DAFTAR ISI
ABSTRAK ...……..………...…..…... KATA PENGANTAR ...………...….….……. DAFTAR ISI ... DAFTAR GAMBAR ... DAFTAR BAGAN ... DAFTAR TABEL ...
BAB I PENDAHULUAN ..………...……...….………....….
I vi vii ix x xi 1
A. Latar Belakang ...………...………...……….... 1
B. Rumusan Masalah ...………..………... 11
C. Definisi Istilah ...………... 12
D. Fokus Penelitian ...………....………... 14
E. Tujuan Penelitian ...………... 15
F. Manfaat Penelitian ...………... 15
G. Metode Penelitian ...……….………... 17
H. Lokasi Dan Sampel Penelitian ... 21
BAB II LANDASAN TEORETIK ... 23
A.Pendekatan Multidisiplin dalam Kajian Terhadap Tari Kinyah Mandau Sebagai Pembawa Nilai Kepemimpinan ... B. Kajian Kembali Tentang Dayak : Suatu Reinterpretasi Demi Terhindarnya Prasangka ... C.Simbol Penciptaan dan Keseimbangan Kosmik secara Mitologi dalam Batang Garing pada Suku Dayak Ngaju di Kalimantan Tengah ... D.Burung Tertentu sebagai Acuan Simbolik Atas Konsep Nilai dan Sikap Hidup Manusia Suku Dayak ... E. ‘Kayau’, Makna Kepahlawanan dan Perang Menuju Keseimbangan Kosmik pada Suku Dayak ... 23 34 43 51 56 BAB III METODE ...…………...…………..…..…... 63
A. Metode Penelitian ………...……….…. B. Lokasi Penelitian ... 63 65 C. Teknik Pengumpulan Data ...………....…. 1. Kajian Pustaka ... 2. Observasi Partisipan ... 3. Wawancara Mendalam ... 65 66 67 74 D. Teknik Analisis Data ………... 78
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 82 A.Gambaran Umum tentang Masyarakat Suku Dayak di Kalimantan
Tengah ... 82 B. Konsep Dasar Kepemimpinan Manusia Suku Dayak di Kalimantan
Tengah ... 92
C.Pewarisan Nilai Kearifan Lokal Melalui Kesenian Sebagai Proses Pembudayaan pada Suku Dayak di Kalimantan Tengah ... 97 D.Tari Kinyah Mandau, Pembawa Nilai Kepemimpinan, Kepahlawanan
serta Kemanusiaan Suku Dayak ... E. Analisis Tekstual dan Kontekstual Tari Kinyah Mandau ...
1. Kelengkapan Tari Kinyah Mandau ... 2. Musik Iringan, Lantunan Resitasi, serta Vokal Penari Sebagai
penguat Ekspresi Pada Tari Kinyah Mandau ... 3. Ragam Gerak Kinyah Mandau... 4. Teknis Penyajian Tari Kinyah Mandau Gaya Suku Dayak Siang .... 5. Analisis Kontekstual Tari Kinyah Mandau ...
107 110 110 120 132 139 142 F. Perkembangan Tari Kinyah mandau dan hubungannya dengan Nilai
Kepemimpinan Suku Dayak ... 1. Makna Tari Kinyah Mandau dalam Kegiatan Upacara Adat Perkawinan ... 2. Nilai dan Makna Kinyah Mandau Bagi Kehidupan Masa Kini ...
147
147 149
BAB V KESIMPULAN, IMPLIKASI DAN REKOMENDASI 155
A. Kesimpulan ... 155 B. Implikasi dan Rekomendasi ... 155
DAFTAR PUSTAKA DAFTAR WAWANCARA GLOSARIUM
LAMPIRAN-LAMPIRAN:
A. Surat Keputusan Pengangkatan Pembimbing Penulisan Tesis B. Surat Ijin Penelitian
BAB I
PENDAHULUAN
A.LATAR BELAKANG
Bentuk dan muatan seni budaya di Indonesia tentu sangat beragam.
Semuanya memiliki dimensi kelokalan, keunikan dan kekhasan, serta bermakna
dan bermanfaat untuk membangun kehidupan dan jati diri manusia
pendukungnya. Kehadiran kesenian sebagai ekspresi budaya, diciptakan untuk
menjadi suatu penanda yang sebenarnya menyimbolkan kembali citra atas konsep
nilai kearifan budaya secara khas pada suatu bangsa atau suku bangsa
bersangkutan.
Upaya untuk menarik makna atas pengalaman hidup atas kesenian seperti
itu, dapat mengantarkan manusia budaya kepada pencapaian segenap kemampuan
terbaik. Sikap mawas diri, kemampuan kritis sekaligus kreatif atas pemberdayaan
lingkungan, etika dan moral, serta spiritual yang “berkesadaran membumi”, dapat
tumbuh secara bersama dan seimbang di dalam dirinya untuk kepentingan
pergaulan sosial. Segenap komponen kemampuan sikap itu, dapat menjadikan
seseorang yang sadar akan keberadaannya, serta memiliki rasa kepemilikan dan
tanggung jawab yang besar untuk memberikan segenap kemampuan terbaiknya
bagi kepentingan terjaganya eksistensi budaya dan pembangunan masyarakat
Pada pencapaian kesadaran itulah, laku kesenian yang membawa kearifan
budaya dapat pula mempengaruhi tumbuhnya kepercayaan diri, kewibawaan, dan
jiwa kepemimpinan pada diri seorang individu budaya. Kehadiran sosok seperti
itu tentu memberikan rasa aman, perlindungan dan kepercayaan dari masyarakat
komunitas budaya bersangkutan.
Suku Dayak merupakan salah satu sub bangsa Indonesia, suatu rumpun
etnik besar di daerah Kalimantan. Di Kalimantan Tengah, orang suku Dayak
disebut “uluh Dayak”, atau “dulun Dayak”. Riwut (2003:58-59) mengatakan
bahwa :
“... Istilah Dayak bisa disebut juga Daya (panggilan yang populer di Kaltim dan Kalbar) atau Daya Sahawung. ‘Dayak’ atau ‘Daya’ dalam bahasa Ngaju menunjukkan kata sifat sekaligus merujuk pada suatu arti yaitu kekuatan. Demikian pula ‘Sahawung’ yang berarti seorang dengan sifat kepahlawanan, gagah perkasa dan pantang menyerah. Dalam bahasa
sangen1, ‘Dayak’ juga dapat diartikan Bakena yang artinya gagah atau
cantik.”
Istilah Dayak sebagai nilai dan makna secara individu atau kelompok
mengarah pula kepada konsep nilai dan kepribadiannya secara ideal. Riwut (2003:
92) mengatakan bahwa ada empat kata sifat yang dominan mempengaruhi
kepribadian manusia Dayak yaitu : mamut, menteng, ureh, mameh. Mamut berarti
berjiwa kepahlawanan, menteng artinya perkasa, ureh artinya gagah, dan mameh
yang artinya nekat atau tanggap tanpa pikir panjang. Mameh lebih condong
kepada ‘greget’, namun secara konotatif seringkali pula diartikan dekat maknanya
dengan ketololan. Mameh seringkali dikaitkan pula dengan perilaku emosional
1
yang memuncak, sebagai akibat tak mampu lagi menahan diri atas kesakitan dan
penderitaan hati atau terlalu sering diperlakukan semena-mena oleh orang lain.
Riwut (2003: xxi) mengutip pula pernyataan ayahndanya Tjilik Riwut2,
yang mengungkapkan bahwa :
‘... pribadi manusia Dayak yang berkepribadian baik, adalah mereka yang dalam hidupnya tidak pernah melupakan leluhur, wajib juga berbudi luhur, berani menunjukkan identitas, serta mampu melakukan perjuangan pengendalian diri agar kelak apabila meninggal dunia mampu meninggalkan nama luhur yang dapat diteladani.’
Harapan atas manusia Dayak yang ideal itu ditambah dengan istilah “Jite
Keba” yaitu J – jujur, i – ikhlas, te – tekun, K – konsekuen, e – ela, ba – balecak
(ela balecak artinya jangan sombong).
Manusia tradisional Suku Dayak juga biasa tinggal dalam suatu kawasan
tempat tinggal yang tetap (rungus), dan hidup secara klan mendiami rumah
panjang yang disebut Betang. Kehidupan orang Dayak bersama alam,
memerlukan pengembangan kemampuan dan keterampilan hidup, serta upaya
pemenuhan atas kebutuhan dasar hidup secara individual dan kelompok. Potensi
alam sekitar kawasan betang berupa sungai, danau, hutan dengan segala isinya
memungkinkan manusia Dayak membentuk pula sistem budaya yang adaptif dan
berkearifan lingkungan dalam mengolah dan memanfaatkannya.
Ihwal itu menjadikan orang tradisional Dayak yang berkesadaran kepada
kesadaran atas upaya/usaha keberpihakan secara natural ataupun supranatural
terhadap nilai, konsep-konsep, dan perilaku yang dianggap baik. Hal itu pada sisi
lain sejalan dengan upaya/usaha mengendalikan bahkan meniadakan unsur
kehidupan secara natural maupun supranatural atas hal-hal yang dianggap tidak
baik. Biasanya semua diterapkan di dalam sistem budaya terkait dengan teknologi
tepat guna, kekerabatan sosial dan sistem kepercayaan. Secara aplikatif, nilai-nilai
itu tertuang pada aktivitas berburu/beternak, menangkap ikan, mengumpulkan
hasil hutan, berladang berpindah secara rotasi, cipta karya seni dan kerajinan,
upacara dan pesta, serta kegiatan ritual kepercayaan maupun profan.
