• Tidak ada hasil yang ditemukan

UPACARA ADAT SAUR MATUA PADA MASYARAKAT BATAK TOBA : KAJIAN ANTROPOLINGUISTIK

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "UPACARA ADAT SAUR MATUA PADA MASYARAKAT BATAK TOBA : KAJIAN ANTROPOLINGUISTIK"

Copied!
78
0
0

Teks penuh

(1)

UPACARA ADAT SAUR MATUA PADA MASYARAKAT BATAK TOBA : KAJIAN ANTROPOLINGUISTIK

SKRIPSI Disusun Oleh:

FERNANDO MANALU

NIM. 150703008

PROGRAM STUDI SASTRA BATAK FAKULTAS ILMU BUDAYA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

2020

(2)
(3)
(4)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yang Mahakuasa, atas perlindungan-Nya sehingga penulis mampu mengerjakan skripsi ini.

Judul skripsi ini adalah Upacara Adat Saur Matua Pada Masyarakat Batak Toba : Kajian Antropolinguistik. Adapun yang menjadi alasan penulis memilih judul skripsi ini adalah karena judul tersebut merupakan suatu kebudayaan etnik Batak Toba yang cukup unik dan judul tersebut belum pernah diteliti.

Penulis berharap skripsi ini berguna bagi pembaca dan mengetahui tentang kajian yang telah diselesaikan oleh penulis. Untuk memudahkan pemahaman tentang apa saja yang akan dibahas dalam skripsi ini maka penulis memaparkan rincian sistematika penulisannya yang dimulai dari :

Bab I merupakan pendahuluan. Pada bab ini, diuraikan latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, serta manfaat penelitian. Bab II merupakan tinjauan pustaka, yang mencakup kepustakaan yang relevan dan teori yang digunakan. Bab III merupakan metode penelitian, yang terdiri dari : metode dasar, lokasi penelitian, sumber data penelitian, instrumen penelitian, metode pengumpulan data, dan metode analisis data. Bab IV merupakan pembahasan tentang masalah yang ada pada rumusan masalah. Bab V berisi kesimpulan dan saran.

Penulis menyadari skripsi ini belum sempurna. Oleh sebab itu, dengan kerendahan hati penulis mengharapkan kritik dan saran dari pembaca untuk menyempurnakan skripsi ini.

Medan, Januari 2020 Penulis,

Fernando Manalu NIM. 150703008

(5)

HATA PATUJOLO

Mauliate ma dipasahat panurat tu amanta Debata pardenggan basa di siala asi dohot holong ni rohana namangaramoti jala manghaholongi sude jolma na tinompana gabe boi panurat pasaehon skripsi on.

Judul ni skripsi on i ma Upacara Adat Saur Matua Pada Masyarakat Batak Toba: Kajian Antropolinguistik. Dipillit panurat pe judul on alana judul on nga maol ni jumpangan na asli adatna, dohot di siala judul on dope di teliti.

Disangkapi roha ni panurat do nian sai anggiat ma skripsi on marlapatan di angka na manjaha dohot mamboto di angka kajian na pinangke ni panurat na laho pasaehon skripsi on. Asa pamurahon parbinotoan taringot tu skripsi on sialana ni dibahen panurat ma bindu-bindu na, songonon ma partordingna:

Bindu parjolo ima pendahuluan, bindu on di patorang ma latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, dohot manfaat penelitian. Bindu paduahon ima tinjauan pustaka, di bagas bindu on ima kepustakaan na relevan dohot teori na di pangke. Bindu patoluhon ima metode penelitian, di bagas bindu on ima metode dasar, inganan penelitian, sumber data penelitian, dohot sara papunguhon data. Bindu paopathon ima pembahasan, di bagas bindu on dipatorang ma sude angka masalah na adong di rumusan masalah. Bindu palimahon ima panimpuli dohot angka poda.

Tangkas do diboto panurat na godang dope na hurang denggan di skripsi on. Disiala ni ma mardongan serep ni roha panurat paimahon angka poda dohot pangajarion sian na manjahasa laho paulihon skripsi on.

Medan, Januari 2020 Panurat,

Fernando Manalu NIM. 150703008

(6)

htpTjolo

mUliatemdipsht\pNrt\Tamn\tdebtpr\d^g n\bsdisialasidohto\holo^nirohnnm<rmotijlm^

hholo<iSdjlo\mntinmo\pngbeboIpNrt\psaehn o\s\k\rpi\siano\

JdL\nis\k\rpi\siano\ImUpsradt\saR\m Tapdms\yrkt\btk\tobkjoan\an\t\ropoli>

asi\tki\dipilti\pNrt\peJdL\ano\<malo\nijM

\p<n\nas\liadt\ndohto\disialJdL\ano\doped iteliti

dis^kpirohnipNrt\donian\sIa^giat\ms\k\

rpi\siano\mr\lptn\dia^knmn\jhdohto\mm\bo todia^kkjian\npin^kenipNrt\nlhopsaehno\s\k

\rpi\siano\aspMrhno\pr\binotoan\tri<to\T s\k\rpi\siano\sialnidibhne\pNrt\mbni\Dbni

\Dnso<onno\mpr\tro\di^n

bni\Dpr\joloImpne\dHLan\bni\Dano\dipb oamltr\belk^mslh\RMsn\mslh\TJan\peneliti an\penelitian\dohto\mn\pat\penelitian\bni\D pDahno\Imtni\jUan\pS\tkdibgs\bni\Dano\

ImkepS\tkan\nrelepn\dohto\teaorindip^kebni\D ptoLhno\Immetodepenelitian\dibgs\bni\Dano\I mmetodedsr\I<nn\penelitian\sM\bre\dtpenelitia n\dohto\srpP>hno\dtbni\Dpaopt\hno\Impme\

bhsn\dibgs\bni\Dano\diptor^mSdea^kmslh\na do^diRMsn\mslh\bni\Dplimhno\Impnmi\Pln\d ohto\a^kpod

t^ks\dodibotopNrt\ngod^dopenHr^de^gn\dis\k

\rpi\siano\disialnimmr\do<n\serpe\nirohpNr t\pImhno\a^kpoddohto\p<jriano\sian\nmn\j hslhopUlihno\s\k\rpi\siano\

medn\

ako\tobre\2020 pNrt\

pre\nn\domnL n\I\m\150703008

(7)

UCAPAN TERIMA KASIH

Puji syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa atas segala berkat dan kasih karunia yang telah dilimpahkan-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini.

Pada kesempatan ini, penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih yang sedalam-dalamnya atas motivasi, pemikiran, semangat, bantuan tenaga, serta arahan dan bimbingan yang telah diberikan kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. Oleh karena itu dalam kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih yang tak terhingga kepada:

1) Bapak Dr. Budi Agustono, M.S., selaku Dekan Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sumatera Utara, Wakil Dekan I, Wakil Dekan II, Wakil Dekan III, dan seluruh pegawai di lingkungan Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sumatera Utara.

2) Bapak Drs. Warisman Sinaga, M.Hum., sebagai Ketua Jurusan Program Studi Sastra Batak Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara.

3) Bapak Drs. Flansius Tampubolon, M.Hum., sebagai Sekretaris Program Studi Sastra Batak Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara.

4) Bapak Drs. Sumurung Simorangkir, SH., M.Pd., selaku pembimbing I yang telah memberikan banyak pemikiran, saran, arahan, dan motivasi, serta mengorbankan waktu dan tenaga bagi penulis dalam penulisan skripsi ini.

5) Bapak Drs. Flansius Tampubolon, M.Hum., selaku pembimbing II yang telah memberikan banyak pemikiran, saran, arahan, dan motivasi, serta

(8)

mengorbankan waktu dan tenaga bagi penulis dalam penulisan skripsi ini.

