Makna Pohon Hariara Etnis Batak Toba Pada Sanggul Marata
Dalam Upacara Adat Kematian Saurmatua Di Desa Pardomuan
Nauli Kecamatan Laguboti
SKRIPSI
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan
OLEH
ADE AGETA SIBUEA
3113122004
PENDIDIKAN ANTROPOLOGI
FAKULTAS ILMU SOSIAL
UNIVERSITAS NEGERI MEDAN
▸ Baca selengkapnya: parjambaran adat batak toba
(2)(3)(4)(5)ABSTRAK
Ade Ageta Sibuea, 3113122004, Makna Pohon Hariara Etnis Batak Toba Pada Sanggul Marata Dalam Upacara Adat Kematian Saurmatua di Batak Toba di Desa Pardomuan nauli Kecamatan Laguboti.Skripsi Jurusan Pendidikan Antropologi, Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Medan, 2016.
Penelitian ini mengenai Makna Pohon Hariara Etnis Batak Toba Pada Upacara Adat Kematian Saurmatua di Desa Huta Tinggi Kecamatan Laguboti. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apa saja makna dari Pohon hariara dalam sanggul marata pada upacara adat kematian Saur matua di Batak Toba, untuk mengetahui bagaimana fungsi dan pemanfaatan pohon hariara oleh masyarakat Batak Toba, dan kepercayaan yang diyakini masyarakat Batak Toba terkait dengan upacara adat saur matua dan hubungan pohon hariara prosesi adat dalam upacara adat kematian Saurmatua.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif yang dilaksanakan dengan pendekatan etnografi. Teknik pengumpulan data yang dilakukan untuk memperoleh data adalah Observasi, wawancara, dan studi dokumen. Observasi dilakukan dengan mengadakan pengamatan langsung pada Upacara Adat Kematian Saurmatua tentang penggunaan pohon hariara, sedangkan wawancara yang digunakan untuk memperoleh data tentang perkembangan Pohon hariara pada upacara kematian Saur matua.
Hasil penelitian yang diperoleh bahwa makna dari Pohon hariara ini sebagai kehidupan yang sejahtera. Seperti pada bagian daun yang mempunyai makna perlindungan dari segala marabahaya, bagian batang yang mempunyai makna pembawa rezeki dan keberkahan, dan kemudian bagian akar yang mempunyai makna persatuan antara manusia dengan manusia serta keselarasan dengan alam di sekitarnya. Sehingga filosofi yang terdapat di pohon ini pun kini menjadi nasihat bagi masyarakat Batak agar dapat hidup seperti halnya pohon beringin yang dapat berguna bagi sesama. hariara digunakan sebagai sarana untuk melakukan upacara adat kematian saur matua. Dimana upacara tersebut dinamakan Sanggul Marata ( sijagaron).
i
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis ucapkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala
berkat, rahmat, dan kasihnya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan
penyusunan skripsi tepat pada waktunya. Skripsi yang berjudul Makna Pohon
hariara dalam Sanggul Marata Pada Upacara Adat Kematian Saurmatua Di Batak
Toba di Desa Pardomuan Nauli Kecamatan Laguboti disusun sebagai salah satu
syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pendidikan pada Program Studi
Pendidikan Antropologi Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Medan.
Penulis berharap tulisan ini bisa bermanfaat kepada semua pihak yang
membacanya baik untuk tujuan pemahaman maupun untuk penelitian lebih lanjut.
Meskipun demikian, penulis juga berharap untuk diberikan saran masukan yang
baik dan berguna agar menjadi lebih.
Dalam penyusunan skripsi ini, tentunya melibatkan berbagai pihak. Maka
penulis ingin mengucapkan terimakasih atas bantuan dan kerjasama serta
dukungan kepada :
1. Rektor Universitas Negeri Medan, Bapak Prof.Syawal Gultom M.Pd.
2. Ibu Dra. Nurmala Berutu, M.Pd selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial
Universitas Negeri Medan beserta jajarannya.
3. Dekan Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Medan, Bapak Dr. H.
ii
4. Ketua Program Studi Pendidikan Antropologi, Ibu Dra. Puspitawati, M.Si.
5. Bapak Drs. Tumpal Simarmata, M.Si selaku dosen pembimbing skripsi
yang telah memberikan begitu banyak bimbingan, saran dan arahan
kepada penulis sejak awal penelitian sampai dengan selesainya penulisan
skripsi ini.
