• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Permasalahan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2023

Membagikan "BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Permasalahan"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

1 BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Permasalahan

Dinas pemadam kebakaran dan penanggulangan bencana Kota Yogyakarta merupakan lembaga penanggulangan bencana yang bertanggung jawab kepada walikota, Penanggulangan bahaya kebakaran di kota Yogyakarta secara prinsipil institusi (kelembagaan) yang bertanggung jawab adalah DPK-PB Kota Yogyakarta. Hal ini berdasarkan peraturan daerah no 9 tahun 2008 tentang pembentukan, susunan organisasi dan tata kerja DPK-PB Kota Yogyakarta. Pola operasional pelayanan penanggulangan bahaya kebakaran kota Yogyakarta tidak hanya pada penanggulangan tetapi juga penyuluhan dan pelatihan baik terhadap instansi maupun masyarakat umum.

Kantor dinas pemadam kebakaran dan penanggulangan bencana kota Yogyakarta adalah salah satu instansi pemerintah yang bertugas menyelenggarakan sebagian kewenangan pemerintah dalam bidang - penanggulangan bencana banjir, cuaca ekstrim, tanah longsor, kebakaran lahan, kebakaran gedung maupun bencana yang non alam dan sosial seperti konflik sosial. Kewenangan pemerintah tersebut memiliki risiko yang tidak ringan dalam pelaksanaannya, salah satunya dibidang kebakaran lahan yang menjadi tanggung jawab pemadam kebakaran. Hal ini didukung oleh pernyataan Fauziah, dkk (2018) yang mengatakan bahwa pemadam kebakaran sendiri yaitu pekerjaan yang berisiko tinggi yang dapat mengakibatkan cacat dan kematian.

(2)

2

Perkembangan secara global di dunia pekerjaan, menjadi alasan dinas pemadam kebakaran dan penanggulangan bencana kota Yogyakarta harus dikelola secara profesional dan produktif, sehingga organisasi tetap dapat mempertahankan eksistensinya di tengah kemajuan perkembangan yang terjadi. Perkembangan global saat ini juga memicu ragam organisasi untuk mencari tenaga kerja yang berkompeten dalam melaksanakan pekerjaan. Hal itu juga yang dibutuhkan oleh dinas pemadam kebakaran dan penanggulangan bencana kota Yogyakarta agar dapat mencapai tujuan orgaisasi. Pemadam kebakaran adalah salah satu pekerjaan dengan resiko tinggi berupa luka-luka dan penyakit akibat kerja yang dapat mengakibatkan cacat dan kematian, petugas pemadam kebakaran juga harus memiliki ketrampilan khusus, disiplin tinggi dan kerjasama tim yang baik, karena tugas mereka tidak hanya memadamkan api saja, tetapi juga menyelamatkan nyawa orang lain (Anonim, 2007).

Gambaran resiko petugas pemadam kebakaran yaitu petugas pemadam kebakaran memiliki resiko yang tinggi, yang mengakibatkan cacat permanen dan kematian. Petugas pemadam kebakaran juga sering mengalami gangguan- gangguan kesehatan, pada saat melakukan proses pemadaman yang harus diperhatikan dengan serius yaitu tentang keselamatan petugas. Keselamatan petugas merupakan hal yang harus diperhatikan dengan serius (Aini, 2016). Hal ini dikarenakan peristiwa kecelakaan petugas pemadam kebakaran seringkali terjadi, pekerjaan mereka merupakan pekerjaan dengan resiko stress yang tinggi yang diakibatkan oleh kejadian yang bersifat traumatis, (Aini, 2016). Banyak bahaya yang terjadi di lapangan mengakibatkan beragam faktor, seperti faktor

(3)

3

lingkungan meliputi asap, suhu udara dan panas api disekitarnya, lalu faktor fisik meliputi, luka bakar dan sesak nafas, terakhir yaitu faktor psikososial, meliputi kerja bergantian, shift kerja, interaksi organisasi, stress kerja, dan lain sebagainya.