6) Bapak/Ibu dosen Program Studi Sastra Batak tanpa terkecuali, bapak/ibu dosen di lingkungan fakultas ilmu budaya yang memberikan pengajaran dan bimbingan kepada penulis mulai dari awal sampai akhir perkuliahan.

7) Abangda Risdo Saragih, S.S selaku alumni dan staf pegawai administrasi yang telah membantu dan memperlancar urusan administrasi selama penulis kuliah di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara.

8) Teristimewa kepada kedua orang tua penulis, A. Manalu dan N. br Sinaga yang penulis hormati dan sangat sayangi. Terimakasih yang tak terhingga penulis ucapkan atas pengorbanannya mulai dari penulis kecil hingga sekarang, terimakasih atas segala pengorbanan baik material maupun non material dan atas segala doa, dukungan, nasehat, motivasi yang diberikan kepada penulis.

9) Saudara-saudara penulis (Jefrianto Manalu, Eko Putra Manalu, Raimond H Manalu, Lorensa Manalu, dan Kevin Manalu) sebagai orang-orang yang sangat penulis sayangi, penulis mengucapkan terimakasih atas doa, dukungan, dan yang senantiasa memberi semangat kepada penulis untuk menyelesaikan skripsi ini.

10) Sahabat-sahabatku Always Be Happy penulis ucapkan terima kasih untuk selalu ada baik suka dan duka dalam penyelesaian skripsi penulis, Bima Helvin Jaya Pasaribu, Debora Saragih, Eka Wandira Butar-butar, Rebeca Ratna Gulo, dan Rizki Amando P Damanik.

11) Sahabatku partner in crime Tina Siregar, A.Md, Fitri Mega Silvia Simbolon, dan Radot Sihotang terima kasih penulis ucapkan atas semua

(9)

nasehat dan semua cinta kalian kepada penulis.

12) Teman-teman seperjuangan stambuk 2015, Juni Purba, S.S, Wina Sitepu, S.S, Retnovela Situmorang, Wahyu Nasyam Lubis, Fionarman Sibarani, Eva Berutu, Agustra Tumanggor, dan yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu, terimakasih atas waktu dan kebersamaannya selama perkuliahan, terimakasih juga atas dukungan dan kepeduliannya kepada penulis.

13) Kakak dan abang stambuk 2012, 2013, dan 2014 yang telah memberikan motivasi dan pemikirannya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

14) Adik-adik stambuk yang telah memberikan semangat kepada penulis untuk menyelesaikan skripsi ini.

15) Semua pihak yang telah membantu, memberi saran, motivasi, nasehat, dan pemikiran kepada penulis yang tidak dapat penulis tuliskan dan sebutkan satu persatu, penulis ucapkan banyak terimakasih sehingga penulis mampu menyelesaikan skripsi ini.

Medan, Januari 2020 Penulis,

Fernando Manalu NIM. 150703008

(10)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ... i

UCAPAN TERIMA KASIH... iv

DAFTAR ISI ... vii

ABSTRAK ... ix

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang Masalah ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 7

1.3 Tujuan Penelitian ... 8

1.4 Manfaat Penelitian ... 8

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 10

2.1 Kepustakaan Yang Relevan ... 10

2.1.1 Pengertian Saur Matua ... 11

2.1.2 Pengertian Antropolinguistik ... 17

2.2 Teori Yang Digunakan ... 18

2.2.1 Konsep Performansi... 19

2.2.2 Konsep Indeksikalitas ... 22

2.2.3 Konsep Partisipasi ... 23

BAB III METODE PENELITIAN ... 24

3.1 Metode Dasar ... 24

3.2 Lokasi Penelitian ... 24

3.3 Sumber Data Penelitian ... 25

3.4 Instrumen Penelitian... 25

3.5 Metode Pengumpulan Data ... 26

3.6 Metode Analisis Data ... 27

BAB IV PEMBAHASAN ... 28

4.1 Performansi Dalam Upacara Adat Saur Matua Pada Masyarakat Batak Toba ... 28

4.1.1 Pasada Tahi ... 29

4.1.2 Mompo/Mangoppoi ... 31

(11)

4.1.3 Marria Raja ... 37

4.1.4 Panambolon ... 38

4.1.5 Maralaman ... 41

4.2 Indeksikalitas Dalam Upacara Adat Saur Matua Pada Masyarakat Batak Toba ... 46

4.3 Partisipasi Dalam Upacara Adat Saur Matua Pada Masyarakat Batak Toba ... 54

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 58

5.1 Kesimpulan ... 58

5.2 Saran ... 58

DAFTAR PUSTAKA ... 60

LAMPIRAN A. Daftar Pertanyaan ... 62

B. Data Informan ... 63

C. Dokumentasi Saat Melakukan Wawancara Pada Informan ... 64

D. Surat Keterangan Penelitian ... 65

(12)

ABSTRAK

Skripsi ini berjudul “Upacara Adat Saur Matua Pada Masyarakat Batak Toba:

Kajian Antropolinguistik”. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan performansi dalam upacara adat saur matua, indeksikalitas dalam upacara adat saur matua, dan partisipasi dalam upacara adat saur matua. Teori yang digunakan untuk menganalisis data penelitian ini adalah teori antropolinguistik yang dikemukakan oleh Alessandro Duranti. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif. Adapun hasil yang diperoleh dari penelitian ini yaitu Performansi dalam upacara adat saur matua terdiri dari 5 tahapan performansi yaitu, (1) pasada tahi, (2) mompo, (3) maria raja, (4) panambolon, dan (5) maralaman. Indeksikalitas dalam upacara adat saur matua yaitu, (1) pakaian adat,(2) ulos, (3) piso panambol, (4) jambar,(5) tikar, (6) uang,(7) tandok, (8) music, (9) demban tiar, dan (10) peti mati. Partisipan dalam upacara adat saur matua yaitu Dalihan Na Tolu yaitu (1) hula-hula, (2) dongan tubu, dan (3) boru

Kata kunci: Saur Matua, Antropolingistik

(13)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Dalam tradisi Batak Toba orang yang meninggal dunia akan mengalami perlakuan khusus dalam sebuah upacara adat kematian. Upacara adat kematian dibagi berdasarkan usia dan stastus yang meninggal. Yang meninggal ketika masih dalam kandungan belum mendapatkan perlakuan adat atau langsung dikubur tanpa peti mati. Tetapi bila meninggal ketika masih bayi, meninggal saat anak-anak, meninggal saat remaja dan meninggal saat sudah dewasa tapi belum menikah akan mendapat perlakuan adat. Mayatnya ditutupi dengan ulos sebelum dikuburkan. Untuk ulos yang akan dibuat saat meninggal masih anak-anak berasal dari orang tuanya. Sedangkan untuk yang meninggal saat remaja dan dewasa tetapi belum menikah maka ulos-nya berasal dari tulang saudara laki-laki ibu yang meninggal. Saur matua menjadi upacara adat tingkat tertinggi berdasarkan pembagian upacara adat di dalam masyarakat Batak Toba, karena yang meninggal semua anaknya telah berumah tangga. Saur matua merupakan konsep upacara adat kematian tertinggi karena tidak memiliki tanggungan anak lagi dalam arti biaya hidup.

Junita S, (2016 : 11) dalam jurnalnya Upacara Kematian Saur Matua Pada Adat Masyarakat Batak Toba (Studi Kasus Tentang Kesiapan Keluarga) di Desa Purbatua Kecamatan Purbatua Kabupaten Tapanuli Utara mengatakan “saur matua adalah orang yang meninggal dunia telah memiliki keturunan dan cucu

(14)

baik dari anak laki-laki maupun dari anak perempuan. Saur artinya lengkap atau sempurna di mana dikatakan bahwa orang yang telah meninggal dunia itu telah sempurna dalam kekerabatan, telah memiliki anak dan memiliki cucu. Sehingga jika yang meninggal sempurna dalam kekerabatan maka acara adat penguburannya pun dilaksanakan dengan sempurna (saur matua)”. Hal ini sejalan dengan pernyataan Simatupang (2016 : 19).