6. Bapak Drs. Waston Malau, MSP, Bapak Drs. Payerli Pasaribu, M.Si, Ibu
Supsiloani, S.Sos, M.Si sebagai dosen penguji yang memberikan banyak
saran dan masukan kepada penulis untuk penyempurnaan skripsi ini.
7. Bapak Drs. Payerli Pasaribu sebagai dosen pembimbing akademik yang
memberikan bimbingan kepada penulis selama dalam perkuliahan.
8. Seluruh dosen/ staf pengajar di Program Studi Pendidikan Antropologi
yang memberikan bimbingan dan pengajaran kepada penulis selama dalam
perkuliahan.
9. Kedua orang tua tercinta, Bapak A.Sibuea dan Mama D.Siagian yang telah
memberikan doa, motivasi, tenaga, dan materi kepada penulis selama
menjalankan perkuliahan hingga menyelesaikan skripsi ini.
10.Terima kasih penulis ucapkan kepada pihak yang terkait dalam proses
penelitian yaitu bapak Kepala Desa Pardomuan Nauli dan hampung jelli
yang memiliki pengetahuan dalam menyelesaikan skripsi ini.
11.Abang dan adik-adikku, Eduart Sibuea, Ion Sibuea, Maria Sibuea,
Nivertiti Sibuea, Alimson Claude Sibuea yang telah memberikan doa dan
iii
12.Teman-teman penghuni kos putri 86 khususnya Novita Sari Sianturi,
Shintauli Sihombing, vera hutajulu , dll yang telah memberikan doa dan
dukungan untuk menyelesaikan skripsi ini.
13.Sahabat-sahabatku Katarina Marpaung, Kiki Lumbangaol, Melva, Tio
Hasian, Puspa Simajuntak, Gandiz Pratiwi yang telah memberikan doa
serta dukungannya untuk menyelesaikan skripsi ini.
14.Teman-teman seperjuangan di Prodi Pendidikan Antropologi khususnya
stambuk 2011 yang tidak dapat saya ucapkan satu per satu.
15.Kepada teman-teman PPL SMA SW. BTB stambuk 2011 yang
memberikan dukungan untuk menyelesaikan skripsi ini.
Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam skripsi ini. Oleh
karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran dari pembaca yang
mebmbangun untuk kesempurnaan skripsi ini.
Akhir kata, penulis berharap agar skripsi ini dapat bermanfaat untuk
menambah wawasan serta pengetahuan pembaca.
Medan, 30 Januari 2016
Penulis,
Ade Ageta Sibuea
iv DAFTAR ISI
ABSTRAK
KATA PENGANTAR ...i
DAFTAR ISI ...iv
DAFTAR TABEL ... vii
BAB I PENDAHULUAN ... 1
1.1. Latar Belakang Masalah ...1
1.2. Identifikasi Masalah ...6
1.3. Pembatasan Masalah ...6
1.4. Perumusan Masalah ...7
1.5. Tujuan Peneitian ...7
1.6. Manfaat Penelitian ...8
BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORI ...9
2.1 Kerangka Teori ...9
2.1.1. Fungsi ...9
2.1.2. Interaksionisme Simbolik ...11
2.1.3. Religi ...12
2.2 kerangka konsep ...13
2.2.1. Batak Toba ...13
v
2.2.3. Saurmatua ...17
2.2.4. Upacara kematian ...19
2.3 Kerangka Berfikir ...21
BAB III METODOLOGI PENELITIAN ...22
3.1. Jenis Penelitian ...22
3.2. Lokasi Penelitian ...22
3.3. Informan Penelitian ...23
3.4. Teknik Pengumpulan Data ...23
3.4.1 Observasi ...23
3.4.2 Wawancara ...24
3.4.3 Studi Pustaka ...24
3.5. Teknik Analisa Data ...24
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ...26
4.1. Gambar Umum Lokasi Penelitian ...26
4.1.1 Keadaan Penduduk Dan Jumlah Penduduk ...28
4.1.2 Pendidikan ...30
4.1.3 Sarana Dan Prasarana ...31
vi
4.2 Makna Pohon Beringin Dalam Etnis Batak Toba Pada Upacara
Kematian Saurmatua Di Desa Huta Tinggi Kecamatan Laguboti ...33
4.2.1 Makna Pohon Beringin Di Batak Toba ...33
4.2.2 Fungsi Dan Manfaat Pohon Beringin ...38
4.2.3 Kepercayaan Yang Diyakini Oleh Masyarakat Batak Toba Terkait Dengan Budidaya Dan Pengolahan Pohon Beringin Dalam Adat Batak Toba ...39
4.2.4. Hubungan Pohon Beringin Dengan Prosesi Adat Dalam Upacara Adat Kematian Saur Matua ...42
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ...59
5.1. Kesimpulan ...59
5.2. Saran ...60
DAFTAR PUSTAKA ...61
vii
DAFTAR TABEL
Halaman
