upaya penegakan hukum Kepolisian di wilayah Polres
Surabaya Selatan dalam menangani tindak pidana pencabulan terhadap anak.
b. Untuk mengetahui bentuk perlindungan hukum yang diberikan Kepolisian
Surabaya Selatan terhadap korban pencabulan anak.
4. Manfaat Penelitian
a. Manfaat teoritis
1. Untuk mengetahui upaya penegakan hukum tindak pidana yang berkaitan
dengan pencabulan anak di Tingkat Kepolisian.
2. Untuk mengetahui bentuk perlindungan yang diberikan oleh pihak
Kepolisian yang diberikan kepada korban.
3. Untuk mengetahui aturan hukum yang mengatur mengenai pencabulan
anak.
b. Manfaat praktis
Memberikan pemahaman kepada penulis khususnya mahasiswa
dan masyarakat luas mengenai upaya penegakan hukum tindak pidana
pencabulan terhadap anak serta bgentuk perlindungan yang diberikan
oleh Kepolisian kepada korban tindak pidana pencabulan yang
5. Kajian Pustaka
a. Pengertian tindak pidana.
Peristiwa pidana yang juga disebut sebagai tindak pidana atau delict
ialah suatu perbuatan atau rangkaian perbuatan yang dapat dikenakan
hukuman pidana. Suatu peristiwa hukum dapat dinyatakan sebagai
peristiwa pidana / tindak pidana kalau memenuhi unsur pidananya.
Unsur-unsur itu terdiri dari :
1. Obyektif.
Yaitu suatu tindakan (perbuatan) yang bertentangan dengan hukum dan mengindahkan akibat yang oleh hukum dilarang dengan ancaman hukuman. Yang dijadikan titik utama dari pengertian obyektif disini adalah tindakannya.
2. Subyektif
Perbuatan seseorang yang berakibat tidak dikehendaki oleh undang-undang. Sifat unsur ini mengutamakan adanya pelaku (seseorang atau beberapa orang)3
Pengertian Tindak pidana dari para ahli hukum diantaranya Menurut Prof. Dr. Wiryono Pradjodikoro, didefinisikan sebagai suatu perbuatan yang pelakunya dapat dikenakan hukum pidana, sedang Prof. Moelyanto, S.H menggunakan istilah perbuatan pidana, yaitu perbuatan yang oleh aturan hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana, barangsiapa yang melanggar dan diancam dengan pidana, barangsiapa yang melanggar aturan tersebut. Kedua definisi tersebut mempunyai kesamaan arti yakni adanya perbuatan yang dilanggar sehingga bisa dikatakan sebagai perbuatan pidana.4
3R. Abdoel Djamali, Pengantar Hukum Indonesia. PT. RadjaGrafindo Persada. Jakarta. 2005 h.175
Menurut Drs. CST. Kansil, S.H menggunakan istilah delik, yaitu
perbuatan yang melanggar Undang-Undang yang dilakukan dengan
sengaja oleh orang yang dapat dipertanggung jawabkan.5
b. Pengertian pencabulan.
Pencabulan dapat diartikan sebagai suatu perbuatan yang buruk atau
perbuatan yang tidak senonoh yang melanggar kesusilaan.
Menurut Pasal 81 UU No.23 Tahun 2002, menyatakan bahwa :
(1) Setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan memaksa anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling singkat 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp. 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp. 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah).
(2) Ketentuan pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berlaku pula bagi setiap orang yang dengan sengaja melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain.
Menurut Pasal 82, menyatakan bahwa :
Setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan, memaksa, melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling singkat 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp.300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp.60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah).
Menurut Pasal 289 Kitab Undang-Undang Pidana, menyatakan bahwa: Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seseorang melakukan atau membirakan dilakukan pada dirinya perbuatan cabul, dihukum karena merusakkan kesopanan dengan hukuman penjara selama-lamanya sembilan tahun.
c. Pengertian Anak.
Definisi anak sebagai pelaku tindak pidana menurut ketentuan Pasal 1 ayat
(1) UU No.23 Tahun 2002, menyatakan bahwa:
Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun,
termasuk anak yang masih didalam kandungan.
Menurut Pasal 1 Undang-undang Republik Indonesia No.3 Tahun
1997 tentang Pengadilan Anak :
(1) Anak adalah orang yang dalam perkara anak nakal telah mencapai umur 8 (delapan) tahun tetapi belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah kawin.
(2) Anak nakal adalah :
Anak yang melakukan tindak pidana atau anak yang melakukan perbuatan yang dinyatakan terlarang bagi anak, baik menurut peraturan perundang-undangan maupun menurut peraturan hukum lain yang hidup dan berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan.
d. Pengertian Penegakan Hukum
Suharto yang dikutip oleh R.Abdussalam menyebutkan bahwa penegakkan
hukum adalah, suatu rangkaian kegiatan yang dilakukan aparat penegak hukum
baik tindakan pencegahan maupun penindakan dalam menerapkan
ketentuan-ketentuan yang berlaku guna menciptakan suasana aman, damai, dan tertib demi
kepastian hukum bersama.6
e. Pengertian Perlindungan Hukum.
Perlindungan hukum secara umum dapat diartikan sebagai daya upaya yang
dilakukan secara sadar oleh setiap orang maupun lembaga pemerintah, swasta
yang bertujuan mengusahakan pengamanan, penguasaan dan pemenuhan
kesejahteraan hidup sesuai dengan hak-hak asasi yang ada.7
Kesimpulan dari pengertian tindak pidana pencabulan yang dilakukan oleh anak
adalah suatu perbuatan atau rangkaian perbuatan asusila yang dengan sengaja
melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan, memaksa, melakukan tipu muslihat,
serangkaian kebohongan atau membujuk untuk melakukan atau membiarkan
perbuatan cabul yang dapat dikenakan hukuman pidana.
6. Metode Penelitian a. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan di dalam penelitian ini
menggunakan “metode penelitian hukum normatif yuridis, yaitu
mengkaji hukum yang dikonsepkan sebagai norma atau kaidah
yang berlaku dalam masyarakat, dan menjadi acuan perilaku setiap
orang”.8
b. Sumber Data
Sumber data yang digunakan untuk penelitian ini adalah data
sekunder. “Data Sekunder meliputi bahan hukum primer, bahan
hukum sekunder, bila perlu bahan hukum tersier. Data sekunder
pada dasarnya adalah data normatif terutama yang bersumber dari
perundang-undangan ”.9
7
Andi Hamzah, Kamus Hukum Cet-1, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1986.
