HUBUNGAN STRUKTUR TARI, MUSIK IRINGAN, DAN FUNGSI TARI GALOMBANG YANG DIPERTUNJUKAN SANGGAR TIGO SAPILIN PADA UPACARA ADAT PERKAWINAN MASYARAKAT MINANGKABAU DI KOTA MEDAN
SKRIPSI SARJANA O
L E H
RENY YULYATI BR. LUMBAN TORUAN
NIM: 090707016
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS ILMU BUDAYA
DEPARTEMEN ETNOMUSIKOLOGI MEDAN
ABSTRAKSI
Skripsi ini berjudul Hubungan Struktur Tari, Musik Iringan, dan Fungsi Sosial Tari Galombang yang Dipertunjukan Sanggar Tigo Sapilin pada Upacara Adat Perkawinan Masyarakat Minangkabau di Kota Medan. Metode pengumpulan data dilakukan dengan cara observasi, wawancara dan perekaman. Informan yang didapat di lapangan berjumlah empat orang, terdiri dari satu orang pemilik sanggar Tigo Sapilin Medan, satu orang pengelola sanggar, satu pemain musik pengiringnya, dan satu orang penari tari Galombang tersebut yang aktif.
Penelitian difokuskan kepada bagaimana pertunjukan tari Galombang yang di sajikan pada saat upacara perkawinan masyarakat Minangkabau. Adanya hubungan struktur tari, musik pengiring, dan fungsi sosial yang berhubungan dalam penyajiannya. Pada bagian musik yang mengiringi tarian tersebut mengandung struktur melodi dan ritem yang merupakan kajian dalam dunia Etnomusikologi.
Dalam proses meneliti gerak tari tersebut, penulis tidak terlalu memfokuskan secara detail pada gerak tari, dalam tulisan penulis menggunakan lambang-lambang umum dan sederhana yang dapat mewakili pola gerak tari Galombang. Proses pentranskripsian musik pada musik pengiringnya dilakukan dengan program Sibelius yang hasilnya akan dituliskan kedalam notasi balok. Skripsi ini menjelaskan hubungan struktur tari, musik pengiring, dan fungsi sosial seni pertunjukan tari
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yesus Kristus yang
telah memberikan kekuatan, kemampuan serta berkat dan kemurahan-Nya kepada
penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
Skripsi ini berjudul Hubungan Struktur Tari, Musik Iringan, dan Fungsi Sosial Tari Galombang yang Dipertunjukan Sanggar Tigo Sapilin pada Upacara Adat Perkawinan Masyarakat Minangkabau di Kota Medan. Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk menyelesaikan jenjang S-1 dan memperoleh gelar
Sarjana Seni (S.Sn) pada Departemen Etnomusikologi, Fakultas Ilmu Budaya,
Universitas Sumatera Utara.
Selama proses penyusunan skripsi, penulis memperoleh bantuan yang luar
biasa banyak dan baik dari Bapak Drs. Muhammad Takari, M.hum., Ph.D selaku pembimbing I dan Ibu Arifni Netrirosa, SST., M.A. selaku pembimbing II serta dosen pembimbing akademik penulis selama kuliah. Kedua pembimbing yang hebat ini
sangat membantu penulis selama penyelesaian skripsi. Mereka juga memberikan
banyak pelajaran kepada penulis terutama hal kesabaran, keberanian dan kepandaian
dalam penulisan skripsi ini. Saran dan arahan mereka membuat penulis semakin
termotivasi dan semakin semangat untuk menyelesaikan skripsi ini.
Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Rektor Universitas Sumatera
Utara, Dekan Fakultas Ilmu Budaya, Ketua dan Sekretaris Departemen
Etnomusikologi, serta seluruh dosen-dosen dan pegawai di lingkungan Departemen
Etnomusikologi Fakultas Ilmu Budaya yang telah memberikan peluang, kesempatan
dan kemudahan dalam menyelesaikan mata kuliah selama masa perkuliahan hingga
Penulis juga mengucapkan banyak terima kasih kepada Bapak Abu Bakar Siddiq SH, teteh Riza, Bapak Zul Alinur, selaku informan, serta semua anggota penari sanggar Tigo Sapilin dan bapak/ibu informan lainnya, yang telah bersedia memberikan
kesempatan kepada penulis untuk melakukan penelitian dan juga sudah memberikan
waktunya kepada penulis untuk mengadakan wawancara.
Dalam kesempatan ini, secara khusus penulis mengucapkan banyak terima
kasih kepada kedua orangtua terhebat yang sangat penulis cintai, Bapak S. Lumban
Toruan dan Mama M. Br. Sinaga. Terimakasih buat segala kerja keras dan kebaikan
mama bapak sehingga penulis bisa seperti sekarang. Terimakasih buat perhatian
yang tak pernah putus-putus khususnya selama pengerjaan skripsi ini, terimakasih
buat motivasi-motivasi yang mama bapak berikan sehingga penulis tetap semangat
dalam menyelesaikan skripsi ini. Penulis bangga memiliki orangtua yang sangat
perhatian seperti mereka. Secara khusus terima kasih buat doa-doa bapak dan mama
terutama kepada mama yang selalu setia mendoakan penulis sehingga penulis
mendapatkan kekuatan dan penghiburan dari Tuhan. Mungkin sudah banyak
berlinang air mata di pipi mereka sepanjang membesarkan penulis hingga saat ini,
tapi penulis percaya, semuanya akan dicukupkan oleh Tuhan kepada mama bapak.
Terima kasih juga penulis sampaikan kepada saudara-saudara penulis yang sangat
penulis sayangi yaitu abang Charles B. Juniadi Lumban Toruan, adik Sri Juliany
Br.Lumban Toruan, dan adik Maya Armitha Br. Lumban Toruan. Terima kasih buat
doa dan perhatian kalian semua sehingga membuat semangat bagi penulis untuk
menyelesaikan skripsi ini. Kalian adalah bagian dari hidup penulis yang terhebat dan
penulis sangat cintai yang takkan pernah tergantikan sampai kapanpun.
Ucapan terima kasih kepada seluruh teman-teman seperjuangan yang sudah
Vania Sinaga, Syarifah Aini Nasution, Teti Elena Siburian, Fitri Suci Hati Saragih,
Verawati Simbolon, Anita P.R Purba, H.A Martin Tambunan, Maruli Purba,
Sugiardi, Wahyu Boang Manalu, Dicky Arloy Silalahi, Krisrendy Masdeo Siregar,
Herman Simanjuntak, Septianta Bangun, Giat Raja Hizkia Sihotang, dan Ranto
Samuel Manik. Terima kasih telah menjadi saudara dan keluarga buat penulis.
Tidak terasa sudah hampir 4 tahun kita merasakan susah senang selama duduk
dibangku perkuliahan.
Terima kasih terkhusus juga buat seseorang yang penulis sayangi abang Sandro
Batubara S.Sn., selaku orang yang sangat terdekat dengan penulis di sini yang selalu
mengingatkan, yang tidak bosan memberikan semangat, mendengarkan keluhan dan
masalah penulis, mengajarkan, bahkan memotivasi penulis untuk mengerjakan dan
menyelesaikan skripsi ini. Terima kasih, walaupun terkadang merasa kesal melihat
tingkah penulis yang diluar dari biasanya jika disaat penat mengerjakan skripsi ini,
tetapi dia tetap sabar dan selalu ikut membantu dan mendukung dengan caranya
sendiri. Terima kasih juga buat doa-doanya, perhatian dan pengertiannya selama ini.
Penulis juga mengucapkan terima kasih banyak kepeda teman-teman satu
rumah yaitu bang Daniel Sianturi, Zani Marbun, bang Bonggud Sidabutar, Erwin
Simbolon, Erwin Sijabat, dan teman sekamar penulis Frita Pakpahan. Mereka adalah
saudara seperjuangan merasakan bagaimana enaknya anak kos. Begitu juga
teman-teman satu group tari penulis, kak Dina Mayantuti Sitopu S.Sn., kak Jery Periance
Saragih S.Sn., teteh Riza, kak Chrismes Manik S.Sn., kak Sari Ramadhani S.E.,
Friska Simamora, Frita Angelina Pakpahan, Syafwan Arrazak, dan bang Adra.
Terima kasih buat kalian semua.
Penulis juga mengucapkan beribu-ribu maaf apabila ada kata yang kurang
yang sudah membantu penulis dalam penyusunan skripsi ini, dan mohon maaf
apabila ada nama yang lupa penulis cantumkan. Semoga hasil penelitian dari skripsi
ini dapat berguna bagi masyarakat Minangkabau, bagi pembaca dan juga kepada
peneliti berikutnya. Shalom...
