• Tidak ada hasil yang ditemukan

NILAI KEPEMIMPINAN DALAM TARI KINYAH MANDAU PADA MASYARAKAT SUKU DAYAK DI KALIMANTAN TENGAH.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "NILAI KEPEMIMPINAN DALAM TARI KINYAH MANDAU PADA MASYARAKAT SUKU DAYAK DI KALIMANTAN TENGAH."

Copied!
49
0
0

Teks penuh

(1)

DAFTAR ISI

ABSTRAK ...……..………...…..…... KATA PENGANTAR ...………...….….……. DAFTAR ISI ... DAFTAR GAMBAR ... DAFTAR BAGAN ... DAFTAR TABEL ...

BAB I PENDAHULUAN ..………...……...….………....….

I vi vii ix x xi 1

A. Latar Belakang ...………...………...……….... 1

B. Rumusan Masalah ...………..………... 11

C. Definisi Istilah ...………... 12

D. Fokus Penelitian ...………....………... 14

E. Tujuan Penelitian ...………... 15

F. Manfaat Penelitian ...………... 15

G. Metode Penelitian ...……….………... 17

H. Lokasi Dan Sampel Penelitian ... 21

BAB II LANDASAN TEORETIK ... 23

A.Pendekatan Multidisiplin dalam Kajian Terhadap Tari Kinyah Mandau Sebagai Pembawa Nilai Kepemimpinan ... B. Kajian Kembali Tentang Dayak : Suatu Reinterpretasi Demi Terhindarnya Prasangka ... C.Simbol Penciptaan dan Keseimbangan Kosmik secara Mitologi dalam Batang Garing pada Suku Dayak Ngaju di Kalimantan Tengah ... D.Burung Tertentu sebagai Acuan Simbolik Atas Konsep Nilai dan Sikap Hidup Manusia Suku Dayak ... E. ‘Kayau’, Makna Kepahlawanan dan Perang Menuju Keseimbangan Kosmik pada Suku Dayak ... 23 34 43 51 56 BAB III METODE ...…………...…………..…..…... 63

A. Metode Penelitian ………...……….…. B. Lokasi Penelitian ... 63 65 C. Teknik Pengumpulan Data ...………....…. 1. Kajian Pustaka ... 2. Observasi Partisipan ... 3. Wawancara Mendalam ... 65 66 67 74 D. Teknik Analisis Data ………... 78

(2)

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 82 A.Gambaran Umum tentang Masyarakat Suku Dayak di Kalimantan

Tengah ... 82 B. Konsep Dasar Kepemimpinan Manusia Suku Dayak di Kalimantan

Tengah ... 92

C.Pewarisan Nilai Kearifan Lokal Melalui Kesenian Sebagai Proses Pembudayaan pada Suku Dayak di Kalimantan Tengah ... 97 D.Tari Kinyah Mandau, Pembawa Nilai Kepemimpinan, Kepahlawanan

serta Kemanusiaan Suku Dayak ... E. Analisis Tekstual dan Kontekstual Tari Kinyah Mandau ...

1. Kelengkapan Tari Kinyah Mandau ... 2. Musik Iringan, Lantunan Resitasi, serta Vokal Penari Sebagai

penguat Ekspresi Pada Tari Kinyah Mandau ... 3. Ragam Gerak Kinyah Mandau... 4. Teknis Penyajian Tari Kinyah Mandau Gaya Suku Dayak Siang .... 5. Analisis Kontekstual Tari Kinyah Mandau ...

107 110 110 120 132 139 142 F. Perkembangan Tari Kinyah mandau dan hubungannya dengan Nilai

Kepemimpinan Suku Dayak ... 1. Makna Tari Kinyah Mandau dalam Kegiatan Upacara Adat Perkawinan ... 2. Nilai dan Makna Kinyah Mandau Bagi Kehidupan Masa Kini ...

147

147 149

BAB V KESIMPULAN, IMPLIKASI DAN REKOMENDASI 155

A. Kesimpulan ... 155 B. Implikasi dan Rekomendasi ... 155

DAFTAR PUSTAKA DAFTAR WAWANCARA GLOSARIUM

LAMPIRAN-LAMPIRAN:

A. Surat Keputusan Pengangkatan Pembimbing Penulisan Tesis B. Surat Ijin Penelitian

(3)

BAB I

PENDAHULUAN

A.LATAR BELAKANG

Bentuk dan muatan seni budaya di Indonesia tentu sangat beragam.

Semuanya memiliki dimensi kelokalan, keunikan dan kekhasan, serta bermakna

dan bermanfaat untuk membangun kehidupan dan jati diri manusia

pendukungnya. Kehadiran kesenian sebagai ekspresi budaya, diciptakan untuk

menjadi suatu penanda yang sebenarnya menyimbolkan kembali citra atas konsep

nilai kearifan budaya secara khas pada suatu bangsa atau suku bangsa

bersangkutan.

Upaya untuk menarik makna atas pengalaman hidup atas kesenian seperti

itu, dapat mengantarkan manusia budaya kepada pencapaian segenap kemampuan

terbaik. Sikap mawas diri, kemampuan kritis sekaligus kreatif atas pemberdayaan

lingkungan, etika dan moral, serta spiritual yang “berkesadaran membumi”, dapat

tumbuh secara bersama dan seimbang di dalam dirinya untuk kepentingan

pergaulan sosial. Segenap komponen kemampuan sikap itu, dapat menjadikan

seseorang yang sadar akan keberadaannya, serta memiliki rasa kepemilikan dan

tanggung jawab yang besar untuk memberikan segenap kemampuan terbaiknya

bagi kepentingan terjaganya eksistensi budaya dan pembangunan masyarakat

(4)

Pada pencapaian kesadaran itulah, laku kesenian yang membawa kearifan

budaya dapat pula mempengaruhi tumbuhnya kepercayaan diri, kewibawaan, dan

jiwa kepemimpinan pada diri seorang individu budaya. Kehadiran sosok seperti

itu tentu memberikan rasa aman, perlindungan dan kepercayaan dari masyarakat

komunitas budaya bersangkutan.

Suku Dayak merupakan salah satu sub bangsa Indonesia, suatu rumpun

etnik besar di daerah Kalimantan. Di Kalimantan Tengah, orang suku Dayak

disebut “uluh Dayak”, atau “dulun Dayak”. Riwut (2003:58-59) mengatakan

bahwa :

“... Istilah Dayak bisa disebut juga Daya (panggilan yang populer di Kaltim dan Kalbar) atau Daya Sahawung. ‘Dayak’ atau ‘Daya’ dalam bahasa Ngaju menunjukkan kata sifat sekaligus merujuk pada suatu arti yaitu kekuatan. Demikian pula ‘Sahawung’ yang berarti seorang dengan sifat kepahlawanan, gagah perkasa dan pantang menyerah. Dalam bahasa

sangen1, ‘Dayak’ juga dapat diartikan Bakena yang artinya gagah atau

cantik.”

Istilah Dayak sebagai nilai dan makna secara individu atau kelompok

mengarah pula kepada konsep nilai dan kepribadiannya secara ideal. Riwut (2003:

92) mengatakan bahwa ada empat kata sifat yang dominan mempengaruhi

kepribadian manusia Dayak yaitu : mamut, menteng, ureh, mameh. Mamut berarti

berjiwa kepahlawanan, menteng artinya perkasa, ureh artinya gagah, dan mameh

yang artinya nekat atau tanggap tanpa pikir panjang. Mameh lebih condong

kepada ‘greget’, namun secara konotatif seringkali pula diartikan dekat maknanya

dengan ketololan. Mameh seringkali dikaitkan pula dengan perilaku emosional

1

(5)

yang memuncak, sebagai akibat tak mampu lagi menahan diri atas kesakitan dan

penderitaan hati atau terlalu sering diperlakukan semena-mena oleh orang lain.

Riwut (2003: xxi) mengutip pula pernyataan ayahndanya Tjilik Riwut2,

yang mengungkapkan bahwa :

‘... pribadi manusia Dayak yang berkepribadian baik, adalah mereka yang dalam hidupnya tidak pernah melupakan leluhur, wajib juga berbudi luhur, berani menunjukkan identitas, serta mampu melakukan perjuangan pengendalian diri agar kelak apabila meninggal dunia mampu meninggalkan nama luhur yang dapat diteladani.’

Harapan atas manusia Dayak yang ideal itu ditambah dengan istilah “Jite

Keba” yaitu J – jujur, i – ikhlas, te – tekun, K – konsekuen, e – ela, ba – balecak

(ela balecak artinya jangan sombong).

Manusia tradisional Suku Dayak juga biasa tinggal dalam suatu kawasan

tempat tinggal yang tetap (rungus), dan hidup secara klan mendiami rumah

panjang yang disebut Betang. Kehidupan orang Dayak bersama alam,

memerlukan pengembangan kemampuan dan keterampilan hidup, serta upaya

pemenuhan atas kebutuhan dasar hidup secara individual dan kelompok. Potensi

alam sekitar kawasan betang berupa sungai, danau, hutan dengan segala isinya

memungkinkan manusia Dayak membentuk pula sistem budaya yang adaptif dan

berkearifan lingkungan dalam mengolah dan memanfaatkannya.