Dengan semua itu, setiap komunitas suku Dayak membentuk konsep Hadat
(adat-istiadat, hukum, konvensi) dan acuan Belum bahadat (suatu aturan nilai,
etika, norma-norma perilaku) serta memaknai sistem nilai etik dan kepercayaan,
guna mengatur tata laksana kehidupan itu dalam keseimbangan kosmik secara
praktis, normatif dan religiusitas.
Pada masyarakat tradisonal suku Dayak dikenal pula keyakinan dan
kepercayaan yang disebut ‘Kaharingan’, yang berarti ‘Kehidupan’. Kepercayaan
dan pemujaan terhadap roh leluhur, pengakuan terhadap kekuatan alam gaib,
tercampur dengan penghargaan terhadap alam dan digambarkan secara animisme
dan dinamisme, serta pengakuan atas eksistensi Ranying Hatalla (Tuhan Yang
Maha Kuasa Semesta Alam). Di dalam kehidupan praktis dan magis, Roh-roh
leluhur dipercaya dapat memberikan ‘pertanda’ melalui kejadian alam, tindak
‘merasuk’ untuk memberikan kekuatan supranatural; guna menolong manusia
Dayak lepas dari tekanan keadaan bermasalah dalam hidupnya. Segala sesuatu
yang baik dipercaya telah diatur oleh Ranying Hatalla melalui ‘je Pahaga Petak
Danum’ (penjaga dan pemelihara tanah dan air).
Berdasarkan penjelasan di atas, dapat ditarik suatu kesimpulan awal bahwa
makna dari Dayak selalu dilekatkan dengan konsep nilai dan penerapan sikap
kepemimpinan, kepahlawanan, keberdayaan, keberpihakan kepada alam dan
sesama mahluk, serta keyakinan kepada Tuhan dan leluhur demi pencapaian
kemuliaan kehidupan.
Salah satu seni budaya tradisional suku Dayak yang cukup dikenal luas
sebagai penanda entitas kebudayaan Dayak Kalimantan di Indonesia adalah Tari
Kinyah Mandau atau Tari Mandau. Menarikan Kinyah Mandau sebenarnya tidak
hanya sekedar menari, namun berhubungan pula dengan upaya pembentukan
karakteristik, kesadaran sekaligus pendewasaan diri untuk berbudaya Dayak pada
manusianya. Bagi orang Dayak terutama Dayak Ngaju atau Out, menarikan
Kinyah Mandau merupakan sebuah aktualisasi nilai pribadi yang sigap, tangkas
dan mawas diri. Kinyah Mandau dikaitkan pula sebagai gambaran kearifan
manusia Dayak, sekaligus penanda suatu citra simbolik atas tingginya eksistensi
sosial dan kepercayaan kepada leluhur.
Tari Kinyah Mandau dapat dikatakan pula sebagai suatu aktualisasi nilai
sekaligus simbol kontemplasi diri atas manusia Dayak yang siap, berani dan rela
berkorban, berpenghargaan serta bertanggung jawab atas keseimbangan kosmik
kehidupan.
Pada masa lalu di kalangan masyarakat suku Dayak, seorang tokoh adat
yang dapat dikategorikan sebagai pemuka dan pemimpin masyarakat, dapat
dipastikan menguasai beragam bentuk kesenian sebagai wujud perwujudan
eksistensi sosial keadatannya. Tari Kinyah Mandau adalah materi seni yang paling
menonjol sebagai penanda atas kematangan eksistensi kepemimpinan itu.
Kesempatan untuk menampilkan Kinyah Mandau di tengah suatu perhelatan adat
dan upacara-upacara, tidak diberikan kepada sembarang orang. Pada sisi lain,
tidak sembarang orang dalam komunitas suku Dayak, berani menampilkan Kinyah
Mandau dengan berbagai alasan terkait etika dan norma adat dan kepercayaan,
keterbatasan kemampuan menyangkut penguasaan olah beladiri kuntau, tantuwu,
serta penggunaan kelengkapan senjata berupa mandau dan telawang.
Pada masa sekarang telah terjadi “disorientasi budaya modern atas nama
globalisasi” utamanya pada mayoritas manusia Indonesia terkini. Hal itu terutama
di kalangan masyarakat sosial budaya berkembang dan urban terutama di
perkotaan. Hakekat globalisasi budaya secara modern kemudian dianggap sebagai
implementasi fungsi-fungsi unifikasi, suatu totalitarian demi penegakan
imperiumisme nilai dan kepentingan ekonomi dan sosial, serta dimensi
Secara ekonomi, globalisasi cenderung menempatkan aktualisasi budaya
hanya dianggap sebagai pengembangan fungsi-fungsi kapital atas pemenuhan
sumber daya energi, eksistensi sosial, dan kebutuhan dasar atas sensualitas.
Konteks eksistensi sosial budaya secara ekonomi diletakkan pada ukuran standar
mutu atas popularitas, kepemilikan barang dan jasa, utamanya terkait
pemberdayaan serta perluasan atas hasil produksi, industrialisasi, serta
pemanfaatan kemajuan media informasi dan komunikasi terkini sebagai
pembaruan budaya. (Banding : Sontag, di dalam Copeland, 1998:101)3
Secara agama, globalisasi berbicara tentang proses unifikasi atas nilai dan
hakekat kehidupan berdimensi keagaamaan yang mengacu pada agama-agama
besar di dunia. Globalisasi nilai berdimensi agama cenderung menjadikan kearifan
budaya lokal terutama pada suku-suku bangsa di Indonesia menjadi tersegmentasi
atas entitas berdasarkan proses difusi, akulturasi, asimilasi (bandingkan :
Narawati, 2003 : 31) 4 dan inkulturasi agama. Dimensi pendekatannya dapat
berupa “pembudayaan agama” atau “peng-agamaan budaya”.
3
Roger Copeland, di dalam tulisannya yang berjudul “Between Description and Deconstruction”, sebagaimana di dalam buku “The Routledge Dance Studies Reader” (London dan New York: Routledge, 1998, 98-107). Copeland dalam tulisan itu, mengutip pernyataan Sontag yang mengutarakan tentang posisi penafsiran terhadap seni di suatu budaya dimana dilema klasiknya adalah pertumbuhan yang tidak sehat dari akal di atas kebutuhan kepada biaya energi dan pemenuhan kemampuan sensual; merupakan suatu pelemahan atas arti dan makna seni itu sendiri.
4
Narawati, 2003, dalam bukunya berjudul “Wajah Tari Sunda Dari Masa ke Masa”, yang mengutip penjelasan Kodiran sebagaimana di dalam tulisannya yang berjudul “Perkembangan
Kebudayaan Indonesia dan Implikasinya terhadap Perubahan sosial di Indonesia” (Pidato
Nilai-nilai kesukuan yang tadinya berpijak di atas khas-nya kearifan
budaya dan kepercayaan masyarakat lokal dalam mensikapi kehidupan sosial dan
lingkungan, kemudian diperhadapkan pada suatu proses yang cenderung reduktif
di atas proses adopsi, adaptasi, bahkan pemurnian nilai yang mengacu pada
dialogisasi tak seimbang antara nilai agama baru dan kearifan budaya lokal. Pada
kenyataan itu, pengaruh kepentingan ekonomi berbasis agama juga seringkali
turut serta mengambil bagian.
Bercermin kepada keadaan-keadaan di atas, perlu disadari bahwa
disorientasi atas makna globaliasi, telah mendorong terjadinya suatu
peng’gradasi’-an secara sistemik terhadap proses pemaknaan jati diri secara
individu maupun kelompok pada suatu komunitas masyarakat, di atas
eksistensinya sebagai pembawa nilai-nilai kearifan budaya lokal. Manusia suku
yang telah merasa modern, beragama, berpendidikan serta memiliki kedudukan
ekonomi dan sosial yang mapan; cenderung lupa untuk memaknai jatinitasnya
sebagai penanda budaya, di atas kesadaran terhadap tanggung jawab untuk
membawa identitas dan eksistensi budaya lokalnya.
Pengaruh disorientasi budaya atas nama globalisasi di atas, turut serta
mendorong manusia Dayak untuk melakukan penyesuaian-penyesuaian. Banyak
orang Dayak yang mengecap pendidikan, tinggal di daerah perkotaan, serta
memeluk agama/keyakinan baru; cenderung melupakan nilai mula kearifan hidup
budaya lokalnya. Di dalam hal berkesenian, kebanyakan orang Dayak pada masa
langsung dalam kegiatan kesenian tradisionalnya. Bentuk kesenian tradisional
yang membawa nilai kearifan dan keluhuran hidup manusia Dayak masa lampau,
dianggap ‘primitif’, kuno, tidak menarik bahkan mengandung unsur dosa terhadap
agama, occultisme serta pemujaan berhala.