Medan, Juli 2013
DAFTAR ISI
Halaman
ABSTRAKSI ... i
KATA PENGANTAR ... ii
DAFTAR ISI ... vi
DAFTAR GAMBAR ... viii
DAFTAR TABEL ... ix
BAB I PENDAHULUAN 1.1Latar Belakang Masalah ... 1
1.2Pokok Permasalahan ... 14
1.3Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 15
1.3.1 Tujuan ... 15
1.3.2 Manfaat ... 15
1.4Konsep dan Teori ... 16
1.4.1 Konsep ... 16
1.4.2 Teori ... 18
1.5Metode Penelitian ... 22
1.5.1 Studi Kepustakaan ……… 23
1.5.2 Penelitian Lapangan ……….. 24
1.5.3 Kerja Laboratorium ………... 25
1.6Lokasi Penelitian ... 26
BAB II TINJAUAN UMUM MASYARAKAT MINANGKABAU DAN SANGGAR TIGO SAPILIN DI KOTA MEDAN 2.1 Asal-Usul Masyarakat Minangkabau ... 29
2.2 Masuknya Masyarakat Minangkabau di Kota Medan ... 32
2.3 Sistem Agama dan Kepercayaan ... 35
2.4 Sistem Kekerabatan ... 35
2.5 Sistem Kesenian ... 38
2.6 Sanggar Tigo Sapilin ... 40
BAB III PERTUNJUKAN TARI GALOMBANG PADA UPACARA ADAT PERKAWINAN MINANGKABAU 3.1 Asal Usul Tari Galombang ... 42
3.2 Perkawinan Pada Masyarakat Minangkabau ... 44
3.4 Jalannya Pertunjukan Tari Galombang Pada Upacara
Perkawinan Masyarakat Minangkabau di Kota Medan... 49
3.5 Tempat dan Waktu Pelaksanaan Pertunjukan ... 55
3.6 Pendukung Pertunjukan ... 56
3.6.1 Penari ... 57
3.6.2 Pemusik ... 58
3.6.3 Penonton ... 58
3.7 Perlengkapan Pertunjukan ... 59
3.7.1 Lapangan ... 59
3.7.2 Alat Musik yang Digunakan ... 60
BAB IV STRUKTUR TARI GALOMBANG, MUSIK IRINGAN, FUNGSI, DAN HUBUNGANNYA 4.1Struktur Tari Galombang ... 57
4.1.1 Ragam dan Pola Gerak ... 58
4.1.2 Pola Lantai ... 59
4.1.3 Kostum dan Tata Rias... 78
4.1.3.1 Kostum ... 79
4.1.3.1.1Kostum Penari Perempuan ... 79
4.1.3.1.2Kostum Penari Laki-Laki ... 81
4.1.3.2 Tata Rias ... 84
4.2 Struktur Musik ... 86
4.2.1 Analisis Musik ... 86
4.2.2 Model Notasi ... 88
4.2.3 Ensambel Talempong Pacik ... 89
4.2.4 Melodi Puput Serunai dan Strukturnya ... 90
4.2.4.1 Tangga Nada ... 91
4.2.4.2 Nada Dasar ... 91
4.2.4.3 Wilayah Nada ... 92
4.2.4.4 Frekuensi Pemakaian Nada ... 92
4.2.4.5 Jumlah Interval ... 93
4.2.4.6 Formula Melodik ... 94
4.2.4.7 Pola Kadensa... 95
4.2.4.8 Kontur ... 96
4.3 Fungsi Tari Galombang ... 98
4.4 Hubungan Struktur Tari, Musik Iringan, dan Fungsi Tari Galombang ... 104
BAB V PENUTUP 5.1 Kesimpulan ... 106
5.2 Saran ... 109
DAFTAR PUSTAKA ... 111
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 3.1 Akad Nikah ... 50
Gambar 3.2 Anak daro menunggu datangnya marapulai ... 51
Gambar 3.3 Rombongan marapulai yang akan disambut ... 52
Gambar 3.4 Tari Galombang menyambut marapulai ... 52
Gambar 3.5 Carano dan isinya ... 53
Gambar 3.6 Suguhan diterima rombongan marapulai ... 54
Gambar 3.7 Pasangan pengantin bersanding ... 55
Gambar 3.8 Area jalan yang digunakan ... 60
Gambar 3.9 Tasa dan cara memainkannya ... 61
Gambar 3.10 Gandang Tambua ... 62
Gambar 3.11 Cara memainkan Gandang Tambua ... 63
Gambar 3.12 Puput Serunai ... 64
Gambar 3.13 Cara memainkan Puput Serunai ... 65
Gambar 3.14 Talempong ... 66
Gambar 3.15 Cara memainkan Talempong Pacik ... 67
Gambar 4.1 Kostum perempuan ... 81
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 2.1 Jumlah Penduduk Kota Medan Berdasarkan Suku... 34
Tabel 4.1 Ragam dan Pola Gerak ... 60
Tabel 4.2 Pola Lantai ... 75
ABSTRAKSI
Skripsi ini berjudul Hubungan Struktur Tari, Musik Iringan, dan Fungsi Sosial Tari Galombang yang Dipertunjukan Sanggar Tigo Sapilin pada Upacara Adat Perkawinan Masyarakat Minangkabau di Kota Medan. Metode pengumpulan data dilakukan dengan cara observasi, wawancara dan perekaman. Informan yang didapat di lapangan berjumlah empat orang, terdiri dari satu orang pemilik sanggar Tigo Sapilin Medan, satu orang pengelola sanggar, satu pemain musik pengiringnya, dan satu orang penari tari Galombang tersebut yang aktif.
Penelitian difokuskan kepada bagaimana pertunjukan tari Galombang yang di sajikan pada saat upacara perkawinan masyarakat Minangkabau. Adanya hubungan struktur tari, musik pengiring, dan fungsi sosial yang berhubungan dalam penyajiannya. Pada bagian musik yang mengiringi tarian tersebut mengandung struktur melodi dan ritem yang merupakan kajian dalam dunia Etnomusikologi.
Dalam proses meneliti gerak tari tersebut, penulis tidak terlalu memfokuskan secara detail pada gerak tari, dalam tulisan penulis menggunakan lambang-lambang umum dan sederhana yang dapat mewakili pola gerak tari Galombang. Proses pentranskripsian musik pada musik pengiringnya dilakukan dengan program Sibelius yang hasilnya akan dituliskan kedalam notasi balok. Skripsi ini menjelaskan hubungan struktur tari, musik pengiring, dan fungsi sosial seni pertunjukan tari
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Manusia adalah makhluk sosial, yang selalu berinteraksi dengan sesamanya.
Manusia sebagai makhluk individu memiliki berbagai kelebihan alamiah yang
dianugerahkan oleh Tuhan. Selain itu, manusia biasanya membentuk kelompok
sosial berdasarkan berbagai persamaan dan tujuan. Kelompok manusia bisa saja
berbentuk keluarga inti, keluarga luas, etnik, kelompok profesi, ras, bangsa, dan
seterusnya. Dalam konteks ini, manusia selalu ingin melanjutkan peradabannya dan
generasi keturunannya. Kesinambungan generasi ini penting agar manusia tidak
musnah di muka bumi. Oleh karena itu, manusia dianugerahi Tuhan untuk
meneruskan keturunan ini melalui hubungan perkawinan yang diatur oleh
norma-norma agama dan adat. Perkawinan dalam masyarakat tertentu tidak boleh
bertentangan dengan ajaran agama dan norma-norma adat.
Seorang pakar antropologi Eropa, Gough (1959) melihat perkawinan, di
sepanjang masa dan semua tempat di dunia ini, sebagai satu kontrak menurut
adat-istiadat, yang bertujuan untuk menetapkan pengabsahan anak yang baru dilahirkan
sebagai anggota yang dapat diterima masyarakat. Dalam usaha menemukan definisi
yang universal, Goodenough memusatkan pemikirannya kepada hak atas seksualitas
wanita yang diperoleh berdasarkan kontrak sosial.
dianggap memenuhi syarat untuk melahirkan anak (Goodenough, 1970:12-13).
Dalam berbagai kebudayaan manusia di dunia ini, terjadi beberapa orientasi
dalam perkawinan. Ada masyarakat yang mendasarkan kepada perkawinan
monogami, adapula yang memperbolehkan poligami, namun ada pula yang
membolehkan perkawinan dalam bentuk penyimpangan sosial umum dan moralitas
yaitu perkawinan poliandri (satu perempuan kawin dengan lebih dari satu suami).
Dalam beberapa kelompok masyarakat, dua orang pria atau lebih bisa bersama-sama
menggauli wanita secara seksual, yang biasanya melibatkan sekelompok saudara
laki-laki (poliandri fraternal). Poliandri sering dihubungkan dengan
ketidakseimbangan penduduk, yang disebabkan oleh kebiasaan membunuh bayi
perempuan. Di Himalaya sebagai contoh, poliandri dilakukan kerana tujuannya
mengurangi jumlah keluarga yang terlalu besar, sementara lahan pertanian terbatas
luasnya. Dalam agama Yahudi, Kristen, dan Islam praktik demikian sangat dilarang.
Begitu juga hubungan incest yaitu antara kerabat kandung. Semua ini adalah aturan
Tuhan untuk makhluk manusia ciptaan-Nya agar manusia menjadi rahmat kepada
alam, bukan merusak alam, atau generasi keturunannya.
Setiap agama juga memiliki konsep yang berbeda-beda tentang perkawinan.
Agama Kristen (Protestan dan Katholik) secara umum hanya membenarkan seorang
laki-laki kawin dengan satu perempuan. Namun demikian, beberapa sekte agama
Kristen (misalnya Mormon di Amerika Serikat) membenarkan perkawinan poligami.
Dalam Islam, sesuai dengan panduan Al-Qur’an seorang pria Islam bisa kawin
dengan sebanyak-banyaknya empat perempuan, tetapi ada syaratnya yaitu adil.
Allah mengingatkan bahwa jika seorang lelaki muslim tidak dapat berlaku adil
kepada isteri-isterinya, maka kawinlah dengan satu perempuan saja. Dimensi
dibandingkan laki-laki. Agar perempuan-perempuan mendapat suami, maka tentu
saja secara umum harus ada laki-laki yang beristeri lebih daripada satu untuk
melakukan respon terhadap kenyataan jenis kelamin ini yang penuh dengan rahasia
Tuhan. Dalam realitasnya, di negara-negara Islam mayoritas rakyatnya kawin secara
monogami.
Upacara perkawinan hanyalah salah satu rangkaian dari sejumlah upacara
siklus hidup dan sesudah meninggalnya manusia. Siklus hidup manusia biasanya
dimulai dari sejak janin, lahir, akil baligh atau dewasa, khitan, perkawinan, memiliki
anak, memasuki keorganisasian, kematin, pasca kematian, dan seterusnya.
