• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Teoretis - Marhata Dalam Upacara Adat Perkawinan Batak Toba

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Teoretis - Marhata Dalam Upacara Adat Perkawinan Batak Toba"

Copied!
70
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Tinjauan Teoretis

Penelitian ini menyajikan analisis percakapan sebagai wacana lisan untuk kepentingan interaksional yang berupa percakapan dalam bahasa Batak Toba dengan topik marhata pada upacara adat perkawinan Batak Toba. Istilah analisis percakapan digunakan untuk menggambarkan kegiatan yang disampaikan dari perspektif disiplin ilmu yang sangat luas. Eggin and Slade (1997:23) menyatakan bahwa terdapat beberapa perspektif dalam menganalisis percakapan sebagai interaksi lisan dalam kehidupan sehari-hari yaitu etnometodology, sociolinguistic, logico-philosophic, structural-functional, dan social semiotic.

Dari perspektif etnometodology, pendekatan analisis percakapan merupakan bagian kajian wacana. Kajian sosiolingusitik merujuk pada tiga pendekatan, yaitu ethnography of Speaking, Interactional Sociolinguistics, dan Variation Theory. Logico-philosophic berhubungan dengan teori tindak tutur (Speech Acts) dan pragmatik (Pragmatics). Structural-functional menggambarkan dua pendekatan seperti Birmingham School dan Systemic Functional Linguistics, dan Social-Semiotic mengacu pada Critical Discourse Analysis.

2.1.1 Analisis Percakapan

(2)

atau mengelola kehidupan mereka sehari-hari. Teori analisis percakapan memfokuskan perhatiannya pada interaksi dalam percakapan seperti berbagai gerakan oleh komunikator dan bagaimana mereka mengelola dan mengatur urutan pembicaraan sebagaimana yang terlihat jelas pada perilakunya. Eggins and Slade (1994:25), dalam Anderson dan Sharrock, 1987) mengatakan bahwa analisis percakapan berfokus pada percakapan karena percakapan merupakan sumber yang mudah diperoleh untuk kajian budaya.

Analisis percakapan merupakan salah satu pendekatan yang digunakan dalam menganalisis percakapan. Pada umumnya analisis percakapan mengkaji kegiatan-kegiatan sosial, bagaimana kegiatan-kegiatan tersebut dikoordinasikan atau disusun, bertujuan menjelaskan aturan, struktur, dan urutan bentuk interaksi. Fokus utama dalam aspek analisis percakapan adalah bagaimana percakapan bekerja, aturan-aturan apa yang dipatuhi, bagaimana struktur percakapannya, dan bagaimana urutan pola interaksi baik dalam percakapan institusi maupun dalam percakapan biasa.

(3)

interpretasi percakapan yang urutan interaksinya teratur (Hutchby dan Wooffitt, 2008:12).

2.1.2 Etnography of Speaking

Istilah etnography of speaking awalnya diperkenalkan oleh seorang pakar antropologi dan sekaligus pakar linguistik Amerika, Dell Hymes (dalam Gladwin, T. dan Sturtevant, W.,1982; juga dalam Fishman, J., 1968). Istilah itu kemudian diubah oleh penulisnya menjadi etnography of communication, karena istilah ini dianggap lebih tepat. Menurut Hymes para pakar ilmu sosial memisahkan diri dari isi tutur, dan pola penggunaan tutur (1974:126). Etnografi komunikasi akan mengisi kesenjangan itu dengan menambahkan hal lain (pertuturan atau komunikasi) terhadap topik-topik garapan bidang antropologi bagi pemerian etnografis, dan mengembangkan kajian linguistik. Linguistik yang lebih lengkap akan dikaitkan bagaimana penutur menggunakan struktur tersebut.

Tradisi etnografi komunikasi yang dikembangkan oleh Hymes (1972) menggunakan pendekatan linguistik konteks budaya yang antara lain melihat tutur sebagai bagian dari interaksi sosial (1987:.4), memusatkan perhatian kepada alat-alat penutur tutur (means of speaker) yang mencakup informasi mengenai khasanah bahasa lokal, keseluruhan dari berbagai varietas, dialek, dan gaya yang dipakai dalam komunitas. Menurut Gumperz (1982), pakar etnografi komunikasi harus menyadari sepenuhnya, bahwa banyak penggunaan bahasa sebagaimana halnya tatabahasa, adalah “rule governed” (mengandung kaidah). Di dalam

(4)

melainkan melihat peristiwa tutur sebagai satuan-satuan terikat, yang menggambarkan miniatur sistem sosial di mana norma dan nilai (value) merupakan variabel-variabel bebas yang terpisah dari bahasa.

Menurut Hymes (1974) kemampuan berkomunikasi mencakup bagaimana seseorang melibatkan diri dalam percakapan sehari-hari maupun dalam peristiwa tutur lainnya. Peristiwa tutur mengacu kepada aktivitas yang dilakukan dengan menggunakan kaidah-kaidah penggunaan bahasa. Bentuk bahasa yang digunakan dipengaruhi oleh faktor situasional, misalnya, siapa yang berbicara, bagaimana bentuk bahasanya, kepada siapa, kapan, dimana, dan mengenai masalah apa.

2.1.3 Sosiolinguistik Interaksional

Sosiolinguistik interaksional atau sosiolinguistik mikro adalah kajian yang mempelajari penggunaan bahasa sebagai sistem interaksi verbal di antara para penuturnya di dalam masyarakat (Appel 1976:22). Pendekatan sosiolinguistik merupakan bagian kajian dari antropologi, sosiologi, dan linguistik yang memfokuskan perhatian kepada tiga bidang yaitu budaya, masyarakat dan bahasa. Pendekatan ini dipelopori oleh Gumperz (1982) dan Goffman (1959).

(5)

interaksional bahasa tidak hanya dipahami sebagai sistem tanda saja, tetapi juga dipandang sebagai sistem sosial, sistem komunikasi dan sebagai bagian dari kebudayaan masyarakat tertentu. Oleh karena itu, di dalam kajian bahasa dengan ancangan sosiolinguistik senantiasa akan memperhitungkan bagaimana pemakaiannya di dalam masyarakat yang dipengaruhi oleh faktor-faktor tertentu. Faktor-faktor sosial itu, antara lain : status sosial, tingkat pendidikan, umur, tingkat ekonomi, jenis kelamin dan sebagainya

Para pakar sosiolinguistik memfokuskan kajian pada variasi bahasa dan juga perubahan bahasa, misalnya mereka tertarik dalam bagaimana fungsi berbicara dalam menunjukkan kelas sosial, gender, etnik, dan identitas sosial. Disamping itu, beberapa pakar sosiolinguistik tertarik dalam mengkaji percakapan dan monolog; bagaimana penutur menentukan gilir bicara, menentukan topik bicara, tindak tutur seperti perintah dan permintaan, dan juga bagian struktur percakapan seperti permulaan, tengah, dan akhir percakapan.

2.1.4 Pragmatik

(6)

Begitu pula halnya untuk menginterpretasikan pola-pola mekanisme turn-taking atau bagaimana para partisipan dalam percakapan berbagi giliran berbicara (turn-taking) dan pasangan berdekatan dibutuhkan perangkat pragmatik untuk menganalisisnya, terutama yang berhubungan dengan tindak ujar.

Pragmatik merupakan kajian arti atau makna yang timbul dalam pemakaian bahasa oleh pemakai bahasa. Untuk memahami makna pragmatik, penulis mendeskripsikan secara singkat tentang makna pragmatik yang dibuat oleh Yule (1996:3) sebagai berikut :

1. Pragmatik adalah kajian tentang arti yang disampaikan atau dikomunikasikan oleh pembicara (penulis) dan diinterpretasikan oleh pendengar atau pembaca (Pragmatics is the study of speaker meaning). 2. Pragmatik adalah upaya pengkajian makna atau upaya penafsiran atas

apa yang petutur maksudkan dalam konteks tertentu, serta bagaimana konteks berpengaruh terhadap tuturan yang dihasilkan (Pragmatics of the study of contextual meaning).

(7)

Pragmatik adalah ilmu yang mengkaji bahasa berdasarkan sifatnya sebagai alat yang digunakan untuk berkomunikasi. Untuk mengkaji kebiasaan komunikasi di dalam suatu komunitas tutur, seorang peneliti harus mengamati unit-unit interaksi, yaitu situasi tutur (speech situation), peristiwa tutur (speech event), dan tindak tutur (speech act). Menurut Leech (1993: 8) makna pragmatik dapat didefinisikan dalam hubungannya dengan pemakai bahasa atau penutur atau lebih luas lagi dengan situasi-situasi ujar.

Analisis pragmatik mempertimbangkan situasi tutur dan peristiwa tutur. Seperti diuraikan di atas bahwa pragmatik adalah studi kebahasaan yang terikat konteks. Untuk ini Leech (1983:2) mengungkapkan bahwa pragmatik mengkaji makna berdasarkan situasi tutur. Situasi tutur adalah situasi yang dikaitkan dengan tuturan dan tidak ada kaitannya dengan ilmu linguistik, misalnya upacara adat, pertengkaran, percintaan, dan sebagainya. Situasi tutur dalam penelitian ini adalah situasi upacara adat perkawinan Batak Toba.

Peristiwa tutur adalah terjadinya atau berlangsungnya interaksi linguistik dalam satu bentuk ujaran atau lebih yang melibatkan dua pihak, yaitu penutur dan lawan tutur, dengan satu pokok tuturan, di dalam waktu, tempat dan situasi tertentu. Peristiwa tutur berciri komunikatif dan terikat dengan aturan cara bertutur.