Ihwal itu menjadikan orang tradisional Dayak yang berkesadaran kepada

(6)

kesadaran atas upaya/usaha keberpihakan secara natural ataupun supranatural

terhadap nilai, konsep-konsep, dan perilaku yang dianggap baik. Hal itu pada sisi

lain sejalan dengan upaya/usaha mengendalikan bahkan meniadakan unsur

kehidupan secara natural maupun supranatural atas hal-hal yang dianggap tidak

baik. Biasanya semua diterapkan di dalam sistem budaya terkait dengan teknologi

tepat guna, kekerabatan sosial dan sistem kepercayaan. Secara aplikatif, nilai-nilai

itu tertuang pada aktivitas berburu/beternak, menangkap ikan, mengumpulkan

hasil hutan, berladang berpindah secara rotasi, cipta karya seni dan kerajinan,

upacara dan pesta, serta kegiatan ritual kepercayaan maupun profan.

Dengan semua itu, setiap komunitas suku Dayak membentuk konsep Hadat

(adat-istiadat, hukum, konvensi) dan acuan Belum bahadat (suatu aturan nilai,

etika, norma-norma perilaku) serta memaknai sistem nilai etik dan kepercayaan,

guna mengatur tata laksana kehidupan itu dalam keseimbangan kosmik secara

praktis, normatif dan religiusitas.

Pada masyarakat tradisonal suku Dayak dikenal pula keyakinan dan

kepercayaan yang disebut ‘Kaharingan’, yang berarti ‘Kehidupan’. Kepercayaan

dan pemujaan terhadap roh leluhur, pengakuan terhadap kekuatan alam gaib,

tercampur dengan penghargaan terhadap alam dan digambarkan secara animisme

dan dinamisme, serta pengakuan atas eksistensi Ranying Hatalla (Tuhan Yang

Maha Kuasa Semesta Alam). Di dalam kehidupan praktis dan magis, Roh-roh

leluhur dipercaya dapat memberikan ‘pertanda’ melalui kejadian alam, tindak

(7)

‘merasuk’ untuk memberikan kekuatan supranatural; guna menolong manusia

Dayak lepas dari tekanan keadaan bermasalah dalam hidupnya. Segala sesuatu

yang baik dipercaya telah diatur oleh Ranying Hatalla melalui ‘je Pahaga Petak

Danum’ (penjaga dan pemelihara tanah dan air).

Berdasarkan penjelasan di atas, dapat ditarik suatu kesimpulan awal bahwa

makna dari Dayak selalu dilekatkan dengan konsep nilai dan penerapan sikap

kepemimpinan, kepahlawanan, keberdayaan, keberpihakan kepada alam dan

sesama mahluk, serta keyakinan kepada Tuhan dan leluhur demi pencapaian

kemuliaan kehidupan.

Salah satu seni budaya tradisional suku Dayak yang cukup dikenal luas

sebagai penanda entitas kebudayaan Dayak Kalimantan di Indonesia adalah Tari

Kinyah Mandau atau Tari Mandau. Menarikan Kinyah Mandau sebenarnya tidak

hanya sekedar menari, namun berhubungan pula dengan upaya pembentukan

karakteristik, kesadaran sekaligus pendewasaan diri untuk berbudaya Dayak pada

manusianya. Bagi orang Dayak terutama Dayak Ngaju atau Out, menarikan

Kinyah Mandau merupakan sebuah aktualisasi nilai pribadi yang sigap, tangkas

dan mawas diri. Kinyah Mandau dikaitkan pula sebagai gambaran kearifan

manusia Dayak, sekaligus penanda suatu citra simbolik atas tingginya eksistensi

sosial dan kepercayaan kepada leluhur.

Tari Kinyah Mandau dapat dikatakan pula sebagai suatu aktualisasi nilai

(8)

sekaligus simbol kontemplasi diri atas manusia Dayak yang siap, berani dan rela

berkorban, berpenghargaan serta bertanggung jawab atas keseimbangan kosmik

kehidupan.

Pada masa lalu di kalangan masyarakat suku Dayak, seorang tokoh adat

yang dapat dikategorikan sebagai pemuka dan pemimpin masyarakat, dapat

dipastikan menguasai beragam bentuk kesenian sebagai wujud perwujudan

eksistensi sosial keadatannya. Tari Kinyah Mandau adalah materi seni yang paling

menonjol sebagai penanda atas kematangan eksistensi kepemimpinan itu.

Kesempatan untuk menampilkan Kinyah Mandau di tengah suatu perhelatan adat

dan upacara-upacara, tidak diberikan kepada sembarang orang. Pada sisi lain,

tidak sembarang orang dalam komunitas suku Dayak, berani menampilkan Kinyah

Mandau dengan berbagai alasan terkait etika dan norma adat dan kepercayaan,

keterbatasan kemampuan menyangkut penguasaan olah beladiri kuntau, tantuwu,

serta penggunaan kelengkapan senjata berupa mandau dan telawang.

Pada masa sekarang telah terjadi “disorientasi budaya modern atas nama

globalisasi” utamanya pada mayoritas manusia Indonesia terkini. Hal itu terutama

di kalangan masyarakat sosial budaya berkembang dan urban terutama di

perkotaan. Hakekat globalisasi budaya secara modern kemudian dianggap sebagai

implementasi fungsi-fungsi unifikasi, suatu totalitarian demi penegakan

imperiumisme nilai dan kepentingan ekonomi dan sosial, serta dimensi

(9)

Secara ekonomi, globalisasi cenderung menempatkan aktualisasi budaya

hanya dianggap sebagai pengembangan fungsi-fungsi kapital atas pemenuhan

sumber daya energi, eksistensi sosial, dan kebutuhan dasar atas sensualitas.

Konteks eksistensi sosial budaya secara ekonomi diletakkan pada ukuran standar

mutu atas popularitas, kepemilikan barang dan jasa, utamanya terkait

pemberdayaan serta perluasan atas hasil produksi, industrialisasi, serta

pemanfaatan kemajuan media informasi dan komunikasi terkini sebagai

pembaruan budaya. (Banding : Sontag, di dalam Copeland, 1998:101)3

Secara agama, globalisasi berbicara tentang proses unifikasi atas nilai dan

hakekat kehidupan berdimensi keagaamaan yang mengacu pada agama-agama

besar di dunia. Globalisasi nilai berdimensi agama cenderung menjadikan kearifan

budaya lokal terutama pada suku-suku bangsa di Indonesia menjadi tersegmentasi

atas entitas berdasarkan proses difusi, akulturasi, asimilasi (bandingkan :

Narawati, 2003 : 31) 4 dan inkulturasi agama. Dimensi pendekatannya dapat

berupa “pembudayaan agama” atau “peng-agamaan budaya”.

3

Roger Copeland, di dalam tulisannya yang berjudul “Between Description and Deconstruction”, sebagaimana di dalam buku “The Routledge Dance Studies Reader” (London dan New York: Routledge, 1998, 98-107). Copeland dalam tulisan itu, mengutip pernyataan Sontag yang mengutarakan tentang posisi penafsiran terhadap seni di suatu budaya dimana dilema klasiknya adalah pertumbuhan yang tidak sehat dari akal di atas kebutuhan kepada biaya energi dan pemenuhan kemampuan sensual; merupakan suatu pelemahan atas arti dan makna seni itu sendiri.

4

Narawati, 2003, dalam bukunya berjudul “Wajah Tari Sunda Dari Masa ke Masa”, yang mengutip penjelasan Kodiran sebagaimana di dalam tulisannya yang berjudul “Perkembangan

Kebudayaan Indonesia dan Implikasinya terhadap Perubahan sosial di Indonesia” (Pidato

(10)

Nilai-nilai kesukuan yang tadinya berpijak di atas khas-nya kearifan

budaya dan kepercayaan masyarakat lokal dalam mensikapi kehidupan sosial dan

lingkungan, kemudian diperhadapkan pada suatu proses yang cenderung reduktif

di atas proses adopsi, adaptasi, bahkan pemurnian nilai yang mengacu pada

dialogisasi tak seimbang antara nilai agama baru dan kearifan budaya lokal. Pada

kenyataan itu, pengaruh kepentingan ekonomi berbasis agama juga seringkali

turut serta mengambil bagian.

Bercermin kepada keadaan-keadaan di atas, perlu disadari bahwa

disorientasi atas makna globaliasi, telah mendorong terjadinya suatu

peng’gradasi’-an secara sistemik terhadap proses pemaknaan jati diri secara

individu maupun kelompok pada suatu komunitas masyarakat, di atas

eksistensinya sebagai pembawa nilai-nilai kearifan budaya lokal. Manusia suku

yang telah merasa modern, beragama, berpendidikan serta memiliki kedudukan

ekonomi dan sosial yang mapan; cenderung lupa untuk memaknai jatinitasnya

sebagai penanda budaya, di atas kesadaran terhadap tanggung jawab untuk

membawa identitas dan eksistensi budaya lokalnya.

Pengaruh disorientasi budaya atas nama globalisasi di atas, turut serta

mendorong manusia Dayak untuk melakukan penyesuaian-penyesuaian. Banyak

orang Dayak yang mengecap pendidikan, tinggal di daerah perkotaan, serta

memeluk agama/keyakinan baru; cenderung melupakan nilai mula kearifan hidup

budaya lokalnya. Di dalam hal berkesenian, kebanyakan orang Dayak pada masa

(11)

langsung dalam kegiatan kesenian tradisionalnya. Bentuk kesenian tradisional

yang membawa nilai kearifan dan keluhuran hidup manusia Dayak masa lampau,

dianggap ‘primitif’, kuno, tidak menarik bahkan mengandung unsur dosa terhadap

agama, occultisme serta pemujaan berhala.

