• Tidak ada hasil yang ditemukan

Deskripsi Pertunjukan Tari Merak dalam Upacara Perkawinan Masyarakat Adat Sunda di Kota Medan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Deskripsi Pertunjukan Tari Merak dalam Upacara Perkawinan Masyarakat Adat Sunda di Kota Medan"

Copied!
116
0
0

Teks penuh

(1)

DESKRIPSI PERTUNJUKAN TARI MERAK PADA UPACARA

PERKAWINAN MASYARAKAT ADAT SUNDA DI KOTA

MEDAN

SKRIPSI SARJANA Dikerjakan

O L E H

NAMA : SYAFWAN ARRAZAK

NIM : 100707025

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS ILMU BUDAYA

DEPARTEMEN ETNOMUSIKOLOGI MEDAN

(2)

LEMBAR PENGESAHAN

DESKRIPSI PERTUNJUKAN TARI MERAK PADA UPACARA PERKAWINAN MASYARAKAT ADAT SUNDA DI KOTA MEDAN Skripsi Sarjana

Dikerjakan Oleh :

NAMA : SYAFWAN ARRAZAK

NIM : 100707025

Disetujui oleh Pembimbing

Pembimbing I, Pembimbing II,

Drs. Fadlin, M.A Arifninetrirosa, SST., M.A NIP. 1961022019891003 NIP. 196502191994032002 Skripsi ini diajukan kepada Panitia Ujian Departemen Etnomusikologi Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara Medan untuk melengkapi salah satu syarat Ujian Sarjana Seni dalam bidang Musik Program Studi Etnomusikologi.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS ILMU BUDAYA

DEPARTEMEN ETNOMUSIKOLOGI MEDAN

(3)

DISETUJUI OLEH:

FAKULTAS ILMU BUDAYA

UNIVERISTAS SUMATERA UTARA

MEDAN

Medan, 2015 Departemen Etnomusikologi

Ketua Program Studi,

Drs. Muhammad Takari, M.Hum., Ph.D.

(4)

PENGESAHAN

Diterima oleh :

Panitia Ujian Departemen Etnomusikologi Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara Medan, untuk melengkapi salah satu syarat Ujian Sarjana Seni dalam Jurusan Etnomusikologi pada Fakultas Ilmu Budaya USU Medan.

Pada Tanggal :

Hari :

FAKULTAS ILMU BUDAYA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA Dekan,

Drs. Syahron Lubis, M.A NIP. 195110131976031001 Panitia Ujian

No Nama Tanda Tangan

1. Drs. Muhammad Takari, M.Hum., Ph.D ( )

2. Dra. Heristina Dewi, M.Pd ( )

3. Drs. Fadlin M.A ( )

4. Arifninetrirosa, SST., M.A ( )

(5)

ABSTRAKSI

Penelitian berjudul “Deskripsi Pertunjukan Tari Merak Pada Upacara Perkawinan Adat Masyarakat Sunda di Kota Medan”. Penelitian ini membahas tentang bagaimana deskripsi tari merak dalam upacara perkawinan masyarakat sunda di Kota Medan. Bagaimana pola gerak tari dan maknanya, musik pengiring tarian, alat musik yang digunakan, kostum penari dan properti yang dipakai. Tujuannya untuk mengetahui deksripsi tari merak dalam upacara adat masyarakat Sunda di Kota Medan serta hal-hal yang terkaait dalam tarian tersebut. Dalam penggunaan konsep dan teori, penelitian ini menggunakan konsep tari oleh

Tengku Luckman Sinar dan Koentjaraningrat. Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori pertunjukan oleh Salmurgianto dalam Milton Siger, teori penggambaran makna dalam pertunjukan tari oleh Soedarsono dan teori

Weighted Scale oleh William P. Malm dalam mentranskripsi lagu. Metode yang digunakan dalam penelitian ini yaitu menggunakan penelitian kualitatif, karena dideskripsikan dengan menggunakan tulisan, rekaman video, dokumentasi gambar, dan teknik pengumpulan data dengan observasi, wawancara dan beberapa sumber pendukung dari buku serta internet. Maka dari inilah penulis tertarik mengkaji pertunjukan tari merak dalam upacara perkawinan masyarakat Sunda sebagai tugas akhir. “Skripsi ini berjudul “Deskripsi Pertunjukan Tari Merak Pada Upacara Perkawinan Adat Masyarakat Sunda di Kota Medan”.

(6)

KATA PENGANTAR

Atas doa dan puji serta syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT karena rahmat dan karunianya sehingga penulis dapat menyelesaikan dengan baik penulisan skripsi ini yang berjudul Deskripsi Pertunjukan Tari Merak dalam Upacara Perkawinan Masyarakat Adat Sunda di Kota Medan.

Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk menyelesaikan jenjang S1 dan memperoleh gelar Sarjana Seni (S.Sn) pada Departemen Etnomusikologi, Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara. Skripsi ini adalah hasil penelitian mengenai upacara perkawinan masyarakat adat Sunda di Kota Medan.

Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Rektor Universitas Sumatera Utara, Dekan Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara, serta seluruh dosen-dosen dan pegawai di lingkungan Departemen Etnomusikologi, Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara, yang telah memberikan peluang, kesempatan dan kemudahan secara moril kepada penulis sejak awal duduk dibangku perkuliahan hingga sampai kepada tahap penyelesaian skripsi ini.

(7)

Kepada bapak Drs. Fadlin MA. Selaku Dosen Pembimbing I yang banyak memberikan berbagai motivasi serta bimbingan kepada penulis serta memberikan berbagai kemudahan dalam menyelesaikan urusan perkuliahan yang berdampak positif bagi penulis, serta Ibu Arifninetrirosa S.ST., M.A selaku Dosen Pembimbing II yang juga banyak memberikan energi yang baik bagi penulis agar terus bersemangat dalam menyelesaikan studi di Etnomusikologi, Kedua Dosen Pembimbing ini yang telah bersedia dan sangat membantu penulis dalam membimbing, mengarahkan, serta menyempurnakan didalam penyusunan skripsi ini. Saran dan arahan mereka membuat penulis semakin termotivasi dan semakin semangat untuk menyelesaikan skripsi ini,

Ucapan terima kasih selanjutnya untuk ibu Dra. Heristina Dewi, M.Pd, sebagai Sekretaris Jurusan Etnomusikologi yang sangat komunikatif. Dan untuk seluruh staff pengajar dan staff administrasi Departemen Etnomusikologi.

(8)

Selanjutnya penulis mengucapkan terima kasih kepada seluruh teman-teman terbaik di ULK USU, Adre, Oya, Maddin, Nisva, Andi, Ade Montik, Kak Dwi, Nasrah, Taufiq yang telah memberi semangat dan dukungan selama proses pengerjaan skripsi. Untuk Kang Ade Herdiyat, Kang Dedek, Kak Evi, Kang Irfas yang telah menjadi inspirasi bagi penulis.

Tidak lupa juga penulis ucapkan kepada sahabat-sahabat Etnomusikologi stambuk 2010 yang telah berjuang bersama penulis. Walaupun sudah tidak tahu dimana, percayalah bahwa kita pernah berjuang dikelas yang sama.

Selanjutnya ucapan terimakasih kepada sahabat penulis, Heru, Irul, Fitri, Aguatin Fernandez, S.Sn, Yoseni L Turnip, S.Sn, Merry, Kezia, Veron, Irma, Rizan, Wawan, Imam, Teh Riza, Kak Jerry, Kak Dina, Kak Golda, Kak Renny, Kak Ifah, Bang Arraw dan kawan-kawan yang tidak bisa penulis sebutkan, telah banyak membantu suppor dan dorongan doa, tanpa kalian penulis mungkin tak berarti apa-apa.

(9)

Akhir kata, penulis mengharapkan semoga skripsi ini dapat memberikan sumbangan fikiran dan pengetahuan yang bermanfaat bagi pembaca, khususnya dalam budaya masyarakat Jawa dan dalam bidang ilmu Etnomusikologi.

Medan , 11 Juni 2015

Penulis,

(10)

DAFTAR ISI

1.1. Latar Belakang Masalah ... 1

1.2. Pokok Permasalahan ... 10

1.3. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 10

1.3.1.Tujuan Penelitian ... 10 2.1. Asal-Usul Masyarakat Sunda ... 20

2.2. Masuknya Masyarakat Sunda di Kota Medan... 21

2.3. Kebudayaan Masyarakat Sunda di Kota Medan ... 23

2.3.1. Sistem Kepercayaan ... 23

(11)

2.3.3. Sistem Kekerabatan ... 25

2.3.4. Sistem Pengetahuan dan Teknologi ... 29

2.3.5. Sistem Bahasa ... 31

3.1.2. Fungsi Tarian Merak ... 49

3.1.3. Nilai dalam Tarian Merak ... 49

3.2. Adat Istiadat dalam Perkawinan Masyarakat Sunda ... 50

3.3. Proses Upacara Perkawinan Adat Pada Masyarakat Sunda di Medan ... 54

3.3.1. Proses Awal ... 54

3.3.2. Prosesi Lengkap ... 58

3.4. Pertunjukan Tari Merak ... 70

3.5. Deskripsi Pola Gerak dan Pola Lantai Tari Merak ... 71

3.5.1. Bagian Kepala ... 71

3.5.2. Bagian Tangan... 71

3.6. Perlengkapan Busana Tari Merak ... 76

3.6.1. Perlengkapan Busana Bagian Kepala ... 76

3.6.2. Perlengkapan Busana Bagian Atasan Badan ... 79

3.6.3. Perlengkapan Busana Bagian Bawahan Badan ... 83

(12)