(8)

Tuturan merupakan salah satu yang terpenting yang digunakan orang membuat kesan pribadi untuk dinilai orang lain, baik melalui apa yang dikatakannya dan cara dia mengatakannya. Tata cara bertutur (ways of speaking) mengandung gagasan, peristiwa komunikasi di dalam suatu komunitas mengandung pola-pola kegiatan tutur, sehingga kompetensi komunikatif seseorang mencakup pengetahuan tentang pola itu. Tata cara itu mengacu kepada hubungan antara peristiwa tutur dan tindak tutur.

Pragmatik dalam kajian marhata dapat didefinisikan dengan kajian makna atau interpretasi makna bahasa tutur yang diucapkan oleh penutur bahasa Batak Toba (juru bicara dan penutur-penutur lain baik dari pihak laki-laki maupun dari pihak perempuan) dalam berinteraksi dengan beberapa situasi tutur upacara adat perkawinan Batak Toba untuk melihat cara-cara yang digunakan oleh penutur untuk mencapai tujuan.

2.1.5 Teori Tindak Tutur

Teori Tindak Tutur dikemukakan oleh Austin (1962) dan Searle (1969) yang mengatakan bahwa bahasa tidak hanya digunakan untuk mendeskripsikan sesuatu tetapi untuk melaksanakan serangkaian kegiatan yang ditunjukkan dengan ujaran-ujaran.

(9)

Sebagaimana komunikasi bahasa yang dapat berwujud pernyataan, pertanyaan, dan perintah, tindak tutur juga dapat pula berwujud pernyataan, pertanyaan, dan perintah.

Searle (1969:23-24) mengemukakan bahwa secara pragmatis terdapat tiga jenis tindakan yang dapat diwujudkan oleh seorang penutur ,yaitu:

1) Tindak lokusi

Tindak lokusi adalah tindak tutur untuk menyatakan sesuatu (the act of saying something). Tindak tutur ini mengaitkan suatu pemberitahuan dengan satu

keterangan. Dalam tindak tutur ini tidak dipermasalahkan maksud dan fungsi tuturan yang disampaikan si penutur, tetapi bermaksud untuk memberitahu petutur keadaan sebenarnya. Penutur semata-mata hanya untuk menginformasikan sesuatu tanpa tendensi untuk melakukan sesuatu apalagi untuk mempengaruhi lawan tuturnya.

2) Tindak ilokusi yaitu tindak tutur untuk melakukan sesuatu (the act of doing something) dengan maksud dan fungsi tertentu. Pada tindak tutur ini, penutur mengucapkan kalimat tidak dimaksudkan untuk memberitahu penutur saja, tetapi ada keinginan petutur melakukan tindakan di balik tuturan tersebut. Tindak tutur ilokusi mempertimbangkan siapa penutur dan lawan tutur, kapan dan dimana tindak tutur itu terjadi, dan sebagainya.

(10)

Menurut Ibrahim (1993:256), bagian universal teori tindak tutur berhubungan dengan beberapa topik, yaitu 1) struktur umum tindak tutur, 2) struktur umum urutan tindak tutur, 3) dampak institusional umum pada tindak tutur dan urutan tindak tutur, 4) klasifikasi umum tindak tutur, dan 5) kaidah umum untuk melaksanakan interaksi makna non-literal dari makna literal.

Salah satu diantara keuniversalan yang dibahas dalam penelitian ini adalah klasifikasi umum yang terdiri dari 5 jenis yaitu deklaratif, representatif, ekspresif, direktif, dan komisif. Pendekatan yang berbeda untuk membedakan tipe tindak tutur tersebut dapat dilakukan pada struktur dasarnya. Menurut Yule (1996:54) dalam bahasa Inggris, struktur dasar kalimat terdiri atas kalimat deklaratif, interogatif, dan imperatif, sedangkan dilihat dari fungsi komunikasi, kalimat terdiri atas kalimat pernyataan, pernyataan, dan perintah/permintaan. Contoh: 1) a. You wear a seat belt. (Declarative) b. Do you wear a seat belt? (Interrogative)

c. Wear a seat belt. (Imperative)

Menurut Yule (1996:55), apabila ada hubungan langsung antara struktur dan fungsi maka disebut dengan tindak tutur langsung, dan apabila ada hubungan tidak langsung antara bentuk dan fungsi maka disebut tindak tutur tidak langsung. Deklaratif untuk membuat statement disebut ujaran langsung namun deklaratif untuk membuat permintaan disebut ujaran tidak langsung.

2) a. It‟s cold outside.

b. I hereby tell you about the weather.

(11)

Ujaran 2a adalah bentuk deklaratif. Apabila deklaratif tersebut dibuat menjadi pernyataan (statement) seperti yang diparafrasekan dalam kalimat 2b, maka fungsinya adalah sebagai ujaran langsung. Dan apabila digunakan untuk perintah (command)/permintaan (request) seperti kalimat 2c, maka fungsinya berubah menjadi ujaran tidak langsung.

Tidak ada tindak tutur yang dilaksanakan secara terpisah dan tidak ada tindak tutur yang mengikuti satu sama lain dalam urutan yang arbitrer. Pada umumnya benar bahwa tindak tutur diorganisir dalam pola wacana dengan variabel tertentu, misalnya pertanyaan menghendaki jawaban, usulan menghendaki pertimbangan, dan permintaan maaf menghendaki pengakuan.

Menurut Ibrahim (1993:260), konsep yang paling penting untuk berhubungan dengan urutan tindak tutur adalah giliran (turn), gerakan (move), pola tindak tutur, tipe unit dan wacana tutur yang kompleks.

Ketika seorang partisipan berbicara atau membuat kontribusi dalam percakapan, dia dikatakan mengambil giliran. Giliran bisa terdiri dari ujaran minim yang tidak menyusun tindak tutur penuh tetapi bisa juga mengandung serangkaian tindak tutur. Giliran juga bisa tumpang tindih (overlap), tetapi terdapat kecenderungan untuk mengurangi situasi tersebut.

(12)

Sebaliknya, konfirmasi atau jawaban merupakan gerakan reaksi. Tindakan reaksi bisa bersifat menerima topik, menolak topik, dan netral.

Sebuah tindak tutur merupakan potongan tuturan yang dikeluarkan sebagai bagian dari interaksi sosial. Penelitian ini menganalisis percakapan sebagai wacana lisan untuk kepentingan interaksional yang berupa percakapan dalam bahasa Batak Toba dengan topik marhata pada upacara adat perkawinan Batak Toba. Wacana yang demikian ini bersifat sangat unik.

Alih tutur juga merupakan bagian dari sebuah percakapan, yang meliputi bagaimana cara mengambil alih gilir bicara dan bagaimana cara memberikan giliran bicara. Pola tindak tutur yang tidak kalah penting adalah pasangan berdekatan dalam pengertian yang dikemukakan oleh Sack, Schegloff dan Jefferson, seperti tanya-jawab, usulan-pertimbangan, pembukaan-penutupan percakapan. Tetapi seringkali juga terdapat pola-tiga-tempat (three-place-pattern) bahkan juga terdapat pola-empat-tempat (four-place-pattern). Berikut ini adalah contoh prosedur minimal pemahaman pola-tiga-tempat dari ujaran referensi, konfirmasi, dan rekonfirmasi yang diambil dari Ibrahim (1993:263).

(1) A : Kuliahnya diadakan di ruang 14. (2) B : Ah, di ruang 14.

(3) A : Benar, di ruang 14.

Pernyataan terima kasih juga terdiri dari tindakan referensi, ucapan terima kasih, dan pengakuan.

(13)

(3) A : Kembali.

Contoh pertama di atas adalah pola tindak tutur universal, sedangkan contoh kedua dibatasi pada lingkungan kebudayaan tertentu. Pola yang dibatasi pada budaya hanya bisa ditemukan melalui pengkajian fenomena wacana tersebut secara nyata.

Berikut ini contoh bahasa tutur prosedur minimal memulai percakapan dengan pola-empat-tempat (four-place-pattern) yang dimulai dengan gerakan ujaran pertanyaan, reaksi dengan konfirmasi, dan gerakan melanjutkan dengan ucapan terima kasih, dan rekonfirmasi yang dapat dilihat dalam lingkungan budaya Batak Toba pada pesta perkawinan saat marhata (berbicara).

Panise : Rajanami!Nunga boi hita manghatai? Pertanyaan (Penanya) Tuan Raja! Sudah bisakah kita bicara?

Pangalusi : Dos ma rohanta. Konfirmasi

(Penjawab) Satu hatilah kita.

Panise : Mauliate ma! Ia i do rajanami na liat na lolo. Ba manghatai ma (Penjawab) hita rajanami.

Terimakasihlah. Ya itulah Tuan Raja. Bicaralah kita Tuan Raja

Terimakasih

Pangalusi : Ima tutu raja ni boru. Rekonfirmasi (Penjawab) Ya raja ni boru.

2.1.6 Linguistik Fungsional Sistemik

(14)

(1973) yang menggambarkan bentuk bahasa sebagai semiotik sosial yang dielaborasi menjadi interpretasi percakapan yang bersifat semantik fungsional.

Pendekatan sistemik memberikan kontribusi yang besar terhadap analisis percakapan. Pertama, pendekatan sistemik dapat membuat bentuk bahasa yang sistematis, komprehensif, dan menyatu dimana pola/struktur percakapannya dapat dideskripsikan dan digambarkan pada tingkat analisis yang berbeda. Kedua, teori ini menghubungkan bahasa dan kehidupan sosial sehingga percakapan dapat diaplikasikan dalam kehidupan sosial.