Di kalangan masyarakat Dayak, perkembangan kehidupan seperti di atas
tampak memberikan pengaruh pula terhadap perkembangan seni budaya Dayak
termasuk pada tari Kinyah Mandau. Aspek penghargaan dan pemaknaan atas nilai
Kinyah Mandau serta nilai kepemimpinan di dalamnya, kemudian berkembang
menjadi pseudois dan artifisial. Kenyataan itu dapat dibuktikan dengan sulitnya
saat ini ditemukan lagi kehadiran tari Kinyah Mandau dalam acara-acara formal
maupun non formal di masyarakat dan pemerintahan. Banyak pejabat-pejabat
publik, pemimpin atau tokoh masyarakat di daerah tidak lagi mengenal bentuk,
nilai dan muatan kesenian budaya lokal, termasuk Kinyah Mandau. Apalagi untuk
menampilkannya. Kalaupun materi seni budaya atau Kinyah Mandau itu hadir
sebagai sebuah pertunjukan dalam suatu acara, dapat dipastikan bahwa kesenian
itu dihadirkan oleh para golongan tetua suku Dayak yang sudah renta atau
sanggar-sanggar seni budaya yang ada.
Pada perkembangannya, Kinyah Mandau kemudian menjadi satu jenis
tarian hiburan yang hadir dalam suatu ritus upacara atau kegiatan komunal
tertentu pada masyarakat tradisional suku Dayak di Kalimantan Tengah. Kegiatan
tetarian itu hadir di dalam suatu kegiatan komunal/keramaian secara tradisi pada
kegiatan tertentu sebe
masa tanam dan m
kemudian lebih kepad
sekaligus penanda ek
secara terbatas. Kiny
ditemui lagi di kalang
[image:12.595.115.513.248.646.2]tinggal di daerah perk
Gambar 1.1 Festiv
Pada perkemb
Mandau selanjutnya
belum, saat dan sesudah masa tugal/manugal d
menuai panen padi. Namun, kehadiran Ki
ada kepentingan hiburan tontonan belaka; suatu
eksistensi seni budaya bagi kalangan masyara
inyah Mandau tidak ‘dilakukan’ dan ham
ngan masyarakat Dayak, utamanya di antara me
rkotaan dan hidup secara modern.
.1 Penari Kinyah Mandau dalam suatu baliho pr stival Budaya Isen Mulang Kalimantan Tengah
(dok. Disparsenibud Mura, 2009)
bangan seni budaya daerah suku Dayak di ma
a memang telah berkembang pula menjadi seb
dan manggetem;
Kinyah Mandau
atu ekspresi sosial
arakat suku Dayak
ampir tidak dapat
mereka yang telah
promosi ah
masa kini, Kinyah
khas suku Dayak yang sering dikreasikan kembali untuk kepentingan pertunjukan
hiburan, lomba/kompetisi tari daerah dan pariwisata. Keutamaannya sebagai
materi pariwisata dan ajang kompetisi kreasi karya tari tradisional antar daerah di
Kalimantan Tengah, beriringan dengan melemahnya pemaknaan atas nilai dan
fungsi Tari Kinyah Mandau sebagaimana di dalam kehidupan budaya tradisional
suku Dayak. Proses kreativitas Kinyah Mandau kemudian lebih menekankan
kepada impresa-impresa artistik serta pengembangan bentuk komposisi/
koreografi, yang cenderung meninggalkan aspek kaedah etika dan estetikanya
sebagai media pembentukan nilai dan kepribadian budaya pada manusia Dayak.
Hal itu memang menyebabkan Kinyah Mandau mengalami perkembangan berupa
revitalisasi atas bentuk, nilai dan fungsi di dalam masyarakat. Akan tetapi pada
saat bersamaan, mengalami pula proses degradasi nilai, fungsi dan kebermaknaan
awalnya sebagai salah satu bentuk kesenian pembawa muatan kearifan budaya
lokal masyarakat Suku Dayak.
B.RUMUSAN MASALAH
Kompleksitas nilai dan konsep perilaku kepemimpinan berdimensi budaya
dan kepercayaan manusia Dayak melalui kesenian di Kalimantan Tengah,
tampaknya dapat tergambar secara utuh salah satunya melalui Tari Kinyah
Mandau. Keberadaannya dapat menjadi salah satu acuan untuk melihat sekaligus
memaknai kearifan lokal seni budaya Dayak dalam membentuk nilai dan pribadi
masalah penelitian kemudian dirumuskan dalam bentuk pertanyaan sebagai
berikut.
1. Bagaimana bentuk tari Kinyah Mandau pada masyarakat suku Dayak di
Kalimantan Tengah?
2. Bagaimana proses pembentukan nilai kepemimpinan melalui tari Kinyah
Mandau?
3. Bagaimana hasil pembentukan nilai kepemimpinan melalui tari Kinyah
Mandau?
C.DEFINISI ISTILAH
Batasan nilai dalam tulisan ini adalah standar ukur atas kualitas yang ideal
terhadap sesuatu hal utamanya sikap dan perlakuan manusia terhadap
kaidah-kaidah yang menyangkut etika dan norma-norma sosial budaya yang dianggap
baik dan memuliakan serta berlaku di dalam suatu masyarakat.
Pemaknaan nilai sebagaimana dimaksud dalam tulisan ini adalah bagian
dari suatu proses pembudayaan manusia secara internalisasi budaya yang secara
luas semakna dengan pendidikan. Secara umum pendidikan pada hakekatnya
merupakan sebuah pilar dalam proses pengalihan, pewarisan, pelestarian sekaligus
pengembangan nilai kebudayaan.5 Dengan demikian, istilah pemaknaan nilai
dalam tulisan ini dimaknai sebagai pendidikan dalam suatu proses pembudayaan
manusia di atas standar kualitas hidup yang dianggap baik dan memuliakan, guna
mendasari semua perbuatan dan usaha dari suatu generasi untuk mengalihkan
5
Sumbangan pikiran PGRI kepada Konggres Kebudayaan Tahun 1991 yang berjudul “Pendidikan
pengetahuan, pengalaman, kecakapan, keterampilan, dan sikapnya kepada
generasi berikutnya.
Pemaknaan nilai melalui proses pembudayaan itu dapat pula dimaknai
sebagai upaya mempertahankan eksistensi kehidupan budaya. Fungsi internalisasi
berdimensi pemaknaan nilai dalam dimensi pendidikan sebagai proses
pembudayaan, merupakan kekhasan dari suatu kesatuan sosial masyarakat. Hal itu
adalah untuk menjamin keutuhan budaya dari masyarakat yang bersangkutan
sedemikian rupa, sehingga kelangsungan eksistensi masyarakat tersebut terjaga.
(Bandingkan : Sedyawati, 1996:75)
Istilah Tari Kinyah Mandau dalam tulisan ini adalah seni tari suku Dayak
dengan menggunakan senjata tradisional mandau dan perisai talawang, yang
hidup dan berkembang dalam tradisi di kalangan masyarakat rumpun suku Dayak
Ngaju (ngaju’, Out danum, Out Siang/Siou, atau pada komunitas suku Dayak di
wilayah pedalaman kalimantan, seperti: Punan, Bahau maupun rumpun Dayak
Klementen atau Dayak darat lain. Rumpun komunitas suku Dayak Ngaju itu
secara umum tersebar luas di wilayah DAS Kapuas, Kahayan, Katingan, Mentaya,
Barito serta DAS lain utamanya di Kalimantan bagian tengah.
Pemaknaan nilai kepemimpinan melalui tari Kinyah Mandau sebagaimana
dimaksud dalam tulisan ini adalah segenap upaya untuk memberikan pengalaman
edukasi melalui tari Kinyah Mandau, yang dapat mentransformasi diri manusia
Dayak guna memiliki nilai kepemimpinan berdasarkan konsep ideal masyarakat
Masyarakat suku dalam konteks Indonesia adalah komunitas manusia suku
bangsa dan/atau sub suku bangsa yang masih memegang teguh kaidah nilai
kearifan budaya lokal di dalam kontinuitas dan perubahannya sebagai perwujudan
hidup secara turun-temurun.
Batasan yang dimaksud dengan masyarakat suku Dayak pada tulisan ini
adalah rumpun atau komunitas suku Dayak Ngaju, Out Danum, dan suku Dayak
Siang terutama di wilayah Kabupaten Murung Raya Kalimantan Tengah. Ihwal
batasan ini karena seperti manusia atau komunitas suku lainnya di Indonesia,
individu dan komunitas suku Dayak ada pula yang tinggal dan menetap di wilayah
atau daerah lain di Kalimantan dan Indonesia pada umumnya.
D.FOKUS PENELITIAN
Fokus Penelitian diutamakan kepada pembermaknaan hasil dan proses
kegiatan seni tari Kinyah Mandau sebagai sebentuk internalisasi nilai
kepemimpinan pada masyarakat suku Dayak di Kalimantan Tengah. Teknis
pendekatan penelitian lebih diutamakan kepada telaah dokumen, pernyataan lisan,
serta observasi untuk menuntun kepada pembermaknaan atas peristiwa-peristiwa
budaya terkait seni dan laku berkesenian Kinyah Mandau, yang diyakini
berhubungan dengan aktuaalisasi semangat, kepribadian dan nilai kepemimpinan
suku Dayak.
