• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pihak Laki-laki (Dongan Tubu) Tulang/Hula-hula Boru/Pariban/ Hela Penatua Kampung Penatua Kampung Tulang/Hula-hula Pihak Perempuan (Dongan Tubu) Boru/Hela/ Pariban Pihak Laki-laki (Dongan Tubu) Tulang/Hula-hula Boru/Pariban/ Hela Penatua Kampung Penatua Kampung Tulang/Hula-hula Pihak Perempuan (Dongan Tubu) Boru/Hela/ Pariban

Ends merujuk pada maksud dan tujuan pertuturan. Peristiwa tutur marhata yang terjadi di rumah maupun di gedung bermaksud untuk mencapai suatu tujuan. Peristiwa tutur marhata situasi tutur marhusip bermaksud untuk mengkonfirmasi keseriusan hubungan antara calon mempelai pengantin perempuan dan calon pengantin laki-laki dan penentuan jumlah mahar yang akan diterima pihak calon pengantin perempuan.

Act sequence mengacu pada bentuk ujaran (bagaimana ujaran itu disampaikan) dan isi ujaran. Bentuk ujaran yang digunakan dalam percakapan Bahasa Batak Toba sehari-hari berbeda dengan bentuk ujaran dalam acara pesta. Begitu juga dengan isi (topik) yang dibicarakan.

Key mengacu pada nada, cara dan semangat di mana suatu pesan disampaikan; dengan senang hati, dengan serius, dengan singkat, dengan sombong, dengan mengejek, dan sebagainya. Hal ini dapat ditunjukkan dengan gerak tubuh dan isyarat.

Instrumentalities mengacu pada jalur bahasa yang digunakan seperti jalur lisan, tertulis, melalui telegraf atau telepon. Instrumentalities juga mengacu pada kode ujaran seperti bahasa, dialek ragam atau register.

Norm of interaction and interpretation mengacu pada norma atau aturan dalam berinteraksi dan norma penafsiran terhadap ujaran dari lawan bicar. Misalnya, yang berhubungan dengan cara berinterupsi, bertanya, dan sebagainya

Genre adalah suatu kategori komunikasi yang dapat berupa puisi, umpama, doa, lelucon, ungkapan, iklan, dan sebagainya. Status sosial partisipan sangat menentukan ragam bahasa yang digunakan. Tipe-tipe tuturan yang

digunakan untuk berkomunikasi, aktivitas minimal dimediasi oleh tiga genre, yaitu percakapan dalam ruang (indoor conversation), percakapan luar ruang (outdoor conversation), dan percakapan melalui media (conversation by media). Corak bahasa yang digunakan dalam marhata adalah bahasa tutur parhataan yang berbeda dengan corak pemakaian bahasa Batak Toba di luar upacara adat. Pemakaian tersebut termasuk di dalamnya penggunaan umpama dan umpasa yang merupakan ciri khas dalam marhata pada upacara adat Batak Toba.

Penggunaan umpama dan umpasa merupakan salah satu ciri-ciri bahasa tutur parhataan adat Batak Toba karena penggunaan umpama dan umpasa merupakan salah satu ciri khas yang membuat acara menjadi khusus dalam acara marhata „bicara adat‟.

Apakah seorang parhata haruslah orang yang benar-benar bisa menggunakan umpama dan umpasa? Sihombing (1997:15) mengatakan bahwa orang Batak sangat penting sekali mengetahui umpama dan umpasa, khususnya berbahasa tutur dalam acara adat agar apa yang akan disampaikan itu dapat lebih meresap diterima oleh pendengar. Apabila hendak menasehati seseorang, umpasa sangat baik disampaikan dan akan lebih berkesan lagi dan efektif apabila dibarengi dengan umpama. Keindahan untaian kata bahasa pantun atau umpasa tidak hanya menambah indahnya rangkaian kata-kata tetapi juga pesan yang hendak disampaikan.

Penggunaan umpama dan umpasa merupakan keharusan dalam bahasa tutur parhataan pada setiap upacara adat Batak Toba karena hal ini merupakan ciri khas dalam bahasa tutur adat Batak Toba. Oleh karena itu tanpa kehadiran

umpama dan umpasa, acara kegiatan adat bagi masyarakat Batak Toba khususnya dan masyarakat Batak umumnya akan terasa tidak seperti bahasa tutur acara adat.

Umpama dan umpasa merupakan dua istilah yang berbeda. Dalam bahasa Indonesia, umpama dapat disamakan dengan „pepatah‟, sedangkan umpasa adalah sama dengan „pantun‟. Umpasa terdiri dari dua baris maupun empat baris. Bila umpasa terdiri dari dua baris, baris pertama merupakan sampiran dan baris kedua merupakan isi dan jika umpasa terdiri dari empat baris, baris pertama dan kedua merupakan sampiran, baris ketiga dan keempat merupakan isi.

Umpama bersifat statis sedangkan umpasa sifatnya dinamis. Sihombing (1997:18) mengatakan bahwa umpama tidak dapat diubah bentuknya, misalnya : “Tedek songon indahan di balanga”, tidak dapat diganti seperti misalnya, “Tedek songon juhut di balanga.”, sedangkan umpasa dapat diubah sesuai dengan jenis upacara adatnya.

Berikut ini contoh umpasa pada acara adat marhata sinamot (Pardede, 1981:71-72) .

