• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hubungan Struktur Tari, Musik Iringan, dan Fungsi Sosial Tari Galombang yang Dipertunjukan Sanggar Tigo Sapilin pada Upacara Adat Perkawinan Masyarakat Minangkabau di Kota Medan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Hubungan Struktur Tari, Musik Iringan, dan Fungsi Sosial Tari Galombang yang Dipertunjukan Sanggar Tigo Sapilin pada Upacara Adat Perkawinan Masyarakat Minangkabau di Kota Medan"

Copied!
133
0
0

Teks penuh

(1)

HUBUNGAN STRUKTUR TARI, MUSIK IRINGAN, DAN FUNGSI TARI GALOMBANG YANG DIPERTUNJUKAN SANGGAR TIGO SAPILIN PADA UPACARA ADAT PERKAWINAN MASYARAKAT MINANGKABAU DI KOTA MEDAN

SKRIPSI SARJANA O

L E H

RENY YULYATI BR. LUMBAN TORUAN

NIM: 090707016

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS ILMU BUDAYA

DEPARTEMEN ETNOMUSIKOLOGI MEDAN

(2)

ABSTRAKSI

Skripsi ini berjudul Hubungan Struktur Tari, Musik Iringan, dan Fungsi Sosial Tari Galombang yang Dipertunjukan Sanggar Tigo Sapilin pada Upacara Adat Perkawinan Masyarakat Minangkabau di Kota Medan. Metode pengumpulan data dilakukan dengan cara observasi, wawancara dan perekaman. Informan yang didapat di lapangan berjumlah empat orang, terdiri dari satu orang pemilik sanggar Tigo Sapilin Medan, satu orang pengelola sanggar, satu pemain musik pengiringnya, dan satu orang penari tari Galombang tersebut yang aktif.

Penelitian difokuskan kepada bagaimana pertunjukan tari Galombang yang di sajikan pada saat upacara perkawinan masyarakat Minangkabau. Adanya hubungan struktur tari, musik pengiring, dan fungsi sosial yang berhubungan dalam penyajiannya. Pada bagian musik yang mengiringi tarian tersebut mengandung struktur melodi dan ritem yang merupakan kajian dalam dunia Etnomusikologi.

Dalam proses meneliti gerak tari tersebut, penulis tidak terlalu memfokuskan secara detail pada gerak tari, dalam tulisan penulis menggunakan lambang-lambang umum dan sederhana yang dapat mewakili pola gerak tari Galombang. Proses pentranskripsian musik pada musik pengiringnya dilakukan dengan program Sibelius yang hasilnya akan dituliskan kedalam notasi balok. Skripsi ini menjelaskan hubungan struktur tari, musik pengiring, dan fungsi sosial seni pertunjukan tari

(3)

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yesus Kristus yang

telah memberikan kekuatan, kemampuan serta berkat dan kemurahan-Nya kepada

penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

Skripsi ini berjudul Hubungan Struktur Tari, Musik Iringan, dan Fungsi Sosial Tari Galombang yang Dipertunjukan Sanggar Tigo Sapilin pada Upacara Adat Perkawinan Masyarakat Minangkabau di Kota Medan. Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk menyelesaikan jenjang S-1 dan memperoleh gelar

Sarjana Seni (S.Sn) pada Departemen Etnomusikologi, Fakultas Ilmu Budaya,

Universitas Sumatera Utara.

Selama proses penyusunan skripsi, penulis memperoleh bantuan yang luar

biasa banyak dan baik dari Bapak Drs. Muhammad Takari, M.hum., Ph.D selaku pembimbing I dan Ibu Arifni Netrirosa, SST., M.A. selaku pembimbing II serta dosen pembimbing akademik penulis selama kuliah. Kedua pembimbing yang hebat ini

sangat membantu penulis selama penyelesaian skripsi. Mereka juga memberikan

banyak pelajaran kepada penulis terutama hal kesabaran, keberanian dan kepandaian

dalam penulisan skripsi ini. Saran dan arahan mereka membuat penulis semakin

termotivasi dan semakin semangat untuk menyelesaikan skripsi ini.

Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Rektor Universitas Sumatera

Utara, Dekan Fakultas Ilmu Budaya, Ketua dan Sekretaris Departemen

Etnomusikologi, serta seluruh dosen-dosen dan pegawai di lingkungan Departemen

Etnomusikologi Fakultas Ilmu Budaya yang telah memberikan peluang, kesempatan

dan kemudahan dalam menyelesaikan mata kuliah selama masa perkuliahan hingga

(4)

Penulis juga mengucapkan banyak terima kasih kepada Bapak Abu Bakar Siddiq SH, teteh Riza, Bapak Zul Alinur, selaku informan, serta semua anggota penari sanggar Tigo Sapilin dan bapak/ibu informan lainnya, yang telah bersedia memberikan

kesempatan kepada penulis untuk melakukan penelitian dan juga sudah memberikan

waktunya kepada penulis untuk mengadakan wawancara.

Dalam kesempatan ini, secara khusus penulis mengucapkan banyak terima

kasih kepada kedua orangtua terhebat yang sangat penulis cintai, Bapak S. Lumban

Toruan dan Mama M. Br. Sinaga. Terimakasih buat segala kerja keras dan kebaikan

mama bapak sehingga penulis bisa seperti sekarang. Terimakasih buat perhatian

yang tak pernah putus-putus khususnya selama pengerjaan skripsi ini, terimakasih

buat motivasi-motivasi yang mama bapak berikan sehingga penulis tetap semangat

dalam menyelesaikan skripsi ini. Penulis bangga memiliki orangtua yang sangat

perhatian seperti mereka. Secara khusus terima kasih buat doa-doa bapak dan mama

terutama kepada mama yang selalu setia mendoakan penulis sehingga penulis

mendapatkan kekuatan dan penghiburan dari Tuhan. Mungkin sudah banyak

berlinang air mata di pipi mereka sepanjang membesarkan penulis hingga saat ini,

tapi penulis percaya, semuanya akan dicukupkan oleh Tuhan kepada mama bapak.

Terima kasih juga penulis sampaikan kepada saudara-saudara penulis yang sangat

penulis sayangi yaitu abang Charles B. Juniadi Lumban Toruan, adik Sri Juliany

Br.Lumban Toruan, dan adik Maya Armitha Br. Lumban Toruan. Terima kasih buat

doa dan perhatian kalian semua sehingga membuat semangat bagi penulis untuk

menyelesaikan skripsi ini. Kalian adalah bagian dari hidup penulis yang terhebat dan

penulis sangat cintai yang takkan pernah tergantikan sampai kapanpun.

Ucapan terima kasih kepada seluruh teman-teman seperjuangan yang sudah

(5)

Vania Sinaga, Syarifah Aini Nasution, Teti Elena Siburian, Fitri Suci Hati Saragih,

Verawati Simbolon, Anita P.R Purba, H.A Martin Tambunan, Maruli Purba,

Sugiardi, Wahyu Boang Manalu, Dicky Arloy Silalahi, Krisrendy Masdeo Siregar,

Herman Simanjuntak, Septianta Bangun, Giat Raja Hizkia Sihotang, dan Ranto

Samuel Manik. Terima kasih telah menjadi saudara dan keluarga buat penulis.

Tidak terasa sudah hampir 4 tahun kita merasakan susah senang selama duduk

dibangku perkuliahan.

Terima kasih terkhusus juga buat seseorang yang penulis sayangi abang Sandro

Batubara S.Sn., selaku orang yang sangat terdekat dengan penulis di sini yang selalu

mengingatkan, yang tidak bosan memberikan semangat, mendengarkan keluhan dan

masalah penulis, mengajarkan, bahkan memotivasi penulis untuk mengerjakan dan

menyelesaikan skripsi ini. Terima kasih, walaupun terkadang merasa kesal melihat

tingkah penulis yang diluar dari biasanya jika disaat penat mengerjakan skripsi ini,

tetapi dia tetap sabar dan selalu ikut membantu dan mendukung dengan caranya

sendiri. Terima kasih juga buat doa-doanya, perhatian dan pengertiannya selama ini.

Penulis juga mengucapkan terima kasih banyak kepeda teman-teman satu

rumah yaitu bang Daniel Sianturi, Zani Marbun, bang Bonggud Sidabutar, Erwin

Simbolon, Erwin Sijabat, dan teman sekamar penulis Frita Pakpahan. Mereka adalah

saudara seperjuangan merasakan bagaimana enaknya anak kos. Begitu juga

teman-teman satu group tari penulis, kak Dina Mayantuti Sitopu S.Sn., kak Jery Periance

Saragih S.Sn., teteh Riza, kak Chrismes Manik S.Sn., kak Sari Ramadhani S.E.,

Friska Simamora, Frita Angelina Pakpahan, Syafwan Arrazak, dan bang Adra.

Terima kasih buat kalian semua.

Penulis juga mengucapkan beribu-ribu maaf apabila ada kata yang kurang

(6)

yang sudah membantu penulis dalam penyusunan skripsi ini, dan mohon maaf

apabila ada nama yang lupa penulis cantumkan. Semoga hasil penelitian dari skripsi

ini dapat berguna bagi masyarakat Minangkabau, bagi pembaca dan juga kepada

peneliti berikutnya. Shalom...