Di kalangan masyarakat Dayak, perkembangan kehidupan seperti di atas

tampak memberikan pengaruh pula terhadap perkembangan seni budaya Dayak

termasuk pada tari Kinyah Mandau. Aspek penghargaan dan pemaknaan atas nilai

Kinyah Mandau serta nilai kepemimpinan di dalamnya, kemudian berkembang

menjadi pseudois dan artifisial. Kenyataan itu dapat dibuktikan dengan sulitnya

saat ini ditemukan lagi kehadiran tari Kinyah Mandau dalam acara-acara formal

maupun non formal di masyarakat dan pemerintahan. Banyak pejabat-pejabat

publik, pemimpin atau tokoh masyarakat di daerah tidak lagi mengenal bentuk,

nilai dan muatan kesenian budaya lokal, termasuk Kinyah Mandau. Apalagi untuk

menampilkannya. Kalaupun materi seni budaya atau Kinyah Mandau itu hadir

sebagai sebuah pertunjukan dalam suatu acara, dapat dipastikan bahwa kesenian

itu dihadirkan oleh para golongan tetua suku Dayak yang sudah renta atau

sanggar-sanggar seni budaya yang ada.

Pada perkembangannya, Kinyah Mandau kemudian menjadi satu jenis

tarian hiburan yang hadir dalam suatu ritus upacara atau kegiatan komunal

tertentu pada masyarakat tradisional suku Dayak di Kalimantan Tengah. Kegiatan

tetarian itu hadir di dalam suatu kegiatan komunal/keramaian secara tradisi pada

(12)

kegiatan tertentu sebe

masa tanam dan m

kemudian lebih kepad

sekaligus penanda ek

secara terbatas. Kiny

ditemui lagi di kalang

[image:12.595.115.513.248.646.2]

tinggal di daerah perk

Gambar 1.1 Festiv

Pada perkemb

Mandau selanjutnya

belum, saat dan sesudah masa tugal/manugal d

menuai panen padi. Namun, kehadiran Ki

ada kepentingan hiburan tontonan belaka; suatu

eksistensi seni budaya bagi kalangan masyara

inyah Mandau tidak ‘dilakukan’ dan ham

ngan masyarakat Dayak, utamanya di antara me

rkotaan dan hidup secara modern.

.1 Penari Kinyah Mandau dalam suatu baliho pr stival Budaya Isen Mulang Kalimantan Tengah

(dok. Disparsenibud Mura, 2009)

bangan seni budaya daerah suku Dayak di ma

a memang telah berkembang pula menjadi seb

dan manggetem;

Kinyah Mandau

atu ekspresi sosial

arakat suku Dayak

ampir tidak dapat

mereka yang telah

promosi ah

masa kini, Kinyah

(13)

khas suku Dayak yang sering dikreasikan kembali untuk kepentingan pertunjukan

hiburan, lomba/kompetisi tari daerah dan pariwisata. Keutamaannya sebagai

materi pariwisata dan ajang kompetisi kreasi karya tari tradisional antar daerah di

Kalimantan Tengah, beriringan dengan melemahnya pemaknaan atas nilai dan

fungsi Tari Kinyah Mandau sebagaimana di dalam kehidupan budaya tradisional

suku Dayak. Proses kreativitas Kinyah Mandau kemudian lebih menekankan

kepada impresa-impresa artistik serta pengembangan bentuk komposisi/

koreografi, yang cenderung meninggalkan aspek kaedah etika dan estetikanya

sebagai media pembentukan nilai dan kepribadian budaya pada manusia Dayak.

Hal itu memang menyebabkan Kinyah Mandau mengalami perkembangan berupa

revitalisasi atas bentuk, nilai dan fungsi di dalam masyarakat. Akan tetapi pada

saat bersamaan, mengalami pula proses degradasi nilai, fungsi dan kebermaknaan

awalnya sebagai salah satu bentuk kesenian pembawa muatan kearifan budaya

lokal masyarakat Suku Dayak.

B.RUMUSAN MASALAH

Kompleksitas nilai dan konsep perilaku kepemimpinan berdimensi budaya

dan kepercayaan manusia Dayak melalui kesenian di Kalimantan Tengah,

tampaknya dapat tergambar secara utuh salah satunya melalui Tari Kinyah

Mandau. Keberadaannya dapat menjadi salah satu acuan untuk melihat sekaligus

memaknai kearifan lokal seni budaya Dayak dalam membentuk nilai dan pribadi

(14)

masalah penelitian kemudian dirumuskan dalam bentuk pertanyaan sebagai

berikut.

1. Bagaimana bentuk tari Kinyah Mandau pada masyarakat suku Dayak di

Kalimantan Tengah?

2. Bagaimana proses pembentukan nilai kepemimpinan melalui tari Kinyah

Mandau?

3. Bagaimana hasil pembentukan nilai kepemimpinan melalui tari Kinyah

Mandau?

C.DEFINISI ISTILAH

Batasan nilai dalam tulisan ini adalah standar ukur atas kualitas yang ideal

terhadap sesuatu hal utamanya sikap dan perlakuan manusia terhadap

kaidah-kaidah yang menyangkut etika dan norma-norma sosial budaya yang dianggap

baik dan memuliakan serta berlaku di dalam suatu masyarakat.

Pemaknaan nilai sebagaimana dimaksud dalam tulisan ini adalah bagian

dari suatu proses pembudayaan manusia secara internalisasi budaya yang secara

luas semakna dengan pendidikan. Secara umum pendidikan pada hakekatnya

merupakan sebuah pilar dalam proses pengalihan, pewarisan, pelestarian sekaligus

pengembangan nilai kebudayaan.5 Dengan demikian, istilah pemaknaan nilai

dalam tulisan ini dimaknai sebagai pendidikan dalam suatu proses pembudayaan

manusia di atas standar kualitas hidup yang dianggap baik dan memuliakan, guna

mendasari semua perbuatan dan usaha dari suatu generasi untuk mengalihkan

5

Sumbangan pikiran PGRI kepada Konggres Kebudayaan Tahun 1991 yang berjudul “Pendidikan

(15)

pengetahuan, pengalaman, kecakapan, keterampilan, dan sikapnya kepada

generasi berikutnya.

Pemaknaan nilai melalui proses pembudayaan itu dapat pula dimaknai

sebagai upaya mempertahankan eksistensi kehidupan budaya. Fungsi internalisasi

berdimensi pemaknaan nilai dalam dimensi pendidikan sebagai proses

pembudayaan, merupakan kekhasan dari suatu kesatuan sosial masyarakat. Hal itu

adalah untuk menjamin keutuhan budaya dari masyarakat yang bersangkutan

sedemikian rupa, sehingga kelangsungan eksistensi masyarakat tersebut terjaga.

(Bandingkan : Sedyawati, 1996:75)

Istilah Tari Kinyah Mandau dalam tulisan ini adalah seni tari suku Dayak

dengan menggunakan senjata tradisional mandau dan perisai talawang, yang

hidup dan berkembang dalam tradisi di kalangan masyarakat rumpun suku Dayak

Ngaju (ngaju’, Out danum, Out Siang/Siou, atau pada komunitas suku Dayak di

wilayah pedalaman kalimantan, seperti: Punan, Bahau maupun rumpun Dayak

Klementen atau Dayak darat lain. Rumpun komunitas suku Dayak Ngaju itu

secara umum tersebar luas di wilayah DAS Kapuas, Kahayan, Katingan, Mentaya,

Barito serta DAS lain utamanya di Kalimantan bagian tengah.

Pemaknaan nilai kepemimpinan melalui tari Kinyah Mandau sebagaimana

dimaksud dalam tulisan ini adalah segenap upaya untuk memberikan pengalaman

edukasi melalui tari Kinyah Mandau, yang dapat mentransformasi diri manusia

Dayak guna memiliki nilai kepemimpinan berdasarkan konsep ideal masyarakat

(16)

Masyarakat suku dalam konteks Indonesia adalah komunitas manusia suku

bangsa dan/atau sub suku bangsa yang masih memegang teguh kaidah nilai

kearifan budaya lokal di dalam kontinuitas dan perubahannya sebagai perwujudan

hidup secara turun-temurun.

Batasan yang dimaksud dengan masyarakat suku Dayak pada tulisan ini

adalah rumpun atau komunitas suku Dayak Ngaju, Out Danum, dan suku Dayak

Siang terutama di wilayah Kabupaten Murung Raya Kalimantan Tengah. Ihwal

batasan ini karena seperti manusia atau komunitas suku lainnya di Indonesia,

individu dan komunitas suku Dayak ada pula yang tinggal dan menetap di wilayah

atau daerah lain di Kalimantan dan Indonesia pada umumnya.

D.FOKUS PENELITIAN

Fokus Penelitian diutamakan kepada pembermaknaan hasil dan proses

kegiatan seni tari Kinyah Mandau sebagai sebentuk internalisasi nilai

kepemimpinan pada masyarakat suku Dayak di Kalimantan Tengah. Teknis

pendekatan penelitian lebih diutamakan kepada telaah dokumen, pernyataan lisan,

serta observasi untuk menuntun kepada pembermaknaan atas peristiwa-peristiwa

budaya terkait seni dan laku berkesenian Kinyah Mandau, yang diyakini

berhubungan dengan aktuaalisasi semangat, kepribadian dan nilai kepemimpinan

suku Dayak.

Bentuk materi seni Kinyah Mandau memang merupakan artefak yang

nyata dan perlu diinterpretasikan sebagai data penunjang penelitian, namun

(17)

nilai dan sikap kepemimpinan pada manusia Dayak di Kalimantan Tengah,

menjadi telaah kritis yang juga diutamakan. Oleh karena itu Kinyah Mandau akan

diupayakan untuk dikupas secara teks dan konteks dengan berbagai pendekatan

multidisiplin. Keutuhan beragam aspek tari Kinyah Mandau akan ditelaah

analisisnya dengan payung penelitian Etnokoreologi, dan secara multidisiplin

dicermati analisisnya dengan teori dan pendekatan Semiotika, Hermeneutik,

Psikologi perilaku (Behaviourisme) , dan Performance Studies.