BAB. IV STRUKTUR LAGU DALAM PERTUNJUKAN TARI MERAK PADA UPACARA MASYAKARAT ADAT SUNDA

4.1 Pengantar ... 92

4.2 Struktur Melodi Lagu ( Weighted Scale )... 93

4.2.1 Tangga Nada ... 93

4.2.2 Nada Dasar ... 94

4.2.3 Wilayah Nada ... 95

4.2.4 Jumlah Nada ... 96

4.2.5 Interval ... 96

4.2.6 Pola-Pola Kadensa... 97

4.2.7 Formula Melodi ... 97

4.2.8 Kontur... 98

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan ... 100

5.2 Saran ... 101

DATA INFORMAN ... 102

(13)

ABSTRAKSI

Penelitian berjudul “Deskripsi Pertunjukan Tari Merak Pada Upacara Perkawinan Adat Masyarakat Sunda di Kota Medan”. Penelitian ini membahas tentang bagaimana deskripsi tari merak dalam upacara perkawinan masyarakat sunda di Kota Medan. Bagaimana pola gerak tari dan maknanya, musik pengiring tarian, alat musik yang digunakan, kostum penari dan properti yang dipakai. Tujuannya untuk mengetahui deksripsi tari merak dalam upacara adat masyarakat Sunda di Kota Medan serta hal-hal yang terkaait dalam tarian tersebut. Dalam penggunaan konsep dan teori, penelitian ini menggunakan konsep tari oleh

Tengku Luckman Sinar dan Koentjaraningrat. Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori pertunjukan oleh Salmurgianto dalam Milton Siger, teori penggambaran makna dalam pertunjukan tari oleh Soedarsono dan teori

Weighted Scale oleh William P. Malm dalam mentranskripsi lagu. Metode yang digunakan dalam penelitian ini yaitu menggunakan penelitian kualitatif, karena dideskripsikan dengan menggunakan tulisan, rekaman video, dokumentasi gambar, dan teknik pengumpulan data dengan observasi, wawancara dan beberapa sumber pendukung dari buku serta internet. Maka dari inilah penulis tertarik mengkaji pertunjukan tari merak dalam upacara perkawinan masyarakat Sunda sebagai tugas akhir. “Skripsi ini berjudul “Deskripsi Pertunjukan Tari Merak Pada Upacara Perkawinan Adat Masyarakat Sunda di Kota Medan”.

(14)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Indonesia memiliki banyak ragam suku bangsa dan kebudayaan yang salahsatunya adalah etnis sunda. Sunda merupakan etnis yang berasal dari propinsi Jawa Barat yang kini masyarakatnya telah tersebar hampir di seluruh wilayah Indonesia. Menurut Maryati Sastrawijaya dalam Rouffaer (1905:16) kata Sunda berasal dari akar kata suddha dalam bahasa sanksekerta yang memiliki pengertian bersinar, terang, berkilau, putih (Maryati Sastrawijaya dalam Williams 1872:1128 dan Eringa 1949:289)1. Orang Sunda meyakini bahwa memiliki etos atau karakter kasundaan

sebagai prinsip utama dalam hidup. Karakter kasundaan yang dimaksud adalah cageur

(sehat), bageur (baik), bener (benar), singer (mawas diri), dan pinter (cerdas).

Orang Sunda mayoritas beragama Islam memiliki pandangan hidup yang telah diwariskan oleh nenek moyangnya dan tetap dijalankan hingga saat ini tidak bertentangan dengan norma ajaran agama Islam. Orang Sunda melandasi hubungan antara sesama manusia dengan sikap “silih asih, silih asah, dan silih asuh”, yang memiliki arti harus saling mengasihi, saling mengasah atau mengajari, dan saling mengasuh sehingga tercipta suasana kehidupan masyarakat yang diwarnai keakraban,

1

(15)

kerukunan, kedamaian, ketentraman, dan kekeluargaan. Pandangan hidup tersebut yang mempertahankan kebudayaan sunda dapat bertahan walaupun orang sunda telah banyak yang melakukan transmigrasi keluar dari Pulau Jawa. Berdasarkan hasil sensus penduduk Indonesia dari Badan Pusat Statistik 2011, etnis sunda merupakan etnis terbesar kedua di Indonesia yang masyarakatnya telah tersebar ke seluruh wilayah di Indonesia.

Penyebaran masyarakat Sunda ke Sumatera Utara pertama kali datang pada masa pemerintahan Belanda sekitar awal tahun 1900an sebagai kuli yang dipekerjakan di perusahan perkebunan Deli Matschapi2yang didatangkan dari pulau Jawa3 yang pada waktu itu dilanda kemiskinan dan banyaknya pengangguran. (Irfas dalam Buiskool 2005:274-5). Sebagian kecil para kuli dari Jawa itu adalah orang Sunda. Setelah kontraknya habis, para kuli itu tidak kembali ke Jawa, namun tetap tinggal dan menetap di Sumatera Utara (Irfas dalam Hartono 2005:4334).

Kehidupan masyarakat Sunda di pulau Jawa yang terus memelihara kebudayaan upacara-upacara adat dan juga mempengaruhi untuk masyarakat Sunda

2

Deli Maatschappij adalah perusahaan budidaya tembakau deli yang didirikan Jacob Nienhuys dan Peter Wilhelm Janssen pada 1869. Pada abad ke-19, Deli Maatschappij mengeksploitasi lahan seluas 120.000 hektar. Aktivitas perusahaan ini mendorong banyak perusahaan sejenis dari Eropa membuka lahan di Tanah Deli. Kantor pusat Deli Maatschappij semula di Jalan Diponegoro (sekarang kantor gubernur Sumatera Utara) dan kemudian dipindahkan ke Jalan Tembakau Deli dekat pertemuan Sungai Deli dan Sungai Babura.

3

Para kuli yang dipekerjakan tak hanya berasal dari pulau Jawa, Deli Matschapij juga mengimpor kuli orang Cina dan orang India dari P. Penang dan Singapura. Ini dilakukan karena penduduk Sumatera (Melayu dan Batak) tidak tertarik dengan kerja perkebunan. Diperkirakan tiga ratus ribu orang Cina telah didatangkan ke Sumatera antara tahun 1870 s.d. 1930, dan dua puluh ribu orang Jawa didatangkan pada awal 1900-an (Buiskool 2005: 275).

4

(16)

yang telah berpindah dari Tanah Sunda5 ke pulau Sumatera. Dalam tulisan ini penulis akan membatasi wilayah penelitian yang hanya melihat serta meneliti pada komunitas Sunda di Sumatera Utara, khususnya di kota Medan dalam konteks upacara perkawinan adat sunda. Etnis Sunda kaya akan kesenian tradisional baik dalam bidang musik yangterkenal dengan repertoar musik gamelan degung untuk iringan lagu-lagu khas Sunda yang dinyanyikan oleh seorang pesinden (penyanyi khas lagu-lagu sunda), selain itu etnis Sunda juga memiliki kesenian dalam bidang pewayangan yang terkenal dengan kesenian wayang golek yang merupakan pertunjukan sandiwara boneka yang terbuat dari kayu dan kulit hewan, yang dimainkan oleh seorang sutradara merangkap pengisi suara yang biasa disebut dalang. Kesenian lain yang dimiliki etnis Sunda adalah seni tari tradisional. Ada berbagai jenis tari yang terkenal dalam etnis Sunda seperti tari topeng, tari jaipong dan tari merak. Tari merak inilah yang akan menjadi topik utama pembahasan penulis dalam penelitian ini.

Dari beberapa buku dan hasil sumber bacaan lainnya serta hasil dari wawancara dengan bapak Ade Herdiyat yang merupakan seorang tokoh seniman Sunda, penulis mendapatkan informasi bahwa tari merak merupakan salah satu tari kreasi baru yang diciptakan pada tahun 1950 an oleh seorang koreografer bernama Raden Tjetje Somantri yang telah mengalami perkembangan koreografi baru oleh

5

(17)

Dra. Irawati Durban pada tahun 1965 dan terjadi revisi ulang gerakan pada tahun 1985 yang diajarkan kepada Romanita Santoso pada tahun 1993.

Tari merak ini dulunya merupakan sebuah tarian penyambutan selamat datang kepada seorang raja atau tamu yang dianggap penting lainnya yang dilakukan oleh minimal 2 penari dan beberapa orang penabur bunga yang dipertunjukan pada upacara-upacara adat tertentu.Namun seiring berjalannya waktu, tari merak sekarang ini telah menjadi tari penyambutan selamat datang terhadap rombongan pengantin pria ketika menuju pelaminan dalam upacara perkawinan adat sunda dan menjadi tari pertunjukan yang menjadi hiburan masyarakat umum.

Tari merak yang umumnya selalu ditarikan oleh seorang wanita yang menggunakan kostum tari yang seluruhnya dihiasi payet penuh warna-warna mencolok seperti merah, biru, hijau, kuning, emas, dan warna lainnya yang menggambarkan dari keindahan bulu dan keanggunan dari seekor burung merak jantan dan juga menggunakan hiasan kepala berbentuk kepala burung merak yang akan bergoyang mengikuti gerakan kepala sang penari, serta memakai kain yang dipakai seperti sayap ini menari menyambut kedatangan pihak pengantin pria.

Perlengkapan kostum tari merak terdiri dari beberapa bagian seperti : siger

(hiasan kepala penari berbentuk kepala burung merak), susumping (hiasan telinga),

(18)

dan ditutupi oleh sabuk), rok (kain penutup bagian bawah), gelang (kain yang di ikatkan di pergelangan tangan), dan kilat bahu (kain yang diikatkan di bahu).