Bentuk materi seni Kinyah Mandau memang merupakan artefak yang
nyata dan perlu diinterpretasikan sebagai data penunjang penelitian, namun
nilai dan sikap kepemimpinan pada manusia Dayak di Kalimantan Tengah,
menjadi telaah kritis yang juga diutamakan. Oleh karena itu Kinyah Mandau akan
diupayakan untuk dikupas secara teks dan konteks dengan berbagai pendekatan
multidisiplin. Keutuhan beragam aspek tari Kinyah Mandau akan ditelaah
analisisnya dengan payung penelitian Etnokoreologi, dan secara multidisiplin
dicermati analisisnya dengan teori dan pendekatan Semiotika, Hermeneutik,
Psikologi perilaku (Behaviourisme) , dan Performance Studies.
E.TUJUAN PENELITIAN
1. Menganalisis bentuk tari Kinyah Mandau pada masyarakat suku Dayak di
Kalimantan Tengah.
2. Mehamami proses pembentukan nilai-nilai kepemimpinan melalui tari Kinyah
Mandau pada masyarakat suku Dayak di Kalimantan Tengah.
3. Menenemukan nilai kepemimpinan suku Dayak di kalimantan Tengah melalui
tari Kinyah Mandau.
F. MANFAAT PENELITIAN
1. Manfaat Teoretis
Memperkuat disiplin Ilmu Tari dan metode Etnokoreologi untuk pengembangan
pendidikan Seni Tari.
2. Manfaat Praktis
a. Untuk masyarakat umumnya, berguna sebagai suatu kajian awal untuk
berguna pula untuk mendasari perenungan sekaligus landasan kajian lebih
lanjut untuk penguatan eksistensi kedaerahan beserta kearifan budaya daerah
bagi ketahanan nasional Indonesia.
b. Untuk masyarakat utamanya suku Dayak di Kalimantan Tengah, berguna
sebagai suatu kajian awal untuk proses reinternalisasi budaya berkearifan lokal.
Hal ini utamanya bagi masyarakat tradisional suku Dayak di Kalimantan
Tengah yang mulai turut mengalami degradasi nilai kepemimpinan, transisi
budaya dan berkembang menjadi masyarakat pra-kota, kaum urban baru atau
modern, bahkan menjadi masyarakat kota.
c. Untuk peneliti, berguna sebagai penambah wawasan berupa penemuan atas
pengetahuan dan kesadaran atas nilai kepemimpinan melalui laku berkesenian
berkearifan daerah.
d. Untuk pendidikan, berguna sebagai bahan awal untuk melandasi pemenuhan
atas unsur nilai dan muatan pendidikan berbasis kebudayaan daerah, utamanya
terkait kebutuhan akademis khususnya untuk pengembangan kurikulum, model
pembelajaran, dan materi/bahan ajar, terkait pengembangan pendidikan
kesenian bermuatan kearifan budaya lokal pada pendidikan formal dan non
formal.
e. Untuk pendidikan sebagai suatu proses pembudayaan, berguna untuk
melandasi suatu kajian awal dan lanjutan, terutama untuk pertukaran informasi
edukatif guna membantu proses multikulturalisasi melalui proses kesadaran
fungsi dan bentuk seni budaya, dalam proses hidup lintas suku bangsa yang
tengah terjadi dalam dimensi kehidupan nasional Indonesia.
G.METODE PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan payung Etnokoreologi dengan menggunakan
beberapa teori sebagai pendekatan. Dengan demikian penelitian ini dapat disebut
penelitian dengan menggunakan pendekatan multidisiplin. Beragam fenomena
dalam seni Kinyah Mandau pada masyarakat tradisional suku Dayak sebagai
pembentuk nilai dan pribadi kepahlawanan pada manusianya perlu digali lebih
dalam. Sumber deskriptif dalam waktu, peristiwa/kejadian, pelaku serta bentuk
situasi sosial terkait Kinyah Mandau pada masyarakat suku Dayak selama ini,
sangat perlu diamati, dikaji dan dianalisa secara mendasar.
Untuk mengkaji nilai kepemimpinan dalam tari Kinyah Mandau pada
masyarakat suku Dayak di Kalimantan Tengah, diperlukan suatu pendekatan
multidisiplin. Untuk itu, disiplin ilmu yang dipilih sebagai payung penelitian
adalah Etnokoreologi. Sebagai suatu kajian guna mengupas lapis-lapis komponen
sosial budaya menyangkut nilai dan fungsi, serta entitas kebudayaan etnik yang
membingkai suatu karya tari, Etnokoreologi kemudian ditempatkan sebagai suatu
penelaahan tekstual sekaligus kontekstual secara komplementer. Disinilah aspek
penelaahan tari Kinyah Mandau sebagai materi artefak budaya kemudian
membawa nilai kepemimpinan manusia di Kalimantan Tengah atas dasar konteks
budaya suku Dayak yang melingkupinya.
Teknik pengumpulan data dilakukan dengan teknik triangulasi pada sumber
maupun hasil. Teknik triangulasi dalam pengumpulan data penelitian dilakukan
dengan kegiatan observasi partisipan, wawancara mendalam dan studi
dokumentasi.
Untuk melengkapi penelaahan tekstual Etnokoreologi, Semiotik
dipergunakan guna mencermati aspek tekstual pada bentuk dan struktur atas tari
dan gerak tari Kinyah Mandau. Geertz di dalam Narawati (2003: 43) mengatakan
bahwa konsep kebudayaan secara esensial adalah konsep semiotik. Adapun
semiotik yang dimaksudkan dalam tulisan ini adalah pendekatan analisis atas tari
Kinyah Mandau sebagai teks seni pertunjukan yang tampil dalam multilapis,
sebagaimana dikemukakan oleh Marco de Marinis (Narawati, 2003 : 48). Di
dalam pemaknaan ini, tari Kinyah Mandau perlu dibaca dan diinterpretasikan
sebagai materi teks yang membawa konsep-konsep budaya masyarakat Dayak.
Untuk melengkapi pendekatan semiotik atas tari Kinyah Mandau seperti
dimaksud di atas, pandangan Arnold Hauser tentang “art as product of society”
(Narawati, 2003), sangat membantu melihat aspek kesejarahan dan sosiologi
masyarakat Dayak selaku ‘produser’ tari Kinyah Mandau. Kesejarahan tradisional
suku Dayak terkait masa perang Kayau, serta konsep kosmik mitologi
moyangnya; dapat dilihat pengaruhnya terhadap tekstual tari Kinyah Mandau
sebagai penanda Budaya.
Ada beberapa teori dan terkait yang dimungkinkan di dalam penulisan ini
untuk mengupas hubungan tari Kinyah Mandau dengan pembentukan nilai
kepemimpinan. Teori dan konsep itu adalah Hermeneutik, Performance Studies,
dan Psikologi perilaku (Behaviorisme). Ketiga pendekatan ini lebih dipilih karena
dianggap cocok pula untuk mengupas hal terkait hubungan antara teks tari Kinyah
Mandau dengan nilai masyarakat, nilai kesenian, serta nilai tari Kinyah Mandau
itu sendiri dalam membentuk nilai dan pribadi kepemimpinan manusia Dayak.
Nilai-nilai kepemimpinan adalah sebagian besar dari konsep ideal yang
paling melekat dalam tari Kinyah Mandau. Posisi eksistensi sosial, pembentukan
diri dan kepribadian, serta penghayatan mendalam atas keyakinan/religiusitas
yang hadir dalam dimensi budaya suku Dayak, sangatlah berpengaruh terhadap
kosmik penampilan dan kepentingan kehadiran tari itu. Melalui pendekatan
Hermeneutik, nilai seni serta kompleksitas nilai kearifan budaya yang
menyertainya diyakini dapat diungkap secara lebih terang.
Pendekatan Performance Studies dalam mengkaji seni budaya kearifan lokal
juga sangat menarik dilakukan. Schechner (2006:1-2) mengatakan bahwa
kekhasan Performance studies terletak pada : 1) perilaku manusia selaku obyek
kajian, 2) pengalaman artistik merupakan bagian utama dalam kegiatan kajiannya,
mendalam dan langsung observer dalam suatu peristiwa artistik (kesenian)
merupakan jalan utama untuk mempelajari perilaku budaya, guna menghindari
pemetaan kebudayaan secara dikotomistik atau perbandingan dengan kebudayaan
lain, 4) performance studies selalu sebagai ‘kajian netral’ atas kenyataan praktis
sosial.
Berdasarkan konsep tentang “ritual penampilan dan penampilan ritual” pada
seni di dalam suatu komunitas budaya, tari Kinyah Mandau dapat ditempatkan
sebagai tari ritual. Menarikannya merupakan suatu ritual bagi pribadi pelakunya,
bagi penyaksinya, juga bagi masyarakat suku Dayak terkait dengan fungsi-fungsi,
sesuai dengan lingkup nilai dan konsep budaya Dayak yang menyertainya.
Untuk dapat melihat aspek hubungan perilaku manusia suku Dayak,
peniruan perilaku burung-burung yang dianggap sakral, serta hubungannya
dengan karakteristik gerak tari Kinyah Mandau yang membawa nilai
kepemimpinan; maka konsep perilaku Desmond Morris6 yang dipergunakan.