8 Abdulkadir Muhammad, Hukum dan Penelitian Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2004, h. 52.
a. “Bahan Hukum Primer, yaitu bahan-bahan hukum yang
mempunyai kekuatan mengikat secara umum
(perundang-undangan) atau mempunyai kekuatan mengikat bagi pihak-pihak
berkepentingan (kontrak, konvensi, dokumen hukum, dan
putusan hakim)”.10 Bahan penelitian ini terdiri dari beberapa
perundang-undangan:
1. Pembukaan Undang-undang Dasar 1945.
2. Peraturan Perundang-undangan, yaitu Undang-undang.
Berdasarkan teori diatas, maka Bahan hukum primer yang
penulis gunakan adalah :
1. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Kitab
Undang-undang Hukum Pidana.
2. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab
Undang- undang Hukum Acara Pidana.
3. Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak.
4. Undang-undang Nomor 13 tahun 1961 tentang
Ketentuan-ketentuan Pokok Kepolisian.
b. ”Bahan Hukum Sekunder, yaitu : Bahan hukum yang
memberikan penjelasan terhadap bahan hukum primer (buku
ilmu hukum, jurnal hukum, laporan hukum, dan media cetak
atau elektronik)”11.
c. ”Bahan Hukum tersier, yaitu : bahan hukum yang memberikan
penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum
sekunder, (Rancangan Undang-undang, kamus hukum, dan
ensiklopedia)”.12
c. Metode Pengumpulan dan Pengolahan Data
Metode pengumpulan data yang digunakan untuk menganalisis
data ini adalah data sekunder yaitu studi kepustakaan, dengan cara
mempelajari buku-buku, Undang-undang, KUHP, KUHAP.13
d. Metode Analisis Data
Metode yang digunakan untuk menganalisis data adalah
“metode deskriptif analistis, yaitu menguraikan data secara
bermutu dalam bentuk kalimat yang teratur, runtun, logis, tidak
tumpang tindih, dan efektif, sehingga memudahkan interpretasi
data dan pemahaman hasil analisis,kemudian hasilnya akan
dimanfaatkan untuk membahas permasalahan yang diajukan dalam
skripsi ini”14
11 Ibid, h. 82
e. Sistematika Penulisan
Agar skripsi ini memenuhi syarat sebagai karya tulis ilmiah serta
untuk memudahkan dalam memahami isi pembahasan materi skripsi ini,
maka perlu dipaparkan sistematika penulisan.
Penulisan skripsi ini terdiri dari 4 Bab yang terdiri dari BAB I
akan diuraikan tentang latar belakang permasalahan, rumusan
permasalahan, tujuan penelitian, manfaat penelitian, kajian pustaka,
metodologi penelitian dan sistematika penulisan.
BAB II menjelaskan permasalahan pertama, yakni pembahasan
mengenai upaya penegakan hukum Kepolisian Republik Indonesia
terhadap pelaku tindak pidana pencabulan, yang terdiri dari
beberapa sub-sub bab yakni : faktor-faktor penyebab terjadinya
tindak pidana pencabulan, data pencabulan yang dilakukan anak
selama tahun 2009 di wilayah surabaya selatan, kasus tindak pidana
pencabulan yang dilakukan anak di wilayah polres surabaya selatan
yang didalamnya terdapat fakta hukum dan pertimbangan hukum,
upaya penegakan hukum tindak pidana pencabulan oleh pihak
kepolisian yang terdiri dari beberapa sub-sub bab yakni : upaya
penegakan hukum kepolisian terhadap pelaku tindak pidana
pencabulan menurut KUHP, skema proses penanganan tindak
pidana pencabulan anak oleh pihak Kepolisian di wilayah Surayah
Selatan, penerapan sanksi pidana, yang selanjutnya yakni upaya
pidana pencabulan menurut Undang-Undang No.23 Tahun 2002,
skema proses penanganan tindak pidana pencabulan anak oleh
pihak kepolisian di wilayah Surabaya Selatan dan penerapan sanksi
pidana bagi pelaku anak.
BAB III menjelaskan tentang permasalahan kedua, yakni
pengertian perlindungan hukum, upaya perlindungan hukum
terhadap korban tindak pidana pencabulan menurut
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, peran
masyarakat dan pemerintah dalam upaya perlindungan terhadap
korban tindak pidana pencabulan.
BAB IV merupakan bab penutup yang terdiri atas kesimpulan
dan saran, kesimpulan berisi ringkasan dari serangkaian
pembahasan pada bab-bab sebelumnya, sedangkan saran berisi
masukan-masukan yang penulis harapkan demi masa depan
generasi muda agar terhindar dari adanya tindak pidana
14
1. Faktor-faktor Penyebab terjadinya Tindak Pidana Pencabulan
Manusia sering dihadapkan pada suatu kebutuhan yang mendesak,
kebutuhan pemuas diri. Bahkan, kebutuhan itu timbul karena keinginan
atau desakan untuk mempertahankan status diri. Secara umum kebutuhan
setiap manusia itu akan dapat dipenuhi, walaupun tidak seluruhnya. Untuk
memenuhi kebutuhan yang mendesak , biasanya sering dilaksanakan tanpa
pemikiran matang terlebih dahulu, padahal apa yang dilakukan tersebut
dapat merugikan lingkungan, keluarga dan orang lain, seperti melakukan
suatu pelanggaran tindak kejahatan, yang bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Hal ini sudah jelas-jelas melanggar
peraturan tetapi tetap saja dilakukan. Kejadian semacam ini biasanya
terjadi tanpa dipikirkan secara matang. Setelah terjadi baru orang tersebut
menyesal atas perbuatannya. Kalau sudah terjadi percuma menyesali,
karena proses hukum tetap saja harus berjalan sesuai dengan ketentuan
yang berlaku.
Usaha mewujudkan keamanan dan ketentraman bagi masyarakat,
pemerintah telah melaksanakan usaha penanggulangan terhadap setiap
gangguan keamanan, baik yang bersifat pencegahan atau preventif yaitu
maupun dengan penindakan atau represif yaitu menindak tegas setiap
anggota masyarakat yang melakukan gangguan keamanan atau tindak
pidana. Sedangkan dampak negatif yang ditimbulkan antara lain yaitu
semakin berkembang dan variasi pula tindak pidana yang terjadi.
Tindak pidana secara sederhana merupakan suatu bentuk perilaku yang dirumuskan sebagai suatu tindakan yang membawa konsekwensi hukum berupa sanksi pidana pada siapapun yang melakukannya. Oleh karena perumusan suatu tindakan pidana akan selalu mengacu pada hal-hal diatas. Yakni suatu penentuan apakah suatu perilaku itu merupakan suatu hal yang diancam dengan sanksi pidana atau tidak. Suatu perilaku dikenakan pidana apabila itu dianggap dapat mengancam keseimbangan dalam masyarakat.15
Anak merupakan bagian dari generasi muda sebagai salah satu sumber
daya manusia yang merupakan potensi dan penerus cita-cita bangsa yang
memiliki peranan strategis dan mempunyai ciri serta sifat khusus yang
memerlukan pembinaan dan perlindungan dalam rangka menjamin
pertumbuhan dan perkembangan fisik, mental, dan sosial secara utuh,
selaras serasi dan seimbang.