Secara sosiologis dan agama, fungsi utama perkawinan adalah untuk
melanjutkan generasi keturunan manusia sepanjang zaman, dan manjaga peradaban
manusia. Sedangkan guna perkawinan di antaranya adalah: memuaskan nafsu
biologis manusia, menerima dan memberi kasih sayang kepada pasangan hidup,
membina keluarga, menyatukan dua keluarga besar, dan sebagainya. Dalam hal ini,
agama memegang peran utama dalam upacara perkawinan. Pengabsahan
perkawinan selalu melibatkan para pemuka agama pada semua agama di dunia.
Ritual perkawinan melibatkan aspek adat dan agama sekaligus. Demikian juga yang
terjadi pada masyarakat Minangkabau.
Minangkabau merupakan salah satu suku (etnik) yang wilayah budayanya yang
lazim disebut dengan Ranah Minang. Minangkabau dikenal sebagai salah satu
bentuk kebudayaan di Pulau Sumatera. Masyarakat Minangkabau menerapkan
sistem matrilineal, dimana garis keturunannya berdasarkan garis keturunan ibu.
Masyarakat Minangkabau, di dalam melaksanakan tata cara adat perkawinan,
menunaikan dua norma penting. Pertama adalah perkawinan menurut adat, dan
akan diadakan penganugerahan kedudukan kepada mempelai perempuan. Hal ini
dilakukan semata-mata karena sistem kemasyarakatan Minangkabau menganut
sistem matrilineal (garis keturunan dari pihak ibu).1
Partisipan baralek melibatkan ninik mamak (paman), sanak saudara, termasuk
pemimpin nagari (wilayah adat Minangkabau) (A.A. Navis, 1986:197-198). Dalam
mengawali upacara baralek ini ditampilkan pertunjukan tari Galombang, yaitu suatu
tari yang mengekspresikan suasana sukacita pihak keluarga anak daro (pengantin
perempuan) akan kedatangan marapulai (pengantin laki-laki) dan keluarganya.
Selanjutnya, perkawinan baru
dianggap sah bila telah dilakukan upacara perkawinan sesuai agama. Sesudah
pelaksanaan kedua fase tersebut biasanya upacara perkawinan dilanjutkan dengan
upacara baralek, yaitu upacara perayaan terhadap perkawinan yang sudah
dilaksanakan.
2
Tari Galombang adalah salah satu jenis tarian masyarakat Minangkabau yang
sudah mereka praktikkan di dalam kegiatan kehidupan sehari-hari jauh sebelum masa
kemerdekaan bangsa Indonsesia. Dari tradisi lisan mereka ini dapat diketahui bahwa
1
Matrilineal adalah suatu adat masyarakat yang mengatur alur keturunan berasal dari pihak ibu. Kata ini seringkali disamakan dengan matriarkhat atau matriarkhi, walaupun pada dasarnya artinya berbeda. Matrilineal berasal dari dua kata, yaitu mater (bahasa Latin) yang berarti "ibu," dan linea (bahasa Latin) yang berarti "garis." Jadi matrilineal berarti mengikuti garis keturunan yang ditarik dari pihak ibu. Sementara itu, matriarkhat berasal dari dua kata yang lain, yaitu mater yang berarti ibu dan archein (bahasa Yunani) yang berarti memerintah. Jadi, matriarkhi berarti kekuasaan berada di tangan ibu atau pihak perempuan. Dalam konteks kebudayaan-kebudayaan etnik di seluruh dunia ini, penganut adat matrilineal adalah suku Indian di Apache Barat; suku Navajo, sebagian besar suku Pueblo, suku Crow, dan lain-lain. yang kesemuanya adalah penduduk asli Amerika Serikat. Kemudian ada pula suku Khasi di Meghalaya, India Timur Laut; suku Nakhi di Provinsi Sichuan dan Yunnan, Tiongkok; beberapa suku yang jumlahnya relatif kecil di kepulauan Asia Pasifik, suku Minangkabau di Sumatera Barat (yang menjadi topik kajian dalam skripsi ini), dan lain-lain. Dalam kajian antropologis, adat matrilineal berumur lebih tua dari adat patrilineal. Lawan dari matrilineal adalah patrilineal yaitu suatu adat masyarakat yang menyatakan alur keturunan berasal dari pihak ayah. Penganut adat patrilineal di Indonesia sebagai contohnya adalah suku Batak Toba, Mandailing-Angkola, Pakpak, Karo, suku Rejang, Gayo, dan lain-lainnya. Walaupun lebih belakangan datangnya, adat patrilineal lebih umum digunakan kelompok masyarakat dunia dibandingkan matrilineal yang lebih jarang penggunaannya (sumber: id.wikipedia.org/Wiki/Matrilineal). Selain itu ada pula adat yang mendasarkan penarikan garis keturunan baik dari pihak ibu maupun ayah. Adat yang seperti ini disebut dengan bilateral.
2
bahwa tari Galombang berkembang dan terintegrasi menjadi bagian adat istiadat
Minangkabau yang mengakar di masyarakat tersebut. Bahkan hingga dewasa ini
penyajian tari Galombang masih bertahan dan sangat lazim disajikan pada saat pesta
perkawinan di kalangan anggota masyarakat Minangkabau, baik di kampung
halaman mereka di Sumatera Barat, maupun di kota Medan, yaitu salah satu kota
tujuan merantau3
Tari Galombang, dalam konteks praktik adat istiadat ditampilkan untuk
menyambut kedatangan marapulai beserta keluarganya oleh anak daro. Pada
penyambutan itu, marapulai akan dipayungi dengan payung kebesaran dengan
simbol kebesaran suatu upacara sebagai penghormatan. Sesuai adat, seseorang yang
ditunjuk oleh keluarga anak daro untuk memberikan suguhan daun sirih, pinang,
dan gambir, yang disajikan di dalam carano
masyarakat Minangkabau di Indonesia.
4
Dalam praktik tari Galombang, komposisi penari biasanya terdiri dari enam
atau lebih penari. Umumnya, semakin banyak penarinya semakin terlihat bagus,
karena memberikan lebih banyak kemungkinan untuk menyusun pola lantai tarian
tersebut. Namun demikian, bisa saja semua penari adalah perempuan saja, bisa juga diberikan kepada marapulai sebagai
wakil dari rombongan setelah tari Galombang di sajikan dan marapulai di payungi
dengan payung kebesaran. Suguhan tersebut juga biasanya disuguhkan kepada
kedua orang tua dan keluarga marapulai. Suguhan yang disuguhkan wajib diterima,
sebagai tanda kerendahan hati dan keikhlasan yang tulus untuk menjalin
silahturahmi.
3
Merantau adalah salah satu budaya dan kebiasaan orang Minangkabau. Sebagai masyarakat yang matrilineal, di mana dalam situasi itu, pihak wanitalah yang memiliki kekuasaan terhadap harta benda dan lainnya. maka oleh karenanya para pria biasanya akan melalukan perantauan terutama ke luar wilayah budaya Minangkabau. Mereka ini pergi untuk satu tujuan meningkatkan kehidupan ekonomi, dan kemudian hasilnya dibawa ke kampung halaman. Oleh sebab itu, dalam konsep budaya Minangkabau pun ada tiga kawasan budayanya yaitu: (a) darek (darat); (b) pasisie (pesisir), dan (c) rantau.
4
campuran dengan laki-laki, yaitu beberapa penari perempuan dan beberapa lagi
penari laki-laki. Dalam konteks penyajian saat upacara berlangsung, para penari
diposisikan di sepanjang jalan menuju tempat upacara, menghadap ke arah datangnya
marapulai dan para tamu.
Dari pengamatan di lapangan yang penulis lakukan,5
Pada dasarnya, konsep tari Galombang kurang lebih sama di seluruh satuan
sosial Minangkabau, yakni pola-pola gerakan yang diambil dari gerakan bungo silek.
Tiap kelompok penari di dalam anggota masyarakat Minangkabau menciptakan
berbeda-beda ragam gerakan dalam strukturnya. Hal ini disesuaikan dengan selera
masing-masing kelompok. Namun dalam pola gerakannya semua sama, berdasarkan
pola gerakan yang sudah tradisi adat dari dahulunya. Dalam penyajiannya, tari
Galombang ini memerlukan keahlian agar dapat bergerak, gerakan-gerakan kaki dan
ada beberapa catatan
penting tentang penyajian tari Galombang. Pertama, penari perempuan selalu
mengenakan baju kuruang (baju kurung), selayaknya busana adat Minangkabau,
sementara di bagian kepala penari diberi aksesoris sesuai kesepakatan bersama para
penari. Biasanya aksesoris yang dipilih adalah tengkuluk (hiasan kepala perempuan
yang berbentuk runcing dan bercabang), magek (hiasan kepala dari kain sejenis
sarung yang dibentuk seperti bunga), ataupun sunting. Kedua, penari laki-laki selalu
mengenakan guntiang Cino (baju longgar), sarawa galembong (celana longgar), dan
deta (ikat kepala). Warna pakaian yang dikenakan bervariasi mulai dari warna
merah, hitam, kuning, dan biru. Catatan berikutnya adalah bahwa dalam menarikan
tari Galombang, gerakan tariannya diambil dari gerakan bungo silek, yaitu gerakan
variatif yang bersumber dari gerakan pencak silat Minangkabau yang pada dasarnya
bersifat cekatan dan tegas.
5
tangan saling digerakkan yang begitu diperhatikan. Gerakan kaki dilakukan dengan
menggunakan langkah-langkah, dimana langkah-langkah ini berupa langkah maju,
langkah mundur, langkah sambil angkat salah satu kaki, dan langkah dengan
penyilangan kedua kaki (langkah simpie). Sedangkan gerakan tangan dilakukan
dengan gerakan-gerakan “kasar” yang identik dengan kekhasan
masyarakat Minangkabau, seperti gerakan menyembah sebagai penghormatan,
gerakan tepuk paha sebagai ketangkasan, gerakan tangan menyilang sebagai menolak
kejahatan, dan gerakan menepuk tangan ke depan sebagai tanda penyuguhan sirih.