Medan, Juli 2013

(7)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAKSI ... i

KATA PENGANTAR ... ii

DAFTAR ISI ... vi

DAFTAR GAMBAR ... viii

DAFTAR TABEL ... ix

BAB I PENDAHULUAN 1.1Latar Belakang Masalah ... 1

1.2Pokok Permasalahan ... 14

1.3Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 15

1.3.1 Tujuan ... 15

1.3.2 Manfaat ... 15

1.4Konsep dan Teori ... 16

1.4.1 Konsep ... 16

1.4.2 Teori ... 18

1.5Metode Penelitian ... 22

1.5.1 Studi Kepustakaan ……… 23

1.5.2 Penelitian Lapangan ……….. 24

1.5.3 Kerja Laboratorium ………... 25

1.6Lokasi Penelitian ... 26

BAB II TINJAUAN UMUM MASYARAKAT MINANGKABAU DAN SANGGAR TIGO SAPILIN DI KOTA MEDAN 2.1 Asal-Usul Masyarakat Minangkabau ... 29

2.2 Masuknya Masyarakat Minangkabau di Kota Medan ... 32

2.3 Sistem Agama dan Kepercayaan ... 35

2.4 Sistem Kekerabatan ... 35

2.5 Sistem Kesenian ... 38

2.6 Sanggar Tigo Sapilin ... 40

BAB III PERTUNJUKAN TARI GALOMBANG PADA UPACARA ADAT PERKAWINAN MINANGKABAU 3.1 Asal Usul Tari Galombang ... 42

3.2 Perkawinan Pada Masyarakat Minangkabau ... 44

(8)

3.4 Jalannya Pertunjukan Tari Galombang Pada Upacara

Perkawinan Masyarakat Minangkabau di Kota Medan... 49

3.5 Tempat dan Waktu Pelaksanaan Pertunjukan ... 55

3.6 Pendukung Pertunjukan ... 56

3.6.1 Penari ... 57

3.6.2 Pemusik ... 58

3.6.3 Penonton ... 58

3.7 Perlengkapan Pertunjukan ... 59

3.7.1 Lapangan ... 59

3.7.2 Alat Musik yang Digunakan ... 60

BAB IV STRUKTUR TARI GALOMBANG, MUSIK IRINGAN, FUNGSI, DAN HUBUNGANNYA 4.1Struktur Tari Galombang ... 57

4.1.1 Ragam dan Pola Gerak ... 58

4.1.2 Pola Lantai ... 59

4.1.3 Kostum dan Tata Rias... 78

4.1.3.1 Kostum ... 79

4.1.3.1.1Kostum Penari Perempuan ... 79

4.1.3.1.2Kostum Penari Laki-Laki ... 81

4.1.3.2 Tata Rias ... 84

4.2 Struktur Musik ... 86

4.2.1 Analisis Musik ... 86

4.2.2 Model Notasi ... 88

4.2.3 Ensambel Talempong Pacik ... 89

4.2.4 Melodi Puput Serunai dan Strukturnya ... 90

4.2.4.1 Tangga Nada ... 91

4.2.4.2 Nada Dasar ... 91

4.2.4.3 Wilayah Nada ... 92

4.2.4.4 Frekuensi Pemakaian Nada ... 92

4.2.4.5 Jumlah Interval ... 93

4.2.4.6 Formula Melodik ... 94

4.2.4.7 Pola Kadensa... 95

4.2.4.8 Kontur ... 96

4.3 Fungsi Tari Galombang ... 98

4.4 Hubungan Struktur Tari, Musik Iringan, dan Fungsi Tari Galombang ... 104

BAB V PENUTUP 5.1 Kesimpulan ... 106

5.2 Saran ... 109

DAFTAR PUSTAKA ... 111

(9)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 3.1 Akad Nikah ... 50

Gambar 3.2 Anak daro menunggu datangnya marapulai ... 51

Gambar 3.3 Rombongan marapulai yang akan disambut ... 52

Gambar 3.4 Tari Galombang menyambut marapulai ... 52

Gambar 3.5 Carano dan isinya ... 53

Gambar 3.6 Suguhan diterima rombongan marapulai ... 54

Gambar 3.7 Pasangan pengantin bersanding ... 55

Gambar 3.8 Area jalan yang digunakan ... 60

Gambar 3.9 Tasa dan cara memainkannya ... 61

Gambar 3.10 Gandang Tambua ... 62

Gambar 3.11 Cara memainkan Gandang Tambua ... 63

Gambar 3.12 Puput Serunai ... 64

Gambar 3.13 Cara memainkan Puput Serunai ... 65

Gambar 3.14 Talempong ... 66

Gambar 3.15 Cara memainkan Talempong Pacik ... 67

Gambar 4.1 Kostum perempuan ... 81

(10)

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 2.1 Jumlah Penduduk Kota Medan Berdasarkan Suku... 34

Tabel 4.1 Ragam dan Pola Gerak ... 60

Tabel 4.2 Pola Lantai ... 75

(11)

ABSTRAKSI

Skripsi ini berjudul Hubungan Struktur Tari, Musik Iringan, dan Fungsi Sosial Tari Galombang yang Dipertunjukan Sanggar Tigo Sapilin pada Upacara Adat Perkawinan Masyarakat Minangkabau di Kota Medan. Metode pengumpulan data dilakukan dengan cara observasi, wawancara dan perekaman. Informan yang didapat di lapangan berjumlah empat orang, terdiri dari satu orang pemilik sanggar Tigo Sapilin Medan, satu orang pengelola sanggar, satu pemain musik pengiringnya, dan satu orang penari tari Galombang tersebut yang aktif.

Penelitian difokuskan kepada bagaimana pertunjukan tari Galombang yang di sajikan pada saat upacara perkawinan masyarakat Minangkabau. Adanya hubungan struktur tari, musik pengiring, dan fungsi sosial yang berhubungan dalam penyajiannya. Pada bagian musik yang mengiringi tarian tersebut mengandung struktur melodi dan ritem yang merupakan kajian dalam dunia Etnomusikologi.

Dalam proses meneliti gerak tari tersebut, penulis tidak terlalu memfokuskan secara detail pada gerak tari, dalam tulisan penulis menggunakan lambang-lambang umum dan sederhana yang dapat mewakili pola gerak tari Galombang. Proses pentranskripsian musik pada musik pengiringnya dilakukan dengan program Sibelius yang hasilnya akan dituliskan kedalam notasi balok. Skripsi ini menjelaskan hubungan struktur tari, musik pengiring, dan fungsi sosial seni pertunjukan tari

(12)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Manusia adalah makhluk sosial, yang selalu berinteraksi dengan sesamanya.

Manusia sebagai makhluk individu memiliki berbagai kelebihan alamiah yang

dianugerahkan oleh Tuhan. Selain itu, manusia biasanya membentuk kelompok

sosial berdasarkan berbagai persamaan dan tujuan. Kelompok manusia bisa saja

berbentuk keluarga inti, keluarga luas, etnik, kelompok profesi, ras, bangsa, dan

seterusnya. Dalam konteks ini, manusia selalu ingin melanjutkan peradabannya dan

generasi keturunannya. Kesinambungan generasi ini penting agar manusia tidak

musnah di muka bumi. Oleh karena itu, manusia dianugerahi Tuhan untuk

meneruskan keturunan ini melalui hubungan perkawinan yang diatur oleh

norma-norma agama dan adat. Perkawinan dalam masyarakat tertentu tidak boleh

bertentangan dengan ajaran agama dan norma-norma adat.

Seorang pakar antropologi Eropa, Gough (1959) melihat perkawinan, di

sepanjang masa dan semua tempat di dunia ini, sebagai satu kontrak menurut

adat-istiadat, yang bertujuan untuk menetapkan pengabsahan anak yang baru dilahirkan

sebagai anggota yang dapat diterima masyarakat. Dalam usaha menemukan definisi

yang universal, Goodenough memusatkan pemikirannya kepada hak atas seksualitas

wanita yang diperoleh berdasarkan kontrak sosial.

(13)

dianggap memenuhi syarat untuk melahirkan anak (Goodenough, 1970:12-13).

Dalam berbagai kebudayaan manusia di dunia ini, terjadi beberapa orientasi

dalam perkawinan. Ada masyarakat yang mendasarkan kepada perkawinan

monogami, adapula yang memperbolehkan poligami, namun ada pula yang

membolehkan perkawinan dalam bentuk penyimpangan sosial umum dan moralitas

yaitu perkawinan poliandri (satu perempuan kawin dengan lebih dari satu suami).

Dalam beberapa kelompok masyarakat, dua orang pria atau lebih bisa bersama-sama

menggauli wanita secara seksual, yang biasanya melibatkan sekelompok saudara

laki-laki (poliandri fraternal). Poliandri sering dihubungkan dengan

ketidakseimbangan penduduk, yang disebabkan oleh kebiasaan membunuh bayi

perempuan. Di Himalaya sebagai contoh, poliandri dilakukan kerana tujuannya

mengurangi jumlah keluarga yang terlalu besar, sementara lahan pertanian terbatas

luasnya. Dalam agama Yahudi, Kristen, dan Islam praktik demikian sangat dilarang.

Begitu juga hubungan incest yaitu antara kerabat kandung. Semua ini adalah aturan

Tuhan untuk makhluk manusia ciptaan-Nya agar manusia menjadi rahmat kepada

alam, bukan merusak alam, atau generasi keturunannya.

Setiap agama juga memiliki konsep yang berbeda-beda tentang perkawinan.

Agama Kristen (Protestan dan Katholik) secara umum hanya membenarkan seorang

laki-laki kawin dengan satu perempuan. Namun demikian, beberapa sekte agama

Kristen (misalnya Mormon di Amerika Serikat) membenarkan perkawinan poligami.

Dalam Islam, sesuai dengan panduan Al-Qur’an seorang pria Islam bisa kawin

dengan sebanyak-banyaknya empat perempuan, tetapi ada syaratnya yaitu adil.

Allah mengingatkan bahwa jika seorang lelaki muslim tidak dapat berlaku adil

kepada isteri-isterinya, maka kawinlah dengan satu perempuan saja. Dimensi

(14)

dibandingkan laki-laki. Agar perempuan-perempuan mendapat suami, maka tentu

saja secara umum harus ada laki-laki yang beristeri lebih daripada satu untuk

melakukan respon terhadap kenyataan jenis kelamin ini yang penuh dengan rahasia

Tuhan. Dalam realitasnya, di negara-negara Islam mayoritas rakyatnya kawin secara

monogami.

Upacara perkawinan hanyalah salah satu rangkaian dari sejumlah upacara

siklus hidup dan sesudah meninggalnya manusia. Siklus hidup manusia biasanya

dimulai dari sejak janin, lahir, akil baligh atau dewasa, khitan, perkawinan, memiliki

anak, memasuki keorganisasian, kematin, pasca kematian, dan seterusnya.

