BAB III
PERANAN DALIHAN NATOLU SEBAGAI MEDIATOR DALAM PENYELESAIAN SENGKETA PERKAWINAN ADAT BATAK TOBA
B. Permasalahan Yang Sering Timbul dalam Perkawinan Adat Batak Toba
Sebagaimana telah kita ketahui pengertian dasar dari prinsip Dalihan
Natolu pada bab sebelumnya, maka dalam hal penyelesasian permasalahan dalam
masyarakat Batak Toba, Dalihan Natolu dapat dikatakan sebagai lembaga yang
memiliki peran yang sangat penting dalam proses penyelesaiannya.
Lembaga Dalihan Natolu ini pada dasarnya memiliki peran yang sangat
penting dalam proses penyelesaiannya. Lembaga Dalihan Natolu ini pada
dasarnya memiliki peran di dalam tatanan sosial kemasyarakatan dari masyarakat
Batak Toba. Sehingga di dalam penyelesaian permasalahan, Lembaga Dalihan
Natolu ini berperan sebagai unsur dan motor penggerak dari proses penyelesaian
permasalahan itu sendiiri bila terjadi konflik dalam kehidupan anggota
masyarakatnya.
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa Dalihan Natolu ini telah
mengawali penghayatan dan pengamalan kehidupan berdemokrasi di kehidupan
anggota masyarakatnya, walaupun masih dalam sifat etnis terbatas (ethnic scope)
tetapi otentik (authenticity). Hal ini dipedomani mereka lewat pepatah “Hata torop
(mayoritas) adalah induk keputusan, suara menyendiri adalah suara orang yang
tidak waras (tidak berakal sehat).22
1. Perselisihan Suami - Isteri
Adapun permasalahan yang sering timbul dalam peranan Dalihan Natolu
di bidang hukum perkawinan adat Batak Toba.
Sengketa ini dapat timbul apabila terjadi perihal perselingkuhan baik yang
dilakukan oleh si isteri maupun si suami. Hal lainnya adalah apabila suami
bertindak kasar maupun pada anggota keluarganya (misalnya terhadap
anak-anaknya)
Sering juga perselisihan dalam rumah tangga timbul karena salah satu
pihak melalaikan tugas dan tanggung jawabnya di dalam rumah tangga. Misalnya
si suami tidak menafkahi keluarganya, si isteri bersikap boros atau tidak mengurus
keluarga dengan baik, si suami suka berjudi, mabuk-mabukan, berfoya-foya, dan
lain sebagainya.
Dalam adat Batak tidak dikenal adanya istilah perceraian sehingga jika
terjadi perceraian maka si isteri yang keluar dari rumah tersebut dan ia tidak akan
memperoleh apapun dari harta bersama selama pernikahan mereka. Sehingga di
masa kini, banyak perempuan Batak memilih mempertahankan rumah tangga
mereka apapun yang terjadi, namun jika ternyata tidak dapat dipertahankan juga,
maka perempuan Batak lebih memilih untuk menyelesaikan perceraian mereka
lewat pengadilan agar ia tidak kehilangan hak atas anak-anak mereka bila dalam
22
perkawinan tersebut telah dikaruniai anak serta terhadap perolehan harta bersama
selama perkawinan berlangsung.
2. Sengketa yang Mengakibatkan Perceraian (Parsirangan – padao-dao)
Sengketa ini dapat timbul karena beberapa hal antara lain:
a. Dalam pernikahan tersebut tidak dikaruniai anak-anak atau keturunan
(anak laki-laki atau perempuan). Yang banyak terjadi pada masyarakat
Batak adalah ketiadaan anak laki-laki (putera) sebagai generasi
penerus/keturunan marga, sehingga si suami ingin menikah lagi dengan
perempuan lain, tanpa menceraikan isteri sebelumnya, sementara si isteri
tersebut tidak bersedia diperlakukan demikian (isteri tidak bersedia untuk
dimadu oleh suaminya dengan alasan apapun)
b. Dalam pernikahan tersebut sudah tidak ditemukan lagi kesamaan visi dan
misi, serta kesamaan persepsi dan tujuan berumah tangga (timbulnya
perbedaann prinsip yang amat radikal diantara keduanya, yang kemudian
mempengaruhi kestabilan rumah tangga mereka tersebut)
c. Terdapatnya campur tangan dari pihak ketiga (keluarga besar pasangan
suami isteri tersebut, baik dari pihak si suami tersebut maupun si isteri)
yang membuat hubungan suami isteri mereka menjadi renggang dan rusak,
sehingga mempengaruhi kestabilan rumah tangga tersebut.
d. Salah satu pihak atau bahkan keduanya selingkuh (baik berakhir dengan
perzinahan atau tidak dan pasangannya tidak mampu untuk memaafkan
e. Salah satu pihak melanggar janji atau komitmen yang pernah diucapkan
f. Suami tidak menafkahi keluarga dan tidak mau berusaha bekerja dan
memenuhi kebutuhan rumah tangga yang memang telah menjadi tanggung
jawab suami sebagai kepala keluarga.