Dimana semua makna yang terkandung di dalam gerakan-gerakan tersebut
mempunyai fungsi bagi masyarakat Minangkabau. Semua gerakan diatur dalam
gerak kaki maupun tangan demi keseragaman tarian terhadap antar penari. Setiap
peralihan atau perubahan gerakan yang ada sesuai dengan ketukan tempo musik
pengiringnya.
Keberadaan musik iringan dalam tari Galombang merupakan hal yang
berkaitan. Dalam hal ini, musik menjadi pembentuk suasana, dan juga untuk
memperjelas tekanan-tekanan gerakan begitu juga pergantian ragam dan pola-pola
gerakan yang dibuat. Jadi, jika musik tidak ada maka tarian tidak dapat terbentuk
keindahannya. Untuk mengiringi tari Galombang, masyarakat Minangkabau
menggunakan musik tradisional mereka yang lazim digunakan.
Dalam mengiringi tari Galombang ada 3 struktur musik iringan yang baku.
Pertama musik pembuka, yaitu menggunakan 2 alat musik, yakni tasa (gendang satu
sisi berbentuk mangkuk) dan gandang tambua (gendang berbentuk barel dua sisi).
Kedua alat musik ini saling bersahut-sahutan (litany). Struktur musik kedua adalah
musik Galombang, menggunakan 4 alat musik, yakni tasa sebagai peningkah atau
tarian, talempong pacik (dipegang tangan pemainnya) sebagai pembawa melodi dan
ritem interloking, dan puput serunai sebagai pembawa melodi yang dikembangkan
(improvisasi). Ketiga musik penutup, yang juga menggunakan keempat alat musik
tadi yaitu tasa, gandang tambua, talempong pacik, dan serunai. Pada keempat alat
musik ini yang menjadi pembawa tempo yang paling penting dalam pembuka dan
penutup musik adalah tasa. Lagu yang dimaninkan bernama lagu Tigo Duo.
Guna dan fungsi tari Galombang ini dalam setiap upacara mengalami
pergeseran dari zaman dulu, yang dimana saat dulu tari ini penting digunakan dalam
upacara perkawinan masyarakat Minangkabau. Namun dalam penerapan di masa
sekarang adalah sebagai salah satu pelengkap atau bisa dikatakan penyemaraknya
upacara perkawinan. Sesuai tingkat ekonomi yang mempunyai acara perkawinan.
Hal ini dikarenakan sanggar-sanggar yang memfokuskan pelatihan pada tari
Minangkabau semakin banyak, dan saling bersaing. Jika tari ini tidak ditampilkan,
upacara akan tetap terlaksana. Namun terasa kurang lengkap jika kesenian
tradisional ini tidak ditampilkan. Dengan kata lain, dalam hal ini ada sisi menjaga
image antar anggota masyarakat mereka.
Di Kota Medan sendiri kelompok masyarakat Minangkabau ini hampir
menempati seluruh kawasan Kota Medan. Tercatat paling banyak terdapat di
antaranya di Medan Denai dan Sukaramai (Flora Hutagalung, 2009:5). Walaupun
jumlah penduduk masyarakat Minangkabau sebagai pendatang bukan yang terbanyak
di Kota Medan, tetapi kelompok masyarakat ini mampu menampilkan bahkan
memperkenalkan budaya tradisi mereka. Ini dapat dilihat dari banyaknya pagelaran
seni tari yang menampikan tari Minangkabau khususnya tari Galombang, seperti di
Sumara Anjuang dan sanggar-sanggar lainnya yang memberikan pelatihan tari
Minangkabau.
Di antara beberapa sanggar yang ada di Kota Medan yang penulis sebutkan
tadi, penulis memilih sanggar Tigo Sapilin untuk penulis fokuskan kajiannya dalam
skripsi ini. Sanggar Tigo Sapilin ini merupakan salah satu sanggar yang
memfokuskan pelatihan pada tari tradisi dan masih sering dipanggil untuk
mengadakan pertunjukan.
Tulisan ini dimaksudkan untuk mendiskusikan tentang pertunjukan tari
Galombang dalam upacara adat perkawinan di kalangan anggota masyarakat
Minangkabau yang ada di kota Medan. Pertunjukan yang dimaksud mencakup dua
aspek, yaitu tari dan musik.
Ada tiga aspek utama yang akan penulis diskusikan di dalam tulisan ini.
Pertama adalah bagaimana struktur tari Galombang tersebut. Dalam konteks struktur
tersebut, akan dideskripsikan ragam gerakan yang ada, demikian juga halnya dengan
pola-pola lantai yang digunakan, serta dalam pola-pola gerakan, hal spesifik apa
yang menyangkut nilai adat, nilai agama, atau nilai yang terkait budaya lokal yang
dilambangkan atau diekspresikan. Kedua, bagaimana struktur musik iringan pada
tari Galombang. Selanjutnya apakah fungsi tari Galombang dalam konteks upacara
adat perkawinan dimaksud? Jika dimaksud eksis, lantas bagaimanakan proses
penyajian tari Galombang tersebut sehingga dapat memenuhi fungsi dimaksud?
Keberadaan tari Galombang dalam upacara perkawinan adat Minangkabau di
Kota Medan seperti terurai dalam latar belakang ini, dapat didekati dengan
pendekatan multidisiplin ilmu. Yang pertama adalah untuk mengkaji struktur tarinya
Yang dimaksud antropologi tari atau disebut juga etnologi tari dan
etnokoreologi adalah sebagai berikut.
Ethnochoreology (also dance ethnology, dance anthropology) is the study of dance through the application of a number of disciplines such as anthropology, musicology (ethnomusicology), ethnography, etc. The word, itself, is relatively recent and means, literally, “the study of folk dance”, as opposed to, say, the formalized entertainment of classical ballet. Thus, ethnochoreology reflects the relatively recent attempt to apply academic thought to why people dance and what it means. It is not just the study or cataloging of the thousands of external forms of dances—the dance moves, music, costumes, etc.— in various parts of the world, but the attempt to come to grips with dance as existing within the social events of a given community as well as within the cultural history of a community. Dance is not just a static representation of history, not just a repository of meaning, but a producer of meaning each time it is produced—not just a living mirror of a culture, but a shaping part of culture, a power within the culture. The power of dance rests in acts of performance by dancers and spectators alike, in the process of making sense of dance… and in linking dance experience to other sets of ideas and social experiences. Ethnologic dance is native to a particular ethnic group. They are performed by dancers associated with national and cultural groups. Religious rituals (ethnic dances) are designed as hymns of praise to a god, or to bring in good fortune in peace or war (Blacking, 1984).
Dari kutipan di atas, dapat diartikan bahwa yang dimaksud etnokoreologi (juga
disebut dengan etnologi tari dan antropologi tari) adalah studi tari melalui penerapan
sejumlah disiplin ilmu seperti antropologi, musikologi (etnomusikologi), etnografi,
dan lain-lain. Istilah itu sendiri, adalah relatif baru, yang secara harfiah berarti studi
tentang tarian rakyat (sebagai lawan dari tari hiburan yang diformalkan dalam bentuk
balet klasik). Dengan demikian, etnokoreologi mencerminkan upaya yang relatif
baru dalam dunia akademis untuk mengkaji mengapa orang menari dan apa artinya.
Dalam konteks tersebut para ilmuwan etnokoreologi tidak hanya belajar ribuan tarian
yang mencakup gerak, musik iringan, kostum, dan hal-hal sejenis, di berbagai
belahan dunia ini, tetapi juga meneliti tarian dalam kegiatan sosial dari suatu
representasi statis sejarah, bukan hanya repositori makna, namun menghasilkan
makna setiap kali tari itu dihasilkan. Tari bukan hanya cermin hidup suatu budaya,
tetapi merupakan bagian yang membentuk budaya, sebagai kekuatan dalam budaya.
Kekuatan tari terletak pada tindakan penampilan penari dan penonton, dalam proses
pembentukan rasa dalam tari, dan menghubungkan pengalaman gagasan tari dan
wujud sosialnya. Tari juga berkait dengan kelompok etnik tertentu. Tarian ini
dilakukan oleh penari yang berhubungan dengan kelompok bangsa dan budayanya.
Tarian etnik dirancang sebagai himne pujian untuk Tuhan, atau untuk membawa
keberuntungan dalam damai atau perang.
Yang kedua untuk mengkaji struktur musik iringan penulis menggunakan
disiplin etnomusikologi. Seperti yang penulis ketahui dari pakar etnomusikologi
yaitu Merriam yang dimaksud etnomusikologi adalah sebagai berikut.