E.TUJUAN PENELITIAN

1. Menganalisis bentuk tari Kinyah Mandau pada masyarakat suku Dayak di

Kalimantan Tengah.

2. Mehamami proses pembentukan nilai-nilai kepemimpinan melalui tari Kinyah

Mandau pada masyarakat suku Dayak di Kalimantan Tengah.

3. Menenemukan nilai kepemimpinan suku Dayak di kalimantan Tengah melalui

tari Kinyah Mandau.

F. MANFAAT PENELITIAN

1. Manfaat Teoretis

Memperkuat disiplin Ilmu Tari dan metode Etnokoreologi untuk pengembangan

pendidikan Seni Tari.

2. Manfaat Praktis

a. Untuk masyarakat umumnya, berguna sebagai suatu kajian awal untuk

(18)

berguna pula untuk mendasari perenungan sekaligus landasan kajian lebih

lanjut untuk penguatan eksistensi kedaerahan beserta kearifan budaya daerah

bagi ketahanan nasional Indonesia.

b. Untuk masyarakat utamanya suku Dayak di Kalimantan Tengah, berguna

sebagai suatu kajian awal untuk proses reinternalisasi budaya berkearifan lokal.

Hal ini utamanya bagi masyarakat tradisional suku Dayak di Kalimantan

Tengah yang mulai turut mengalami degradasi nilai kepemimpinan, transisi

budaya dan berkembang menjadi masyarakat pra-kota, kaum urban baru atau

modern, bahkan menjadi masyarakat kota.

c. Untuk peneliti, berguna sebagai penambah wawasan berupa penemuan atas

pengetahuan dan kesadaran atas nilai kepemimpinan melalui laku berkesenian

berkearifan daerah.

d. Untuk pendidikan, berguna sebagai bahan awal untuk melandasi pemenuhan

atas unsur nilai dan muatan pendidikan berbasis kebudayaan daerah, utamanya

terkait kebutuhan akademis khususnya untuk pengembangan kurikulum, model

pembelajaran, dan materi/bahan ajar, terkait pengembangan pendidikan

kesenian bermuatan kearifan budaya lokal pada pendidikan formal dan non

formal.

e. Untuk pendidikan sebagai suatu proses pembudayaan, berguna untuk

melandasi suatu kajian awal dan lanjutan, terutama untuk pertukaran informasi

edukatif guna membantu proses multikulturalisasi melalui proses kesadaran

(19)

fungsi dan bentuk seni budaya, dalam proses hidup lintas suku bangsa yang

tengah terjadi dalam dimensi kehidupan nasional Indonesia.

G.METODE PENELITIAN

Penelitian ini menggunakan payung Etnokoreologi dengan menggunakan

beberapa teori sebagai pendekatan. Dengan demikian penelitian ini dapat disebut

penelitian dengan menggunakan pendekatan multidisiplin. Beragam fenomena

dalam seni Kinyah Mandau pada masyarakat tradisional suku Dayak sebagai

pembentuk nilai dan pribadi kepahlawanan pada manusianya perlu digali lebih

dalam. Sumber deskriptif dalam waktu, peristiwa/kejadian, pelaku serta bentuk

situasi sosial terkait Kinyah Mandau pada masyarakat suku Dayak selama ini,

sangat perlu diamati, dikaji dan dianalisa secara mendasar.

Untuk mengkaji nilai kepemimpinan dalam tari Kinyah Mandau pada

masyarakat suku Dayak di Kalimantan Tengah, diperlukan suatu pendekatan

multidisiplin. Untuk itu, disiplin ilmu yang dipilih sebagai payung penelitian

adalah Etnokoreologi. Sebagai suatu kajian guna mengupas lapis-lapis komponen

sosial budaya menyangkut nilai dan fungsi, serta entitas kebudayaan etnik yang

membingkai suatu karya tari, Etnokoreologi kemudian ditempatkan sebagai suatu

penelaahan tekstual sekaligus kontekstual secara komplementer. Disinilah aspek

penelaahan tari Kinyah Mandau sebagai materi artefak budaya kemudian

(20)

membawa nilai kepemimpinan manusia di Kalimantan Tengah atas dasar konteks

budaya suku Dayak yang melingkupinya.

Teknik pengumpulan data dilakukan dengan teknik triangulasi pada sumber

maupun hasil. Teknik triangulasi dalam pengumpulan data penelitian dilakukan

dengan kegiatan observasi partisipan, wawancara mendalam dan studi

dokumentasi.

Untuk melengkapi penelaahan tekstual Etnokoreologi, Semiotik

dipergunakan guna mencermati aspek tekstual pada bentuk dan struktur atas tari

dan gerak tari Kinyah Mandau. Geertz di dalam Narawati (2003: 43) mengatakan

bahwa konsep kebudayaan secara esensial adalah konsep semiotik. Adapun

semiotik yang dimaksudkan dalam tulisan ini adalah pendekatan analisis atas tari

Kinyah Mandau sebagai teks seni pertunjukan yang tampil dalam multilapis,

sebagaimana dikemukakan oleh Marco de Marinis (Narawati, 2003 : 48). Di

dalam pemaknaan ini, tari Kinyah Mandau perlu dibaca dan diinterpretasikan

sebagai materi teks yang membawa konsep-konsep budaya masyarakat Dayak.

Untuk melengkapi pendekatan semiotik atas tari Kinyah Mandau seperti

dimaksud di atas, pandangan Arnold Hauser tentang “art as product of society”

(Narawati, 2003), sangat membantu melihat aspek kesejarahan dan sosiologi

masyarakat Dayak selaku ‘produser’ tari Kinyah Mandau. Kesejarahan tradisional

suku Dayak terkait masa perang Kayau, serta konsep kosmik mitologi

(21)

moyangnya; dapat dilihat pengaruhnya terhadap tekstual tari Kinyah Mandau

sebagai penanda Budaya.

Ada beberapa teori dan terkait yang dimungkinkan di dalam penulisan ini

untuk mengupas hubungan tari Kinyah Mandau dengan pembentukan nilai

kepemimpinan. Teori dan konsep itu adalah Hermeneutik, Performance Studies,

dan Psikologi perilaku (Behaviorisme). Ketiga pendekatan ini lebih dipilih karena

dianggap cocok pula untuk mengupas hal terkait hubungan antara teks tari Kinyah

Mandau dengan nilai masyarakat, nilai kesenian, serta nilai tari Kinyah Mandau

itu sendiri dalam membentuk nilai dan pribadi kepemimpinan manusia Dayak.

Nilai-nilai kepemimpinan adalah sebagian besar dari konsep ideal yang

paling melekat dalam tari Kinyah Mandau. Posisi eksistensi sosial, pembentukan

diri dan kepribadian, serta penghayatan mendalam atas keyakinan/religiusitas

yang hadir dalam dimensi budaya suku Dayak, sangatlah berpengaruh terhadap

kosmik penampilan dan kepentingan kehadiran tari itu. Melalui pendekatan

Hermeneutik, nilai seni serta kompleksitas nilai kearifan budaya yang

menyertainya diyakini dapat diungkap secara lebih terang.

Pendekatan Performance Studies dalam mengkaji seni budaya kearifan lokal

juga sangat menarik dilakukan. Schechner (2006:1-2) mengatakan bahwa

kekhasan Performance studies terletak pada : 1) perilaku manusia selaku obyek

kajian, 2) pengalaman artistik merupakan bagian utama dalam kegiatan kajiannya,

(22)

mendalam dan langsung observer dalam suatu peristiwa artistik (kesenian)

merupakan jalan utama untuk mempelajari perilaku budaya, guna menghindari

pemetaan kebudayaan secara dikotomistik atau perbandingan dengan kebudayaan

lain, 4) performance studies selalu sebagai ‘kajian netral’ atas kenyataan praktis

sosial.

Berdasarkan konsep tentang “ritual penampilan dan penampilan ritual” pada

seni di dalam suatu komunitas budaya, tari Kinyah Mandau dapat ditempatkan

sebagai tari ritual. Menarikannya merupakan suatu ritual bagi pribadi pelakunya,

bagi penyaksinya, juga bagi masyarakat suku Dayak terkait dengan fungsi-fungsi,

sesuai dengan lingkup nilai dan konsep budaya Dayak yang menyertainya.

Untuk dapat melihat aspek hubungan perilaku manusia suku Dayak,

peniruan perilaku burung-burung yang dianggap sakral, serta hubungannya

dengan karakteristik gerak tari Kinyah Mandau yang membawa nilai

kepemimpinan; maka konsep perilaku Desmond Morris6 yang dipergunakan.

Morris dalam Narawati (2009 : 32) mengutarakan ada lima konsep tentang

asal-muasal perilaku manusia, yaitu : inborn action, discovered action, absorsed

action, trained action, dan mixed action. Aspek gerak dan perilaku tangkenyah,

penguasaan beladiri kuntau dan tantuwu sebagai hasil latihan, serta gerak

maknawi dan ekspresif terkait perilaku burung tertentu; menjadikan kesatuan

gerak tari Kinyah Mandau menggabungkan unsur discovered action, absorbed

6

(23)

action, dan trained action. Dengan demikian, tari Kinyah Mandau dapat dikatakan

berunsurkan perilaku mixed action.

