• Tidak ada hasil yang ditemukan

Musik Pada Upacara Adat Perkawinan Batak Toba Di Kota Medan. Kajian Fungsi, Kontinuitas, Dan Perubahan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Musik Pada Upacara Adat Perkawinan Batak Toba Di Kota Medan. Kajian Fungsi, Kontinuitas, Dan Perubahan"

Copied!
114
0
0

Teks penuh

(1)

MUSIK PADA UPACARA ADAT PERKAWINAN BATAK TOBA DI KOTA MEDAN. KAJIAN FUNGSI, KONTINUITAS, DAN PERUBAHAN.

SKRIPSI SARJANA

O L E H

NAMA: ANITA ROMAULI PRISKILA NIM: 090707026

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS ILMU BUDAYA

DEPARTEMEN ETNOMUSIKOLOGI MEDAN

(2)

MUSIK PADA UPACARA ADAT PERKAWINAN BATAK TOBA DI KOTA MEDAN. KAJIAN FUNGSI, KONTINUITAS, DAN PERUBAHAN.

SKRIPSI SARJANA O

L E H

NAMA : ANITA ROMAULI PRISKILA NIM : 090707026

Disetujui

Pembimbing I, Pembimbing II,

Drs. Muhammad Takari, M.Hum., Ph.D. Drs. Torang Naiborhu, M. Hum NIP : 196512211991031001 NIP : 19630814199001004

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS ILMU BUDAYA

DEPARTEMEN ETNOMUSIKOLOGI MEDAN

(3)

3 DISETUJUI OLEH:

FAKULTAS ILMU BUDAYA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

DEPARTEMEN ETNOMUSIKOLOGI

KETUA DEPARTEMEN

Drs. Muhammad Takari, M.Hum., Ph.D NIP. 196512211991031001

Medan, 10 Juli 2015 PENGESAHAN

(4)

4

Panitia Ujian Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara untuk melengkapi salah satu syarat ujian Sarjana Seni dalam bidang Etnomusikologi pada Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara Medan.

Medan

Hari : Jumat Tanggal : 10 Juli 2015

FAKULTAS ILMU BUDAYA USU DEKAN,

Dr. Syahron Lubis, M.Si.,Ph.D. NIP. 195110131976031001 PANITIA UJIAN

No. Nama Tanda Tangan

1. Drs. Muhammad Takari, M.Hum., Ph.D

( )

2.Torang Naiborhu M.Hum ( )

3.Muhammad Takari, M.Hum, Ph.D ( )

4.Dra. Herestina Dewi M.Pd ( )

(5)

5 ABSTRAK

Medan merupakan ibukota dari sumatera utara, yang mana di dalamnya terdapat manusia yang memiliki beragam kebudayaan. Salah satunya suku Batak Toba yang ada di kota medan. Upacara adat perkawinan di kota medan telah mengalami perubahan dari yang penulis ketahui melalui buku maupun media lainnya, dahulunya gondang sabangunan merupakan musik pengiring upacara adat perkawinan suku batak toba. Modernisasi yang terdapat di kota medan menjadi salah satu penyebab perubahan yang terjadi dalam musik pada upacara adat perkawinan batak toba, khususnya di kota medan. Masuknya alat musik modern kedalam musik perkawinan menjadi kesatuan yang kompleks dengan alat musik tradisi pada musik perkawinan adat Batak Toba, tanpa menghilangkan nilai tradisinya. Melalui pengamatan awal penulis, pada setiap upacara perkawinan musik yang digunakan selalu berbeda-bed. Ada yang menggunakan musik tiup kombinasi dengan keyboard, ada juga yang menggunakan uning-uningan sebagai musik perkawinan, tergantung kepada si pembuat pesta.

Musik perkawinan pada upacara adat Batak Toba memiliki dua peranan, yaitu pernanan vertikal dan peranan horizontal. Peran vertikal berarti penghormatan kepada Sang Pencipta, peran horizontal berarti penghormatan sesama manusia (secara khusus penghormatan dalam unsur-unsur dalihan na tolu).

(6)

6

KATA PENGANTAR

Segala puji, hormat dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Kuasa telah melimpahkan Berkat dan Karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan judul “Musik Pada Upacara Adat Perkawinan Batak Toba di

Kota Medan. Kajian Fungsi, Kontinuitas, dan Perubahan”. Adapun tujuan skripsi

ini adalah sebagai kelengkapan tugas dalam memenuhi salah satu persyaratan guna memperoleh gelar Sarjana pada jurusan Etnomusikologi Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara.

Selama dalam penyusunan skripsi ini ,penulis telah banyak menerima bantuan dari berbagai pihak dan sebagai rasa syukur, penulis menyampaikan ucapan terimakasih kepada:

1. Bapak Syaron Lubis, M.A selaku Dekan Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sumatera Utara yang telah banyak membantu di kantor jurusan, serta kepada seluruh staf pengajar jurusan etnomusikologi penulis mengucapkan terima kasih atas bimbingan dan bantuan yang diberikan, sehingga memperluas wawasan penulis dalam pengetahuan selama mengikuti perkuliahan.

2. Bapak Drs.Muhammad Takkari, M.Hum, Ph.D. selaku ketua jurusan Etnomusikologi Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara sekaligus Dosen Pembimbing dalam menyelesaikan tugas akhir dan Ibu Dra. Heristina Dewi, M.PD selaku sekretaris jurusan Etnomusikologi Fakultas Ilmu Budaya yang telah memberikan dukungan dan bantuan administrasi sertaregi strasi perkuliahan dalam menyelesaikan tugas akhir penulis.

(7)

7

4. Orang tua penulis tercinta, Kanur Purba dan Risdawati Tindaon yang penulis kasihi dan sangat berjasa dalam kehidupan penulis atas setiap bimbingan dan didikan yang diberikan mama dan bapak. Terima kasih untuk cinta yang diberikan, untuk semangat dan doa yang tiada henti diberikan hingga sampai terselesaikannya tulisan ini dan selalu sabar membimbing penulis dalam menjalani kehidupan ini. Tak akan terbalaskan kebaikan mama dan bapa. 5. Adik kandung penulis tercinta, L. Maria Natalia Purba, Riama Arima Gabe

Purba, Agustinus Pardamean Purba, Albert Roberto Purba, dan Christin Novelia Nauli Purba yang menjadi saudara dalam suka dan duka dan yang selalu memberikan dukungan doa, dan juga Hendra Sinaga yang telah mengingatkan dan memberikan semangat dalam proses penyusunan tugas akhir.

6. Keluarga Besar Gereja Pentakosta Indonesia sidang Padang Bulan, baik para Pendeta, Guru Injil, Sintua dan jemaat yang menjadi “rumah” selama penulis berada di Medan, terima kasih untuk semangat, bimbingan rohani, dan doa yang hidup yang diberikan kepada penulis.

(8)

8

untuk kalian semua yang telah menerima penulis menjadi bagian dalam hidup kalian, yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.

8. Keluarga Besar Paduan Suara Mahasiswa Universitas Sumatera Utara yang menjadi keluarga dan wadah di Kampus dalam mengikuti paduan suara. 9. Martin Tambunan, S.sn, Perawati Simbolon, Nerly C. Samosir, dan lain-lain

yang telah memberikan masukan dan semangat selama proses penyelesaian tugas akhir.

10.Rekan-rekan Etnomusikologi 2009.

Dalam penulisan skripsi ini, penulis masih banyak terdapat kekurangan dan masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, dengan rendah hati penulis menerima kritik dan saran yang bersifat membangun dari pembaca hingga pada akhirnya penulis berharap skripsi ini dapat bermanfaat bagi para pembaca khususnya mahasiswa Jurusan Etnomusikologi.

Medan, Juli 2015

(9)

9

1.2Pokok Permasalahan ... 16

1.3Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 17

1.3.1 Tujuan penelitian ... 17

1.3.2 Manfaat penelitian ... 17

1.4Konsep dan Teori ... 18

1.4.1 Konsep ... 18

1.4.2 Teori ... 21

1.5 Metode Penelitian ... 24

1.5.1 Studi kepustakaan ... 27

1.5.2 Penelitian lapangan ... 27

1.5.3 Penelusuran data online ... 28

1.5.4 Kerja laboratorium ... 28

1.5.5 Lokasi penelitian dan informan ... 29

BAB II MASYARAKAT BATAK TOBA DI KOTA MEDAN ... 31

2.1 Geografis KotaMedan ... 31

2.2 Konsep Adat ... 32

2.3 Religi atau Kepercayaan ... 36

2.4 Konsep Kemasyarakatan ... 40

2.5 Konsep Kekerabatan ... 41

2.6 Persebaran Masyarakat Batak Toba ... 45

2.7 Budaya Musikal Batak Toba ... 50

2.7.1 Musik vokal ... 50

2.7.2 Musik pada upacara perkawinan ... 53

2.7.2.1 Ensambel gondang hasapi ... 54

2.7.2.2 Ensambel gondang sabangunan ... 56

(10)

10

BAB III KAJIAN FUNGSI, KONTINUITAS, DAN PERUBAHAN MUSIK

PADA UPACARA ADAT PERKAWINAN BATAK TOBA ... 60

3.1 Perkawinan Pada Masyarakaat Batak Toba ... 60

3.1.1 Tahapan upacara perkawinan ... 61

3.1.1.1 Martumpol ... 61

3.1.1.2 Proses pemberkatan pernikahan ... 62

3.1.1.2.1 waktu ... 62

3.1.1.2.2 tempat ... 62

3.1.1.2.3 pemimpin upacara ... 62

3.1.1.2.4 jemaat ... 62

3.1.1.3 Proses upacara adat ... 63

3.1.1.3.1 waktu ... 63

3.1.1.3.2 tempat ... 63

3.1.1.3.3 pemimpin upacara ... 63

3.1.1.3.4 peserta upacara ... 64

3.1.2 Tingkatan upacara perkawinan ... 64

3.1.3 Syarat-syarat Perkawinan ... 65

3.2 Sejarah Musik Perkawinan Batak Toba ... 65

3.2.1 Masa pra-kristen ... 65

3.2.2 Masa kristen ... 66

3.2.3 Masa sekarang ... 66

3.3 Fungsi Musik Pada Upacara Perkawinan Adat Batak Toba ... 67

3.3.1 Fungsi pengungkapan emosional ... 67

3.3.2 Fungsi penghayatan estetis ... 68

3.3.3 Fungsi hiburan ... 70

3.3.4 Fungsi komunikasi ... 71

3.3.5 Fungsi perlambangan ... 72

3.3.6 Fungsi reaksi jasmani ... 73

3.4 Musik Pada Upacara Adat Perkawinan Batak Toba Sebagai Kajian Kontinuitas dan Perubahan ... 74

3.4.1 Kajian perubahan musik ... 74

3.4.2 Kajian kontinuitas musik ... 76

BAB IV TRANSKRIP DAN ANALISIS MELODI ... 78

(11)