Halliday (1994) mengemukakan bahwa dalam percakapan sehari-hari terdapat 3 ikatan makna, yakni makna ideasional, makna interpersonal, dan makna tekstual. Makna ideasional merujuk kepada topik yang sedang dibicarakan, kapan oleh siapa, dan bagaimana transisi topik dan penutup dibuat. Makna interpersonal berfokus kepada jenis hubungan peranan yang dilakukan melalui percakapan. Selanjutnya, makna tekstual adalah makna kohesi yang berbeda yang digunakan untuk merangkai percakapan.

Makna interpersonal menunjukkan tindakan yang dilakukan terhadap pengalaman dalam interaksi sosial. Dalam makna tersebut, istilah aksi digunakan untuk melakukan sesuatu perbuatan atau aksi, seperti membuat pernyataan, pertanyaan, tawaran, dan perintah. Istilah ini setara dengan konsep speech function (Halliday 1994) dan tindak ujar (speech act) yang lazim digunakan dalam tata bahasa formal.

(15)

seseorang dalam percakapan. Misalnya, seseorang bertanya (k2) kepada orang lain karena orang lain punya informasi (k1). Dalam percakapan 1 (satu) ikatan hanya ada 3 (tiga) move seperti dalam contoh berikut.

1. k2 Λ k1

k2 A: Did you go to the party? k1 B: Yes

2. k2 Λ k1 Λ k2f

k2 A: Where did you go last week? k1 B: Bali.

k2f A: Thank you. 3. k2 Λ k1 Λ k2f Λ k1f

k2 A: When did you go to Bali? k1 B: Last month.

k2f A: Thank you.

k1f B: My pleasure (You‟re welcome…)

2.2 Kajian Penelitian yang Relevan

(16)

Penelitian tentang analisis percakapan pernah dilakukan oleh Siagian (2009) yang berjudul ”Strategi Percakapan Bahasa Batak Toba dalam Acara Jou-Jou Tano Batak”. Penelitian ini memberikan kontribusi dalam penentuan pola gilir bicara. Penelitian ini mengkaji bagaimana cara memulai dan mengakhiri percakapan, cara pengambilan giliran bicara, cara membetulkan ujaran-ujaran yang tidak jelas, cara mengembalikan dan mengalihkan topik, serta implikatur. Acara „Jou-Jou Tano Batak‟ adalah sebuah acara radio Karisma yang menggunakan BBT. Dalam acara ini terdapat percakapan antara penyiar dan pendengar yang bergabung melalui sambungan telepon. Data dikumpulkan dengan menggunakan metode simak, teknik rekam dan catat. Berdasarkan analisis yang dilakukan, strategi percakapan BBT dalam acara Jou-Jou Tano Batak ternyata memiliki sejumlah cara dalam mewujudkan percakapan yang lancar dan efektif. Penyiar dan pendengar juga memiliki kerja sama yang baik dalam mewujudkan percakapan yang baik.

(17)

„pesta musyawarah yang turut hadir‟, hatobangan „raja adat di kampung tersebut,

raja torbing balok „raja adat dari kampong sebelah‟, dan raja panusunan bulung „raja di raja adat/pimpinan sidang‟. Topik percakapan dalam wacana lisan upacara perkawinan tersebut adalah ucapan terimakasih dan permohonan mengadakan sidang pesta, mengiring mora (pihak mertua), memberikan jawaban atas permintaan suhut, anak boru/pisang raut, menjawab permintaan, dan memutuskan sidang.

(18)
(19)

Pasangan undangan mencakup tiga sekuen: perluasan awal, perluasan akhir, dan sekuen sisipan, 9) Pasangan tawaran dan undangan adalah berhubungan, 10) Pasangan tuduhan memiliki respon penolakan pada pasangan kedua sebagai yang diinginkan, 11) Pasangan pujian mempunyai respon penolakan yang dihaluskan pada pasangan kedua, 12) Pasangan keluhan mempunyai respon penolakan pada pasangan kedua sebagai yang diinginkan, diformulasikan dalam bentuk ketidakberpihakan, 13) Pasangan tuduhan, pujian, dan keluhan adalah berhubungan, 14) Kaidah pertama gilir-bicara (pembicara sekarang memilih pembicara berikut) tidak selalu dapat diaplikasikan dalam percakapan bahasa Batak Toba, 15) Kesenyapan panjang terjadi dalam percakapan yang terhenti sementara, 16) Akhir dari giliran yang diproyeksikan secara gramatikal, intonasional, dan semantikal terjadi dalam percakapan bahasa Batak Toba, 17) Kaidah gilir bicara dan organisasi seperti kesenyapan, percakapan tumpang tindih dan perbaikan dapat diaplikasikan dalam bahasa Batak Toba, 18) Gilir bicara tidak terikat secara kultural.

(20)

percakapan yang bermarkah/berbeda dan struktur pengembangan yaitu pengembangan dari struktur yang tidak bermarkah. Lazimnya struktur percakapan memberi dan meminta informasi adalah k1 dan k2, dalam bahasa Karo selain kedua struktur tersebut terdapat struktur percakapan k1(a2) dan k2 (a2) dalam memberi dan meminta informasi.

Penelitian yang dilakukan oleh Pardede (2012) berjudul Turn Taking in Conversation Analysis. Teori utama yang digunakan untuk membedah masalah yang relevan dengan penelitian ini adalah Teori Gilir Bicara oleh Sacks, Schegloff, dan Jefferson (1974). Data yang dianalisis adalah ujaran-ujaran penutur bahasa Batak Toba di percakapan di rumah-rumah, kedai kopi dengan menggunakan pendekatan analisis percakapan sebagai unit dasar dalam percakapan. Data dianalisis dengan urutan (sequence) untuk menemukan pola percakapan. Temuan menunjukkan bahwa ketiga kaidah gilir bicara dalam Bahasa Inggris yaitu Current Speaker Selects Next, 2) Self-select, dan 3) Speaker Continuation dapat diaplikasikan dalam percakapan Batak Toba tetapi masih dalam kasus negatif yang merupakan perolehan yang masih harus dipertimbangkan.

Penelitian yang dilakukan oleh Napitupulu (2012) yang berjudul Adjacency Pairs of Marhusip in Toba Batak Pre-Wedding. Data percakapan dalam

(21)

pasangan berdekatan yang kompleks yang mengandung duapuluh empat (24) pasangan berdekatan. Urutan awal (konfirmasi, peribahasa, dan pertanyaan) selalu digunakan sebagai awal percakapan untuk mendapatkan informasi yang menunjukkan bagaimana respon berikutnya dijawab atau diberikan. Urutan awal yang paling dominan adalah konfirmasi. Terimakasih digunakan untuk mengevaluasi bagian akhir percakapan. Sela (konfirmasi, terimakasih, and peribahasa) biasanya digunakan sebelum memberikan respon. Hasil analisis data menunjukkan bahwa bagian pertama pasangan berdekatan memiliki bagian kedua yang kompleks, seperti pertanyaan-konfirmasi, terimakasih-terimakasih, permintaan-saran, permintaan-penerimaan, konfirmasi-penerimaan, peribahasa-penerimaan, pertanyaan-jawaban, pertanyaan-konfirmasi, pertanyaan-pertanyaan. Respon yang tidak berdekatan adalah lebih dominan digunakan dalam percakapan acara marhusip.

(22)

2.3 Kerangka Pikir dan Konstruk Analisis

Penelitian ini mengikuti dan menerapkan kerangka pikir pragmatik dengan menggunakan model analisis percakapan yang mengkaji urutan, struktur dan pola interaksi dalam berbagai situasi percakapan yang dikembangkan oleh Sacks dan teman-temannya seperti Schegloff dan Jefferson (1974), dan Yule (1996).

Teori yang dipakai dalam menganalisis organisasi dan struktur marhata pada upacara adat perkawinan Batak Toba adalah analisis percakapan yang mengkaji tentang topik-topik marhata yang terdapat dalam situasi tutur marhusip, marpudunsaut, dan marunjuk. Analisis topik percakapan berfokus pada pengenalan topik-topik marhata yang dibedah dengan menggunakan analisis tipe kalimat berdasarkan wacana percakapan oleh Sibarani (1997). Di samping itu ketika terjadi perpindahan topik terdapat perpindahan gilir bicara dan penutur memberikan respon ujaran-ujaran yang bervariasi yang disebut dengan pasangan berdekatan. Kedua fenomena ini dianalisis berdasarkan sekuensi oleh Sacks, dkk (1974), dan Yule (1996)

2.3.1 Percakapan

(23)

Percakapan adalah interaksi antar individu dalam masyarakat secara timbal balik yang dinyatakan dengan pertukaran dalam pemakaian bahasa. Pelaku percakapan adalah anggota dari suatu komunitas sosial, berbagai ketentuan dan kebiasaan dari komunitas tersebut. Hal ini senada dengan yang dikemukakan Pridham (2001:2) yang mengungkapkan bahwa conversation is any interactive spoken exchange between two or more people, yang berarti‟ percakapan adalah pertukaran bicara secara aktif antara dua orang atau lebih‟.

Sacks (1974) menguraikan percakapan sebagai rangkaian percakapan yang sedikitnya terdiri atas dua gilir bicara. Dengan kata lain, percakapan merupakan rangkaian ujaran di antara dua interlokutor. Berdasarkan definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa percakapan merupakan suatu hal yang sangat penting dalam kehidupan manusia untuk berkomunikasi. Manusia sebagai mahluk sosial tidak dapat hidup tanpa orang lain yang harus berinteraksi dan berkomunikasi dalam menjalin hubungan sosial. Sebagai aktivitas sosial, Rees (1992:11) mengatakan bahwa Conversations are seen first and foremost as a social activitiy, yang artinya „percakapan pada hakikatnya dianggap sebagai suatu kegiatan sosial‟.