Pertunjukan tari merak yang menonjolkan unsur keindahan seni tari dari sebuah olah gerak tubuh yang digambarkan dalam bentuk gerakan-gerakan tingkah laku burung merak jantan yang pesolek yang akan melenggang, mengembangkan sayap, melenggak lenggokan pinggul, menggerakan leher kekanan dan kiri dengan bangga mempertontonkan keindahan bulu ekornya yang indah untuk menarik hati seekor burung merak betina dan berlomba-lomba untuk mencari pasangan.

Gerakan olah tubuh yang ada di dalam tarian merak dasarnya antara lain gerakan terbang, gerakan ukel, gerakan kepat rineka, gerakan nyawang, gerakan kokoreh, dan gerakan hormat. Perkembangan waktu membuat koreografi tari merak dapat ditambah dengan gerakan-gerakan kreasi baru namun tetap harus memelihara gerakan dasarnya.

Dalam pertunjukannya tari merak dapat di iringi oleh musik rekaman dalam sebuah kaset yang diputar dengan VCD/MP3 player atau dengan permainan repertoar instrumental musik khas Sunda yang dimainkan langsung oleh panayangan (pemain gamelan) menggunakan seperangkat gamelan degungyang terdiri dari bonang (15-18

gong-chime set), saron (metallaphone), jenglong (8 gong-chime set), goong, kendang

(19)

Herdini, meyakini bahwa seni degung lahir sekitar abad ke-14, dimana Prabu Siliwangi, Raja Pajajaran sebagai yang pertama menciptakannya (Ali R. Et. All dalam Herdini 1992:346). Ada pula pendapat lain berasal dari Atik Soepandi yang menyatakan bahwa gamelan degung berasal dari perkembangan goong renteng7 yang telah di rekonstruksi kembali oleh Pak Idi yang merupakan seorang nayaga8, menjadi gamelan degung pada tahun 1920-an (Ali R. Et. All dalam Soepandi,1974:8).

Tari merak merupakan sebagai salah satu bagian pelengkap dan pendukung tak langsung dalam proses mapag pengantenpada upacara perkawinan adat Sunda. Meskipun tarian ini tidak ditampilkan, ritual mapag pengantenakan tetap bisa dilaksanakan karena mapag penganten merupakan salah satu ritual yang menjadi bagian dari seluruh rangkaian upacara perkawinan adat Masyarakat Sunda.

Tulisan ini akan membahas dan menjelaskan pertunjukan tari merak dalam konteks upacara perkawinan karena saat ini tarian ini lebih sering dilakukan dalam upacara perkawinan dibandingkan dengan upacara adat lainnya di kota Medan. Maka penulis akan menyimpulkan sedikit tentang perkawinan. Perkawinan merupakan salah suatu perbuatan mulia dan termasuk salah satu ibadah dalam ajaran agama Islam. Salah satunya perkawinan adat masyarakat Sunda. Perkawinan dalam adat Sunda memiliki serangkaian dan proses yang harus dilakukan, proses ini disebut

6

Dalam buku Mengungkap Nilai Tradisi pada Seni Pertunjukan Jawa Barat. Balai Pengelolaan Kepurbakalaan, Sejarah dan Nilai Tradisional 2008.

7

Goong renteng berasal dari salah satu instrument berbentuk enam buah gong yang digantung pada sederetan rancak atau rak. Ensambel goong renteng terdiri dari kobuang (gong-chimes), saron (metallophones), cecempres (metallophones), beri (goong-chimes), goong alit (goong yang berukuran kecil), dan goong gede (goong yang berukuran besar). Lihat Soepandi (1974), Heins (1977), dan Herdini (1992).

8

(20)

mapag penganten. Secara etimologi, kata mapag dalam bahasa Sunda berarti menjemput atau menyambut dan penganten adalah orang yang akan melangsungkan perkawinan. Maka mapag penganten merupakan proses penyambutan kedatangan pengantin dan rombongan keluarganya. Rombongan yang disambut kedatangannya adalah pihak laki laki, karena upacara perkawinan adat Sunda umumnya dilakukan di kediaman pihak pengantin wanita.

Perkawinan adat Sunda yang dilandasi oleh ajaran agama Islam ini diawali dengan melakukan proses akad nikah dan mengucapkan Ijab Qabul9 yang biasa dilaksanakan dimesjid atau dirumah, tergantung dari kesepakatan pihak keluarga pengantin yang dipimpin oleh seorang tuan kadi dari KUA (Kantor Urusan Agama).

Prosesi pekawinan adat Sunda berlanjut dengan datangnya pihak pengantin pria dan rombongan keluarganya ke-kediaman pengantin wanita. Rombongan keluarga harus menunggu persiapan dari pihak keluarga pengantin wanita yang akan melakukan prosesi upacara mapag (menyambut).

Upacara mapag ini secara keseluruhan akan dipimpin oleh seorang penetua adat atau biasa disebut Ki Lengser. Ki Lengser juga bertugas untuk memberi tanda kepada para panayangan10 (pemain musik), penari merak, penabur bunga, punggawa (prajurit penjaga), dan pihak keluarga pengantin wanita yang akan menyambut kedatangan pengantin pria, selama upacara dilaksanakan.

9

Ijab Qabul merupakan susunan rangkaian kata yang akan di ucapkan oleh Orang tua atau wali dari pihak pengantin wanita dengan cara menjabat tangan calon pengantin pria dan mengucapkan rangkaian kata tersebut untuk menikahkan anak nya (calon pengantin wanita) kepada calon pengantin pria.

10

(21)

Upacara ini dimulai dengan dimainkannya repertoar gendhing bubuka dan Ki Lengser mempersilahkan para punggawa untuk mengawal pengantin pria dan rombongannya. Proses berlanjut dengan berlangsungngya percakapan antara Ki Lengser11dan ketua rombongan dari pihak pengantin pria lalu kemudian Ki Lengser

mempersilahkan kepada para penari merak dan penabur bunga untuk menari menyambut kedatangan pengantin pria. Di depan rumah pihak pengantin wanita dan rombongan keluarga telah menanti, Ibu pengantin wanita akan mengalungkan bunga melati sebagai ucapan selamat datang kepada pengantin pria dan rombongan keluarganya.

Selanjutnya kedua mempelai akan melakukan ritual saweran12 yang melambangkan kedua mempelai beserta keluarga berbagi rezeki dan kebahagiaan. Proses upacara berlanjut dengan melakukan ritual nincak endog (menginjak telur), pengantin pria akan menginjak sebutir telur yang kemudian pengantin wanita mencuci kaki pengantin pria sebagai tanda pengabdian istri kepada suami.

Selanjutnya kedua pengantin membakar harupat13 dan mencelupkannya kedalam kendi yang berisi air bunga yang kemudian dipecahkan sebagai tanda hilangnya segala sifat buruk dari kedua mempelai dan memecahkan masalah secara bersama sama dalam membina suatu keluarga.

11

seorang tokoh perwayangan yang mengabdikan hidupnya untuk melayani umat manusia

12

Kata sawer berasal dari kata penyaweran, yang dalam bahasa Sunda berarti tempat jatuhnya air dari atap rumah atau ujung genting bagian bawah. Pendapat lain mengatakan bahwa kata sawer berasal dari tempat berlangsungnya ritual tersebut yakni di panyaweran (di teras atau halaman).

13

(22)

Setelah prosesi itu selesai, kedua mempelai melanjutkan ritual buka pintu. Buka pintu adalah salah satu ritual yang bermakna pengantin pria akan memasuki rumah dengan tatakrama dan sopan santun yang dimulai dengan mengucapkan dua kalimat syahadat (syahadatain) dan salam. Dengan demikian maka sahlah pengantin pria menjadi pemimpin rumah tangga di keluarga barunya.Buka pintu ini merupakan ritual penutup dari serangkaian ritual upacara mapag penganten.

Upacara ritual mapag penganten di Sumatera Utara tetap bertahan karena semakin banyaknya orang Sunda yang tinggal dan menetap di Sumatera Utara, khusunya di Medan ini sebagai pendukung upacara yang terus melaksanakan ritual ini sampai sekarang. Sebagai usaha agar tetap menjaga dan melestarikan identitas ke-Sunda-annya di kota Medan, maka dibentuklah satu institusi adat yang dinamakan dengan nama Paguyuban Wargi Sunda yang didirikan pada tanggal 27 Juni 1936. Paguyuban inilah yang melayani dan melestarikan keberlanjutan tradisi Sunda di Medan termasuk terus memelihara dan menampilkan tari merak pada upacara adat perkawinan Sunda.

Paguyuban inilah yang menjadi wadah terbentuknya grup tari Sunda yang ada di kota Medan, namun karna berputarnya waktu dan pertumbuhan dari banyaknya sanggar tari di kota Medan, tari merak kini sudah bisa di tarikan oleh siapa saja, tidak harus dari grup Paguyuban itu sendiri.

(23)

masyarakat Sunda yang tetap dapat terus terpelihara meski berada dalam daerah perantauan di kota Medan. Semua hal yang meliputi tari, musik, perlengkapan serta persiapan yang dilakukan dalam penyajian serta komponen-komponen yang menjadi pendukung pertunjukan akan menjadi bahan penelitian penulis. Oleh karena itu penulis akan meneliti dan membahas tulisan ini untuk dijadikan skripsi dengan judul “Deskripsi Pertunjukan Tari Merak Pada Upacara Perkawinan Masyarakat Adat Sunda Di Kota Medan”.