11

4.2 Analisis ... 81

4.3 Pemilihan Sampel Lagu ... 84

4.4 Model Notasi ... 85

4.6 Analisis Musik Pada Saat Penyerahan Ulos (mangulosi) ... 87

4.6.1 Analisis tangga nada ... 90

4.6.2 wilayah nada ... 90

4.6.3 Nada dasar ... 91

4.6.4 Jumlah nada ... 91

4.6.5 Interval ... 92

4.6.6 Formula melodi ... 94

4.6.6.1 Analisis bentuk, frasa, dan motif ... 95

4.6.7 Kadens ... 97

4.6.8 Kantur ... 98

BAB V PENUTUP ... 101

5.1 Kesimpulan ... 101

5.2 Saran ... 102

DAFTAR PUSTAKA ... 104

DAFTAR WEBSITE ... 105

DATA INFORMAN ... 106

(12)

5 ABSTRAK

Medan merupakan ibukota dari sumatera utara, yang mana di dalamnya terdapat manusia yang memiliki beragam kebudayaan. Salah satunya suku Batak Toba yang ada di kota medan. Upacara adat perkawinan di kota medan telah mengalami perubahan dari yang penulis ketahui melalui buku maupun media lainnya, dahulunya gondang sabangunan merupakan musik pengiring upacara adat perkawinan suku batak toba. Modernisasi yang terdapat di kota medan menjadi salah satu penyebab perubahan yang terjadi dalam musik pada upacara adat perkawinan batak toba, khususnya di kota medan. Masuknya alat musik modern kedalam musik perkawinan menjadi kesatuan yang kompleks dengan alat musik tradisi pada musik perkawinan adat Batak Toba, tanpa menghilangkan nilai tradisinya. Melalui pengamatan awal penulis, pada setiap upacara perkawinan musik yang digunakan selalu berbeda-bed. Ada yang menggunakan musik tiup kombinasi dengan keyboard, ada juga yang menggunakan uning-uningan sebagai musik perkawinan, tergantung kepada si pembuat pesta.

Musik perkawinan pada upacara adat Batak Toba memiliki dua peranan, yaitu pernanan vertikal dan peranan horizontal. Peran vertikal berarti penghormatan kepada Sang Pencipta, peran horizontal berarti penghormatan sesama manusia (secara khusus penghormatan dalam unsur-unsur dalihan na tolu).

(13)

12 BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Setiap masyarakat di dunia pasti memiliki kebudayaan1 yang berbeda dari masyarakat lainnya. Kebudayaan merupakan keseluruhan yang kompleks yang mencakup pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat, dan kemampuan-kemampuan lain, serta kebiasaan yang didapat oleh manusia sebagai anggota masyarakat. Demikian halnya suku Batak Toba, meskipun merupakan bagian dari enam2

Masyarakat Batak Toba memiliki adat istiadat yang diwariskan oleh nenek moyangya dan turun-temurun diwariskan melalui tradisi oral

(oral tradition). Di sini adat istiadat ialah berbagai aktivitas sosial budaya

sub suku Batak. Suku Batak Toba tentunya memiliki kebudayaan sendiri yang membedakannya dari lima sub suku Batak lainnya.

Medan merupakan ibukota dari Sumatera Utara, yang mana di dalamnya terdapat manusia yang memiliki beragam kebudayaan. Masyarakat di Medan terdiri dari beberapa suku, ada suku Batak, Melayu, Jawa, Sunda, dan sebagainya. Terlepas dari keibukotaannya, masyarakat di Medan juga masih melakukan tradisi adat untuk setiap aktivitas kebudayaan, salah satunya masyarakat suku Batak Toba yang terdapat di kota Medan.

1

Kebudayaan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) merupakan hasil kegiatan atau penciptaan batin akal budi manusia seperti kepercayaan, kesenian, adat-istiadat, dan sebagainya.

2

(14)

13

termasuk upacara-upacara kebudayaan yang disepakati menjadi tradisi dan berlaku secara umum di masyarakat. Sementara tradisi adalah segala sesuatu seperti adat, kepercayaan, kebiasaan, upacara dan sebagainya yang secara turun temurun diwariskan

Menurut Aritonang (1988:47), seorang teolog Kristen, adat bagi orang Batak Toba bukanlah sekedar kebiasaan atau tata tertib sosial, melainkan sesuatu yang mencakupi seluruh dimensi kehidupan: jasmani dan rohani, masa kini dan masa depan, hubungan antara si aku (sebagai

mikrokosmos) dengan seluruh jagad raya (makrokosmos). Dengan kata

lain, adat bagi orang Batak Toba adalah sesuatu yang bersifat totalitas (Aritonang 1988:48), yang dapat diartikan sebagai pandangan hidup orang Batak Toba. Adat bermanfaat untuk mencegah bencana, menjaga keharmonisan dan kesuburan tanah, memastikan akan adanya kesinambungan kebutuhan penduduk desa, serta menjaga keutuhan kekerabatan.

(15)

14

keluargayang menyangkut dalihan natolu. Peran-peran dalam upacara perkawinan adat Batak Toba selalau terkait dalam tiga kedudukan utama dalam adat (dalihan natolu)3

Pada masyarakat Batak Toba terdapat dua jenis ensambel musik yang sangat penting, yakni gondang hasapi dan gondang sabangunan. Kedua ensambel musik ini selalu menjadi bagian dari aktivitas upacara ritual dan adat bagi masyarakat Batak Toba dalam mengiringi musik

gondang, seperti gondang mula-mula, gondang somba-somba, gondang

tersebut. Dalam masyarakat Batak Toba hingga sekarang ini, adat dalihan na tolu masih tetap dihargai sebagai asas kehidupan. Asas kehidupan itu tergambar pada falsafah dalihan na tolu, yaitu somba marhula-hula (hormat kepada pihak marga orangtua dari istri [mertua]), elek marboru (sayang kepada pihak marga daripada suami anak perempuan [menantu]), manat mardongan tubu (berhati-hati kepada pihak marga daripada suami [lelaki bersaudara]).

Perkawinan dalam adat Batak Toba tidak terlepas dari musik-musik yang mengiringi proses upacara tersebut berlangsung, yang mana alat musik yang digunakan memiliki peran dalam setiap rangkaian kegiatan upacara adat maka dalam setiap upacara adat dan ritual keagamaan di masyarakat Batak Toba tentu tidak terlepas dari adanya aktivitas musikal.

Aktivitas musikal tersebut memiliki peran dan fungsi dalam setiap bagian

tahapan-tahapan upacara yang dilaksanakan. Pelaksanaan upacara

perkawinan Batak Toba dapat dikatakan sebagai kegiatan yang dianggap

sakral karena ada hubungannya dengan kepercayaan masyarakat kepada

Tuhan.

3

(16)

15

elek-elek, gondang liat-liat dan gondang hasahatan. Dahulunya, musik

yang digunakan untuk upacara perkawinan Batak Toba ialah gondang

sabangunan. Gondang sabangunan lazimnya dimainkan di halaman rumah, baik menggunakan atau pun tanpa panggung. Selain itu gondang

sabangunan juga diletakan di balkon rumah adat yang ada di bagian luar.

Namun di Kota Medan khususnya pada upacara perkawinan, musik

yang digunakan pada umumnya mereka menyebutnya berbeda-beda4, ada

yang menyebutnya sebagai gondang, musik tiup, ataupun uning-uningan.

Dalam bahasa Batak Toba, kata gondang mengandung banyak pengertian,

di antaranya adalah instrumen musikal, ensambel musik, judul sebuah

komposisi musik, judul kolektif dari beberapa komposisi musik

(repertoar)5

4

tergantung kepada konsumen yang melaksanakan upacara perkawinan tersebut menginginkan jenis musik seperti apa yang akan dipakai pada upacara adat yang mereka laksanakan. Banyaknya kasus yang terjadi ketika sebuah gondang yang dikenal dengan judul A dapat disebut dengan judul B di tempat lain.

5

Repertoar ialah komposisi musik yang siap untuk dipertunjukkan.

, tempo pada komposisi suatu rangkaian upacara,

menunjukkan suatu kelompok misalnya kelompok kekerabatan atau pun

tingkat usia, dan bisa juga berarti sebuah doa.

Musik dikebudayaan Batak Toba biasanya digunakan untuk

upacara ritual-adat yang biasanya menyangkut tentang kepercayaan suku

Batak Toba kepada Tuhan Yang Maha Esa, yang menyebabkan musik

perkawinan pada upacara adat perkawinan Batak Toba mempunyai dua

peranan yaitu peranan vertikal dan peranan horizontal. Peranan vertikal

berarti penghormatan kepada sang pencipta, peranan horizontal berarti

penghormatan sesama manusia (secara khusus penghormatan dalam

(17)

16

Musik pada upacara perkawinan juga memiliki peran dan fungsi

dalam setiap rangkaian upacara adat yang dilaksanakan, mulai dari

marhusip, upacar pemberkatan di gereja, dan sampai pada tahap upacara

adat dimana musik itu juga memiliki fungsi seperti dalam teori Allan P.