Secara sosiologis dan agama, fungsi utama perkawinan adalah untuk

melanjutkan generasi keturunan manusia sepanjang zaman, dan manjaga peradaban

manusia. Sedangkan guna perkawinan di antaranya adalah: memuaskan nafsu

biologis manusia, menerima dan memberi kasih sayang kepada pasangan hidup,

membina keluarga, menyatukan dua keluarga besar, dan sebagainya. Dalam hal ini,

agama memegang peran utama dalam upacara perkawinan. Pengabsahan

perkawinan selalu melibatkan para pemuka agama pada semua agama di dunia.

Ritual perkawinan melibatkan aspek adat dan agama sekaligus. Demikian juga yang

terjadi pada masyarakat Minangkabau.

Minangkabau merupakan salah satu suku (etnik) yang wilayah budayanya yang

lazim disebut dengan Ranah Minang. Minangkabau dikenal sebagai salah satu

bentuk kebudayaan di Pulau Sumatera. Masyarakat Minangkabau menerapkan

sistem matrilineal, dimana garis keturunannya berdasarkan garis keturunan ibu.

Masyarakat Minangkabau, di dalam melaksanakan tata cara adat perkawinan,

menunaikan dua norma penting. Pertama adalah perkawinan menurut adat, dan

(15)

akan diadakan penganugerahan kedudukan kepada mempelai perempuan. Hal ini

dilakukan semata-mata karena sistem kemasyarakatan Minangkabau menganut

sistem matrilineal (garis keturunan dari pihak ibu).1

Partisipan baralek melibatkan ninik mamak (paman), sanak saudara, termasuk

pemimpin nagari (wilayah adat Minangkabau) (A.A. Navis, 1986:197-198). Dalam

mengawali upacara baralek ini ditampilkan pertunjukan tari Galombang, yaitu suatu

tari yang mengekspresikan suasana sukacita pihak keluarga anak daro (pengantin

perempuan) akan kedatangan marapulai (pengantin laki-laki) dan keluarganya.

Selanjutnya, perkawinan baru

dianggap sah bila telah dilakukan upacara perkawinan sesuai agama. Sesudah

pelaksanaan kedua fase tersebut biasanya upacara perkawinan dilanjutkan dengan

upacara baralek, yaitu upacara perayaan terhadap perkawinan yang sudah

dilaksanakan.

2

Tari Galombang adalah salah satu jenis tarian masyarakat Minangkabau yang

sudah mereka praktikkan di dalam kegiatan kehidupan sehari-hari jauh sebelum masa

kemerdekaan bangsa Indonsesia. Dari tradisi lisan mereka ini dapat diketahui bahwa

1

Matrilineal adalah suatu adat masyarakat yang mengatur alur keturunan berasal dari pihak ibu. Kata ini seringkali disamakan dengan matriarkhat atau matriarkhi, walaupun pada dasarnya artinya berbeda. Matrilineal berasal dari dua kata, yaitu mater (bahasa Latin) yang berarti "ibu," dan linea (bahasa Latin) yang berarti "garis." Jadi matrilineal berarti mengikuti garis keturunan yang ditarik dari pihak ibu. Sementara itu, matriarkhat berasal dari dua kata yang lain, yaitu mater yang berarti ibu dan archein (bahasa Yunani) yang berarti memerintah. Jadi, matriarkhi berarti kekuasaan berada di tangan ibu atau pihak perempuan. Dalam konteks kebudayaan-kebudayaan etnik di seluruh dunia ini, penganut adat matrilineal adalah suku Indian di Apache Barat; suku Navajo, sebagian besar suku Pueblo, suku Crow, dan lain-lain. yang kesemuanya adalah penduduk asli Amerika Serikat. Kemudian ada pula suku Khasi di Meghalaya, India Timur Laut; suku Nakhi di Provinsi Sichuan dan Yunnan, Tiongkok; beberapa suku yang jumlahnya relatif kecil di kepulauan Asia Pasifik, suku Minangkabau di Sumatera Barat (yang menjadi topik kajian dalam skripsi ini), dan lain-lain. Dalam kajian antropologis, adat matrilineal berumur lebih tua dari adat patrilineal. Lawan dari matrilineal adalah patrilineal yaitu suatu adat masyarakat yang menyatakan alur keturunan berasal dari pihak ayah. Penganut adat patrilineal di Indonesia sebagai contohnya adalah suku Batak Toba, Mandailing-Angkola, Pakpak, Karo, suku Rejang, Gayo, dan lain-lainnya. Walaupun lebih belakangan datangnya, adat patrilineal lebih umum digunakan kelompok masyarakat dunia dibandingkan matrilineal yang lebih jarang penggunaannya (sumber: id.wikipedia.org/Wiki/Matrilineal). Selain itu ada pula adat yang mendasarkan penarikan garis keturunan baik dari pihak ibu maupun ayah. Adat yang seperti ini disebut dengan bilateral.

2

(16)

bahwa tari Galombang berkembang dan terintegrasi menjadi bagian adat istiadat

Minangkabau yang mengakar di masyarakat tersebut. Bahkan hingga dewasa ini

penyajian tari Galombang masih bertahan dan sangat lazim disajikan pada saat pesta

perkawinan di kalangan anggota masyarakat Minangkabau, baik di kampung

halaman mereka di Sumatera Barat, maupun di kota Medan, yaitu salah satu kota

tujuan merantau3

Tari Galombang, dalam konteks praktik adat istiadat ditampilkan untuk

menyambut kedatangan marapulai beserta keluarganya oleh anak daro. Pada

penyambutan itu, marapulai akan dipayungi dengan payung kebesaran dengan

simbol kebesaran suatu upacara sebagai penghormatan. Sesuai adat, seseorang yang

ditunjuk oleh keluarga anak daro untuk memberikan suguhan daun sirih, pinang,

dan gambir, yang disajikan di dalam carano

masyarakat Minangkabau di Indonesia.

4

Dalam praktik tari Galombang, komposisi penari biasanya terdiri dari enam

atau lebih penari. Umumnya, semakin banyak penarinya semakin terlihat bagus,

karena memberikan lebih banyak kemungkinan untuk menyusun pola lantai tarian

tersebut. Namun demikian, bisa saja semua penari adalah perempuan saja, bisa juga diberikan kepada marapulai sebagai

wakil dari rombongan setelah tari Galombang di sajikan dan marapulai di payungi

dengan payung kebesaran. Suguhan tersebut juga biasanya disuguhkan kepada

kedua orang tua dan keluarga marapulai. Suguhan yang disuguhkan wajib diterima,

sebagai tanda kerendahan hati dan keikhlasan yang tulus untuk menjalin

silahturahmi.

3

Merantau adalah salah satu budaya dan kebiasaan orang Minangkabau. Sebagai masyarakat yang matrilineal, di mana dalam situasi itu, pihak wanitalah yang memiliki kekuasaan terhadap harta benda dan lainnya. maka oleh karenanya para pria biasanya akan melalukan perantauan terutama ke luar wilayah budaya Minangkabau. Mereka ini pergi untuk satu tujuan meningkatkan kehidupan ekonomi, dan kemudian hasilnya dibawa ke kampung halaman. Oleh sebab itu, dalam konsep budaya Minangkabau pun ada tiga kawasan budayanya yaitu: (a) darek (darat); (b) pasisie (pesisir), dan (c) rantau.

4

(17)

campuran dengan laki-laki, yaitu beberapa penari perempuan dan beberapa lagi

penari laki-laki. Dalam konteks penyajian saat upacara berlangsung, para penari

diposisikan di sepanjang jalan menuju tempat upacara, menghadap ke arah datangnya

marapulai dan para tamu.

Dari pengamatan di lapangan yang penulis lakukan,5

Pada dasarnya, konsep tari Galombang kurang lebih sama di seluruh satuan

sosial Minangkabau, yakni pola-pola gerakan yang diambil dari gerakan bungo silek.

Tiap kelompok penari di dalam anggota masyarakat Minangkabau menciptakan

berbeda-beda ragam gerakan dalam strukturnya. Hal ini disesuaikan dengan selera

masing-masing kelompok. Namun dalam pola gerakannya semua sama, berdasarkan

pola gerakan yang sudah tradisi adat dari dahulunya. Dalam penyajiannya, tari

Galombang ini memerlukan keahlian agar dapat bergerak, gerakan-gerakan kaki dan

ada beberapa catatan

penting tentang penyajian tari Galombang. Pertama, penari perempuan selalu

mengenakan baju kuruang (baju kurung), selayaknya busana adat Minangkabau,

sementara di bagian kepala penari diberi aksesoris sesuai kesepakatan bersama para

penari. Biasanya aksesoris yang dipilih adalah tengkuluk (hiasan kepala perempuan

yang berbentuk runcing dan bercabang), magek (hiasan kepala dari kain sejenis

sarung yang dibentuk seperti bunga), ataupun sunting. Kedua, penari laki-laki selalu

mengenakan guntiang Cino (baju longgar), sarawa galembong (celana longgar), dan

deta (ikat kepala). Warna pakaian yang dikenakan bervariasi mulai dari warna

merah, hitam, kuning, dan biru. Catatan berikutnya adalah bahwa dalam menarikan

tari Galombang, gerakan tariannya diambil dari gerakan bungo silek, yaitu gerakan

variatif yang bersumber dari gerakan pencak silat Minangkabau yang pada dasarnya

bersifat cekatan dan tegas.

5

(18)

tangan saling digerakkan yang begitu diperhatikan. Gerakan kaki dilakukan dengan

menggunakan langkah-langkah, dimana langkah-langkah ini berupa langkah maju,

langkah mundur, langkah sambil angkat salah satu kaki, dan langkah dengan

penyilangan kedua kaki (langkah simpie). Sedangkan gerakan tangan dilakukan

dengan gerakan-gerakan “kasar” yang identik dengan kekhasan

masyarakat Minangkabau, seperti gerakan menyembah sebagai penghormatan,

gerakan tepuk paha sebagai ketangkasan, gerakan tangan menyilang sebagai menolak

kejahatan, dan gerakan menepuk tangan ke depan sebagai tanda penyuguhan sirih.