Melalui semua pendekatan di atas, kebebasan interpretasi dan penelaahan

mendalam terhadap kesenian berkearifan lokal dalam masyarakat suku Dayak di

Kalimantan Tengah sepertinya dapat dilakukan.

Secara teknis penelitian, kegiatan pengumpulan dan pengolahan data dapat

dibagi menjadi tiga, yaitu : pertama, pengumpulan dan analisis terhadap data

sekunder dan primer berupa skrips kepustakaan untuk mendukung landasan kajian

teoretis penelitian sekaligus mendukung analisisnya. Kedua, pengumpulan data

primer atas fakta dari observasi lapangan yang berhubungan dengan seni dan laku

seni Kinyah Mandau. Ketiga, teknis wawancara mendalam terhadap subyek

pelaku sumber-sumber data. Tujuannya untuk menggali kebermaknaan mereka

atas nilai seni dan budaya Dayak, nilai dalam Kinyah Mandau, dalam membentuk

nilai kepemimpinan pada masyarakat tradisional suku Dayak.

H.LOKASI DAN SAMPEL PENELITIAN

Penelitian akan dilakukan di beberapa tempat komunitas tradisional suku

Dayak yang dianggap masih memiliki seni Kinyah Mandau dengan akar-akar

kehidupan budaya tradisi yang masih kental. Guna memfokuskan penelitian,

daerah-daerah itu ditentukan Kabupaten Murung Raya Kalimantan Tengah,

tepatnya di Kecamatan Murung, Kecamatan Sungai Babuat, serta sekitar Kota

(24)

Adapun narasumber untuk wawancara mendalam, adalah mereka yang

dianggap memiliki keterkaitan secara nilai dan muatan dengan seni budaya dalam

membentuk kehidupannya. Mereka adalah pelaku, pendukung dan pemerhati,

serta penentu kebijakan pendidikan dan kebudayaan, utamanya terkait eksistensi

seni budaya berkearifan budaya dalam membentuk karakter manusia Dayak di

(25)

BAB III

METODE

A.METODE PENELITIAN

Penelitian ini menggunakan payung Etnokoreologi dengan dukungan teori

dan pendekatan lainnya secara multidisiplin. Beragam fenomena dalam seni

Kinyah Mandau pada masyarakat suku Dayak sebagai pembawa nilai dan pribadi

kepemimpinan pada manusianya perlu digali lebih dalam. Sumber deskriptif

dalam bentuk tari, waktu, peristiwa/kejadian, pelaku tari serta bentuk situasi sosial

terkait Kinyah Mandau pada masyarakat suku Dayak selama ini, sangat perlu

diamati, dikaji dan dianalisa secara mendalam.

Seluruh aspek tentang apa dan bagaimana bentuk implementasi Kinyah

Mandau pada msyarakat suku Dayak di Kalimantan Tengah, diupayakan dapat

dikupas secara mendalam guna melihat implementasinya pada pembentukan jati

diri kepemimpinan pada manusia Dayak di masa lalu, kini dan mendatang. Hasil

analisa dan kajian itu dipergunakan untuk menuntun penemuan teori; pencapaian

sintesa pemikiran terbaru, terutama terkait dengan peran seni budaya tradisional

suku Dayak khususnya yang membawa, memberdayakan dan memanfaatkan

(26)

Untuk melandasi kajian penelitian diperlukan suatu pendekatan secara

multidisiplin. Pendekatan multidisiplin dimaksudkan untuk melihat lebih jelas

kehadiran teks tari Kinyah Mandau dalam dalam membawa konteks budaya

masyarakat suku Dayak yang melingkupinya. Hal ini utamanya terkait dengan

nilai dan fungsi tari itu melalui proses dan hasilnya, untuk membentuk nilai

kepemimpinan pada masyarakat Suku Dayak di Kalimantan Tengah. Untuk itu,

disiplin ilmu yang dipilih sebagai payung penelitian adalah Etnokoreologi, di

bantu dengan teori dan pendekatan Semiotika Marco de Marinis, Hermeneutik,

Psikologi perilaku manusia Desmond Moris, dan Performance Studies.

Semiotik dipergunakan untuk menelaah aspek interpretasi terhadap Kinyah

Mandau serta kaitannya sebagai suatu tanda yang membawa tanda-tanda sosial

budaya yang melingkupinya. Untuk melengkapi pendekatan Semiotik atas tari

Kinyah Mandau, aspek kesejarahan suku dan sosiologi masyarakat Dayak selaku

‘produser’ tari Kinyah Mandau juga dapat dilihat. Pandangan Arnold Hauser

tentang “art as product of society” atau seni sebagai produk sosial masyarakat

sangat membantu untuk melihat hubungan tari Kinyah Mandau sebagai produk

budaya yang membawa nilai kepemimpinan pada masyarakat suku Dayak di

Kalimantan tengah. Hermeneutik dipergunakan untuk menggali nilai atas seni

Kinyah Mandau sebagai materi yang membawa kompleksitas nilai budaya di

dalam masyarakat Dayak di Kalimantan Tengah. Sebagai salah satu kajian,

Hermeneutik digunakan pula untuk mencermati hubungan antara: 1) nilai tari

Kinyah Mandau, 2) nilai etik-normatif-religiusitas budaya pada masyarakat suku

(27)

Performance Studies dipergunakan untuk melihat Kinyah Mandau

dikaitkan dengan teknis penampilan dan impresa artitik yang hadir, serta

hubungannya dengan nilai dan lingkup implementasi budaya masyarakat, pada

saat seni tari itu dihadirkan.

B.LOKASI PENELITIAN

Penelitian akan dilakukan di beberapa tempat komunitas tradisional suku

Dayak yang dianggap masih memiliki seni Kinyah Mandau dengan akar-akar

kehidupan budaya tradisi yang masih kental. Lebih fokus lagi pada masyarakat

suku Dayak berkepercayaan Hindu Kaharingan atau komunitas suku Dayak yang

masih membermaknakan kearifan lokalnya melalui laku berkesenian. Guna

memfokuskan penelitian, daerah-daerah itu ditentukan Kabupaten Murung Raya

Kalimantan Tengah, tepatnya di Kecamatan Murung, Kecamatan Sungai Babuat,

serta sekitar Kota Purukcahu Kabupaten Murung Raya.

Alasan dipilihnya tempat itu sebagai lokasi penelitian didasarkan pada

pertimbangan bahwa : 1) pada wilayah itu hidup mayoritas masyarakat suku

Dayak Siang. Out Danum, serta Dayak Ngaju, selaku pemilik seni tari Kinyah

Mandau, 2) masyarakat suku Dayak di wilayah itu nya merupakan komunitas

masyarakat Dayak paling hulu, dan secara mayoritas masih murni, memegang

nilai dan kaedah budaya tradisi 3) sebagian besar masyarakat, belum tersentuh

pola hidup modern dan perkotaan.

C. TEKNIK PENGUMPULAN DAN PENGOLAHAN DATA

(28)

sebanyak mungkin dari berbagai sumber1 melalui berbagai metode atau

pendekatan (Chaedar : 2009). Triangulasi juga merupakan teknik pengumpulan

data yang bersifat menggabungkan dari berbagai teknik pengumpulan data dan

sumber data yang telah ada (Sugiyono: 2009). Teknik triangulasi dalam

pengumpulan data penelitian dilakukan dengan kegiatan observasi partisipan,

wawancara mendalam dan studi dokumentasi.

Secara teknis penelitian, prosedur kegiatan pengumpulan dan pengolahan

data dapat dibagi menjadi tiga, yaitu : pertama, pengumpulan dan analisis

terhadap data sekunder dan primer berupa skrips kepustakaan untuk mendukung

landasan kajian teoretis penelitian. Kedua, pengumpulan data primer atas fakta

dari observasi lapangan yang berhubungan dengan seni dan laku seni Kinyah

Mandau dalam membentuk nilai kepemimpinan pada masyarakat tradisional suku

Dayak. Observasi lapangan lebih kepada observasi partisipan, dengan maksud

agar penulis dapat menemukan data dan fakta secara mendalam. Ketiga, Teknis

wawancara mendalam terhadap subyek pelaku sumber-sumber data.

1. Kajian Pustaka

Untuk dapat melihat pembentukan nilai kepemimpinan melalui tari Kinyah

Mandau pada masyarakat suku Dayak di Kalimantan Tengah, diperlukan kajian

komprehensif terkait konsep tentang : 1) pembentukan nilai kearifan budaya

sebagai proses pembudayaan yang semakna dengan pendidikan di dalam

masyarakat budaya suku Dayak dan suku-suku bangsa di Indonesia pada

umumnya, 2) nilai dan makna kepemimpinan berdasarkan konsep ideal

1

(29)

masyarakat suku Dayak di Kalimantan Tengah, 3) konsep tentang suku Dayak dan

kehidupan sosial budaya masyarakatnya, 4) nilai dan makna kesenian dalam

membentuk kepribadian berkearifan budaya lokal pada masyarakat suku Dayak,

5) hubungan tari Kinyah Mandau dengan nilai-nilai terkait simbol eksistensi

sosial, kepercayaan, dan religiusitas pada masyarakat suku Dayak di Kalimantan

Tengah, 6) kajian-kajian terdahulu terkait tari Kinyah Mandau pada masyarakat

suku Dayak di Kalimantan Tengah.

Berkenaan dengan hampir tidak adanya kepustakaan yang memadai untuk

mengupas nilai dan makna tari Kinyah Mandau pada masyarakat suku Dayak di

Kalimantan Tengah, maka aspek kajiannya diubah dengan penelaahan sekaligus

pencatatan kembali bentuk dan struktur tari, berdasarkan apa yang penulis ketahui

dan lihat terkait pertunjukan dan penampilan tari Kinyah Mandau dalam kegiatan

sosial masyarakat yang pernah ada.