Meriam bahwa“ethnomusicology as the study of music culture” sehingga dapat disarikan bahwa etnomusikologi adalah lahan kajian studi tentang musik milik kebudayaan suku tertentu baik dari aspek fisik atau materi musiknya maupun konteks budaya masyarakat yang memiliki musik itu sendiri. Dimana dalam hal ini musik dikatakan sebagai fungsi, yaitu dalam hal menyampaikan permohonan kepada Tuhan. Permohonan kepada

Tuhan ini merupakan penyampaian sebuah doa/harapan yang baik kepada

si pengantin.

Salah satu penyebab perubahan musik dalam upacara adat

perkawinan masyarakat Batak Toba ialah modernisasi. Modernisasi suatu

masyarakat merupakan suatu poses transformasi yang meliputi segala

aspek kehidupan. Dilihat dari segi kebudayaan, modernisasi dapat

diartikan sebagai proses pergeseran sikap dan mentalitas sebagian warga

masyarakat yang disebabkan oleh adanya kebutuhan untuk menyesuaikan

diri dengan tuntutan zaman masa kini. Perkembangan zaman

mempengaruhi terjadinya perubahan dalam setiap bagian upacara adat

perkawinan masyarakat Batak Toba.

Masyarakat Batak Toba adalah masyarakat adat yang secara

berkelanjutan mengalami perubahan diberbagai aspek kehidupan.

Perubahan sosial mendorong perubahan produk kebudayaannya yang tidak

(18)

17

yang lebih konkrit dan visual. Dampak perubahan sosial ini

mengakibatkan adanya nilai-nilai tradisi yang tetap berlanjut dan

bertambah.

Zaman yang semakin maju dan berkembang dapat mempengaruhi

keberlanjutan musik tradisi menjadi semakin berkembang atau semakin

menghilang, seperti yang terjadi pada masyarakat Batak Toba yang ada di

Kota Medan.

Alat musik yang di gunakan pada saat upacara pernikahan telah

mengalami perkembangan yang pesat tanpa menghilangkan nilai

tradisinya, masuknya alat musik modern kedalam musik penikahan

menjadi kesatuan yang kompleks dengan alat musik tradisi pada musik

perkawinan adat Batak Toba di kota Medan. Berhubungan dengan hal

tersebut, khususnya pada masyarakat Batak Toba di kota Medan

pelaksanaan upacara adat seperti upacara perkawinan, dalam pengamatan

sementara penulis pada peristiwa budaya, musik sebagai kelengkapan adat

perkawinan penyajiannya telah menggabungkan alat musik barat dengan

alat musik tradisional. Alat musik barat yang digunakan dalam upacara

adat perkawinan tersebut pada umumnya adalah alat musik keyboard,

saxophone, ataupun terompet. Keyboard merupakan salah satu alat musik

yang multifungsi, dimana praktisi atau pemain keyboard tersebut

menggunakan fitur-fitur yang ada didalamnya untuk memprogram atau

menciptakan irama musik yang dibutuhkan, demikian juga dengan

saxophone ataupun terompet. Alat musik keyboard dan saxophone ataupun

(19)

18

tetapi digabungkan dengan alat musik tradisional, yaitu taganing, sulim,

sarune, maupun hesek.

Melalui pengamatan penulis juga pada setiap upacara adat

perkawinan, musik yang digunakan selalu berbeda-beda. Ada yang

menggunakan sulim, keyboard, taganing, ada juga yang menggunakan

musik uning-uningan. Namun semuanya itu, musik perkawinan di kota

medan telah mengalami percampuran dengan alat musik modern.

Muisk tiup atau musik uning-uningan pada upacara adat

perkawinan Batak Toba di kota medan disajikan untuk mengiringi upacara

adat. Upacara adat yang dilaksanakan pada pesta perkawinan adalah

manortor, sehingga penyajian alat musik sangat berperan sebagai

pengiring tor-tor atau sebagai media menyampaikan pesan antar tamu

adat. Ada empat judul gondang yang disajikan didalam mengiringi upacara

adat yang dilaksanakan, yaitu gondang mula-mula, gondang

somba-somba, gondang elek-elek dan gondang hasahatan. Makna dari ke empat

gondang tersebut adalah sebagai sarana untuk menyembah hula-hula,

mangelek boru, dan dipercayai dapat memberi kemakmuran bagi yang

melaksanakan upacara adat.

Dengan demikian, penulis lebih tertarik untuk mengakaji lebih

dalam lagi mengenai perubahan dan kontinuitas yang terjadi dalam musik

perkawinan di Kota Medan dan fungsi dari musik perkawinan itu sendiri.

Maka dari itu, berdasarkan latar belakang tersebut penulis mengangkat

penelitian ini menjadi sebuah tulisan ilmiah dalam bentuk skripsi dengan

memberi judul: “Musik Pada Upacara Adat Perkawinan Batak Toba di

(20)

19

1.2 Pokok Permasalahan

Berdasarkan uraian dari latar belakang tersebut, maka tulisan ini akan

membahas pokok permasalahan sebagai berikut:

1. Bagaimana peran dan fungsi musik pada upacara adat perkawinan Batak

Toba?

2. Bagaimana perubahan dan kontinuitas musik pada adat perkawinan Batak

Toba?

1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian 1.3.1 Tujuan penelitian

Adapun tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Untuk mendeskripsikan peran dan fungsi musik pada pada upacara adat perkawinan Batak Toba.

2. Untuk mendeskripsikan dan menganalisis hal-hal yang melatarbelakangi

terjadinya perubahan dan kontinuitas musik pada adat perkawinan Batak

Toba.

1.3.2 Manfaat penelitian

Adapun manfaat yang diperoleh dan ingin dicapai dalam tulisan ini adalah: 1. Penelitian ini diharapkan dapat member manfaat bagi pembaca, baik yang

(21)

20

2. Sebagai dokumentasi dan sarana literature tentang kontinuitas dan perubahan musikpada upacara adat perkawinan Batak Toba.

3. Sebagai dokumentasi tambahan bagi Departemen Etnomusikologi mengenai fenomena budaya Batak Toba.

4. Sebagai syarat untuk mendapatkan gelar Sarjana di Depertemen Etnomusikologi Universitas Sumatera Utara.

1.4 Konsep dan Teori 1.4.1 Konsep

Konsep adalah kesatuan pengertian tentang suatu hal atau persoalan yang perlu dirumuskan. Konsep juga merupakan rancangan ide atau pengertian yang diabstrakkan dari peristiwa konkret (Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, 1991 : 431). Untuk memperjelas konsep yang akan penulis gunakan dalam penulisan skripsi ini, maka sebaiknya perlu dijelaskan 3 (tiga) hal pokok yang menjadi topik utama dalam pembahasan yakni mengenai kajian fungsi, kontinuitas, dan perubahan.

Kajian merupakan kata jadian yang terbentuk dari kata “kaji” yang berarti mengkaji, mempelajari, memeriksa, mempertimbangkan secara matang, dan mendalami.Dari keterangan tersebut, dapat diketahui bahwa pengertian kata “kajian” dalam hal ini adalah suatu penelitian atas pemeriksaan yang dilakukan dengan teliti (Badudu, 1982: 132).

(22)

21

bentuk kontinuitas dapat dilihat dari keberlanjutan alat musik tradisional yang masih dipakai pada upacara perkawinan. Dimana dengan adanya fenomenamusik, konsep/ide musik tersebut masih terus berlanjut namun telah terjadi variasi.

Perubahan dalam suatu kebudayaan wajar terjadi, karena tidak ada kebudayaan yang tidak berubah melihat dari zaman yang dari tahun ketahun semakin berkembang. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2005:1234), kata perubahan berarti; hal (keadaan) berubah, peralihan, pertukaran. Dalam bahasa inggris perubahan disebut change, misalnya perubahan sosial atau sosial change, artinya perubahan dalam kemasyarakatan yang mempengaruhi sistem sosial suatu masyarakat yang berhubungan dengan nilai-nilai, dan perilaku di antara kelompok manusia (Yandianto, 2000:656; Abdulsyani, 1995:83).

(23)

22

Gondang dalam masyarakat Batak Toba artinya menunjuk

seperangkat alat musik (instrumen) tradisional yang dipergunakan pada saat menari (manortor) dalam suatu upacara. Tetapi istilah gondang juga dipakai untuk komposisi lagu, serta jenis tarian/tortor yang dibawakan kerabat6

1. instrumen musik,

dalam upacara. Dengan demikian gondang menunjuk pada pengertian:

2. komposisi dan repertoar (untaian komposisi lagu), 3. jenis tortor7

Dalam hal ini perubahan yang terjadi pada musik yang digunakan pada upacara perkawinan Batak Toba dimana musik yang digunakan telah mengalami perubahan, bahwa yang awalnya musik pada upacara perkawinann Batak Toba menggunakan gondang sabangunan yaitu taganing, sarune, gordang, ogung ihutan, ogung oloan, ogung panggora,

ogung doal dan hesek, arti kata lain masih menggunakan alat musik tradisi

Batak Toba. Sedangkan pada masa kini gondang sabangunan tersebut telah mengalami perkembangan yaitu dengan bertambahnya alat musik modern seperti keyboard, saxophone, atau terompet. Jadi ada keberlanjutan dan perubahan yang terjadi itu ada pada musik upacara perkawinan masyarakat Batak Toba.

kerabat.

Bagi masyarakat Batak Toba, khususnya yang berada di kota medan, hadirnya keyboard, saxophone, ataupun terompet menjadi suatu keuntungan dalam pelaksanaan upacara adat maupun hiburan seperti yang sering dilihat pada acara pesta perkawinan sekarang ini.

6

karena musik gondang dan tortor merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan dalam pelaksanaan upaccara pesta adat. (Emmi Simangunsong, hal. 83)

7

(24)

23 1.4.2 Teori

(25)

24

pengintegrasian masyarakat. Namun Soedharsono lebih memperkecil fungsi seni untuk memudahkan penulis menganalisis fungsi upacara tersebut.

Menurut Soekanto, perubahan terjadi karena usaha masyarakat untuk menyesuaikan diri sesuai kebutuhan situasi dan kondisi yang timbul sejalan dengan pertumbuhan masyarakat (Soekanto 1992:21). Suatu kebudayaan tidaklah bersifat statis, melainkan selalu berubah dengan kemajuan zaman sebab kebudayaan bukanlah suatu hal yang lahir hanya sekali (Ihromi 1987:32).