Dimana semua makna yang terkandung di dalam gerakan-gerakan tersebut

mempunyai fungsi bagi masyarakat Minangkabau. Semua gerakan diatur dalam

gerak kaki maupun tangan demi keseragaman tarian terhadap antar penari. Setiap

peralihan atau perubahan gerakan yang ada sesuai dengan ketukan tempo musik

pengiringnya.

Keberadaan musik iringan dalam tari Galombang merupakan hal yang

berkaitan. Dalam hal ini, musik menjadi pembentuk suasana, dan juga untuk

memperjelas tekanan-tekanan gerakan begitu juga pergantian ragam dan pola-pola

gerakan yang dibuat. Jadi, jika musik tidak ada maka tarian tidak dapat terbentuk

keindahannya. Untuk mengiringi tari Galombang, masyarakat Minangkabau

menggunakan musik tradisional mereka yang lazim digunakan.

Dalam mengiringi tari Galombang ada 3 struktur musik iringan yang baku.

Pertama musik pembuka, yaitu menggunakan 2 alat musik, yakni tasa (gendang satu

sisi berbentuk mangkuk) dan gandang tambua (gendang berbentuk barel dua sisi).

Kedua alat musik ini saling bersahut-sahutan (litany). Struktur musik kedua adalah

musik Galombang, menggunakan 4 alat musik, yakni tasa sebagai peningkah atau

(19)

tarian, talempong pacik (dipegang tangan pemainnya) sebagai pembawa melodi dan

ritem interloking, dan puput serunai sebagai pembawa melodi yang dikembangkan

(improvisasi). Ketiga musik penutup, yang juga menggunakan keempat alat musik

tadi yaitu tasa, gandang tambua, talempong pacik, dan serunai. Pada keempat alat

musik ini yang menjadi pembawa tempo yang paling penting dalam pembuka dan

penutup musik adalah tasa. Lagu yang dimaninkan bernama lagu Tigo Duo.

Guna dan fungsi tari Galombang ini dalam setiap upacara mengalami

pergeseran dari zaman dulu, yang dimana saat dulu tari ini penting digunakan dalam

upacara perkawinan masyarakat Minangkabau. Namun dalam penerapan di masa

sekarang adalah sebagai salah satu pelengkap atau bisa dikatakan penyemaraknya

upacara perkawinan. Sesuai tingkat ekonomi yang mempunyai acara perkawinan.

Hal ini dikarenakan sanggar-sanggar yang memfokuskan pelatihan pada tari

Minangkabau semakin banyak, dan saling bersaing. Jika tari ini tidak ditampilkan,

upacara akan tetap terlaksana. Namun terasa kurang lengkap jika kesenian

tradisional ini tidak ditampilkan. Dengan kata lain, dalam hal ini ada sisi menjaga

image antar anggota masyarakat mereka.

Di Kota Medan sendiri kelompok masyarakat Minangkabau ini hampir

menempati seluruh kawasan Kota Medan. Tercatat paling banyak terdapat di

antaranya di Medan Denai dan Sukaramai (Flora Hutagalung, 2009:5). Walaupun

jumlah penduduk masyarakat Minangkabau sebagai pendatang bukan yang terbanyak

di Kota Medan, tetapi kelompok masyarakat ini mampu menampilkan bahkan

memperkenalkan budaya tradisi mereka. Ini dapat dilihat dari banyaknya pagelaran

seni tari yang menampikan tari Minangkabau khususnya tari Galombang, seperti di

(20)

Sumara Anjuang dan sanggar-sanggar lainnya yang memberikan pelatihan tari

Minangkabau.

Di antara beberapa sanggar yang ada di Kota Medan yang penulis sebutkan

tadi, penulis memilih sanggar Tigo Sapilin untuk penulis fokuskan kajiannya dalam

skripsi ini. Sanggar Tigo Sapilin ini merupakan salah satu sanggar yang

memfokuskan pelatihan pada tari tradisi dan masih sering dipanggil untuk

mengadakan pertunjukan.

Tulisan ini dimaksudkan untuk mendiskusikan tentang pertunjukan tari

Galombang dalam upacara adat perkawinan di kalangan anggota masyarakat

Minangkabau yang ada di kota Medan. Pertunjukan yang dimaksud mencakup dua

aspek, yaitu tari dan musik.

Ada tiga aspek utama yang akan penulis diskusikan di dalam tulisan ini.

Pertama adalah bagaimana struktur tari Galombang tersebut. Dalam konteks struktur

tersebut, akan dideskripsikan ragam gerakan yang ada, demikian juga halnya dengan

pola-pola lantai yang digunakan, serta dalam pola-pola gerakan, hal spesifik apa

yang menyangkut nilai adat, nilai agama, atau nilai yang terkait budaya lokal yang

dilambangkan atau diekspresikan. Kedua, bagaimana struktur musik iringan pada

tari Galombang. Selanjutnya apakah fungsi tari Galombang dalam konteks upacara

adat perkawinan dimaksud? Jika dimaksud eksis, lantas bagaimanakan proses

penyajian tari Galombang tersebut sehingga dapat memenuhi fungsi dimaksud?

Keberadaan tari Galombang dalam upacara perkawinan adat Minangkabau di

Kota Medan seperti terurai dalam latar belakang ini, dapat didekati dengan

pendekatan multidisiplin ilmu. Yang pertama adalah untuk mengkaji struktur tarinya

(21)

Yang dimaksud antropologi tari atau disebut juga etnologi tari dan

etnokoreologi adalah sebagai berikut.

Ethnochoreology (also dance ethnology, dance anthropology) is the study of dance through the application of a number of disciplines such as anthropology, musicology (ethnomusicology), ethnography, etc. The word, itself, is relatively recent and means, literally, “the study of folk dance”, as opposed to, say, the formalized entertainment of classical ballet. Thus, ethnochoreology reflects the relatively recent attempt to apply academic thought to why people dance and what it means. It is not just the study or cataloging of the thousands of external forms of dances—the dance moves, music, costumes, etc.— in various parts of the world, but the attempt to come to grips with dance as existing within the social events of a given community as well as within the cultural history of a community. Dance is not just a static representation of history, not just a repository of meaning, but a producer of meaning each time it is produced—not just a living mirror of a culture, but a shaping part of culture, a power within the culture. The power of dance rests in acts of performance by dancers and spectators alike, in the process of making sense of dance… and in linking dance experience to other sets of ideas and social experiences. Ethnologic dance is native to a particular ethnic group. They are performed by dancers associated with national and cultural groups. Religious rituals (ethnic dances) are designed as hymns of praise to a god, or to bring in good fortune in peace or war (Blacking, 1984).

Dari kutipan di atas, dapat diartikan bahwa yang dimaksud etnokoreologi (juga

disebut dengan etnologi tari dan antropologi tari) adalah studi tari melalui penerapan

sejumlah disiplin ilmu seperti antropologi, musikologi (etnomusikologi), etnografi,

dan lain-lain. Istilah itu sendiri, adalah relatif baru, yang secara harfiah berarti studi

tentang tarian rakyat (sebagai lawan dari tari hiburan yang diformalkan dalam bentuk

balet klasik). Dengan demikian, etnokoreologi mencerminkan upaya yang relatif

baru dalam dunia akademis untuk mengkaji mengapa orang menari dan apa artinya.

Dalam konteks tersebut para ilmuwan etnokoreologi tidak hanya belajar ribuan tarian

yang mencakup gerak, musik iringan, kostum, dan hal-hal sejenis, di berbagai

belahan dunia ini, tetapi juga meneliti tarian dalam kegiatan sosial dari suatu

(22)

representasi statis sejarah, bukan hanya repositori makna, namun menghasilkan

makna setiap kali tari itu dihasilkan. Tari bukan hanya cermin hidup suatu budaya,

tetapi merupakan bagian yang membentuk budaya, sebagai kekuatan dalam budaya.

Kekuatan tari terletak pada tindakan penampilan penari dan penonton, dalam proses

pembentukan rasa dalam tari, dan menghubungkan pengalaman gagasan tari dan

wujud sosialnya. Tari juga berkait dengan kelompok etnik tertentu. Tarian ini

dilakukan oleh penari yang berhubungan dengan kelompok bangsa dan budayanya.

Tarian etnik dirancang sebagai himne pujian untuk Tuhan, atau untuk membawa

keberuntungan dalam damai atau perang.

Yang kedua untuk mengkaji struktur musik iringan penulis menggunakan

disiplin etnomusikologi. Seperti yang penulis ketahui dari pakar etnomusikologi

yaitu Merriam yang dimaksud etnomusikologi adalah sebagai berikut.

Ethnomusicology carries within itself the seeds of its own division, for it has always been compounded of two distinct parts, the musicological and the ethnological, and perhaps its major problem is the blending of the two in a unique fashion which emphasizes neither but takes into account both. This dual nature of the field is marked by its literature, for where one scholar writes technically upon the structure of music sound as a system in itself, another chooses to treat music as a functioning part of human culture and as an integral part of a wider whole. At approximately the same time, other scholars, influenced in considerable part by American anthropology, which tended to assume an aura of intense reaction against the evolutionary and diffusionist schools, began to study music in its ethnologic context. Here the emphasis was placed not so much upon the structural components of music sound as upon the part music plays in culture and its functions in the wider social and cultural organization of man. It has been tentatively suggested by Nettl (1956:26-39) that it is possible to characterize German and American "schools" of ethnomusicology, but the designations do not seem quite apt. The distinction to be made is not so much one of geography as it is one of theory, method, approach, and emphasis, for many provocative studies were made by early German scholars in problems not at all concerned with music structure, while many American studies heve been devoted to technical analysis of music sound (Merriam 1964:3-4).6

6

Sebuah buku yang terus populer di kalangan etnomusikologi dunia sampai sekarang ini, dalam realitasnya menjadi “bacaan wajib ” bagi para pelajar dan mahasiswa etnomusikologi seluruh dunia,

(23)

Menurut pendapat Merriam seperti kutipan di atas, para ahli etnomusikologi

membawa dirinya sendiri kepada benih-benih pembagian ilmu, untuk itu selalu

dilakukan percampuran dua bagian keilmuan yang terpisah, yaitu musikologi dan

etnologi [antropologi]. Selanjutnya menimbulkan kemungkinan-kemungkinan

masalah besar dalam rangka mencampur kedua disiplin itu dengan cara yang unik,

dengan penekanan pada salah satu bidangnya, tetapi tetap mengandung kedua

disiplin tersebut.