“…Mate Saur Matua adalah sebutan kepada suami atau istri yang meninggal mempunyai anak laki-laki maupun perempuan, dan semuanya sudah berumah tangga dan sudah memiliki cucu baik dari anak laki-laki maupun perempuan, meskipun belum semuanya belum punya anak. Apabila seseorang telah menerima ulos sampetua, maka ia akan menduda atau menjanda seumur hidupnya. Boan atau ternak yang disembelih sudah sepantasnya gaja toba (kerbau) yang bulunya tidak dibuang (namarimbulu) dan tempat membagi daging adat tersebut dari anjungan atau pansa dilemparkan ke bawah dan seorang petugas menyerahkannya kepada yang berhak menerimanya. Gondang saribu raja sudah dapat diacarakan agar semua handai taulan manortor (menari) dan bergembira serta adat ungkap hombung atau piso na ganjang tentu dalam

“jumlah yang besar” serta pasituak na tonggi untuk rombongan hula-hula tentu dengan jumlah rupiah yang banyak pula…”

Pada kesempatan ini penulis membicarakan tentang upacara adat saur matua pada masyarakat Batak Toba. Tata cara saur matua terangkum dalam kebudayaan dan unsur dalihan na tolu yang merupakan suatu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan dalam setiap upacara adat dan merupakan suatu hal yang mendasari kehidupan bermasyarakat etnik Batak Toba. Ketiga unsur Dalihan Na Tolu yakni : (1) hula-hula, (2) dongan tubu, dan (3) boru harus hidup dengan selaras, seimbang, dan teguh terutama dalam setiap upacara-upacara adat. Berikut penjelasan tentang ketiga istilah diatas :

1) Hula-hula, peranannya sebagai pemberi berkat. Simbol ikan mas arsik dan mangulosi melambangkan sebagai berkat yang diturunkan hula- hula kepada pihak boru-nya. Hal itu diberikan tujuannya agar nantinya

(15)

seorang anak yang lahir kedunia tersebut akan menjadi anak yang berbakti pada orangtua dan diharapkan anak ini juga tumbuh sehat sampai ia dewasa. Untuk itu masyarakat Batak Toba sangat memerlukan hula-hula sebagai pemberi saluran berkat.

2) Dongan tubu sebagai pemberi informasi kepada masyarakat Batak Toba yang lainnya. Di mana masyarakat Batak Toba di perantauan jika tidak menghadirkan keluarga kandungnya dalam upacara adat maka hal yang harus dilakukan hula-hula akan mencari keluarga terdekat yang berada di perantauan yang jelas usianya harus lebih tua dari hula-hula agar bersama-sama memberi berkat dan mendukung kesuksesan upacara adat tersebut.

3) Boru peranannya tidak jauh dari hula-hula dan dongan tubu. Yang sedikit membedakan adalah pihak boru ini dengan hula-hula bersama- sama mengutamakan kesuksesan acara adat tersebut. Dengan demikian peran boru ini merupakan rangkaian satu kesatuan yang tidak bisa terlepaskan oleh pihak hula-hula. Hula-hula sebagai penggerak pelaksanaan suatu upacara adat Batak Toba dan boru sebagai eksekusi yang ada dalam upacara adat Batak Toba. (Simanjuntak : 2017).

Dalam upacara adat, perlu adanya komunikasi antara pihak hula-hula, dongan tubu, dan juga boru. Dari interaksi sosial yang dilakukan oleh ketiga pihak tersebut dalam upacara adat Batak Toba menggunakan bahasa Batak Toba.

Bahasa adalah konstruksi realitas fisik/biologis, realitas sosial, dan realitas simbol, yang secara bersama-sama menjadi fondasi tempat fungsi ideasional, fungsi interpersonal, dan fungsi tekstual bekerja. Secara realitas fisik/biologis,

(16)

bahasa digunakan untuk melaporkan isi atau maksud sebagai hasil dari observasi yang dilakukan oleh penutur/penulis. Hal yang dilaporkan adalah apapun yang berada di dalam dan di sekitar diri penutur/penulis tersebut. Secara realitas sosial, bahasa digunakan untuk melakukan peran yang dilakukan oleh penutur/penulis terhadap pengengar/pembaca. Peran tersebut tampak pada kenyataan bahwa bahasa merupakan alat untuk menjalin dan sekaligus mempererat hubungan sosial.

Secara realitas semiotis/simbol, bahasa mengungkapkan isi (hasil observasi tersebut) melalui bentuk-bentuk lingual (teks) yang sesuai dengan tujuan pengungkapan tersebut. Pada kerangka ini, terdapat relevansi antara isi dan bentuk yang digunakan untuk mengungkapkannya (Wiratno dan Santosa : 2014).

Ada beberapa hal yang menjadi alasan dalam penelitian ini, yaitu pelaksanaan upacara adat saur matua sudah mulai menurun, masyarakat Batak Toba sudah jarang menggunakan tradisi lengkap pada upacara adat saur matua dan lebih memilih pelaksanaan tradisi yang lebih sederhana karena dianggap lebih praktis dan yang penting tidak menyalahi aturan agama, sehingga banyak elemen tradisi yang telah dihilangkan karena masyarakat Batak Toba tidak mengetahui makna dan kegunaannya. Penulis merasa tertarik mengkaji upacara adat saur matua karena ada unsur bahasa yang berubah, bergeser, bertambah, serta berkurang pada upacara tersebut. Hal ini dikarenakan pengaruh era globalisasi dan perkembangan teknologi yang sangat pesat sehingga membuat nilai-nilai lama yang dimiliki oleh suatu etnik Batak Toba menjadi goyah karena masuknya nilai- nilai baru dari luar. Masyarakat Batak Toba adalah pemikir yang rasional dan memiliki tatanan kehidupan yang mudah dan praktis, sehingga nilai-nilai adat

(17)

tradisional yang dimiliki masyarakat Batak Toba menjadi terkikis pada zaman sekarang ini.

Simamora, (2017 : 69) dalam skripsinya Saur Matua Etnik Batak Toba:

Kajian Wacana Kritis mengatakan “Penggunaan bahasa Indonesia pada WSM (Wacana Saur Matua) seperti kami (hami), kalian (hamu), kita (hita), Tuhan (Debata Mulajadi na bolon), hari yang akan datang (tingki na naeng ro), dan (dohot), juga (pe), dengan (dohot), kalau (molo), dan asese (olo/jalo), merupakan leksikon yang memiliki dampak positif dan negatif”.

Dampak positifnya yaitu penggunaan kata bahasa Indonesia akan semakin berkembang. Adapun alasan penutur menggunakan kata bahasa Indonesia ini adalah karena anak penutur sudah lahir dan besar di kota sehingga kurang memahami bahasa Batak Toba. Dan apabila penutur menyampaikan pesannya dengan menggunakan bahasa Batak Toba maka lawan tutur tidak mengerti tentang isi dari pesan yang disampaikan oleh penutur. Dan akhirnya pesan yang disampaikan tidak terealisasi karena terjadinya miskomunikasi antara penutur dan lawan tutur. Itulah alasannya mengapa penutur menggunakan bahasa Indonesia pada konteks tersebut.

Dampak negatifnya yaitu penggunaan kata bahasa Indonesia tersebut adalah bahwa bahasa Batak Toba akan tersisih dan tergeser sehingga mengakibatkan hilangnya bahasa daerah itu dan juga merupakan salah satu alasan sebuah bahasa daerah punah.