(24)

Dalam penelitian ini percakapan dimaknai dengan penggunaan bahasa yang dilakukan oleh manusia untuk berinteraksi menjalin hubungan antara yang satu dengan yang lain. Interaksi dalam percakapan mampu menggambarkan hubungan sosial dasar dalam kehidupan sehari-hari. Yule (1996:71) mengatakan istilah interaksi merupakan manifestasi penggunaan bahasa untuk berinteraksi verbal dalam beberapa konteks (linguistik, sosial, fisik) yang melibatkan dua sisi pembicara, seperti interaksi guru dan murid di dalam kelas, dokter dan pasien di klinik, hakim dan terdakwa di pengadilan, dan sebagainya.

(25)

pesan disampaikan), I (Instrumentalities: jalur bahasa yang digunakan seperti jalur lisan, tertulis, melalui telegraf atau telepon. Instrumentalities juga mengacu pada kode ujaran seperti bahasa, dialek ragam atau register), N (Norms of Interaction and Interpretation yaitu mengacu pada norma atau aturan dalam berinteraksi dan norma penafsiran terhadap ujaran dari lawan bicara, dan G (Genre) kategori komunikasi yang dapat berupa puisi, umpama, doa, lelucon, ungkapan, iklan, dan sebagainya.

2.3.2 Topik

Pengertian topik dalam penelitian ini dimaknai dengan konsep topik dalam wacana percakapan bukan dengan topik dalam struktur kalimat. Alwi (2000: 435) menjelaskan bahwa topik merupakan proposisi yang berwujud frasa atau kalimat yang menjadi inti pembicaraan atau pembahasan. Pendapat lain dikemukakan oleh Rani, dkk, (2004: 144) yang menyatakan bahwa topik merupakan bagian yang difokuskan dan yang diterangkan oleh bagian lain (komentar). Dalam konteks wacana, topik merupakan suatu ide atau hal yang dibicarakan dan dikembangkan sehingga membentuk sebuah wacana percakapan.

(26)

marpudunsaut, dan marunjuk. Dalam masing-masing situasi tersebut terdapat lebih dari dua topik percakapan.

Pemilihan topik yang dikembangkan dalam percakapan dapat dipengaruh oleh norma atau budaya yang berlaku dalam masyarakat. Selain ditentukan oleh norma atau budaya, topik percakapan yang dipilih juga ditentukan oleh faktor situasional. Situasi yang terjadi di sekitar terjadinya percakapan itu mempunyai peranan penting dalam pemilihan topik. Oleh karena itu, seorang analis harus memperhatikan hal-hal disekitar peristiwa percakapan (konteks) dan koteks (Brown danYule, 1983: 69). Seperti yang terjadi dalam acara marhata pada upacara adat perkawinan Batak Toba dalam situasi yang resmi, misalnya pada situasi marpudunsaut. Pemilihan topik percakapan seperti patortor parumaen, dalam beberapa daerah, topik ini tidak dibicarakan dan tidak dilaksanakan, namun dalam beberapa daerah yang lain topik ini dibicarakan dan dilaksanakan.

2.3.2.1 Jenis-Jenis Topik

(27)

Dengan mengikuti pendapat Syamsudin (1992: 55) dalam penggolongan topik yang membedakan adanya dua topik dalam percakapan, yaitu pertama, topik umum, yaitu pokok pangkal pembicaraan yang berperan sebagai judul atau tema. Topik ini mengarahkan seluruh percakapan sehingga tujuan percakapan tercapai. Kedua, topik-topik kecil yaitu aspek-aspek tertentu yang timbul dalam rangkaian keseluruhan percakapan.

Berdasarkan acuan yang dirujuknya, topik percakapan dibedakan atas: 1) Topik lama dan baru

Dalam percakapan penutur biasanya memperhatikan masalah urutan lama dan urutan baru. Informasi atau topik yang telah dibicarakan merupakan topik yang dikelompokkan sebagai lama.

2) Topik nyata

Merupakan topik yang referensinya seperti yang dirujuk dengan kata-kata yang digunakan dalam ujaran. Berdasarkan referensi, topik nyata itu dibedakan menjadi beberapa kelompok. Salah satu di antaranya adalah topik yang referensinya berupa kegiatan atau tindakan

(28)

2.3.2.2 Peralihan Topik (Topical Moves)

Dalam sebuah percakapan yang sedang berlangsung, percakapan dapat beralih topik dari satu topik ke topik yang lain (Sacks, 1971). Topik yang dipilih oleh penutur yang lain bukanlah merupakan topik yang sama. Seorang pembicara dapat memiliki urutan dimana pembicara berikutnya mengemukakan topik yang koheren dengan topik sebelumnya walaupun setiap pembicara membicarakan topik yang berbeda.

Analisis peralihan topik dan analisis percakapan merupakan suatu analisis yang sejalan. Dalam memperkenalkan topik baru, ada beberapa prosedur yang harus diikuti untuk menutup topik lama. Serangkaian ujaran penutur biasanya muncul dalam menutup sebuah topik lama/topik sebelumnya. Peralihan topik ditandai dengan ujaran-ujaran penutup topik lama atau adanya transisi yang jelas dari satu topik ke topik lainnya. Howe (1991:5) mengatakan transisi peralihan topik mencakup beberapa indikator, yaitu:

(1) penilaian kesimpulan (summary assessments),

(2) tanda pengakuan/penerimaan (acknowledgement tokens); (3) pengulangan (repetition);

(4) komentar (laughter), dan (5) waktu istirahat/jedah (pauses).

(29)

topik menunjukkan bahwa penutur dan mitra tutur memahami akhir percakapan suatu topik.

2.3.2.3 Pengenalan Topik

Topik percakapan disampaikan atau dikenalkan dengan berbagai bentuk kalimat. Kalimat memiliki berbagai jenis atau tipe dan dapat dipilah berdasarkan beberapa sudut pandang. Menurut tata bahasa tradisional, ada tiga jenis kalimat, yaitu (1) kalimat deklaratif, (2) kalimat interogatif, dan (3) kalimat imperatif. Kalimat deklaratif adalah kalimat yang isinya hanya meminta pendengar atau yang mendengar kalimat itu untuk menaruh perhatian saja, tidak melakukan sesuatu, sebab maksud si pengujar hanya untuk memberitahukan sesuatu. Kalimat interogatif adalah kalimat yang isinya meminta agar pendengar atau orang yang mendengar kalimat itu untuk memberi jawaban secara lisan. Sedangkan kalimat imperatif adalah kalimat yang isinya meminta agar si pendengar kalimat itu memberi tanggapan berupa tindakan atau perbuatan yang diminta.

Pembagian kalimat atas kalimat deklaratif, interogatif, dan imperatif adalah berdasarkan bentuk kalimat secara terlepas. Kalau dilihat dari tataran yang lebih tinggi, yakni dari tingkat wacana, maka kalimat-kalimat tersebut dapat tidak sama antara bentuk formalnya dan bentuk isinya. Misalnya, bentuk formalnya adalah deklaratif, namun isinya tidak pernyataan tetapi menjadi berisi perintah.

(30)

3) kalimat tambahan, 4) kalimat sambungan, 5) kalimat jawaban, dan 6) kalimat ujung.

Kalimat awal adalah kalimat yang digunakan untuk mengawali sebuah percakapan atau wacana sebelum masuk pada pokok pembicaraan. Kalimat awal dapat berupa kalimat salam, kalimat basa-basi atau jenis kalimat lain yang sengaja digunakan untuk memulai percakapan; Kalimat tumpuan adalah kalimat yang menjadi dasar, patokan atau tumpuan kalimat berikutnya. Kalimat tumpuan ini mengawali sebuah topik percakapan. Kalimat tumpuan kadang-kadang mengawali percakapan jika percakapan itu tidak didahului oleh kalimat salam atau jika para pembicara langsung pada pokok pembicaraan tanpa ada ungkapan basa-basi. Ihwal itu dimungkinkan jika pembicara hanya sedikit waktu untuk berbicara. Di dalam percakapan, semua kalimat pertanyaan dan kalimat perintah merupakan pemula topik baru sehingga semua kalimat pertanyaan dan kalimat perintah itu merupakan kalimat tumpuan; Kalimat tambahan adalah kalimat yang digunakan seorang pembicara untuk menambahkan atau meneruskan kalimat tumpuan tanpa pergantian pembicara; Kalimat sambungan adalah kalimat yang digunakan seseorang untuk menyambung kalimat orang lain; Kalimat jawaban adalah kalimat yang digunakan seseorang untuk menjawab kalimat orang lain, dan kalimat ujung adalah kalimat yang digunakan mengakhiri sebuah percakapan, (Sibarani, 1997:183).

(31)

perintah dan kalimat pertanyaan merupakan pemula topik baru sehingga semua kalimat perintah dan kalimat pertanyaan merupakan kalimat tumpuan.

Kalimat perintah adalah kalimat yang memerintahkan sesuatu dengan mengharapkan tanggapan berupa tindakan. Struktur kalimat perintah dalam BBT berpola P-(S)-(O)-(Pel)-K.