Sifat dualisme lapangan studi etnomusikologi ini, dapat ditandai dari

bahan-bahan bacaan yang dihasilkannya. Katakanlah seorang sarjana etnomusikologi

menulis secara teknis tentang struktur suara musik sebagai suatu sistem tersendiri.

Di lain sisi, sedangkan sarjana lain memilih untuk memperlakukan musik sebagai

suatu bagian dari fungsi kebudayaan manusia, dan sebagai bagian yang integral dari

keseluruhan kebudayaan. Di dalam masa yang sama, beberapa sarjan dipengaruhi

secara luas oleh para pakar antropologi Amerika, yang cenderung untuk

mengasumsikan kembali suatu reaksi terhadap aliran-aliran yang mengajarkan

teori-teori evolusioner difusi, dimulai dengan melakukan studi musik dalam konteks

etnologisnya. Di dalam kerja yang seperti ini, penekanan etnologis yang dilakukan

para sarjana ini lebih luas dibanding dengan kajian struktur komponen suara musik

sebagai suatu bagian dari permainan musik dalam kebudayaan, dan fungsi-fungsinya

dalam organisasi sosial dan kebudayaan manusia yang lebih luas.

Hal tersebut telah disarankan secara tentatif oleh Bruno Nettl yaitu terdapat

kemungkinan karakteristik "aliran-aliran" etnomusikologi di Jerman dan Amerika,

yang sebenarnya tidak persis sama. Mereka melakukan studi etnomusikologi ini,

tidak begitu berbeda, baik dalam geografi, teori, metode, pendekatan, atau

(24)

penekanannya. Beberapa studi provokatif awalnya dilakukan oleh para sarjana

Jerman. Mereka memecahkan masalah-masalah yang bukan hanya pada semua hal

yang berkaitan dengan struktur musik saja. Para sarjana Amerika telah

mempersembahkan teknik analisis suara musik.

Dari kutipan di atas tergambar dengan jelas bahwa etnomusikologi dibentuk

dari dua disiplin ilmu dasar yaitu antropologi dan musikologi. Walaupun terdapat

variasi penekanan bidang yang berbeda dari masing-masing ahlinya. Namun

terdapat persamaan bahwa mereka sama-sama berangkat dari musik dalam konteks

kebudayaannya.

Khusus mengenai beberapa definisi tentang etnomusikologi telah dikemukakan

dan dianalisis oleh para pakar etnomusikologi. Pada tulisan edisi berbahasa

Indonesia, Rizaldi Siagian dari Universitas Sumatera Utara (USU) Medan, dan

Santosa dari Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) Surakarta, telah

mengalihbahasakan berbagai definisi etnomusikologi, yang terangkum dalam buku

yang bertajuk Etnomusikologi, tahun 1995, yang diedit oleh Rahayu Supanggah,

terbitan Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia, yang berkantor pusat di Surakarta.

Dalam buku ini, Alan P. Merriam mengemuakan 42 definisi etnomusikologi dari

beberapa pakar, menurut kronologi sejarah dimulai oleh Guido Adler 1885 sampai

Elizabeth Hesler tahun 1976.7

7

(25)

Sedangkan untuk mengkaji fungsi tari Galombang dalam kelompok etnik

Minangkabau, pada masyarakat Medan yang bersifat urban (perkotaan) dan

heteroden digunakan pendekatan fungsionalisme dalam ilmu-ilmu sosial dan

humaniora, baik itu dari antropologi maupun antropologi tari.

Berdasarkan fakta lapangan dan latar belakang keilmuan, penulis memilih

judul untuk penelitian ini, sebagai berikut: “Hubungan Struktur Tari, Musik Iringan,

dan Fungsi Sosial Tari Galombang yang Dipertunjukan Sanggar Tigo Sapilin pada

Upacara Adat Perkawinan Masyarakat Minangkabau di Kota Medan.”

1.2 Pokok Permasalahan

Agar pembahasan lebih terarah maka ditentukan pokok permasalahan. Dalam

skripsi nantinya, masalah yang akan dibahas meliputi tiga hal sebagai berikut.

(1) Bagaimana struktur tari Galombang dan musik iringannya disajikan

dalam upacara adat perkawinan masyarakat Minangkabau di Kota Medan?

(2) Bagaimana struktur musik iringan tari Galombang yang disajikan dalam

upacara adat perkawinan masyarakat Minangkabau di Kota Medan?

(3) Bagaimana hubungan antara struktur tari, struktur musik iringannya, dan

fungsi dalam tari Galombang yang disajikan dalam adat perkawinan masyarakat

Minangkabau di Kota Medan.

(26)

1.3 Tujuan dan Manfaat 1.3.1 Tujuan

Adapun yang menjadi tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut.

(1) Untuk mengetahui dan memahami bagaimana struktur tari dan struktur

musik iringan tari Galombang disajikan dalam perkawinan masyarakat

Minangkabau di Kota Medan.

(2) Untuk mengetahui dan memahami fungsi sosial yang terdapat dalam

penyajian tari Galombang pada perkawinan masyarakat Minangkabau di

Kota Medan.

(3) Untuk mengetahui dan memahami hubungan antara struktur tari, struktur

musik iringannya, dan fungsi dalam tari Galombang yang disajikan dalam

adat perkawinan masyarakat Minangkabau di Kota Medan.

1.3.1 Manfaat

Manfaat yang diambil dari penelitian yang diwujudkan dalam skripsi ini adalah

(1) Menambah referensi tentang kesenian (khususnya tari Galombang).

(2) Sebagai bahan masukan bagi pembaca khususnya mahasiswa yang

bergelut dalam seni tari dan musik, agar dapat mengetahui penyajian tari

Galombang dan musik dalam konteks acara perkawinan masyarakat

Minangkabau.

(3) Menambah pengetahuan bagi penulis dan peneliti-peneliti lain, baik

mencakup teori maupun uraian tentang bentuk penyajian tari Galombang.

(4) Mengembangkan kajian-kajian ilmiah di bidang musik dan tari, yang

dampaknya turut mengembangkan aspek keilmuan dalam disiplin-disiplin

(27)

(5) Memberikan pengetahuan secara empiris kepada para pembaca, bagaimana

seni budaya (musik dan tari) berkembang menyebar ke kawasan lain

tempat suatu etnik merantau.

1.4 Konsep dan Teori 1.4.1 Konsep

Dalam penelitian dan penulisan ini yang dimaksud dengan kata struktur, yaitu

struktur adalah bagaimana bagian-bagian dari sesuatu berhubungan satu dengan yang

lain atau bagaimana sesuatu tersebut disatukan. Dalam hal ini, struktur yang penulis

maksud dalam tulisan ini adalah bagian-bagian yang melengkapi tari Galombang

dalam pertunjukannya, dan tahapan-tahapan dari pola-pola gerakan, dengan kata lain

yang berarti ragam-ragam yang ada dalam tarian Galombang. Identifikasi suatu

struktur tergantung pada asumsi kriteria bagi pengenalan bagian-bagiannya dan

gerakan yang terkandung dalam tiap-tiap ragam yang terbentuk.

Jadi dalam hal ini struktur dan pola sangat berhubungan, yakni bagaimana

bagian-bagian dari gerakan tari saling berhubungan sehingga disatukan dan adanya

bentuk atau model (suatu set peraturan) yang bisa dipakai untuk membuat atau untuk

menghasilkan suatu tari. Khususnya jika tari yang ditimbulkan cukup mempunyai

suatu tari yang sejenis untuk pola dasar yang dapat ditunjukkan atau terlihat, yang

mana gerakan tarian itu dikatakan memamerkan pola.

Tari adalah segala gerak yang berirama atau sebagai segala gerak yang

dimaksudkan untuk menyatakan keindahan ataupun kedua-duanya (Tengku Luckman

Sinar, 1996:5). Dalam tulisan ini yang penulis maksud dengan tari Galombang

(28)

perkawinan. Tarian Galombang ini memakai 6 orang atau lebih penari, yang

gerakannya diambil dari gerakan-gerakan bungo silek. Dengan iringan musik dari

alat musik tradisional Minangkabau yang terdiri dari tasa, gandang tambua,

talempong pacik, dan puput serunai, dengan menggunakan lagu Tigo Duo sehingga

menampilkan suatu keindahan untuk dipersembahkan bagi kedatangan marapulai ke

rumah anak daro.

Istilah fungsi sosial yang penulis maksud dalam tulisan ini adalah bagaimana

fungsi tari Galombang ini bagi masyarakat Minangkabau. Dimana saya akan melihat

dan bertanya apakah fungsi adalah sesuatu yang akan dibagi atau diakibatkan,

dengan kata lain dampak dari sesuatu hal yang khas.

Perkawinan dalam tulisan ini merupakan perkawinan yang ada pada

masyarakat manapun. Biasanya melibatkan aspek agama atau religi yang disahkan

secara adat maupun agama. Pada umumnya acara perkawinan biasa disertai dengan

pertunjukan kesenian tari, musik, teater, atau pun sastra.

Istilah masyarakat dalam penulisan judul memiliki arti seperti yang

dikemukakan oleh Soerjono Soekanto (1993:106-107), yaitu sebagai asosiasi

manusia yang ingin mencapai tujuan-tujuan tertentu yang terbatas sifatnya, sehingga

direncanakan pembentukan organisasi-organisasi tertentu. Selain itu Soerjono

Soekanto menambahkan bahwa istilah masyarakat sangat erat kaitannya dengan

nilai-nilai, norma-norma, tradisi, kepentingan-kepentingan, dan lain sebagainya.

Oleh karena itu, maka pengertian masyarakat tidak mungkin dipisahkan dari

kebudayaan dan kepribadian.