1.2. Pokok Permasalahan

Hal hal yang menjadi pokok permasalahan oleh penulis, yaitu :

1. Bagaimana deskripsi pertunjukan tari merak pada upacara perkawinan masyarakat adat Sunda di kota Medan?

2. Apa saja perlengkapan dan pendukung pertunjukan tari merak dalam upacara perkawinan masyarakat adat Sunda di kota Medan ?

3. Bagaimana struktur musik dalam pertunjukan tari merak pada upacara masyarakat adat Sunda di kota Medan?

1.3. Tujuan dan Manfaat Penelitian

1.3.1 Tujuan Penelitian

(24)

1. Untuk mengetahui deskripsi pertunjukan tari merak dalam upacara perkawinan Masyarakat adat Sunda di kota Medan.

2. Untuk mengetahui perlengkapan dan pendukung pertunjukan tari merak dalam upacara perkawinan masyarakat adat Sunda di kota Medan.

3. Untuk mengetahui struktur musik dalam pertunjukan tari merak pada upacara masyarakat adat Sunda di kota Medan.

1.3.2 Manfaat Penelitian

Adapun maanfaat dari penelitian si penulis ini adalah :

1. Sebagai media informasi bagi masyarakat Sunda dan masyarakat umum kota Medan akan kebudayaan Sunda di kota Medan.

2. Sebagai bahan referensi tambahan dan dokumentasi dalam disiplin Etnomuikologi yang berhubungan dengan tarian masyarakat adat sunda di kota Medan.

(25)

1.4 Konsep dan Teori

1.4.1 Konsep

Koentjaraningrat (1980:207), menyebutkan bahwa konsep adalah suatu sistem pedoman hidup dan cita-cita yang akan dicapai oleh banyak individu dalam suatu masyarakat. Masing-masing suku bangsa mempunyai istilah dalam menyebut musik yang berbeda dengan suku lain. Dalam tulisan ini dikemukakan konsep-konsep yang berkaitan dengan judul skripsi “Deskripsi Pertunjukan Tari Merak Pada Upacara

Perkawinan Masyarakat Adat Sunda di Kota Medan”

Beberapa kata kunci yang menjadi permasalahan dalam konteks penelitian yang dikemukakan penulis adalah:

1. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2005:258), deskripsi berarti pemaparan atau penggambaran dengan kata-kata secara jelas dan terperinci.

2. Seni pertunjukan merupakan tontonan bernilai seni drama, tari, musik yang disajikan sebagai pertunjukan di depan penonton (Sal Mugiarto, 1996:156). 3. Konsep tentang gerak tari mengacu pada aspek ruang, waktu, dan tenaga. Tari

(26)

berwarna warni yang kini telah menjadi salah satu bagian dan dipertunjukan dalam upacara perkawinan masyarakat sunda.

4. Pengertian masyarakat dapat dipahami sebagai suatu kesatuan hidup manusia yang berinteraksi dan bertingkah laku menurut suatu sistem adat tertentu yang bersifat kontinu, di mana setiap anggotanya terikat oleh satu rasa identitas bersama (Koentjaraninngrat, 1986:160).

1.4.2. Teori

Teori digunakan sebagai landasan berpikir untuk mengembangkan sekumpulan konsep dan pendekatan dalam menjawab permasalahan yang akandibahas dalam tulisan ini. Untuk itu penulis mencari dan mengambil beberapa teori yang dianggap relevan dan mendukung dalam tulisan ini.

Teori memiliki tujuh pengertian : (1) penerapan ilmu pengetahuan, (2) prinsip dasar atau penerapan ilmu pengatahuan, (3) abstrak pengetahuan yang antonim dengan praktik, (4) rancangan hipotesis untuk menangani berbagai fenomena, (5) hipotesis yang mengarahkan seseorang, (6) dalam matematika adalah teorema yang menghadirkan pandangan sistematik dari berbagai subjek, dan (7) ilmu pengetahuan tentang komposisi musik (Suhartono dalam Marckward, 1990:1302)14.

Untuk mengkaji pelestarian tari merak yang tetap berkembang di kota Medan, penulis menggunakan teori disfusi yang mengemukakan bahwa suatu kebudayaan dapat menyebar ke kebudayaan lain melalui kontak budaya. Berdasarkan teori tersebut,

14

(27)

kebudayaan Sunda yang ada di Medan termasuk kedalam teori disfusi stimulus, yaitu kebudayaan Sunda berinteraksi melalui serangkaian pertemuan dengan kebudayaan-kebudayaan lain yang ada di Medan, seperti kebudayaan-kebudayaan Batak. Pertemuan kebudayaan-kebudayaan ini mempengaruhi pola hidup orang Sunda, yang juga berimplikasi pada pertunjukan tari merak dalam upacara perkawinan adat Sunda.

Untuk mengkaji pertunjukan tari merak, penulis juga menggunakan teori dari

Sal Mugiarto dalam Milton Siger (MSPI, 1996:164-165) yang menjelaskan bahwa pertunjukan selalu memiliki : (1) waktu pertunjukan yang terbatas, (2) awal dan akhir, (3) acara kegiatan yang terorganisir, (4) sekelompok pemain, (5) sekelompok penonton, (6) tempat pertunjukan dan, (7) kesempatan untuk mempertunjukannya.

Untuk menggambarkan makna yang dimiliki pada pertunjukan tari merak Sunda, penulis menggunakan pendekatan yang dikatakan Soedarsono (1972:81-98) yang mengatakan bahwa tari adalah seni yang memiliki substansi dasar yaitu gerak yang telah diberi bentuk ekspresif dimana gerakan itu memiliki hal-hal yang indah dan menggetarkan perasaan manusia, yang didalamnya mengandung maksud-maksud tertentu dan juga mengandung maksud-maksud simbolis yang sukar untuk dimengerti.

Untuk membahas musik iringan tari merak dan struktur melodi, penulis menggunakan teori weighted scale oleh William P. Malm (1979:9) bahwa terdapat 8 hal yang harus diperhatikan yaitu: (1) scale (tangga nada), (2) nada dasar, (3) range

(wilayah nada), (4) frequency of notes (jumlah nada), (5) interval, (6) cadence patterns

(28)

1.5 Metode Penelitian

Dalam penelitian ini penulis memakai metode penelitian kualitatif yakni merupakan metodologi penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang diamati. Penelitian kualitatif yaitu rangkaian kegiatan atau proses menjaring data dan informan yang bersifat sewajarnya mengenai suatu masalah dalam kondisi aspek atau bidang kehidupan tertentu pada objeknya (Hadari dan Mimi Martini, 1994:176).

Ada dua hal yang esensial untuk melakukan aktivitas penelitian dalam disiplin etnomusikologi, yaitu kerja lapangan (field work) dan kerja laboraturium (desk work)

(Bruno Nettl, 1964:62).

(29)

1.5.1. Studi Kepustakaan

Sebagai pedoman untuk melakukan penelitian, penulis memulai dengan mencari berbagai informasi awal melalui buku-buku, literatur, serta sumber bacaan lainnya tentang kebudayaan Sunda terutama tentang tari merak yang mendukung tentang dasar objek penelitian yang berguna untuk membantu memecahkan masalah dan melengkapi hal-hal yang dibutuhkan dalam penelitian ini. Dari beberapa buku,skripsi sarjana, dan sumber bacaan lainnya maka penulis mendapatkan hal-hal dianggap penting seperti konsep, teori, dan metode penelitian yang dapat digunakan sebagai landasan dalam penelitian dan pembahasan tulisan ini.

1.5.2 Penelitian Lapangan

1.5.2.1. Observasi

Dalam proses penelitian lapangan, penulis melakukan observasi pengamatan dan pengambilan data melalui perekaman audio dan visual secara langsung serta mencatat hal-hal yang penting dan berkaitan dengan objek penlitian dalam keseluruhan proses pertunjukan tari merak dalam konteks upacara perkawinan adat Sunda di kota Medan.

1.5.2.2 Wawancara

(30)

pada pokok permasalahan. Selain itu penulis juga melakukan teknik wawancara bebas

(free interview) yakni memberikan pertanyaan yang tidak berfokus pada pokok permasalahan. Pertanyaan dilakukan dengan melihat kejadian yang berlangsung berguna untuk memperoleh data yang beraneka ragam namun tetap pada inti permasalahan yang dibahas dalam penelitian. Proses wawancara menggunakan

gadgetSamsung YP-G70 yang selanjutnya penulis melakukan pengulangan mendengarkan hasil wawancara yang berfungsi untuk mengambil point penting yang dibutuhkan dalam penelitian.

Penulis mewawancarai dan mengumpulkan data dari berbagai narasumber seperti penari, pemusik dan orang-orang yang terlibat langsung dalam pertunjukan tari merak Sunda. Seperti yang dikatakan oleh Koentjaraningrat (1997:163-164) bahwa terdapat dua jenis informan, yaitu informan pangkal dan informan pokok.

1.5.2.3 Perekaman

(31)

1.5.3 Kerja Laboraturium

Semua data yang dikumpulkan dari hasil penelitian lapangan serta bahan literatur dari berbagai sumber studi kepustakaan yang telah didapatkan, selanjutnya penulis akan melakukan pembahasan, penganalisisan serta penyusunan tulisan yang dilakukan dalam tahap akhir kerja laboraturium. Semua hasil data akhir yang telah dikoreksi akan disusun secara sistematis dengan mengikuti kerangka penulisan yang benar.

1.6 Lokasi Penelitian

Pemilihan lokasi penelitian yang dilakukan penulis adalah di kota Medan yang salah satu contoh langkah awal penelitian pada suatu pertunjukan tari merak di Hotel Madani yang terletak di Jl. Sisingamangaraja Medan dalam acara resepsi perkawinan Rengga dan Anggita pada tanggal 21 September 2013 yang menjadikan tari merak sunda dalam bagian dari proses upacara perkawinan adat yang berlangsung.

