• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - Marhata Dalam Upacara Adat Perkawinan Batak Toba

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - Marhata Dalam Upacara Adat Perkawinan Batak Toba"

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Bahasa memiliki berbagai fungsi dalam penggunaannya. Salah satu di antaranya adalah sebagai alat interaksi sosial atau alat komunikasi manusia. Budaya kita mencakup kumpulan konsep yang kaya untuk menggolong-golongkan bagian-bagian interaksi sosial, yang menggambarkan pentingnya interaksi sosial dalam masyarakat.

Percakapan tidak dapat terlepas dari unit-unit aktivitas sosial. Dalam aktivitas sosial tersebut, keterlibatan penutur dan mitra petutur dalam sebuah percakapan akan dipengaruhi oleh nilai dan norma yang berlaku. Nilai dan norma itu diperoleh melalui proses pelembagaan yang dilakukan oleh lingkungan tempat penutur dan petutur melakukan aktivitas percakapan. Nilai dan norma itu membawa konsekuensi bagi penutur dan petutur untuk melakukan proses-proses produksi linguistik yang diwujudkan dalam performansi bahasa tertentu.

▸ Baca selengkapnya: pembagian jambar adat batak

(2)

sungguh-sungguh dihargai dan dituakan apabila dapat berkomunikasi lisan dengan baik, khususnya dalam marhata „berbicara adat‟ dalam acara-acara adat yang biasanya dikendalikan oleh raja parhata „juru bicara‟. Keberhasilan suatu acara

marhata dalam upacara adat Batak Toba dominan ditentukan oleh seorang juru bicara.

Menjadi seorang juru bicara yang berhasil dan dihargai dalam upacara adat khususnya dalam acara marhata memiliki beberapa kriteria. Pertama, seorang juru bicara harus memiliki kompetensi atau pandai berbicara. Itulah sebabnya, raja parhata itu dilukiskan sebagai „panjaha di bibir, parpustaha di tolonan‟. Secara harafiah raja parhata artinya adalah „pembaca di bibir‟, „pemilik perpustakaan di kerongkongan‟. Jadi, seorang juru bicara adat itu harus profesional

(berpengetahuan luas), bahkan harus pandai pula menangkis serta menerangkan apa saja yang ditanyakan kepadanya.

Kedua, seorang juru bicara adat harus memahami nilai-nilai marhata dengan berbagai nilai-nilai sosial budaya di dalamnya. Raja parhata dalam acara adat memegang peranan yang sangat penting dalam pelaksanaan acara adat. Seorang

raja parhata harus memahami hukum adat serta penerapannya. Seorang raja parhata harus memahami segala seluk-beluk adat Batak pada umumnya dan adat yang berlaku bagi rumpun semarganya pada khususnya. Ini tentu menyangkut sejarah suku bangsa Batak itu sendiri, termasuk pemahaman tentang budayanya yang mencakup sistem kekerabatan Dalihan Natolu (DNT), adat-istiadat, silsilah marga, bahasa tutur, penggunaan ulos, pembagian jambar baik jambar hata dan

(3)

maka seseorang harus membedakan bahasa tuturnya ketika bertutur dengan lawan tuturnya. Seseorang dapat menjadi pihak hula-hula dan di sisi lain dia dapat menjadi boru, atau dongan sabutuha. Dalam suatu ulaon (acara adat) sangat penting mengetahui posisi kita ketika marhata apakah sebagai dongan tubu, hula-hula, boru, raja naginokhon, raja panungkun (panise), dan raja pangalusi. Dengan demikian kedudukan seseorang yang dapat berubah dari hula-hula

menjadi boru atau sebaliknya membuat seseorang harus mampu marhata dalam acara adat perkawinan Batak Toba. Dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Batak, bahasa tutur yang digunakan seseorang dalam bertutur dengan orang lain merupakan filsafat kehidupan dan juga menunjukkan bagaimana hubungan kekeluargaannya dan bersikap dengan orang lain. Bahasa tutur marhata yang dipakai pada upacara adat Batak Toba mempunyai ciri-ciri tertentu, yaitu adanya penggunaan umpama dan umpasa yang disampaikan oleh orang tertentu dan dengan

acara adat tertentu. Yang layak menyampaikan umpasa berkat adalah pihak hula-hula

(juru bicara pihak perempuan), orang tua kepada anaknya, dan kakak kepada adik.