Masyarakat Minangkabau yang penulis maksud di sini, adalah masyarakat

yang telah lama ada di Kota Medan, serta masyarakat Minangkabau yang telah

(29)

membawa kebiasaan mereka, adat istiadat, tingkah laku, budaya, serta tradisi mereka.

Dimana perpindahan tersebut dapat terjadi karena berbagai faktor, seperti halnya

faktor ekonomi, pendidikan, dan lainnya. Seperti yang juga dikemukakan oleh

Koentjaraningrat (1986:160), bahwa masyarakat merupakan kesatuan hidup yang

berinteraksi menurut sistem adat tertentu yang bersifat kontiniu dan terikat oleh rasa

identitas bersama.

1.4.2 Teori

Dalam menulis skripsi ini, penulis berpegang pada beberapa teori yang

berhubungan dengan permasalahan yang akan dibahas dan dianggap relevan. Teori

yang dimaksud sesuai dengan pendapat Koentjaraningrat (1977:30), yaitu bahwa

pengetahuan yang diperoleh dari buku-buku, dokumen-dokumen serta pengalaman

kita sendiri merupakan landasan dari pemikiran untuk memperoleh pengertian

tentang suatu teori-teori yang bersangkutan. Dengan demikian teori adalah pendapat

yang dijadikan acuan dalam membahas tulisan ini.

Dalam meneliti gerak tari tersebut, penulis akan mendiskripsikan bagaimana

uraian mengenai ragam gerak, pola lantai, motif gerak, frase gerak, bentuk tari,

hitungan tari, busana tari, properti tari, dan hal-hal sejenis yang berkait dengan

keberadaan tari sebagi produk manusia Minangkabau dalam konteks adatnya.

Struktur dan pola gerakan-gerakan yang terdapat dalam tari Galombang yang

nantinya juga penulis akan menggunakan lambang-lambang umum dan sederhana

yang penulis buat sendiri yang dapat mewakili pola gerak tari Galombang.

Penyusunan gerak dalam seni tari, gerak dari masing-masing penari maupun

dari kelompok penari bersama, ditambah dengan penyesuaiannya dengan ruang,

(30)

tari yang disebut koreografi (Djelantik, 1990:23). Dalam hal ini yang dimaksud

koreografi adalah gerakan-gerakan yang dilakukan para penari pada upacara

perkawinan masyarakat Minangkabau. Memiliki ciri-ciri khas tertentu dari bentuk

tarian etnik lain yang dapat dilihat dan dinikmati oleh pelakunya dan penontonnya.

Gerakan-gerakannya terpola didalam aturan-aturan adat dan nilai keindahan setempat

yang dilakukan secara simbolis serta memiliki makna-makna tersendiri.

Musik dan tarian merupakan fenomena yang berbeda, tetapi dapat bergabung

apabila terdapat aspek yang sama mengkoordinasikannya. Menurut Pringgobroto,

musik adalah rangkaian ritmis nada, sedangkan tarian adalah rangkaian ritmis dan

pola gerak tubuh (dalam Wimbrayardi, 1988:13-14). Musik merupakan fenomena

audio (bunyi) yang tidak terlihat, dan tari merupakan fenomena audio (bunyi) yang

tidak terdengar. Baik musik dan tari bergerak di dalam ruang dan waktu (Sachs

1993:1-4 dan Blacking 1985:64-74) serta dapat dirasakan melalui getaran yang

dihasilkannya. Aspek dasar yang menghubungkan keduanya adalah waktu, yaitu

gerak ritmis (musik dan tari) dan tempo. Untuk mengkaji struktur musik iringan tari

Galombang ini, dibahas dengan uraian mengenai struktur melodi dan ritem yang

dihasilkan alat pembawa melodi dan ritem dalam konteks mengiringi tari Galombang

ini. Melodi dibawa oleh alat musik serunai. Sementara ritem dibawa secara

interloking oleh talempong pacik, yang diiringi pola-pola ritem gandang tambua dan

tasa. Untuk melodi penulis akan menggunakan teori bobot tangga nada (weighted

scale) yang ditawarkan oleh Malm (1977). Dianalisis melalui 8 struktur melodinya

yaitu: (1) tangga nada, (2) wilayah nada, (3) nada dasar, (4) interval, (5) jumlah

nada-nada yang digunakan, (6) formula melodi, (7) pola-pola kadensa, dan (8) kontur

(31)

Untuk mengkaji fungsi tari Galombang di dalam kebudayaan masyarakat

Minangkabau digunakan teori fungsionalisme baik dalam ilmu antropologi maupun

dalam etnologi tari, yang ditawarkan oleh beberapa pakar. Mereka menggagas teori

fungsi itu sebagai berikut.

Radcliffe-Brown mengemukakan bahawa fungsi sangat berkait erat dengan

struktur sosial masyarakat. Bahwa struktur sosial itu hidup terus, sedangkan

individu-individu dapat berganti setiap saat. Dengan demikian, Radcliffe-Brown

yang melihat fungsi ini dari sudut sumbangannya dalam suatu masyarakat,

mengemukakan bahawa fungsi adalah sumbangan satu bagian aktivitas kepada

keseluruhan aktivitas di dalam sistem sosial masyarakatnya. Tujuan fungsi adalah

untuk mencapai tingkat harmoni atau konsistensi internal, seperti yang diuraikannya

berikut ini.

By the definition here offered ‘function’ is the contribution which a partial activity makes of the total activity of which it is a part. The function of a perticular social usage is the contribution of it makes to the total social life as the functioning of the total social system. Such a view implies that a social system ... has a certain kind of unity, which we may speak of as a functional unity. We may define it as a condition in which all parts of the social system work together with a sufficient degree of harmony or internal consistency, i.e., without producing persistent conflicts can neither be resolved not regulated (1952:181).

Dalam kaitannya dengan tari Galombang pada upacara perkawinan adat

Minangkabau dalam kebudayaan Minangkabau di Kota Medan, maka tari ini adalah

salah satu aktivitas dari sekian banyak aktivitas etnik Minangkabau, yang tujuannya

adalah untuk mencapai harmoni atau konsistensi internal. Tari Galombang dan musik

iringannya adalah bahagian dari sistem sosial yang bekerja untuk mendukung

(32)

Curt Sachs (1963:5) seorang ahli musik dan tari dari Belanda mengemukakan

dalam bukunya yang berjudul World History of the Dance mengutarakan bahwa

fungsi tari secara mendasar ada dua, yaitu (1) Tari berfungsi untuk tujuan magis, dan

(2) Tari berfungsi sebagai media hiburan atau tontonan. Pakar lainnya Gertrude

Prokosch Kurath yang mengemukakan adanya 14 fungsi tari dalam masyarakat, yaitu

(1) sebagai media inisiasi (upacara pendewasaan), (2) sebagai media percintaan, (3)

sebagai media persahabatan atau kontak sesial, (4) sarana untuk perkawinan atau

pernikahan, (5) sebagai pekerjaan atau matapencaharian, (6) sebagai media untuk

sarana kesuburan atas pcrtanian, (7) sebagai sarana untuk perbintangan, (8) sebagai

sarana untuk ritual perburuan, (9) sebagai imitasi satwa, (10) sebagai imitasi

peperangaa, (11) sebagai sarana pengobatan, (12) sebagai ritual kematian, (13)

sebagai bentuk media untuk pemanggilan roh, dan (14) sebagai komedian (lawak).

Dari empat belas fungsi yang dikemukakan oleh Sachs seperti tersebut di atas,

maka salah satu fungsi tari Galombang yang paling utama adalah fungsinya sebagai

sarana untuk perkawinan atau pernikahan. Dalam hal ini pernikahan dalam adat

Minangkabau secara umum disebut baralek.

Anthony V. Shay dalam disertasinya yang berjudul: The Function of Dance in

Human Society, membagi tari dalam 6 fungsi, yaitu (1) sebagai refleksi dari

organisasi sosial, (2) sebagai sarana ekspresi sekuler serta ritual keagamaan, (3)

sebagai aktivitas rekreasi atau hiburan, (4) sebagai ungkapan serta pembebasan

psikologis, (5) sebagai refleksi nilai-nilai estetik atau murni sebagai aktivitas estetis,

dan (6) sebagai refleksi dari kegiatan ekonomi.

Kalau ditinjau dari teori fungsi tari yang dikemukakan Shay ini, maka tari

(33)

sosial Minangkabau. Juga berfungsi sebagai ekspresi ritual keagamaan, hiburan,

estetik, dan juga ekonomi.

Sementara pakar tari lndonesia yaitu Narawati dan R.M. Soedarsono

membedakan fungsi tari menjadi dua, yaitu (1) kategori fungsi tari yang besifat

primer, yang dibedakan menjadi tiga, yaitu: (a) fungsi tari sebagai sarana ritual, (b)

fungsi tari sebagai ungkapan pribadi, dan (c) fungsi tari sebagai presentasi estetik,

dan (2) kategori fungsi tari yang bersifat sekunder, yaitu lebih mengarah pada aspek

komersial atau sebagai lapangan mata pencaharian (Narawati dan Soedarsono, 2005:

15-16).

Berdasarkan teori fungsi tari dari Narawati dan Soedarsono ini, maka fungsi

tari galombang, mencakup baik itu fungsi primer dan juga fungsi sekunder. Di dalam

kegiatan tari ini terdapat fungsi ritual, ungkapan pribadi, estetik, dan mata

pencaharian.

1.5 Metode Penelitian

Metode penelitian adalah cara kerja untuk dapat memahami objek yang

menjadi sasaran ilmu yang bersangkutan. Untuk meneliti tari Galombang pada

upacara perkawinan masyarakat Minangkabau di Kota Medan ini, penulis

menggunakan metode penelitian kualitatif, sesuai dengan apa yang dikemukakan

oleh Kirk Miller dalam Moleong (1990:3) yang mengatakan: “Penelitian kualitatif

adalah tradisi tertentu dalam ilmu pengetahuan sosial yang secara fundamental

bergantung pada pengamatan manusia dalam kawasannya sendiri dan berhubungan

dengan orang-orang dalam bahasa dan peristilahannya.”