Keberadaan anak dilingkungan masyarakat perlu mendapatkan
perhatian secara khusus, terutama mengenai tingkah lakunya. Kenakalan
anak dapat disebabkan karena pengaruh lingkungan, terutama lingkungan
diluar rumah, jika pengaruh lingkungan tidak baik maka anak pasti
terpengaruh oleh lingkungan tersebut, karena itu diperlukan peran dan
tanggung jawab orang tua terhadap anak, terutama dalam membimbing
dan mengarahkan anak untuk melakukan perbuatan yang baik. Tanggung
jawab orang tua terhadap anak merupakan perwujudan atas hak-hak yang
dimiliki seorang anak.
Penyimpangan perilaku kenakalan bahkan tindak pidana yang
dilakukan oleh anak, disebabkan oleh berbagai macam faktor antara lain,
adanya dampak negatif dari perkembangan pembangunan yang cepat dan
disertai dengan arus globalisasi di bidang komunikasi dan informasi,
pengaruh perkembangan budaya yang semakin tidak menghargai etika
berpakaian yang menutup aurat, yang dapat merangsang pihak lain untuk
berbuat tidak senonoh dan jahat, tingkat kontrol masyarakat yang rendah
artinya berbagai perilaku yang diduga sebagai penyimpangan, melanggar
hukum dan norma keagamaan kurang mendapatkan responsi dan
pengawasan dari unsur-unsur masayarakat, kemajuan ilmu pengetahuan
dan teknologi serta perubahan gaya hidup masyarakat membawa
perubahan sosial serta memberikan pengaruh terhadap nilai dan perilaku
anak serta nilai-nilai keagamaan yang semakin terkikis dimasyarakat atau
pola relasi horizontal yang cenderung makin meniadakan peran agama
adalah sangat potensial untuk mendorong seseorang berbuat jahat dan
merugikan orang lain. Dampak negatif dari pembangunan yang cepat dan
arus globalisasi yang pesat telah mempengaruhi perilaku anak,
Penyimpangan perilaku yang dilakukan anak antara lain, perampasan,
pencabulan, dan bahkan pemerkosaan.
Maka dari itu kepolisian meminta pada pihak-pihak yang menjadi
resmi dan bersedia memaparkan kesaksiannya, namun rupanya tantangan
ini belum juga terjawab. Pihak yang berwajib menuntut adanya bukti-bukti
konkrit yang bisa membuat kejelasan mengenai adanya dugaan terjadinya
kejahatan seksual.
2. Bentuk Preventif
Perubahan yang terjadi secara lambat maupun cepat yang dapat
menghadirkan suasana harmonis dan disharmonis, tergantung bagaimana
muatan pengaruh yang ditawarkan dan dipaksakan mempengaruhi pola
pikir, gaya hidup dan model interaksi sosial, cultural, ekonomi, hukum,
dan politik yang dibangunnya. Kemauan yang menjadi potensi dalam diri
manusia berperan menjadi penentu atas terjadi dan meledaknya perilaku
yang mendatangkan kebaikan bagi kehidupan antar sesama manusia atau
sebaliknya aspek kerugian hak asasi manusia ( yang selanjutnya disingkat
HAM).
Negara Indonesia dapat dijadikan sebagai contohnya, bahwa Negara
yang punya falsafah hidup bernama Pancasila dan Konstitusi
Undang-undang Dasar 1945 serta mayoritas beragama islam ini ternyata,
masing-masing komponen sosialnya tidak selalu mewujudkan relasi antar manusia
secara bertuhan, beradab, berkeadilan dan berkemanusiaan. Tidak sedikit
yang menempuh perjalanan hidup ini dengan cara-cara yang liar, amoral,
dan bertentangan dengan ajaran agama serta aturan hukum yang berlaku.
liar tanpa peduli bahwa yang dilakukannya merupakan modus perbuatan
tindak pidana yang dapat merugikan hak-hak sesama manusia.
Membicarakan perbuatan tindak pidana itu tidak terlepas pula dengan melibatkan akibat-akibat yang ditimbulkan di tengah masyarakat, baik akibat terhadap individu maupun kelompok dan bersifat institusional dan keorganisasian. Akibat-akibat yang ditimbulkan menjadi tolak ukur suatu modus kejahatan, apakah modus kejahatan itu tidak tergolong serius, meresahkan dan merugikan, namun ada pula yang menyatakan bahwa tindak pidana yang terjadi itu benar-benar mengakibatkan penderitaan luar biasa. 16
Hal yang memprihatinkan adalah kecenderungan makin banyaknya
kejahatan seksual yang tidak hanya menimpa perempuan dewasa, tapi juga
menimpa anak-anak dibawah umur. Anak-anak permpuan ini dijadikan
sebagai objek pemuas nafsu bejat atau animalistic dari seseorang dan
kelompok tertentu. Persoalan kejahatan dengan modus kekerasan itu
kemudian menjadi problem yang serius yang dihadapi oleh hampir setiap
bangsa dan Negara dimuka bumi ini. Berbagai diskusi, seminar dan
pertemuan ilmiah dilaksanakan untuk mencari solusi yang dinilai tepat
mengenai kejahatan yang sedang terjadi dan meresahkan masyarakat.
Akibat perilaku tindak pidana seksual yang terjadi di masyarakat
tersebut, maka beragam hak-hak asasi manusia menjadi korban. Hak untuk
hidup tenang, hak untuk hidup sejahtera, hak untuk berbeda pendapat dan
hak untuk bebas dari ketakutan menjadi sirna dan setidak-tidaknya tidak
bisa diperoleh secara maksimal akibat berbagai perilaku kejahatan yang
16
menimpa dan mengorbankannya. Manusia gagal mendapatkan dan
menikmati hak-haknya sebagai warga Negara di Indonesia.
Pihak kepolisian dianggap hanya bersifat pasif atau menunggu pihak-pihak
korban yang mau mengadukan kasus kekerasan seksual atau sexual violence,
dalam hal ini pencabulan terhadap anak yang di alaminya. Padahal, menurut
asumsi tersebut, Polri berwenang menggunakan kompetensi yuridisnya utnuk
mengusut kasus tersebut.
Sesuai dengan Undang-undang Pokok Kepolisian Negara Nomor 13
Tahun 1961 (yang selanjutnya disingkat dengan UUPKN No.13 Tahun
1961), Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagai alat Negara penegak
hukum dalam menyelesaikan revolusi sebagai alat revolusi yang terutama
bertugas untuk keamanan di dalam negeri dapat menunaikan tugasnya
dengan sebaik-baiknya. Tugas Kepolisian Negara diatur dalam Pasal 2
UUPKN No.13 Tahun 1961, yang menyatakan :
(1) a.Memelihara ketertiban dan menjamin keamanan umum; b.Mencegah dan memberantas menjalarnya penyakit-penyakit masyarakat;
c.Memelihara keselamatan Negara terhadap gangguan dari dalam; d.Memelihara keselamatan orang, benda dan masyarakat, termasuk memberikan perlindungan dan pertolongan; dan
e.Mengusahakan ketaatan warga Negara dan masyarakat terhadap peraturan-peraturan Negara.