1. Luas Wilayah Menurut Desa/ Kelurahan ... 29
2. Luas Wilayah, Jumlah Penduduk Dan Kepadatan Penduduk Menurut Desa/ Kelurahan
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1Latar Belakang
Di berbagai daerah, Indonesia memiliki budaya yang sangat berbeda yang
menunjukkkan ciri khas masyarakat Indonesia. Begitu juga suku Batak Toba
sendiri, dimana suku Batak terbagi menjadi enam Sub-suku yaitu Batak Toba,
Batak Karo, Batak Pakpak, Batak Simalungun, Batak Angkola, dan Batak
Mandailing. Tapanuli merupakan tempat kediaman Batak Toba , dimana terdapat
kepercayaan terhadap tumbuhan yang masih dianggap memiliki roh dan dimana
tumbuhan tersebut menjadi salah satu hal yang terpenting dalam upacara adat
kematian saurmatua dimana sering disebut dengan Sanggul Marata. Sanggul
Marata dalam hal ini disebut sebagai Pohon hariara yang diibaratkan sebagai
sanggul orang meninggal.
Hariara sangat akrab dengan budaya asli Indonesia. Tumbuhan berbentuk
pohon besar ini sering kali dianggap suci dan melindungi penduduk setempat.
Sesaji sering diberikan di bawah pohon hariara yang telah tua dan berukuran besar
karena dianggap sebagai tempat kekuatan magis berkumpul. Beberapa orang
menganggap tempat di sekitar pohon hariara adalah tempat yang “angker” dan
perlu dijauhi. Hubungan pohon hariara dengan upacara adat itiadat Batak Toba,
terdapat suatu kebiasaan yang sangat unik yaitu “Sanggul Marata”, yang
dilakukan dalam setiap upacara kematian sarimatua,saurmatua maupun
2
saurmatua maulibulung. Sanggul Marata dalam hal ini adalah Pohon hariara yang
diibaratkan sebagai sanggul orang meninggal.
Sarimatua yaitu seseorang meninggal setelah mempunyai cucu baik dari anak
laki-laki atau perempuan tetapi masih ada anak lelaki atau perempuan yang belum
berumah tangga (hot-ripe). Sari artinya masih ada tugas yang belum terlaksana,
maksudnya tugas untuk menikahkan anak. Saurmatua yaitu seseorang meninggal
setelah mempunyai cucu dari semua anak laki-laki dan perempuan atau semua
cucunya sudah mempunyai anak. Maulibulung yaitu seseorang meninggal setelah
cucunya bercucu.
Sanggul Marata adalah instrument sekaligus sebagai simbol keberhasilan
seseorang yang meninggal yang telah berhasil semasa hidupnya dalam
menjalankan fungsi yang diartikan oleh ke-empat sudut bakul/ampang dimaksud.
Pada saat seseorang meninggal maka diperbuatlah dan dipertunjukkan pada
khalayak ramai sesuatu yang disebut dengan ”sanggul marata” yaitu
bakul/ampang yang berisikan : eme (padi), gambiri (kemiri) , sangge-sangge
(serai/sereh) , silanjuang na rata dohot narara (daun binahong yang rata dan
merah) , sanggar (rumput pimping), bulung ni jajabi (daun pisang), ompu-ompu
(bunga kuburan), yang kesemua benda tersebut adalah simbol keberhasilan dari
yang meninggal. Sanggul Marata adalah perlambang hamadumaan yaitu
kesejahteraan, bahwa keluarga itu seorang yang Maduma. Artinya telah beranak
cucu dari anak laki-laki dan dari anak perempuan, mata pencaharian baik serta
sosiawan, tumpuan orang bertanya baik dalam kehidupan sehari-hari terutama
3
Di dalam kultur Batak kematian seseorang yang sudah bercucu, tapi anaknya
belum semuanya menikah (sari matua) dan yang anaknya sudah semuanya
menikah serta punya cicit (saur matua) dianggap sebagai suatu peristiwa besar
yang sudah sepatutnya disyukuri (tidak banyak lagi kesedihan disana). Karena
bagi orang Batak, kekayaan tak hanya dilihat dari harta melimpah. Namun
memiliki keturunan banyak merupakan kekayaan dan kebanggaan yang tak
ternilai. Kelak ketika mereka meninggal, kebanggan ini akan disimbolkan dalam
mahkota dedaunan (sanggul marata/sijagaron/onda-onda). Sanggul marata
diletak di halang hulu atau arah atas kepala.