(32)
(33)

BAB II

GAMBARAN UMUM MASYARAKAT SUNDA DI KOTA MEDAN

2.1Asal- Usul Masyarakat Sunda

Kata Suddha dalam bahasa Sangsekerta dipakai sebagai nama gunung yang menjulang di wilayah bagian Barat Pulau Jawa yaitu Gunung Sunda (tinggi 1.850 meter). Gunung ini tampak dari jauh putih bercahaya. Makna kata Suddha dalam bahasa Sangsekerta gunung putih bercahaya karena tertutup oleh abu yang berasal dari letusan gunung tersebut. (Gonda, 345-346 dalam R.H. Hasan. 1996). Selanjutnya, nama gunung itu dipakai untuk menamai wilayah tempat gunung itu berada.

(34)

Istilah Sunda sebagai nama kerajaan atau paling tidak sebagai nama wilayah atau tempat, tercatat pula dalam prasasti lain dan dalam empat buah naskah berbahasa Sunda Kuno yang dibuat pada akhir abad ke-15 atau abad ke-16 Masehi. Prasasti itu adalaah prasasti kebantenan yang ditemukan di Bekasi. Di dalam prasasti itu dikemukakan adanya tempat (dayeuhan) yang bernama Sundasembawa disamping tempat lain yang bernama Jayagiri. Kedua tempat itu berada diwilayah Kerajaan Sunda (Sutaarga, 33 dalam R.H. Hasan. 1996).

Dalam perkembangan lain istilah Sunda digunakan pula dalam konotasi manusia atau kelompok manusia yaitu dengan sebutan urang sunda (orang Sunda). Orang Sunda adalah orang yang mengaku dirinya dan diakui oleh orang lain sebagai Sunda (Warnaen et.al., 1 dalam R.H. Hasan. 1996). Didalam defenisi tersebut tercakup kriteria berdasarkan keturunan (hubungan darah) dan berdasarkan sosial budaya sekaligus. Sunda dipertalikan pula secara erat dengan pengertian kebudayaan. Bahwa ada yang dinamakan kebudayaan Sunda, yaitu kebudayaan yang hidup, tumbuh, dan berkembang dikalangan orang Sunda yang berdomisili ditanah Sunda.

2.2Masuknya Masyarakat Sunda di Kota Medan

Para penulis sejarah yang secara khusus membahas sejarah Sumatera Utara cendrung mengaburkan masalah etnisitas; dimana orang Sunda sering kali “dipandang” sama sebagai “orang Jawa”15

. Orang-orang yang didatangkan sebagai kuli perkebunan di Sumatera Utara adalah orang Jawa. Penulis Belanda Buiskool

15

(35)

pada tahun 2005,dan Berman tahun 1997 mengatakan masuknya orang Sunda ke Sumatera Utara tidak terlepas dari sejarah perburuhan pada akhir abad ke-19 sampai awal abad ke-20 yang disebut koeli contract16.

Setelah masa Kemerdekaan, motif migrasi orang Sunda ke Sumatera Utara menurut pengamatan penulis dapat dibedakan menjadi tiga motif: (1) Migrasi karena tugas Negara. (2) Migrasi karena keinginan sendiri untuk mengubah nasib, yang termasuk kategori ini adalah orang-orang Sunda yang bekerja sebagai karyawan, wiraswasta dan sebagainya. (3) Migrasi karena tuntutan pendidikan. Sejak akhir 1980-an, mahasiswa-mahasiswa dari Jawa Barat datang untuk belajar diperguruan tinggi, baik negeri ataupun swasta di Kota Medan.

Jika dibandingkan dengan migrasi kuli kontrak. Maka ketiga pola migrasi tersebut adalah migrasi yang bersifat sementara. Orang Sunda yang bekerja sebagai Aparat Negara, karyawan swasta maupun mahasiswa yang belajar di Kota Medan biasanya kembali ke Jawa Barat setelah tugas aupun pendidikannya selesai. Rata-rata mereka tinggal selama 5 sampai 30 tahun.

Berbeda dengan kuli kontrak orang Sunda yang tetap tinggal secara turun temurun di Sumatera Utara. Menurut hasil wawancara, mereka tidak kembali ke Jawa Barat lagi karena tidak mempunyai saudara disana, bahkan beberapa diantaranya sudah tidak tahu lagi dari daerah mana mereka berasal.

16

(36)

2.3Kebudayaan Masyarakat Suku Sunda di Kota Medan

2.3.1 Sistem Kepercayaan

Hampir semua orang Sunda beragama Islam.Hanya sebagian kecil yang tidak beragama Islam, diantaranya orang-orang Baduy yang tinggal di Medan Tetapi juga ada yang beragama Katolik, Kristen, Hindu, Budha.Praktek-praktek sinkretisme dan mistik

masih dilakukan. Pada dasarnya seluruh kehidupan orang Sunda ditujukan untuk memelihara keseimbangan alam semesta. Keseimbangan magis dipertahankan dengan upacara-upacara adat, sedangkan keseimbangan sosial dipertahankan dengan kegiatan saling memberi (gotong royong). Hal yang menarik dalam kepercayaan Sunda, adalah lakon pantun Lutung Kasarung17, salah satu tokoh budaya mereka, yang percaya adanya Allah yang Tunggal (Guriang Tunggal) yang menitiskan sebagian kecil diri-Nya ke dalam dunia untuk memelihara kehidupan manusia (titisan Allah ini disebut Dewata) ini mungkin bisa menjadi jembatan untuk mengkomunikasikan Kabar Baik kepada mereka.

Pada umumnya masyarakat Sunda baik di Jawa Barat maupun yang bermigrasi ke Sumatera, merupakan pemeluk Islam yang baik. Ajaran-ajaran Islam dilaksanakan sesuai dengan hukum-hukum Islam yang memiliki konsep-konsep ketauhidan dan hukum-hukum fiqih menjadi landasan yang mendasari seluruh kegiatan kehidupan masyarakat Sunda.

17

Lutung Kasarung adalah sebuah cerita pantun yang sangat terkenal dalam masyarakat Sunda di Jawa Barat, Indonesia. Yang menceritakan Sanghyang Guruminda dari kahyangan ke bumi dalam wujud seekor lutung yaitu kera hitam berekor panjang. Lalu ia tersesat dan bertemu dengan seorang putri dan menikahi putri tersebut yang bernama Purbasari. (Samsuni, pimpred www.ceritarakyatnusantara.com

(37)

Meskipun begitu, pengaruh Hindu yang telah berakar selama lebih dari seribu lima ratus tahun menyebabkan praktik-praktik ke-Hindu-an dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Sunda tetap dilakukan. Contohnya adalah peringatan kematian tiluna (tiga hari), tujuhna (tujuh hari), matangpuluh (40 hari), mendak taun (setahun), newu (seribu hari) dan haul (peringatan tahunan) yang tidak diajarkan oleh agama Islam tetap saja dilaksanakan dengan konsep dan bentuk yang disesuaikan dengan ajaran agama Islam.

Masyarakat Sunda sebagai pendukung upacara mapag penganten, pada dasarnya melandaskan upacara mapag penganten (yang notabene merupakan rituall peninggalan Kejaraan Pajajaran) pada ajaran Islam.Rajah24 (do‟a-do‟a) pada upacara tersebut ditujukan pada Allah SWT sebagai permohonan perlindungan atas penyelenggaraan upacara. Juga dalam ritual buka pintu yang menggunakan kalimat syahadatain (dua kalimat Syahadat) dan ucapan salam merupakan salah satu contoh “penyesuaian

upacara adat dengan ajaran agama Islam.

2.3.2 Sistem Mata Pencaharian

(38)

bank swasta, karyawan perusahaan-perusahaan kontraktor, buruh pabrik dan kuli bangunan musiman. Golongan selanjutnya adalah wiraswasta, seperti pengusaha kuliner, pengusaha bahan bagunan, pengusaha budidaya ikan, pedagang sepatu dan lain-lain.

2.3.3 Sistem Kekerabatan

Sistem kekerabatan dalam kebudayaan masyarakat Sunda yaitu sistem keluarga dalam suku Sunda bersifat parental, garis keturunan ditarik dari pihak ayah dan ibu bersama. Dalam keluarga Sunda, ayah yang bertindak sebagai kepala keluarga. Ikatan kekeluargaan yang kuat dan peranan agama Islam yang sangat mempengaruhi adat istiadat mewarnai seluruh sendi kehidupan suku Sunda.Dalam suku Sunda dikenal adanya pancakaki yaitu sebagai istilah-istilah untuk menunjukkan hubungan kekerabatan.

- Salaki (suami) adalah sebutan untuk laki-laki yang memimpin sebuah

keluarga.

- Pamajikan (istri) adalah sebutan untuk perempuan yang menjadi pasangan

"Salaki".

- Anak (anak) adalah sebutan untuk keturunan pertama dari sebuah keluarga. - Incu (cucu) adalah turunan ke-3 adalahsebutan untuk keturunan kedua dari

sebuah keluarga.

(39)

- Bao adalah sebutan untuk keturunan keempat dari sebuah keluarga.

- Bapa (bapak/ayah) adalah sebutan untuk laki-laki yang menyebabkan

terlahirnya sebuah keturunan.

- Indung (ibu) adalah sebutan untuk perempuan yang menyebabkan

terlahirnya sebuah keturunan.

- Aki(kakek) adalah sebutan untuk laki-laki yang merupakan orangtua dari

Ayah atau Ibu.