Faktor-faktor tersebut dapat menyebabkan penyakit, kecelakaan kerja dan perilaku tidak sopan di tempat kerja, serta rasa tidak nyaman di tempat kerja, baik perempuan maupun laki-laki menjadi tertekan karena adanya perilaku ketidaksopanan yang sering dilakukan. (Cortina dan Magley, 2001). Menurut Shafwani (2012) tentang risiko pekerjaan petugas pemadam kebakaran di Dinas Pencegahan Pemadam Kebakaran (DP2K) petugas pemadam kebakaran memiliki risiko lebih besar dalam perjalanan dan ketika berada di lokasi kebakaran dikarenakan listrik, suhu panas, api, bekerja di ketinggian, peralatan pemadaman, ledakan, backdraft, kondisi bangunan yang terbakar, maupun adu fisik dengan warga, hal tersebut menyebabkan berbagai tekanan kepada petugas pemadam kebakaan sehingga setiap pekerja pemadam kebakaran melampiaskannya dengan cara berperilaku tidak sopan kepada rekan kerjanya (DP2K Kota Medan, 2012).

Berdasarkan fenomena yang di jelaskan, dapat dikatakan bahwa workplace incivility behavior saling terikat dan saling berhubungan dengan

berbagai jenis perilaku negatif lainnya, seperti perilaku kasar, bullying, pelecehan, lalu perilaku yang menunjukkan nonsosial dan perusakan sosial, namun tingkatan yang didapat lebih rendah dari tujuan utama tersebut. (Hershcovis, 2007; Martin dan Hine, 2015). Penyebab khusus dari perilaku workplace incivility behavior ialah, mempunyai tujuan atau tindakan tidak sopan kepada target, perilaku yang dimunculkan tidak jelas. Ketidakjelasan pelaku dalam melakukan perilaku

(4)

4

menyakiti target inilah yang membedakan antara workplace incivility behavior dari sebuah tindakan penganiayaan atau perilaku negatif yang lainnya. Workplace incivility behavior memiliki maksud menyakiti atau melukai yang tidak jelas bagi

berbagai pihak terkait saat terjadinya perilaku tidak sopan di tempat kerja itu terjadi. Berbeda dengan tindakan agresi, misalnya tindakan kekerasan seperti penyerangan pada fisik bahkan sampai terjadinya pembunuhan (Anderson, Pearson, dan Porath, 1999).

Peristiwa yang mengakibatkan potensi bahaya di Indonesia lebih besar terjadi pada pekerja dengan waktu kerja 24 jam, namun akibat dari waktu kerja yang lama dapat menjadi sumber stressor bagi pekerja di Dinas Pemadam kebakaran, stress juga mengakibatkan tindakan kasar atau tidak sopan yang disebabkan oleh kelelahan pekerja sehingga mereka bisa juga mengabaikan temannya yang membutuhkan bantuannya saat berada di lapangan (Andersson dan Pearson, 1999).

Menurut Martin, dan Hine, (2005) workplace incivility behavior didefinisikan sebagai perilaku yang kasar dan tidak sopan dalam tempat kerja yang melanggar norma-norma untuk saling menghormati, mungkin tidak berniat membahayakan target, tidak secara fisik mengancam target yang terjadi antara rekan kerja dalam organisasi untuk memenuhi kebutuhan organisasi.

Dampak dari workplace incivility behavior yang mengarah pada tindakan yang tidak menyenangkan tidak hanya dirasakan oleh korban, melainkan instansi atau organisasi termasuk pelaku juga akan merasakan dampak kerugian. Oleh karena itu, seharusnya perusahaan memberikan perhatian yang lebih kepada

(5)

5

pelaku tidak manusiawi di tempat kerja. Menurut Martin & Hine (2005) aspek- aspek workplace incivility behavior, yaitu permusuhan, pelanggaran privasi, perilaku eksklusif, dan gosip.

Dari hasil penelitian yang dilakukan Zannati dan Hendryadi (2018), menunjukkan bahwa nilai rata-rata workplace incivility behavior berdasarkan jenis kelamin responden untuk laki-laki dan wanita mengindikasikan bahwa ada perbedaan signifikan level workplace incivility behavior antara wanita dan laki- laki. Penelitian ini mengatakan bahwa responden laki-laki lebih sering mendapatkan perlakuan tidak sopan dari rekan dan pimpinan dibandingkan responden wanita, karena beban kerja yang diberikan oleh pimpinan kepada laki- laki lebih berat dari pada wanita.