Pihak boru tidak dapat menyampaikan umpasa berkat kepada hula-hula, Sihombing

(4)

terjadi perbedaan penerapan adat antara adat Batak Toba Samosir dan adat Batak Toba Humbang, juru bicara harus mampu mengkomunikasikan adat mana yang akan dipakai.

Ketiga, seorang juru bicara adat harus memiliki kesediaan apabila ditunjuk oleh pihak keluarga dari keturunan marga sendiri, dari kelompok marganya maupun dari kelompok marga yang lain . Keputusan untuk bersedia menjadi raja parhata kepada kelompok marga sendiri adalah hal yang biasa, sedangkan keputusan menjadi raja parhata kepada kelompok marga yang lain membutuhkan persiapan yang matang.

(5)

yang terkait. Tidak sedikit juga orangtua, generasi tua Batak menasihatkan agar putra-putrinya sedikit demi sedikit berbahasa Batak, namun nasehat anjuran orangtua dalam hal ini kurang mendapat perhatian kalangan orang muda. Mungkin dianggap kuno, bahasa daerah tidak ada gunanya untuk kelulusan di sekolah. Namun begitu, karena tetap banyak orang Batak menggunakan bahasa Batak sebagai bahasa pengantar atau bahasa komunikasi sehari-hari di rumah, khususnya antara suami-istri, maka pada umumnya anak-anak orang Batak bisa mengerti tetapi tidak bisa mengucapkan.

Faktor yang kelima adalah juru bicara dari keturunan marga yang dekat. Dalam semua acara adat Batak Toba yang besar seperti marhata sinamot, marunjuk, mangadati, mangopoi jabu, mamestahon tambak ni ompu, dan sebagainya, selalu ada pande hata/raja parhata „juru bicara/protokol‟ dari yang punya acara (hasuhutan). Raja parhata biasanyadipilih oleh barisan semarganya. Sebelum suatu acaradimulai selalu ada pertemuan atau rapat singkat dengan

sabutuhanya „semarga‟ yang dilakukan oleh kedua belah pihak mempelai, baik

pihak mempelai laki-laki maupun pihak mempelai perempuan untuk menetapkan siapa di antara mereka yang memimpin acara (raja parhata), baik raja parhata

(6)

ke dalam rumpun marga Napitupulu urutan tingkatannya adalah Simangunsong, Marpaung, Napitupulu, dan Pardede. Rumpun ini dikatakan dengan sonak malela.

Apabila salah satu dari marga ini melangsungkan upacara adat pernikahan, misalnya marga Napitupulu, maka yang menjadi parsinabung (juru bicara) dalam acara marhata adalah marga Pardede/Simangunsong/Marpaung atau bahkan marga Napitupulu itu sendiri. Namun, kadang-kadang sering terjadi bahwa dalam rumpun marga itu sendiri tidak ada yang mampu untuk menjadi juru bicara atau tidak bersedia menjadi juru bicara, maka pihak yang berpesta meminjam juru bicara atau meminta tolong kepada orang lain yang bukan masuk dalam satu turunan atau bukan masuk dalam rumpun marga dekat untuk bertindak sebagai juru bicara dalam acara adat. Juru bicara pada acara marhata pada marga tertentu, misalnya A marga Panjaitan, adalah orang yang sama bila ada pesta marga Panjaitan yang masih turunan marganya (keluarga dekat) dan pesta marga Panjaitan yang merupakan keluarga jauh lainnya.

Disamping kelima faktor di atas, faktor yang tidak kalah pentingnya adalah faktor yang keenam yaitu ketersediaan waktu yang penuh. Seorang juru bicara adat harus memiliki waktu yang cukup banyak karena juru bicara adat adalah orang yang memulai dan menyelesaikan acara adat sampai selesai hingga tujuan tercapai dengan berhasil yang biasanya menghabiskan waktu hingga seharian penuh. Seorang juru bicara tidak dapat meninggalkan tempat ketika acara upacara adat sedang berlangsung