- Nini (nenek) adalah sebutan untuk perempuan yang merupakan orangtua

dari Ayah atau Ibu.

- Uyut adalah sebutan untuk laki-laki atau perempuan yang menjadi orangtua

dari Aki atau Nini.

- Baoadalah sebutan untuk laki-laki atau perempuan yang menjadi orangtua

dari Uyut.

- Jangawareng adalah orangtua dari Bao.

- Udeg-udeg adalah orangtua dari Jangawareng. - Kakait Siwur adalah orangtua dari Udeg-udeg.

- Karuhun (sesepuh) adalah sebutan untuk yang teratas (bisa jadi orangtua

dari Udeg-udeg kita) dalam silsilah keluarga dan sudah meninggal dunia.

- Adi (adek) adalah sebutan untuk saudara kandung yang umurnya lebih

muda.

- Lanceuk (kakak) adalah sebutan untuk saudara kandung yang umurnya lebih

(40)

- Amang / Emang (paman/om) adalah sebutan untuk laki-laki yang menjadi

adik dari orangtua.

- Bibi (bibi/tante) adalah sebutan untuk perempuan yang menjadi adik dari

orangtua.

- Uwa adalah sebutan untuk laki-laki atau perempuan yang menjadi kakak

dari orangtua.

- Alo (keponakan) adalah sebutan untuk anak dari kakak kandung. - Suan adalah sebutan untuk anak dari adik kandung.

- Aki Tigigir adalah sebutan untuk laki-laki yang merupakan adik atau kakak

dari kakek atau nenek.

- Nini Tigigir adalah sebutan untuk perempuan yang merupakan adik atau

kakak dari kakek atau nenek.

- Kapi Lanceuk (kakak sepupu) adalah sebutan untuk laki-laki atau

perempuan yang merupakan anak dari kakak-nya orangtua (anak dari uwa).

- Kapi Adi (adik sepupu) adalah sebutan untuk laki-laki atau perempuan yang

merupakan anak dari adik-nya orangtua (anak dari amang/paman).

- Adi Beuteung (adik ipar) adalah sebutan untuk laki-laki atau perempuan

yang menjadi adik dari pasangan.

- Lanceuk Beuteung (kakak ipar) adalah sebutan untuk laki-laki atau

perempuan yang menjadi kakak dari pasangan.

(41)

- Minantu (menantu) adalah sebutan untuk pasangan dari anak kandung. - Tunggal (anak tunggal) adalah sebutan untuk anak satu-satunya dari sebuah

keluarga.

- Cikal (sulung) adalah sebutan anak pertama dari sebuah keluarga.

- Panengah adalah sebutan untuk anak yang kelahirannya berada paling

tengah diantara keseluruhan anak (berlaku untuk yang mempunyai anak dalam jumlah ganjil).

- Pangais Bungsu adalah sebutan untuk anak yang lahir sebelum anak terakhir

(urutan kedua dari bawah, dan berlaku untuk keluarga yang mempunyai anak lebih dari dua).

- Bungsu (bungsu / bontot) adalah sebutan untuk anak yang lahir paling akhir

dari sebuah keluarga.

- Adi Sabrayna adalah sebutan untuk adik sepupu yang masih berada di jalur

keturunan kakek dan nenek.

- Lanceuk Sabrayna adalah sebutan untuk kakak sepupu yang masih berada di

jalur keturunan kakek dan nenek.

- Dulur (saudara) adalah sebutan untuk sodara yang masih dekat garis

keturunan nya.

- Baraya (kerabat) adalah sebutan untuk saudara yang masih satu turunan,

tapi sudah terlalu jauh urutannya.

- Dulur Pet Ku Hinis (saudara kandung) adalah sebutan untuk saudara yang

(42)

(Ensiklopedi Sunda: 2000 “Alam, Manusia, dan Budaya”. Jakarta: Pustaka Jaya.

Sastroprajitno, Warsito).

2.3.4 Sistem Pengetahuan dan Teknologi

Sistem pendidikan dan teknologi di dalam masyarakat suku Sunda sudah bisa berkembang baik. Pembangunan pendidikan merupakan salah satu bagian yang sangat fundamental untuk mendukung upaya-upaya pembangunan dalam masyarakat Sunda di bidang lainnya. Pembangunan pendidikan merupakan dasar bagi pembangunan lainnya, mengingat secara hakiki upaya pembangunan pendidikan adalah membangun potensi manusia yang kelak akan menjadi pelaku pembangunan.

Dalam setiap upaya pembangunan, maka penting untuk senantiasa mempertimbangkan karakteristik dan potensi setempat. Dalam konteks ini, masyarakat Sunda yang mayoritas suku Sunda memiliki potensi, budaya dan karakteristik tersendiri. Secara sosiologis-antropologis, falsafah kehidupan masyarakat Sunda yang telah diakui memiliki makna mendalam adalah cageur, bageur, bener, pinter, tur singer. Dalam kaitan ini, filosofi tersebut harus dijadikan pedoman dalam mengimplementasikan setiap rencana pembangunan, termasuk di bidang pendidikan. Cageur mengandung makna sehat jasmani dan rohani, Bageur berperilaku baik, sopan santun, ramah, bertata krama,

(43)

tersebut. Melalui pendekatan ini akan lahir peran aktif masyarakat nantinya dalam menyukseskan program pembangunan pendidikan yang digulirkan pemerintah.

Orang Sunda pun memahami alam sekitarnya berdasarkan pengalaman, seperti

iklim dan pergantian musim. Pengetahuan ini digunakan dalam bidang pertanian, terutama

untuk mengatur waktu penanaman padi di sawah. Upaya untuk mengetahui siklus musim

hujan dan musim kemarau telah dilakukan sejak lama, yaitu dengan mempelajari

pranatamangsa18 untuk kepentingan pertanian. Pranatamangsa adalah perhitungan waktu

berdasarkan jalannya matahari (solar calendar) yang terbagi ke dalam dua belas mangsa,

urutannya sebagai berikut:

Mangsa Jumlah hari Kalender Masehi

Kasa 41 22 atau 23 Juni

Jumlah hari: 365 atau 366 hari

(Gonggripj (1934:300) dalam Irman F. Saputra (2005: 43) dalam Suwondo (1979: 45)).

18

(44)

2.3.5. Sistem Bahasa

Bahasa yang digunakan adalah Bahasa Sunda (basa). Bahasa Sunda adalah bahasa yang diciptakan dan digunakan sebagai alat komunikasi oleh etnis Sunda, dan sebagai alat pengembang serta pendukung kebudayaan Sunda itu sendiri. Selain itu bahasa Sunda merupakan bagian dari budaya yang memberi karakter yang khas sebagai identitas etnis Sunda yang merupakan salah satu etnis dari beberapa Suku yang ada di Indonesia.

Basa (bahasa) Sunda adalah bahasa ibu sebagian besar masyarakat Sunda. Hampir seluruh masyarakat Sunda di Jawa Barat menggunakan bahasa Sunda sebagai media komunikasi formal maupun percakapan sehari-hari. Alfabet Sunda terdiri dari 18 huruf konsonan (h, n, c, r, k, d, t, s, w, l, p, j, y, ny, m, g, b, ng) dan tujuh huruf vokal (a, i, u, e, é, o, eu ). Alfabet ini disebut cacarakan yang biasanya dihafal sambil dinyanyikan.

Bahasa Sunda dikategorikan sebagai bahasa afiksasi di mana posisi kata dalam kalimat dan imbuhan gramatikal sangat berperan dalam menentukan makna (Suwondo, 1978:32)19. Imbuhan-imbuhan yang terdiri dari rarangken hareup (awalan), rarangkén tengah (sisipan), dan rarangkén tukang (akhiran) menentukan arti kata, misalnya kata dasar asih yang diberi rarangken berikut ini: Kata dasar Rarangken (makna), asih diasih (disayang), dipikaasih (disayangi), pangdipikaasih (paling disayang),

pangdipikaasihna (yang tersayang).

19

(45)

Dari contoh di atas dapat dilihat bagaimana rarangken berperan menentukan makna kata. Selain rarangken di atas, masih banyak lagi rarangken lainnya dalam bahasa Sunda yang penggunaannya disesuaikan dengan konteksnya. Selain rarangken,

bahasa Sunda pun mengenal undak-usuk basa, yang merupakan stratifikasi bahasa menurut tingkatan-tingkatan tertentu.

Pada dasarnya bahasa Sunda digunakan secara luas di seluruh wilayah Jawa Barat, namun kondisi masyarakat dan perbedaan tingkat evolusi sosial menyebabkan munculnya aksen dan dialek bahasa yang spesifik. Dialek lokal ini kemudian dikenal dengan istilah basa wewengkon( bahasa daerah ), seperti basa wewengkon Banten, wewengkon Cirebon, wewengkon Priangan dan lain-lain. Meskipun demikian, masyarakat Sunda dapat saling berkomunikasi menggunakan bahasa Sunda yang umum dipakai.

(46)

(Irfas dalam Rosidi, 1966:107)20. Pada saat itu ada stigma bahwa karangan yang bermutu adalah karangan yang berbentuk dangding21.

Masyarakat Sunda yang bermigrasi ke Sumatera Utara, pada dasarnya masih menggunakan bahasa Sunda sebagai media komunikasi antara sesama orang Sunda. Ini dapat dilihat ketika ada orang Sunda yang bertemu dengan orang Sunda lainnya pada saat formal maupun pertemuan biasa, atau ketika acara riung mungpulung (berkumpul dengan saudara) yang rutin diadakan oleh paguyuban, di mana bahasa Sunda menjadi bahasa pengantar formal dan bahasa percakapan informal.