(2) dalam bidang penelitian mengadakan penyelidikan atas kerjasama dan pelanggaran menuntut ketentuan-ketentuan dalam Undang-undang Hukum, Acara Pidana dan lain-lain peraturan Negara;
(3) mengawasi aliran-aliran kepercayaan yang dapat membahayakan masyarakat dan Negara;
Sehingga dapat ditarik kesimpulan yang berwenang dalam melakukan
Upaya Penegakan Hukum terhadap pelaku tindak pidana adalah
Kepolisian. Penegakan hukum itu sendiri dapat di artikan sebagaimana
dengan adanya pendapat-pendapat ahli hukum, bahwa:
Menurut Soekanto sebagaimana dikutip oleh Soerjono ini penegakan hukum adalah, keserasian hubungan antara nilai-nilai yang terjabarkan dalam kaidah-kaidah yang mantap dan berwujud dengan perilaku sebagai rangkaian penjabaran nilai tahap akhir untuk menciptakan, memelihara dan mempertahankan kedamaian pergaulan hidup. Lebih lanjut dikatakan bahwa penegakan hukum bukanlah semata-mata berati pelaksanaan perundang-undangan, walaupun kenyataan di Indonesia kecenderungannya adalah demikian17.
Satjipto Rahardjo menjelaskan bahwa hakekat dari penegakkan hukum adalah suatu proses untuk mewujudkan keinginan- keinginan atau ide-ide hukum menjadi kenyataan. Keinginan-keinginan hukum adalah pikiran-pikiran badan pembentuk undang-undang yang berupa ide atau konsep-konsep tentang keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan sosial yang dirumuskan dalam peraturan hukum.18
3. Bentuk Represif
Dalam hal ini penindakan yang dilakukan oleh pihak Kepolisian untuk
pelaku pencabulan anak sesuai dengan prosedur hukum yakni penyelidikan dan
penyidikan mengacu pada KUHAP dan UU No.23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak. Penyelidik mempunyai wewenang sesuai dengan KUHAP
Pasal 5 ayat (1) huruf a dan b, menyatakan :
a. 1. Menerima laporan atau pengaduan dari seorang tentang adanya tindak pidana;
2. Mencari keterangan dan barang bukti;
3. Menyuruh berhenti seorang yang dicurigai dan menanyakan serta memeriksa tanda pengenal diri;
4. Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab.
b. Atas perintah penyidik dapat melakukan tindakan berupa :
17 Soerjono Soekanto, Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Rajawali, Jakarta 1986, h. 3.
1. Penangkapan, larangan, meninggalkan tempat, penggeledahan dan penyitaan;
2. Pemeriksaan dan penyitaan surat;
3. Mengambil sidik jari dan memotret seorang;
4. Membawa dan menghadapkan seorang pada penyidik.
Sedangkan dalam penyidikan pelaku pencabulan anak disesuaikan dengan
UU No.23 Tahun 2002, yakni :
Pasal 41, menyatakan :
(1) Penyidikan terhadap Anak Nakal, dilakukan oleh Penyidik yang ditetapkan berdasarkan Surat Keputusan Kepala Kepolisian Republik Indonesia atau pejabat lain yang ditunjuk oleh Kepala Kepolisian Republik Indonesia.
(2) Syarat-syarat untuk dapat ditetapkan sebagai Penyidik sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah:
a. telah berpengalaman sebagai penyidik tindak pidana yang dilakukan oleh orang dewasa;
b. mempunyai minat, perhatian, dedikasi, dan memahami masalah anak.
(3) Dalam hal tertentu dan dipandang perlu, tugas penyidikansebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat dibebankan kepada:
a. penyidik yang melakukan tugas penyidikan tindak pidana yang dilakukan oleh orang dewasa; atau
b. penyidik lain yang ditetapkan berdasarkan ketentuan Undang-undang yang berlaku.
Pasal 42, menyatakan:
(1) Penyidik wajib memeriksa tersangka dalam suasana
kekeluargaan.
(2) Dalam melakukan penyidikan terhadap anak nakal, penyidik wajib meminta pertimbangan atau saran dari Pembimbing Kemasyarakatan, dan apabila perlu juga dapat meminta pertimbangan atau sran dari ahli pendidikan, ahli kesehatan jiwa, ahli agama, atau petugas kemasyarakatan lainnya.
(3) Proses penyidikan terhadap perkara anak nakal wajib dirahasiakan.
Dalam hal penyidikan anak oleh pihak Kepolisian jelas berbeda
dengan penyidikan orang dewasa, pihak Kepolisian lebih mengutamakan
penahanannya pun juga harus disesuaikan dengan UU No.23 Tahun 2002,
yakni :
Pasal 43, menyatakan:
(1) Penangkapan anak nakal dilakukan sesuai dengan ketentuan
Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana.
(2) Penangkapan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
dilakukan guna kepentingan pemeriksaan untuk paling lama 1
(satu) hari.
Pasal 44, menyatakan bahwa:
(1) Untuk kepentingan penyidikan, penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (1) dan ayat (3) huruf a, berwenang melakukan penahanan terhadap anak yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti permulaan yang cukup.
(2) Penahanan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya berlaku untuk paling lama 20 (dua puluh) hari.
(3) Jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) apabila diperlukan guna kepentingan pemeriksaan yang belum selesai, atas permintaan penyidik dapat diperpanjang oleh Penuntut Umum yang berwenang, untuk paling lama 10 (sepuluh) hari.
(4) Dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari Penyidik sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) sudah harus menyerahkan berkas perkara yang bersangkutan kepada Penuntut Umum.
(5) Apabila jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) dilampaui dan berkas perkara belum diserahkan, maka tersangka harus dikeluarkan dari tahanan demi hukum.
(6) Penahanan terhadap anak dilaksanakan di tempat khusus untuk anak di lingkungan Rumah Tahanan Negara, atau ditempat tertentu.
Pasal 45, menyatakan:
(2) Alasan penahanan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus dinyatakan secara tegas dalam surat perintah penahanan.
(3) Tempat penahanan anak harus dipisahkan dari tempat tahanan orang dewasa.
(4) Selama anak ditahan, kebutuhan jasmani, rohani, dan sosial anak harus tetap dipenuhi.
a. Data Pencabulan Yang Dilakukan Anak Selama Tahun 2009 di
Wilayah Polres Surabaya Selatan.