Herskovits dalam Merriam mengemukakan bahwa perubahan dan kelanjutan (kontinuitas) merupakan suatu tema yang digunakan untuk memahami sifat stabil dan dinamis yang melekat dalam setiap kebudayaan. Berkaitan dengan fenomena ini, teori kebudayaan secara umum mengasumsikan bahwa setiap kebudayaan beroperasi dalam kerangka waktu yang terus mengalami kelanjutan, dimana variasi-variasi dan perubahan yang terjadi adalah hal yang tidak dapat dielakkan (Merriam 1964:303).

(26)

25

Sependapat dengan uraian tersebut, Koentjaraningrat (1965:135) juga mengemukakan tentang salah satu faktor yang menyebabkan perubahan kebudayaan, yaitu: inovasi (innovation) adalah suatu proses perubahan kebudayaan yang besar tetapi yang terjadi dalam waktu yang tidak terlalu lama. Proses ini meliputi satu penemuan baru, jalannya unsur itu disebarkan ke lain bagian masyarakat dan cara unsur kebudayaan tadi diterima, dipelajari, dan akhirnya dipakai dalam masyarakat yang bersangkutan. Kemudian Lauwer juga berpendapat bahwa terjadinya suatu perubahan dapat diakibatkan oleh adanya akulturasi (acculturation), dimana akulturasi disini mengacu pada pengaruh suatu kebudayaan lain atau saling mempengaruhi antara dua kebudayaan yang mengakibatkan terjadinya suatu perubahan (1989:402). Perubahan kebudayaan adalah perubahan yang terjadi dalam sistem ide yang dimiliki bersama oleh sejumlah warga masyarakat yang terdapat dalam aturan-aturan atau nomra-norma, nilai-nilai, teknologi, selera dan rasa keindahan atau kesenian dan bahasa. Perubahan kebudayaan bisa mencakup salah satu unsurnya dan mempengaruhi unsur-unsur kebudayaan lainnya, atau juga dapat merubah seluruh unsur-unsur kebudayaan tersebut. (Suparlan, 2004:24).

Gondang sabangunan pada kebudayaan Batak Toba khususnya

(27)

26

mengatakan bahwa sikap menerima dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu: faktor kebutuhan, keuntungan langsung yang dapat dinikmati, senang pada satu hal yang baru, dan sifat inovatif yang ingin berkreasi. Ada juga sikap menolak yang disebabkan oleh anggapan bahwa hal-hal yang baru tersebut merugikan, atau bertentangan dengan tata nilai yang dianut sebelumnya.

Kontinuitas merupakan perwujudan dari pelestarian dan regenerasi terhadap masalah yang digarap untuk mencapai pengembangan yang diharapkan. Pada ranah sosiologis, kontinuitas diwujudkan dalam bentuk kesepahaman komunitas untuk melakukan pemberdayaan atas masalah yang diangkat ke dalam penetapan yang diinginkan secara representatif menghasilkan perilaku budaya, respons internalisasi pengembangan yang diharapkan dalam mencapai tujuan yang menjadi komitmennya.

Gondang sabangunan merupakan music rakyat (folk music) yang

dipelajari secara oral oleh seniman Batak Toba telah mengalami kontinuitas dan perubahan dalam musiknya, hal ini diungkapkan oleh Bruno Nettl dan Gerald Behague (1991:4) yang mengatakan bahwa:

“…in a folk or nonliterature..a song must be sung, remembered, and taught by one generation to the next. If this does, not happen, it dies and is lost forever. There is another alternative: if it is not accepted by it’s audience, it may be change to fit the need and desires of the people who perform and hear it.

(28)

27

berikutnya. Jika hal itu tidak terjadi maka lagu atau musik tersebut akan hilang atau punah. Tetapi ada alternative lain, jika lagu atau musik tersebut tidak diterima oleh penonton (audiens), hal ini mungkin dapat diubah atau diberi inovasi untuk disesuaikan dengan kebutuhan dan keinginan orang-orang yang mempertunjukkan atau mendengarnya.

1.5 Metode Penelitian

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1990:581), metode penelitian diartikan sebagai suatu cara mencari kebenaran dan azas-azas alam, masyarakat atau kemanusiaan yang bersangkutan. Dalam kaitan ini Hasan (1985:7) mengatakan metode merupakan cara atau sistematika kerja untuk memahami objek yang menjadi sasaran ilmu yang bersangkutan.

Menurut Caplin (1989:301), metode adalah prosedur sistematis yang tercakup dalam upaya menyelidiki suatu fakta atau konsep. Metode penelitian dapat diartikan dalam beberapa disiplin ilmu tertentu. Di dalam ilmu-ilmu sosial, objek pengamatan dan penelitian yang merupakan dasar dari pengetahuan ilmiah adalah gejala-gejala masyarakat yang lebih khusus, terdiri dari kejadian-kejadian kongkrit.

(29)

28

menjaring data (informasi) yang bersifat sewajarnya mengenai suatu masalah dalam kondisi aspek atau bidang kehidupan tertentu pada objeknya.

Menurut Nettl (1964:62-64) ada dua hal yang esensial untuk melakukan aktivitas penelitian dalam disiplin Etnomusikologi yaitu kerja lapangan (field work) dan kerja laboratorium (desk work). Kerja lapangan ini meliputi pemilihan informan, pendekatan dan pengumpulan data, pengumpulan dan perekaman data, latar belakang perilaku sosial ataupun mempelajari seluruh pemakaian musik. Sedangkan kerja laboratorium meliputi pengolahan data yang didapat dari lapangan, menganalisis dan membuat hasil dari keseluruhan data-data yang diperoleh.

Di dalam tulisan ini penulis menggunakan metode penelitian deskriptif yang bersifat kualitatif. Kualitatif yaitu prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang diamati (Bongdan dan Taylor dalam Moleong, 1989:3).

Dalam mengumpulkan data-data di lapangan penulis mengacu kepada teknik penelitian yang diungkapkan oleh Curt Sachs dalam Nettl (1964:62) yang mengatakan bahwa:

(30)

29

Menurut Curt Sachs penelitian dalam etnomusikologi ada dua hal yang esensial, yaitu: kerja lapangan (field work) dan kerja laboratorium

(desk work). Kerja lapangan ini meliputi pemilihan informan,

pendekatan dan pengumpulan data, pengumpulan dan perekaman data, latar belakang perilaku sosial ataupun mempelajari seluruh pemakaian musik. Sedangkan kerja laboratorium meliputi pengolahan data yang didapat dari lapangan, menganalisis dan membuat hasil dari keseluruhan data-data yang diperoleh.

Penelitian ini akan menggunakan metode yang diungkapkan oleh Curt Sachs, namun belum melakukan kerja lapangan (field work) dan kerja laboratorium (desk work) penulis akan melakukan studi kepustakaan terlebih dahulu. Adapun studi pustaka ini untuk pengumpulan data dalam awal penelitian.

1.5.1 Studi Kepustakaan

Dalam mengumpulkan awal penulis melakukan studi kepustakaan. Studi kepustakaan perlu dilakukan untuk mengumpulkan data-data dan sumber bacaan yang mendukung penelitian. Sumber bacaan ini dapat berupa buku-buku, skripsi etnomusikologi, jurnal, maupun bacaan-bacaan yang diperlukan dalam mendukung penelitian.

(31)

30

Traditional Music Of The Western Continents, Worlds Of Music,

Etnomusikologi, Pluralitas musik Etnik Batak Toba, Mandailing, Melayu,

Pakpak-Dairi, Angkola, Karo, Simalungun, dan beberapa buku lainnya.

Studi kepustakaan ini juga dilakukan terhadap topik-topik lain yang berkaitan dengan skripsi ini antara lain sosiologi dan topik tentang kebudayaan masyarakat Batak Toba.

1.5.2 Penelitian Lapangan

Sumber data utama dalam penelitian kualitatif ini adalah kata-kata atau tindakan selebihnya yang berfungsi sebagai data tambahan seperti dokumen dan lain-lain (Lonfland dan Lonfland dalam Meleong, 1989). Selain kata-kata atau tindakan perekaman audio ataupun materi musik juga menjadi sumber data yang utama dalam penelitian ini.Dalam kerja lapangan penulis melakukan wawancara untuk mendapatkan informasi yang akurat tentang tulisan ini. Sebelum melakukan wawancara terlebih dahulu penulis menyiapkan segala sesuatu yang dibutuhkan di dalam melakukan wawancara, yaitu: menyusun pertanyaan, mempersiapkan alat-alat tulis, menyediakan alat perekam untuk merekam hasil wawacara dengan informan.

1.5.3 Penelusuran Data Online

(32)

31 1.5.4 Kerja Laboratorium

Seluruh data yang diperoleh penulis dari lapangan dan studi kepustakaan, kemudian dianalisis kembali di dalam kerja laboratorium. Penulis akan melakukan seleksi data, analisis data, dan mengelompokkannya sesuai dengan informasi yang penulis harapkan. Proses analisis data penelitian dimulai dengan menelaah keseluruhan data yang diperoleh. Analisis data dilakukan mulai awal penelitian dan berlangsung sampai pada saat proses penulisan laporan peneliti an selesai. Begitu juga dengan data yang berbentuk gambar, penulis akan mencantumkannya dalam tulisan ini. Data yang tidak bersifat musikal diolah kemudian dan dituliskan dalam bentuk tulisan atau karya ilmiah. Selama proses pengolahan data, penulis juga melakukan diskusi-diskusi dengan para dosen pembimbing dan teman-teman yang ada di Departemen Etnomusikologi.

1.5.5 Lokasi Penelitian dan Informan

(33)

32 Untuk pemilihan informan8

8

Lihat lampiran

penulis memilih para budayawan, musisi (pargonsi) atau seniman tradisional Batak Toba yang ada di kota medan yang menurut penulis bisa memenuhi data-data yang akan penulis lakukan dalam hal pengumpulan data melalui wawancara.