Contoh : Usung hamu jolo uloshon. P S PT O

bawa engkau dulu ulosku ini „Bawa kalian dulu ulosku ini!.‟

Berdasarkan isinya kalimat perintah dapat dipilah menjadi sebelas bagian yaitu 1) kalimat perintah suruhan, 2) kalimat perintah permintaan, 3) kalimat perintah larangan, 4) kalimat perintah nasihat, 5) kalimat perintah ajakan, 6) kalimat perintah pertimbangan, 7) kalimat perintah paksaan, 8) kalimat perintah peringatan, 9) kalimat perintah harapan, 10) kalimat perintah bujukan, dan 11) kalimat perintah desakan.

Kalimat Pertanyaan adalah kalimat yang menanyakan sesuatu atau seseorang dengan mengharapkan tanggapan berupa jawaban. Dalam kalimat pertanyaan, tujuan akhir penyapa adalah meminta jawaban dari pesapa. Berdasarkan cara pembentukannya, kalimat tanya BBT dapat dibagi atas lima bagian, yaitu : 1) kalimat Tanya berkata Tanya, 2) kalimat tanya paduan urutan kata dengan intonasi, 3) kalimat tanya berekor, 4) kalimat tanya negatif, dan 5) kalimat tanya retoris.

(32)

1. PSK, Contoh : Marhua hamu di si? mengapa kamu di situ

„Sedang mengapa kalian di situ‟?

2. KPS, Contoh : Nandigan do ro anakta i? kapan T datang anak kita itu

„Kapan anakmu itu datang?‟

3. SPO, Contoh : Na ise do panakkokhon sige an? P siapa T menaikkan tangga bamboo itu

„Siapa memberdirikan tangga itu?‟

4. POSPel,

Contoh : Mangusung aha hamu allangon ni tulangmu? membawa apa kamu untuk dimakan M pamanmu

„Apa yang kalian bawa untuk dimakan pamanmu?‟ 5. KSP : Tu ise ho mangalu-alu?

ke siapa engkau mengadu „Kepada siapa engkau mangadu?‟

(33)

Penelitian ini menganalisis topik wacana secara utuh dari situasi marhusip, marpudunsaut, dan marunjuk berdasarkan isi wacana tersebut.

2.3.3 Gilir Bicara (Turn Taking)

Pemahaman terhadap pola gilir bicara sangat penting dalam keberhasilan berkomunikasi. Komunikasi harus berjalan dua arah (ada yang mendengarkan dan ada yang berbicara). Dengan adanya pola gilir bicara diharapkan komunikasi akan seimbang dan berjalan lancar karena adanya proses pergantian bicara sesuai topik pembicaraan.

Gilir bicara adalah proses dimana peran dari pembicara dan pendengar bertukar tempat. Proses gilir bicara terjadi karena pembicara menawarkan kesempatan kepada pendengar, misalnya mengajukan pertanyaan dan pembicara memberikan gap singkat dalam pembicaraan. Senada dengan yang dikemukakan oleh Sacks, Schegloff, dan Jefferson (1974:696-735), bahwa turn taking is a process by which interactants allocate the right or obligation to participate in an interactional activity. Artinya bahwa gilir bicara merupakan suatu proses berinteraksi untuk melakukan hak dan kewajibannya untuk berpartisipasi dalam kegiatan yang interaktif. Dari definisi tersebut, diketahui adanya suatu proses yang memerlukan pola gilir bicara. Hal yang senada juga dikemukakan oleh Goodwin (1987) yang mengatakan gilir bicara adalah suatu proses berbicara secara bergantian/bergiliran.

(34)

percakapan, terdapat juga suatu kecenderungan adanya pembicaraan yang hanya didominansi oleh satu pembicara pada saat tertentu. Kecenderungan ini disebut oleh Sack, dkk. dengan bentuk gilir bicara (turn taking). Menurut Sack, “ turn-taking is one of the fundamental organizations of conversation”, yang artinya bahwa gilir bicara (turn-taking) merupakan salah satu struktur percakapan yang mendasar.

Menurut Sacks, dkk. (1974) bentuk gilir bicara tersebut terdiri dari dua (2) komponen, yaitu komponen konstruksi gilir bicara (turn-construction component) dan komponen alokasi gilir bicara (turn allocational component).

Turn constructional component menggambarkan unit dasar yang membentuk gilir bicara yang disebut dengan istilah turn constructional units atau TCUs. Komponen tersebut meliputi komponen kata, frasa, klausa dan kalimat. Komponen-komponen ini merupakan komponen yang lengkap atau benar menurut tata bahasa dan pragmatik, yang artinya bahwa dalam suatu konteks khusus, komponen-komponen tersebut dilaksanakan dalam aktivitas sosial.

Setelah komponen pertama ditemukan, maka komponen alokasi gilir bicara dapat diaplikasikan. Komponen ini menggambarkan bagaimana gilir bicara dialokasikan di antara para penutur dalam sebuah percakapan. Gilir bicara menggambarkan keteraturan proses percakapan. Menurut Sack, Schegloff, Jefferson (1974) gilir bicara mengikuti tiga kaidah dasar yaitu:

(35)

2. jika pergantian tutur tidak ditentukan sebelumnya, peserta percakapan itu akan menentukan sendiri siapa yang harus berbicara pada giliran berikutnya setelah pembicara terdahulu memberikan kesempatan pada peserta lainnya (next speaker self-selects as next), dan

3. jika pergantian tutur tidak ditentukan sebelumnya dan peserta yang lain tidak mengambil inisiatif untuk menjadi pembicara, pembicara yang terdahulu dapat melanjutkan pembicaraannya tetapi dia tidak diwajibkan melakukannya (Current Speaker Continues).

Gilir berbicara adalah waktu dimana penutur kedua mengambil alih giliran berbicara dari penutur sebelumnya, dan juga sebaliknya. Strategi interaksi dalam turn taking ada tiga jenis, yaitu:

(36)

2. Holding the floor, yaitu waktu dimana penutur sedang mengujarkan ujaran-ujaran, serta bagaimana penutur mempertahankan giliran berbicaranya. 3. Yielding the floor, yaitu waktu dimana penutur memberikan giliran berbicara

kepada penutur selanjutnya.

2.3.4 Pasangan Berdekatan (Adjacency Pairs)

Urutan percakapan adalah urutan gilir bicara yang sistematis. Urutan bicara terdiri dari 3 bagian, yaitu adjacency pairs, pre-sequence, dan preference organization. Dalam analisis urutan bicara, yang merupakan fokus utama adalah pasangan berdekatan. Pre-sequence adalah rangkaian giliran yang dipahami sebagai awal dari suatu tindakan, misalnya undangan atau permintaan. Pre-sequence juga merupakan komponen dari urutan kegiatan yang disukai (preference organization), Schegloff (2007).

Ketika terjadi pergantian topik-topik percakapan, terdapat struktur pertukaran percakapan yang harus diperhatikan. Dalam setiap pertukaran percakapan akan diawali oleh pemicu atau inisiasi. Inisiasi tersebut berfungsi sebagai pembuka interaksi. Kemudian, inisiasi tersebut akan diikuti oleh sebuah tanggapan. Tanggapan tersebut merupakan respons dari mitra tutur dalam percakapan. Dari tanggapan itu akan diikuti juga oleh sebuah balikan yang bersifat manasuka.

(37)

which are adjacent, produced by different speakers, ordered as a first part and second part, and so that a first part requires a particular second part or range of second part. Artinya „pasangan berdekatan adalah sebuah urutan dari dua ujaran yang berdekatan, yang dihasilkan oleh penutur yang berbeda, berurutan dari bagian pertama dan kedua, sehingga bagian pertama membutuhkan bagian kedua atau serangkaian bagian kedua‟. Atau dengan sederhana dikatakan bahwa

pasangan berdekatan merupakan rangkaian dua tuturan yang bersebelahan satu sama lainnya dan dihasilkan oleh dua penutur yang berbeda dan diurutkan sebagai bagian pertama dan bagian kedua.

Urutan-urutan tuturan dalam sebuah percakapan akan memberikan kepastian informasi yang dikehendaki oleh partisipan dengan adanya pasangan tuturan yang berdekatan.

(38)

pertanyaan adalah jawaban. Kemudian Yule (1996:77) mengatakan pasangan berdekatan adalah pasangan dengan urutan yang otomatis yang terdiri dari bagian pertama dan bagian kedua yang dihasilkan oleh penutur yang berbeda. Ujaran yang pertama mendapat respon pengharapan pada respon bagian yang kedua, misalnya pertanyaan dengan jawaban, permintaan dengan penerimaan.

Dari beberapa definisi tersebut diketahui bahwa pasangan berdekatan adalah ujaran-ujaran yang disampaikan oleh penutur pertama dalam suatu percakapan dan direspon oleh penutur berikutnya yang muncul bersamaan dengan berbagai bentuk respon.

Wujud keteraturan proses percakapan secara mudah dapat dilihat dari rangkaian tindak tutur yang direpresentasikan menjadi pasangan berdekatan. Istilah pasangan berdekatan ini mengacu kepada suatu fenomena bahwa dalam suatu percakapan, suatu ujaran memegang peranan dalam menentukan ujaran berikutnya atau harapan jawaban terhadap ujaran sebelumnya. Misalnya, harapan pasangan berdekatan terhadap pertanyaan adalah jawaban (questions-answer). Schegloff (1977) mengatakan bahwa pasangan berdekatan atau ujaran berikutnya haruslah relevan kondisinya dengan ujaran sebelumnya.