Namun lain dari itu, interaksi sosial masyarakat Sunda dengan etnis lain yang ada di Kota Medan, menjadikan orang Sunda harus menggunakan bahasa yang lebih nasional : bahasa Indonesia. Selain itu, orang Sunda juga mengadaptasi “bahasa Medan”22 yang merupakan ragam bahasa perpaduan antara bahasa-bahasa Melayu, Batak, Jawa, Minang dan lain-lain.

Dalam konteks upacara mapag penganten, bahasa pengantar yang digunakan adalah bahasa Sunda, baik itu dalam acara ritual maupun dalam percakapan biasa.

Tembang-tembang dan kawih yang dipakai dalam upacara tetap menggunakan bahasa

20

Dalam buku Masa Depan Budaya Daerah: kasus bahasa dan sejarah sunda. Pustaka Jaya 1966.

21

Dangding adalah cara penyajian karya sastra yang dilagukan menurut pupuh tertentu seperti pupuh Sinom, Kinanti, Asmarandana atau Dangdanggula. Setiap pupuh terikat pada aturan guru wilangan yang mengatur jumlah suku kata dalam tiap baris dan jumlah baris dalam setiap bait, dan guru lagu yang menentukan fonem pada akhir suku kata pada setiap barisnya.

22

(47)

Sunda yang dapat dipandang sebagai keberlanjutan tradisi dan penguat integritas masyarakat Sunda.

Namun pengaruh bahasa Jawa dalam kehidupan berbahasa masyarakat Sunda sangat jelas tampak sejak akhir abad ke-17 hingga pertengahan abad ke-19 sebagai dampak pengaruh Mataram memasuki wilayah ini. Pada masa itu fungsi bahasa Sunda sebagai bahasa tulisan di kalangan kaum elit terdesak oleh bahasa Jawa, karena bahasa Jawa dijadikan bahasa resmi dilingkungan pemerintahan. Selain itu tingkatan bahasa atau Undak Usuk Basa dan kosa kata Jawa masuk pula kedalam bahasa Sunda mengikuti pola bahasa Jawa yang disebut Unggah Ungguh Basa.

Sejak tahun 1950-an keluhan demikian semakin keras karena pemakaian bahasa Sunda telah bercampur (direumbeuy) dengan bahasa Indonesia terutama oleh orang-orang Sunda yang menetap di kota-kota besar, seperti Jakarta bahkan Bandung sekalipun. Banyak orang Sunda yang tinggal di kota-kota telah meninggalkan pemakaian bahasa Sunda dalam kehidupan sehari-hari di rumah mereka. Walaupun begitu, tetap muncul pula di kalangan orang Sunda yang dengan gigih memperjuangkan keberadaan dan fungsionalisasi bahasa Sunda di tengah-tengah masyarakatnya dalam hal ini Sunda. Dengan semakin banyaknya etnis bangsa lain atau etnis lain yang menetap di tatar Sunda kemudian berbicara dengan Bahasa Sunda dalam pergaulan sehari-harinya.23

23

(48)

2.4. Kesenian

Ada beberapa bentuk kesenian yang menjadi pembahasan terkait dalam kebudayaan masyarakat Sunda yaitu:

2.4.1. Kirab Helaran

Kirab Helaran atau yang disebut sisingaan adalah suatu jenis kesenian tradisional atau seni pertunjukan rakyat yang dilakukan dengan arak-arakan dalam bentuk helaran. Pertunjukannya biasa ditampilkan pada acara khitanan atau acara-acara khusus seperti : menyambut tamu, hiburan peresmian, kegiatan HUT Kemerdekaan RI dan kegiatan hari-hari besar lainnya.

2.4.2. Karya Sastra

Ada beberapa bentuk karya sastra dalam bahasa jawa yang berasal dari kebudayaan masyarakat Sunda seperti berikut :

1. Babad Cerbon

2. Cariosan Prabu Siliwangi 3. Carita Ratu Galuh

4. Carita Purwaka Caruban Nagari 5. Carita Waruga Guru

(49)

8. Pustaka Raja Purwa 9. Sajarah Banten 10. Suluk Wuyung Aya 11. Wahosan Tumpawarang 12. Wawacan Angling Darma

13. Wawacan Syekh Baginda Mardan 14. Kitab Pramayoga/jipta Sara

2.4.3. Seni Tari

Ada beberapa seni tari yang terkenal dalam kebudayaan masyarakat Sunda yaitu :

1. Tari Jaipongan

Tanah Sunda (Priangan) dikenal memiliki aneka budaya yang unik dan menarik. Jaipongan adalah salah satu seni budaya yang terkenal dari daerah ini. Jaipongan atau tari jaipong sebetulnya merupakan tarian yang sudah moderen karena merupakan modifikasi atau pengembangan dari tari tradisional khas Sunda yaitu Ketuk Tilu. Tari jaipong ini dibawakan dengan iringan musik yang khas pula, yaitu Degung. Musik ini merupakan kumpulan beragam alat musik seperti Kendang, Go’ong, Saron, Kacapi,

dsb. Degung bisa diibaratkan „Orkestra‟ dalam musik Eropa/Amerika. Ciri khas dari

(50)

berpasangan atau berkelompok. Sebagai tarian yang menarik, Jaipong sering dipentaskan pada acara-acara hiburan, selamatan atau pesta pernikahan.

2. Tari Merak

Tari merak merupakan tarian kreasi baru yang diciptakan oleh seorang koreografer bernama Raden Tjetje Somantri pada tahun 1950an, dan tahun 1965 dibuat koreografi barunya oleh Dra. Irawati Durban Arjon dan direvisi kembali pada tahun 1985 dan diajarkan kepada Romanita Santoso pada tahun 1993.24

Tari merak sebenarnya menggambarkan tentang tingkah laku burung merak jantan yang memiliki keindahan bulu ekor sehingga banyak orang yang salah memperkirakan bahwa tarian ini tentang tingkah laku merak betina. Seperti burung-burung lainnya, burung-burung merak jantan akan berlomba-lomba menampilkan keindahan ekornya untuk menarik hati merak betina. Merak jantan yang pesolek akan melenggang dengan bangga mempertontonkan keindahan bulu ekornya yang panjang dan berwarna-warni untuk mencari pasangannya, dengan gayanya yang anggun dan memesona. Tingkah laku burung merak inilah yang divisualisasikan menjadi tarian merak yang menggambarkan keceriaan dan keanggunan gerak.

Pesona bulu ekornya yang berwarna-warni diimplementasikan dalam kostum yang indah dengan sayap yang seluruhnya dihiasi payet, dan hiasan kepala (mahkota) yang disebut “siger” dengan hiasan berbentuk kepala burung merak yang akan

24

(51)

bergoyang mengikuti gerakan kepala sang penari. Selanjutnya tarian inilah yang menjadi fokus penelitian penulis dalam tulisan ini yang akan dibahas lebih rinci pada Bab setelahnya.

3. Tari Topeng

Tari topeng adalah salah satu tarian tradisional yang berkembang di wilayah parahyangan. Menurut cerita rakyat yang berkembang Tari Topeng diciptakan oleh sultan Cirebon yang cukup terkenal, yaitu Sunan Gunung Jati. Ketika Sunan Gunung Jati berkuasa di Cirebon, terjadilah serangan oleh Pangeran Welang dari Karawang. Pangeran ini sangat sakti karena memiliki pedang yang diberi nama Curug Sewu. Melihat kesaktian sang pangeran tersebut, Sunan Gunung Jati tidak bisa menandinginya walaupun telah dibantu oleh Sunan Kalijaga dan Pangeran Cakrabuana. Akhirnya sultan Cirebon memutuskan untuk melawan kesaktian Pangeran Welang itu dengan cara diplomasi kesenian.

(52)

masih berkembang hingga sekarang. Selain sebagai media hiburan, tarian ini juga pernah dijadikan sebagai media komunikasi dakwah Islam pada zaman dulu.

2.4.4. Seni Musik dan Suara

Selain seni tari, tanah Sunda juga terkenal dengan seni suaranya. Dalam memainkan Degung biasanya ada seorang penyanyi yang membawakan lagu-lagu Sunda dengan nada dan alunan yang khas. Penyanyi ini biasanya seorang wanita yang dinamakan Sinden. Tidak sembarangan orang dapat menyanyikan lagu yang dibawakan Sinden karena nada dan ritme-nya cukup sulit untuk ditiru dan dipelajari. Dibawah ini salah salah satu musik/lagu daerah Sunda :

1. Bubuy Bulan 2. Es Lilin 3. Manuk Dadali 4. Tokecang 5. Warung Pojok

2.4.5 Alat Musik

Berikut beberapa alat musik yang dikenal dalam kebudayaan masyarakat Sunda:

(53)

tersusun menurut titi laras (tangga nada) pentatonik (da-mi-na-ti-la). Jenis bambu untuk pembuatan calung kebanyakan dari awi wulung (bambu hitam), namun ada pula yang dibuat dari awi temen (bambu yang berwarna putih).

2. Angklung adalah sebuah alat atau waditra kesenian yang terbuat dari bambu khusus yang ditemukan oleh Bapak Daeng Sutigna sekitar tahun 1938. Ketika awal penggunaannya angklung masih sebatas kepentingan kesenian local atau tradisional.

3. Ketuk Tilu adalah suatu tarian pergaulan dan sekaligus hiburan yang biasanya diselenggarakan pada acara pesta perkawinan, acara hiburan penutup kegiatan atau diselenggrakan secara khusus di suatu tempat yang cukup luas. Pemunculan tari ini di masyarakat tidak ada kaitannya dengan adat tertentu atau upacara sakral tertentu tapi murni sebagai pertunjukan hiburan dan pergaulan. Oleh karena itu tari ketuk tilu ini banyak disukai masyarakat terutama di pedesaan yang jarang kegiatan hiburan.