(7)

dikatakan sangat sedikit dibandingkan dengan banyaknya masyarakat tutur yang ada dalam satu turunan atau marga yang masuk dalam rumpun suatu marga atau kelompok marga (semarga) tersebut. Bahkan penutur Batak Toba yang begitu banyak tidak seimbang dengan penutur Batak Toba yang mampu sebagai juru bicara pada acara marhata dalam upacara adat Batak Toba. Masih banyak generasi tua Batak yang tidak mampu marhata dalam Bahasa Batak Toba (BBT) bahkan sebagai juru bicarapun masih banyak yang belum professional menguasi

marhata dalam acara adat. Yang menjadi pertanyaan sekarang adalah jika generasi muda sebagai penerus tidak lagi sanggup bertutur dalam bahasa Batak, dan generasi tua tidak banyak yang mampu marhata pada acara-acara adat, apakah kultur atau budaya marhata dalam upacara adat itu akan punah dengan sendirinya? Enam kriteria menjadi juru bicara adat di atas sangat potensial menjadi sumber masalah. Masalah-masalah tersebut sangat perlu diatasi secara ilmiah melalui penelitian sebab bukan hanya profesi sebagai juru bicara yang wajib mengetahui marhata dalam acara adat tetapi juga seluruh masyarakat Batak Toba wajib mengetahuinya kalau mau mempertahankan budaya marhata dalam upacara adat perkawinan BatakToba itu sendiri. Hal ini sangat perlu diperhatikan dan perlu diatasi agar budaya marhata dalam upacara adat Batak Toba tetap dilestarikan. Oleh karena itu, peneliti tertarik untuk menganalisis acara marhata

(8)

(manjalo tanda), marhori-hori dinding, marhusip, martumpol, marpudunsaut, tonggo raja, dan marunjuk. Dalam setiap peristiwa tersebut ada acara marhata, namun marhata dalam penelitian ini adalah marhata yang telah dipimpin oleh juru bicara yaitu pada peristiwa marhusip, marpudunsaut, dan marunjuk.

Dalam acara marhata ada beberapa aspek yang terjadi, misalnya aspek peralihan topik, gilir bicara, dan pasangan berdekatan atas respon yang diberikan. Aspek pertama ini adalah tentang isi percakapan, yaitu aspek yang memperlihatkan hal-hal seperti topik apa yang didiskusikan, topik apa yang mengarah pada topik lain; apa alasan yang melatarbelakangi hal semacam itu terjadi, dan bagaimana topik-topik tersebut disampaikan. Selain itu, fokus lain dari aspek ini adalah organisasi topik dalam percakapan dan bagaimana topik dikelola, baik disampaikan dengan cara terbuka maupun dengan manipulasi secara tertutup; biasanya dalam bentuk tindak ujar tak langsung.

Berbagai macam topik percakapan menjadi bahan percakapan. Bahkan dalam satu peristiwa percakapan bisa muncul dua atau lebih topik percakapan seperti yang terjadi dalam acara marhata pada upacara adat perkawinan Batak Toba. Dalam acara marhata pada setiap situasi tutur, baik situasi tutur marhusip, marpudunsaut, maupun marunjuk terdapat beberapa topik yang dibicarakan.

Peralihan topik percakapan antara satu topik ke topik lainnya ditandai dengan beberapa indikator seperti indikator pengulangan, penilaian, kesimpulan, dan sebagainya.

(9)

norma/budaya, topik percakapan yang dipilih juga ditentukan oleh faktor situasional. Situasi yang terjadi di sekitar terjadinya percakapan itu mempunyai peranan penting dalam pemilihan topik. Misalnya, marhata dalam situasi

marhusip, biasanya pemilihan topik untuk manise dilakukan oleh dongan sahuta. Kebiasaan di adat Toba, manise (bertanya) itu dilakukan oleh dongan sahuta

(penatua kampung). Pihak perempuan menanyakan kesediaan dongan sahuta

untuk menanyakan kedatangan pihak laki-laki. Namun dalam topik manise ini sering terjadi ketidakteraturan mengenalkan topik tersebut. Kadangkala pada saat

dongan sahuta tidak menguasai materi/tidak pintar bicara untuk manise pihak laki-laki, pengenalan topik manise akhirnya diambil alih oleh juru bicara pihak perempuan dengan mengajukan bentuk pertanyaan, misalnya seperti berikut:

Amangboru, dia ma laklak na, diama unokna, dia ma hatana, dia ma na nidokna

sibegeon dohot sipeopon ni roha. Sebenarnya pengenalan topik ini adalah tugas utama dongan sahuta untuk menanyakan kedatangan pihak laki-laki. Dongan sahuta ‟penatua kampung‟ bukanlah parsinabung (juru bicara) yang sudah biasa atau mapan untuk marhata di dalam upacara adat. Tidak seluruhnya dongan sahuta pandai bicara (marhata). Namun tugas ini harus dilakukan oleh dongan sahuta, sehingga ketika diminta untuk menanyakan kedatangan pihak laki-laki,

dongan sahuta menyerahkan topik manise ini ke juru bicara pihak perempuan. Kadangkala juru bicara yang sudah pernah marhata pun tidak profesional, pintar bicara tetapi tidak menguasai materi.

Belum ada konsep acara atau urutan topik marhata yang baku dalam acara

(10)

percakapan dari suatu situasi tutur (marhusip atau marpudunsaut)ke situasi tutur lainnya (marunjuk) dapat berganti sehingga sering terjadi penambahan waktu karena juru bicara yang baru tidak menguasai materi sebelumnya.

Kedua adalah aspek formal percakapan. Fokus utama dalam aspek ini adalah bagaimana gilir bicara bekerja; aturan-aturan apa yang dipatuhi; dan bagaimana sequencing „keberurutan‟ dapat dicapai (memberikan dan memperoleh

giliran atau mekanisme turn-taking, interupsi, overlap, dan sebagainya) dan . Tidak ada tuturan yang dilaksanakan secara terpisah. Begitu pula, tidak ada tuturan yang mengikuti satu sama lain dalam urutan yang arbitrer. Ketika seorang partisipan berbicara atau membuat kontribusi dalam percakapan dikatakan dia mengambil giliran (taking turn). Giliran tersebut bisa terdiri dari ujaran, dan juga bisa tumpang tindih (overlap).

Tuturan cukup penting bagi masyarakat sehingga perlu diberi perlakuan khusus dalam budayanya, sebagai suatu objek yang harus digolong-golongkan dan dibahas. Menurut Carbaugh (2005:1) setiap percakapan budaya memiliki fungsi. Tata cara bertutur itu berbeda dari satu budaya ke budaya yang lain, bahkan yang paling mendasar sekalipun. Misalnya, di kalangan orang-orang kulit putih Amerika dari kelas menengah terdapat kaidah “tanpa kesenjangan, tanpa tumpang tindih” dalam giliran bertutur (turn-taking). Jika dua orang atau lebih terlibat

(11)

enak”, kemudian seseorang akan mulai berbicara tentang hal-hal yang tidak penting sekadar untuk mengisi “kesenjangan”.

Namun menurut penelitian Reisman (1974), penduduk desa Antiguan (Swedia) biasa melakukan pembicaraan dengan lebih dari satu orang dengan berbicara sekaligus. Dalam komunitas Lapp di Swedia utara, kesenjangan dianggap sebagai bagian dari kebiasaan dalam percakapan. Saville-Troike (1982) mengemukakan, beberapa kelompok Indian Amerika yang menunggu beberapa menit berdiam diri sebelum menjawab pertanyaan atau mengambil giliran berbicara adalah hal yang biasa. Hal ini berbeda dengan tradisi di dalam lingkungan keluarga Jawa, anak-anak muda yang terlibat dalam pembicaraan dengan orang tua mereka, tidak boleh begitu saja menyela tutur orang tua tanpa seizin si orang tua, tanpa diminta untuk berbicara. Kalau pun si anak mempunyai kesempatan karena ada waktu, dia biasanya memulai ujarannya, yang bernada minta izin dengan mengucapkan nuwun sewue,…. (minta beribu maaf).

Dalam budaya Batak Toba, khususnya pada acara marhata upacara adat perkawinan Batak Toba selalu ada dua pihak, yaitu pihat suhut dan pihak unsur DNT serta unsur lainnya. Disamping itu selalu ada raja panise (penanya) dan raja pangalusi (penjawab). Setelah hadirin memahami tujuan yang sesungguhnya, raja panise mempersilahkan tiap unsur berbicara secara bergiliran sesuai dengan urutan kebiasaan DNT. Gilir bicara antara raja panise dan raja pangalusi dalam

(12)

berbeda dengan percakapan bahasa Batak Toba sehari-hari (casual conversation) dimana gilir bicara tidak ditentukan sebelumnya (not pre-allocated). Sacks, Schegloff dan Jefferson tertarik mengkaji sistem gilir bicara dalam percakapan sehari-hari karena anggapan bahwa percakapan sehari-hari merupakan bentuk dasar dari seluruh percakapan. Jika gilir bicara tidak ditentukan sebelumnya, bagaimanakah penutur menentukan penutur berikutnya. Akhirnya mereka menentukan komponen alokasi sistem gilir bicara yang menjadi aturan penentuan pembicara.