Sejalan dari data diatas peneliti menggali data lebih dalam dengan berdasarkan aspek-aspek workplace incivility pada 10 petugas pemadam kebakaran di Yogyakarta pada tanggal 8 Maret 2020. Peneliti melakukan wawancara kepada 10 petugas pemadam kebakaran. Berdasarkan hasil wawancara 8 dari 10 petugas mangarah pada indikasi workplace incivility, karena memenuhi 3-5 perilaku workplace incivility berdasarkan aspek Martin & Hine (2005) pada aspek gossip ketujuh petugas mengaku pernah membicarakan rekan kerjannya tanpa sepengetahuannya. Bahwa semua subjek pada aspek permusuhan terhadap orang lain kedelapan petugas mengaku pernah merespon pertanyaan rekan kerjannya dengan singkat-singkat dan tidak ramah. Contoh dari tindakan itu yaitu ketika ada rekan kerja yang bertanya atau meminta bantuan mengenai jobdes pekerjaan tetapi tidak direspon dengan semestinya, seperti tidak membalas pesan

(6)

6

whatsapp di hp mereka. Pada aspek perilaku ekslusif ketujuh petugas mengaku

pernah berbicara dengan rekan kerja dengan kata-kata yang kasar, seperti ketika karyawan merasa lelah dan ada teman yang meminta bantuan akan tetapi dijawab menggunakan nada tinggi. Pada aspek pelanggaran privasi kedelapan petugas mengaku pernah membaca pesan pribadi rekan kerjanya hal tersebut memunculkan emosi negatif kepada rekan kerjanya yang disebut workplace incivility behavior. Contoh perilaku yang nyata yaitu membuka whatsapp dan

membalas hp karyawan lain tanpa sepengetahuan kemudian langsung menghapus pesan tersebut. Hal tersebut merupakan Tindakan negatif yang nyata dan membuat karyawan satu dengan yang lain menjadi salah paham.

Bedasarkan hasil wawancara peneliti dapat disimpulkan bahwa kedelapan petugas dari sepuluh petugas yang ada di Yogyakarta mengarah pada perilaku workplace incivility. Menurut Andersson dan Pearson, (1999), workplace incivility behavior merupakan tindakan menyimpang dengan tingkatan ringan

yang ditandai munculnya tindakan tidak jelas yang mengarah pada menciderai, tindakan melukai, atau berbuat tidak baik pada sesama teman kerja.

Andersson dan Pearson (1999) menjelaskan bahwa jenis ketidaksopanan umumnya akan terus berkembang kecuali sampai pihak memilih untuk mengabaikan ketidaksopanan dan melepaskan diri dari ketidaksopanan tempat kerja, atau melakukan hal yang tidak sopan dapat meningkat ke titik bahwa individu jelas berniat untuk menyakiti satu samalain, di mana titik fenomena akan melampaui domain yang dapat mengakibatkan ketidaksopan. Semakin banyaknya ketidaksopanan perilaku di dalam organisasi maka dapat mempengaruhi rekan

(7)

7

kerja untuk mengikuti perilaku ketidaksopanan. Maka dari itu pengaruh dari pemimpin atau supervisor sangat besar terhadap perilaku ketidaksopanan.

Semakin hari dibiarkan maka seluruh karyawan organisasi dapat mencontohnya dan berani untuk bertindak melakukan perilaku sepertiitu.

Andersson dan Pearson (1999) mengacu pada teori interaksionis sosial untuk memberikan kerangka rinci untuk mendukung hubungan antara ketidaksopanan tempat kerja dan karwayan. Meskipun ketidaksopanan dimulai ketika seorang individu (misalnya, karyawan, pelanggan, atau supervisor) terlibat dalam perilaku tidak sopan, atribusi yang dibuat untuk pengaruh tindakan tidak baik dan cara orang lain untuk meresponnya. Karyawan yang sudah berpengalaman (lebih dari dua kali) melakukan tindakanketidaksopanan ditempat kerja jelas akan membentuk pemikiran pegawai lainnya bahwa perilaku tersebut dapat ditoleransi di tempat kerjanya. Hal ini jelas akan berefek pada perilaku ketidaksopanan pada pegawai yang baru inginmelakukannya.