g. Si suami melalaikan kewajibannya sebagai kepala rumah tangga
h. Si suami melakukan tindak kejahatan dalam rumah tangga (kekerasan
dalam rumah tangga/KDRT)
i. Si suami suka mabuk, berjudi, berzinah dengan perempuan lain
j. Si perempuan melalaikan kewajibannya dalam rumah tangga
k. Salah satu pihak mengalami penyakit menular yang mematikan atau
membahayakan sekelilingnya
l. Terjadi pertengkaran terus menerus antara mereka yang tak kunjung
selesai, yang akhirnya merusak atau mengganggu keharmonisan hubungan
dan menggoyahkan hubungan rumah tangga mereka dan lain sebagainya.
Dalam hal ini perselisihan dicoba diselesaikan terlebih dahulu oleh pihak
intern hanya antara mereka saja (yaitu para pihak saja) bila ternyata tidak
membuahkan hasil maka upaya tersebut kemudian dicoba kembali untuk
diselesaikan oleh ketiga unsur Dalihan Natolu yaitu Pihak Dongan Tubu, Parboru,
dan pihak Hula-hula yang duduk bersama membicarakan sengketa yang dialami
pasangan rumah tangga tersebut.
Bila ternyata juga tak membuahkan hasil, maka disinilah pihak mediator
Mediator tersebut dapat dipilih dari Ketua Adat, Raja Hata atau orang yang
dituakan dan cukup disegani karena wibawannya di masyarakat.
Ketiga unsur Dalihan Natolu ini kemudian duduk bersama dengan
mediator yang telah dipercayai oleh para pihak, bermusyawarah dan bermufakat
lalu mencari jalan keluar terbaik untuk seluruh pihak. Sebisa mungkin jalan
perceraiann harus dihindari. Karena dalam adat Batak tidak dikenal adanya
perceraian, sehingga bila isteri pergi dari rumah dan tak mau kembali lagi dengan
sendirinya seluruh hak sebagai isteri baik terhadap anak, harta selama mereka
berumah tangga akan menjadi hapus dan hak tersebut jatuh pada suami.
Bila ternyata perceraian tidak dapat dihindari, maka keputusan yang
diambil harus keputusan yang terbaik bagi seluruh pihak untuk dilakukan
perpisahan atau perceraian (parsirangan) melalui proses hukum, dan diselesaikan
di pengadilan. Hal ini diatur dalam Pasal 39 ayat 1 UU No.1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan yang isinya sebagai berikut :
“Perceraian hanya dapat dilakukan didepan Sidang Pengadilan setelah
Pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua
belah pihak.”
Adapun tentang tata cara perceraian yang diatur PP No.9 Tahun 1975
adalah sebagai berikut :
1. Pada Pasal 14 PP No.9 Tahun 1975 :
Seorang suami yang telah melangsungkan perkawinan menurut agama
Islam, yang akan menceraikan isterinya, mengajukan surat kepada Pengadilan di
isterinya disertai dengan alasan-alasannya serta meminta kepada Pengadilan agar
diadakan sidang untuk keperluan itu.
2. Pasal 15 PP No.9 Tahun 1975 :
Pengadilan yang bersangkutan mempelajari isi Surat yang dimaksud dalam
Pasal 14, dan dalam waktu selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari memanggil
pengirim Surat dan juga isterinya untuk meminta penjelasan tentang segala
sesuatu yang berhubungan dengan maksud perceraian itu.
3. Pasal 16 PP No.9 Tahun 1975 :
Pengadilan hanya memutuskan untuk mengadakan sidang pengadilan
untuk menyaksikan perceraian yang dimaksud dalam Pasal 14 apabila memang
terdapat alasan-alasan seperti yang dimaksud dalam Pasal 19 Peraturan
Pemerintah ini, dan Pengadilan berpendapat bahwa antara suami isteri yang
bersangkutan tidak mungkin lagi didamaikan untuk hidup rukun lagi dalam rumah
tangga.
Melalui proses hukum, dibicarakan mengenai beberapa masalah antara lain :
a. Pengasuhan anak-anak (jika dalam pernikahan tersebut telah dikaruniai
anak atau keturunan)
b. Biaya hidup anak-anak apabila pengasuhan berada di tangan ibunya
c. Hubungan antara anak-anak dan orang tuanya setelah kedua orang tuanya
berpisah (baik berpisah atau bercerai melalui pengadilan maupun tidak
d. Kepemilikan harta bersama selama pernikahan berlangsung
e. dan lain sebagainya
Hal kepemilikan harta bersama selama pernikahan berlangsung harus
dibicarakan lewat pengadilan apabila lewat lembaga Dalihan Natolu tidak
berhasil.