Morris dalam Narawati (2009 : 32) mengutarakan ada lima konsep tentang
asal-muasal perilaku manusia, yaitu : inborn action, discovered action, absorsed
action, trained action, dan mixed action. Aspek gerak dan perilaku tangkenyah,
penguasaan beladiri kuntau dan tantuwu sebagai hasil latihan, serta gerak
maknawi dan ekspresif terkait perilaku burung tertentu; menjadikan kesatuan
gerak tari Kinyah Mandau menggabungkan unsur discovered action, absorbed
6
action, dan trained action. Dengan demikian, tari Kinyah Mandau dapat dikatakan
berunsurkan perilaku mixed action.
Melalui semua pendekatan di atas, kebebasan interpretasi dan penelaahan
mendalam terhadap kesenian berkearifan lokal dalam masyarakat suku Dayak di
Kalimantan Tengah sepertinya dapat dilakukan.
Secara teknis penelitian, kegiatan pengumpulan dan pengolahan data dapat
dibagi menjadi tiga, yaitu : pertama, pengumpulan dan analisis terhadap data
sekunder dan primer berupa skrips kepustakaan untuk mendukung landasan kajian
teoretis penelitian sekaligus mendukung analisisnya. Kedua, pengumpulan data
primer atas fakta dari observasi lapangan yang berhubungan dengan seni dan laku
seni Kinyah Mandau. Ketiga, teknis wawancara mendalam terhadap subyek
pelaku sumber-sumber data. Tujuannya untuk menggali kebermaknaan mereka
atas nilai seni dan budaya Dayak, nilai dalam Kinyah Mandau, dalam membentuk
nilai kepemimpinan pada masyarakat tradisional suku Dayak.
H.LOKASI DAN SAMPEL PENELITIAN
Penelitian akan dilakukan di beberapa tempat komunitas tradisional suku
Dayak yang dianggap masih memiliki seni Kinyah Mandau dengan akar-akar
kehidupan budaya tradisi yang masih kental. Guna memfokuskan penelitian,
daerah-daerah itu ditentukan Kabupaten Murung Raya Kalimantan Tengah,
tepatnya di Kecamatan Murung, Kecamatan Sungai Babuat, serta sekitar Kota
Adapun narasumber untuk wawancara mendalam, adalah mereka yang
dianggap memiliki keterkaitan secara nilai dan muatan dengan seni budaya dalam
membentuk kehidupannya. Mereka adalah pelaku, pendukung dan pemerhati,
serta penentu kebijakan pendidikan dan kebudayaan, utamanya terkait eksistensi
seni budaya berkearifan budaya dalam membentuk karakter manusia Dayak di
BAB III
METODE
A.METODE PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan payung Etnokoreologi dengan dukungan teori
dan pendekatan lainnya secara multidisiplin. Beragam fenomena dalam seni
Kinyah Mandau pada masyarakat suku Dayak sebagai pembawa nilai dan pribadi
kepemimpinan pada manusianya perlu digali lebih dalam. Sumber deskriptif
dalam bentuk tari, waktu, peristiwa/kejadian, pelaku tari serta bentuk situasi sosial
terkait Kinyah Mandau pada masyarakat suku Dayak selama ini, sangat perlu
diamati, dikaji dan dianalisa secara mendalam.
Seluruh aspek tentang apa dan bagaimana bentuk implementasi Kinyah
Mandau pada msyarakat suku Dayak di Kalimantan Tengah, diupayakan dapat
dikupas secara mendalam guna melihat implementasinya pada pembentukan jati
diri kepemimpinan pada manusia Dayak di masa lalu, kini dan mendatang. Hasil
analisa dan kajian itu dipergunakan untuk menuntun penemuan teori; pencapaian
sintesa pemikiran terbaru, terutama terkait dengan peran seni budaya tradisional
suku Dayak khususnya yang membawa, memberdayakan dan memanfaatkan
Untuk melandasi kajian penelitian diperlukan suatu pendekatan secara
multidisiplin. Pendekatan multidisiplin dimaksudkan untuk melihat lebih jelas
kehadiran teks tari Kinyah Mandau dalam dalam membawa konteks budaya
masyarakat suku Dayak yang melingkupinya. Hal ini utamanya terkait dengan
nilai dan fungsi tari itu melalui proses dan hasilnya, untuk membentuk nilai
kepemimpinan pada masyarakat Suku Dayak di Kalimantan Tengah. Untuk itu,
disiplin ilmu yang dipilih sebagai payung penelitian adalah Etnokoreologi, di
bantu dengan teori dan pendekatan Semiotika Marco de Marinis, Hermeneutik,
Psikologi perilaku manusia Desmond Moris, dan Performance Studies.
Semiotik dipergunakan untuk menelaah aspek interpretasi terhadap Kinyah
Mandau serta kaitannya sebagai suatu tanda yang membawa tanda-tanda sosial
budaya yang melingkupinya. Untuk melengkapi pendekatan Semiotik atas tari
Kinyah Mandau, aspek kesejarahan suku dan sosiologi masyarakat Dayak selaku
‘produser’ tari Kinyah Mandau juga dapat dilihat. Pandangan Arnold Hauser
tentang “art as product of society” atau seni sebagai produk sosial masyarakat
sangat membantu untuk melihat hubungan tari Kinyah Mandau sebagai produk
budaya yang membawa nilai kepemimpinan pada masyarakat suku Dayak di
Kalimantan tengah. Hermeneutik dipergunakan untuk menggali nilai atas seni
Kinyah Mandau sebagai materi yang membawa kompleksitas nilai budaya di
dalam masyarakat Dayak di Kalimantan Tengah. Sebagai salah satu kajian,
Hermeneutik digunakan pula untuk mencermati hubungan antara: 1) nilai tari
Kinyah Mandau, 2) nilai etik-normatif-religiusitas budaya pada masyarakat suku
Performance Studies dipergunakan untuk melihat Kinyah Mandau
dikaitkan dengan teknis penampilan dan impresa artitik yang hadir, serta
hubungannya dengan nilai dan lingkup implementasi budaya masyarakat, pada
saat seni tari itu dihadirkan.
B.LOKASI PENELITIAN
Penelitian akan dilakukan di beberapa tempat komunitas tradisional suku
Dayak yang dianggap masih memiliki seni Kinyah Mandau dengan akar-akar
kehidupan budaya tradisi yang masih kental. Lebih fokus lagi pada masyarakat
suku Dayak berkepercayaan Hindu Kaharingan atau komunitas suku Dayak yang
masih membermaknakan kearifan lokalnya melalui laku berkesenian. Guna
memfokuskan penelitian, daerah-daerah itu ditentukan Kabupaten Murung Raya
Kalimantan Tengah, tepatnya di Kecamatan Murung, Kecamatan Sungai Babuat,
serta sekitar Kota Purukcahu Kabupaten Murung Raya.
Alasan dipilihnya tempat itu sebagai lokasi penelitian didasarkan pada
pertimbangan bahwa : 1) pada wilayah itu hidup mayoritas masyarakat suku
Dayak Siang. Out Danum, serta Dayak Ngaju, selaku pemilik seni tari Kinyah
Mandau, 2) masyarakat suku Dayak di wilayah itu nya merupakan komunitas
masyarakat Dayak paling hulu, dan secara mayoritas masih murni, memegang
nilai dan kaedah budaya tradisi 3) sebagian besar masyarakat, belum tersentuh
pola hidup modern dan perkotaan.
C. TEKNIK PENGUMPULAN DAN PENGOLAHAN DATA
sebanyak mungkin dari berbagai sumber1 melalui berbagai metode atau
pendekatan (Chaedar : 2009). Triangulasi juga merupakan teknik pengumpulan
data yang bersifat menggabungkan dari berbagai teknik pengumpulan data dan
sumber data yang telah ada (Sugiyono: 2009). Teknik triangulasi dalam
pengumpulan data penelitian dilakukan dengan kegiatan observasi partisipan,
wawancara mendalam dan studi dokumentasi.
Secara teknis penelitian, prosedur kegiatan pengumpulan dan pengolahan
data dapat dibagi menjadi tiga, yaitu : pertama, pengumpulan dan analisis
terhadap data sekunder dan primer berupa skrips kepustakaan untuk mendukung
landasan kajian teoretis penelitian. Kedua, pengumpulan data primer atas fakta
dari observasi lapangan yang berhubungan dengan seni dan laku seni Kinyah
Mandau dalam membentuk nilai kepemimpinan pada masyarakat tradisional suku
Dayak. Observasi lapangan lebih kepada observasi partisipan, dengan maksud
agar penulis dapat menemukan data dan fakta secara mendalam. Ketiga, Teknis
wawancara mendalam terhadap subyek pelaku sumber-sumber data.