BAB II

MASYARAKAT BATAK TOBA DI KOTA MEDAN

2.1 Geografis Kota Medan

(34)

33

pemerintah daerah. Secara geografis, Kota Medan memiliki kedudukan strategis sebab berbatasan langsung dengan Selat Malaka di bagian Utara, sehingga relatif dekat dengan kota-kota atau negara yang lebih maju seperti Pulau Penang Malaysia. Demikian juga secara demografis Kota Medan diperkirakan memiliki pangsa pasar barang/jasa yang relatif besar. Hal ini tidak terlepas dari jumlah penduduknya yang relatif besar dimana tahun 2010 diperkirakan telah mencapai 2.712.236 jiwa. Demikian juga secara ekonomis dengan struktur ekonomi yang didominasi sektor tertier dan sekunder, Kota Medan sangat potensial berkembang menjadi pusat perdagangan dan keuangan regional/nasional.

Letak geografis Kota Medan adalah 3030 – 3043 LU, dan 980 35’-980 44’

BT. Luas Kota Medan saat ini adalah ± 265,10 km2. Kota Medan memilki perbatasan yaitu :

- Sebelah Utara berbatasan dengan Selat Malaka

- Sebelah Selatan berbatasan dengan kecamatan Deli Tua dan Pancur (Kabupaten Deli Serdang)

- Sebelah Barat berbatasan dengan kecamatan Sunggal (Kabupaten Deli Serdang), dan

- Sebelah Timur berbatasan dengan kecamatan Percut Sei Tuan dan Tanjung Morawa (Kabupaten Deli Serdang)

Adapun kecamatan yang terletak di Kota Medan yaitu Kecamtatan Medan

(35)

34

Perjuangan, Kecamatan Medan Tembung, Kecamatan Medan Area, Kecamatan Medan Maimun, Kecamatan Medan Polonia, Kecamatan Medan Selayang, Kecamatan Medan Tuntungan, Kecamatan Medan Johor, Kecamatan Medan Amplas, Kecamatan Medan Denai, Kecamatan Medan Baru, Bandar Udara Polonia. Secara geografsi Medan didukung oleh daerah-daerah yang kaya sumber daya alam, seperti Deli Serdang, Labuhan Batu, Simalungun, Tapanuli Utara, Tapanuli Selatan, Mandailing Natal, Karo, Binjai. Kondisi ini menjadikan Kota Medan secara ekonomi mampu mengembangkan berbagai kerjasama dan kemitraan yang sejajar, saling menguntungkan dan saling memperkuat daerah-daerah sekitarnya.

2.2 Konsep Adat

Adat merupakan aktivitas sosial yang disepakati menjadi tradisi dan berlaku secara umum bagi manusia yang diwariskan oleh nenek moyang sebagai kegiatan sehari-hari. Di dalam adat terdapat unsur hukum, aturan dan tata cara untuk mengatur tentang hubungan manusia dengan manusia. Menurut masyarakat Batak Toba, adat merupakan pemberian

Mulajadi Na Bolon yang harus dituruti oleh makhluk penciptanya. Adat

inilah yang menjadi hukum bagi setiap orang tentang cara kehidupan untuk membedakan yang baik dan yang buruk.

(36)

35

pemberian Mulajadi Na Bolon sebagai perintah yang harus dituruti dan bermula dari kebiasaan adat yang dilaksanakan oleh sekelompok masyarakat. Maka dari itu tertanam oleh masyarakat Batak Toba bahwa apabila adat ditaati dan dilaksanakan maka orang tersebut dipercaya akan mendapat berkah, sedangkan orang yang tidak menaati adat tersebut akan mendapat bala (hukum tersirat). Menurut Aritonang, seorang teolog kristen (1988:47), adat bagi orang Batak Toba bukanlah sekedar kebiasaan atau tata tertib sosial, melainkan sesuatu yang mencakup seluruh dimensi kehidupan: jasmani dan rohani, masa kini dan masa depan, hubungan antara si aku (sebagai mikrokosmos) dengan seluruh jagad raya

(makrokosmos).

(37)

36

pengembangan mitos dalam kehidupan bersama dan penerapannya dalam segala seluk beluknya kehidupan (Pasaribu, 1986:61).

Adat merupakan seperangkat norma yang diturunkan dari nenek moyang, yang berulang-ulang atau yang teratur datang kembali, lalu kembali menjadi suatu kebiasaan atau menjadi hal yang biasa (Schreiner, 1994:18). Pola-pola kehidupan yang tampak dalam bentuk pergaulan sehari-hari, pembangunan rumah, upacara perkawinan, upacara kematian, semuanya dipelihara, dilaksanakan dan diatur menurut adat (ibid, 1994:20).

Kebudayaan Batak Toba merupakan sebuah bentuk gagasan yang diwarisi oleh masyarakat pemiliknya dengan membuat perilaku terhadap nilai-nilai budaya. Konsep masyarakat Batak Toba tentang kehidupan manusia, adalah bahwa kehidupan masyarakat Batak Toba selalu terkait dan diatur oleh nilai-nilai adat. Adat dalam suku Batak Toba merupakan bagian yang harus dipatuhi dan dilakukan. Dalam praktek pelaksanaan adat Batak Toba, realita di lapangan terdapat empat (4) kategori adat yang dilakukan:

1. komunitas masyarakat Batak Toba mempunyai sistem hubungan adat yang tersendiri, menunjuk kepada setiap komunitas mempunyai tipologi9

9

Tipologi adalah ilmu yang mempelajari tentang pengelompokkan berdasarkan tipe atau jenis (pembagian budaya menurut suku bangsa)

(38)

37

2. Adat diyakini sebagai norma yang mengatur hubungan antar manusia, yang dipengaruhi oleh aturan dan norma yang sudah berlaku dalam masyarakatnya. Seiring pula dengan aturan perundang-undangan dan hukum agama yang telah membudaya dan juga sering dianggap sebagai bagian dari adat isitiadat. Peraturan perundang-undangan dan hukum agama banyak mengatur kehidupan norma masyarakat secara rinci dan detail, memperkecil peranan adat dalam mengatur norma sosial dan kehidupan bermasyarakatnya.

3. Pola hubungan antar manusia dalam kelompok masyarakat Batak Toba berubah secara terus menerus, sehingga pelaksanaan adatnya juga mengalami perubahan sesuai kebutuhan tanpa melihat sisi ruang dan waktu.

(39)

38

keturunan selanjutnya dalam beberapa generasi. Karena prinsip adat Batak bersumber dari keilahian yang diturunkan nenek moyang orang Batak, maka setiap orang Batak yang menjalankan adat adalah orang-orang yang bersekutu dengan nenek moyangnya.

2.3 Religi atau Kepercayaan

Menurut kepercayaan orang Batak dalam mitologinya, segala hal di dalam kehidupan selalu ada sangkut pautnya dengan keilahian yang dipercaya sebagai karya Mula Jadi Nabolon. Dalam cerita turun temurun, mitologi dalam kepercayaan masyarakat Batak Toba ini yaitu adanya tiga oknum dewa masing-masing Batara Guru, Soripada dan Mangala Bulan sebagai aspek dari Mulajadi Nabolon yang memiliki otoritas di bumi untuk mengatur kehidupan manusia (Situmorang, 2009:21).

Dalam beberapa tulisan konsep mitologi ini berbeda dengan konsep yang diungkapkan oleh Sitor Situmorang tentang “tri tunggal” Dewa orang Batak. Dalam tulisan lain, Tampubolon menyebut ketiga Dewa itu bukanlah implisit dari jelmaan Mula Jadi Nabolon, melainkan tiga dewa yang berdiri sendiri yaitu 1) Mulajadi Nabolon, 2) Debata Asi-asi dan 3)

Batara Guru yang sesuai dengan pekerjaannya di Bumi. Mulajadi Nabolon

diyakini sebagai pencipta dari alam semesta untuk alam yang besar

(Nabolon), dan menciptakan dewa-dewa yang lebih rendah. Debata Asiasi

(40)

39

Mitologi Batak pada umumnya disampaikan melalui cerita dari mulut ke mulut (tradisi lisan), biasanya pemberitaan seperti ini sukar untuk dipercaya. Hal ini terbukti dari banyaknya beredar cerita-cerita dongeng di kalangan bangsa Batak. Lebih lanjut Warneck membenarkan bahwa hampir semua suku bangsa memiliki dongeng, yang tidak memiliki hubungan satu sama lain. Masing-masing berdiri sendiri (Hutauruk, 2006:8)

Ajaran agama Batak yang terdapat dalam mitologi Batak ini, diperjelas oleh Batara Sangti menyebut ketiga dewa (sama dengan versi Situmorang) pemilik otoritas kedewaan dengan konsep pekerjaan ketiga dewa tersebut mengatur tata kehidupan manusia. Dalam legenda Siboru

Deak (Deang) Parujar dalam tonggotonggo (doa) yang disampaikan pada

Mula Jadi Nabolon menyebut: Debata Natolu, Natolu Suhu, Naopat

Harajaon. Sangti menguraikan pekerjaan dan tugas keempat oleh Debata

Asi-asi yaitu menolong manusia dengan bersusah payah dan berkorban.

Dewa ini berfungsi sebagai: naso pinele jala naso sinomba (yang tidak disaji dan tidak disembah) sebagai tugas keempat dimaksud dari na opat

harajaon (Sangti, 1977:279).

(41)

40

Misalnya, pahean (pakaian) yang dikenakan dipergunakan nantinya setelah roh sebagai pakaian yang membungkus dari rasa dingin, dan

ringgit sitio suara (uang) untuk kebutuhan perjalanan menempuh

perjalanan ‘jauh’ dari dunia nyata ke dunia maya atau benda-benda lainnya yang dibutuhkan dalam dunia roh. (ibid. 1978:10).

Dari beberapa versi cerita kehidupan orang Batak dapat disimpulkan, bahwa orang Batak pada zaman keberhalaan sudah mempercayai adanya Allah yang satu yang disebut Mulajadi Na Bolon yang menjadi sumber dari segala yang ada. Orang Batak kala itu percaya ada kekuatan besar Debata yang menjadikan langit dan bumi dan segala isinya. Juga memelihara kehidupan secara terus menerus. Debata Mulajadi

Na Bolon adalah sebagai ilahi yang tidak bermula dan tidak berakhir. Dia

adalah awal dari semua yang ada.