Hasil tersebut didasarkan pada dasar Hukum Undang-undang Perkawinan
dan Jurisprudensi yang dikeluarkan oleh Mahkamah Agung, yaitu
Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 tahun 1974 pasal 35 ayat jo. Jurisprudensi
Mahkamah Agung No.100 K/Sip/1967, yang isinya sebagai berikut :
a. Undang-undang Perkawinan Nomor 1 tahun 1974 pasal 35 ayat 1 : “Harta
benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama”
b. Keputusan Mahkamah Agung No.100 K/Sip/1967: “tidak dipersoalkan
siapapun yang menghasilkan harta tersebut, maka harta tersebut adalah
harta bersama, kecuali diperjanjikan sebelumnya”
Sehingga dalam hal perceraian, yang menjadi tujuan utama pembicaraan
dalam musyawarah lewat mediator adalah kepentingan anak-anak di atas
segalanya (bila dalam perkawinan telah dikaruniai anak) dan perihal kepemilikan
harta bersama yang dibagi secara adil.
Hal tersebut diutamakan demi perkembangan psikologis atau kejiwaan
anak-anak dan psikis si Isteri (si perempuan yang umumnya menjadi pihak yang
paling dirugikan bila terjadi perceraian dalam masyarakat Batak Toba) agar
akibat perceraian kedua orang tuanya, juga si isteri (perempuan) jangan sampai
terganggu jiwanya akibat perceraian yang dialaminya.
Oleh karena itu pula, dalam perceraian harus diupayakan dilakukan proses
perceraian secara damai, maksudnya bahwa dalam proses perceraian tersebut tidak
ada perebutan hak asuh anak, dilakukan pembagian harta bersama secara adil, dan
kedua orang tua juga harus rukun dan damai walau telah hidup berpisah (tidak
seperti ketika mereka belum bercerai, yang mana mereka selalu terlibat
pertengkaran besar dan konflik yang berujung pada amarah, penyiksaan,
kekerasan dan dendam) serta tetap melakukan pengasuhan anak-anak dengan
bersama-sama, walaupun mereka telah hidup berpisah setelah proses perceraian
selesai.
3. Permasalahan di Bidang Warisan
Sengketa waris sering terjadi setelah pewaris wafat dan orang-orang tua
kebanyakan juga sudah meninggal dunia. Penyebabnya adalah anggota
masyarakat masa kini sudah lebih banyak dipengaruhi alam pikiran serba
kebendaan (materialistis) sebagai akibat dari kemajuan zaman dan timbulnya
banyak kebutuhan hidup mengakibatkan nilai-nilai, rasa malu, rasa kekeluargaaan
dan tolong menolong sudah semakin surut.
Apabila terjadi permasalahan harta warisan maka biasanya semua anggota
keluarga pewaris almarhum berkumpul atau dikumpulkan oleh salah seorang
anggota waris yang berwibawa bertempat di rumah pewaris. Pertemuan dapat
menurut susunan kekerabatan bersangkutan ataupun oleh juru bicara yang
ditunjuk dan disaetujui bersama para anggota keluarga yang hadir.23
23
Hadikusuma Hilman, Hukum Waris Adat, (Bandung : Citra Jaya Bakti, 2003) h. 117
Hal yang sering terjadi dalam hal sengketa waris adalah timbulnya
sengketa antaera janda pewaris, terhadap keluarga besar atau kerabat pewaris
dalam hal ini ,mertua dan para ipar yang merasa bahwa keluarga besar atau
kerabat si pewaris yang paling berhak terhadap harta perkawinan yang dihasilkan
selama perkawinan antara pewaris dan isterinya, daripada si janda pewaris sendiri,
aplagi bila selama perkawinan mereka si janda tidak memberikan keturunan bagi
pewaris yang telah meninggal tersebut.
Padahal kita ketahui bahwa harta yang diperoleh selama perkawinan
disebut sebagai harta bersama karena si janda turut andil dalam perolehan harta,
walau ia tidak turut mencari, namun peran sertanya dalam perolehan harta
bersama selama perkawinan tidak perlu dipertanyakan hingga janda pewaris yang
paling berhak terhadap harta peninggalan tersebut daripada keluarga besar atau
kerabat si pewaris sendiri.
Hal tersebut didasarkan pada dasar hukum Undang-undang Perkawinan
dan Jurisprudensi yang dikeluarkan oleh Mahkamah Agung, yaitu
Undang-undang Perkawinan Nomor 1 tahun 1974 pasal 35 ayat 1 ji. Jurisprudensi
Mahkamah Agung No.100 K/Sip/1967, yang isinya sebagai berikut:
a. Undang-undang Perkawinan Nomor 1 tahun 1974 passal 35 ayat 1: “Harta
b. Jurisprudensi Mahkamah Agung No.100 K/Sip/1967: “Tidak dipersoalkan
siapapun yang menghasilkan harta tersebut, selama harta tersebut diperoleh
selama dalam ikatan perkawinan, maka harta tersebut adalah harta bersama,
kecuali diperjanjikan sebelumnya”
Perceraian menimbulkan masalah terhadap anak-anak dan harta bersama.