Sanggul marata terdiri dari macam-macam tumbuhan yang dirangkai
sedemikian rupa. Ada lima macam daun yang digunakan, yaitu hariara (pohon
ara), daun baringin (beringin), ompu-ompu (bunga bakung), sanggar (ilalang
yang beruas), dan sangge-sangge (serai). Kelima daun ini ditanam dengan
menggunakan padi dalam ampang (bakul) bersegi empat yang terbuat dari
anyaman bambu. Mangkok berisi beras, kemiri dan telur ayam kampung diletak di
atas padi.
Semua tumbuhan diartikan sebagai simbol-simbol keberhasilan yang dicapai
dan diwariskan kepada keturunannya. Segala unsur dalam sanggul marata punya
arti tersendiri. Sejak dulu, Pohon hariara dikenal sebagai pohon yang tumbuh di
halaman perkampungan Batak dan dijadikan tempat berkumpul. Sehingga
4
Hariara dikenal sebagai tumbuhan yang kokoh, memiliki banyak cabang serta
rimbun sehingga diartikan simbol kekokohan dan keberhasilan. Sanggar
merupakan tumbuhan yang jika diterpa angin akan mengayun naik turun sehingga
bermakna bahwa kehidupan mempunyai grafik yang turun naik atas terpaan yang
datang. Ompu-ompu diartikan bahwa yang meninggal sudah mempunyai anak
cucu dan apa yang sudah diperoleh baik diteruskan anak cucunya. Terakhir
sangge-sangge artinya yang meninggal mampu menjaga kesehatan dirinya dan
keturunannya. Ampang atau bakul yang memiliki empat sisi juga punya arti.
Selama hidup, kita akan ditopang oleh empat unsur yaitu partubu (orang tua),
boru (perempuan), hula-hula (paman), dan pariban (saudara). Padi dalam ampang
bermakna sebagai berkat yang diberikan Tuhan pada seluruh keluarga.
Semakin banyak keturunan maka tingkatan ampang akan dibedakan. Nyayian
rohani bertema kematian akan mengiringi acara sepanjang malam. Di bagian
kepala diletakkan sanggul marata. Keesokan harinya, sebelum penguburan,
dilakukan acara maralaman, peti dibawa ke halaman rumah. Sanggul marata
dijunjung menantu perempuan, diikuti semua keturunan yang kemudian dibawa
mengelilingi jenazah sambil manortor (menari). Setelah acara penguburan selesai,
tanaman tersebut ikut ditanam di kuburan.
Di beberapa wilayah, sanggul dibiarkan mengering di rumah. Untuk padi dan
beras dimasak oleh keluarga dan dimakan bersama-sama sebagai wujud syukur
atas berjalannya acara. Tak ada yang tahu sejak kapan budaya ini dimulai dalam
masyarakat Batak, karena tak pernah ditemukan tulisan soal sanggul marata.
5
perangkai sanggul marata tak pernah belajar merangkai secara khusus lewat
tulisan. Kebudayaan dipertahankan dan diturunkan lewat ingatan orang tua yang
diwariskan kepada anak cucunya. Karena tak ada pendokumentasian, maka tak
ada acuan yang menjadi dasar pelaksanaan adat. Hal ini menyebabkan terdapatnya
perbedaan di beberapa daerah dari segi penataan daun.