Pergeseran nilai-nilai disebabkan oleh suku-suku pemilik kebudayaan kurang menghargainya, begitu pula yang disebabkan oleh instansi atau pranata- pranata sosial budaya yang justru membiarkannya dan kurang bertanggung

(18)

jawab, sehingga generasi yang akan datang mengabaikannya. Berkaitan dengan pernyataan di atas, penulis tertarik untuk melakukan penelitian tentang upacara adat saur matua pada masyarakat Batak Toba yang mencakup performansi, indeksikalitas, dan partisipasi yang yang mencerminkan nilai-nilai budaya upacara adat saur matua pada masyarakat Batak Toba sebagai falsafah hidup.

Dalam mengkaji bahasa, kebudayaan, dan aspek-aspek lain kehidupan manusia, pusat perhatian atau perhatian utama antropolinguistik (Duranti, 1997:14) ditekankan pada tiga topik penting, yakni Performansi (performance), Indeksikalitas (indexicality), partisipasi (participation).

Melalui konsep Performansi, bahasa dipahami dalam proses kegiatan, tindakan, dan pertunjukan komunikatif, yang membutuhkan kreativitas.

Bahasa sebagai unsur lingual yang menyimpan sumber-sumber kultural tidak dapat dipahami secara terpisah dari pertunjukan atau kegiatan berbahasa tersebut.

Performansi adalah suatu peristiwa komunikasi yang memiliki dimensi proses komunikasi yang bermuatan sosial, budaya, dan estetik. Pertunjukan memiliki model tindakan dengan tanda tertentu yang dapat ditafsirkan sehingga tindakan komunikasi dapat dipahami. Tindakan komunikasi diperagakan, diperkenalkan dengan objek luar, dan dibangun dari lingkungan kontekstualnya.

Pertunjukan budaya merupakan konteks pertunjukan yang menonjolkan suasana komunitas, yang berkaitan dengan ruang dan waktu.

Selanjutnya, penelitian ini juga akan mengkaji bagaimana bentuk indeksikalitas dalam upacara adat saur matua pada masyarakat Batak Toba yang menjelaskan bahwa indeksikalitas merupakan salah satu gejala yang penting di

(19)

dalam semiotika yaitu sebuah tanda yang menggantikan sesuatu, yaitu objeknya, tidak dalam segala hal, melainkan dalam rujukannya pada sejumput gagasan, yang kadang disebut sebagai latar dari representamen. Selain itu, penelitian ini juga akan mengkaji bagaimana bentuk partisipasi dalam upacara adat saur matua pada masyarakat Batak Toba yang dianalisis dengan teori Duranti (1997) yaitu interaksi keterlibatan dengan orang lain dalam berbahasa.

Partisipasi (penampilan) dapat ditemukan pada unit-unit perilaku tuturan (speech behaviour) dan juga dalam aktivitas bertutur (speech activities). Selain itu, partisipasi juga terjadi situasi yang membutuhkan tuturan (speech situation) seperti acara makan bersama dalam keluarga, acara-acara yang membutuhkan tuturan (speech event) seperti percakapan, wawancara, dan dialog dengan orang lain.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan paparan di atas, adapun rumusan masalah pada penelitian ini, yaitu :

1) Performansi apa saja yang terdapat dalam upacara adat saur matua pada masyarakat Batak Toba?

2) Indeksikalitas apa saja yang terdapat dalam upacara adat saur matua pada masyarakat Batak Toba?

3) Partisipasi apa saja yang terdapat dalam upacara adat saur matua pada masyarakat Batak Toba?

(20)

1.3 Tujuan Penelitian

Adapun tujuan penelitian ini, yaitu :

1) Mendeskripsikan performansi dalam upacara adat saur matua pada masyarakat Batak Toba.

2) Mendeskripsikan indeksikalitas dalam upacara adat saur matua pada masyarakat Batak Toba.

3) Mendeskripsikan partisipasi dalam upacara adat saur matua pada masyarakat Batak Toba.

1.4 Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian adalah segala sesuatu yang dikerjakan harus memberikan manfaat baik untuk diri sendiri maupun orang lain. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat teoritis dan manfaat praktis.

1.4.1 Manfaat Teoritis

1) Memperkaya kajian bahasa Batak Toba yang terdapat di dalam upacara adat saur matua pada masyarakat Batak Toba.

2) Menambah pengetahuan dan wawasan tentang makna dan nilai-nilai budaya Batak Toba yang tercermin dalam upacara adat saur matua pada masyarakat Batak Toba.

3) Menjadi sumber acuan bagi peneliti lanjutan yang ingin mengkaji tentang upacara adat saur matua pada masyarakat Batak Toba dengan menggunakan kajian Antropolinguistik.

(21)

1.4.2 Manfaat Praktis

1) Memperkenalkan kepada pembaca bahwa upacara adat saur matua pada masyarakat Batak Toba dapat dikaji sebagai bahan penelitian.

2) Dapat dijadikan sebagai pelestarian, pembinaan, dan pengembangan makna dan nilai-nilai budaya pada masyarakat Batak Toba.

3) Dapat memberikan masukan pemikiran kepada Dinas Kebudayaan Sumatera Utara untuk melestarikan tradisi upacara adat saur matua pada masyarakat Batak Toba.

4) Menjadi arsip di program studi Sastra Batak untuk dibaca mahasiswa Sastra Batak.

(22)

BAB II

TINJAUAN PUTAKA

2.1 Kepustakaan Yang Relevan

Dalam penulisan sebuah karya ilmiah diperlukan kajian pustaka. Kajian pustaka bertujuan untuk mengetahui keauntetikan sebuah karya ilmiah. Kajian yang dimaksud adalah penelaahan terhadap hasil penelitian lain yang relevan dengan skripsi ini. Penulis menyelesaikan skripsi ini dengan dibantu pustaka yang berupa buku-buku, skripsi, dan tesis terdahulu. Adapun yang mendukung ialah:

1) Duranti, (Buku,1997) dengan judul “Linguistic Anthropology”.

Kontribusi buku ini terhadap skripsi penulis ialah karena buku ini merupakan teori yang digunakan penulis untuk mendeskripsikan rumusan masalah skripsi ini.

2) Sibarani. (Buku, 2004) dengan judul “Antropolinguistik”. Kontribusi buku ini terhadap skripsi penulis ialah karena buku tersebut menjelaskan dengan baik konsep menganalisis bahasa dalam kebudayaan yang sangat berkaitan dengan judul skripsi ini.

3) Tesis yang ditulis oleh Relly Monika Hasugian, (2017) dengan judul

“Upacara Merbayo Etnik Pakpak : Analisis Antropolinguistik”. Tesis ini membahas tentang analisis antropolinguistik upacara “merbayo”

pada masyarakat etnik Pakpak. Kontribusi tesis ini terhadap skripsi penulis ialah dari segi metode menganalisis data, metode analisis data

(23)

dari tesis ini menurut penulis baik untuk diikuti dan merupakan metode yang baik untuk diterapkan.

4) Skripsi Mariana Andini, (2014) dengan judul “Ragam Diksi pada Upacara Adat Saur Matua Masyarakat Batak Toba : Tinjauan Sosiolinguistik”. Skripsi ini membahas tentang diksi yang ada pada tuturan upacara saur matua. Kontribusi skripsi ini terhadap skripsi penulis yaitu membantu penulis melihat ragam diksi yang ada pada upacara saur matua. Perbedaannya terletak pada perubahan-perubahan yang terjadi pada upacara saur matua tersebut.

5) Skripsi yang ditulis oleh Ellen Katrina Simamora, (2017) dengan judul

“Saur Matua Etnik Batak Toba : Kajian Wacana Kritis”. Skripsi ini membahas tentang wacana “saur matua” pada upacara kematian serta tahapan-tahapan pelaksanaan upacara. Kontribusi skripsi ini terhadap skripsi penulis ialah dari segi wacana-wacana yang ada di dalam upacara adat saur matua tersebut.