1. Kajian Pustaka
Untuk dapat melihat pembentukan nilai kepemimpinan melalui tari Kinyah
Mandau pada masyarakat suku Dayak di Kalimantan Tengah, diperlukan kajian
komprehensif terkait konsep tentang : 1) pembentukan nilai kearifan budaya
sebagai proses pembudayaan yang semakna dengan pendidikan di dalam
masyarakat budaya suku Dayak dan suku-suku bangsa di Indonesia pada
umumnya, 2) nilai dan makna kepemimpinan berdasarkan konsep ideal
1
masyarakat suku Dayak di Kalimantan Tengah, 3) konsep tentang suku Dayak dan
kehidupan sosial budaya masyarakatnya, 4) nilai dan makna kesenian dalam
membentuk kepribadian berkearifan budaya lokal pada masyarakat suku Dayak,
5) hubungan tari Kinyah Mandau dengan nilai-nilai terkait simbol eksistensi
sosial, kepercayaan, dan religiusitas pada masyarakat suku Dayak di Kalimantan
Tengah, 6) kajian-kajian terdahulu terkait tari Kinyah Mandau pada masyarakat
suku Dayak di Kalimantan Tengah.
Berkenaan dengan hampir tidak adanya kepustakaan yang memadai untuk
mengupas nilai dan makna tari Kinyah Mandau pada masyarakat suku Dayak di
Kalimantan Tengah, maka aspek kajiannya diubah dengan penelaahan sekaligus
pencatatan kembali bentuk dan struktur tari, berdasarkan apa yang penulis ketahui
dan lihat terkait pertunjukan dan penampilan tari Kinyah Mandau dalam kegiatan
sosial masyarakat yang pernah ada.
2. Observasi Partisipan
a. Observasi Internal penulis sebagai seorang Dayak dan pelaku seni suku Dayak
Penulis juga adalah seorang bersuku Dayak, campuran Dayak Ngaju dan
Dayak Siang dari darah bapak, serta Dayak Ma’anyan dan Lawangan dari darah
ibu. Kebetulan pula orang tua/bapak penulis (sekarang sudah almarhum) adalah
seorang ‘mantan’ seniman tari dan musik tradisional, seorang pesilat (pelaku
kuntau dan ahli tantuwu). Dia juga mantan seorang guru dan dosen, serta
PNS/Birokrat yang pernah menduduki jabatan-jabatan strategis selaku eksekutor
Didikan dan arahannya melalui laku berkesenian dan hidup, serta darah
percampuran suku Dayak dalam diri penulis terasa menarik pula untuk ditelaah.
Pada posisi ini, pendekatan observasi partisipan yang digunakan adalah menggali
kembali segenap pengetahuan, wawasan dan kebermaknaan penulis atas hal-hal
terkait dengan jiwa kepemimpinan dan kebijaksanaan hidup berkearifan melalui
laku berkesenian, sebagaimana telah terbentuk dalam diri penulis selama ini.
b. Mencermati rekan-rekan sejawat seniman di Palangka Raya
Sebelum masa observasi lapangan, penulis sering memantau kegiatan seni
utamanya seni tari dan musik suku Dayak Kalimantan Tengah khususnya di
Palangka Raya. Apabila sedang berada di Palangka Raya,2 penulis selalu
menyempatkan diri mengunjungi rekan birokrat seni atau memantau langsung
aktivitas sanggar-sanggar seni tari dan musik daerah yang ada. Penulis juga
memiliki sanggar seni bernama “Tutwuri Handayani”, yang dikelola oleh kerabat
dan keponakan yang berasal dari Murung Raya dan Gunung Mas. Hal kunjungan
dan pantauan itu terkait panggilan jiwa, karena dedikasi dan rasa tanggung jawab
terhadap eksistensi seni budaya daerah. Di sana penulis sering berkumpul dengan
beberapa rekan, baik seniman senior maupun yunior; seperti Syaer Sua, Parada L.
KDR, Dr. Adijaya, Gerhard Gere Massal, Chendana Putra, Benny Tundan, Tahta
Rahmanda, dan lainnya.
Apabila diukur berdasarkan standar profesionalitas berkesenian, tidak
banyak seniman praktis ataupun birokrat seni yang ada di Palangka Raya
2
merupakan seniman murni atau akademis, atau individu yang menggantungkan
hidupnya melalui berkesenian. Banyak di antara mereka adalah seniman muda,
yang seumuran dengan penulis. Kalaupun ada yang sudah tua, kehadiran mereka
dalam latihan-latihan dan proses karya, biasanya sangat terbatas terkait kegiatan
pokok lain yang harus dikerjakan. Hampir semuanya belajar seni secara otodidak.
Lingkungan budaya, keluarga serta pergaulan sosial yang selalu dekat dengan
kegiatan seni budaya memang banyak berpengaruh kepada mereka untuk memilih
berkesenian praktis atau menjadi birokrat seni. Kebanyakan mereka mau
berkecimpung dalam dunia seni praktis adalah karena kecintaan, hobby, ‘peye’
dan tentunya honor/uang. Namun, mereka terlihat sangat intens, serius dan
bersemangat, bahkan berdisiplin pada saat melakukan proses latihan dan
pengkaryaan.
Terkadang penulis juga berdiskusi dengan mereka mengenai
bingkai-bingkai nilai suatu seni tari dan musik tradisional, serta upaya-upaya
pengkaryaaannya kembali untuk berbagai kepentingan. Misalnya untuk
penampilan di acara formal pemerintah, perkawinan adat Dayak, hiburan
tradisional rakyat, seni wisata dan wisata edukasi seni, ataupun seni sebagai
bagian upacara dan perayaan keagamaan (Kaharingan, Kristen, ataupun Islam).
Diskusi juga banyak menyangkut aspek impresa artistik, terkait etik dan estetik
yang didapat pada saat berkesenian terhadap diri sendiri dan orang lain. Standar
ukurnya terkait kepuasan dan spiritualitas diri dalam berekspresi, dan kepuasaan
orang lain yang dibuktikan dengan tingkat intensitas ‘peye’, atau ‘ditanggap’.
pengkaryaannya, tetapi juga aspek kualitas, keseriusan untuk pemberdayaannya
secara lebih jauh, sampai kepada sistem organisasi seni dan seniman dan
manajemen. Ditemukanlah suatu kebermaknaaan, bahwa seni kemudian sangat
terkait dengan pengelolaan diri dan kemampuan, leadership, pengelolaan seni dan
kesenimanan, serta pengaruhnya terhadap tubuh kembang seni budaya dan
masyarakatnya secara luas. Di situlah, penulis berusaha menangkap nilai dan
makna berkehidupan melalui aktivitas berkesenian yang rekan-rekan seniman lain
lakukan.
c. Observasi lapangan di Kabupaten Murung Raya
Pada tanggal 12-25 Agustus 2011, penulis berangkat ke Kabupaten Murung
Raya untuk observasi lapangan. Murung Raya adalah daerah asal dari almarhum
bapak, tempat dimana mayoritas suku Dayak Siang, Murung dan Out Danum
tinggal. Pada komunitas di hulu sungai Barito itulah, seni tari Kinyah Mandau
hadir sebagai salah satu materi seni budaya masyarakatnya.
Di Puruk Cahu Penulis juga berupaya hadir maja (bertamu; mengunjugi) di
dalam setiap perkumpulan sosial dan keagamaan masyarakat setempat, seperti
kebaktian/sembahyang keluarga, makan bersama, acara minum baram/anding, dan
sebagainya.
Penulis berkesempatan pula untuk maja pada kegiatan sanggar seni budaya
yang ada, seperti di sanggar tingang bohombit, atau komunitas seni budaya tira
komunitas/sanggar itu sedang mempersiapkan materi karya seni untuk
keberangkatan tim kesenian pada kegiatan seni budaya di luar daerah.3
Di Puruk Cahu penulis bertemu pula dengan beberapa seniman dan
‘mantan’ seniman budaya lokal seperti Idontori, Fandelis Tito, Vithelius Ubang,
Doni, Hardianto, Laping, dan lainnya. Di situ penulis banyak berdiskusi tentang
banyak hal, terkait kegiatan seni budaya setempat, serta kebijakan-kebijakan
kebudayaan pemerintah daerah setempat. Pada kesempatan itulah peneliti
menelaah secara menyeluruh hal-hal terkait dengan situasi dan kondisi
masyarakat, eksistensi kesenian dan seniman serta perkembangan kebudayaan di
kalangan masyarakat utamanya pada suku Dayak Siang dan Out Danum yang ada
di Puruk Cahu dan sekitarnya.
Terkait dengan tari Kinyah Mandau, kesempatan berdiskusi dengan seniman
lokal penulis gunakan untuk : 1) mengkonfirmasi validitas atas catatan-catatan
tentang Kinyah Mandau yang telah dibuat penulis sebelumnya, 2) menginvetarisir
individu, lokasi dan wilayah penelitian yang masih menempatkan Kinyah Mandau
sebagai bagian dari seni budayanya, 3) menginventarisir narasumber tokoh
adat/masyarakat dan pemerintah setempat untuk wawancara mengenai hubungan
seni budaya, terutama terkait tari Kinyah Mandau yang membawa sekaligus
membentuk nilai kepemimpinan di dalam diri mereka. Berdasar hasil itulah
3
ditetapkan wilayah penelitian adalah Kecamatan Sungai Babuat khususnya di
wilayah desa Bantian dan Tumbang Apat. Di kedua desa itu, terpadat pula situs
rumah betang tua yang sudah dipugar dan masih didiami oleh beberapa kaum
keluarga Dayak Siang selaku penghuni desa. Untuk itu kedatangan penulis segera
diinformasikan kepada orang asli dan kerabat kepala desa setempat yang berada di
Puruk Cahu.
d. Keberangkatan menuju desa Bantian dan Tumbang Apat
Bersamaan dengan selesainya surat ijin penelitian dan proses maja di Puruk
Cahu itu, pada pukul 08.00 WIB di tanggal 18-20 Agustus 2011, penulis dengan
diantar oleh rombongan kecil melakukan kunjungan lapangan menuju desa
Bantian dan Tumbang Apat.