2. Observasi Partisipan

a. Observasi Internal penulis sebagai seorang Dayak dan pelaku seni suku Dayak

Penulis juga adalah seorang bersuku Dayak, campuran Dayak Ngaju dan

Dayak Siang dari darah bapak, serta Dayak Ma’anyan dan Lawangan dari darah

ibu. Kebetulan pula orang tua/bapak penulis (sekarang sudah almarhum) adalah

seorang ‘mantan’ seniman tari dan musik tradisional, seorang pesilat (pelaku

kuntau dan ahli tantuwu). Dia juga mantan seorang guru dan dosen, serta

PNS/Birokrat yang pernah menduduki jabatan-jabatan strategis selaku eksekutor

(30)

Didikan dan arahannya melalui laku berkesenian dan hidup, serta darah

percampuran suku Dayak dalam diri penulis terasa menarik pula untuk ditelaah.

Pada posisi ini, pendekatan observasi partisipan yang digunakan adalah menggali

kembali segenap pengetahuan, wawasan dan kebermaknaan penulis atas hal-hal

terkait dengan jiwa kepemimpinan dan kebijaksanaan hidup berkearifan melalui

laku berkesenian, sebagaimana telah terbentuk dalam diri penulis selama ini.

b. Mencermati rekan-rekan sejawat seniman di Palangka Raya

Sebelum masa observasi lapangan, penulis sering memantau kegiatan seni

utamanya seni tari dan musik suku Dayak Kalimantan Tengah khususnya di

Palangka Raya. Apabila sedang berada di Palangka Raya,2 penulis selalu

menyempatkan diri mengunjungi rekan birokrat seni atau memantau langsung

aktivitas sanggar-sanggar seni tari dan musik daerah yang ada. Penulis juga

memiliki sanggar seni bernama “Tutwuri Handayani”, yang dikelola oleh kerabat

dan keponakan yang berasal dari Murung Raya dan Gunung Mas. Hal kunjungan

dan pantauan itu terkait panggilan jiwa, karena dedikasi dan rasa tanggung jawab

terhadap eksistensi seni budaya daerah. Di sana penulis sering berkumpul dengan

beberapa rekan, baik seniman senior maupun yunior; seperti Syaer Sua, Parada L.

KDR, Dr. Adijaya, Gerhard Gere Massal, Chendana Putra, Benny Tundan, Tahta

Rahmanda, dan lainnya.

Apabila diukur berdasarkan standar profesionalitas berkesenian, tidak

banyak seniman praktis ataupun birokrat seni yang ada di Palangka Raya

2

(31)

merupakan seniman murni atau akademis, atau individu yang menggantungkan

hidupnya melalui berkesenian. Banyak di antara mereka adalah seniman muda,

yang seumuran dengan penulis. Kalaupun ada yang sudah tua, kehadiran mereka

dalam latihan-latihan dan proses karya, biasanya sangat terbatas terkait kegiatan

pokok lain yang harus dikerjakan. Hampir semuanya belajar seni secara otodidak.

Lingkungan budaya, keluarga serta pergaulan sosial yang selalu dekat dengan

kegiatan seni budaya memang banyak berpengaruh kepada mereka untuk memilih

berkesenian praktis atau menjadi birokrat seni. Kebanyakan mereka mau

berkecimpung dalam dunia seni praktis adalah karena kecintaan, hobby, ‘peye’

dan tentunya honor/uang. Namun, mereka terlihat sangat intens, serius dan

bersemangat, bahkan berdisiplin pada saat melakukan proses latihan dan

pengkaryaan.

Terkadang penulis juga berdiskusi dengan mereka mengenai

bingkai-bingkai nilai suatu seni tari dan musik tradisional, serta upaya-upaya

pengkaryaaannya kembali untuk berbagai kepentingan. Misalnya untuk

penampilan di acara formal pemerintah, perkawinan adat Dayak, hiburan

tradisional rakyat, seni wisata dan wisata edukasi seni, ataupun seni sebagai

bagian upacara dan perayaan keagamaan (Kaharingan, Kristen, ataupun Islam).

Diskusi juga banyak menyangkut aspek impresa artistik, terkait etik dan estetik

yang didapat pada saat berkesenian terhadap diri sendiri dan orang lain. Standar

ukurnya terkait kepuasan dan spiritualitas diri dalam berekspresi, dan kepuasaan

orang lain yang dibuktikan dengan tingkat intensitas ‘peye’, atau ‘ditanggap’.

(32)

pengkaryaannya, tetapi juga aspek kualitas, keseriusan untuk pemberdayaannya

secara lebih jauh, sampai kepada sistem organisasi seni dan seniman dan

manajemen. Ditemukanlah suatu kebermaknaaan, bahwa seni kemudian sangat

terkait dengan pengelolaan diri dan kemampuan, leadership, pengelolaan seni dan

kesenimanan, serta pengaruhnya terhadap tubuh kembang seni budaya dan

masyarakatnya secara luas. Di situlah, penulis berusaha menangkap nilai dan

makna berkehidupan melalui aktivitas berkesenian yang rekan-rekan seniman lain

lakukan.

c. Observasi lapangan di Kabupaten Murung Raya

Pada tanggal 12-25 Agustus 2011, penulis berangkat ke Kabupaten Murung

Raya untuk observasi lapangan. Murung Raya adalah daerah asal dari almarhum

bapak, tempat dimana mayoritas suku Dayak Siang, Murung dan Out Danum

tinggal. Pada komunitas di hulu sungai Barito itulah, seni tari Kinyah Mandau

hadir sebagai salah satu materi seni budaya masyarakatnya.

Di Puruk Cahu Penulis juga berupaya hadir maja (bertamu; mengunjugi) di

dalam setiap perkumpulan sosial dan keagamaan masyarakat setempat, seperti

kebaktian/sembahyang keluarga, makan bersama, acara minum baram/anding, dan

sebagainya.

Penulis berkesempatan pula untuk maja pada kegiatan sanggar seni budaya

yang ada, seperti di sanggar tingang bohombit, atau komunitas seni budaya tira

(33)

komunitas/sanggar itu sedang mempersiapkan materi karya seni untuk

keberangkatan tim kesenian pada kegiatan seni budaya di luar daerah.3

Di Puruk Cahu penulis bertemu pula dengan beberapa seniman dan

‘mantan’ seniman budaya lokal seperti Idontori, Fandelis Tito, Vithelius Ubang,

Doni, Hardianto, Laping, dan lainnya. Di situ penulis banyak berdiskusi tentang

banyak hal, terkait kegiatan seni budaya setempat, serta kebijakan-kebijakan

kebudayaan pemerintah daerah setempat. Pada kesempatan itulah peneliti

menelaah secara menyeluruh hal-hal terkait dengan situasi dan kondisi

masyarakat, eksistensi kesenian dan seniman serta perkembangan kebudayaan di

kalangan masyarakat utamanya pada suku Dayak Siang dan Out Danum yang ada

di Puruk Cahu dan sekitarnya.

Terkait dengan tari Kinyah Mandau, kesempatan berdiskusi dengan seniman

lokal penulis gunakan untuk : 1) mengkonfirmasi validitas atas catatan-catatan

tentang Kinyah Mandau yang telah dibuat penulis sebelumnya, 2) menginvetarisir

individu, lokasi dan wilayah penelitian yang masih menempatkan Kinyah Mandau

sebagai bagian dari seni budayanya, 3) menginventarisir narasumber tokoh

adat/masyarakat dan pemerintah setempat untuk wawancara mengenai hubungan

seni budaya, terutama terkait tari Kinyah Mandau yang membawa sekaligus

membentuk nilai kepemimpinan di dalam diri mereka. Berdasar hasil itulah

3

(34)

ditetapkan wilayah penelitian adalah Kecamatan Sungai Babuat khususnya di

wilayah desa Bantian dan Tumbang Apat. Di kedua desa itu, terpadat pula situs

rumah betang tua yang sudah dipugar dan masih didiami oleh beberapa kaum

keluarga Dayak Siang selaku penghuni desa. Untuk itu kedatangan penulis segera

diinformasikan kepada orang asli dan kerabat kepala desa setempat yang berada di

Puruk Cahu.

d. Keberangkatan menuju desa Bantian dan Tumbang Apat

Bersamaan dengan selesainya surat ijin penelitian dan proses maja di Puruk

Cahu itu, pada pukul 08.00 WIB di tanggal 18-20 Agustus 2011, penulis dengan

diantar oleh rombongan kecil melakukan kunjungan lapangan menuju desa

Bantian dan Tumbang Apat.

Di sepanjang perjalanan kunjungan, penulis banyak melihat artefak budaya

berupa balai basarah atau rumah ibadah, serta patung totem patugur, tonggak

torah, balai sengumang/patahu dan sebagainya di lapangan atau di depan

rumah-rumah penduduk. Hal itu menandakan bahwa di wilayah itu mayoritas

masyarakatnya memeluk kepercayaan mula suku Dayak, yang sering diistilahkan

agama helo/houn atau hindu kaharingan.