No Bulan L S Ket
1 Januari 1 1 Secara mediasi
2 Februari - - -
3 Maret 5 4 4 Secara mediasi, 1 dilanjutkan
keperkara penyelidikan dan
S : Kasus yang telah terselesaikan secara mediasi 19
19
Data tersebut diatas, menunjukkan banyaknya angka tindak pidana yang
terjadi di wilayah surabaya selatan. Akan tetapi, untuk tindak pidana
pencabulan yang dilakukan anak, lebih sering penyelesaiannya berakhir secara
mediasi. Kepolisian dalam menangani perkara anak terlebih dulu melakukan
mediasi antara keluarga korban dengan tersangka. Kepolisian lebih
memperhatikan tumbuh kembang biologis anak tersebut, baik yang menjadi
korban maupun tersangka.
Anak adalah tunas, potensi, dan generasi muda penerus cita-cita
perjuangan bangsa, memiliki peran strategis dan mempunyai ciri dan sifat
khusus yang menjamin kelangsungan eksistensi bangsa dan negara pada masa
depan. Agar setiap anak kelak mampu memikul tanggung jawab, maka ia
perlu mendapat kesempatan yang seluas-luasnya untuk tumbuh dan
berkembang secara optimal.
Pihak kepolisian dianggap hanya bersifat pasif atau menunggu
pihak-pihak korban yang mau mengadukan kasus kekerasan seksual atau sexual
violence, dalam hal ini pencabulan terhadap anak yang di alaminya. Padahal,
menurut asumsi tersebut, Polri berwenang menggunakan kompetensi
yuridisnya utnuk mengusut kasus tersebut.
4. Kasus Tindak Pidana Pencabulan.
a. Fakta Hukum
Kasus yang dapat penulis sampaikan sesuai dengan wawancara
bersama Kanit V Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA), Inspektur
Satu (IPTU) Kurnia Satuan Resort Kriminal Kepolisian Resort
Surabaya Selatan Jl.Dukuh Kupang XVI/26-28 Surabaya adalah
dengan tetangganya Beny (10 tahun) yang juga bertempat tinggal di
daerah Dukuh Kupang. Pada hari Kamis tanggal 10 Juni 2009 sekitar
Pukul 15.30 Beny (tersangka) yang berumur 10 tahun warga Dukuh
Kupang dengan Risa (korban) yang berumur 8 tahun yang juga
bertempat tinggal juga di daerah Dukuh Kupang. Korban dan
tersangka adalah tetangga dekat, saat bermain bersama tersangka
mengajak korban bermain dokter-dokteran selanjutnya tersangka
mengajak korban masuk kekamar rumahnya dan menutup pintu kamar
tersebut, lalu tersangka menyuruh korban berbaring ditempat tidur
kemudian tersangka menyikap pakaian korban serta meraba-raba
kemaluan korban juga memasukkan jari tangannya kedalam vagina
korban, yang mengakibatkan korban merasakan perih pada saat buang
air kecil. Hal tersebut diketahui oleh orang tua atau ibu korban yang
kemudian melaporkan kejadian tersebut kepada pihak Kepolisian
(Pasal yang dipersangkakan 81 UU No.23 Tahun 2002). Untuk
tersangka anak dimungkinkan penyidik mengambil tindakan
Restoratif Justice atau kebijaksanaan diluar prosedur hukum dengan
tujuan kepentingan yang terbaik untuk anak.
b. Pertimbangan Hukum
Berdasarkan fakta hukum di atas maka ada beberapa
pertimbangan hukum yang berkaitan dengan hal tersebut yakni :
a. Adanya korban yang dalam hal ini adalah Risa tetangga dari
akibat Beny memasukkan jari tangannya kedalam kemaluan atau
vagina Risa.
b. Adanya pelaku tindak pidana yakni Beny tetangga Risa yang
melakukan pencabulan terhadap Risa.
c. Adanya bukti surat laporan atau pengaduan yang dibuat oleh
pihak kepolisian berdasarkan atas laporan atau pengaduan
korban (Risa) serta bukti visum Laboratorium Forensik dari
Rumah Sakit.
Setelah dibuatnya laporan tersebut pihak kepolisian
selanjutnya mengadakan penyelidikan dan menangkap tersangka.
Pihak Kepolisian mengarahkan kasus tersebut merupakan tindak
pidana pencabulan yang dilakukan oleh anak kepada anak sehingga
tersangka dikenakan Pasal 81 UU No.23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak, yakni :
(1) Setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan memaksa anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling singkat 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp. 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp. 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah).
(2) Ketentuan pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berlaku pula bagi setiap orang yang dengan sengaja melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain.
c. Analisis Hukum
Sesuai dengan fakta hukum dan pertimbangan hukum di atas,
Selatan tersebut sudah memenuhi prosedur hukum yang mengacu
pada UU N0.23 Tahun 2002 tentang perlindungan anak. Beny
(tersangka) yang bertempat tinggal di Dukuh Kupang dipersangkakan
Pasal 81 UU No.23 Tahun 2002, menyatakan:
1. Setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan memaksa anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling singkat 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp. 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp. 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah).
2. Ketentuan pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berlaku pula bagi setiap orang yang dengan sengaja melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain.
Penerapan sanksi yang diterima oleh Beny sebagai tersangka
pencabulan anak sudah sesuai dengan aturan yang ada. Ancaman
hukuman yang diterima beni disesuaikan dengan umur beni, karena
masih berumur 10 tahun, pihak Kepolisian memilih hukuman yang
lebih ringan dengan disesuaikan bagaimana kondisi dan psikologis
5. Proses Penanganan oleh Pihak Kepolisian
a. Skema Proses Penanganan menurut KUHAP.
Penjelasan skema proses penyidikan terhadap pelaku dan atau
tersangka tindak pidana Pencabulan Anak yang dilakukan oleh pihak
Kepolisian Polres Surabaya Selatan adalah sebagai berikut :
1. Pelaporan
Korban berhak melaporkan secara langsung perbuatan cabul
kepada kepolisian baik di tempat korban berada maupun di tempat
kejadian perkara atau korban dapat memberikan kuasa kepada
Kemudian dilakukan
Dikirim Kejaksaan Dan BP Dinyatakan P.21 Tersangka Dan Barang Bukti Dilimpahkan ke Kejaksaan
Penyidikan/BAP
Melengkapi Administrasi Penyidikan
Dapat dilakukan Penahanan atau tidak
Dibuatkan /Pemberitahuan Keluarga Kemudian
dilakukan Dilanjutkan
Dilanjutkan Melakukan visum
Pemeriksaan saksi-saksi
keluarga atau yang lain untuk melaporkan kepada pihak kepolisian
baik di tempat korban berada maupun di tempat kejadian perkara.
2. Visum
Visum adalah suatu keterangan dokter apa yang dilihat dan
diketemukan didalam melakukan pemeriksaan terhadap orang yang
luka atau terhadap mayat.( Dokter yang berhak melakukan visum )
Setelah itu dilakukan visum ke Laboratorium Forensik yang
digunakan sebagai alat bukti dalam penyidikan, kemudian polisi
melakukan pemanggilan terhadap pelaku untuk proses penyidikan
apabila korban mengalami kekerasan fisik.