4. Seni Bangreng adalah pengembangan dari seni “Terbang” dan “Ronggeng”. Seni

terbang itu sendiri merupakan kesenian yang menggunakan “Terbang”, yaitu semacam rebana tetapi besarnya tiga kali dari alat rebana. Dimainkan oleh lima pemain dan dua orang penabu gendang besar dan kecil.

(54)

kesenian ini sudah diambil dari tata cara masyarakat sunda dahulu ketika menanam padi sampai dengan menuainya.

6. Kuda Renggong atau Kuda Depok ialah salah satu jenis kesenian helaran yang terdapat di Kabupaten Sumedang, Majalengka dan Karawang. Cara penyajiannya yaitu, seekor kuda atau lebih di hias warna-warni, budak sunat dinaikkan ke atas punggung kuda tersebut. Budak sunat tersebut dihias seperti seorang Raja atau Satria, bisa pula meniru pakaian para Dalem Baheula.

(55)

BAB III

PERTUNJUKAN TARI MERAK DALAM UPACARA

PERKAWINAN MASYARAKAT ADAT SUNDA

3.1. Sejarah Tari Merak 3.1.1. Asal-Usul Tari Merak

Sejarah tari merak sebenarnya berasal dari bumi Pasundan ketika pada tahun1950an seorang kareografer bernama Raden Tjetje Somantri menciptakan gerakan tari merak.Raden Tjetje Somantri adalah seorang pelopor tari kreasi Jawa Barat yang juga merupakan salah seorang yang mendirikan Badan Kebudayaan Djawa Barat (BKDKB) dan Badan Kebudayaan Indonesia (BKI). Raden Tjetje Somantri lahir di Bandung pada tahun 1891 dari ibu Nyi Raden Siti Munigar, gadis ningrat asal Bandung, serta ayahnya bernama Raden Somantri. Pendidikan yang dilaluinya adalah HIS dan MULO di Bandung. Pernah meneruskan ke MOSVIA tetapi tidak sampai tamat. Belajar tari tayub pertama kali di Kabupaten Purwakarta pada tahun 1911, dari R. Gandakusumah (Aom Doyot). Juga belajar tari wayang dari Aom Menin, Camat Buah batu di Bandung.

(56)

R. Rusdi Somantri, yang kemudian dipanggil dengan nama Tjetje. Lahir di Wanayasa, Purwakarta 1892 dari pasangan R. Somantri Kusumah dan Ny. R. Siti Munigar. Ayahnya meninggal sejak ia masih dalam kandungan ibunya yang baru berusia delapan bulan. Tjetje, kemudian dibesarkan pamannya, R. Karta Kusumah hingga dewasa. Ia mempunyai saudara seibu yakni R. Basari, R. Mujenan, dan R. Jumanah.

Pada tahun 1907, ia menyelesaikan sekolah di DIS dan meneruskan sekolahnya di Voor Work OSVIA (Opleidingschool Voor Inlandsche Ambternaren), yakni sekolah Pamong Praja atau sekolah menak di Bandung. Ketika masih sekolah di OSVIA, ia sudah gemar menari tayub. Kegemaran menari dalam tayuban, menyebabkan ia sering bolos sekolah, dan oleh sebab itulah ia tidak menamatkan sekolahnya. Oleh pamannya, Patih Mayadipura, ia dimasukkan sebagai pegawai di suatu kecamatan di Purwakarta. Akan tetapi, karena sering mangkir, ia kemudian diberhentikan.

(57)

Belajar menari sejak usia muda, Tari Tayub dipelajarinya dari Aom Doyot, (Wedana Leuwiliang, Bogor) di Pendopo Kabupaten Purwakarta sekitar tahun 1911. Tari topeng Cirebon yang dipelajari dari Wentar dan Koncer (dalang topeng Cirebon) pada tahun 1918 bersama teman-teman sebayanya, antara lain Asep Berlian, Endang Thamrin, dan lain-lain. Tarian yang dipelajarinya, antara lain topeng Pamindo, topeng Klana, dan lain-lain. Ia juga belajar tari kepada dua orang guru asal Susukan-Cirebon, Kamsi dan Karta. Pada tahun 1925, Tjetje kemudian memperdalam tari topeng kepada salah seorang Pangeran Kesultanan Cirebon, Elang Oto Denda Kusumah. Tari-tarian yang dipelajarinya antara lain: Menak Jingga, Anjasmara, Jingga Anom Nyamba, Anjasmara, Menak Koncar, Panji, dan Kendit Birayung. Pada tahun ini pula ia belajar

wayang wong kepada Aom Menim, Camat Buah Batu. Dalam pertunjukan wayang wong pada tahun 1926 yang diselenggarakan atas prakarsa Bupati Bandung, Kanjeng Adipati Arya Wiranata Kusumah V, dan dikoordinir oleh R.A. Adiputra, Tjetje diberi peran tokoh Baladewa. Pada tahun ini pula ia menjadi guru tari di OSVIA dengan mengajarkan tari keurseus dan tari wayang.

(58)

menjadi berkat bagi Tjetje, ia bak peribahasa ’ikan masuk ke dalam air’. Jiwa seninya kemudian tersalurkan, bakat dan kreativitasnya terbina. Ia kemudian dijadikan sebagai salah satu pengajar tari di BKI. Di dalam wadah kesenian itulah ia berkreativitas, menciptakan berbagai macam tarian. Tari yang diciptakannya kebanyakan tari putri, seperti tari Anjasmara, Sekarputri, Sulintang, Ratu Graeni, Kandagan, Merak, Srigati, Dewi, Topeng Koncaran, dan sebagainya. Tari-tarian putra antara lain: Kendit Birayung, Menak Jingga, Yuyu Kangkang, Panji, dan sebagainya. Sedangkan kostum tari-tariannya kebanyakan didesain oleh Tb. Oemay Martakusumah.

Suatu catatan penting bahwa, karya tari Tjetje Somantri telah memperkaya khasanah seni tari Jawa Barat. Bagaimanapun ia adalah seorang koreografer pembaharu tari Sunda, yang kemudian banyak menginspirasi banyak seniman tari lainnya. Ia pulalah yang ‟mendobrak‟ pandangan tentang penari wanita (ronggeng) dari jelek menjadi terhormat. Selain itu, ia pun berhasil membuat tradisi baru dalam menyajikan tari, yakni dengan membuat tari rampak.

(59)

dari pemerintah Republik Indonesia. (TIKAR 2012 : Raden Tjetje Somantri dalam Media Budaya Nusantara).

Tari Merak sesuai dengan namanya, yang kemudian koreografinya direvisi kembali oleh Dra. Irawati Durban Arjon pada tahun 1965 dan direvisi kembali pada tahun 1985 kemudian mengajarkannya secara langsung kepada Romanita Santoso pada tahun 1993. Tari Merak merupakan implentasi dari kehidupan burung merak yang utamanya dari tingkah merak jantan ketika ingin memikat merak betina. Gerakan merak jantan yang memamerkan keindahan bulu ekornya ketika ingin menarik perhatian merak betina tergambar jelas dalam Tari Merak.

(60)

Ket. Gambar 3.1 : Penari Merak dalam Upacara Perkawinan Masyarakat Adat Sunda di Kota Medan

(Dokumentasi Syafwan Arrazak)

(61)

tertentu terkadang waditra bonang dipukul di bagian kayunya yang sangat keras sampai terdengar kencang, itu merupakan bagian gerakan sepasang merak yang sedang bermesraan.

Tarian merak ini identik dengan warna yang sangat mencolok seperti merah, biru, kuning, emas, dan warna lainnya. Make up yang terlihat sangat tajam,karena memang merak sendiri merupakan burung yang sangat cantik dan indah. Tarian merak ini biasanya ditampilkan sebagai bentuk persembahan kepada tamu,karena memang setiap gerakannya sangat indah. Tarian merak ini biasanya ditarikan oleh 2 orang penari bahkan lebih. Warna-warna merak ini bisa dilihat dari warna asli burung merak.

Gambar

GAMBARAN UMUM MASYAKARAT SUNDA DI KOTA

Referensi

Dokumen terkait

Sedangkan jika user memilih proses data maka sistem akan melakukan proses data training dengan menggunakan algoritma C4.5 untuk menganalisa kepuasan konsumen. 3.7

Dampak negatif terhadap lingkungan menjadi bertambah serius karena dalam prakteknya pembangunan perkebunan kelapa sawit tidak hanya terjadi pada

[r]

Bisa jadi anak perempuan dengan ADHD tidak teridentifikasi atau tidak tertangkap gejalanya karena guru-guru gagal dalam mengenali dan mencatat perilaku kurang

Hasil penelitian teridentifikasi enam tema yaitu bagi ibu, anak adalah segalanya; gizi buruk bukan prioritas ibu untuk konsultasi kesehatan; mendapat perlakuan tidak

Setiap kegiatan tugas jabatan yg akan dilakukan harus berdasarkan pada tugas dan fungsi, wewenang, tanggung jawab, dan uraian tugas yg telah ditetapkan dalam

Dari temuan-temuan inilah penulis menyimpulkan bahwa peran kepala desa mojojejer dalam meningkatkan kesadaran dan kepatuhan masyarakatnya dalam membayarkan pajak bumi

Effects of organic and chemical fertilizer inputs on biomass production and carbon dynamics in a maize farming on ultisols.. AGRIVITA Journal of