Konsep yang diteliti Andersson dan Pearson (1999), menunjukkan beberapa bentuk tindakan setiap individu yang lebih mendalam. Tindakan yang dilakukan tersebut merupakan pelanggaran norma-norma di tempat kerja, namun semua tindakan yang dilakukan belum tentu merugikan organisasi dan rekan kerja, seperti tidak menggunakan seragam saat bertugas karena akan merugikan dirinya sendiri. Hal ini menjadikan ketidaksopanan di tempat kerja dalam hal merugikan diri sendiri masih ditoleransi, dikarenakan tindakan yang dilakukan belum sampai kearah norma-norma tidak manusiawi seperti pembunuhan, kekerasan, dan pemecatan.

(8)

8

Lingkungan kerja dapat berperan penting dalam mempengaruhi karyawan. Adanya dukungan yang dinyatakan oleh Wati (2014) yang memaparkan bahwa lingkungan kerja yang kondusif sangat berperan agar memunculkan motivasi dalam bekerja dan begitupun sebaliknya, karena apabila lingkungan kerja tidak kondusif dan hal tersebut akan membuat karyawan susah untuk mendapatkan motivasi kemudian cenderung akan memunculkan sebuah konflik.

Dampak yang terjadi dari workplace incivility behavior adalah bukan hanya setiap individu korban yang merasakan dampak negatifnya, melainkan organisasi atau instansi juga pelaku yang melakukan perilaku tersebut juga akan merasakan dampak kerugian. Kalsum (2017) mengemukakan bahwa tuntutan peran petugas pemadam kebakaran yang mengharuskan untuk tetap aktif selama 24 jam dapat menimbulkan konflik pada pekerja. Berdasarkan tahap hidup organisasi, semakin lama pekerja bekerja akan mengakibatkan semakin banyak juga masalah atau tekanan yang dialami oleh pekerja, dimana masalah atau tekanan yang di dapat oleh pekerja mengakibatkan perilaku yang menyimpang di tempat kerja (Kalsum, 2017). Dapat disimpulkan bahwa perilaku workplace incivility behavior mempunyai dampak yang luar biasa menyeluruh yaitu terhadap

setiap individu korban, organisasi atau instansi yang mengalami kerugian, oleh karena itu perusahaan sepatutnya memberikan perhatian yang intens kepada pelaku tidak beradab di tempat kerja (Sholichah, 2019).

Tidak hanya dampak, ada juga penelitian yang dilakukan demi mencari sebuah faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya workplace incivility behavior

(9)

9

ini. Faktor yang mempengaruhi workplace incivility behavior menurut Johnson dan Indvik (2001), diantaranya yaitu marah yang dilakukan oleh karyawan merupakan dampak buruk bagi pengusaha. Stress pada pekerjaan yang disebabkan adanya peningkatan laju kerja yang tinggi dapat menyebabkan penurunan energi mental atau fisik, stress yang berkepanjangan yang berkaitan dengan pekerjaan, sering disebut dengan istilah burnout (Labiib, 2013). Terlalu banyak pekerjaan sehingga menyebabkan para pekerja tidak bisa mencapai taget secara maksimal dan para pekerja dipaksa untuk memberi 10%, atau lebih dari gaji mereka agar bisa tetap bekerja.

Dalam penelitian ini peneliti memilih faktor dari Johnson & Indvik (2001) dengan menentukan fokus pada faktor stress pada pekerjaan, stress pada pekerjaan adalah peningkatan laju kerja yang sangat tinggi yang disebabkan oleh kurangnya komunikasi, peningkatan beban kerja, ketidaknyamanan kerja, perubahan organisasi, dan organisasi kerja yang buruk. Labiib (2013) berpendapat stress pada pekerjaan yang tidak sembuh-sembuh yang dialami individu dapat

menyebabkan penurunan energi mental atau fisik, yang biasanya disebut dengan istilah burnout.

Maslach, dkk (2009), mendifinisikan bahwa burnout/kelelahan adalah sindrom psikologis yang menanggapi stressor interpersonal kronis pada pekerjaannya. Menurut Maslach dkk, (2009) ada tiga dimensi utama dari respon ini yaitu kelelahan emosi, depersonalisasi, penurunan prestasi pribadi.