Struktur percakapan didasarkan pada kenyataan bahwa dalam kebanyakan interaksi, orang berbicara secara bergantian/bergiliran. Dalam acara adat Batak Toba, khususnya marhata dalam acara perkawinan Batak Toba, juru bicara mempersilahkan tiap unsur DNT berbicara secara bergiliran. Percakapan biasanya bergiliran dari unsur-unsur DNT yaitu dongan sabutuha/ suhut (pihak keluarga dari keturunan bapak), boru (keluarga pengambil perempuan) dan hula-hula

(keluarga pihak perempuan), serta unsur-unsur lainnya. Masyarakat Batak Toba mempunyai sistem adat istiadat tertentu yang berazaskan DNT „tungku yang berkaki tiga‟ disingkat „tungku nan tiga‟. DNT merupakan dasar hidup masyarakat

(13)

tubu, elek marboru, somba marhula-hula” harus diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari.

Dalam suatu percakapan, terdapat juga suatu kecenderungan adanya pembicaraan yang hanya didominansi oleh satu pihak pembicara pada saat tertentu. Dalam acara marhata pada acara adat perkawinan Batak Toba kecenderungan didominasi oleh satu pihak pembicara biasanya terdapat pada acara pembukaan yaitu marsirenggetan (menentukan juru bicara) dimana para penuturnya adalah penutur dari pihak yang sama yaitu pihak laki-laki maupun pihak perempuan.

Ketika terjadi pergantian topik-topik percakapan, terdapat struktur pertukaran percakapan yang harus diperhatikan. Dalam setiap pertukaran percakapan akan diawali oleh pemicu atau inisiasi yang berfungsi sebagai pembuka interaksi. Kemudian, inisiasi tersebut akan diikuti oleh sebuah tanggapan. Tanggapan tersebut merupakan respons dari mitra tutur dalam percakapan. Tanggapan itu akan diikuti juga oleh sebuah balikan yang bersifat manasuka. Misalnya, ketika acara adat Batak hendak selesai juru bicara akan menuturkan umpasa: Sahat-sahat ni solu, sahat ma tu bontean, sai leleng hita mangolu, sahat ma tu panggabean. Kemudian pemicu ini direspon dengan memberikan pasangan berdekatan yang relevan (pasangan yang disukai) dengan mengucapkan Emma tutu yang artinya „demikianlah hendaknya‟. Emma tutu

(14)

penutur yang memberikan umpasa dan penutur lainnya merespon ujaran tersebut dengan memberikan umpasa juga.

Pasangan tuturan yang berdekatan mempertegas langkah-langkah pembuktian terhadap cara-cara partisipan memahami dan membuat pengertian tentang tuturan yang ada, misalnya bentuk pasangan berdekatan (adjacency pairs), salam–salam (greeting–greeting) yang sangat sederhana dan ringkas dalam suku Batak Toba dengan istilah Horas – Horas, yaitu salam khas orang Batak yang berarti „selamat‟, „salam sejahtera‟, yang kerap diucapkan dalam kehidupan

sehari-hari bila dua orang atau lebih bertemu. Horas bisa juga berarti selamat jalan/datang, selamat pagi/siang/malam dan lain lain yang maknanya baik. Karena populernya kata horas, orang-orang non Batak juga sering mengucapkan kata tersebut jika bertemu dengan orang Batak. Padanan kata horas adalah Mejuah-juah (Batak Karo, Batak Pakpak), Yahobu dari daerah Nias, sedangkan Ahoiii!

adalah salam khas daerah pesisir Melayu di Sumatera Utara.

(15)

(delay). Dalam kasus seperti ini, pendengar tidak langsung menjawab pertanyaan, tetapi memberikan pertanyaan yang berbeda, misalnya:

A : Mau penerbangan pertama ? B : Pukul berapa ?