Dalam perjalanan kunjungan, penulis menyempatkaan mengunjungi betang

Bantian dan mencatat serta mengambil beberapa data dari situ. Sayangnya,

penghuni betang hanya ada satu keluarga saja. Keluarga penghuni betang lainnya

sedang pergi behuma ke ladang di hutan belakang kampung. Kemudian penulis

(35)

Di desa Tumbang Apat, penulis disambut oleh kepala desa dan masyarakat

dengan upacara penyambutan dimana penulis harus membuka hompong atau

pantan pulut4 di depan betang Tumbang Apat. Pembukaan hompong itu disertai

dengan minum anding atau baram di dalam tanduk kerbau yang cukup berukuran

besar.5 Semuanya disediakan sebagai tanda penghormatan penduduk setempat atas

berkenannya penulis untuk mengunjungi mereka. Setelah melalui prosesi

hompong itulah masyarakat secara resmi kehadiran penulis dalam rangka

penelitian. Di situ penulis diberikan kesempatan untuk menyampaikan ihwal

terkait maksud dan tujuan kedatangan. Pada malam hari kedatangan, penulis juga

disambut dengan sembahyang/kebaktian secara Kristen oleh salah seorang kerabat

almarhum bapak.

Selama dua hari penulis berada di Tumbang Apat. Terkait materi penelitian,

penulis disediakan suatu acara khusus berupa malam budaya dan dibuatkan duran

atau sangkai secara sederhana untuk bisa berkomunikasi dan menunjukkan pula

kebolehan dalam berkesenian. Di saat yang sama penduduk desa secara individu

maupun komunal menyanyi dan menari-nari kesenian daerah setempat yang

bersifat sekuler, seperti kandan, karungut, deder, dondang dodoi, tantulo dan

sebagainya. Pada kesempatan itu kepala desa dan beberapa tokoh masyarakat

4

Buka atau potong hompong atau pantan merupakan ritual adat dalam rangka menyambut tamu yang dianggap terhormat, seorang pemimpin, atau seorang tokoh masyarakat yang berkenan datang pertama kalinya di suatu masyarakat adat suku Dayak Kalimantan Tengah. Hompong

pulut berisikan bambu-bambu yang berisikan masakan nasi ketan yang telah bercampur dengan

lauk utamanya daging hewan buruan atau piaraan (biasanya daging sapi, ikan atau babi). Sebagai kelengkapannya biasanya disediakan kelapa muda serta buah-buahan hasil panen lokal sebagai pendamping.

(36)

berkenan pula menarikan Kinyah Mandau. Namun, atas dasar pertimbangan

keselamatan dan pali atau pantangan adat, laku Kinyah Mandau yang ditampilkan

tidak menyertakan mandau dan telawang. Bahkan ada seorang pemuda yang

menarikan Kinyah Piring, yang secara bentuk dan struktur gerak hampir sama

dengan tari piring yang dimiliki orang etnis Minang di Sumatra Barat.

Suatu hal yang patut disayangkan pula bahwa seorang tetua kampung yang

penulis ingin saksikan kinyah-nya, berhalangan hadir karena menghadiri upacara

perkawinan adat di desa Bantian yang dilakukan secara bersamaan. Selain itu,

berdasarkan informasi yang didapat, tetua yang dimaksud sudah dikonfirmasi,

namun tidak berkenan menampilkan Kinyah Mandau dengan alasan duran yang

disediakan bagi penulis seperti tidak dianggap lebih penting daripada upacara

perkawinan adat di desa Bantian.

Penulis banyak menghimpun data dari malam budaya duran itu. Melalui

peristiwa itulah penulis menyimpulkan bahwa pada masyarakat setempat,

beragam materi kesenian yang bersifat menghibur diri dan berhubungan dengan

makna ritual sekular seperti duran; dapat ditampilkan sebagaimana adanya.

Namun, laku tari Kinyah Mandau, secara berbeda masih memiliki aspek ritual

sakral dan sangat melekat dengan batasan-batasan adat, eksistensi sosial dan

kepercayaan.

3. Wawancara Mendalam

Berkenaan teknik pengumpulan data ini, wawancara mendalam dilakukan

(37)

penentu kebijakan kebudayaan terkait pemberdayaan kearifan budaya pada

masyarakat suku Dayak di Kalimantan Tengah. orang-orang itu adalah :

1. Guntur Taladjan, 51 tahun, Seorang Dayak Ngaju Kapuas. Dia adalah Ketua

IV Dewan Adat Dayak Kalimantan Tengah, dan Unsur Pimpinan Presidium

Majelis Adat Dayak Nasional (MADN). Dia sangat aktif bergerak mendukung

gerakan pelestarian dan penghormatan yang tinggi terhadap eksistensi keadatan

suku Dayak Kalimantan Tengah. Pada kasus persidangan adat oleh MADN

terhadap Prof. “TA” dari Universitas Indonesia pada kasus pelecehan harkat

dan martabat adat Suku Dayak Kalimantan pada tanggal 22 januari 2011, dia

berkedudukan sebagai Jaksa Penuntut. Pengetahuannya terhadap seni budaya

dan bahasa daerah cukup luas, dan dia seorang kolektor seni. Dia juga seorang

Pegawai Negeri Sipil (PNS), Guru dan Dosen. Pernah mengajar di SMP/SMA

dan menjadi Pembantu Rektor II di Universitas Batang Garing Palangka Raya.

Pernah pula menjadi Kepala Dinas Pendidikan Kota Palangka Raya. Sekarang,

Dia menjadi Kepala Dinas Pendidikan Nasional Provinsi Kalimantan Tengah.

Wawancara mendalam dengan beliau terkait dengan materi peran seni budaya

dalam membentuk nilai dan jiwa kepemimpinan manusia Dayak di Kalimantan

Tengah. Wawancara terkait pula dengan perkembangan kebijakan pendidikan

di daerah Kalimantan Tengah, utamaya terkat upaya pemberdayaan muatan

budaya berkearifan lokal.

2. Parada Lewis KDR, 42 thn, seorang suku Dayak Ngaju Kahayan. Dia adalah

salah satu unsur Pimpinan Pemuda pada Majelis Pertimbangan Hindu

(38)

suku Dayak Kalimantan Tengah. Dia juga Pimpinan Komunitas Tarantang

Petak Balanga KalimantanTengah, suatu komunitas seni pertunjukan daerah

yang menaungi banyak sanggar seni budaya di Palangka Raya, Katingan dan

Kabupaten/Kota lainnya di Kalimantan Tengah. Wawancara dengan beliau

berkenaan dengan nilai dan konsep theologis berdasarkan pandangan

agama/kepercayaan Hindu Kaharingan, terkait dengan simbol-simbol budaya,

keadatan dan keagamaan atas eksistensi kehidupan manusia suku Dayak di

Kalimantan Tengah.

3. Enos Ladjai, 72 tahun, seorang suku Dayak Siang. Dia Purnawirawan TNI

berpangkat Pembantu Letnan II, dulu bertugas di Kesatuan Raider KODAM

10/06 Lambung Mangkurat, Kalimantan Selatan. Pernah ditugaskan pada

operasi militer hampir di seluruh wilayah di Indonesia, sejak awal bertugas

pada tahun 1958 (Pembebasan Irian Barat, Pemberontakan Permesta di

Sulawesi, Operasi Ganyang Malaysia di Serawak, pada dasawarwa

1950-1960an). Pada masa tahun 1980-1990an, Dia adalah seorang tokoh masyarakat

yang seringkali tampil menarikan Kinyah Mandau pada acara-acara adat suku

Dayak Siang. Sekarang, dia adalah Anggota Dewan Pertimbangan Adat

Kabupaten Murung Raya. Wawancara dengannya berhubungan dengan

keperluan penggalian data terkait dengan jiwa kemiliteran, kecintaan diri

terhadap nilai-nilai budaya Dayak, serta apa yang dimaknainya atas Kinyah

Mandau sebagai pembawa nilai kearifan budaya Dayak utamanya nilai

(39)

4. Doni SP, M.Si, 36 tahun. Seorang Dayak Siang, adalah seorang penari muda

Dayak berbakat pada jamannya. Ia menari secara tekun sejak tahun 1990-2001.

Pada tahun 1993, dia menjadi satu-satunya penari lokal kota Palangka Raya,

yang ditunjuk menjadi penari utama sekaligus asiten koreogafer bersama para

asisten Romo Gong (Bagong Kussudiardjo) dari padepokan Bagong

Kussudiardjo Yorgyakarta (bersama Ida M.T Wibowo, Sutopo, Florybertus

Fonno, Besar widodo, Ngatini, dan Ninuk); untuk menggarap karya Tari

Massal “Syukur” dan “Kaharap”; pada pembukaan dan penutupan Pesparawi

Nasional Tahun 1993. Beliau sering pula terlibat dalam tim kesenian

Kalimantan Tengah dalam even seni budaya domestik maupun mancanegara.

Pada tahun 2002-2004, dia pernah menjadi Senior Intendent di Perusahaan

Tambang Indomoro Kencana Murung Raya Indonesia, dan duduk sebagai

Manager of Comunity. Saat ini dia menjadi anggota DPRD Kabupaten Murung

Raya (dua periode) dan duduk sebagai ketua Komisi II bidang anggaran. Dia

juga adalah ketua DPD KNPI Kabupaten Murung Raya.

5. Chendana Putra Syaer Sua, 32 tahun, seorang suku Dayak Ngaju

Katingan/Kahayan, penari/pengamat tari, koreografer, seniman karungut,

pesilat Kuntau dan penari Kinyah Mandau. Putra tertua seniman besar

Karungut bernama Syaer Sua itu adalah pimpinan sanggar seni Palangka

Hadurut, juga unsur pimpinan Komunitas Tarantang Petak Balanga

Kalimantan Tengah di Palangka Raya. Dia sering mendapat predikat penata

tari terbaik dalam lomba/festival tari daerah pada skala provinsi dan nasional.