Salah satu faktor yang menyebabkan workplace incivility behavior yaitu emotional exhaustion atau kelelahan emosional. Kelelahan emosional merupakan

(10)

10

kondisi dimana seseorang merasa terkuras secara emosional dan kekurangan sumber daya emosional untuk beraktivitas. Ketika seseorang mengalami kelelahan secara emosional (emotional exhaustion) maka kemampuan kognitifnya untuk merespon orang lain dengan baik menjadi menurun. Hal tersebut dapat mempengaruhi kualitas interaksi yang terbentuk. Ia dapat menunjukkan perilaku negatif terutama pada sumber kelelahan emosionalnya. Beberapa penelitian juga menunjukkan bahwa pegawai yang mengalami kelelahan emosional terlibat dalam perilaku incivility dan perilaku tidak produktif selama bekerja (Van Jaarsveld, dkk, 2010). Burnout dapat diakibatkan dari tuntutan organisasi, perubahan organisasi, konflik interpersonal, dan gangguan pekerjaan/kehidupan yang mampu menimbulkan kelelahan dan menyebabkan emosi negatif pada karyawan. Emosi negatif dapat berupa permusuhan, frustasi, ketakutan, dan kesedihan. Emosi negatif dapat menyebabkan munculnya workplace incivility behavior di tempat kerja (Roberts, 2012).

Selain itu, Roberts (2012) juga menjelaskan bahwa karyawan yang bekerja full-time akan lebih mengalami kelelahan yang berlebih dibandingkan part-time. Hal tersebut dikarenakan komitmen mereka terhadap organisasi, tugas,

dan perubahan yang lebih rendah dibandingkan dengan karyawan penuh waktu.

Individu yang merasa terlalu banyak pekerjaan atau tekanan dapat merespon stress dengan menyerang rekan kerja mereka dengan cara yang kasar dan tidak

sopan. Adanya hubungan antara burnout dengan kemunculan incivility behavior di tempat kerja. Burnout dapat menyebabkan workplace incivility behavior.

Sehingga subjek dari penelitian ini adalah karyawan petugas pemadam kebakaran

(11)

11

yang memiliki posisi pada bagian non-management employee serta bekerja secara full-time.

Menurut Salari, (2014), burnout adalah masalah penting dalam kehidupan kerja. Burnout dapat mengakibatkan perubahan yang sangat serius seperti penurunan kehadiran dan kepuasan pekerjaan, peningkatan jumlah pengunduran diri, kinerja yang lebih rendah, penurunan ketergantungan kelompok. Salah satu efek dari kelelahan pada kehidupan kerja adalah kepuasan kerja pada karyawan.

Seorang individu yang tidak puas dengan pekerjaannya dan tidak dapat menemukan kedamaian yang dia inginkan dalam organisasi maka dia akan melakukan perilaku ketidaksopanan di dalam organisasi, gangguan moral dan motivasi yang tinggi.

Saat ini masih sedikit penelitian yang khusus meneliti tentang burnout dan workplace incivility. Istilah burnout memang tidak digunakan secara langsung, namun definisi dan alat ukur yang digunakan merupakan definisi burnout yang dikemukakan oleh Maslach, dkk (2001), yaitu burnout sebagai

respon berkepanjangan terhadap stresor emosional dan interpersonal di pekerjaan yang ditandai adanya kelelahan emosi, depersonalisasi, dan penurunan pencapaian diri.

Penelitian lainnya yang melibatkan variabel burnout dengan workplace incivility dilakukan oleh Loh dan Loi (2018) di Australia. Keduanya meneliti

hubungan workplace incivility (penyimpangan di tempat kerja) dan instigated workplace incivility (menghasut ketidaksopanan di tempat kerja) dengan burnout sebagai variabel mediator. Hasil penelitian menunjukkan bahwa burnout secara

(12)

12

positif menjadi mediator kedua variabel tersebut. Hal ini dikarenakan individu akan mengalami dampak negatif berupa kelelahan secara emosional yang lama kelamaan mengarah pada tindakan incivility. Peran burnout yang menjadi mediator antara workplace incivility dan instigated workplace incivility menunjukkan bahwa incivility menghabiskan sumber daya kognitif korban. Hal ini disebabkan karena ia kehilangan waktu dan energi dan merasa cemas jika hal tersebut terulang kembali. Burnout juga mempengaruhi perhatian dan pengendalian diri target karena terus menerus fokus pada dampak negatif yang muncul sehingga beresiko mengalami kelelahan yang akan mengarah pada perilaku incivility.