A : Tujuh

B : Baik. Saya ambil itu.

Dalam bagian percakapan tersebut terjadi sela (insertion). Pertanyaan pertama yang diajukan si pembicara tidak langsung dijawab oleh si pendengar, namun si pendengar memberikan pertanyaan yang berbeda. Jawabannya ditangguhkan dengan memberikan pertanyaan yang lain.

Percakapan yang dilakukan sehari-hari baik formal atau informal mengikuti aturan atau pola percakapan yang sudah disepakati oleh kedua belah pihak untuk mencapai tujuan. Marhata dalam upacara adat Batak Toba adalah membicarakan serta mewujudkan tujuan suatu upacara adat perkawinan Batak Toba dengan menggunakan bahasa tutur parhataan yang mempunyai struktur percakapan yaitu adanya peralihan topik, pola gilir bicara dan adanya pasangan berdekatan yang bervariasi. Seperti dikemukakan sebelumnya bahwa dengan peralihan topik yang satu ke topik lainnya terjadi pergantian gilir bicara. Ketika terjadi peralihan topik-topik tersebut terdapat struktur atau pola percakapan.

(16)

1.2 Batasan Masalah

Pelaksanaan upacara adat perkawinan pada setiap kelompok etnis memiliki ciri khas tersendiri. Ada beberapa acara adat dalam upacara adat perkawinan masyarakat Batak Toba yaitu acara menerima kedatangan suhut,

penyerahan tanda makanan adat, penyerahan ikan, makan bersama, membagi tanda makanan adat, menerima sumbangan tanda kasih, dan acara marhata.

Penelitian ini berfokus pada membicarakan bahasa tutur acara marhata

yang digunakan dalam acara adat perkawinan Batak Toba. Dalam kajian ini, ada dua fokus masalah yang dibahas, yaitu (1) pola struktur topik percakapan acara

marhata pada acara adat perkawinan Batak Toba dan (2) mekanisme gilir bicara yang mencakup pasangan berdekatan.

1.3 Rumusan Masalah Penelitian

Masalah penelitian ini adalah acara marhata dalam upacara perkawinan Batak Toba dalam peralihan topik, gilir bicara, dan pasangan berdekatan. Tiga permasalahan ini dirumuskan dalam rumusan sebagai berikut.

1. Bagaimanakah realisasi fungsi bentuk kalimat dalam pengenalan topik

marhata pada situasi tutur marhusip, marpudunsaut, dan marunjuk

upacara adat perkawinan Batak Toba?

2. Bagaimanakah pola gilir bicara acara marhata pada situasi tutur

(17)

3. Bagaimanakah pola pasangan berdekatan yang muncul dalam acara

marhata pada situasi tutur marhusip, marpudunsaut, dan marunjuk

upacara adat perkawinan Batak Toba?

1.4 Tujuan Penelitian

Sekaitan dengan masalah penelitian di atas, tujuan penelitian ini adalah 1. mendeskripsikan realisasi bentuk kalimat dari peralihan topik dalam

acara marhata pada situasi tutur marhusip, marpudunsaut, dan

marunjuk upacara adat perkawinan Batak Toba upacara adat perkawinan Batak Toba,

2. merumuskan pola gilir bicara acara marhata pada situasi tutur

marhusip, marpudunsaut, dan marunjuk upacara adat perkawinan Batak Toba, dan

3. merumuskan pola pasangan berdekatan acara marhata pada situasi tutur marhusip, marpudunsaut, dan marunjuk upacara adat perkawinan Batak Toba.

1.5 Manfaat Penelitian

Temuan penelitian diharapkan memberikan kontribusi keilmuan dan praktis.

1. Manfaat teoretis :

(18)

yakni untuk memperkaya kajian bahasa daerah tentang bahasa tutur yang berkaitan dengan karakteristik percakapan dilihat dari aspek struktur ujaran berdasarkan topik dan gilir bicara (turn taking) yang menggambarkan keteraturan proses percakapan yang direpresentasikan dalam pasangan berdekatan (adjacency pairs).

2. Manfaat praktis:

Temuan penelitian ini diharapkan sebagai masukan/wawasan bagi masyarakat penutur BBT khususnya generasi muda untuk dapat menjadi raja parhata

dalam acara marhata upacara adat perkawinan Batak Toba dengan menggunakan pola-pola bahasa dalam bertutur pada acara marhata.