3. Pemeriksaan saksi
Saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna
kepentingan penyidikan, penuntutan, dan peradilan tentang suatu
perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami
sendiri.
Pihak kepolisian melakukan pemeriksaan saksi-saksi sebagai
berita acara pemeriksaan saksi.
4. BAP
Berita acara dibuat untuk setiap tindakan tentang ;
a. Pemeriksaan tersangka
c. Penahanan
d. Penyitaan benda
e. Pemeriksaan surat
f. Pemeriksaan saksi
g. Pemeriksaan di tempat kejadian
h. Pelaksanaan penetapan dan putusan pengadilan
i. Pelaksanaan tindakan lain sesuai dengan ketentuan dalam
undang-undang
Penyidikan/BAP (Berita Acara Pemeriksaan), dimana di dalam
melakukan proses penyidikan maupun BAP tersebut waktunya tidak
tentu, untuk semua kasus.
5. Administrasi penyidikan, berupa:
Surat perintah penangkapan;
Surat perintah penyidikan;
Surat pemberitahuan kepada keluarga bahwa telah dilakukan
penahanan;
Surat perintah penahanan.
6. Penahanan
Penahanan adalah penempatan tersangka atau terdakwa di tempat
penetapannya, dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam
undang-undang. Penahanan dilakukan untuk kepentingan penyidikan, penyidik
atau penyidik pembantu serta untuk kepentingan penuntutan, penuntut
umum dan untuk kepentingan pemeriksaan hakim di sidang pengadilan.
7. SP2HP
Surat pemberitahuan perkembangan hasil penyidikan adalah surat
yang berisi hal yang terkait dengan proses penyidikan yang ditujukan
kepada keluarga korban. Di SP2HP pihak korban akan mengetahui
sampai sejauh mana proses pemeriksaan perkara berlangsung.
8. Berkas P.21
Berkas-berkas yang terkait dengan proses pemeriksaan setelah
diperiksa dan dinyatakan lengkap disebut dengan berkas P.21 artinya
berkas perkara tersebut siap untuk diberikan ke Kejaksaan Negeri
setempat untuk dilakukan pemeriksaan lebih lanjut.
Penanganan perkara tindak pidana pencabulan yang dilakukan oleh
pihak Polres Surabaya Selatan itu sendiri yaitu melalui penyelidikan
yang selanjutnya dilakukan penyidikan. Dalam penanganannya pihak
kepolisian melihat dulu pada korban yang melapor atau kondisinya atas
kejadian tindak pidana pencabulan yang dialami selanjutnya melihat
berapa umur korban apabila umur korban di bawah umur maka harus
didampingi oleh orangtua serta menunjukkan akta kelahiran dan surat
setelah itu dilakukan visum terhadap korban di rumah sakit Polda Jatim
dan dilanjutkan dengan pemeriksaan saksi-saksi serta dilakukan
penahanan terhadap tersangka, Setelah berkas-berkas lengkap (P.21)
maka pihak kepolisian akan memproses perkara tersebut di Kejaksaan.
b. Penerapan sanksi pidana
Mengenai tindak pidana pencabulan terhadap anak yang dilakukan
orang dewasa dapat dikenakan ancaman hukuman, yakni:
Menurut Pasal 289 KUHP, menyatakan :
Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seseorang melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul, dihukum karena merusakkan kesopanan dengan hukuman penjara selama-lamanya Sembilan tahun.
1. Yang dimaksudkan dengan perbuatan cabul ialah segala perbuatan yang keji, semuanya itu dalam lingkungan nafsu birahi kelamin, misalnya; cium-ciuman, meraba-raba anggota kemaluan, meraba-raba buah dada, dan sebagainya.
2. Yang dilarang dalam pasal ini bukan saja memaksa orang untuk
melakukan perbuatan cabul, tetapi juga memaksa orang untuk membiarkan dialkukan pada dirinya perbuatan cabul
Menurut Pasal 290 KUHP, menyatakan ;
Dengan ancaman penjara selama-lamanya tujuh tahun dihukum:
1e. Barangsiapa melakukan perbuatan cabul dengan seseorang, sedang diketahuinya bahwa orang itu pingsan atau tidak berdaya
2e. Barangsiapa melakukan perbuatan cabul dengan seseorang, sedang diketahuinya atau patut harus disangkanya, bahwa umur orang itu belum cukup 15 tahun atau kalau tidak nyata berapa umurnya, bahwa orang itu belum masanya buat dikawin.
c. Skema Proses Penanganan menurut UU Perlindungan Anak.
Dalam proses upaya penegakan hukum terhadap pelaku (anak) atau
tersangka tindak pidana pencabulan anak yang dilakukan oleh pihak
Kepolisian Polres Surabaya Selatan berbeda dengan upaya penegakan
hukum terhadap pelaku orang dewasa, proses penyelidikan dan
penyidikannya pun juga berbeda, adalah sebagai berikut :
1. Pelaporan
Korban berhak melaporkan secara langsung perbuatan cabul
kepada kepolisian baik di tempat korban berada maupun di tempat
kejadian perkara atau korban dapat memberikan kuasa kepada keluarga
atau yang lain untuk melaporkan kepada pihak kepolisian baik di
tempat korban berada maupun di tempat kejadian perkara.
Melakukan visum Korban melaporkan kepada pihak kepolisian
Selesai mediasi Mediasi tidak berhasil
Mediasi
dilanjutkan keperkara penyelidikan dan penyidikan Perkara dianggap
2. Visum
Visum adalah suatu keterangan dokter apa yang dilihat dan
diketemukan didalam melakukan pemeriksaan terhadap orang yang
luka atau terhadap mayat. ( Dokter yang berhak melakukan visum )
Setelah itu dilakukan visum ke Laboratorium Forensik yang digunakan
sebagai alat bukti dalam penyidikan, kemudian polisi melakukan
pemanggilan terhadap pelaku untuk proses penyidikan apabila korban
mengalami kekerasan fisik.
3. Mediasi
Tidak semua tindak pidana harus diselesaikan di meja pengadilan
ada pengecualian dalam penyelesaian suatu tindak pidana tertentu
dengan melakukan mediasi misalnya dalam kasus tindak pidana yang
dilakukan oleh anak. Pihak kepolisian juga harus menitih tumbuh
kembang anak atau psikologis anak.
Mediasi adalah cara penyelesaian dengan melibatkan pihak ketiga,
yaitu pihak ketiga yang dapat diterima (accertable), artinya para pihak
yang berselisih mengizinkan pihak ketiga untuk membantu para pihak
yang berselisih dan membantu para pihak untuk mencapai
penyelesaian.20
Dalam hal ini aparat yang berwenang yaitu polisi karena
menghindari keputusan sepihak yang dilakukan oleh salah satu pihak
dan melindungi korban dari intervensi pelaku didalam mediasi tersebut
karena semua keputusan ada ditangan korban menerima mediasi atau
tidak. Dalam mediasi penyelesaian perselisihan lebih banyak muncul
dari keinginan dari inisiatif para pihak yang bertikai dan mediator
dalam hal ini polisi hanya membantu kesepakatan-kesepakatan yang
terjadi dalam mediasi dan menjadi fasilitator.