Pasal 37 Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan mengatur
masalah harta bersama apabila terjadi perceraian diatur menurut hukumnya
masing-masing. Hukum masing-masing yaitu hukum adat, hukum agama dan
hukum lainnya. Dalam masyarakat Batak Toba berlaku hukum adat, baik dalam
memutuskan untuk perceraian maupun pembagian harta bersama. Di mana jika
perceraian disebabkan karena kesalahan perempuan, maka pihak perempuan wajib
membayar dua kali lipat dan tuhor yang diterima pihak perempuan, dan pihak
perempuan tidak berhak menuntut pembagian harta bersama.
Terjadinya perceraian menimbulkan masalah lain yaitu tentang harta bersama, di
mana segala harta yang di dapat selama perkawinan berada dibawah kekuasaan
suami, akan tetapi menyangkut harta bawaan tetap berada dalam kekuasaan
masing-masing. Upaya untuk menyelesaikan pembagian harta bersama dilakukan
dengan musyawarah keluarga, dan besarnya hak masing-masing menunjukkan
tidak adanya keseimbangan, di mana hak suami lebih besar dari isteri. Salah satu
saran yang diajukkan adalah dalam pembagian harta bersama sebaiknya
Permasalahan lainnya adalah timbulnya perebutan waris diantara
keturunan pewaris terhadap harta yang ditinggalkan. Dalam tradisi adat Batak,
dikampung halaman, tiap anak laki-laki yang menikah, akan didirikan di tanah
adat mereka rumah tempat tinggal untk anak yang menikah tersebut agar anak
tersebut mandiri (dipajae), demikian seterusnya hal tersebut terjadi sejak anak
pertama (siakkangan) menikah hingga pada adik-adiknya.
Namun, untuk anak laki-laki paling kecil (siampudan) orang tua mereka
tidak lagi mendirikan rumah untuk tempat tinggalnya karena rumah tempat tinggal
mereka selama inilah yang kemudian diberikan untuk bagiannya (panjaeannya)
dan dirumah tersebutlah kemudian ia tinggal, bersama dengan orang tuanya,
sebelum orang tuanya meninggal, dan setelah orang tuanya meninggal maka
rumah tersebut kemudian menjadi miliknya secara pribadi sebagaimana rumah
lain yang didirikan orang tua mereka terhadap abang-abangnya tersebut sejak
rumah tersebut didirikan orang tua untuk mereka masing-masing.
Tradisi atau adat ini tetap diakui masyarakat Batak Toba hingga saat ini
bahkan jika mereka kemudian merantau ke daerah lain yang bukan lagi berstatus
tanah adat sebagaimana dikampung halaman. Hal tersebut kemudian memicu
pertengkaran anak-anak pewaris. Dimana masing-masing merasa paling berhak
atas harta peninggalan pewaris yang didirikan bukan lagi di tanah adat mereka,
tidak lagi bernilai adat namun telah bernilai ekonomis, hingga harta tersebut harus
dibagi sesuai bagian masing-masing bukun untuk dikuasai secara individu.
hal lainnya adalah sengketa antara anak perempuan si pewaris terhadap saudara
nenek maupun pamannya. Hal ini sering terjadi pada masyarakat batak
dimanapun, karena system kekeluargaan masyarakat batak yang patrilineal
menutup celah atau kemungkinan untuk anak perempuan memperoleh bagian hak
waris dari orang tuanya.
Hal tersebut dapat terjadi karena system kekeluargaan masyarakat Batak
Toba yang patrilineal yang dirasa merugikan keberadaan perempuan (baik si janda
pewaris maupun anak perempuannya. Hal lainnya adalah bahwa budaya hukum
dan sub budaya hukum masyarakat batak toba yang tidak member jaminan
keadilan kepada perempuan.24
Pemimpin berfungsi sebagai mediator atau penengah para pihak yang
bearsengketa. Pemimpin mengemukakan permasalahan, didahului nasihat bagi Padahal sekarang ini telah ada putusan Mahkamah Agung Republik
Indonesia (MARI) No.1589 K/Sip/1961, tanggal 1 Nopember 1961 yang isinya :
bahwa anak perempuan dan anak laki-laki adalah sama dengan bagian anak
perempuan.
Putusan Mahkamah Agung selanjutnya No. 415 K/Sip/1970, tanggal 30
Juni 1970, No. 1589 K/Sip/1974, tanggal 9 Pebruari 1974 dan No. 459 K/Sip/1982
tanggal 15 Agustus 1982 yang menyatakan bahwa anak perempuan berhak
mewaris atas harta peninggalan ayahnya.