Dalam konsep Batak, seluruh kehidupan tertuju pada daya dan upaya untuk mencapai kepemilikan sahala. Sahala dalam filsafat Batak sangat besar pengaruhnya dalam segala gerak hidup orang Batak, dan semua orang Batak harus mempunyai sahala. Penafsiran sahala menurut Warneck adalah kewibawaan hidup, kekayaan akan harta benda dan keturunan, kemuliaan yang mencakup kebijaksanaan, kecerdikan, kecerdasan, kekuasaan, keluhuran budi pekerti. Hal ini terus dilakukan oleh orang Batak secara turun temurun. Implementasinya, nampak pada setiap pekerjaan adat dan hubungan kehidupan antara sesama orang Batak. Sehingga sahala adalah wujud dari hagabeon, hamoraon dan hasangapon.

Sahala adalah perwujudan roh (tondi) dalam kehidupan manusia di dunia.

(42)

41

orang-orang penting dan kuat. Tanda utama kepemilikan sahala yang besar adalah ketika seseorang memiliki keberhasilan duniawi. Sahala merupakan sebuah kualitas yang bisa diperoleh bisa juga hilang.

Masyarakat Batak Toba memberi tingkatan hidup pada nilai-nilai kebudayaan dalam tiga kata, yaitu harajaon (kuasa), hamoraon (kekayaan)

dan hasangapon (kehormatan).

Harajaon menunjukkan bahwa tujuan setiap manusia adalah

berdiri sendiri secara merdeka dan mengelola hidup dengan wibawa dan kuasanya. Setiap orang Batak (laki-laki), selalu mempunyai keinginan menjadi seorang raja. Pengertian menjadi raja adalah seorang yang dapat mengatur hidupnya sendiri tanpa bantuan orang lain. Oleh karena itu dianggap penting untuk membentuk rumah tangga sendiri, karena rumah tangganya adalah awal dari usaha-usaha untuk mendirikan ke”raja”annya sendiri.

Hamoraon menunjukkan bahwa tujuan dalam hidup seorang Batak

adalah mensejahterakan kehidupan. Anggapan tradisional, pengertian kesejahteraan lebih dianggap sama dengan banyak memiliki anak, ladang yang luas dan ternak yang banyak. Kepemilikan ini dianggap sebagai hasil karena memiliki seorang Batak memiliki sahala sebagai raja.

Hasangapon merupakan tujuan dari usaha-usaha untuk

(43)

42

dan hasangapon, berarti seseorang tesebut telah menjadi pribadi yang

sempurna.

Sistem dalihan na tolu mencegah pembentukan kelas-kelas sosial yang kaku. Selalu ada hula-hula yang harus dipelihara dan dihormati. Oleh karena itu, masyarakat Toba memiliki ciri egaliter yang kuat, dibandingkan misalnya dengan masyarakat jawa. Sifat ini tidak berarti bahwa masyarakat Toba bebas dari hirarki gender, pada umumnya perempuan menempati posisi rendah dibanding laki-laki.

2.4 Konsep Kemasyarakatan

Koentjaraningrat (1995:110) mengatakan bahwa stratifikasi sosial orang Batak dalam kehidupan sehari-hari dapat dibedakan menjadi empat (4) prinsip yaitu:

1. Perbedaan tingkat umur. Yakni, sistem pelapisan sosial masyarakat Batak Toba berdasarkan perbedaan tingkat umur ysng dapat dilihat dalam sistem adat istiadat. Dalam pesta adat, orang-orang tua yang tingkat umurnya lebih tinggi, akan lebih banyak berbicara atau disebut raja adat.

2. Perbedaan pangkat dan jabatan. Sistem pelapisan sosial berdasarkan perbedaan pangkat dan jabatan ini dapat dilihat pada perbedaan harta dan keahlian yaitu pada keturunan raja-raja, dukun, pemusik (pargonsi) dan juga pandai-pandai seperti besi, tenun, ukir dan lain-lain.

(44)

43

marga Simatupang. Maka secara otomatis turunan marga Simatupang ini lebih berhak atas jabatan kepemimpinan di daerah tersebut seperti Kepala Desa atau yang di luar jabatan pemerintahan. Demikian juga halnya dalam hak ulayat dalam pemilikan tanah.

4. Status kawin adalah sistem pelapisan sosial berdasarkan status kawin dapat dilihat di dalam kehidupan sehari-hari yaitu pada orang Batak yang sudah berkeluarga. Mereka sudah mempunyai wewenang untuk mengikuti acara adat atau berbicara dalam lingkungan keluarganya, dan biasanya orang Batak yang sudah berkeluarga akan menjaga wibawanya dalam adat ataupun dalam kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu sangat besar arti perkawinan pada masyarakat Batak Toba.

2.5 Konsep Kekerabatan

Pembagian kelompok keturunan bagi masyarakat Batak diyakini berasal dari satu nenek moyang yang sungguh-sungguh ada, dan atau karena anggapan mitologi seperti disebutkan dalam pembahasan di atas. Garis keturunan yang disandang oleh setiap orang Batak sekarang ini berasal dari satu sumber yang secara eksklusif ditarik lurus dari pihak laki-laki (keturunan agnatic, patrilineal atau laki-laki). Garis patrilineal ini dipakai guna menentukan status keanggotaan dalam sebuah kelompok yang dinamai marga10

10

Marga adalah nama pertanda dari keluarga mana seorang berasal. Nama marga dalam keluarga umumnya terletak di belakang, sehingga sering disebut dengan nama belakang. Marga turun-temurun dari kakek kepada bapak, kepada anak, kepada cucu, kepada cicit, dan seterusnya. (www.id.wikipedia.org/wiki/marga)

(45)

44

melalui laki-laki saja, dan karena itu mengakibatkan bahwa bagi tiap individu dalam masyarakat semua kaum kerabat ayahnya masuk kedalam batas hubungan kekerabatannya, sedangkan semua kaum kerabat ibunya jatuh diluar batas itu”11

Adat Batak Toba mendorong seseorang segera menikah setelah masa pubertas dan bagi laki-laki menikah dianggap sebagai sebuah tugas.

. Sehingga, kelompok marga Batak adalah sebuah organisasi keluarga yang luas. Kekerabatan dari kelompok keturunan bagi orang Batak banyak dijumpai menurut wilayah kediaman masyarakat Batak Toba. Mereka membentuk grup-grup menjadi sebuah kelompok marga (descent group) sebagai kesatuan sosial. Kesatuan yang diakui (de

facto) oleh umum.

Sejak dulu sampai sekarang, masyarakat Batak Toba dalam beberapa hal merupakan masyarakat yang patriakal. Dalam masyarakat tradisional, posisi perempuan seringkali sulit. Jika seorang perempuan telah melahirkan banyak anak

laki-laki dan satu anak perempuan akan sangat dihargai, tetapi jika perempuan tidak melahirkan anak laki-laki akan dianggap rendah. Karena sistem marga diambil dari anak laki-laki, seorang laki-laki yang tidak memiliki anak laki-laki tidak dapat mengabadikan marganya. Keadaan ini dianggap sebagai rasa malu yang besar dan laki-laki itu didesak untuk memiliki istri lagi, karena anak-anak membawa kebanggaan dalam sebuah marga, biasanya laki-laki yang memiliki kekayaan sering memiliki lebih dari satu istri. Karena marga adalah eksogamus, maka perkawinan antara orang-orang dari marga yang sama dianggap tabu.

11

(46)

45

Sistem marga Batak Toba bersifat hirarkis, dalam arti bahwa marga ( hula-hula), yang telah memberikan anak perempuannya agar dinikahi marga yang lain dianggap lebih tinggi dari pada marga yang menerima isteri tersebut (boru). Di pihak lain, marga yang lebih tinggi juga berhubungan dengan marga-marga yang lain yang telah memberikan anak-anak perempuan kepada mereka, yaitu yang dianggap lebih tinggi. Tiga marga adalah marga milik seseorang (dongan sabutuha, teman dari satu rahim),

hula-hula dan boru disebut dalihan na tolu, yang merujuk pada tiga batu

yang diletakkan dibawah tungku untuk memasak. Dalam hal ini tidak seorang pun berada diatas karena setiap orang memiliki hubungan dengan sebuah marga yang mereka anggap lebih tinggi.

Sistem kekerabatan keluarga Batak Toba, tidak dapat dipisahkan dari filsafat hidupnya dan merupakan suatu pranata yang tidak hanya mengikat seorang laki-laki dan seorang wanita, akan tetapi mengikat suatu hubungan yang tertentu yaitu kaum kerabat dari pihak laki-laki atau kaum kerabat dari pihak perempuan. Seluruh pihak yang masuk dalam lingkaran kerabat Batak Toba, masing-masing memiliki nama sebutan panggilan yang menunjukkan status kekerabatan. Filsafat hidup kekerabatan inilah yang disebut Dalihan Na Tolu (tungku nan tiga) yang terdiri dari:

1. Hula-hula atau dinamai parrajaon (pihak yang dirajakan) yaitu marga ayah

mertua seorang laki-laki yang memberinya istri. Yang termasuk hula-hula bukan hanya pihak mertua dan golongan semarganya tetapi juga bona ni ari yaitu marga asal nenek (istri kakek) ego lima tingkat ke atas atau lebih, tulang yaitu saudara laki-laki ibu, yang terdiri dari tiga bagian yaitu bona

(47)

46

saudara), tulang ro robot (ipar dari tulang), lae atau tunggane (ipar) yang termasuk di dalamnya anak dari tulang anak mertua, mertua laki-laki dari anak, ipar dari ipar, cucu ipar; bao (istri ipar) yaitu istri ipar dari pihak hula-hula mertua perempuan dan anak laki-laki, anak perempuan dari tulang ro

robot; paraman dari anak laki-laki, termasuk di dalamnya anak ipar dari

hula-hula, cucu pertama, cucu dari tulang, saudara dari menantu perempuan,

paraman dari bao; hula-hula hatopan yaitu semua abang dan adik dari

pihak hula-hula.