Sahat-sahat ni solu ma „Sesampai sampan‟ Sahat tu bontean „Sampai ke pelabuhan

Nunga sahat ro raja ni pamoruonta „Penghormatan adat sudah disampaikan boru‟ Sai sahat ma hita on saluhutna gabean „Semoga kita semuanya selamat-selamat‟

Solu adalah perahu kecil atau sampan. Bontean berarti „pelabuhan, tempat sampan-sampan berlabuh‟. Dengan naik sampan kita dapat bepergian dari satu pelabuhan ke pelabuhan lain.

Panggabean berasal dari kata dasar gabe artinya „sejahtera dan bahagia‟. Kebanyakan orang Batak Toba (menurut pikiran yang diwariskan para nenek moyang), ialah berumur panjang, mudah mendapat rejeki, beroleh keturunan anak laki-laki dan anak perempuan; lebih sempurna lagi kalau bercucu, bercicit, bahkan berbuyut. Untuk memperoleh kebahagiaan itu diwajibkan setiap orang berbuat kebajikan terhadap orang tua, antara hula-hula dengan boru, dan sesama dongan tubu. Cara-cara penghormatan seperti dimaksud ini dapat dianggap merupakan sarana untuk memperoleh sarana untuk memperoleh kebahagiaan dan kesejahteraan, ibarat sarana solu untuk dapat menyinggahi bontean.

Berikut ini contoh umpasa pada acara adat marunjuk (Pardede, 1981:80- 81) .

Purba ma tondong ni angkola Timur berlawanan arah dengan angkola‟ Simonang-monang di julu ni tapian Pemenang di udik sungai‟

Saut maduma ma hita jala mamora Jadilah kita kaya dan makmur‟ Sai monang ma hita ditahi-tahian Selalu menang dalam rencana‟

Purba (timur) selalu merupakan tempat matahari bercahaya pada waktu pagi. Udik atau hulu sungai dianggap tempat pemenang sebab tempat permulaan banjir. Keadaan ini telah merupakan sesuatu ketetapan. Ketetapan ini dijadikan sebagai perbandingan dengan penghargaan semoga masing-masing yang hadir tetap makmur dan kaya, serta menjadi pemenang pada setiap rencana yang dibuat.

Sebagaimana dijelaskan diatas bahwa upacara adat dihadiri oleh unsur DNT (Hula-hula, Boru, Dongan Sabutuha) serta unsur lainnya, yang masing-

masing ikut berpartisipasi aktif dalam upacara tersebut. Corak bahasa tutur parhataan yang dipakai juga akan berbeda khususnya dalam pemakaian umpasa.

Berikut ini jenis umpasa yang diucapkan oleh hula-hula: Bintang na rumiris „Bintang yang berarak‟ Ombun na sumorop „Embun yang mencercah‟

Anak pe riris „Putera banyak‟

Boru pe torop „Puteripun banyak'

Umpasa tersebut mengandung arti „semoga keturunan kalian sebanyak bintang dan embun di langit‟.

Berikut ini jenis umpasa yang diucapkan oleh boru : Eme sitamba ma

Binahen gabe boni,

Ima didok hatanta sahat ma i dioloi tondi, jujunma i disimanjujung nami,

Tuak di abara nami, ampu dohot di ampuan nami gabe nang hami na ginabeanmu

Umpasa tersebut mengandung arti semoga berkat yang kita katakan diterima oleh badan, banyak keturunan, kaya dan panjang umur kami semuanya.

Seorang pembicara sering menyesuaikan kedudukan dan fungsinya di dalam peristiwa adat sehingga perlu membuat variasi penggunaan umpasa sesuai dengan tujuan pembicaraan. Berikut ini contoh umpasa umum yang dapat dikatakan oleh siapapun.

Nunga sampulu pitu lili di tanganhu Pasampulu ualuhon jugianami

Nunga uli nipi nami

Adong hamu pangalu-aluan nami

Menurut (Pardede, dkk. 1981:90-91), penggunaan umpasa itu masih sangat umum. Kalau pihak hula-hula memakainya, akan dibuat variasinya sebagai berikut :

Nunga sampulu pitu lili di tanganhu Pasampulu ualuhon jugianami Nunga uli nipi nami

Adong hamu pangalu-aluanhu Ba pagodang hamu ma sinamotmuna

Kemudian, kalau pihak boru menggunakan umpasa tersebut, maka dapat dibuat variasinya seperti berikut :

Nunga sampulu pitu lili di tanganhu Pasampulu ualuhon jugianami Nunga uli nipi nami rajanami

Sebuah percakapan baru dapat disebut sebagai sebuah peristiwa tutur kalau memenuhi syarat seperti yang disebutkan di atas. Berdasarkan kriteria tersebut di atas acara marhata pada upacara adat perkawinan Batak Toba termasuk suatu peristiwa tutur sebab seluruh komponen SPEAKING seperti yang dijelaskan di atas dicakup dalam acara marhata. Sehingga dengan demikian pemahaman marhata dimaknai sama dengan percakapan

Dari uraian kerangka pikir di atas yang membahas peristiwa tutur marhata dalam 3 situasi tutur upacara adat perkawinan Batak Toba (marhusip, marpudunsuat, dan marunjuk) dalam kaitannya dengan pengenalan topik-topik marhata, pola gilir bicara marhata, dan pola pasangan berdekatan marhata dengan mengaplikasikan teori pengenalan topik marhata oleh Sibarani (1997), yang menggunakan pendekatan analisis percakapan untuk menemukan pola gilir bicara dan pasangan berdekatan oleh Sacks, dkk (1974) dalam perspektif pragmatik dengan model analisis oleh Yule (1996), maka konstruk analisis yang digunakan dalam penelitian yang berjudul Marhata Dalam Upcara Adat Perkawinan Batak Toba diringkas dan digambarkan dalam bagan berikut.

Dokumen terkait