Menurut Handoyo, dkk (2018) ketidaksopanan di tempat kerja mengacu pada perilaku yang tidak memiliki sopan santun, dan perilaku yang tidak baik pada teman kerjanya. Ketidaksopanan juga dilakukan tanpa ada niat untuk menyakiti orang lain dan masih ambigu. Handoyo, dkk (2018) juga mengatakan bahwa 49,31% dari subjek hampir seminggu sekali mereka mengalami perilaku ketidaksopanan dari teman kerjanya dan 37,79 mengalami perilaku ketidaksopanan dari atasannya. Penelitian ini juga menunjukkan bahwa hanya beberapa karyawan (sekitar 12%) yang tidak mengalami perilaku tidak sopan, baik dari rekan kerja atau atasan mereka. Penelitian ini menunjukkan bahwa ketidaksopanan di tempat kerja adalah masalah penting yang dihadapi perusahaan saat ini.

(13)

13

Berdasarkan pemaparan latar belakang diatas, dapat ditarik rumusan masalah yaitu apakah terdapat hubungan antara burnout dengan workplace incivility behavior pada petugas pemadam kebakaran?

B. Tujuan dan manfaat

1. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dari penelitian ini yaitu untuk mengetahui hubungan antara Burnout dengan Workplace Incivility Behavior pada petugas pemadam kebakaran.

2. Manfaat Penelitian

Dengan dilakukannya penelitian ini, penulis berharap agar hasil penelitian yang ada dapat membawa banyak manfaat, baik itu dipandang secara teoritis maupun praktis bagi pengembangan ilmu masyarakat.

a. Secara Teoritis

Hasil penelitian ini dapat manambah wawasan ilmu psikologi, khususnya psikologi industri dan organisasi serta untuk mengetahui gambaran mengenai hubungan antara burnout dengan workplace incivility behavior

b. Secara Praktis

1) Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi bagi pembacatentang hubungan antara burnout dengan workplace inciviliy behavior dan bagi peneliti selanjutnya dapat menambah wawasan serta pengetahuan di bidang psikologi dalam memberikan informasi khususnya tentang burnout dan workplace inciviliy behavior.

(14)

14

2) Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi bagi instansi terkait yaitu petugas pemadam kebakaran DIY dan untuk menganalisa bagaimana pengaruh kelelahan terhadap perilaku menyimpang di tempat kerja.

3) Hasil penelitian ini semoga dapat menjadi referensi atau bahan informasi dalam penelitian yang meneliti variabel ini untuk kedepannya.

Referensi

Dokumen terkait

Dalam studi manajemen, kehadiran konflik pendidikan tidak bisa terlepas dari permasalahan keseharian yang dirasakan oleh pengelola lembaga pendidikan. Konflik tersebut

Berdasarkan pengamatan dan wawancara yang peneliti lakukan dengan Bapak Sutoyo S.Pd., selaku guru PJOK dan beberapa siswa pada tanggal 20-21 Maret 2015 di SDN

khususnya meliputi banyak faktor, antara lain: masih sulitnya akses bantuan hukum bagi masyarakat Sum Sel karena masih kurangnya pengetahuan mengenai bantuan

Untuk dapat mengatasi kendala tersebut yang bisa menghambat peningkatan kapasitas Yayasan Embun Surabaya, peneliti melakukan proses pengembangan kelembagaan supaya

a) Untuk mengetahui prevalensi infeksi STHs pada pekerja industri kerajinan genteng tradisional di Desa Pejaten Kecamatan Kediri Kabupaten Tabanan tahun 2015. b)

Dari tabel di atas dijelaskan pengembangan yang dilakukan Bandar Udara Internasional Ngurah Rai tahun 2013 terkait dengan penyediaan lahan atau luas fasilitasnya rata-rata

Dari penelitian pendahuluan telah dilakukan, maka dapat diidentifikasikan bahwa permasalahan yang terjadi yaitu waktu pengerjaan yang masih dianggap terlalu lama, tata letak

Dan partai LDP sebagai partai yang masih berkuasa secara mayoritas di Majelis Rendah, yang berarti bahwa calon kandidat dari Partai LDP mempunyai peluang lebih besar untuk