2. Boru yaitu marga yang menerima anak perempuan sebagai istri, yang termasuk di dalamnya namboru (bibi) yang terdiri dari iboto ni ama niba (saudara perempuan bapak), mertua perempuan dari saudara perempuan, nenek dari menantu laki-laki; amang boru (suami bibi) yang termasuk di dalamnya mertua laki-laki dari saudara perempuan, kakak dari menantu laki-laki; iboto (saudara perempuan) yang termasuk di dalamnya putri dari namboru, saudara perempuan nenek, saudara perempuan dari abang atau adik kita; lae (ipar) yang termasuk di dalamnya saudara perempuan, anak namboru, mertua laki-laki dari putri, amang boru dari ayah, bao dari saudara perempuan. Boru (putri) yang termasuk di dalamnya boru tubu (putri kandung), boru ni pariban (putri kakak atau adik perempuan), hela (menantu), yang termasuk di dalamnya suami dari putri, suami dari putri abang atau adik kita, suami dari putri; bere atau ibebere (kemenakan) atau anak dari saudara perempuan; boru natua-tua yaitu semua keturunan dari putri kakak kita dari tingkat kelima.

3. Dongan Sabutuha atau dongan tubu yaitu terdiri dari namarsaompu artinya

(48)

laki-47

laki dari satu marga. Setiap orang Batak Toba dapat terlihat dalam posisi sebagai dongan tubu, hula-hula dan boru terhadap orang lain. Terhadap

hula-hula-nya, dia adalah boru. Sebaliknya, terhadap boru dia merupakan

hula-hula dan terhadap garis keturunannya sendiri dia merupakan dongan

tubu.

Penyebutan kata somba marhula-hula, elek marboru, manat

mardongan tubu adalah salah satu semboyan yang hidup hingga saat ini

pada masyarakat Batak Toba yang mencerminkan keterkaitan hubungan ketiga sistem kekerabatan ini. Artinya hula-hula menempati kedudukan yang terhormat diantara ketiga golongan fungsional tersebut. Boru harus bersikap sujud dan patuh terhadap hula-hula dan harus dijunjung tinggi. Hal itu tampak dari filosofi yang dianut tentang ketiga golongan ini.

Hula-hula, mata ni mual si patio-tioon, mata ni ari so husoran artinya hula-hula

adalah sumber mata air yang selalu dipelihara supaya tetap jernih dan matahari yang tidak boleh ditentang. Hula-hula diberi sebutan sebagai debata na tarida atau wakil Tuhan yang dapat dilihat, karena merupakan sumber berkat, perlindungan dan pendamai dalam sengketa. Elek marboru artinya hula-hula harus selalu menyayangi borunya dan sangat pantang untuk menyakiti hati dan perasaan boru. Manat mardongan tubu artinya orang yang semarga harus berperasaan seia sekata dan sepenanggungan sebagai saudara kandung dan saling hormat menghormati.

(49)

48

masyarakat Batak Toba, secara otomatis berlaku fungsi dalihan na tolu, dan selama orang Batak Toba tetap mempertahankan kesadaran bermarga, selama itu pulalah fungsi dalihan na tolu tetap dianggap baik untuk mengatur tata cara dan tata hidup masyarakatnya.

2.7 Persebaran Masyarakat Batak Toba

Persebaran masyarakat Batak Toba dimulai ketika badan zending masuk ke tanah Batak yang membuka isolasi wilayah Batak. Keterkungkungan yang lama menyelimuti tanah Batak selama berabad-abad yang diterima sebagai suatu kebiasaan oleh masyarakat ini. Bahkan mereka memproteksi diri dari kehidupan lain diluar sistem sosio kemasyarakatan yang sudah terbangun pada orang Batak Toba.

Badan zending yang membuka isolasi ini melalui pendidikan yang ditularkan melalui pengajaran agama Kristen, akhirnya membuahkan hasil dengan timbulnya minat orang Batak melakukan persebaran ke seluruh pelosok. Pendidikan yang ditanamkan oleh missionaris agama Kristen di tanah Batak diyakini sebagai satu cara membuka cakrawala baru untuk mengenal dunia luar lebih jauh yang sekaligus dapat memberikan hasil dalam meningkatkan kesejahteraan hidupnya, dan pendidikan itu dipandang sebagai sarana untuk mengatasi kemiskinan dan meningkatkan status ekonomi dan sosial.

(50)

49

sosial. Karena anggapan bahwa seorang guru lebih tinggi kedudukan sosialnya dari seorang petani.

Dengan terbentuknya berita dari para missionaris tentang adanya kehidupan lain yang lebih layak di luar wilayah Batak, orang-orang Batak yang sudah mengecap pendidikan dari pihak zending ini, mencoba mengadu nasib dan mencari pengalaman baru di tempat yang mereka cari (parserahan). Mereka melakukan perjalanan dengan menyusuri jalan setapak. Untuk tiba di sekitar Sumatera Timur (penyebutan untuk wilayah tanah Simalungun dan pesisir timur Sumatera), orang-orang Batak yang tinggal di Toba Na Sae (tanah Batak Toba yang luas) harus dengan menyusuri tepian Danau Toba dengan sampan dari Balige menuju Tigaras dan berjalan kaki menuju Pematang Siantar melalui Tiga Dolok.

Selain pilihan untuk dapat keluar dari tanah Batak menuju Sumatera Timur, masih ada peluang untuk keluar walau dengan resiko perjalanan yang berat dan berbahaya. Misalnya, alternatif jalan menuju Padang sebagai pelabuhan internasional ketika itu, dapat dilalui dari Sibolga dengan kapal barang. Hal ini pernah terjadi dengan adanya orang-orang Batak Toba berkediaman di tanah Minang pada tahun 1900-an dan orang Batak yang ada di Jawa diyakini berangkat dengan kapal api dari Padang, atau dengan masuknya tentera Paderi pada tahun 1820-an ke tanah Batak pada saat perang Paderi/Bonjol.

(51)

50

untuk dapat keluar dari tanah Batak. Rute lain yang dipilih adalah melalui jalan menyusuri sungai Asahan dari pesisir timur menuju kawasan Danau Toba di Porsea.

Jalan raya yang menghubungkan tanah Batak ke Sumatera Timur baru dibuka pada tahun 1915 melalui Sibolga, Sipirok, Tarutung, Balige, Porsea, Parapat, Tiga Dolok menuju Pematang Siantar (Cunningham, 1958:85). Dengan dibukanya jalan raya itu, percepatan perpindahan orang Batak menuju daerah lain semakin tampak. Salah satu sumbernya adalah informasi dari anggota keluarga Batak yang sudah tiba lebih dahulu di tanah-tanah garapan mereka. Persebaran masyarakat Batak Toba ke daerah lain untuk mengejar tingkat perekonomian yang lebih baik, tidak hanya dilakukan oleh kalangan yang berpendidikan saja, tetapi adalah juga para petani-petani yang hanya mengandalkan semangat dan pengetahuan pertaniannya. Mereka rela meninggalkan kampung halamannya, dan kewajiban bekerja sebagai rodi yang diterapkan pemerintah kolonial Belanda di kampungnya. Untuk kepergiannya, mereka mau membayar pajak rodi sebesar 3 (tiga) gulden ditambah pajak dan ongkos ganti rugi pekerjaan rodi selama setahun. Perpindahan orang Batak ke daerah lain untuk menetap adalah pilihan untuk meningkatkan taraf ekonomi mereka (Sangti, 1977:180)

(52)

51

orang Batak dari berbagai latar belakang daerah di bona pasogit, mereka menyatukan persepsi untuk membuat adat Batak itu dapat diterima oleh komunitas mereka sendiri, tanpa melihat daerah asal mereka. Mereka menjalankan adat Batak dengan seperti apa yang dilakukan orang Batak di bona pasogit, termasuk dalam pemakaian musik untuk mengiringi upacara-upacara adat Batak mereka. Masyarakat Batak Toba dewasa ini yang berada di Simalungun, menempati hampir semua daerah yang ada di Simalungun. Mereka hidup berkelompok di Pematang Siantar, Perdagangan, Kerasaan, Serbelawan, Dolok Sinumbah, Bah Jambi, Maria Bandar, Panei Tongah, Saribudolok, Tiga Dolok, Tiga Balata, Tanah Jawa, Parapat dan daerah lain.

Di Medan, sekitar tahun 1920-an perubahan dominasi etnik mulai berubah. Orang-orang Batak yang ada di Medan mulai memunculkan diri dengan hasil pekerjaan mereka yang cukup memuaskan sekaligus memperlihatkan identitas mereka. Selain di Medan, di kota besar lainnya, seperti Jakarta, orang Batak juga menunjukkan identitas mereka. Mereka-merka ini adalah orang-orang yang ulet dan pekerja keras, sehingga kelompok etnis lain heran mendapati bahwa orang-orang yang tertib dan pandai yang mereka kenal ternyata adalah orang Batak. Walaupun orang Batak merupakan kaum minoritas kecil di kota-kota, tetapi sangat berpengaruh pada saat itu, hal ini juga menyebar ke Tapanuli Utara dan Selatan. (lihat Hasselgren, 2008:48)

(53)

52

ada di Jakarta adalah seorang pemuda Batak Kristen alumni sekolah Seminari Pansurnapitu Tarutung yang menjadi guru di Batavia bernama Simon Hasibuan, dia sudah berada di Batavia pada tahun 1907 (Sihombing, 1962:65). Setahun kemudian terjadi eksodus orang Batak dalam mencari pekerjaan ke Batavia dengan menempuh perjalanan sendiri.

Komunitas pertama orang Batak yang tinggal di Batavia, berada di kawasan Sawah Besar dengan membentuk perkumpulan Batak Kristen Protestan sebagaimana mereka dahulunya di Tapanuli (Hasibuan, 1922:61). Bagi orang Batak yang datang ke Batavia, awalnya ditampung oleh orang Batak pertama datang ke daerah itu, secara estafet perlakuan itu tetap dipergunakan dalam menyatukan dan membentuk komunitas Batak di Jakarta. Hingga pada tahun 1917, kumpulan orang Batak Kristen sudah melakukan kebaktian sebagai upaya penyatuan semua orang Batak yang berada di Jakarta sebanyak 50 orang, dan berkembang sangat pesat hingga saat ini.