2.1.1 Pengertian Saur Matua

Ketika seorang masyarakat Batak Toba mati saur matua, maka sewajarnya pihak-pihak kerabat segera mungkin mengadakan musyawarah keluarga (martonggo raja), membahas persiapan pengadaan upacara saur matua. Pihak- pihak kerabat terdiri dari unsur-unsur dalihan na tolu. Dalihan na tolu adalah sistem hubungan sosial masyarakat Batak Toba, terdiri dari tiga kelompok unsur kekerabatan, yaitu: pihak hula-hula (kelompok orang-orang keluarga marga pihak istri), pihak dongan tubu (kelompok orang-orang yaitu : teman atau saudara

(24)

semarga), dan pihak boru (kelompok orang-orang dari pihak marga suami dari masing-masing saudara perempuan kita, keluarga perempuan pihak ayah).

Martonggo raja dilaksanakan oleh seluruh pihak di halaman luar rumah duka, pada sore hari sampai selesai. Pihak masyarakat setempat (dongan sahuta) turut hadir sebagai pendengar dalam rapat (biasanya akan turut membantu dalam penyelenggaraan upacara). Hasugian (2017:232)

Simatupang (2016:14-19) “… Mate Saur Matua adalah sebutan kepada suami atau istri yang meninggal mempunyai anak laki-laki maupun perempuan, dan semuanya sudah berumah tangga dan sudah memiliki cucu baik dari anak laki- laki maupun perempuan, meskipun belum semuanya belum punya anak”.

Pada upacara adat saur matua ada 7 (tujuh) tahapan yang dilakukan pada saat upacara akan dimulai dari awal hingga selesai, yaitu :

1) Pasada Tahi

Acara pasada tahi merupakan acara musyawarah yang singkat untuk mempersiapkan upacara. Acara pasada tahi dilakukan di rumah orang yang meninggal. Orang yang harus hadir dalam acara pasada tahi ada (1) semua anak dari yang meninggal (suhut), dan (2) paidua ni suhut/dongan tubu na sumolhot (keluarga terdekat dari orang yang meninggal) untuk membahas persiapan apa saja yang akan dibicarakan dalam musyawarah umum (marria raja) nantinya.

Dalam musyawarah semua pembicaraan dicatat oleh para paidua ni suhut untuk kemudian dipersiapkan ke musyawarah umum. Dalam acara ini juga ditentukan orang-orang yang akan bertanggung jawab pada setiap bidang kerja yang sudah diberikan kepadanya, misalnya: (a) menentukan orang yang membicarakan riwayat hidup yang meninggal (b) mengurus peti mayat (ruma-ruma), (c) menyebarkan undangan kepada pihak tertentu (1) hula-hula, (2) hula-hula ni

(25)

hahaanggi, (3) hula-hula naposo, (4) tulang, (5) bona tulang, (6) bona ni ari, dan (7) tulang rorobot, (d) menunjuk orang menyebarkan undangan kepada dongan tubu, dongan sahuta, dongan saulaon, rodi ale-ale, (e) menentukan orang yang menyiapkan makanan untuk keluarga dan pihak paradaton, (f) menentukan orang khusus untuk piso-piso ni ulos dan juga bendahara umum, (g) menentukan waktu dilaksanakan maria raja/tonggo raja, (h) hewan apa yang akan disembelih, (i) menentukan waktu mompo, maralaman, memberikan saput dan sampetua, (j) menentukan orang yang mempersiapkan sijagaron sanggul marata, (k) menentukan orang yang menyambut kedatangan hula-hula.

2) Mompo/Mangomppoi

Acara mompo ini dilakukan oleh pihak suhut, hula-hula (panaput), dongan tubu (panambak), dan boru. Pihak hula-hula (panaput) berperan penting yaitu sebagai pelaku atau saksi utama acara moppo. Bila hula-hula (panaput) tidak ada maka acara moppo tertunda untuk dilaksanakan. Pihak dongan tubu (semarga) berperan penting dalam acara mompo karena merekalah yang akan memasukkan jenazah ke dalam peti jenazah. Bila mereka tidak hadir maka acara tersebut tidak akan bisa dilanjutkan. Menurut adat yang berlaku tidak dibenarkan pihak manapun yang memasukkan jenazah ke dalam peti mayat yang telah disediakan selain dongan tubu (panambak). Waktu acara moppo ini dilakukan di dalam rumah yang meninggal.

3) Marria Raja

Marria raja dilakukan ketiga pihak hasuhuton telah mendapatkan kesepakatan dalam acara pasada tahi, maka akan dilanjutkan pada acara ria raja yang bertujuan untuk menyepakati urutan acara yang akan dilaksanakan pada

(26)

acara maralaman keesokan harinya yang diberikan oleh pihak suhut. Pada acara ini pihak suhut juga akan mengundang pihak hula-hula, dongan tubu, boru, raja adat, parsahutaon, dan juga punguan ni huria. Adapun hal-hal yang dibahas pada acara ini yaitu : (a) orang yang sudah diundang, (b) membahas silsilah yang meninggal, (c) jumlah anak yang meninggal, (d) mambahas nama acara adat tersebut (adat na gok), (e) membahas pemberian ulos saput, sampetua sampai mangungkap hombung, (f) orang yang menyambut kedatangan hula-hula, (g) hewan apa yang akan disembelih (pukul berapa makan), (h) waktu acara umum, (i) membahas lokasi penguburan, (j) marsijagaron.

4) Mangembak-embaki dan Panggalangon

Acara mangembak-embaki/panggalangon adalah acara yang dilakukan pada malam hari menjelang acara partuat ni na monding pada besok harinya.

Acara mangembak-embaki dilakukan sebagai pengganti mangandung (meratapi orang yang meninggal). Istilah ini diganti karena masyarakat pada zaman dahulu berpikir bahwa orang yang telah meninggal saur matua tidak layak lagi untuk ditangisi. Dengan alasan bahwa semua beban, kewajiban, dan tanggungjawab kepada anak-anaknya telah selesai dilaksanakan bahkan memperoleh kebahagiaan semasa hidupnya juga telah berumur panjang. Yang hadir pada acara ini adalah hula-hula, dongan tubu, boru, raja ni horja dan juga dongan sahuta. Adapun urutan dari acara mangembak-embaki adalah mulai dari pihak hasuhuton, hula- hula, boru, dongan tubu, dan raja ni horja. Pada acara mangembak-embaki dan acara panggalangon inilah terlihat bahwa pihak boru menghormati pihak hula- hula dan sebaliknya. Acara panggalangon merupakan acara yang dilakukan oleh pihak boru kepada pihak hula-hula.

(27)

Dalam acara ini pihak boru memberi rasa syukur (galang) berupa uang kepada pihak hula-hula. Acara diawali oleh boru suhut yang memberikan rasa syukur kepada hula-hula yaitu keturunan laki-laki dari yang saur matua. Acara ini dilaksanakan bila semua keturunan saur matua sudah mamora (kaya). Acara panggalangon terkadang tidak bersifat keharusan dengan alasan tidak semua keturunan orang yang meninggal mamora (kaya) dan mampu melaksanakan acara panggalangon. Kedua acara tersebut bermakna untuk tetap menjaga keharmonisan dan rasa solidaritas pihak hula-hula dengan pihak boru.

5) Panambolon

Pada saat upacara panambolon dimulai, semua pihak suhut serta dongan tubu raja ni panambol sudah berada di tengah halaman suhut, mereka berbicara dengan baik dan pihak suhut membujuk pihak panambol di atas piring yang berisi beras, sirih, uang serta pisau yang akan digunakan untuk memotong atau menyembelih kerbau. Acara ini dilakukan pada pagi hari. Pada acara ini pihak panambol akan menarikan kepada hewan yang akan disembelih sebanyak tujuh keliling dihadapan suhut setelah itu kepala hewan yang disembelih akan diletakkan pada kayu diatas pansa.