Seperti gilir bicara , dan urutan bicara (sequence organization), pasangan berdekatan juga mempunyai struktur dasar. Psathas (1994:18) mengungkapkan bahwa struktur dasar pasangan berdekatan adalah sebagai berikut :

1. They are (at least) two turns in length 2. They have (at least) two parts

(39)

4. The second pair part is produced by another speaker 5. The sequences are immediate next turns

6. The two parts are relatively ordered in that the first belongs to the class of the first pair parts, and the second to the second pair parts 7. The two are discriminatively related in that the pair type of which the

first is a member which is relevant to the selection among the second pair pats

8. The two parts are in relation of conditional relevance such that the first sets up what may occur as a second, and the second depends on what has occurred as a first.

Maksudnya bahwa struktur dasar pasangan berdekatan ini harus terdiri atas minimum dua gilir bicara agar terbentuk dua bagian pasangan. Bagian pertama dihasilkan penutur/pembicara dan bagian kedua dihasilkan lawan bicara. Kedua bagian tersebut disusun saling berhubungan, berurutan dari bagian pertama dan kedua, sehingga bagian pertama membutuhkan bagian kedua atau serangkaian bagian kedua dan respon bergantung pada apa yang diucapkan pembicara.

(40)

Bagian Pertama Bagian Kedua Disenangi

(Preferred)

Tidak Disenangi (Dispreferred)

Penilaian Setuju Tidak Setuju

Undangan Terima Tolak

Tawaran Terima Tolak

Usul Setuju Tidak setuju

Permohonan Terima Tolak

Bagan 2.1 Respon Disenangi dan Tidak Disenangi (Levinson, 1983)

Schegloff (1977) mengatakan bahwa dalam kenyataannya, penentuan pasangan berdekatan dalam sebuah ujaran tidak keseluruhannya tepat. Pasangan-pasangan ujaran tidak selalu relevan atau tidak disukai. Misalnya :

A: Can you tell me how to get to the mall? B: Do you see that big new sign?

A: Yes.

B: You have to make a left turn there.

Dalam contoh tersebut di atas, ujaran yang dimulai dengan pertanyaan dan jawaban terhadap pertanyaan tersebut dipisahkan oleh pasangan pertanyaan dan jawaban. Sehingga dengan demikian bahwa pasangan ujaran berikutnya dapat dikatakan tidak relevan atau tidak disenangi karena permintaan yang seharusnya meminta penjelasan arah suatu tempat diberi respon dengan bentuk pertanyaan.

(41)

Jawaban 1, dengan penundaan pasangan di tengah yaitu Pertanyaan 2– Jawaban 2 yang disebut dengan urutan sela.

Contoh :

Jean : Could you mail this letter for me? (Question 1= Request) Fred : Does it have a stamp on it? (Question 2)

Jean : Yeah (Answer 2)

Fred : Okay. (Answer 1 = Acceptance)

(Yule, 1996:78)

Salah satu asumsi dasar percakapan yang dikemukakan oleh Furo (2001:27) adalah bahwa sebuah percakapan memiliki struktur. Kemudian Heritage (1984) mengatakan bahwa karena percakapan itu memiliki struktur dan keteraturan maka ditemukan pendekatan struktur percakapan yaitu pasangan berdekata. Pasangan berdekatan menunjukkan respon berikutnya apakah disukai atau tidak. Apabila pasangan pertama tidak menunjukkan respon, maka pasangan berikutnya akan kosong, sehingga hal ini memerlukan adanya suatu perbaikan (repair). Dalam hal ini pembicara perlu membuat perbaikan. Sacks, Schegloff, dan Jefferson (1974) mengemukakan bahwa mekanisme perbaikan muncul akibat dari pelanggaran dan kesalahan dalam gilir bicara, misalnya jika dua orang berbicara pada waktu yang bersamaan, maka salah satu harus berhenti sebelum waktunya agar dapat memperbaiki persoalan.

Dilihat dari struktur dasarnya, pasangan berdekatan ini memiliki banyak jenis, misalnya :

(42)

A : Hello, William. Nice tie. B . Hi, well. Thank you.

2. Pertanyaan → Jawaban (Questiion Answer)

A : Do you know that French film? B : Yes, I do.

3. Permintaan → Penerimaan (Request Acceptance)

A : Could you pass the salt, please? B : Yes, sure. There you go.

4. Penawaran → Penerimaan (Offer Acceptance)

A : Do you want to taste the potatoes? B : Yes, please.

5. Undangan → Penerimaan (Invitation → Acceptance)

A : Let‟s have lunch together next week. B : Yeah, OK.

Berikut ini adalah dua contoh pasangan berdekatan dalam bahasa Inggris yang diambil dari Tracy (2002:114).

1. Taryn : How about some lunch? Jay : Sounds good. (Stand up) 2. Taryn : How about some lunch?

(43)

Kedua contoh pasangan berdekatan tersebut menunjukkan tindakan yang berbeda. Pasangan contoh pertama adalah undangan – penerimaan, sedangkan contoh yang kedua menunjukkan pasangan undangan – penolakan.

Aspek kedua dalam urutan gilir bicara adalah pre-sequence. Menurut Tracy pasangan berdekatan dapat dikembangkan dengan pre-sequence. Jika penutur ingin mengundang seseorang untuk makan malam, adalah wajar untuk menanyakan yang diundang apakah sudah makan atau belum. Pasangan berdekatan pertama yang biasanya muncul adalah bentuk pertanyaan – jawaban, seperti dalam contoh berikut :

3. Taryn : You eaten yet? Jay : No.

Taryn : How about some lunch?

Disamping pre-sequence, pasangan berdekatan dapat diperluas dengan insertion sequence, misalnya :

4. Taryn : How about some lunch? Jay : You got $ 5 to lend me? Taryn : Yeah.

Jay : Sounds good.

(44)

mempunyai hubungan dan merupakan tindak lanjut dari ujaran pertama. Pasangan berdekatan dapat ditemukan dengan mencari pola-pola yang berulang, distribusi-distribusi, dan bentuk-bentuk organisasi dari suatu percakapan yang luas.

Aspek lain dari pasangan berdekatan adalah preference. Istilah preference digunakan untuk menunjukkan pola struktur yang ditentukan secara sosial dan tidak mengacu kepada mental individu atau keinginan emosi individu (Yule, 1996:79). Dengan kata lain preference merupakan pola percakapan yang diamati dan bukan merupakan pola keinginan pribadi. Sebagai contoh, permintaan (request) atau tawaran (offer) merupakan bagian pertama, dan bagian kedua yang diharapkan adalah penerimaan (acceptance), sedangkan bagian kedua yang tidak diharapkan adalah penolakan (refusal). Dalam pasangan berdekatan, dapat dikatakan bahwa kesenyapan (silence) dalam bagian kedua selalu merupakan indikasi respon yang tidak disukai atau diharapkan.

(45)

Strategi menyatakan yang tidak disenangi Contoh 1.Lambatkan jawaban/ Pernyataan ragu (pause) e;, em; ah

2. Prakata Well; oh

3. Pernyataan keraguan I‟m not sure; I don‟t know

4. Kelihatannya „Ya‟ That‟s great; I‟d love to…

5. Mohon maaf I‟m sorry; what a pity

6. Sebutan kewajiban I must do X; I‟m expected in Y 7. Pernyataan tentang keadaan You see; You know

8. Pernyataan tidak persona Everybody else; out there

9. Pernyataan tugas Too much work; no time left

10. Pernyataan pengurangan intensitas Really; mostly; sort of; kind a 11. Penyembunyian keingkaran I guess not; not possible

Bagan 2.2 Strategi Pernyataan Ketidaksenangan (Yule, 1996:81)

Hal yang disenangi biasanya dinyatakan secara langsung sedangkan yang tidak disenangi berjarak dengan rasa berat hati.

(46)

2.4 Upacara Perkawinan Batak Toba

Perkawinan adalah peristiwa yang sangat penting dalam hidup manusia. Perkawinan merupakan penyatuan dua keluarga yang diikat dalam tali pernikahan yang biasanya dilakukan dengan bentuk upacara adat perkawinan.

Adat-istiadat Batak merupakan aturan yang berlaku karena sudah menjadi suatu kebiasaan yang dilakukan secara turun-temurun. Bila dilaksanakan dengan benar maka mendapat pujian, bila menyimpang menimbulkan amarah masyarakat lingkungan adat tersebut. Orang yang selalu berpegang pada ketentuan dan hukum adat disebut paradat tetapi orang yang tidak melaksanakan adat disebut naso maradat atau orang yang tidak tahu adat. Misalnya seseorang yang senang atau sering menjamu tamu disebut paradat.

Adat itu ada yang disebut adat penuh yang berarti tidak ada lagi sisa hutang adat. Sedangkan yang tidak penuh berarti masih terhutang adat yang harus dilunasi kelak pada waktu yang tepat. Maka bagi suku Batak, adat perkawinan yang penuh itu dilaksanakan di gedung setelah acara pemberkatan di gereja.

(47)

3 (tiga) hak; hak bicara, hak mendapat bagian atas hewan yang disembelih dalam acara komunitas, dan hak berperan dalam pekerjaan publik atau pesta komunitas. Begitu pentingnya penghayatan akan jambar itu, sehingga bila ada orang Batak yang tidak mendapatkan atau merasa disepelekan soal jambarnya maka dia bisa marah besar.