Ethnomusicology carries within itself the seeds of its own division, for it has always been compounded of two distinct parts, the musicological and the ethnological, and perhaps its major problem is the blending of the two in a unique fashion which emphasizes neither but takes into account both. This dual nature of the field is marked by its literature, for where one scholar writes technically upon the structure of music sound as a system in itself, another chooses to treat music as a functioning part of human culture and as an integral part of a wider whole. At approximately the same time, other scholars, influenced in considerable part by American anthropology, which tended to assume an aura of intense reaction against the evolutionary and diffusionist schools, began to study music in its ethnologic context. Here the emphasis was placed not so much upon the structural components of music sound as upon the part music plays in culture and its functions in the wider social and cultural organization of man. It has been tentatively suggested by Nettl (1956:26-39) that it is possible to characterize German and American "schools" of ethnomusicology, but the designations do not seem quite apt. The distinction to be made is not so much one of geography as it is one of theory, method, approach, and emphasis, for many provocative studies were made by early German scholars in problems not at all concerned with music structure, while many American studies heve been devoted to technical analysis of music sound (Merriam 1964:3-4).6
6
Sebuah buku yang terus populer di kalangan etnomusikologi dunia sampai sekarang ini, dalam realitasnya menjadi “bacaan wajib ” bagi para pelajar dan mahasiswa etnomusikologi seluruh dunia,
Menurut pendapat Merriam seperti kutipan di atas, para ahli etnomusikologi
membawa dirinya sendiri kepada benih-benih pembagian ilmu, untuk itu selalu
dilakukan percampuran dua bagian keilmuan yang terpisah, yaitu musikologi dan
etnologi [antropologi]. Selanjutnya menimbulkan kemungkinan-kemungkinan
masalah besar dalam rangka mencampur kedua disiplin itu dengan cara yang unik,
dengan penekanan pada salah satu bidangnya, tetapi tetap mengandung kedua
disiplin tersebut.
Sifat dualisme lapangan studi etnomusikologi ini, dapat ditandai dari
bahan-bahan bacaan yang dihasilkannya. Katakanlah seorang sarjana etnomusikologi
menulis secara teknis tentang struktur suara musik sebagai suatu sistem tersendiri.
Di lain sisi, sedangkan sarjana lain memilih untuk memperlakukan musik sebagai
suatu bagian dari fungsi kebudayaan manusia, dan sebagai bagian yang integral dari
keseluruhan kebudayaan. Di dalam masa yang sama, beberapa sarjan dipengaruhi
secara luas oleh para pakar antropologi Amerika, yang cenderung untuk
mengasumsikan kembali suatu reaksi terhadap aliran-aliran yang mengajarkan
teori-teori evolusioner difusi, dimulai dengan melakukan studi musik dalam konteks
etnologisnya. Di dalam kerja yang seperti ini, penekanan etnologis yang dilakukan
para sarjana ini lebih luas dibanding dengan kajian struktur komponen suara musik
sebagai suatu bagian dari permainan musik dalam kebudayaan, dan fungsi-fungsinya
dalam organisasi sosial dan kebudayaan manusia yang lebih luas.
Hal tersebut telah disarankan secara tentatif oleh Bruno Nettl yaitu terdapat
kemungkinan karakteristik "aliran-aliran" etnomusikologi di Jerman dan Amerika,
yang sebenarnya tidak persis sama. Mereka melakukan studi etnomusikologi ini,
tidak begitu berbeda, baik dalam geografi, teori, metode, pendekatan, atau
penekanannya. Beberapa studi provokatif awalnya dilakukan oleh para sarjana
Jerman. Mereka memecahkan masalah-masalah yang bukan hanya pada semua hal
yang berkaitan dengan struktur musik saja. Para sarjana Amerika telah
mempersembahkan teknik analisis suara musik.
Dari kutipan di atas tergambar dengan jelas bahwa etnomusikologi dibentuk
dari dua disiplin ilmu dasar yaitu antropologi dan musikologi. Walaupun terdapat
variasi penekanan bidang yang berbeda dari masing-masing ahlinya. Namun
terdapat persamaan bahwa mereka sama-sama berangkat dari musik dalam konteks
kebudayaannya.
Khusus mengenai beberapa definisi tentang etnomusikologi telah dikemukakan
dan dianalisis oleh para pakar etnomusikologi. Pada tulisan edisi berbahasa
Indonesia, Rizaldi Siagian dari Universitas Sumatera Utara (USU) Medan, dan
Santosa dari Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) Surakarta, telah
mengalihbahasakan berbagai definisi etnomusikologi, yang terangkum dalam buku
yang bertajuk Etnomusikologi, tahun 1995, yang diedit oleh Rahayu Supanggah,
terbitan Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia, yang berkantor pusat di Surakarta.
Dalam buku ini, Alan P. Merriam mengemuakan 42 definisi etnomusikologi dari
beberapa pakar, menurut kronologi sejarah dimulai oleh Guido Adler 1885 sampai
Elizabeth Hesler tahun 1976.7
7
Sedangkan untuk mengkaji fungsi tari Galombang dalam kelompok etnik
Minangkabau, pada masyarakat Medan yang bersifat urban (perkotaan) dan
heteroden digunakan pendekatan fungsionalisme dalam ilmu-ilmu sosial dan
humaniora, baik itu dari antropologi maupun antropologi tari.
Berdasarkan fakta lapangan dan latar belakang keilmuan, penulis memilih
judul untuk penelitian ini, sebagai berikut: “Hubungan Struktur Tari, Musik Iringan,
dan Fungsi Sosial Tari Galombang yang Dipertunjukan Sanggar Tigo Sapilin pada
Upacara Adat Perkawinan Masyarakat Minangkabau di Kota Medan.”
1.2 Pokok Permasalahan
Agar pembahasan lebih terarah maka ditentukan pokok permasalahan. Dalam
skripsi nantinya, masalah yang akan dibahas meliputi tiga hal sebagai berikut.
(1) Bagaimana struktur tari Galombang dan musik iringannya disajikan
dalam upacara adat perkawinan masyarakat Minangkabau di Kota Medan?
(2) Bagaimana struktur musik iringan tari Galombang yang disajikan dalam
upacara adat perkawinan masyarakat Minangkabau di Kota Medan?
(3) Bagaimana hubungan antara struktur tari, struktur musik iringannya, dan
fungsi dalam tari Galombang yang disajikan dalam adat perkawinan masyarakat
Minangkabau di Kota Medan.
1.3 Tujuan dan Manfaat 1.3.1 Tujuan
Adapun yang menjadi tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut.
(1) Untuk mengetahui dan memahami bagaimana struktur tari dan struktur
musik iringan tari Galombang disajikan dalam perkawinan masyarakat
Minangkabau di Kota Medan.
(2) Untuk mengetahui dan memahami fungsi sosial yang terdapat dalam
penyajian tari Galombang pada perkawinan masyarakat Minangkabau di
Kota Medan.
(3) Untuk mengetahui dan memahami hubungan antara struktur tari, struktur
musik iringannya, dan fungsi dalam tari Galombang yang disajikan dalam
adat perkawinan masyarakat Minangkabau di Kota Medan.
1.3.1 Manfaat
Manfaat yang diambil dari penelitian yang diwujudkan dalam skripsi ini adalah
(1) Menambah referensi tentang kesenian (khususnya tari Galombang).
(2) Sebagai bahan masukan bagi pembaca khususnya mahasiswa yang
bergelut dalam seni tari dan musik, agar dapat mengetahui penyajian tari
Galombang dan musik dalam konteks acara perkawinan masyarakat
Minangkabau.
(3) Menambah pengetahuan bagi penulis dan peneliti-peneliti lain, baik
mencakup teori maupun uraian tentang bentuk penyajian tari Galombang.
(4) Mengembangkan kajian-kajian ilmiah di bidang musik dan tari, yang
dampaknya turut mengembangkan aspek keilmuan dalam disiplin-disiplin
(5) Memberikan pengetahuan secara empiris kepada para pembaca, bagaimana
seni budaya (musik dan tari) berkembang menyebar ke kawasan lain
tempat suatu etnik merantau.
1.4 Konsep dan Teori 1.4.1 Konsep
Dalam penelitian dan penulisan ini yang dimaksud dengan kata struktur, yaitu
struktur adalah bagaimana bagian-bagian dari sesuatu berhubungan satu dengan yang
lain atau bagaimana sesuatu tersebut disatukan. Dalam hal ini, struktur yang penulis
maksud dalam tulisan ini adalah bagian-bagian yang melengkapi tari Galombang
dalam pertunjukannya, dan tahapan-tahapan dari pola-pola gerakan, dengan kata lain
yang berarti ragam-ragam yang ada dalam tarian Galombang. Identifikasi suatu
struktur tergantung pada asumsi kriteria bagi pengenalan bagian-bagiannya dan
gerakan yang terkandung dalam tiap-tiap ragam yang terbentuk.
Jadi dalam hal ini struktur dan pola sangat berhubungan, yakni bagaimana
bagian-bagian dari gerakan tari saling berhubungan sehingga disatukan dan adanya
bentuk atau model (suatu set peraturan) yang bisa dipakai untuk membuat atau untuk
menghasilkan suatu tari. Khususnya jika tari yang ditimbulkan cukup mempunyai
suatu tari yang sejenis untuk pola dasar yang dapat ditunjukkan atau terlihat, yang
mana gerakan tarian itu dikatakan memamerkan pola.
Tari adalah segala gerak yang berirama atau sebagai segala gerak yang
dimaksudkan untuk menyatakan keindahan ataupun kedua-duanya (Tengku Luckman
Sinar, 1996:5). Dalam tulisan ini yang penulis maksud dengan tari Galombang
perkawinan. Tarian Galombang ini memakai 6 orang atau lebih penari, yang
gerakannya diambil dari gerakan-gerakan bungo silek. Dengan iringan musik dari
alat musik tradisional Minangkabau yang terdiri dari tasa, gandang tambua,
talempong pacik, dan puput serunai, dengan menggunakan lagu Tigo Duo sehingga
menampilkan suatu keindahan untuk dipersembahkan bagi kedatangan marapulai ke
rumah anak daro.
Istilah fungsi sosial yang penulis maksud dalam tulisan ini adalah bagaimana
fungsi tari Galombang ini bagi masyarakat Minangkabau. Dimana saya akan melihat
dan bertanya apakah fungsi adalah sesuatu yang akan dibagi atau diakibatkan,
dengan kata lain dampak dari sesuatu hal yang khas.
Perkawinan dalam tulisan ini merupakan perkawinan yang ada pada
masyarakat manapun. Biasanya melibatkan aspek agama atau religi yang disahkan
secara adat maupun agama. Pada umumnya acara perkawinan biasa disertai dengan
pertunjukan kesenian tari, musik, teater, atau pun sastra.