6) Maralaman

Upacara maralaman adalah upacara terakhir yang dilakukan sebelum acara penguburan yang meninggal. Akan tetapi sebelum yang meninggal dibawa ke tengah halaman rumah maka terlebih dahulu dilaksanakan acara gereja, setelah itu semua keturunan yang meninggal mengucapkan kata perpisahan, setelah selesai dilaksanakan maka yang meninggal diangkat kehalaman rumah sambil diiringi dengan lagu perpisahan (biasanya lagu rohani). Yang mengangkat peti ke

(28)

halaman rumah adalah pihak panambak. Semua unsur dalihan na tolu sudah berkumpul di halaman rumah dan mengambil posisi masing-masing.

Setelah semua unsur dalihan na tolu dan pargonsi pada tempatnya, maka gereja kembali membuka upacara di halaman dengan agenda yang dibawakan oleh pengurus gereja. Setelah acara di halaman ini selesai, maka tibalah saatnya acara pemakaman, dan semua orang mengantar yang meninggal ke pemakaman dan kembali lagi ke rumah duka untuk melanjutkan acara ungkap hombung.

7) Ungkap Hombung

Hombung dapat diartikan sebagai suatu tempat yang tersembunyi di dalam rumah, di mana biasanya sebuah keluarga menyimpan harta keluarganya.

Acara ini dilakukan setelah selesai penguburan. Ungkap hombung ini dilakukan oleh pihak hula-hula kepada suhut di mana mereka berhak melihat harta benda yang ditinggalkan oleh yang meninggal seperti boru-nya, saudara perempuan mereka atau namboru „bibi‟ (apabila yang hidup adalah keponakannya).

Mereka berhak meminta harta bendanya sebagai kenang-kenangan, juga sebagai kesempatan terakhir untuk meminta sesuatu sebagai simpanan atau peninggalan dari boru mereka. Biasanya acara ini dilakukan di tengah halaman rumah setelah selesai penguburan dan tanpa memberikan kunci hombung dari boru-nya melainkan pihak suhut hanya menyalamkan uang saja. Setelah selesai mangungkap hombung, maka acara ditutup oleh pengetua adat.

(29)

2.1.2 Pengertian Antropolinguistik

Antropolinguistik adalah cabang linguistik yang mempelajari variasi dan penggunaan bahasa dalam hubungannya dengan perkembangan waktu, perbedaan tempat komunikasi, sistem kekerabatan, pola-pola kebudayaan lain dari suatu suku bangsa. Antropolinguistik menitikberatkan pada hubungan antara bahasa dan kebudayaan di dalam suatu masyarakat seperti peranan bahasa di dalam mempelajari bagaimana hubungan keluarga diekspresikan dalam terminologi budaya, bagaimana cara seseorang berkomunikasi dengan orang lain dalam kegiatan sosial dan budaya tertentu, dan bagaimana cara seseorang berkomunikasi dengan orang dari budaya lain, bagaimana cara seseorang berkomunikasi dengan orang lain secara tepat sesuai dengan konteks budayanya, dan bagaimana bahasa masyarakat dahulu sesuai dengan perkembangan budayanya Sibarani (2004 : 50).

Ada tiga relasi penting dalam antropolinguistik yang harus diperhatikan.

Pertama, hubungan antara satu bahasa dengan satu budaya yang bersangkutan.

Yang berarti bahwa ketika mempelajari suatu budaya, kita juga harus mempelajari bahasanya, dan ketika kita mempelajari bahasanya kita juga harus mempelajari budayanya. Kedua, hubungan bahasa dengan budaya secara umum yang berarti bahwa setiap ada satu bahasa dalam suatu masyarakat, maka ada satu budaya dalam masyarakat itu. Bahasa mengindikasikan budaya, perbedaan budaya atau sebaliknya. Ketiga, hubungan antara linguistik sebagai ilmu bahasa dengan antropologi sebagai ilmu budaya. Sibarani (2004 : 51).

(30)

2.2 Teori Yang Digunakan

Kajian bahasa dalam perspektif antropolinguistik dikaitkan dengan kebudayaan (Duranti, 1997). Dengan perspektif ini, kajian tradisi budaya yang dilakukan bukan hanya menggali struktur bahasa dalam kaitannya dengan budaya, melainkan menggali konteks yang lebih luas seperti konteks situasi, konteks budaya, konteks sosial, dan konteks ideologi dan menggali konteks seperti unsur-unsur material dan paralinguistic yang bermanfaat untuk memahami keseluruhan tradisi yang dikaji (Sibarani, 2014 : 20). Unsur- unsur gotong-royong sebagai budaya dan aspek kegiatan bergotong-royong yang dilakukan masyarakat.

Teori yang digunakan mengacu pada teori Antropolinguistik karya Alessandro Duranti. Dalam buku Alessandro Duranti (1997) menjelaskan hubugan interdisipliner antara ilmu bahasa (linguistik) dengan antropologi.

Duranti mengenalkan konsep “linguistik-antropologi” yang ia gagas sebagai salah satu bentuk wilayah interdisipliner yang mempelajari “bahasa” sebagai sumber budaya dan ujaran sebagai bentuk kegiatan budaya . Penulis buku tersebut juga menunjukkan bahwa linguistik-antropologi juga terbentang luas bersama kajian Etnografi yang menjadi elemen penting dalam kajian ilmu bahasa. Kajian linguistik-antropologi tersebut juga menggambarkan mengenai inspirasi intelektual yang berasal dari hubungan interaksional, berdasarkan pada perspektif aktifitas dan pemikiran manusia. Dalam buku tersebut, penulis menjelaskan bahwa aktifitas ujaran manusia berdasarkan pada aktifitas budaya sehari-hari dan bahasa merupakan piranti yang paling kuat dibandingkan dengan kaca

(31)

pembanding lain (simbol) yang lebih sederhana dalam kehidupan sosial masyarakat.

Dalam mengkaji bahasa, kebudayaan, dan aspek-aspek lain kehidupan manusia, pusat perhatian utama antropolinguistik (Duranti, 1997) ditekankan pada tiga topik penting, yakni performansi (performance), indeksikalitas (indexicality), partisipasi (participation). Melalui konsep performansi, bahasa dipahami dalam proses kegiatan, tindakan, dan pertunjukan komunikatif, yang membutuhkan kreativitas. Bahasa sebagai unsur lingual yang menyimpan sumber-sumber kultural tidak dapat dipahami secara terpisah dari pertunjukan atau kegiatan berbahasa tersebut.

2.2.1 Konsep Performansi

Performansi adalah suatu bentuk bahasa yang digunakan dalam kehidupan sehari-hari, yang memiliki kreativitas dan selalu berkembang. Performansi adalah kemampuan bahasa seseorang ditunjukkan melalui kemampuan riil, seperti berbicara, mendengarkan, dan menulis, pemahaman bahasa sebagai tindakan, juga pertunjukan komunikatif. Performansi memiliki sifat yang konkret (Duranti, 1997).

Antropolinguistik berupaya mengkaji performansi tradisi budaya berdasarkan nilai dan norma budaya yang dirumuskan dari hubungan struktur teks, ko-teks, dan konteks dalam suatu peristiwa atau performansi mengindikasikan bahwa nilai dan norma budaya tradisi lisan sebagai cerminan realitas sosial. Dalam proses komunikasi, teks sebagai tanda verbal pada umumnya didampingi oleh tanda lain, seperti koteks dan konteks. Teks tersebut berfungsi untuk memperjelas pesan atau makna sebuah teks. Performansi

(32)

terbentuk dari sejumlah sumber dan dapat di interpretasikan dalam beberapa cara (Duranti, 1997). Performance (performansi) adalah realisasi nyata pengetahuan penutur dalam tuturan, yang didalamnya tercakup berbagai faktor sosial, fisik, dan kejiwaan (Duranti, 1997).