Sehingga dalam peristiwa ini, diadakan pertemuan para ahli waris (dongan
tubu, boru, hula-hula) beserta pengetua adat yang cukup disegani dalam
masyarakat mereka untuk memimpin pertemuan.
24
para pihak betapa pentingnya kerukunan hidup dan kedamaian dalam hidup
kekeluargaan.
Pemimpin pertemuan juga harus mengupayakan agar seluruh pihak pada
akhirnya berdamai dan pembagian waris dilakukan secara adil dan seluruh pihak
baik anak laki maupun anak perempuan si pewaris dapat menerima bagian waris
sesuai bagiannya masing-masing dan menikmati waris yang ditinggalkan oleh si
pewaris, serta untuk selanjutnya dapat hidup dalam suasana perdamaian dan
kekeluargaan yang erat sebagaimana sebelumnya.
B. Dalihan Natolu Sebagai Mediator Bagi Penyelesaian Permasalahan Dalam Perkawinan Adat Batak
1. Peranaan Lembaga Dalihan Natolu dalam Penyelesaian Permasalahan
Perkawinan
Lembaga Dalihan Natolu ini pada dasarnya memiliki peran di dalam
tatanan sosial kemasyarakatan dari masyarakat Batak Toba. Sehingga di dalam
penyelesaian sengketa altenatif, lembaga Dalihan Natolu ini berperan sebagai
unsur dan motor penggerak dari proses penyelesaian sengketa alternative itu
sendiri bila terjadi konflik dalam anggota masyarakatnya. Dengan demikian,
dapat dikatakan Dalihan Natolu telah mengawali penghayatan dan pengamalan
kehidupan berdemokrasi di kehidupan anggota masyarakatnya, walaupun masih
dalam sifat etnis terbatas (ethnic scope) tetapi otentik (authenticity). Hal tersebut
mamunjung hata lalaen” yang artinya suara terbanyak (mayoritas) adalah induk
keputusan, suara menyendiri adalah suara orang yang tidak waras (tidak berakal
sehat).25
Lembaga Dalihan Natolu berperan sebagai unsur dan motor penggerak
penyelesaian sengketa alternative dalam penyelesaian sengketa masyarakat Batak
Toba khususnya di Kota Balige dimana penelitian ini dilakukan karena unsur
Dalihan Natolu (Hula-hula, Dongan Tubu, dan Boru) inilah yang bergerak
melalui proses penyelesaian sengketa alternative, dimana unsur Dalihan Natolu
(baik Hula-hula, Dongan Tubu, dan Boru) dari pihak yang bersengketa tersebut
26
25
P.L.Situmeang Doangsa, Dalihan Natolu Sistem Sosial Kemasyarakatan Batak Toba, (Jakarta, : Kerabat, 2007), h 207
yang beraktifitas dan secara langsung bekerja dalam hal melakukan pertemuan
demi pertemuan untuk bermusyawarah untuk membicarakan permasalahan atau
sengketa yang dialami, hingga bila unsur Dalihan Natolu ini tidak ada, maka
penyelesaian permasalahan dalam masyarakat Batak Toba juga tidak akan
berjalan.
Penyelesaian permasalahan perkawinan dalam kehidupan masyarakat
Batak Toba juga tidak akan dapat berjalan apabila lembaga Dalihan Natolu tidak
ada, disebabkan karena unsur lembaga Dalihan Natolu dari pihak yang
bersengketa tersebut yang memiliki inisiatif dalam hal mencari tahu sengketa yang
sedang terjadi, apa, mengapa dan bagaimana sumber sengketa terjadi, lalu
mengajak berkumpul, dan bermusyawarah untuk menyelesaikan sengketa yang
Dapat dikatakan bahwa hubungan antara Dalihan Natolu terhadap
Penyelesaian permasalahan perkawinan pada masyarakat Batak Toba khususnya
masyarakat Batak Toba di kota Balige dimana penelitian ini dilakukan, sangat erat
karena lembaga Dalihan Natolu tersebut memiliki peran sebagai unsur penggerak
utama dari terwujudnya praktek proses penyelesaian sengketa alternative tersebut.
Untuk itu Lembaga Dalihan Natolu pada masyarakat Batak Toba
digunakan sebagai Lembaga Mediasi untuk penyelesaian terhadap sengketa yang
terjadi pada masyarakat Batak Toba yang berkonflik.
Mediasi adalah upaya penyelesaian sengketa dengan melibatkan pihak
ketiga yang netral (sebagai Mediator atau penengah) yang tidak memiliki
kewenangan mengambil keputusan, membantu pihak yang bersengketa mencapai
penyelesaian (solusi) yang diterima oleh kedua belah pihak.