Di Laguboti, misalnya, apabila yang meninggal hanya mempunyai cucu dari
pihak perempuan maupun cucu hanya dari pihak laki-laki tidak dibuat daun
hariara. Sampai sekarang, penggunaan Sanggul Marata sangat penting dalam
upacara adat kematian sarimatua, saurmatua, dan maulibulung pada masyarakat
Batak Toba sudah merupakan adat yang sangat penting bagi masyarakat Batak
Toba yang bermukim di Kabupaten Toba Samosir (TOBASA) Kecamatan
Laguboti khususnya. Selain itu sudah ada penelitian sebelumnya yang pernah
dilakukan dalam membahas Fungsi dan Makna Sanggul Marata (sijagaron) dalam
upacara kematian saurmatua.
Dari gambar permasalahan tersebut diatas, peneliti merasa tertarik untuk
melakukan penelitian yang ilmiah dengan judul penelitian : “Makna Pohon
hariara Etnis Batak Toba Pada Sanggul Marata Dalam Upacara Adat
6
1.2Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas dapat dikemukakan identifikasi
masalah sebagai berikut :
1. Makna pohon hariara bagi masyarakat batak toba
2. Fungsi dan pemanfaatan pohon hariara oleh masyarakat Batak Toba
3. Kepercayaan yang diyakini masyarakat Batak Toba terkait dengan
upacara adat saur matua
4. hubungan pohon hariara prosesi adat dalam upacara adat kematian
Saurmatua.
1.3Batasan Masalah
Karena luasnya cakupan identifikasi masalah diatas maka peneliti membatasi
ruang lingkup penelitian menjadi : “Makna Pohon hariara Etnis Batak Toba
Pada Sanggul Marata Dalam Upacara Adat Kematian Saurmatua Di Desa
7
1.4Perumusan Masalah
Dengan adanya pembatasan masalah di atas maka yang menjadi perumusan
masalah dalam penelitian ini adalah :
1. Apa makna pohon hariara bagi masyarakat batak toba?
2. Apa fungsi dan manfaat pohon hariara?
3. Kepercayaan apa yang diyakini oleh masyarakat Batak Toba terkait
dengan upacara adat saur matua?
4. Bagaimanakah hubungan pohon hariara dengan prosesi adat dalam
upacara adat kematian saurmatua?
1.5Tujuan penelitian
Adapun tujuan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui makna pohon hariara bagi masyarakat Batak Toba
2. Untuk menjelaskan fungsi dan pemanfaatan pohon hariara oleh
masyarakat Batak Toba.
3. Untuk mendeskripsikan kepercayaan dan upacara-upacara ritual adat
yang terkait dengan pohon hariara.
4. Untuk menjelaskan hubungan pohon hariara prosesi adat dalam
8
1.6Manfaat Penelitian
Dengan tercapainya tujuan penelitian di atas, diharapkan hasil penelitian ini
memiliki manfaat yaitu sebagai berikut :
1. Sebagai penambah pengetahuan bagi penelitian pembaca mengenai
Makna Pohon hariara dalam Sanggul Marata Pada Upacara Adat
Kematian Saurmatua Di Batak Toba Di Desa Pardomuan nauli
Kecamatan Laguboti
2. Sebagai bahan bacaan atau literatur untuk peneliti lanjutan bagi yang
ingin meneliti pada permasalahan yang sama.
3. Sebagai sumbangan pemikiran bagi yang memerlukan khususnya
Mahasiswa Jurusan Pendidikan Antropologi UNIMED untuk
pengembangan karya ilmiah di masa yang akan datang.
4. Memberikan tambahan pengetahuan tentang fungsi dan makna pohon
hariara bagi masyarakat pada upacara adat Batak Toba dan juga
sebagai masukan bagi masyarakat khususnya generasi muda untuk
59
BAB V
KESMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
pohon hariara mempunyai makna sebagai kehidupan yang sejahtera. Hal
tersebut dimaknai dengan beberapa filosofi yang terkandung dalam budaya
masyarakat batak toba dalam bagian yang terdapat di pohon hariara.