Dalam buku Oral Tradition and Verbal Art. Finnegan (1992) juga memberikan sejumlah panduan yang dapat diaplikasikan dalam menganalisis dan membandingkan teks dengan memperhatikan aspek gaya, struktur, dan isi serta proses pengolahan teks lisan melalui penerjemahan, pendeskripsian, dan presentasi. Finnegan mengatakan bahwa performansi adalah suatu peristiwa komunikasi yang memiliki dimensi proses komunikasi yang bermuatan sosial, budaya, dan estetik. Pertunjukan memiliki model tindakan dengan tanda tertentu yang dapat ditafsirkan sehingga tindakan komunikasi dapat dipahami. Tindakan komunikasi diperagakan, diperkenalkan dengan objek luar, dan dibangun dari lingkungan kontekstualnya. Pertunjukan budaya merupakan konteks pertunjukan yang menonjolkan suasana komunitas, yang berkaitan dengan ruang dan waktu.

Finnegan (1992) mengatakan bahwa performansi dalam tradisi budaya dapat dibedakan menjadi dua yaitu (1) performansi yang ditampilkan di hadapan audiens, dan (2) performansi yang tidak ditampilkan di hadapan audiens sesuai dengan kondisi tertentu. Model performansi pertama dimanfaatkan untuk tujuan hiburan, dan model kedua dimanfaatkan untuk tujuan sakral. Finnegan mengatakan bahwa dalam performansi melibatkan unsur performer (orang yang melakukan pertunjukan), audiens dan partisipan (orang -orang yang terlibat pertunjukan), serta media (sarana dan prasarana yang digunakan, baik verbal maupun material). Konsep performansi yang digunakan dalam kajian ini aspek–

(33)

aspek kelisanan dari sebuah penyajian tradisi lisan diantaranya komposisi, transmisi, dan audiens. Performansi merupakan penggunaan bahasa secara nyata dalam situasi komunikasi yang sebenarnya yang merupakan cerminan dari sistem bahasa yang ada pada pikiran penutur. Misalnya dalam upacara saur matua pada masyarakat Batak Toba, performansi ditunjukan pada acara pemberian nasehat berupa harapan dan doa dari hula-hula yang disampaikannya lewat kalimat berikut : “Sahat solu tinogu sahat tu bontean, Diacara parmompoon ni namboru nami on leleng ma antong hamu mangolu Jala tangkas sahat tu nagabean, Songoni ma sian hami hula-hula muna” (sampai perahu diiring sampai ke pelabuhan, diacara parmompoon bibi kami ini semoga kalian berumur panjang sampai sejahtera, begitulah dari kami hula-hula kalian).

(34)

2.2.2 Konsep Indeksikalitas

Salah satu ranah penelitian yang paling penting dalam bidang antropolinguistik dalam tiga dekade terakhir adalah Indeksikalitas (Duranti, 1997). Indeksikalitas adalah tanda yang dihubungkan dengan objek yang ada pada dunia nyata (bukan merupakan penafsiran), sesuatu yang membutuhkan reaksi dan perhatian.

Pierce (2001), indeksikalitas adalah hubungan antara tanda dan objeknya atau acuan yang bersifat kemiripan. Dia menyatakan bahwa ikon adalah tanda yang memiliki kemiripan/similaritas dengan objeknya ikon, jika ia berupa hubungan kemiripan atau dengan kata lain, indeksikalitas merupakan sesuatu yang menggantikan sesuatu bagi seseorang dalam beberapa hal atau kapasitas. Ia tertuju kepada seseorang, artinya di dalam benak orang itu tercipta suatu tanda lain yang ekuivalen, atau mungkin suatu tanda yang lebih terkembang. Tanda yang tercipta itu disebut sebagai interpretan dari tanda yang pertama. Tanda yang menggantikan sesuatu, yaitu objeknya, tidak dalam segala hal, melainkan dalam rujukannya pada sejumput gagasan, yang kadang disebut sebagai latar dari representamen. Pierce (2001), mencirikan Indeksikalitas sebagai “suatu tanda yang menggantikan (stands for) sesuatu semata-mata karena ia mirip dengannya”, sebagai suatu tanda yang “mengambil bagian dalam karakter-karakter objek”; atau sebagai suatu tanda yang “kualitasnya mencerminkan objeknya, membangkitkan sensasi-sensasi analog di dalam benak lantaran kemiripannya.”

Indeksikalitas tidak hanya berupa tanda-tanda yang terdapat di dalam komunikasi visual, melainkan juga dalam hampir semua bidang semiotis, termasuk di dalam bahasa. Pada penelitian ini ini akan dibahas Indeksikalitas

(35)

dalam upacara saur matua pada masyarakat Batak Toba. Indeksikalitas adalah tanda yang didasarkan pada kemiripan di antara tanda (representamen) dan objeknya, walaupun tidak semata-mata bertumpu pada pencitraan “naturalistik”

seperti apa adanya, karena grafik skema,atau peta juga termasuk yang dapat dikatakan ikon. Jenis tanda yang didasari resemblance itu adalah tanda ikonis, dan gejalanya dapat disebut sebagai ikonisitas.

Konsep Indeksikalitas menyangkut tanda yang memiliki hubungan eksistensial dengan yang diacu. Pada masyarakat Batak Toba terdapat banyak tanda yang digunakan sebagai Indeksikalitas dalam upacara saur matua pada masyarakat Batak Toba.

2.2.1.3 Partisipasi

Partisipasan dalam teori Antropolinguistik merupakan interaksi keterlibatan dengan orang lain dalam berbahasa. Partisipasi (penampilan) dapat ditemukan pada unit-unit perilaku tuturan (speech behaviour) dan juga dalam aktivitas bertutur (speech activities). Selain itu, Partisipasi juga terjadi situasi yang membutuhkan tuturan (speech situation) seperti acara makan bersama dalam keluarga, acara-acara yang membutuhkan tuturan (speech event) seperti percakapan, wawancara, dan dialog dengan orang lain, dan juga tindak tutur (speech act) yang berupa sapaan, permintaan maaf, pertanyaan, dan perkenalan (Hymes, 1972). Partisipasi dalam upacara adat saur matua pada masyarakat Batak Toba dikenal dengan istilah dalihan na tolu yaitu : (1) somba marhula-hula; (2) manat mardongan tubu; (3) elek marboru.

(36)

BAB III

METODE PENELITIAN

Metode penelitan adalah upaya untuk menghimpun data yang diperlukan dalam penelitian (Manurung, 2010 : 19). Dengan kata lain bahwa metode akan memberikan jawaban atau petunjuk terhadap pelaksanaan penelitian atau bagaimana cara penelitian ini dilakukan untuk memperoleh data yang aktual yang dapat dibuktikan kebenarannya terhadap objek permasalahan.

3.1 Metode Dasar

Dalam proposal skripsi ini, penulis menggunakan metode etnografi sebagai metode penelitian yang digunakan untuk meneliti bagaimana proses upacara adat saur matua pada masyarakat Batak Toba. Metode etnografi merupakan salah satu metode penelitian kualitatif. Penelitian etnografi merupakan kegiatan pengumpulan bahan keterangan atau data yang dilakukan secara sistematik mengenai cara hidup serta berbagai aktivitas sosial dan berbagai benda kebudayaan dari suatu masyarakat. Bungin (2011 : 220). Berbagai peristiwa dan kejadian unik dari komunitas budaya akan menarik perhatian peneliti etnografi.

3.2 Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian yang dijadikan penulis adalah Desa Hutaginjang, Kecamatan Muara, Kabupaten Tapanuli Utara. Ada 3 alasan penulis memilih lokasi tersebut : (1) karena Desa Hutaginjang merupakan desa adat yang masih tetap melaksanakan upacara adat saur matua pada masyarakat Batak Toba sampai sekarang. (2) Mudah mencapai lokasi, dan (3) memiliki key informan yang memadai.