Mediasi sulit diberi pengertian secara harafiah karena pada dasarnya
pengertian mediasi sering digunakan oleh para pemakainya dengan tujuan yang
berbeda-beda sesuai dengan kepentingan mereka masing-masing. Tidak ada aturan
yang jelas perihal penggunaan istilah Mediasi tersebut, semuanya tergantung pada
pihak yang bersangkutan.
Proses Mediasi
a. Tahap Pra Mediasi
Dalam tahap pra mediasi ini, mediator dan para pihak diwajibkan untuk
mengikuti seluruh prosedur penyelesaian sengketa, sebagaimana diatur
b. Tahap Mediasi
Dalam tahap ini mediator dan para pihak dapat duduk bersama-sama dalam
satu meja untuk bermufakat mencari jalan keluar terbaik atas sengketa yang
mereka alami. Mereka memiliki kebebasan penuh untuk mengungkapkan
pendapat mereka tentang permasalahan atau sengketa yang mereka alami.
Disini mediator harus aktif dan bijaksana dalam mencari jalan keluar
terbaik yang netral terhadap kedua belah pihak sehingga para pihak yang
bersengketa merasa nyaman atas kedudukan mereka dan tidak merasa dihakimi
secara sepihak bila mediator menyuduutkan mereka.
Setelah kesepakatan oleh para pihak berhasil diwujudkan, maka hasil
mediasi tersebut kemudian harus dituangkan dalam bengtuk tertulis, menjadi
sebuah perjanjian penyelesaian sengketa yang isinya wajib dipatuhi ole para
pihak, karena demikianmlah dinhyatakan dalam Peraturan Mahkamah Agung
Nomor 02/2003 pasal 11 ayat (1) dan (2) yang isinya: “Jika mediasi menghasilkan
kesepakatan, para pihak dengan bantuan mediator wajib merumuskan secara
tertulis kesepakatan yang dicapai dan ditandatangani oleh para pihak. Perlu
diketahui bahwa proses mediasi dapat dipakai dengan bebas oleh siapapun yang
bersengketa dan apapun jenis sengketa. Karena yang sangat penting dalam proses
mediasi adalah adanya unsur kehadiran pihak ketiga yang berfungsi sebagai
mediator atau penengah yang turut masuk ke dalam sengketa mereka, turut duduk
bersama membicarakan penyelesaian sengketa dan akan bersama-sama mencari
upaya penyelesaian sengketa secara netral, adil dan mengupayakan perdamaian
Sebagai contoh permasalahan yang sering timbul dalam perkawinan antara lain:
1. Perselisihan antara Suami dengan Isteri
Langkah pertama yang diambil dalam proses penyelesaian sengketa adalah
salah satu pihak beserta dongan tubunya (biasanya pihak yang dirugikan)
mendatangi pihak yang lainnya, duduk bersama dan bermusyawarah.
Langkah berikutnya bila proses di atas tidak berhasil, dapat diikutsertakan
mediator yang dipilih dari Ketua/Pengetua adat, Raja Hata atau Ketua Kelompok
masyarakat yang disegani karena wibawa dalam perilaku keseharian hingga dinilai
cakap dan mampu menyelesaikan sengketa. Jalan keluar terbaik yang dilakukan
Mediator menasehati pihak yang bersalah dahulu (baik suami/isteri) secara intern
atau pribadi dan tertutup (mediator dan pihak bersangkutan) lalu bermufakat
kembali kedua belah pihak, menasehati agar berdamai dan menghindar dari
perceraian. Si isteri lalu dikembalikan pada suaminya tersebut untuk bersatu
kembali pada suaminya dan diharapkan setelah perdamaian dilakukan mereka
dapat memperbaiki kembali hubungan yang sempat rusak dalam rumah tangga
tersebut.
Jika isteri berselingkuh dengan laki-laki lain atau suami merasa bahwa
isterinya tidak lagi setia kepadanya hingga timbul perselisihan maka selama
persoalannya masih menggantung isteri bisa dikembalikan kepada Bapaknya
(pinarhundul tu amana) dan ia bisa menjadi perempuan yang diperselisihkan
(boru panggulutan), antara suami dan pihak keluarga isteri sebagai mertua
laki-laki, dan sepanjang perselisihan masih berlangsung dan mereka masih berunding
bapaknya untuk dinasehati oleh keluarga si isteri tersebut. Jika isteri diperlakukan
kasar oleh suaminya, maka parboru akan menuntut penyelesaian / marlulu (juga
dengan bantuan mediator sebagai penengah).27
2. Permasalahan di Bidang Warisan
Hal tersebut pasti akan menimbulkan aib bagi mereka, dan dalam jangka
panjangnya berdampak besar pula pada psikologis isteri, anak-anak hasil
pernikahan mereka (jika ada) serta orang tua isteri sendiri (sebagai orang terdekat
si isteri tersebut). Karena dalam lingkungan pergaulan mereka hal perceraian
tersebut pasti akan dibicarakan khalayak dan akan terdengar oleh mereka baik
secara langsung maupun tidak langsung sehingga mengakibatkan trauma
psikologis tersendiri bagi mereka semua.