Istilah masyarakat dalam penulisan judul memiliki arti seperti yang
dikemukakan oleh Soerjono Soekanto (1993:106-107), yaitu sebagai asosiasi
manusia yang ingin mencapai tujuan-tujuan tertentu yang terbatas sifatnya, sehingga
direncanakan pembentukan organisasi-organisasi tertentu. Selain itu Soerjono
Soekanto menambahkan bahwa istilah masyarakat sangat erat kaitannya dengan
nilai-nilai, norma-norma, tradisi, kepentingan-kepentingan, dan lain sebagainya.
Oleh karena itu, maka pengertian masyarakat tidak mungkin dipisahkan dari
kebudayaan dan kepribadian.
Masyarakat Minangkabau yang penulis maksud di sini, adalah masyarakat
yang telah lama ada di Kota Medan, serta masyarakat Minangkabau yang telah
membawa kebiasaan mereka, adat istiadat, tingkah laku, budaya, serta tradisi mereka.
Dimana perpindahan tersebut dapat terjadi karena berbagai faktor, seperti halnya
faktor ekonomi, pendidikan, dan lainnya. Seperti yang juga dikemukakan oleh
Koentjaraningrat (1986:160), bahwa masyarakat merupakan kesatuan hidup yang
berinteraksi menurut sistem adat tertentu yang bersifat kontiniu dan terikat oleh rasa
identitas bersama.
1.4.2 Teori
Dalam menulis skripsi ini, penulis berpegang pada beberapa teori yang
berhubungan dengan permasalahan yang akan dibahas dan dianggap relevan. Teori
yang dimaksud sesuai dengan pendapat Koentjaraningrat (1977:30), yaitu bahwa
pengetahuan yang diperoleh dari buku-buku, dokumen-dokumen serta pengalaman
kita sendiri merupakan landasan dari pemikiran untuk memperoleh pengertian
tentang suatu teori-teori yang bersangkutan. Dengan demikian teori adalah pendapat
yang dijadikan acuan dalam membahas tulisan ini.
Dalam meneliti gerak tari tersebut, penulis akan mendiskripsikan bagaimana
uraian mengenai ragam gerak, pola lantai, motif gerak, frase gerak, bentuk tari,
hitungan tari, busana tari, properti tari, dan hal-hal sejenis yang berkait dengan
keberadaan tari sebagi produk manusia Minangkabau dalam konteks adatnya.
Struktur dan pola gerakan-gerakan yang terdapat dalam tari Galombang yang
nantinya juga penulis akan menggunakan lambang-lambang umum dan sederhana
yang penulis buat sendiri yang dapat mewakili pola gerak tari Galombang.
Penyusunan gerak dalam seni tari, gerak dari masing-masing penari maupun
dari kelompok penari bersama, ditambah dengan penyesuaiannya dengan ruang,
tari yang disebut koreografi (Djelantik, 1990:23). Dalam hal ini yang dimaksud
koreografi adalah gerakan-gerakan yang dilakukan para penari pada upacara
perkawinan masyarakat Minangkabau. Memiliki ciri-ciri khas tertentu dari bentuk
tarian etnik lain yang dapat dilihat dan dinikmati oleh pelakunya dan penontonnya.
Gerakan-gerakannya terpola didalam aturan-aturan adat dan nilai keindahan setempat
yang dilakukan secara simbolis serta memiliki makna-makna tersendiri.
Musik dan tarian merupakan fenomena yang berbeda, tetapi dapat bergabung
apabila terdapat aspek yang sama mengkoordinasikannya. Menurut Pringgobroto,
musik adalah rangkaian ritmis nada, sedangkan tarian adalah rangkaian ritmis dan
pola gerak tubuh (dalam Wimbrayardi, 1988:13-14). Musik merupakan fenomena
audio (bunyi) yang tidak terlihat, dan tari merupakan fenomena audio (bunyi) yang
tidak terdengar. Baik musik dan tari bergerak di dalam ruang dan waktu (Sachs
1993:1-4 dan Blacking 1985:64-74) serta dapat dirasakan melalui getaran yang
dihasilkannya. Aspek dasar yang menghubungkan keduanya adalah waktu, yaitu
gerak ritmis (musik dan tari) dan tempo. Untuk mengkaji struktur musik iringan tari
Galombang ini, dibahas dengan uraian mengenai struktur melodi dan ritem yang
dihasilkan alat pembawa melodi dan ritem dalam konteks mengiringi tari Galombang
ini. Melodi dibawa oleh alat musik serunai. Sementara ritem dibawa secara
interloking oleh talempong pacik, yang diiringi pola-pola ritem gandang tambua dan
tasa. Untuk melodi penulis akan menggunakan teori bobot tangga nada (weighted
scale) yang ditawarkan oleh Malm (1977). Dianalisis melalui 8 struktur melodinya
yaitu: (1) tangga nada, (2) wilayah nada, (3) nada dasar, (4) interval, (5) jumlah
nada-nada yang digunakan, (6) formula melodi, (7) pola-pola kadensa, dan (8) kontur
Untuk mengkaji fungsi tari Galombang di dalam kebudayaan masyarakat
Minangkabau digunakan teori fungsionalisme baik dalam ilmu antropologi maupun
dalam etnologi tari, yang ditawarkan oleh beberapa pakar. Mereka menggagas teori
fungsi itu sebagai berikut.
Radcliffe-Brown mengemukakan bahawa fungsi sangat berkait erat dengan
struktur sosial masyarakat. Bahwa struktur sosial itu hidup terus, sedangkan
individu-individu dapat berganti setiap saat. Dengan demikian, Radcliffe-Brown
yang melihat fungsi ini dari sudut sumbangannya dalam suatu masyarakat,
mengemukakan bahawa fungsi adalah sumbangan satu bagian aktivitas kepada
keseluruhan aktivitas di dalam sistem sosial masyarakatnya. Tujuan fungsi adalah
untuk mencapai tingkat harmoni atau konsistensi internal, seperti yang diuraikannya
berikut ini.
By the definition here offered ‘function’ is the contribution which a partial activity makes of the total activity of which it is a part. The function of a perticular social usage is the contribution of it makes to the total social life as the functioning of the total social system. Such a view implies that a social system ... has a certain kind of unity, which we may speak of as a functional unity. We may define it as a condition in which all parts of the social system work together with a sufficient degree of harmony or internal consistency, i.e., without producing persistent conflicts can neither be resolved not regulated (1952:181).
Dalam kaitannya dengan tari Galombang pada upacara perkawinan adat
Minangkabau dalam kebudayaan Minangkabau di Kota Medan, maka tari ini adalah
salah satu aktivitas dari sekian banyak aktivitas etnik Minangkabau, yang tujuannya
adalah untuk mencapai harmoni atau konsistensi internal. Tari Galombang dan musik
iringannya adalah bahagian dari sistem sosial yang bekerja untuk mendukung
Curt Sachs (1963:5) seorang ahli musik dan tari dari Belanda mengemukakan
dalam bukunya yang berjudul World History of the Dance mengutarakan bahwa
fungsi tari secara mendasar ada dua, yaitu (1) Tari berfungsi untuk tujuan magis, dan
(2) Tari berfungsi sebagai media hiburan atau tontonan. Pakar lainnya Gertrude
Prokosch Kurath yang mengemukakan adanya 14 fungsi tari dalam masyarakat, yaitu
(1) sebagai media inisiasi (upacara pendewasaan), (2) sebagai media percintaan, (3)
sebagai media persahabatan atau kontak sesial, (4) sarana untuk perkawinan atau
pernikahan, (5) sebagai pekerjaan atau matapencaharian, (6) sebagai media untuk
sarana kesuburan atas pcrtanian, (7) sebagai sarana untuk perbintangan, (8) sebagai
sarana untuk ritual perburuan, (9) sebagai imitasi satwa, (10) sebagai imitasi
peperangaa, (11) sebagai sarana pengobatan, (12) sebagai ritual kematian, (13)
sebagai bentuk media untuk pemanggilan roh, dan (14) sebagai komedian (lawak).
Dari empat belas fungsi yang dikemukakan oleh Sachs seperti tersebut di atas,
maka salah satu fungsi tari Galombang yang paling utama adalah fungsinya sebagai
sarana untuk perkawinan atau pernikahan. Dalam hal ini pernikahan dalam adat
Minangkabau secara umum disebut baralek.
Anthony V. Shay dalam disertasinya yang berjudul: The Function of Dance in
Human Society, membagi tari dalam 6 fungsi, yaitu (1) sebagai refleksi dari
organisasi sosial, (2) sebagai sarana ekspresi sekuler serta ritual keagamaan, (3)
sebagai aktivitas rekreasi atau hiburan, (4) sebagai ungkapan serta pembebasan
psikologis, (5) sebagai refleksi nilai-nilai estetik atau murni sebagai aktivitas estetis,
dan (6) sebagai refleksi dari kegiatan ekonomi.
Kalau ditinjau dari teori fungsi tari yang dikemukakan Shay ini, maka tari
sosial Minangkabau. Juga berfungsi sebagai ekspresi ritual keagamaan, hiburan,
estetik, dan juga ekonomi.
Sementara pakar tari lndonesia yaitu Narawati dan R.M. Soedarsono
membedakan fungsi tari menjadi dua, yaitu (1) kategori fungsi tari yang besifat
primer, yang dibedakan menjadi tiga, yaitu: (a) fungsi tari sebagai sarana ritual, (b)
fungsi tari sebagai ungkapan pribadi, dan (c) fungsi tari sebagai presentasi estetik,
dan (2) kategori fungsi tari yang bersifat sekunder, yaitu lebih mengarah pada aspek
komersial atau sebagai lapangan mata pencaharian (Narawati dan Soedarsono, 2005:
15-16).