(37)

3.3 Sumber Data Penelitian

Sumber data dari penelitian ini diperoleh dari narasumber (informan) yaitu sebagai sumber data, sumber informasi dari apa yang akan diteliti oleh penulis.

Peristiwa atau aktivitas yaitu sebagai sumber data yang diperoleh dengan mengamati bagaimana kegiatan upacara adat saur matua pada masyarakat Batak Toba tersebut berjalan. Tempat atau lokasi yaitu sebagai sumber data yang berkaitan dengan keadaan atau kondisi dari kegiatan itu dilakukan. Dokumen atau arsip yaitu bahan tertulis atau benda, seperti data, keterangan, pedoman, rekaman- rekaman dan sebagainya yang berkaitan dengan upacara adat saur matua. Dalam penelitian ini tokoh adat dijadikan sebagai informan kunci (key of information) karena selalu bertindak sebagai aktor di dalam upacara adat saur matua pada masyarakat Batak Toba dan dapat memberikan informasi yang akurat dari upacara tersebut. Penulis juga melengkapi data berupa dokumen-dokumen, buku-buku, artikel serta video sebagai data pendukung.

3.4 Instrumen Penelitian

Instrumen atau alat yang digunakan pada penelitian ini ialah alat yang berisi informasi upacara adat saur matua pada masyarakat Batak Toba Di sisi lain penulis sebagai „human instrument‟ karena penulis berasal dari Batak Toba.

Instrumen lain atau alat pendukung dalam penelitian ini adalah:

1) Alat tulis dan buku catatan untuk mencatat segala data-data penting dari informan yang berhubungan dengan objek penelitian.

2) Alat perekam suara untuk merekam percakapan/wawancara sebagai penyempurna catatan yang telah didapatkan dari informan.

(38)

3) Kamera sebagai alat yang digunakan untuk mendokumentasikan aktivitas upacara saur matua.

3.5 Metode Pengumpulan Data

Untuk mendapatkan data yang sesuai dengan masalah penelitian ini, maka pengumpuan data dilakukan dengan tiga cara, yaitu:

1) Teknik Observasi

Sugiyono (2013) mengemukakan bahwa, observasi merupakan suatu proses yang kompleks, suatu proses yang tersusun dari berbagai proses biologis dan psikologis. Dua di antara yang terpenting adalah proses-proses pengamatan dan ingatan. Didalam pengertian psikologik, observasi atau yang disebut pula dengan pengamatan, meliputi kegiatan pemuatan perhatian terhadap sesuatu objek dengan menggunakan seluruh alat indra. Penulis melakukan pengumpulan data dengan cara mengamati proses upacara adat saur matua pada masyarakat Batak Toba.

Penulis menggunakan observasi, yaitu mengamati jalannya upacara adat saur matua pada masyarakat Batak Toba.

2) Teknik Wawancara

Metode pengumpulan data adalah dengan jalan wawancara, yaitu mendapatkan informasi dengan cara bertanya langsung kepada informan, dalam hal ini kepada tokoh-tokoh adat, pendeta, masyarakat setempat, tamu undangan pada upacara adat saur matua. Wawancara adalah proses memperoleh keterangan untuk tujuan penelitian dengan cara tanya jawab, dengan menggunakan alat yang dinamakan panduan wawancara (Sugiyono, 2013). Wawancara dilakukan dengan mengajukan pertanyaan langsung kepada informan atau subjek penelitian ini.

(39)

Pengumpulan data atau informasi dengan cara melakukan tanya jawab secara langsung dengan informan sehingga informasi yang diperoleh lebih jelas mengenai tata cara upacara adat saur matua pada masyarakat Batak Toba.

3) Metode Pustaka

Metode pustaka yaitu penelitian dengan mencari data dari buku-buku yang ada hubungannya dengan upacara adat saur matua pada masyarakat Batak Toba.

3.6 Metode Analisis Data

“Metode analisis data adalah metode atau cara dalam mengelola data yang mentah, sehingga menjadi data yang cermat atau akurat dan ilmiah” (Hutasoit, 2012 : 27). Dalam konteks ini analisis adalah kegiatan untuk memanfaatkan data sehingga dapat diperoleh kebenaran objek dan teori. Dalam menganalisis, penulis dituntut untuk memiliki nalar dan kreativitas yang tinggi sehingga data yang dianalisis akurat, serta kebenarannya mampu dipertanggungjawabkan.

Menganalisis data merupakan suatu langkah yang sangat kritis dalam penelitian, karena tahap dalam menyelesaikan masalah ialah menganalisis. Untuk menganalisis data penelitian ini, maka penulis menggunakan metode deskriptif.

Langkah-langkah yang digunakan oleh penulis dalam menganalisis data ialah:

1) Mengeliminasi data yang tidak sesuai dengan pokok permasalahan.

2) Mengklasifikasikan data yang sesuai dengan pokok permasalahan.

3) Menganalisis data-data sesuai dengan kajian yang telah ditetapkan.

4) Membuat kesimpulan dari data yang diperoleh.

(40)

BAB IV

PEMBAHASAN

Pada bab ini disajikan hasil penelitian dan pembahasan mengenai upacara adat saur matua pada masyarakat Batak Toba yaitu untuk mengetahui bagaimanakah performansi, indeksikalitas, dan partisipasi dalam upacara adat saur matua pada masyarakat Batak Toba.

4.1 Performansi Dalam Upacara Adat Saur Matua Pada Masyarakat Batak Toba

Skripsi ini membahas tentang Antropoliguistik yang berhubungan dengan tiga relasi penting yang perlu diperhatikan. Pertama hubungan antara satu bahasa dengan satu budaya yang bersangkutan yang berarti bahwa ketika mempelajari suatu budaya kita juga harus mempelajari bahasanya dan ketika kita mempelajari bahasanya kita juga harus mempelajari budayanya. Performansi adalah kemampuan bahasa seseorang yang ditunjukan melalui kemampuan riil seperti berbicara, mendengarkan, dan menulis. Pemahaman bahasa sebagai tindakan juga pertunjukan komunikatif. Performasi memiliki sifat yang konkret. (Duranti, 1997 : 14-17).

Dalam upacara adat saur matua pada masyarakat Batak Toba ada 5 (lima) tahapan performansi yang dilakukan sebelum hari penguburan dan setelah penguburan, yaitu :

1) Pasada Tahi

2) Mompo/Mangoppoi 3) Maria Raja

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan tahapan-tahapan upacara adat saur matua, ragam diksi yang direalisasikan dalam kata, frase, ungkapan, pantun, dan juga ragam diksi

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apa saja makna dari Pohon hariara dalam sanggul marata pada upacara adat kematian Saur matua di Batak Toba, untuk

Dari penelitian yang diperoleh dapat disimpulkan bahwa pelaksan~n upacara saur matua akan memerlukan waktu, uang yang banyak, tetapi dapat juga mcngikat persatuan bagi

karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul MAKNA SIMBOLIK DALAM PEMBERIAN ULOS PADA PERKAWINAN ADAT BATAK TOBA: KAJIAN ANTROPOLINGUISTIK.. Penulis

Nilai-nilai budaya yang terdapat dalam pemberian ulos pada perkawinan adat Batak Toba, ialah nilai kekeluargaan, nilai kasih sayang, nilai kesetian, nilai

Kini masyarakat Batak Kristen memahami upacara saur matua bukan untuk menyembah si orang tua agar kekuatan sahala diberikan kepada anak-cucunya, tetapi sebagai ungkapan syukur

Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan tahapan-tahapan upacara adat saur matua, ragam diksi yang direalisasikan dalam kata, frase, ungkapan, pantun, dan juga ragam diksi

Sebelum ajaran agama Kristen muncul pada kebudayaan masyarakat batak toba, musik yang digunakan dalam upacara adat kematian saur matua adalah satu set ensambel Gondang sabangunan