Peran polisi disini sangat penting untuk memberikan dukungan
kepada korban ketika proses penyidikan berlangsung biasanya korban
merasa tertekan terhadap apa yang telah terjadi kepada apa yang telah
terimanya disini peran polisi sangat penting untuk memperoleh
keterangan yang akurat dari korban, apabila dalam proses penyidikan
berlangsung korban dan pelaku melakukan mediasi maka polisi akan
memfasilitasi sebagai mediator dan mengawasi jalannya mediasi agar
korban tidak dirugikan dikemudian hari dan setelah mediasi dibuat
dilanjutkan dengan pencabutan laporan, mediasi terjadi apabila ada
kesepakatan antara pihak korban dan pelaku yaitu :
1. Terjadinya kesepakatan damai antara kedua belah pihak.
2. Pelaku berjanji tidak akan melakukan perbuatan serupa dikemudian hari.
3. Korban bersedia mencabut laporan yang dibuat.21
Proses mediasi dibuat dihadapan polisi sebagai mediator agar polisi
bisa melihat jalannya proses mediasi agar berjalan lancar dan
menghindarkan dari kecurangan-kecurangan yang terjadi atau
kesepakatan sepihak yang dilakukan oleh pelaku terhadap korban
karena mediasi dibuat untuk melindungi hak-hak korban.
Adapun kelebihan dan kekurangan mediasi yang dilakukan oleh
pihak kepolisian, yakni :
a. Kelebihan proses mediasi:
1. Proses mediasi ditempuh untuk penyelesaian tindak pidana pencabulan yang dilakukan anak oleh polisi yang berkaitan dengan delik aduan karena mempunyai waktu yang singkat dalam prosesnya penyelesaiannya.
2. Tidak memerlukan banyak biaya karena apabila diteruskan hingga pengadilan akan butuh banyak biaya. Dianggap lebih memberikan keadilan bagi pihak yang berselisih karena adanya kesepakatan antara dua pihak sehingga terjadi mediasi22.
Penyelesaian secara mediasi oleh beberapa orang dan lembaga
swadaya masyarakat dan komnas HAM dianggap tidak berpihak pada
korban, karena perlakuan yang diperbuat oleh pelaku dianggap
sebagai pembiaran tanpa adanya sanksi pidana yang diberikan dan
telah melanggar hukum sesuai dengan kepastian hukum. Tetapi itu
semua dikembalikan pada korban apakah ingin melakukan mediasi
atau tetap melanjutkan kasus tersebut.
b. Kekurangan proses mediasi:
1. Pelaku terhindar dari sanksi pidana karena laporan dicabut ini dianggap tidak memberikan efek jera bagi pelaku.
2. Tidak berlaku untuk semua tidak pidana hanya pidana yang berkaitan dengan delik aduan.
3. Bukan jaminan pelaku tidak akan melakukan perbuatan yang serupa dikemudian hari.23
22 Ibid, h. 41
Apabila dalam proses mediasi pihak korban tetap tidak bisa
menyelesaikan secara kekeluargaan maka kasus tindak pidana
pencabulan ini oleh pihak kepolisian akan dilanjutkan dengan proses
penyelidikan dan penyidikan.
Proses penyidikan terhadap anak sebagai pelaku kejahatan tindak
pidana pencabulan dalam Pasal 41 Undang-undang Republik
Indonesia Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak,
menyatakan:
Kesimpulan diatas dapat di artikan bahwa antara upaya
penegakan hukum oleh kepolisian dalam menangani perkara tindak
pidana pencabulan yang dilakukan orang dewasa dengan anak
berbeda. Mulai dari proses penyelidikan yang kemudian dilanjutkan
dengan penyidikan. Pembedaan perlakuan tersebut didasarkan atas
pertumbuhan dan perkembangan fisik, mental, dan sosial anak.
Di samping pertimbangan tersebut di atas, demi pertumbuhan dan
perkembangan mental anak, perlu ditentukan pembedaan perlakuan di
dalam hukum acara dan ancaman pidananya. Dalam hubungan ini
pengaturan pengecualian dari ketentuan yang diatur dalam
Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, yang
lama pelaksanaan penahanannya ditentuakan sesuai dengan
kepentingan anak dan pembedaan ancaman pidana bagi anak yang
ditentukan oleh Kitab Undang-undang Hukum Pidana yang
ancaman pidana yang dilakukan oleh orang dewasa, sedangkan
penjatuhan pidana mati dan pidana penjara seumur hidup tidak
diberlakukan terhadap anak.
Pembedaan perlakuan dan ancaman yang diatur dalam
Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
dimaksudkan untuk lebih melindungi dan mengayomi anak tersebut
agar dapat menyongsong masa depannya yang masih panjang. Selain
itu, pembedaan tersebut dimaksudkan untuk memberi kesempatan
kepada anak agar melalui pembinaan akan diperoleh jati dirinya untuk
menjadi manusia yang mandiri, bertanggung jawab, dan berguna bagi
diri, keluarga, masyarakat, bangsa, dan Negara.
d. Penerapan Sanksi Pidana
Setiap orang yang melakukan tindak pidana pencabulan terhadap
anak dapat dikenakan sanksi pidana sesuai dengan Undang-undang
yang berlaku. Karena disini yang melakukan tindak pidana
pencabulan adalah anak maka Undang-undang yang dipakai UU
No.23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, yakni:
Menurut Pasal 81, menyatakan bahwa :
1. Setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan memaksa anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling singkat 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp. 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp. 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah).
Menurut Pasal 82, menyatakan bahwa :
Setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan, memaksa, melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling singkat 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp.300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp.60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah).
Ketentuan sanksi pidana di atas merupakan ancaman sanksi yang
dapat dikenakan untuk pelaku tindak pidana pencabulan yang
dilakukan oleh anak. Pidana denda dalam hal ini bukan sebagai
ketentuan pidana penjara, jadi sanksi tersebut wajib dijalani oleh
pelaku tindak pidana pencabulan yang dilakukan anak, apabila dengan
40
1. Upaya Perlindungan Korban Tindak Pidana Pencabulan.
Sebagian besar korban tindak pidana pencabulan lebih condong memilih
berdiam diri, pasrah menerima nasib atas penderitaan yang ditanggungnya.