Jambar hata (hak bicara) yaitu semacam hak dan kewajiban untuk mengucapkan sesuatu pada acara adat. Jika sampai misalnya giliran ini tidak diperolehnya, maka bisa menimbulkan perasaan tidak ada lagi saling menghormati, bahkan protokol diingatkan agar susunan acara dibetulkan lagi. Jambar hata tidak kalah pentingnya dengan jambar juhut atau hak memperoleh daging seperti yang disebut dengan osang-osang, soit, rusuk, dan sebagainya. Bahkan kadang-kadng, jika orang tidak kebagian bicara, maka orang tersebut akan mengembalikan jambar juhut yang diterimanya, dan ia pun pulang meninggalkan arena adat untuk melampiaskan rasa kesalnya. Sungguh ini merupakan bagian hak demokrasi adat. Tetapi hal-hal seperti ini pula yang membuat jalannya acara adat, misalnya pesta perkawinan.

(48)

Suku Batak adalah suatu suku yang tinggal di Propinsi Sumatera Utara. Secara geografis di propinsi Sumatera Utara, orang Batak terdiri dari 5 sub etnis, yaitu Batak Toba (Tapanuli), Batak Simalungun, Batak Karo, Batak Mandailing, dan Batak Pakpak. Secara administratif wilayah tempat tinggal suku bangsa Batak Toba meliputi 4 kabupaten : Kabupaten Tapanuli Utara, Kabupaten Humbang Hasundutan, Kabupaten Toba Samosir, Kabupaten Samosir.

Batak Toba disebut sebagai suku yang memiliki adat budaya sangat kuat, dan diakui sebagai tanah asal (leluhur) sub-etnis Batak lainnya. Sistem kekerabatan orang Batak menempatkan posisi seseorang secara pasti sejak dilahirkan hingga meninggal dalam 3 posisi yang disebut Dalihan na Tolu (bahasa Toba) atau tolu sahundulan (bahasa Simalungun). Dalihan dapat diterjemahkan sebagai "tungku" dan sahundulan sebagai "posisi duduk". Keduanya mengandung arti yang sama, 3 posisi penting dalam kekerabatan orang Batak, yaitu :

1. Dongan Sabutuha/Dongan Tubu/Sanina yaitu kelompok orang-orang yang posisinya sejajar; teman/saudara semarga sehingga disebut manat mardongan tubu, artinya menjaga persaudaraan agar terhindar dari perseteruan. Dongan Sabutuha ialah pihak keluarga yang semarga dengan ego di dalam hubungan patrilineal atau garis keturunan bapak (Silitonga, 1975:12); yang termasuk di dalamnya adalah ayah, saudara lai-laki ayah, dan semua anak laki-lakinya.

(49)

dihormati dan dalam upacara adat suaranya harus didengar, sehingga disebut Somba Marhula-hula yang berarti harus hormat kepada keluarga pihak istri agar memperoleh keselamatan dan kesejahteraan karena hula-hula merupakan mata ni ari binsar pangalapan ni pasu-pasu yang artinya bahwa hula-hula merupakan sumber terang dan kebahagiaan serta sumber berkat.

(50)

Upacara adat Batak Toba, selain dihadiri oleh unsur-unsur DNT, juga dihadiri oleh unsur lainnya seperti (1) raja-raja adat yaitu pengetua adat dari berbagai unsur suku di sekitar desa tempat upacara, (2) raja na ro/raja jinou yaitu pengetua yang hadir yang tidak tergolong dalam raja-raja adat, (3) raja pargomgom/raja ni dongan huta yaitu pengetua kampung yang ikut meluruskan jalannya upacara, dan (4) ale-ale yaitu teman sejawat dan teman akrab suhut yang diundang untuk menghadiri upacara tersebut.

Pesta perkawinan adalah upacara adat yang penting bagi orang Batak. Pesta perkawinan sepasang pengantin merupakan jembatan yang mempertemukan unsur DNT. Perkawinan orang Batak Toba haruslah diresmikan secara adat berdasarkan adat DNT. Perkawainan orang Batak dengan upacara agama serta catatan sipil hanyalah sebagai pelengkap bila dilihat dari sudut adat DNT.

2.4.1 Bentuk Upacara Adat Perkawinan Batak Toba

Acara adat perkawinan Batak Toba memiliki keragaman, misalnya marbagas „perkawinan yang sesuai dengan kebiasaan, mangalua „kawin lari‟, pagodanghon „perkawinan seorang janda dengan saudara almarhum suaminya‟, ganti rere „perkawinan yang dilakukan oleh seorang laki yang isterinya telah

(51)

Fokus penelitian ini adalah salah satu dari ragam perkawinan tersebut, yaitu marbagas yang merupakan ragam perkawinan yang dianggap paling ideal oleh masyarakat Batak Toba. Ragam perkawinan marbagas mempunyai bentuk upacara adat. Prosesi (rentetan peristiwa) adat tersebut dimulai dari mangaririt/manjalo tanda/marhusip, marhata sinamot, martumpol, tonggo raja, dan marunjuk (manaruhon sibuha-buhai, manjalo pasu-pasu, mangan di alaman/gedung, marhata), paulak une, dan maningkir tangga. Prosesi adat upacara perkawinan dibagi dalam dua 2 (dua kegiatan pokok), yaitu upacara sebelum perkawinan (Pra Nikah) dan upacara pelaksanaan perkawinan.

Yang dimaksud dengan pra nikah adalah proses yang terjadi sebelum acara adat pernikahan. Sebelum pernikahan ada beberapa langkah atau upacara yang dilakukan dalam adat batak :

1. mangaririt/manjalo tanda/marhori-hori dinding/ marhusip

(52)

2. pudun saut/marhata sinamot

Pihak kerabat pria (dalam jumlah yang terbatas) datang kepada kerabat wanita secara resmi untuk melakukan marhata sinamot yaitu membicarakan masalah uang (mahar) atau besarnya uang perkawinan. Acara ini merupakan pengesahan atau penguatan hasil perundingan pada saat acara marhusip. Disini pihak paranak „pria‟ sudah membawa makanan namargoar „makanan adat‟. Namun sekarang, acara marhata sinamot sudah sering digabungkan dengan acara martumpol.

3. Martumpol

Penanda-tanganan persetujuan pernikahan oleh orang tua kedua belah pihak atas rencana perkawinan anak-anak mereka dihadapan pejabat gereja. Tata cara partumpolon dilaksanakan oleh pejabat gereja sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Tindak lanjut partumpolon adalah pejabat gereja mewartakan rencana pernikahan dari kedua mempelai melalui warta jemaat, yang di HKBP disebut dengan tingting (warta jemaat). Tingting ini harus dilakukan dua kali hari minggu berturut-turut. Apabila setelah dua kali tingting tidak ada gugatan dari pihak lain baru dapat dilanjutkan dengan pamasu-masuon (pemberkatan nikah).

4. Martonggo Raja/Maria Raja

(53)

tidak mengadakan pesta atau acara dalam waktu yang bersamaan, c) memohon izin pada masyarakat sekitar terutama dongan sahuta atau penggunaan fasilitas umum pada pesta yang telah direncanakan.

Setelah acara pra nikah selesai maka acara adat pernikahan penuh segera dilangsungkan. Adapun acara atau peristiwa pelaksanaan perkawinan itu terdiri dari :

1. marunjuk (Pemberkatan Pernikahan)

Pesta unjuk adalah suatu acara perayaan yang bersifat sukacita atas pernikahan putra dan putri. Pihak laki-laki menyebut pesta pernikahan dengan istilah pesta marunjuk dan pihak perempuan menyebutnya dengan mangan tuhor, mangan boli, atau mangan juhut ni boru. Ciri pesta sukacita ialah berbagi jambar. Untuk kerabat parboru, jambar yang dibagi-bagikan adalah jambar juhut (daging) dan jambar uang (mahar perempuan) yang dibagi menurut peraturan. Jambar yang dibagi-bagikan bagi kerabat paranak (pihak laki-laki) adalah dengke (ikan mas) dan ulos. Marunjuk adalah peristiwa puncak dari seluruh rentetan peristiwa yang harus dilalui dalam pesta perkawinan. Rentetan acara tersebut adalah sebagai berikut :

1. manaruhon sibuha-buhai (penyerahan makanan serapan) 2. manjalo pasu-pasu (pemberkatan nikah di gereja)

3. mangan di alaman/gedung (makan siang bersama) 4. marhata (berbicara)

(54)

Selesai pemberkatan, prosesi masuk ke tempat acara adat. Acara yang dilakukan sebelum marhata adalah :

1. Menyerahkan Tudu-tudu Ni Sipanaganon (tanda makanan adat) 2. Menyerahkan dengke (ikan)

3. Makan bersama

4. Membagi jambar (tanda makanan adat) 5. Menerima tumpak (sumbangan tanda kasih) 6. Acara adat (Mempersiapkan Percakapan) 7. Marhata (berbicara)

2. Paulak Une

Peristiwa ini merupakan acara kunjungan sang pengantin beserta keluarga laki-laki ke rumah pihak parboru (orang tua perempuan) sesudah seminggu acara marunjuk. Kunjungan ini mengandung arti bahwa sang pengantin diperlakukan dengan baik, tiada kurang suatu apapun. Biasanya rombongan ini membawa makanan dan dilanjutkan dengan acara marhata. Namun sekarang acara ini telah digabung pada saat akhir acara marunjuk.

3. Maningkir Tangga

(55)

kunjungan maningkir tangga ini maka selesailah rangkaian pernikahan adat na gok (adat penuh). Sama halnya dengan acara paulak une, acara ini telah digabung pada saat akhir acara marunjuk.

2.4.2 Marhata

Pada hakekatnya marhata selalu terintegrasi dalam upacara adat, dan merupakan bagian dalam setiap upacara adat. Marhata ialah membicarakan serta mewujudkan tujuan setiap upacara adat dengan menggunakan bahasa tutur parhataan, (Pardede, dkk., 1981:7). Sebagaimana diketahui bahwa dalam setiap upacara adat akan diakhiri dengan acara „marhata‟. Dalam upacara perkawinan Batak Toba, acara marhata ‟bicara adat‟ merupakan bagian dari upacara inti yang harus dilakukan.