(40)

(GSC) Palangka Raya mendapatkan Grand Champion dalam kategori

etnik/folkchlore, pada Tomohon Grand Prix Choir International Festival pada

tahun 2009. Wawancara dengannya terkait dengan materi Tari Kinyah dalam

bentuk dan struktur, serta hubungannya dengan penguasaan beladiri Kuntau.

6. Idontori, 35 Tahun, seorang suku Dayak Siang, penari, koreografer, penari Kinyah dan pimpinan sanggar seni “Tingang Bohombit” di Puruk Cahu

Kabupaten Murung Raya. Seringkali membawa tim kesenian Murung Raya

dalam lomba/festival seni budaya pada skala propinsi, nasional bahkan

internasional (Brunei Darussalam, Malaysia, Australia, New Zealand, China,

dan Afrika Selatan). Dia juga Anggota Dewan Adat Daerah, dan Dewan

Kesenian Daerah Kabupaten Murung Raya. Saat ini bekerja sebagai PNS dan

duduk sebagai Kasi Kependudukan di Kelurahan Beriwit Kecamatan Murung

Kabupaten Murung Raya. Wawancara dengannya terkait dengan persiapan dan

teknis tari Kinyah Mandau, rekaman visual tari dan beberapa penjelasan

terkait properti tari dan musik pengiring tari Kinyah, utamanya penyajiannya

dalam gaya suku Dayak Siang.

D. TEKNIS ANALISIS DATA

Analisis uraian hasil pengumpulan data dilakukan setiap waktu, secara

terus-menerus secara induktif selama penelitian berlangsung dengan mengolah

bahan empirik supaya dapat disederhanakan ke dalam bentuk yang lebih mudah

dibaca, dipahami, dan diinterpretasikan. Analisis induktif dimulai dengan

(41)

penelitian. Teknis triangulasi terhadap data dan sumber data seperti yang

dipergunakan sebagai pendekatan pengumpulan dan dasar pengolahan data, akan

digunakan pola untuk mendasari proses analisis induktif sebagai hasil penelitian.

Pertanyaan atas permasalahan, sekaligus pembahasan serta analisasnya

secara spesifik dan lebih lanjut, dapat digali melalui wawancara bebas atau

observasi partisipan penulis secara lebih intens di lapangan. Fungsinya tentu

untuk dapat mengumpulkan ungkapan kognitif, serta emosi para pelaku atau yang

terlibat secara lebih dalam. Analisis data kemudian dirangkum secara deskriptif

untuk membantu penemuan konsep-konsep yang mengandung keaslian sesuai

ungkapan subyek penelitian sesuai realitas.

Subyek observasi dan narasumber wawancara akan dikembangan secara

Snowball Sampling. Data akan berupa catatan hasil interviu, memo, deskripsi

studi dokumentasi, dan catatan lapangan lainnya. Semuanya akan dilihat dan

dicermati, guna kajian dan analisa kearifan lokal melalui seni Kinyah Mandau

sebagai pembawa sekaligus pembentuk nilai dan kepribadian pemimpin pada

masyarakat suku Dayak di Kalimantan Tengah. Seluruh kumpulan data dari

proses triangulasi kemudian di koding, kategorisasi, dan dimaknai, dalam

pengolahan dan analisanya.

E. VALIDITAS DAN REALIBILITAS DATA

Untuk kepentingan keabsahan data, dilakukan uji kredibilitas (validitas

internal), transferabilitas (validitas eksternal/generalisasi), dan konfirmabilitas/

(42)

observasi, peningkatan ketekunan, triangulasi, diskusi dengan teman sejawat,

member check, dan analisa kasus negatif / Devil Advokad.

Sumber data primer dan sekunder dalam penelitian adalah hasil observasi,

diskusi, wawancara, dan kajian pustaka. Hasilnya berupa tekstual dalam gerak,

bentuk dan struktur tari Kinyah Mandau, dan kontekstual terkait nilai seni dan

nilai budaya, serta nilai kepemimpinan yang menyertainya. Terkait uji

kredibilitas, kebenarannya diuji kembali secara internal melalui validitas dengan

perbandingannya terhadap landasan kajian teoretis penelitian. Melalui uji

transferibilitas dan konfirmabilitas/ obyektifitas, hasil validitas terhadap

kompleksitas data tari Kinyah Mandau, akan diarahkan kepada generalisasi

simpulan dan teori secara obyektif; terkait hubungan nilai kepemimpinan dengan

sebagai nilai seni sekaligus nilai budaya pada masyarakat suku Dayak di

(43)

F. JADWAL PENELITIAN

1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4

Pra Pelaksanaan Penelitian

1 Survei Materi dan Lokasi

2 Penentuan Judul & Topik Penel itian 3 Penyusunan/Pembuatan Proposal 4 Admi nistrasi Penel itian

5 Peri jinan/persiapan lai nnya 6 Penentuan Instrumen Penel iti an

Pelaksanaan Penelitian

1 Pengumpulan/Inventari sasi Data 2 Konsultasi/ Pembi mbingan 3 Pengol ahan/ anal isa Data 4 Penyusunan Laporan Penelitian 5 Penyampaian Laporan Penel iti an 6 Revisi/Perbai kan Laporan

KET Bulan IV

Bulan III Bulan II

Bulan I TAHAPAN KEGIATAN PENELITIAN

NO

(44)

BAB V

KESIMPULAN, IMPLIKASI DAN REKOMENDASI

A.KESIMPULAN

Kesatuan bentuk dan proses penyajian tari Kinyah Mandau, ternyata erat

berhubungan dengan nilai dan fungsinya sebagai penanda atas konsep ideal

manusia suku Dayak. Suatu kesadaran terhadap makna atas konsep ideal itu

menjadikan seorang Dayak membentuk pula nilai ideal sekaligus nilai

kepemimpinan di dalam dirinya. Kuatnya hubungan tari Kinyah Mandau dengan

konsep ideal masyarakat suku Dayak di Kalimantan Tengah, ternyata menandakan

bahwa tari Kinyah Mandau membawa pula nilai kepemimpinan ideal. Dengan

demikian, Kinyah Mandau merupakan pembawa nilai kepemimpinan sekaligus

gambaran seutuhnya seorang Dayak, yang dapat diposisikan sebagai penjaga

keutuhan Hadat dan Belom Bahadat secara sosial, etika dan moral, serta

religiusitas/spiritualitas; demi keseimbangan kosmik kehidupan.

B.IMPLIKASI DAN REKOMENDASI

Hasil penelitian ini merupakan upaya kajian, tinjauan dan inventarisasi

secara holistik atas nilai, perilaku/sikap, kepemimpinan suku Dayak di

Kalimantan Tengah, yang bisa didapatkan melalui kegian seni tari Kinyah

Mandau. Pemanfaatan dan pemberdayaan atasnya, dapat berguna untuk

(45)

daerah. Hal ini utamanya bagi masyarakat tradisional, pra-modern, bahkan

modern pada masyarakat suku Dayak di Kalimantan Tengah; yang mulai turut

mengalami transisi budaya dan berkembang menjadi masyarakat pra-kota, kaum

urban baru atau modern, bahkan menjadi masyarakat kota.

Hasil penelitian ini masih merupakan suatu buah penggalian atas nilai

kepemimpinan dalam laku berkesenian yang membawa serta nilai kearifan lokal

masyarakat suku di Indonesia, terutama pada suku Dayak di Kalimantan Tengah.

Terkait dengan pemanfaatan dan pengembangannya sebagai bahan kajian awal

untuk mendasari pengembangan muatan dan nilai kepemimpinan bagi bahan ajar

di sekolah formal dan non formal; hasil penelitian ini direkomendasikan untuk

dapat ditindaklanjuti untuk melandasi pemenuhan atas unsur nilai dan muatan

pendidikan kes

Gambar

Gambar 1.1 Festiv.1 Penari stival Budaya Isen Mulang Kalimantan Tengah

Referensi

Dokumen terkait

Dengan tinggal selama beberapa waktu di Rumah Betang Buntoi maka kehidupan keseharian masyarakat Dayak Ngaju d i desa Buntoi ini dapat diamati secara lebih

Kapitalisasi dan ancaman alih fungsi hutan oleh perkebunan kelapa sawit merupakan masalah serius yang dihadapi oleh masyarakat adat. Adanya nilai-nilai yang dilanggar

Hutan lindung atau secara tradisional disebut tana' ulen merupakan tanah larangan dalam suatu kawasan adat ( tana' leppo ) yang penggunaan dan peruntukannya ditentukan secara

Selain pengertian sama, ada beberapa perbedaan yang menyolok antara Hudo (Modang,Bahau,Ga‘ay) dengan Hudoq Kita (kenyah) seperti kostum, iringan, topeng dan

Tari merak ini dulunya merupakan sebuah tarian penyambutan selamat datang kepada seorang raja atau tamu yang dianggap penting lainnya yang dilakukan oleh minimal

Hidup Budaya Huma Betang Dalam Membangun Kerukunan Hidup Umat Beragama di Kota Palangka Raya Kalimantan Tengah, eds.. Nilai budaya belom bahadat atau kehidupan yang

Pada prose ritual perkawinan masyarakat suku Sasak di Lombok Tengah, bentuk tindakan komunikasi budaya ada pada interaksi simboliknya, menggambarkan pola komunikasi atau pemujaan kepada

Seorang pemimpin harus bisa membuat karyawannya dapat menerapkan atau meningkatkan nilai-nilai kemanusiaan dengan cara membangun spiritualisme di dalam diri seseorang guna untuk