Di sepanjang perjalanan kunjungan, penulis banyak melihat artefak budaya
berupa balai basarah atau rumah ibadah, serta patung totem patugur, tonggak
torah, balai sengumang/patahu dan sebagainya di lapangan atau di depan
rumah-rumah penduduk. Hal itu menandakan bahwa di wilayah itu mayoritas
masyarakatnya memeluk kepercayaan mula suku Dayak, yang sering diistilahkan
agama helo/houn atau hindu kaharingan.
Dalam perjalanan kunjungan, penulis menyempatkaan mengunjungi betang
Bantian dan mencatat serta mengambil beberapa data dari situ. Sayangnya,
penghuni betang hanya ada satu keluarga saja. Keluarga penghuni betang lainnya
sedang pergi behuma ke ladang di hutan belakang kampung. Kemudian penulis
Di desa Tumbang Apat, penulis disambut oleh kepala desa dan masyarakat
dengan upacara penyambutan dimana penulis harus membuka hompong atau
pantan pulut4 di depan betang Tumbang Apat. Pembukaan hompong itu disertai
dengan minum anding atau baram di dalam tanduk kerbau yang cukup berukuran
besar.5 Semuanya disediakan sebagai tanda penghormatan penduduk setempat atas
berkenannya penulis untuk mengunjungi mereka. Setelah melalui prosesi
hompong itulah masyarakat secara resmi kehadiran penulis dalam rangka
penelitian. Di situ penulis diberikan kesempatan untuk menyampaikan ihwal
terkait maksud dan tujuan kedatangan. Pada malam hari kedatangan, penulis juga
disambut dengan sembahyang/kebaktian secara Kristen oleh salah seorang kerabat
almarhum bapak.
Selama dua hari penulis berada di Tumbang Apat. Terkait materi penelitian,
penulis disediakan suatu acara khusus berupa malam budaya dan dibuatkan duran
atau sangkai secara sederhana untuk bisa berkomunikasi dan menunjukkan pula
kebolehan dalam berkesenian. Di saat yang sama penduduk desa secara individu
maupun komunal menyanyi dan menari-nari kesenian daerah setempat yang
bersifat sekuler, seperti kandan, karungut, deder, dondang dodoi, tantulo dan
sebagainya. Pada kesempatan itu kepala desa dan beberapa tokoh masyarakat
4
Buka atau potong hompong atau pantan merupakan ritual adat dalam rangka menyambut tamu yang dianggap terhormat, seorang pemimpin, atau seorang tokoh masyarakat yang berkenan datang pertama kalinya di suatu masyarakat adat suku Dayak Kalimantan Tengah. Hompong
pulut berisikan bambu-bambu yang berisikan masakan nasi ketan yang telah bercampur dengan
lauk utamanya daging hewan buruan atau piaraan (biasanya daging sapi, ikan atau babi). Sebagai kelengkapannya biasanya disediakan kelapa muda serta buah-buahan hasil panen lokal sebagai pendamping.
berkenan pula menarikan Kinyah Mandau. Namun, atas dasar pertimbangan
keselamatan dan pali atau pantangan adat, laku Kinyah Mandau yang ditampilkan
tidak menyertakan mandau dan telawang. Bahkan ada seorang pemuda yang
menarikan Kinyah Piring, yang secara bentuk dan struktur gerak hampir sama
dengan tari piring yang dimiliki orang etnis Minang di Sumatra Barat.
Suatu hal yang patut disayangkan pula bahwa seorang tetua kampung yang
penulis ingin saksikan kinyah-nya, berhalangan hadir karena menghadiri upacara
perkawinan adat di desa Bantian yang dilakukan secara bersamaan. Selain itu,
berdasarkan informasi yang didapat, tetua yang dimaksud sudah dikonfirmasi,
namun tidak berkenan menampilkan Kinyah Mandau dengan alasan duran yang
disediakan bagi penulis seperti tidak dianggap lebih penting daripada upacara
perkawinan adat di desa Bantian.
Penulis banyak menghimpun data dari malam budaya duran itu. Melalui
peristiwa itulah penulis menyimpulkan bahwa pada masyarakat setempat,
beragam materi kesenian yang bersifat menghibur diri dan berhubungan dengan
makna ritual sekular seperti duran; dapat ditampilkan sebagaimana adanya.
Namun, laku tari Kinyah Mandau, secara berbeda masih memiliki aspek ritual
sakral dan sangat melekat dengan batasan-batasan adat, eksistensi sosial dan
kepercayaan.
3. Wawancara Mendalam
Berkenaan teknik pengumpulan data ini, wawancara mendalam dilakukan
penentu kebijakan kebudayaan terkait pemberdayaan kearifan budaya pada
masyarakat suku Dayak di Kalimantan Tengah. orang-orang itu adalah :
1. Guntur Taladjan, 51 tahun, Seorang Dayak Ngaju Kapuas. Dia adalah Ketua
IV Dewan Adat Dayak Kalimantan Tengah, dan Unsur Pimpinan Presidium
Majelis Adat Dayak Nasional (MADN). Dia sangat aktif bergerak mendukung
gerakan pelestarian dan penghormatan yang tinggi terhadap eksistensi keadatan
suku Dayak Kalimantan Tengah. Pada kasus persidangan adat oleh MADN
terhadap Prof. “TA” dari Universitas Indonesia pada kasus pelecehan harkat
dan martabat adat Suku Dayak Kalimantan pada tanggal 22 januari 2011, dia
berkedudukan sebagai Jaksa Penuntut. Pengetahuannya terhadap seni budaya
dan bahasa daerah cukup luas, dan dia seorang kolektor seni. Dia juga seorang
Pegawai Negeri Sipil (PNS), Guru dan Dosen. Pernah mengajar di SMP/SMA
dan menjadi Pembantu Rektor II di Universitas Batang Garing Palangka Raya.
Pernah pula menjadi Kepala Dinas Pendidikan Kota Palangka Raya. Sekarang,
Dia menjadi Kepala Dinas Pendidikan Nasional Provinsi Kalimantan Tengah.
Wawancara mendalam dengan beliau terkait dengan materi peran seni budaya
dalam membentuk nilai dan jiwa kepemimpinan manusia Dayak di Kalimantan
Tengah. Wawancara terkait pula dengan perkembangan kebijakan pendidikan
di daerah Kalimantan Tengah, utamaya terkat upaya pemberdayaan muatan
budaya berkearifan lokal.
2. Parada Lewis KDR, 42 thn, seorang suku Dayak Ngaju Kahayan. Dia adalah
salah satu unsur Pimpinan Pemuda pada Majelis Pertimbangan Hindu
suku Dayak Kalimantan Tengah. Dia juga Pimpinan Komunitas Tarantang
Petak Balanga KalimantanTengah, suatu komunitas seni pertunjukan daerah
yang menaungi banyak sanggar seni budaya di Palangka Raya, Katingan dan
Kabupaten/Kota lainnya di Kalimantan Tengah. Wawancara dengan beliau
berkenaan dengan nilai dan konsep theologis berdasarkan pandangan
agama/kepercayaan Hindu Kaharingan, terkait dengan simbol-simbol budaya,
keadatan dan keagamaan atas eksistensi kehidupan manusia suku Dayak di
Kalimantan Tengah.
3. Enos Ladjai, 72 tahun, seorang suku Dayak Siang. Dia Purnawirawan TNI
berpangkat Pembantu Letnan II, dulu bertugas di Kesatuan Raider KODAM
10/06 Lambung Mangkurat, Kalimantan Selatan. Pernah ditugaskan pada
operasi militer hampir di seluruh wilayah di Indonesia, sejak awal bertugas
pada tahun 1958 (Pembebasan Irian Barat, Pemberontakan Permesta di
Sulawesi, Operasi Ganyang Malaysia di Serawak, pada dasawarwa
1950-1960an). Pada masa tahun 1980-1990an, Dia adalah seorang tokoh masyarakat
yang seringkali tampil menarikan Kinyah Mandau pada acara-acara adat suku
Dayak Siang. Sekarang, dia adalah Anggota Dewan Pertimbangan Adat
Kabupaten Murung Raya. Wawancara dengannya berhubungan dengan
keperluan penggalian data terkait dengan jiwa kemiliteran, kecintaan diri
terhadap nilai-nilai budaya Dayak, serta apa yang dimaknainya atas Kinyah
Mandau sebagai pembawa nilai kearifan budaya Dayak utamanya nilai
4. Doni SP, M.Si, 36 tahun. Seorang Dayak Siang, adalah seorang penari muda
Dayak berbakat pada jamannya. Ia menari secara tekun sejak tahun 1990-2001.