(54)

53

Hal yang perlu dicatat, adalah adanya orang Batak yang sudah bermukim di luar negeri. Orang Batak pertama yang berada di Eropa tercatat pada tahun 1876 bernama Djaogot, dia dibeli oleh Pdt. Van Asselt sebagai budak yang kemudian dikirim ke luar negeri untuk menimba ilmu di sana. Setelah itu terdapat beberapa nama yang juga menetap di luar negeri baik itu dengan alasan untuk melanjutkan studi ataupun mencari pekerjaan misalnya, M.H Manullang seorang putra Tarutung melanjutkan sekolahnya di Senior Cambridge Singapura antara tahun 1907-1909. Tahun 1920-an sudah ada beberapa orang Batak yang menjadi guru di sana. Tahun 1927 seorang Kristen Batak tamatan sekolah Zending asal Sipirok, yakni A. Batubara berangkat ke Singapura untuk mencari pekerjaan. Tahun 1930, Bintatar W.F Napitupulu asal Sangkarnihuta Balige pindah ke Malaya dan bekerja di Ipoh sebagai pegawai Lindeteves.

Sementara itu, pulau Batam juga menjadi tujuan orang-orang Batak Toba dalam mencari pekerjaan. Berdasarkan statistik HKBP, warga HKBP di pulau Batam dan Singapura tahun 1991 sebanyak 5.629 jiwa (Almanak HKBP 1994:370). Pada tahun 2011, masyarakat Batak yang bermukim di pulau Batam dan Tanjung Pinang dengan statistik terdaftar sebagai penduduk menetap sebanyak 68.126 jiwa.13

2.8 Budaya Musikal Batak Toba 2.8.1 Musik vokal

(55)

54

tradisional, pengklasifikasiannya ditentukan oleh kegunaan dan tujuan lagu tersebut yang dapat dilihat berdasarkan liriknya. Ben Pasaribu (1986 : 27-28) membuat pembagian terhadap musik vokal tradisional Batak Toba dalam delapan bagian, yaitu:

1. Ende mandideng, adalah musik vokal yang berfungsi untuk menidurkan anak

(lullaby).

2. Ende sipaingot, adalah musik vokal yang berisi pesan kepada putrinya yang

akan melangsungkan pernikahan. Biasanya dinyanyikan pada waktu senggang saat menjelang pernikahan.

3. Ende pargaulan, adalah musik vokal yang secara umum merupakan “solo

chorus”, dan dinyanyikan oleh kaum muda-mudi dan daam waktu senggang,

biasanya malam hari.

4. Ende tumba, adalah musik vokal yang khusus dinyanyikan sebagai pengiring

tarian hiburan (tumba). Penyanyinya sekaligus menari dengan melompat-lompat dan berpegangan tangan sambil bergerak melingkar. Biasanya ende tumba ini dilakukan oleh para muda-mudi atau remaja di alaman (halaman kampung) pada malam terang bulan.

5. Ende sibaran, adalah musik vokal yang menggambarkan cetusan penderitaan

seseorang yang berkepanjangan. Penyanyinya adalah orang yang menderita tersebut, dan biasanya dinyanyikan di tempat yang sepi.

6. Ende pasu-pasuan, adalah musik vokal yang berkaitan dengan

(56)

55

7. Ende hata, adalah musik vokal berupa lirik yang diimbuhi ritem yang

disajikan secara monoton, seperti metric speech. Liriknya berupa rangkaian pantun dengan bentuk pola “aa bb” yang memiliki jumlah suku kata yang sama. Biasanya dimainkan oleh kumpulan anak-anak yang dipimipin oleh seseorang yang lebih dewasa atau orang tua.

8. Ende andung, adalah musik vokal yang bercerita tentang riwayat hidup

seseorang yang telah meninggal, yang disajikn pada saat atau setelah disemayamkan. Dalam ende andung alunan melodi biasanya muncul secara spontan sehingga penyanyinya haruslah penyanyi yang cepat tanggap dan terampil dalam sastra yang menguasai beberapa motif-motif lagu yang penting untuk jenis nyanyian ini.

Demikian juga Hutasoit yang dikutip oleh Ritha Ony membagi kelompok musik vokal menjadi tiga jenis, yaitu :

1. Ende namarhadohoan, yaitu musik vokal yang diyanyikan untuk acara-acara

namarhadodoan (resmi)

2. Ende siriakon, yaitu musik vokal yang dinyanyikan oleh masyarakat Batak

Toba dalam kegiatan sehari-hari.

3. Ende sibaran, yaitu musik vokal yang dinyanyikan dalam kaitannya dengan

berbagai peristiwa kesedihan atau dukacita.

(57)

56

Berikut ini adalah pembagian jenis musik vokal Batak Toba oleh Jan Harold Brunvand yang dikutip oleh Ritha Ony (1983:13). Jenis musik vokal tersebut sebagai berikut :

1. Nyanyian kelonan (lullaby), yaitu musik vokal yang mempunyai irama halus, tenang, berulang-ulang, ditambah dengan kata-kata kasih sayang sehingga dapat membangkitkan rasa kantuk bagi sianak yang mendengarkan. Contoh:

Mandideng.

2. Nyanyian kerja (work song), yaitu musik vokal yang mempunyai irama dan kata-kata yang bersifat menggugah semangat,sehingga dapat menimbulkan rasa gairah untuk bekerja. Contoh : Luga-luga solu.

3. Nyanyian permainan (play song), yaitu musik vokal yang mempunyai irama gembira serta kata-kata yang lucu dan selalu dikaitkan dengan permainan. Contoh : Sampele-sampele.

4. Nyanyian yang bersifat kerohanian atau keagamaan, yaitu musik vokal yang teksnya berhubungan dengan kitab Injil, legenda-legenda keagamaan, atau pelajaran-pelajaran keagamaan. Contoh : Metmet ahu on

5. Nyanyian nasehat, yaitu musik vokal yang liriknya berisi nasehat tentang bagaimana pola bertingkah laku yang baik. Contoh : Siboruadi.

6. Nyanyian mengenai hubungan berpacaran dan pernikahan, yaitu musik vokal yang liriknya biasanya mengungkapkan kebiasaan muda-mudi yang sedang bercinta dan akan melanjutkan ke jenjang pernikahan. Contoh : Madekdek ma

gambiri.

(58)

57

Ada tiga jenis enasambel musik yang umum dipakai pada upacara adat perkawinan batak toba di kota medan dahulu dan sekarang, yaitu: ensambel

gondang hasapi, ensambel gondang sabangunan dan musik.

2.8.2.1Ensambel gondang hasapi

Secara umum ensambel yang lazim digunakan untuk upacara adat perkawinan namun masa sekarang hampir tidak digunakan lagi penggunaanya pada upacara perkawinan. Instrumen yang dipakai dalam ensambel ini terdiri dari: hasapi doal, sarune etek, garantung, mengmung, hesek.

(a) Hasapi doal, instrumen ini sama dengan hasapi ende namun dalam

permainannya hasapi doal berperan sebagai pembawa ritem konstan. Ukuran instrumen hasapi doal lebih besar sedikit dari hasapi ende.

Gambar 1. Hasapi doal

(b) Sarune etek, adalah instrumen pembawa melodi yang memiliki reed

(59)

58

Gambar 2. Sarune etek

(c) Garantung, adalah instrumen pembawa melodi yang terbuat dari kayu dan

memiliki lima bilah nada. Klasifikasi instrumen ini termasuk ke dalam kelompok xylophone. Selain berperan sebagai pembawa melodi, juga berperan sebagai pembawa ritem variable pada lagu-lagu tertentu, dimainkan dengan cara mamalu.12

Gambar 3. Garantung

(d) Mengmung, adalah instrumen pembawa melodi konstan yang memiliki

tiga senar. Senarnya terbuat dari kulit bamboo tersebut. Klasifikasi instrumen ini bisa dimasukkan kedalam kelompok idiochordophone.

12

Gambar

Gambar 1. Hasapi doal
Gambar 3. Garantung
Gambar 4. Sarune bolon
Gambar 5. Taganing
+7

Referensi

Dokumen terkait

Penulis tesis ini memerikan keterkaitan antara peran penutur dan ragam bahasa dalam upacara adat perkawinan masyarakat Batak Toba.. Prinsipnya, kebiasaan kegiatan adat

Pada saat ini upacara adat perkawinan Batak Toba telah berubah seperti tahapan mangalehon tanda hata ( pemberian tanda burju) sudah jarang dilaksanakan, marhori- hori

SEKULERISASI LAGU-LAGU ROHANI PADA PELAKSANAAN UPACARA ADAT PERKAWINAN ETNIS BATAK TOBA DI JEMAAT.. GEREJA

Keberadaan Alat Musik Keyboard Dan Sulim Pada Upacara Adat Perkawinan Batak Toba Di Kecamatan Sosorgadong Kabupaten Tapanuli Tengah (Tinjauan Terhadap Bentuk,

Penelitian ini akan mengungkapkan bahwa: pertama, alasan masyarakat Batak Toba di Binjai memilih menggunakan musik keyboard dan menggunakan repertoar musik populer adalah karena

Penelitian ini akan mengungkapkan bahwa: pertama, alasan masyarakat Batak Toba di Binjai memilih menggunakan musik keyboard dan menggunakan repertoar musik populer adalah karena

Sebelum ajaran agama Kristen muncul pada kebudayaan masyarakat batak toba, musik yang digunakan dalam upacara adat kematian saur matua adalah satu set ensambel Gondang sabangunan

PERANAN DALIHAN NATOLU SEBAGAI MEDIATOR DALAM PENYELESAIAN SENGKETA PERKAWINAN ADAT BATAK TOBA.. Permasalahan Yang Sering Timbul dalam Perkawinan Adat