Penelitian kualitatif dapat dibagi dalam empat tahap yaitu: tahap sebelum ke

(34)

lapangan penulis mempersiapkan segala macam kebutuhan yang diperlukan sebelum

turun ke dalam penelitian itu sendiri. Dalam bagian ini disusun rancangan penelitian

ini, menjajaki atau menilai keadaan lapangan, memilih informan, perlengkapan

penelitian, dan etika penelitian.

Selanjutnya pada tahap pekerjaan di lapangan seorang peneliti untuk

mengumpulkan data semaksimal mungkin. Dalam hal ini, penulis menggunakan alat

bantu yaitu Handycam merk Sony, kamera digital merk Casio, dan catatan lapangan.

Pengamatan langsung (menyaksikan) upacara perkawinan masyarakat Minangkabau

di Kota Medan.

Sedangkan wawancara tidak berstruktur adalah wawancara yang dalam

pelaksanaan tanya jawabnya berlangsung seperti percakapan sehari-hari. Informan

biasanya terdiri dari mereka yang terpilih saja karena sifat-sifatnya yang khas.

Biasanya mereka telah mengetahui informasi yang dibutuhkan, dan wawancara

biasanya berlangsung lama.

Dalam tahap menganalisis data penulis mengorganisasikan data yang telah

terkumpul dari catatan lapangan, foto, studi kepustakaan, rekaman, dan sebagainya

ke dalam suatu pola atau kategori. Dan sebagai hasil akhir dari menganalisis data

adalah membuat laporan yang dalam hal ini adalah penulisan skripsi.

1.5.1 Studi Kepustakaan

Dalam tahapan ini penulis mencari, mempelajari, dan menggunakan

literatur-literatur yang berhubungan dan dapat membantu pemecahan permasalahan. Dari

hasil studi kepustakaan yang dilakukan penelitian tari Galombang dalam upacara

(35)

Tujuan dari studi kepustakaan ini adalah untuk mendapatkan konsep-konsep,

teori, serta informasi yang dapat digunakan sebagai acuan dalam pembahasan atau

penelitian, dan menambah wawasan penulis tentang kebudayaan masyarakat

Minangkabau yang diteliti yang berhubungan dengan kepentingan pembahasan atau

penelitian.

1.5.2 Penelitian Lapangan

Sebagai acuan dalam mengumpulkan data di lapangan, penulis berpedoman

kepada tulisan Harsja W. Bachtiar dan Koentjaraningrat dalam buku Metode-metode

penelitian masyarakat. Dalam buku ini tersebut dikatakan, bahwa pengumpulan data

dilakukan melalui kerja lapangan (field work) dengan menggunakan:

(1) Observasi (pengamatan), dalam hal ini penulis mengadakan pengamatan

langsung, hal ini sesuai dengan pendapat Harja W. Bachtiar (1990:114-115), bahwa

seorang peneliti harus melihat langsung akan kegiatan-kegiatan dari sasaran

penelitiannya dalam mendapatkan data-data di lapangan, maka pengamat

menghadapi persoalan bagaimana cara ia dapat mengumpulkan keterangan yang

diperlukan tanpa harus bersembunyi, tetapi juga tidak mengakibatkan perubahan oleh

kehadirannya pada kegiatan-kegiatan yang diamatinya.

Mengacu pada teori di atas penulis mengumpulkan keterangan yang diperlukan

dengan cara mengamati sasaran penelitian, misalnya tentang jalannya tari

Galombang pada upacara, sarana yang dipergunakan, pelaku, dan masalah-masalah

lain yang relevan dengan pokok permasalahan, dan dalam pengamatan, penulis juga

melakukan pencatatan data-data di lapangan sebagai laporan hasil pengamatan

penulis. Dalam hal ini penulis terlebih dahulu mendapat ijin dari pihak panitia

(36)

(2) Wawancara, dalam suatu penelitian yang bertujuan mengumpulkan

keterangan tentang kehidupan manusia dalam suatu masyarakat serta

pendirian-pendirian mereka itu, merupakan suatu pembantu utama dari metode observasi.

Wawancara ini bertujuan untuk mengumpulkan data dan informasi secara lisan

dari para informan. Untuk ini penulis mengacu pada pendapat Koentjaraningrat

(1990:129-155) yang membagi tiga kegiatan wawancara yaitu : persiapan

wawancara, teknik wawancara, dan pencatatan data wawancara. Sedangkan

wawancara terdiri dari wawancara terfokus, wawancara bebas, dan wawancara

sambil lalu.

Dalam wawancara terfokus, pertanyaan tidak mempunyai struktur tertentu

tetapi selalu terpusat kepada pokok permasalahan lain. Wawancara sambil lalu,

sifatnya hanya untuk menambah data yang lain. Dalam mengumpulkan data, penulis

menggunakan ketiga wawancara ini serta terlebih dahulu membuat daftar pertanyaan

dan mencatat secara langsung data-data yang diperlukan.

(3) Perekaman, dalam hal ini penulis melakukan perekaman dengan 2 cara,

yaitu (a) perekaman yang penulis lakukan yaitu perekaman audio dengan

menggunakan handycam merk Sony mini DVD. Perekaman ini sebagai bahan

analisis tekstual dan musikal. (b) Untuk mendapatkan dokumentasi dalam bentuk

gambar digunakan kamera digital merk Casio. Pengambilan gambar dilakukan

setelah terlebih dahulu mendapat ijin dari pihak pelaksana dan pihak yang

bersangkutan.

1.5.3 Kerja Laboratorium

Kerja laboratorium merupakan proses penganalisisan data-data yang telah

(37)

bahan dari studi kepustakaan terkumpul, selanjutnya dilakukan pembahasan dan

penyusunan tulisan. Sedangkan untuk hasil rekaman dilakukan pentranskripsian dan

selanjutnya dianalisa. Pada akhirnya hasil dari pengolahan data dan penganalisaan

disusun secara sistematis dengan mengikuti kerangka penulisan.

Untuk menyajikan aspek kebudayaan, penulis mengacu dari antropologi, aspek

struktur musik dari musikologi, dan juga unsur sosial lainnya (sesuai dengan

keperluan pembahasan ini), sebagaimana ciri Etnomusikologi yang inter-disipliner

dan keseluruhannya dikerjakan di dalam laboratorium Etnomusikologi), sehingga

permasalahannya yang merupakan hasil laporan penelitian yang disusun dalam

bentuk skripsi. Jika data yang dirasa masih kurang lengkap, maka penulis

melengkapinya dengan menjumpai informan kunci atau informan lain dan hal ini

dilakukan berulang-ulang.

1.6 Lokasi Penelitian

Sebagai lokasi penelitian, penulis memilih sanggar Tigo Sapilin, yang dipimpin

oleh Bapak H. Abu Bakar Siddiq, S.H. Beliau juga adalah Ketua YLKI (Yayasan

Lembaga Konsumen Indonesia) Sumatera Utara. Sanggar yang beliau pimpin ini

berada di rumah kediaman belaiu di Jalan Gurilla Gang Toke Umar, No. 18,

Kelurahan Sei Kerah Hilir II, kecamatan Medan Perjuangan, Medan. Lokasi

penelitian ini ditetapkan dengan beberapa alasan sebagai berikut. (1) Sanggar Tigo

Sapilin ini merupakan sanggar yang sudah lama didirikan, sejak tahun 1987, dan

dikelola oleh keturunan turun-temurun keluarga asli orang Minangkabau. (2)

Sanggar ini sudah diikuti penulis dari awal tahun 2011 lalu sebagai anggota penari.

Sehingga lebih memudahkan mendapatkan informasi karena sudah cukup dekat

(38)

mengikuti perkembangan zaman, namun orang-orang lama di dalamnya masih

(39)

BAB II

TINJAUAN UMUM MASYARAKAT MINANGKABAU DAN SANGGAR TIGO SAPILIN

DI KOTA MEDAN

2.1 Asal-Usul Masyarakat Minangkabau

Secara etimologi, Minangkabau berasal dari dua kata, yaitu minang dan

kabau. Kata minang ini awalnya dari pengucapan bahasa masyarakat yang

mengucapkan kata manang yang berarti kemenangan, dan kata kabau yang berarti

kerbau. Jadi kata minangkabau berarti “kerbau yang menang”. Menurut lagenda,

nama ini diperoleh dari peristiwa perselisihan di antara kerajaan Minangkabau

dengan seorang putera dari Jawa yang meminta pengakuan kekuasaan di Melayu.

Untuk mengelakkan diri mereka dari berperang, rakyat Minangkabau mengusulkan

pertandingan adu kerbau di antara kedua pihak. Putera tersebut setuju dan

mengadakan seekor kerbau yang besar badannya dan ganas. Sedangkan rakyat

setempat hanya mengandalakan seekor anak kerbau yang lapar tetapi dengan

diberikan pisau pada tanduknya. Sewaktu peraduan, si anak kerbau yang kelaparan

dengan tidak sengaja menyerudukkan tanduknya di perut kerbau besar itu karena

ingin mencari puting susu untuk meghilangkan lapar dan dahaganya. Kerbau yang

ganas itu mati, dan rakyat setempat berhasil menyelesaikan pergelutan tersebut

dengan cara yang aman .

Keterkaitan masyarakat Minangkabau dengan hewan kerbau ini dapat dilihat

dari berbagai identitas budaya orang Minangkabau, seperti atap rumah adat mereka

yang berbentuk layaknya menyerupai tanduk kerbau. Begitu juga dengan pakaian

(40)

Namun dari beberapa sumber lain menyebutkan bahwa nama Minangkabau

sudah ada jauh sebelum peristiwa adu kerbau itu terjadi, dimana istilah yang lebih

tepat sebelumnya adalah “Minangkabwa,” “Minangakamwa,” “Minangatamwan,”

dan “Phinangkabhu.” Istilah Minangakamwa atau Minangkamba berarti Minang

(sungai) Kembar yang merujuk pada dua sungai Kampar yaitu Kampar Kiri dan

Sungai Kampar Kanan. Sedangkan istilah Minangatamwan yang merujuk kepada

Sungai Kampar memang disebutkan dalam prasasti Kedukan Bukit dimana di situ

disebutkan bahwa pendiri Kerajaan Sriwijaya yang bernama Dapunta Hyang

melakukan migrasi massal dari hulu Sungai Kampar (Minangatamwan) yang

terletak di sekitar daerah Lima Puluh Kota, Sumatera Barat

.