Apabila terjadi permasalahan harta warisan maka biasanya semua anggota
keluarga pewaris almarhum berkumpul atau dikumpulkan oleh salah seorang
anggota waris yang berwibawa bertempat di rumah pewaris.
Pertemuan dapat dipimpin oleh anak tertua lelaki atau oleh paman (saudara
ayah atau saudara ibu) menurut susunan kekerabatan bersangkutan ataupun oleh
juru bicara yang ditunjuk dan disaetujui bersama para anggota keluarga yang
hadir.
27
Hal yang sering terjadi dalam hal sengketa waris adalah timbulnya
sengketa antara janda pewaris, terhadap keluarga besar atau kerabat pewaris dalam
hal ini ,mertua dan para ipar yang merasa bahwa keluarga besar atau kerabat si
pewaris yang paling berhak terhadap harta perkawinan yang dihasilkan selama
perkawinan antara pewaris dan isterinya, daripada si janda pewaris sendiri, aplagi
bila selama perkawinan mereka si janda tidak memberikan keturunan bagi pewaris
yang telah meninggal tersebut.
Padahal kita ketahui bahwa harta yang diperoleh selama perkawinan
disebut sebagai harta bersama karena si janda turut andil dalam perolehan harta,
walau ia tidak turut mencari, namun peran sertanya dalam perolehan harta
bersama selama perkawinan tidak perlu dipertanyakan hingga janda pewaris yang
paling berhak terhadap harta peninggalan tersebut daripada keluarga besar atau
kerabat si pewaris sendiri.
Hal tersebut didasarkan pada dasar hukum Undang-undang Perkawinan
dan Jurisprudensi yang dikeluarkan oleh Mahkamah Agung, yaitu
Undang-undang Perkawinan Nomor 1 tahun 1974 pasal 35 ayat 1 jo. Jurisprudensi
Mahkamah Agung Nomor 100 tahun 1967, yang isinya sebagai berikut:
a. Undang-undang Perkawinan Nomor 1 tahun 1974 passal 35 ayat 1: “Harta
benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama”
b. Jurisprudensi Mahkamah Agung No.100 K/Sip/1967: “Tidak dipersoalkan
siapapun yang menghasilkan harta tersebut, selama harta tersebut
diperoleh selama dalam ikatan perkawinan, maka harta tersebut adalah
Permasalahan lainnya adalah timbulnya perebutan waris diantara
keturunan pewaris terhadap harta yang ditinggalkan. Dalam tradisi adat Batak,
dikampung halaman, tiap anak laki-laki yang menikah, akan didirikan di tanah
adat mereka rumah tempat tinggal untk anak yang menikah tersebut agar anak
tersebut mandiri (dipajae), demikian seterusnya hal tersebut terjadi sejak anak
pertama (siakkangan) menikah hingga pada adik-adiknya.
Namun, untuk anak laki-laki paling kecil (siampudan) orang tua mereka
tidak lagi mendirikan rumah untuk tempat tinggalnya karena rumah tempat tinggal
mereka selama inilah yang kemudian diberikan untuk bagiannya (panjaeannya)
dan dirumah tersebutlah kemudian ia tinggal, bersama dengan orang tuanya,
sebelum orang tuanya meninggal, dan setelah orang tuanya meninggal maka
rumah tersebut kemudian menjadi miliknya secara pribadi sebagaimana rumah
lain yang didirikan orang tua mereka terhadap abang-abangnya tersebut sejak
rumah tersebut didirikan orang tua untuk mereka masing-masing.
Tradisi atau adat ini tetap diakui masyarakat Batak Toba hingga saat ini
bahkan jika mereka kemudian merantau ke daerah lain yang bukan lagi berstatus
tanah adat sebagaimana dikampung halaman. Hal tersebut kemudian memicu
pertengkaran anak-anak pewaris. Dimana masing-masing merasa paling berhak
atas harta peninggalan pewaris yang didirikan bukan lagi di tanah adat mereka,
tidak lagi bernilai adat namun telah bernilai ekonomis, hingga harta tersebut harus
dibagi sesuai bagian masing-masing bukun untuk dikuasai secara individu. Hal
lainnya adalah sengketa antara anak perempuan si pewaris terhadap saudara
maupun pamannya. Hal ini sering terjadi pada masyarakat batak dimanapun,
karena system kekeluargaan masyarakat batak yang patrilineal menutup celah atau
kemungkinan untuk anak perempuan memperoleh bagian hak waris dari orang
tuanya.