Acara marhata ialah dialog secara resmi di antara dua pihak yaitu pihak orangtua mempelai wanita dan pihak orangtua mempelai pria yang biasanya didahului dengan acara makan bersama. Setelah ada kesepakatan kedua belah pihak, maka acara marhata dapat dimulai.

Marhata dapat dikatakan sebuah percakapan sebab percakapan baru dapat disebut sebagai peristiwa tutur kalau memenuhi delapan komponen atau yang disingkat dengan SPEAKING yaitu S (Setting and Scene), P (Participants), E (Ends: Porpose and Goal), A (Act Sequences), K (Key: tone or Spirit of act), I (Instrumentalities), N (Norms of Interaction and Interpretation, dan G (Genre).

(56)

sedangkan situasi tutur marpudunsaut dan marunjuk berada di ruangan (gedung). Jarak waktu antara situasi tutur marhusip ke marpudunsaut dan marunjuk bervariasi sesuai dengan kesepakatan waktu keluarga kedua belah pihak. Acara marhusip ke marpudunsaut bisa berjarak satu, dua, atau tiga bulan, sedangkan acara marpudunsaut ke marunjuk biasanya berjarak dua minggu.

Partisipan yang terlibat dalam peristiwa marhata terdiri dari unsur-unsur DNT(hula-hula, dongan tubu,dan boru). Keterlibatan partisipan dalam marhata dimulai dari hula-hula, dongan tubu, dan juga boru. Dalam acara marhata selalu ada dua pihak, yaitu pihak suhut baik dari pihak laki-laki maupun perempuan dengan unsur DNT. Di samping itu, selalu ada juga raja panise (raja penanya) dan raja pangalusi (raja penjawab). Pelaksanaan acara adat baik di rumah maupun di gedung biasanya dikoordinir oleh Raja Parhata (Juru bicara adat) yang terdiri dari raja panise dan juga raja pangalusi. Seorang Raja Parhata yang dipilih oleh barisan semarganya harus memahami hukum adat serta penerapannya, segala seluk-beluk adat Batak pada umumnya dan adat yang berlaku bagi rumpunnya semarga pada khususnya.

Mengapa disebut sebagai Raja?. Dalam hal ini Raja bukanlah dimaksudkan sebagai penguasa tertinggi pada suatu kerajaan yang biasanya merupakan warisan turun-temurun, atau orang yang mengepalai dan memerintah suatu bangsa atau negara atau suatu daerah seperti sultan, melainkan hanyalah karena orang yang disebut “raja” dalam adat –istiadat Batak itu adalah “ pemuka”

(57)

adat skala besar. Menurut kamus bahasa Batak Toba– Indonesia adalah siboto uhum siboto adat yang artinya paham mengenai hukum adat serta penerapannya dengan benar.

Dalam masyarakat Batak Toba ada beberapa kelompok atau perorangan yang panggilannya bergelar raja, yaitu :

1. Raja ni dongan tubu (pemuka-pemuka dari barisan semarga)

2. Raja ni Hula-hula (pemuka-pemuka dari barisan marga Hula-hula atau marga istri).

3. Raja ni boru (para pemuka dari barisan boru yang mengawini saudara perempuan)

4. Raja naginokhon (para pemuka dari kelompok undangan yang tidak termasuk (di luar) DNT).

5. Raja na ro/Raja Nijou (tamu yang tidak direncanakan datang)

6. Raja panungkun (seseorang yang ditugasi bersama (orang yang dirajakan) untuk menanyakan pihak paranak misalnya dalam pesta perkawinan yang disebut juga Raja panise.

7. Raja pangalusi (seseorang yang ditugasksan bersama atau dirajakan untuk menjawab atau memberikan penjelasan kepada yang bertanya (Raja panungkun).

Berikut ini contoh bahasa tutur marhata antara juru bicara raja panise dan raja pangalusi dalam upacara adat mangaririt/manjalo tanda/marhori-hori dinding/ marhusip .yang dikutip dari Pardede, dkk. (1981)

(58)

(penanya) alai asa umpos rohanami denggan do paboaonmu manang naung sian roham do naeng manopot borunami. Jala asa tangkas botoon nami laos paboa ma jolo hira ise ma nuaeng na tumubuhon hamu, sian huta dia jala anak paipiga ma ho anak ni lae i?

Terjemahan: Maka sekarang bere… kami percaya akan perkataan Bapak si A tadi. Agar kami lebih percaya, baiklah kau katakana, apakah memang engkau sungguh-sungguh ingin memperistri anak kami ini. Agar lebih jelas kami mengetahui, jelaskanlah siapa nama ayahmu, dari kampong mana, dan engkau anak ke berapa.

Pangoro: Ianggo ahu tulang, siahaan dope ahu anak ni damang Ama ni… (sang pria) sian huta ………….: 5 do hami marhaha-maranggi. Ia marga ni dainang pangintubu ima marga… Ba naung parbinoto do nasida

diparlangkanghon , jala las roha nasida gabe helamu ahu. Jala pos ma rohamu ndang adong bogashu manang didia na asing.

Terjemahan: Kalau saya, Paman, sayalah anak pertama, anak ayah Ama ni …..berasal dari kampong ….; kami adalah lima orang bersaudara Ibu kandung saya bermarga … Rencana ini adalah sepengetahuan mereka dan mereka sangat setuju apabila saya menjadi menantu Paman. Percayalah, saya tidak mempunyai hubungan dengan perempuan lain.

Berikut ini contoh bahasa tutur marhata antara juru bicara raja panise dan raja pangalusi dalam upacara adat marunjuk .yang dikutip dari Pardede, dkk. (1981)

Raja Panise:

(59)

Baiklah raja ni boru. Ya, rupanya pesta kegembiraan dan keselamatan. Ya, sitiptip dan sihompa banyak pembunyinya. Pembunyinya itu tepat ke ogung oloan, mengasihilah Tuhan Debata banyaklah berkatnya, yang memungkinkan kita tiap tahun berpesta. Selamatlah kamu yang menyajikan makanan dan selamatlah kami yang menikmati. Semoga kamu beroleh gantinya; kami gemuk yang makan. Pohon enau yang tinggi tumbuh di tanah yang curam; kayalah yang bermurah hati; selamat yang menerima. Selamatlah kamu yang kami selamati; selamat kami yang memberi selamat, selamatlah kita semua. Berkawan yang baik, berteman yang bagus, ya, iringan bagai orang berjalan, bergandengan bagai orang duduk, hendaknyalah diterangkan raja ni boru. manungkun hamu disiangkupna songan na mardalan sihombar songanna hundul, paboan ma tutu: Ba ompu raja ijolo do martungkot siala gundi adat ni na dijolo diihuthon hita na dipudi, ba na martinopot do anak nami tu borumu, jadi dibahen na olo do hamu parsijangkit-jangkitan songon si hapor eme. Ba i do dalan rajanami umbahen na ro hami mangusung jual nami , ba na laho mangalap borumu do hami rajanami umbahen na ro. Baima di alusi raja i.

Terjemahan :

(60)

Ketika acara marhata pada situasi tutur marhusip dilaksanakan, partisipan yang ikut terlibat dalam marhata terdiri atas juru bicara pihak laki-laki dan juru bicara pihak perempuan, penatua kampung pihak laki-laki dan penatua kampung pihak perempuan, boru/mantu, pariban, dongan tubu (semarga) pihak perempuan, sedangkan pihak hula-hula (tulang dari kedua belah pihak) belum hadir dalam acara ini sebab acara marhusip dapat dikatakan acara yang masih belum resmi sehingga belum perlu dihadiri oleh hula-hula dari kedua belah pihak. Posisi duduk partisipan ketika marhata sedang berlangsung pada situasi tutur marhusip dapat dilihat dalam bagan berikut :

Bagan 2.3 Posisi Duduk Acara Marhata Situasi Tutur Marhusip

Referensi

Dokumen terkait

Hukum adat Batak Toba, khususnya perkawinan sangat memperhatikan prinsip dasar yaitu dalihan na tolu (artinya tungku nan tiga), yang merupakan suatu ungkapan yang menyatakan

Perkawinan dalam adat Batak Toba tidak terlepas dari musik-musik yang mengiringi proses upacara tersebut berlangsung, yang mana alat musik yang digunakan memiliki peran dalam

Permasalahan yang akan dijabarkan dalam penelitian ini yaitu penerapan prinsip Dalihan Natolu dalam hukum adat Batak Toba, karena dalam hukum adat Batak Toba sendiri

Modernisasi yang terdapat di kota medan menjadi salah satu penyebab perubahan yang terjadi dalam musik pada upacara adat perkawinan batak toba, khususnya di kota medan.. Masuknya

Pada data 12 menjelaskan bahwa performansi yang di tunjukkan dalam upacara adat saur matua pada masyarakat Batak Toba pemberian ulos saput terakhir kepada yang

adat perkawinan masyarakat Batak Toba dan tuturan yang paling dominan digunakan. dalam

Begitu juga dengan Tindakan Komunikatif yang terjadi pada saat pernikahan Adat Batak Toba, Dalam setiap tindakan yang dilakukan dalam Upacara Pernikahan Adata

Perkawinan dalam adat Batak Toba tidak terlepas dari musik-musik yang mengiringi proses upacara tersebut berlangsung, yang mana alat musik yang digunakan memiliki