Berdasarkan teori fungsi tari dari Narawati dan Soedarsono ini, maka fungsi
tari galombang, mencakup baik itu fungsi primer dan juga fungsi sekunder. Di dalam
kegiatan tari ini terdapat fungsi ritual, ungkapan pribadi, estetik, dan mata
pencaharian.
1.5 Metode Penelitian
Metode penelitian adalah cara kerja untuk dapat memahami objek yang
menjadi sasaran ilmu yang bersangkutan. Untuk meneliti tari Galombang pada
upacara perkawinan masyarakat Minangkabau di Kota Medan ini, penulis
menggunakan metode penelitian kualitatif, sesuai dengan apa yang dikemukakan
oleh Kirk Miller dalam Moleong (1990:3) yang mengatakan: “Penelitian kualitatif
adalah tradisi tertentu dalam ilmu pengetahuan sosial yang secara fundamental
bergantung pada pengamatan manusia dalam kawasannya sendiri dan berhubungan
dengan orang-orang dalam bahasa dan peristilahannya.”
Penelitian kualitatif dapat dibagi dalam empat tahap yaitu: tahap sebelum ke
lapangan penulis mempersiapkan segala macam kebutuhan yang diperlukan sebelum
turun ke dalam penelitian itu sendiri. Dalam bagian ini disusun rancangan penelitian
ini, menjajaki atau menilai keadaan lapangan, memilih informan, perlengkapan
penelitian, dan etika penelitian.
Selanjutnya pada tahap pekerjaan di lapangan seorang peneliti untuk
mengumpulkan data semaksimal mungkin. Dalam hal ini, penulis menggunakan alat
bantu yaitu Handycam merk Sony, kamera digital merk Casio, dan catatan lapangan.
Pengamatan langsung (menyaksikan) upacara perkawinan masyarakat Minangkabau
di Kota Medan.
Sedangkan wawancara tidak berstruktur adalah wawancara yang dalam
pelaksanaan tanya jawabnya berlangsung seperti percakapan sehari-hari. Informan
biasanya terdiri dari mereka yang terpilih saja karena sifat-sifatnya yang khas.
Biasanya mereka telah mengetahui informasi yang dibutuhkan, dan wawancara
biasanya berlangsung lama.
Dalam tahap menganalisis data penulis mengorganisasikan data yang telah
terkumpul dari catatan lapangan, foto, studi kepustakaan, rekaman, dan sebagainya
ke dalam suatu pola atau kategori. Dan sebagai hasil akhir dari menganalisis data
adalah membuat laporan yang dalam hal ini adalah penulisan skripsi.
1.5.1 Studi Kepustakaan
Dalam tahapan ini penulis mencari, mempelajari, dan menggunakan
literatur-literatur yang berhubungan dan dapat membantu pemecahan permasalahan. Dari
hasil studi kepustakaan yang dilakukan penelitian tari Galombang dalam upacara
Tujuan dari studi kepustakaan ini adalah untuk mendapatkan konsep-konsep,
teori, serta informasi yang dapat digunakan sebagai acuan dalam pembahasan atau
penelitian, dan menambah wawasan penulis tentang kebudayaan masyarakat
Minangkabau yang diteliti yang berhubungan dengan kepentingan pembahasan atau
penelitian.
1.5.2 Penelitian Lapangan
Sebagai acuan dalam mengumpulkan data di lapangan, penulis berpedoman
kepada tulisan Harsja W. Bachtiar dan Koentjaraningrat dalam buku Metode-metode
penelitian masyarakat. Dalam buku ini tersebut dikatakan, bahwa pengumpulan data
dilakukan melalui kerja lapangan (field work) dengan menggunakan:
(1) Observasi (pengamatan), dalam hal ini penulis mengadakan pengamatan
langsung, hal ini sesuai dengan pendapat Harja W. Bachtiar (1990:114-115), bahwa
seorang peneliti harus melihat langsung akan kegiatan-kegiatan dari sasaran
penelitiannya dalam mendapatkan data-data di lapangan, maka pengamat
menghadapi persoalan bagaimana cara ia dapat mengumpulkan keterangan yang
diperlukan tanpa harus bersembunyi, tetapi juga tidak mengakibatkan perubahan oleh
kehadirannya pada kegiatan-kegiatan yang diamatinya.
Mengacu pada teori di atas penulis mengumpulkan keterangan yang diperlukan
dengan cara mengamati sasaran penelitian, misalnya tentang jalannya tari
Galombang pada upacara, sarana yang dipergunakan, pelaku, dan masalah-masalah
lain yang relevan dengan pokok permasalahan, dan dalam pengamatan, penulis juga
melakukan pencatatan data-data di lapangan sebagai laporan hasil pengamatan
penulis. Dalam hal ini penulis terlebih dahulu mendapat ijin dari pihak panitia
(2) Wawancara, dalam suatu penelitian yang bertujuan mengumpulkan
keterangan tentang kehidupan manusia dalam suatu masyarakat serta
pendirian-pendirian mereka itu, merupakan suatu pembantu utama dari metode observasi.
Wawancara ini bertujuan untuk mengumpulkan data dan informasi secara lisan
dari para informan. Untuk ini penulis mengacu pada pendapat Koentjaraningrat
(1990:129-155) yang membagi tiga kegiatan wawancara yaitu : persiapan
wawancara, teknik wawancara, dan pencatatan data wawancara. Sedangkan
wawancara terdiri dari wawancara terfokus, wawancara bebas, dan wawancara
sambil lalu.
Dalam wawancara terfokus, pertanyaan tidak mempunyai struktur tertentu
tetapi selalu terpusat kepada pokok permasalahan lain. Wawancara sambil lalu,
sifatnya hanya untuk menambah data yang lain. Dalam mengumpulkan data, penulis
menggunakan ketiga wawancara ini serta terlebih dahulu membuat daftar pertanyaan
dan mencatat secara langsung data-data yang diperlukan.
(3) Perekaman, dalam hal ini penulis melakukan perekaman dengan 2 cara,
yaitu (a) perekaman yang penulis lakukan yaitu perekaman audio dengan
menggunakan handycam merk Sony mini DVD. Perekaman ini sebagai bahan
analisis tekstual dan musikal. (b) Untuk mendapatkan dokumentasi dalam bentuk
gambar digunakan kamera digital merk Casio. Pengambilan gambar dilakukan
setelah terlebih dahulu mendapat ijin dari pihak pelaksana dan pihak yang
bersangkutan.
1.5.3 Kerja Laboratorium
Kerja laboratorium merupakan proses penganalisisan data-data yang telah
bahan dari studi kepustakaan terkumpul, selanjutnya dilakukan pembahasan dan
penyusunan tulisan. Sedangkan untuk hasil rekaman dilakukan pentranskripsian dan
selanjutnya dianalisa. Pada akhirnya hasil dari pengolahan data dan penganalisaan
disusun secara sistematis dengan mengikuti kerangka penulisan.
Untuk menyajikan aspek kebudayaan, penulis mengacu dari antropologi, aspek
struktur musik dari musikologi, dan juga unsur sosial lainnya (sesuai dengan
keperluan pembahasan ini), sebagaimana ciri Etnomusikologi yang inter-disipliner
dan keseluruhannya dikerjakan di dalam laboratorium Etnomusikologi), sehingga
permasalahannya yang merupakan hasil laporan penelitian yang disusun dalam
bentuk skripsi. Jika data yang dirasa masih kurang lengkap, maka penulis
melengkapinya dengan menjumpai informan kunci atau informan lain dan hal ini
dilakukan berulang-ulang.
1.6 Lokasi Penelitian
Sebagai lokasi penelitian, penulis memilih sanggar Tigo Sapilin, yang dipimpin
oleh Bapak H. Abu Bakar Siddiq, S.H. Beliau juga adalah Ketua YLKI (Yayasan
Lembaga Konsumen Indonesia) Sumatera Utara. Sanggar yang beliau pimpin ini
berada di rumah kediaman belaiu di Jalan Gurilla Gang Toke Umar, No. 18,
Kelurahan Sei Kerah Hilir II, kecamatan Medan Perjuangan, Medan. Lokasi
penelitian ini ditetapkan dengan beberapa alasan sebagai berikut. (1) Sanggar Tigo
Sapilin ini merupakan sanggar yang sudah lama didirikan, sejak tahun 1987, dan
dikelola oleh keturunan turun-temurun keluarga asli orang Minangkabau. (2)
Sanggar ini sudah diikuti penulis dari awal tahun 2011 lalu sebagai anggota penari.
Sehingga lebih memudahkan mendapatkan informasi karena sudah cukup dekat
mengikuti perkembangan zaman, namun orang-orang lama di dalamnya masih
BAB II
TINJAUAN UMUM MASYARAKAT MINANGKABAU DAN SANGGAR TIGO SAPILIN
DI KOTA MEDAN
2.1 Asal-Usul Masyarakat Minangkabau
Secara etimologi, Minangkabau berasal dari dua kata, yaitu minang dan
kabau. Kata minang ini awalnya dari pengucapan bahasa masyarakat yang
mengucapkan kata manang yang berarti kemenangan, dan kata kabau yang berarti
kerbau. Jadi kata minangkabau berarti “kerbau yang menang”. Menurut lagenda,
nama ini diperoleh dari peristiwa perselisihan di antara kerajaan Minangkabau
dengan seorang putera dari Jawa yang meminta pengakuan kekuasaan di Melayu.