Makna ampang dimana adalah takaran dari saurmatua yang dilakukan
ketika upacara adat kematian saurmatua. Makna bulung nihariara (daun hariara)
yaitu simbol sebagai tanda bahwa keturunannya sudah martorop mabuea
(berketurunan banyak). Makna dari Ranting yaitu simbol dari marhahamaranggi
(kakak beradik). Orang tua berharap anaknya akan mempunyai pinompar
(keturunan) seperti ranting dari pohon hariara dimana rantingnya memiliki ranting
kuat dan bercabang banyak. Makna akar yaitu keturunan yang memiliki pondasi
yang kuat dalam kehidupan keluarga orang batak toba. Makna dari manghunti
ampang atau mengangkat ampang yaitu mengangkat dari semua isi sijagaron
dimana si istri dari suami pertama dan sudah memiliki keturunan anak baik
laki-laki maupun perempuan dan harus pahompu baoa (cucu laki-laki-laki-laki) yang
memegang foto dari si ompung dan jika sudah bernini/bernono (cucunya sudah
memiliki cucu) maka nini/nononya yang mengangkat ampang.
60
5.2 Saran
1. Adat istiadat etnis Batak Toba perlu disosialisasikan kepada generasi muda
sehingga generasi muda mengetahui adat istiadat yang berlaku pada
etnisnya sendiri.
2. Perlu ditumbuhkan sikap yang kristis, peka terhadap upacara Sanggul
Marata (Sijagaron) dan menjaga agar tetap menjadi warisan budaya dan
diterima oleh setiap lapisan masyarakat.
3. Setiap masyarakat Batak Toba dapat mengembangkan tentang adat budaya
Batak Toba agar adat budaya Batak Toba tetap lestari dan dapat dikenal
61
Daftar Pustaka
Chanang. 2010. Upacara Adat Pemakaman Di Indonesia. Jakarta : Pt. Multi
Kreasi Satu Delapan
Gultom, Ibrahim. 2010. Agama Malim Di Tanah Batak. Jakarta
Gultom, Raja Marpodang, D.J. 1992. Dalihan Natolu Nilai Budaya Suku Batak.
Medan : CV Media Sarana
Koentjaraningrat , 1987. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta : PT Rineka Cipta.
Koentjaraningrat, 1985. Ritus Peralihan di Indonesia. Jakarta : Balai Pustaka
Koentjaraningrat, 1990. Beberapa Pokok Antropologi Sosial. Jakarta : PT Rineka
Cipta
Koentjaraningrat, 1997. Beberapa Pokok Antropologi Sosiologi. Jakarta : PT.
Bineka Cipta
Koentjaraningrat, 2003. Buku Kamus Antropologi. Jakarta : PT Rineka Cipta.
Marsdem, William. 2008. Sejarah Sumatera. Jakarta : Komunitas Bambu
Moleong, Lexy, J. 2000. Metodologi Penelitian kualitatif. Bandung : PT Remaja
Rosdakarya.
Pelly Usman & Menanti Asih, 1999. Teori- teori Sosiologi Budaya. Jakarta
Ridwan, 2004. Metode Riset. Jakarta : Rineka Cipta
62
Saifuddin, Fedyani Achmad, 2005. Antropologi Kontemporer Suatu Pengantar
Krisis Mengenai Paradigma. Edisi Pertama. Jakarta: Kencana
Siahaan, Nalom. 1982. Adat Dalihan Natolu Prinsip Dan Kekuasaan Orang
Batak Toba. Jakarta : Yayasan Obor Indonesia
Simajuntak, Batara Sangti. 1978. Sejarah Batak Balige. Jakarta : Karl Sianipar
Company
Simanjuntak, Bungaran Antonius. 2009. Konflik Status Dan Kekuasaan Orang
Batak Toba. Jakarta : Yayasan Obor Indonesia
Simanjuntak, Bungaran Antonius. 2012. Konsepku Membangun Bangso Batak :
Manusia, Agama dan Budaya. Jakarta : Yayasan Pustaka Obor Indonesia
Situmeang, Doangsa P.L.2007. Dalihan Natolu Sistem Sosial Kemasyarakatan
Batak Toba. Jakarta : Kerabat
Soekanto, Soejono. 2006. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta : PT. Raja
Grafindo Persada
Tambunan, E.H. 1982. Sekelumit Mengenai Masyarakat Batak Toba Dan
63
Sumber Internet
http://budaya-indonesia.org/Sanggul-Marata/ (Diakses 08 Maret 2011)
Balai Arkeologi Medan : Upacara Saur Matua : Konsep ”Kematian Ideal”
Pada Masyarakat Batak (Studi Etnoarkeologi)
http://rumametmet.com/2007/04/14/hamatean/ (Diakses 08 Maret 2011)
https://tanobatak.wordpress.com/2009/02/19/sijagaron/ (Diakses 08 Maret