Menurut para ahli kebudayaan, suku bangsa Minangkabau ini merupakan

bagian dari bangsa Deutero Melayu (Melayu Muda). Dimana mereka melakukan

migrasi dari dataran China Selatan ke pulau Sumatera sekitar 2500-2000 tahun yang

lalu. Diperkirakan kelompok masyarakat Minangkabau ini masuk dari arah timur

pulau Sumatera, menyusuri aliran sungai Kampar sampai ke dataran tinggi yang

disebut dengan darek (kampung halaman orang Minangkabau). Kemudian suku

Minang menyebar ke daerah pesisir di pantai barat pulau Sumatera, yang terbentang

dari Barus bagian utara hingga Kerinci bagian selatan. Migrasi tersebut terjadi ketika

pantai barat Sumatera menjadi pelabuhan alternatif perdagangan selain Malaka, saat

jatuh ke tangan Portugis.

Dalam buku Dasar-dasar adat Minangkabau (Idrus Hakimi, 1980), diebutkan

bahwa nenek moyang masyarakat Minangkabau berasal dari keturunan Raja Iskandar

Zulkarnain. Keturunannya menyebar kemana-mana mencari tanah-tanah baru untuk

(41)

konfederasi yang disebut mereka dengan nama Luhak. Sesuai dengan pembagian

kawasannya, Luhak tersebut disebut mereka menjadi Luhak Nan Tigo.

Luhak Nan Tigo ada tiga bagian di daerah Minangkabau yang membawahi

daerah rantau, yaitu: (1) Luhak Agam berpusat di Bukittinggi dengan Rantau

Pasaman, (2) Luhak Tanah Data berpusat di Batusangkar dengan Rantau Solok, dan

(3) Luhak Lima PuluahKoto berpusat di Paya Kumbuh dengan Rantau Kampar.

Daerah rantau terbagi atas, ke utara Luhak Agam; Pasaman, Lubuk Sikaping,

dan Rao. Ke selatan dan tenggara Luhak Tanah Data; ada Solok, Silayo, Muaro

Paneh, Alahan Panjang, Muaro Labuah, Alam Surambi Sungai Pagu, Sawah Lunto

Sijunjung, sampai keperbatasan Riau dan Jambi. Selanjutnya rantau sepanjang

hiliran sungai besar; Rokan, Siak, Tapung, Kampar, Kuantan/Indragiri, dan Batang

Hari. Sedangkan daerah pesisir terbagi atas, dari utara ke selatan; Meulaboh, Tapak

Tuan, Singkil, Sibolga, Sikilang, Aie Bangih, Tiku, Pariaman, Padang, Bandar

Sapuluh, Air Haji, Balai Salasa, Sungai Tunu, Punggasan, Lakitan, Kambang,

Ampiang Parak, Surantiah, Batang Kapeh, Painan (Bungo Pasang), dan seterusnya

Bayang nan Tujuah, Indrapura, Kerinci, Muko-muko, dan Bengkulu.

Tiap-tiap luhak dibentuk dari beberapa kelarasan, dan pada kelarasan dibentuk

suku, dimana setiap suku Minangkabau diatur menurut garis keturunan ibu

(matrilineal). Untuk mengesahkan suku, ada harta pusaka dari nenek diwariskan

kepada ibu, dan dari ibu diwariskan kepada anak perempuan.

Dalam etnik Minangkabau terdapat banyak klan, dimana mereka sendiri yang

menyebutnya dengan istilah suku. Awalnya sebagai suku mereka ada empat suku,

yaitu suku Bodi, Caniago, Koto, dan Piliang. Sekarang seiring jalannya waktu,

berkembang sampai sudah mencapai ratusan suku, diantaranya suku Gudam,

(42)

2.2 Masuknya Masyarakat Minangkabau di Kota Medan

Medan merupakan salah satu kota di Indonesia yang menjadi tujuan perantau

beberapa suku di Indonesia. Pada tahun 1909, Medan menjadi kota yang penting di

luar Jawa. Terutama setelah pemerintah kolonial membuka perusahaan perkebunan

secara besar-besaran. Di akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20 terdapat dua

gelombang migrasi besar ke kota Medan. Gelombang pertama kedatangan dari orang

Tionghoa dan Jawa sebagai kuli kontrak perkebunan. Gelombang kedua ialah

kedatangan orang Minangkabau, Mandailing, dan Aceh. Kedatangan merea ke Kota

Medan dan sekitarnya bukan untuk bekerja sebagai buruh perkebunan, tetapi

umumnya untuk berdagang, menjadi guru dan alim ulama (https://id.wikipedia.

org/wiki/Kota Medan

Keinginan masyarakat Minangkabau untuk merantau sangatlah tinggi, hal ini

dilihat dari hasil studi yang pernah dilakukan tahun 1973 lalu. Pada tahun 1961

terdapat sekitar 32% orang Minang yang berdomisili di luar Sumatera Barat, tetapi

pada tahun 1971, jumlahnya semakin meningkat menjadi 44% yang berdomisili di

luar Sumatera Barat. Dalam hal ini berarti lebih dari separuh orang Minang berada di

luar Sumatera Barat. Berdasarkan data tersebut dapat dilihat bahwa keinginan

merantau orang Minangkabau begitu besarnya. Dibanding dengan suku lainnya

yang ada di Indonesia, keinginan merantau orang Minangkabau cukup besar. Sebab

menurut sensus pada tahun 1930, suku perantau tertinggi di Indonesia adalah suku

Bawean (35,9%), kemudian suku Batak (14,3%), selanjutnya suku Banjar (14,2%),

setelah itu suku Minang sebesar 10,5% (Ahmad Yunus, 1985:4). ).

Ada beberapa faktor yang menjadi alasan masyarakat Minangkabau merantau,

baik itu faktor budaya maupun ekonomi. Salah satu penyebab terhadap fenomena

(43)

penguasaan harta pusaka dipegang oleh kaum wanita, sedangkan kaum lelaki cukup

kecil. Selain itu, setelah masa akil balik laki-laki tidak lagi dapat tidur di rumah

orang tuanya, karena rumah hanya diperun tukkan untuk kaum wanita beserta

suaminya, dan anak-anaknya. Hal inilah yang menjadi salah satu alasan banyaknya

kaum laki-laki semangat untuk mengubah nasib dengan merantau untuk mencari

kekayaan dengan berdagang dan meniti karir, serta melanjutkan pendidikan. Begitu

juga pada penjelasan pada faktor ekonomi dimana pertumbuhan penduduk yang tidak

diiringi dengan bertambahnya sumber daya alam yang dapat diolah mereka, yang

menyebabkan tidak cukup memenuhi keperluan bersama. Faktor-faktor inilah yang

mendorong orang Minang pergi merantau.

Masyarakat Minangkabau mendorong para pemuda dan anak-anak mereka

untuk merantau dan membawa sesuatu sebagai tanda bahwa mereka telah mengadu

nasib di negeri orang. Semua itu akan digunakan untuk membangun dan

memperbaiki masing-masing rumah mereka di kampung halaman mereka, membeli

tanah, ataupun memberikan pemikiran-pemikiran mereka demi kemajuan daerah

mereka.

Kota Medan sendiri memiliki penduduk yang heterogen, baik itu dari segi

budaya, agama, profesi, dan lain-lain. Masuknya berbagai suku masyarakat

membawa budaya tradisi asal mereka masing-masing. Begitu juga masyarakat

Minangkabau yang merupakan salah satu suku yang merantau ke kota Medan ini

memberikan keberagaman seni dan budaya yang ada di Kota Medan dari budaya

tradisi yang dibawa oleh mereka sendiri.

Di kota Medan sendiri, kelompok masyarakat Minangkabau ini hampir

(44)

banyak bermukim di Medan Denai dan Sukaramai. Dimana lokasi-lokasi ini juga

merupakan daerah strategis dalam melakukan kepentingan perdagangan.

Menurut data statistik kota Medan tahun 2000, suku Minangkabau di Sumatera

Utara berjumlah 306.550 jiwa, seperti yang dilihat pada Tabel 1. Meskipun juml

Gambar

Tabel 2.1:
Gambar 3.1:
Gambar 3.2:
Gambar 3.3:
+7

Referensi

Dokumen terkait

Perkawinan dalam adat Batak Toba tidak terlepas dari musik-musik yang mengiringi proses upacara tersebut berlangsung, yang mana alat musik yang digunakan memiliki peran dalam

SASTRINDA AZZARISTIA, NIM 081222510077, MUSIK PENGIRING TARI MUNALO DALAM UPACARA ADAT PERKAWINAN DI KECAMATAN BUKIT SIMPANG TIGA KABUPATEN BENER MERIAH, Skripsi

Instrumen penelitian yang digunakan untuk meneliti fungsi tari Rejang Adat Klasik dalam upacara piodalan di Pura Sanggar Agung di desa Bebandem ini adalah

Fungsi dan Struktur Tari Anak yang Diiringi Musik Sikambang dalam Upacara Adat Perkawinan Masyarakat Pesisir Sibolga Tapanuli Tengah di Kecamatan Sibolga Kota, Skripsi

Berdasarkan fakta lapangan dan latar belakang keilmuan, penulis memilih judul untuk penelitian ini, sebagai berikut: “Hubungan Struktur Tari, Musik Iringan, dan Fungsi

Untuk meneliti tari Inai pada upacara perkawinan masyarakat Melayu di Batang Kuis, penulis menggunakan metode penelitian kualitatif, sesuai dengan apa yang

Perkawinan dalam adat Batak Toba tidak terlepas dari musik-musik yang mengiringi proses upacara tersebut berlangsung, yang mana alat musik yang digunakan memiliki

Hal tersebut berkaitan dengan fungsi ritual tari Rumah Inai dalam upacara inisiasi masyarakat Melayu yaitu upacara adat perkawinan masyarakat Melayu di desa Tasik Serai, yang tujuannya