Untuk mengelakkan diri mereka dari berperang, rakyat Minangkabau mengusulkan
pertandingan adu kerbau di antara kedua pihak. Putera tersebut setuju dan
mengadakan seekor kerbau yang besar badannya dan ganas. Sedangkan rakyat
setempat hanya mengandalakan seekor anak kerbau yang lapar tetapi dengan
diberikan pisau pada tanduknya. Sewaktu peraduan, si anak kerbau yang kelaparan
dengan tidak sengaja menyerudukkan tanduknya di perut kerbau besar itu karena
ingin mencari puting susu untuk meghilangkan lapar dan dahaganya. Kerbau yang
ganas itu mati, dan rakyat setempat berhasil menyelesaikan pergelutan tersebut
dengan cara yang aman .
Keterkaitan masyarakat Minangkabau dengan hewan kerbau ini dapat dilihat
dari berbagai identitas budaya orang Minangkabau, seperti atap rumah adat mereka
yang berbentuk layaknya menyerupai tanduk kerbau. Begitu juga dengan pakaian
Namun dari beberapa sumber lain menyebutkan bahwa nama Minangkabau
sudah ada jauh sebelum peristiwa adu kerbau itu terjadi, dimana istilah yang lebih
tepat sebelumnya adalah “Minangkabwa,” “Minangakamwa,” “Minangatamwan,”
dan “Phinangkabhu.” Istilah Minangakamwa atau Minangkamba berarti Minang
(sungai) Kembar yang merujuk pada dua sungai Kampar yaitu Kampar Kiri dan
Sungai Kampar Kanan. Sedangkan istilah Minangatamwan yang merujuk kepada
Sungai Kampar memang disebutkan dalam prasasti Kedukan Bukit dimana di situ
disebutkan bahwa pendiri Kerajaan Sriwijaya yang bernama Dapunta Hyang
melakukan migrasi massal dari hulu Sungai Kampar (Minangatamwan) yang
terletak di sekitar daerah Lima Puluh Kota, Sumatera Barat
.
Menurut para ahli kebudayaan, suku bangsa Minangkabau ini merupakan
bagian dari bangsa Deutero Melayu (Melayu Muda). Dimana mereka melakukan
migrasi dari dataran China Selatan ke pulau Sumatera sekitar 2500-2000 tahun yang
lalu. Diperkirakan kelompok masyarakat Minangkabau ini masuk dari arah timur
pulau Sumatera, menyusuri aliran sungai Kampar sampai ke dataran tinggi yang
disebut dengan darek (kampung halaman orang Minangkabau). Kemudian suku
Minang menyebar ke daerah pesisir di pantai barat pulau Sumatera, yang terbentang
dari Barus bagian utara hingga Kerinci bagian selatan. Migrasi tersebut terjadi ketika
pantai barat Sumatera menjadi pelabuhan alternatif perdagangan selain Malaka, saat
jatuh ke tangan Portugis.
Dalam buku Dasar-dasar adat Minangkabau (Idrus Hakimi, 1980), diebutkan
bahwa nenek moyang masyarakat Minangkabau berasal dari keturunan Raja Iskandar
Zulkarnain. Keturunannya menyebar kemana-mana mencari tanah-tanah baru untuk
konfederasi yang disebut mereka dengan nama Luhak. Sesuai dengan pembagian
kawasannya, Luhak tersebut disebut mereka menjadi Luhak Nan Tigo.
Luhak Nan Tigo ada tiga bagian di daerah Minangkabau yang membawahi
daerah rantau, yaitu: (1) Luhak Agam berpusat di Bukittinggi dengan Rantau
Pasaman, (2) Luhak Tanah Data berpusat di Batusangkar dengan Rantau Solok, dan
(3) Luhak Lima PuluahKoto berpusat di Paya Kumbuh dengan Rantau Kampar.
Daerah rantau terbagi atas, ke utara Luhak Agam; Pasaman, Lubuk Sikaping,
dan Rao. Ke selatan dan tenggara Luhak Tanah Data; ada Solok, Silayo, Muaro
Paneh, Alahan Panjang, Muaro Labuah, Alam Surambi Sungai Pagu, Sawah Lunto
Sijunjung, sampai keperbatasan Riau dan Jambi. Selanjutnya rantau sepanjang
hiliran sungai besar; Rokan, Siak, Tapung, Kampar, Kuantan/Indragiri, dan Batang
Hari. Sedangkan daerah pesisir terbagi atas, dari utara ke selatan; Meulaboh, Tapak
Tuan, Singkil, Sibolga, Sikilang, Aie Bangih, Tiku, Pariaman, Padang, Bandar
Sapuluh, Air Haji, Balai Salasa, Sungai Tunu, Punggasan, Lakitan, Kambang,
Ampiang Parak, Surantiah, Batang Kapeh, Painan (Bungo Pasang), dan seterusnya
Bayang nan Tujuah, Indrapura, Kerinci, Muko-muko, dan Bengkulu.
Tiap-tiap luhak dibentuk dari beberapa kelarasan, dan pada kelarasan dibentuk
suku, dimana setiap suku Minangkabau diatur menurut garis keturunan ibu
(matrilineal). Untuk mengesahkan suku, ada harta pusaka dari nenek diwariskan
kepada ibu, dan dari ibu diwariskan kepada anak perempuan.
Dalam etnik Minangkabau terdapat banyak klan, dimana mereka sendiri yang
menyebutnya dengan istilah suku. Awalnya sebagai suku mereka ada empat suku,
yaitu suku Bodi, Caniago, Koto, dan Piliang. Sekarang seiring jalannya waktu,
berkembang sampai sudah mencapai ratusan suku, diantaranya suku Gudam,
2.2 Masuknya Masyarakat Minangkabau di Kota Medan
Medan merupakan salah satu kota di Indonesia yang menjadi tujuan perantau
beberapa suku di Indonesia. Pada tahun 1909, Medan menjadi kota yang penting di
luar Jawa. Terutama setelah pemerintah kolonial membuka perusahaan perkebunan
secara besar-besaran. Di akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20 terdapat dua
gelombang migrasi besar ke kota Medan. Gelombang pertama kedatangan dari orang
Tionghoa dan Jawa sebagai kuli kontrak perkebunan. Gelombang kedua ialah
kedatangan orang Minangkabau, Mandailing, dan Aceh. Kedatangan merea ke Kota
Medan dan sekitarnya bukan untuk bekerja sebagai buruh perkebunan, tetapi
umumnya untuk berdagang, menjadi guru dan alim ulama (https://id.wikipedia.
org/wiki/Kota Medan
Keinginan masyarakat Minangkabau untuk merantau sangatlah tinggi, hal ini
dilihat dari hasil studi yang pernah dilakukan tahun 1973 lalu. Pada tahun 1961
terdapat sekitar 32% orang Minang yang berdomisili di luar Sumatera Barat, tetapi
pada tahun 1971, jumlahnya semakin meningkat menjadi 44% yang berdomisili di
luar Sumatera Barat. Dalam hal ini berarti lebih dari separuh orang Minang berada di
luar Sumatera Barat. Berdasarkan data tersebut dapat dilihat bahwa keinginan
merantau orang Minangkabau begitu besarnya. Dibanding dengan suku lainnya
yang ada di Indonesia, keinginan merantau orang Minangkabau cukup besar. Sebab
menurut sensus pada tahun 1930, suku perantau tertinggi di Indonesia adalah suku
Bawean (35,9%), kemudian suku Batak (14,3%), selanjutnya suku Banjar (14,2%),
setelah itu suku Minang sebesar 10,5% (Ahmad Yunus, 1985:4). ).
Ada beberapa faktor yang menjadi alasan masyarakat Minangkabau merantau,
baik itu faktor budaya maupun ekonomi. Salah satu penyebab terhadap fenomena
penguasaan harta pusaka dipegang oleh kaum wanita, sedangkan kaum lelaki cukup
kecil. Selain itu, setelah masa akil balik laki-laki tidak lagi dapat tidur di rumah
orang tuanya, karena rumah hanya diperun tukkan untuk kaum wanita beserta
suaminya, dan anak-anaknya. Hal inilah yang menjadi salah satu alasan banyaknya
kaum laki-laki semangat untuk mengubah nasib dengan merantau untuk mencari
kekayaan dengan berdagang dan meniti karir, serta melanjutkan pendidikan. Begitu
juga pada penjelasan pada faktor ekonomi dimana pertumbuhan penduduk yang tidak
diiringi dengan bertambahnya sumber daya alam yang dapat diolah mereka, yang
menyebabkan tidak cukup memenuhi keperluan bersama. Faktor-faktor inilah yang
mendorong orang Minang pergi merantau.
Masyarakat Minangkabau mendorong para pemuda dan anak-anak mereka
untuk merantau dan membawa sesuatu sebagai tanda bahwa mereka telah mengadu
nasib di negeri orang. Semua itu akan digunakan untuk membangun dan
memperbaiki masing-masing rumah mereka di kampung halaman mereka, membeli
tanah, ataupun memberikan pemikiran-pemikiran mereka demi kemajuan daerah
mereka.
Kota Medan sendiri memiliki penduduk yang heterogen, baik itu dari segi
budaya, agama, profesi, dan lain-lain. Masuknya berbagai suku masyarakat
membawa budaya tradisi asal mereka masing-masing. Begitu juga masyarakat
Minangkabau yang merupakan salah satu suku yang merantau ke kota Medan ini
memberikan keberagaman seni dan budaya yang ada di Kota Medan dari budaya
tradisi yang dibawa oleh mereka sendiri.
Di kota Medan sendiri, kelompok masyarakat Minangkabau ini hampir
banyak bermukim di Medan Denai dan Sukaramai. Dimana lokasi-lokasi ini juga
merupakan daerah strategis dalam melakukan kepentingan perdagangan.
Menurut data statistik kota Medan tahun 2000, suku Minangkabau di Sumatera
Utara berjumlah 306.550 jiwa, seperti yang dilihat pada Tabel 1. Meskipun juml