Hal tersebut dapat terjadi karena system kekeluargaan masyarakat Batak
Toba yang patrilineal yang dirasa merugikan keberadaan perempuan (baik si janda
pewaris maupun anak perempuannya. Hal lainnya adalah bahwa budaya hukum
dan sub budaya hukum masyarakat batak toba yang tidak member jaminan
keadilan kepada perempuan.28
28
Putusan Mahkamah Agung selanjutnya No. 415 K/Sip?1970, tanggal 30 Juni 1970, No. 1589 K/Sip/1974, tanggal 9 Pebruari 1974 dan No. 459 K/Sip/1982 tanggal 15 Agustus 1982 yang menyatakan bahwa anak perempuan berhak mewaris atas harta peninggalan ayahnya.
Padahal sekarang ini telah ada putusan Mahkamah Agung Republik
Indonesia (MARI) No.1589 K/Sip/1961, tanggal 1 Nopember 1961 yang isinya :
bahwa anak perempuan dan anak laki-laki adalah sama dengan bagian anak
perempuan.
Sehingga dalam peristiwa ini, diadakan pertemuan para ahli waris (dongan
tubu, boru, hula-hula) beserta pengetua adat yang cukup disegani dalam
masyarakat mereka untuk memimpin pertemuan.
Pemimpin berfungsi sebagai mediator atau penengah para pihak yang
bearsengketa. Pemimpin mengemukakan permasalahan, didahului nasihat bagi
para pihak betapa pentingnya kerukunan hidup dan kedamaian dalam hidup
Pemimpin pertemuan juga harus mengupayakan agar seluruh pihak pada
akhirnya berdamai dan pembagian waris dilakukan secara adil dan seluruh pihak
baik anak laki maupun anak perempuan si pewaris dapat menerima bagian waris
sesuai bagiannya masing-masing dan menikmati waris yang ditinggalkan oleh si
pewaris, serta untuk selanjutnya dapat hidup dalam suasana perdamaian dan
BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN
A. KESIMPULAN
Peranan Dalihan Natolu dalam hukum perkawinan masyarakat adat Batak
Toba merupakan suatu hal yang tidak dapat dipisahkan selama melangsungkan
acara adat perkawinan yang sah menurut tradisi orang Batak. Sementara itu
upacara agama serta catatan sipil dianggap hanya perlengkapan belaka. Hal ini
dilatar belakangi oleh keberadaan Dalihan Natolu itu sendiri yang diterima
ditengah-tengah masyarakat Batak Toba sebagai suatu sistem sosial
kemasyarakatan.
Dalihan Natolu ini pada dasarnya memiliki peran di dalam tatanan sosial
kemasyarakatan dari masyarakat Batak Toba. Sehingga di dalam penyelesaian
permasalahan, Lembaga Dalihan Natolu ini berperan sebagai unsur dan motor
penggerak dari proses penyelesaian permasalahan itu sendiiri bila terjadi konflik
dalam kehidupan anggota masyarakatnya. Penyelesaian
permasalahan-permasalahan yang sering timbul dalam perkawinan pada kehidupan masyarakat
Batak Toba juga tidak akan dapat berjalan apabila lembaga Dalihan Natolu tidak
ada, disebabkan karena unsur lembaga Dalihan Natolu dari pihak yang
bersengketa tersebut yang memiliki inisiatif dalam hal mencari tahu sengketa yang
sedang terjadi, apa, mengapa dan bagaimana sumber sengketa terjadi, lalu
mengajak berkumpul, dan bermusyawarah untuk menyelesaikan sengketa yang
B. SARAN
Bagi kalangan akademisi, generasi muda masyarakat Batak pada
khususnya hendaknya mempelajari perihal hukum adat Dalihan Natolu dan
peranannya dalam perkawinan adat Batak agar dapat memahami dengan baik dan
memetik manfaat pengamalan dan penghayatan Dalihan Natolu untuk dijadikan
bahan pertimbangan dalam rangka pembinaan masyarakat Batak yang modern
agar tidak terlalu jauh dipengaruhi kebudayaan barat.
Dalam Rangka mewujudkan rumah tangga dan kekerabatan yang baik di
dalam hidup bermasyarakat, kaum akademisi, generasi muda masyarakat Batak
pada khususnya hendaknya mengetahui prinsip dari Dalihan Natolu itu sendiri
yang pada hakekatnya memerlukan pengekangan hawa nafsu kebendaan yang
tidak pernah tua. Untuk itu rumah tangga dari suatu perkawinan harus dijauhkan
dari kerusakan akhlak dan kebendaan dan didekatkan pada kerukunan hidup
ketetanggaan dan kekerabatan
Bagi kalangan akademisi, generasi muda masyarakat Batak pada
khususnya, agar dapat membuka pola pikir tentang hukum adat Dalihan Natolu,
aspek-aspeknya serta ruang lingkupnya, sehingga apabila timbul permasalahan
pada mereka atau di sekeliling mereka, mereka dapat mencari jalan terbaik dalam