Pada tahun 1993, dia menjadi satu-satunya penari lokal kota Palangka Raya,
yang ditunjuk menjadi penari utama sekaligus asiten koreogafer bersama para
asisten Romo Gong (Bagong Kussudiardjo) dari padepokan Bagong
Kussudiardjo Yorgyakarta (bersama Ida M.T Wibowo, Sutopo, Florybertus
Fonno, Besar widodo, Ngatini, dan Ninuk); untuk menggarap karya Tari
Massal “Syukur” dan “Kaharap”; pada pembukaan dan penutupan Pesparawi
Nasional Tahun 1993. Beliau sering pula terlibat dalam tim kesenian
Kalimantan Tengah dalam even seni budaya domestik maupun mancanegara.
Pada tahun 2002-2004, dia pernah menjadi Senior Intendent di Perusahaan
Tambang Indomoro Kencana Murung Raya Indonesia, dan duduk sebagai
Manager of Comunity. Saat ini dia menjadi anggota DPRD Kabupaten Murung
Raya (dua periode) dan duduk sebagai ketua Komisi II bidang anggaran. Dia
juga adalah ketua DPD KNPI Kabupaten Murung Raya.
5. Chendana Putra Syaer Sua, 32 tahun, seorang suku Dayak Ngaju
Katingan/Kahayan, penari/pengamat tari, koreografer, seniman karungut,
pesilat Kuntau dan penari Kinyah Mandau. Putra tertua seniman besar
Karungut bernama Syaer Sua itu adalah pimpinan sanggar seni Palangka
Hadurut, juga unsur pimpinan Komunitas Tarantang Petak Balanga
Kalimantan Tengah di Palangka Raya. Dia sering mendapat predikat penata
tari terbaik dalam lomba/festival tari daerah pada skala provinsi dan nasional.
(GSC) Palangka Raya mendapatkan Grand Champion dalam kategori
etnik/folkchlore, pada Tomohon Grand Prix Choir International Festival pada
tahun 2009. Wawancara dengannya terkait dengan materi Tari Kinyah dalam
bentuk dan struktur, serta hubungannya dengan penguasaan beladiri Kuntau.
6. Idontori, 35 Tahun, seorang suku Dayak Siang, penari, koreografer, penari Kinyah dan pimpinan sanggar seni “Tingang Bohombit” di Puruk Cahu
Kabupaten Murung Raya. Seringkali membawa tim kesenian Murung Raya
dalam lomba/festival seni budaya pada skala propinsi, nasional bahkan
internasional (Brunei Darussalam, Malaysia, Australia, New Zealand, China,
dan Afrika Selatan). Dia juga Anggota Dewan Adat Daerah, dan Dewan
Kesenian Daerah Kabupaten Murung Raya. Saat ini bekerja sebagai PNS dan
duduk sebagai Kasi Kependudukan di Kelurahan Beriwit Kecamatan Murung
Kabupaten Murung Raya. Wawancara dengannya terkait dengan persiapan dan
teknis tari Kinyah Mandau, rekaman visual tari dan beberapa penjelasan
terkait properti tari dan musik pengiring tari Kinyah, utamanya penyajiannya
dalam gaya suku Dayak Siang.
D. TEKNIS ANALISIS DATA
Analisis uraian hasil pengumpulan data dilakukan setiap waktu, secara
terus-menerus secara induktif selama penelitian berlangsung dengan mengolah
bahan empirik supaya dapat disederhanakan ke dalam bentuk yang lebih mudah
dibaca, dipahami, dan diinterpretasikan. Analisis induktif dimulai dengan
penelitian. Teknis triangulasi terhadap data dan sumber data seperti yang
dipergunakan sebagai pendekatan pengumpulan dan dasar pengolahan data, akan
digunakan pola untuk mendasari proses analisis induktif sebagai hasil penelitian.
Pertanyaan atas permasalahan, sekaligus pembahasan serta analisasnya
secara spesifik dan lebih lanjut, dapat digali melalui wawancara bebas atau
observasi partisipan penulis secara lebih intens di lapangan. Fungsinya tentu
untuk dapat mengumpulkan ungkapan kognitif, serta emosi para pelaku atau yang
terlibat secara lebih dalam. Analisis data kemudian dirangkum secara deskriptif
untuk membantu penemuan konsep-konsep yang mengandung keaslian sesuai
ungkapan subyek penelitian sesuai realitas.
Subyek observasi dan narasumber wawancara akan dikembangan secara
Snowball Sampling. Data akan berupa catatan hasil interviu, memo, deskripsi
studi dokumentasi, dan catatan lapangan lainnya. Semuanya akan dilihat dan
dicermati, guna kajian dan analisa kearifan lokal melalui seni Kinyah Mandau
sebagai pembawa sekaligus pembentuk nilai dan kepribadian pemimpin pada
masyarakat suku Dayak di Kalimantan Tengah. Seluruh kumpulan data dari
proses triangulasi kemudian di koding, kategorisasi, dan dimaknai, dalam
pengolahan dan analisanya.
E. VALIDITAS DAN REALIBILITAS DATA
Untuk kepentingan keabsahan data, dilakukan uji kredibilitas (validitas
internal), transferabilitas (validitas eksternal/generalisasi), dan konfirmabilitas/
observasi, peningkatan ketekunan, triangulasi, diskusi dengan teman sejawat,
member check, dan analisa kasus negatif / Devil Advokad.
Sumber data primer dan sekunder dalam penelitian adalah hasil observasi,
diskusi, wawancara, dan kajian pustaka. Hasilnya berupa tekstual dalam gerak,
bentuk dan struktur tari Kinyah Mandau, dan kontekstual terkait nilai seni dan
nilai budaya, serta nilai kepemimpinan yang menyertainya. Terkait uji
kredibilitas, kebenarannya diuji kembali secara internal melalui validitas dengan
perbandingannya terhadap landasan kajian teoretis penelitian. Melalui uji
transferibilitas dan konfirmabilitas/ obyektifitas, hasil validitas terhadap
kompleksitas data tari Kinyah Mandau, akan diarahkan kepada generalisasi
simpulan dan teori secara obyektif; terkait hubungan nilai kepemimpinan dengan
sebagai nilai seni sekaligus nilai budaya pada masyarakat suku Dayak di
F. JADWAL PENELITIAN
1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4
Pra Pelaksanaan Penelitian
1 Survei Materi dan Lokasi
2 Penentuan Judul & Topik Penel itian 3 Penyusunan/Pembuatan Proposal 4 Admi nistrasi Penel itian
5 Peri jinan/persiapan lai nnya 6 Penentuan Instrumen Penel iti an
Pelaksanaan Penelitian
1 Pengumpulan/Inventari sasi Data 2 Konsultasi/ Pembi mbingan 3 Pengol ahan/ anal isa Data 4 Penyusunan Laporan Penelitian 5 Penyampaian Laporan Penel iti an 6 Revisi/Perbai kan Laporan
KET Bulan IV
Bulan III Bulan II
Bulan I TAHAPAN KEGIATAN PENELITIAN
NO
BAB V
KESIMPULAN, IMPLIKASI DAN REKOMENDASI
A.KESIMPULAN
Kesatuan bentuk dan proses penyajian tari Kinyah Mandau, ternyata erat
berhubungan dengan nilai dan fungsinya sebagai penanda atas konsep ideal
manusia suku Dayak. Suatu kesadaran terhadap makna atas konsep ideal itu
menjadikan seorang Dayak membentuk pula nilai ideal sekaligus nilai
kepemimpinan di dalam dirinya. Kuatnya hubungan tari Kinyah Mandau dengan
konsep ideal masyarakat suku Dayak di Kalimantan Tengah, ternyata menandakan
bahwa tari Kinyah Mandau membawa pula nilai kepemimpinan ideal. Dengan
demikian, Kinyah Mandau merupakan pembawa nilai kepemimpinan sekaligus
gambaran seutuhnya seorang Dayak, yang dapat diposisikan sebagai penjaga
keutuhan Hadat dan Belom Bahadat secara sosial, etika dan moral, serta
religiusitas/spiritualitas; demi keseimbangan kosmik kehidupan.
B.IMPLIKASI DAN REKOMENDASI
Hasil penelitian ini merupakan upaya kajian, tinjauan dan inventarisasi
secara holistik atas nilai, perilaku/sikap, kepemimpinan suku Dayak di
Kalimantan Tengah, yang bisa didapatkan melalui kegian seni tari Kinyah
Mandau. Pemanfaatan dan pemberdayaan atasnya, dapat berguna untuk
daerah. Hal ini utamanya bagi masyarakat tradisional, pra-modern, bahkan
modern pada masyarakat suku Dayak di Kalimantan Tengah; yang mulai turut
mengalami transisi budaya dan berkembang menjadi masyarakat pra-kota, kaum
urban baru atau modern, bahkan menjadi masyarakat kota.
Hasil penelitian ini masih merupakan suatu buah penggalian atas nilai
kepemimpinan dalam laku berkesenian yang membawa serta nilai kearifan lokal
masyarakat suku di Indonesia, terutama pada suku Dayak di Kalimantan Tengah.
Terkait dengan pemanfaatan dan pengembangannya sebagai bahan kajian awal
untuk mendasari pengembangan muatan dan nilai kepemimpinan bagi bahan ajar
di sekolah formal dan non formal; hasil penelitian ini direkomendasikan untuk
dapat ditindaklanjuti untuk melandasi pemenuhan atas unsur nilai dan muatan
pendidikan kes