1.6 Klarifikasi Istilah

Beberapa istilah yang dipakai dalam penelitian ini perlu dijelaskan, seperti Batak Toba, marhata, marhusip, marpudunsaut, marunjuk, peralihan topik, pasangan berdekatan, dan gilir bicara.

1. Batak Toba

Secara administratif wilayah tempat tinggal Batak Toba terdiri dari suku bangsa Batak Toba yang meliputi 4 kabupaten yaitu Kabupaten Tapanuli Utara, Kabupaten Humbang Hasundutan, Kabupaten Toba Samosir, dan Kabupaten Samosir Batak Toba. Masyarakat Batak Toba yang melakukan acara marhata

(19)

2. Gilir bicara

Gilir bicara adalah suatu proses berinteraksi untuk melakukan hak dan kewajibannya untuk berpartisipasi dalam kegiatan yang interaktif (Sacks, Schegloff, dan Jefferson: 1974).

3. Marhata

Marhata ialah dialog secara resmi diantara dua pihak yaitu pihak orangtua mempelai wanita dan pihak orangtua mempelai pria yang biasanya didahului

dengan acara makan bersama. Marhata ialah membicarakan serta mewujudkan tujuan setiap upacara adat dengan menggunakan bahasa tutur parhataan,

(Pardede, T. Bertha, 1981:7). 4. Marhusip

Marhusip adalah situasi tutur yang membicarakan secara resmi oleh utusan kedua belah pihak menyangkut kelanjutan rencana pernikahan yang dilakukan sebelumnya secara tidak resmi (marhori-hori dinding) yang dilakukan setelah ada negosiasi awal dengan kedua belah pihak.

5. Marpudunsaut

Marpudunsaut yaitu situasi tutur yang membicarakan masalah uang (mahar) atau besarnya uang perkawinan sebagai pengesahan atau penguatan hasil perundingan pada saat acara marhusip yang dihadiri oleh pihak kerabat pria dalam jumlah yang terbatas datang kepada kerabat wanita secara resmi.

6. Marunjuk

Marunjuk adalah peristiwa puncak dari seluruh rentetan peristiwa (marhusip dan

(20)

7. Pasangan berdekatan

Pasangan berdekatan adalah sebuah urutan dari dua ujaran yang berdekatan, yang dihasilkan oleh penutur yang berbeda, berurutan dari bagian pertama dan kedua, sehingga bagian pertama membutuhkan bagian kedua atau serangkaian bagian kedua (Sacks dan Schegloff pada Schiffrin :1994:236).

Referensi

Dokumen terkait

Perkawinan dalam adat Batak Toba tidak terlepas dari musik-musik yang mengiringi proses upacara tersebut berlangsung, yang mana alat musik yang digunakan memiliki peran dalam

SEKULERISASI LAGU-LAGU ROHANI PADA PELAKSANAAN UPACARA ADAT PERKAWINAN ETNIS BATAK TOBA DI JEMAAT.. GEREJA

karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul MAKNA SIMBOLIK DALAM PEMBERIAN ULOS PADA PERKAWINAN ADAT BATAK TOBA: KAJIAN ANTROPOLINGUISTIK.. Penulis

Debora (2014) dalam skripsinya yang berjudul Makna Simbolik Upacara Adat Mangulosi (Pemberian Ulos) pada Siklus Kehidupan Masyarakat Batak Toba di Kecamatan

Modernisasi yang terdapat di kota medan menjadi salah satu penyebab perubahan yang terjadi dalam musik pada upacara adat perkawinan batak toba, khususnya di kota medan.. Masuknya

Data yang dianalisis adalah percakapan sehari-hari dalam bahasa Batak Toba sebagai data pembanding dengan data yang diambil dalam percakapan bahasa adat

Begitu juga dengan Tindakan Komunikatif yang terjadi pada saat pernikahan Adat Batak Toba, Dalam setiap tindakan yang dilakukan dalam Upacara Pernikahan Adata

Perkawinan dalam adat Batak Toba tidak terlepas dari musik-musik yang mengiringi proses upacara tersebut berlangsung, yang mana alat musik yang digunakan memiliki