Daripada melaporkan kejadian yang menimpanya ke aparat kepolisian. Angka
statistic jumlah pencabulan yang tercatat di Kepolisian besar adalah angka
nominal. Di luar itu, diduga masih banyak kasus-kasus pencabulan lain yang tidak
teridentifikasi. Tindakan korban memilih tidak melaporkan kasus yang di alaminya
itu dapat dipahami, mencoba menuntut keadilan, belum tentu hukum akan
memihaknya. Perhatian terhadap korban kejahatan khususnya tindak pidana
pencabulan sebagai pihak yang paling dirugikan yang juga membutuhkan
perlindungan terhadap hak-haknya yang telah dilanggar.
Anak-anak korban tindak pidana pencabulan adalah kelompok yang paling
sulit pulih. Mereka cenderung akan menderita trauma aku. Masa depannya
hancur, dan bagi anak yang tidak kuat menanggung beban, maka pilihan
satu-satunya adalah bunuh diri. Aib, perasaan akan tercemar, dan kejadian tersebut
akan terus menghantui korban.24
Korban tindak pidana pencabulan memiliki hak-hak yang wajib ditegakkan.
Rasa sakit hati, penderitaan, ketakutan dan berbagai macam dampak buruk yang
menimpa dirinya paska tindak pidana pencabulan itu mendapatkan perhatian
yang serius bagi aparat Kepolisian. Korban anak dibawah umur tidak boleh
24
diabaikan, namun wajib dijembatani oleh penegak hukum dalam
memperjuangkan nasibnya.
Perlindungan hukum yang dapat diberikan kepada korban tindak pidana
pencabulan, yakni:
a. Perlindungan hukum untuk tidak menjadi korban tindak pidana, berarti perlindungan HAM (hak asasi manusia) atau kepentingan hukum seseorang.
b. Perlindungan untuk memperoleh jaminan atau santunan hukum atas
penderitaan atau kerugian orang yang telah menjadi korban tindak pidana, lebih identik dengan penyantunan korban. Bentuk penyantunan dapat berupa pemulihan nama baik (rehabilitasi), pemulihan keseimbangan batin (antara lain dengan pemanfaatan), pemberian ganti rugi (restitusi, kompensasi, jaminan atau santunan kesejahteraan sosial dan sebagainya). 25
Sifat perlindungan hukum dari segi macamnya dapat dibedakan menjadi:
Perlindungan hukum pasif, yang dapat berupa tindakan-tindakan luar (selain
proses peradilan) yang memberikan pengakuan dan jaminan dalam bentuk
pengaturan atau kebijaksanaan berkaitan dengan hak-hak pelaku maupun
korban.
Sedangkan yang aktif, dapat berupa tindakan yang berkaitan dengan upaya
pemenuhan hak-haknya.
Adapun prinsip-prinsip perlindungan hukum bagi rakyat berdasarkan
Pancasila, diawali dengan uraian tentang konsep dan deklarasi tentang hak
asasi manusia. Sesuai dengan isi pembukaan Undang-undang Dasar 1945
alinea ke-4, menyebutkan bahwa “Kemudian daripada itu untuk
membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap
tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum,
mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan kehidupan
25
bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan
kemerdekaan. Perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah
Kemerdekaan Kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-undang
Dasar Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan
berdasarkan Pancasila”.
Setiap orang yang menjadi Warga Negara Indonesia berhak
mendapatkan perlindungan. Hal ini sesuai dengan amanat UUD 1945 Pasal
28G ayat (1) dan (2), yakni:
(1) Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harkat benda yang berada di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi.
(2) Setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan atau perlakuan yang merendahkan derajat martabat manusia dan berhak memperoleh suaka politik dari Negara lain.
Menurut Pasal 28 H ayat (2), menyatakan:
“ setiap orang berhak mendapatkan kemudahan dan perlakuan khusus
untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai
persamaan dan keadilan.
a. Menurut Undang-undang Hak Asasi Manusia.
Hal serupa juga dituangkan dalam ketentuan Pasal 29 ayat (1) dan (2)
Undang-undang No.39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (selanjutnya
disingkat dengan UU HAM), yakni:
(1) Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan,
martabat dan hak miliknya.
(2) Setiap orang berhak atas pengakuan di depan hukum sebagai manusia
Menurut Pasal 30 UU HAM, yakni;
“setiap orang berhak atas rasa aman dan tentram serta perlindungan
terhadap ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu.
Pasal 33 ayat (1) dan (2) UU HAM, yakni:
(1) Setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan, penghukuman, atau
perlakuan yang kejam, tidak manusiawi, serta merendahkan derajat dan martabat kemanusiaannya.
(2) Setiap orang berhak untuk bebas dari penghilangan paksa dan penghilangan nyawa.
Perlindungan lain yang dapat diberikan kepada warga Negara Indonesia
adalah melalui instansi-instansi Pemerintahan lainnya yang memiliki
kewenangan, dalam hal ini adalah aparat Kepolisian yang dituntut peranannya
sebagai bentuk pelayanan terhadap masyarakat. Hal ini sesuai dengan ketentuan
Pasal 5 ayat (1) dan (2) Undang-undang No.2 Tahun 2002 tentang Kepolisian
Republik Indonesia, yakni:
(1) Kepolisian Negara Republik Indonesia merupakan alat Negara yang berperan dalam memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, serta memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka terpeliharanya keamanan dalam negeri.
(2) Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah Kepolisian Nasional yang merupakan satu kesatuan dalam melaksanakan peran sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
Keterangan beberapa Pasal yang telah disebutkan di atas menunjukkan
bahwasanya setiap warga Negara Indonesia yang berada di dalam wilayah
Indonesia berhak mendapatkan perlindungan hukum dari segala bentuk
perlakuan yang berkaitan dengan hak asasi manusia, khususnya dalam hal
ini adalah bentuk tindak pidana asusila (pencabulan) yang merupakan
pelanggaran terhadap hak asasi manusia dan kejahatan terhadap martabat
kemanusiaan serta segala bentuk diskriminasi yang dapat merugikan
Sesuai dengan Undang-undang Hak Asasi Manusia juga menerapkan
aturan yang berkaitan dengan perlindungan hukum yang dapat dimiliki
oleh setiap warga Negara Indonesia atas perlindungan diri pribadi hingga
terhadap hak miliknya serta terbebas dari tindakan penyiksaan,
penghukuman, atau perlakuan kejam, dan tidak manusiawi yang
merendahkan derajat dan martabat kemanusiaan
b. Menurut Undang-undang No.23 Tahun 2002 tentang Perlindungan anak.
Beberapa bentuk perlindungan yang dapat diberikan oleh pihak
kepolisian, yang tercantum dalam ketentuan UU Perlindungan Anak
adalah:
Pasal 2, menyatakan:
Penyelenggaraan perlindungan anak berasaskan Pancasila dan
berlandaskan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 serta prinsip-prinsip dasar Konvensi Hak-hak Anak
meliputi:
a. Non diskriminasi;
b. Kepentingan yang terbaik bagi anak;
c. Hak untuk hidup, kelangsungan hidup, dan perkembangan; dan
d. Penghargaan terhadap pendapat anak.
Pasal 3, menyatakan;