• Tidak ada hasil yang ditemukan

MANGAIN MARGA (Pemberian Marga kepada Orang Non Batak dalam Perkawinan Adat Batak Toba di Kota Dumai)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "MANGAIN MARGA (Pemberian Marga kepada Orang Non Batak dalam Perkawinan Adat Batak Toba di Kota Dumai)"

Copied!
123
0
0

Teks penuh

(1)

`

MANGAIN MARGA (Pemberian Marga kepada Orang Non Batak dalam Perkawinan Adat Batak Toba di Kota Dumai)

SKRIPSI

Diajukan Guna Memenuhi Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Sosial Dalam Bidang Antropologi Sosial

Oleh:

DITYA WINDI 160905031

PROGRAM STUDI ANTROPOLOGI SOSIAL FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

2021

(2)
(3)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

HALAMAN PERSETUJUAN

Skripsi ini telah dipertahankan oleh:

Nama : Ditya Windi

NIM : 160905031

Program Studi : Antropologi Sosial

Judul Skripsi : Mangain Marga (Pemberian Marga kepada Orang Non Batak dalam Perkawinan Adat Batak Toba di Kota Dumai) Pada Ujian Komprehensif yang dilaksanakan :

Hari : Rabu

Tanggal : 10 Februari 2021 Pukul : 10.00 – 12.00 WIB Tempat : Zoom Meeting

Dengan penyempurnaan/perbaikan yang telah disetujui oleh Tim Penguji : Ketua Penguji Dr. Zulkifli Lubis, M,Si ( )

NIP.196401231990031001

Penguji I Dr.Irfan Simatupang, M,Si ( ) NIP. 195802021985032001

Penguji II Dra.Sabariah Bangun, M.Soc ( ) NIP. 195701051987032001

(4)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

PERNYATAAN ORIGINALITAS

Mangain Marga (Pemberian Marga kepada Orang Non Batak dalam Perkawinan Adat Batak Toba di Kota Dumai)

SKRIPSI

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam skripsi ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi, dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebut dalam daftar pustaka.

Apabila di kemudian hari terbukti lain atau tidak seperti yang saya nyatakan di sini, saya bersedia diproses secara hukum dan siap menanggalkan gelar kesarjanaan saya.

Medan, April 2021

Ditya Windi

(5)

ABSTRAK

Ditya Windi 2021, Judul Skripsi “Mangain Marga” (Pemberian Marga kepada Orang Non Batak dalam Perkawinan Adat Batak Toba di Kota Dumai).

Perkawinan beda etnis sering terjadi di Indonesia, seperti yang terjadi di Kota Dumai, dimana telah banyak terjadi perkawinan antar etnis. Budaya merantau pada masyarakat Batak Toba menjadi pendorong terjadinya perkawinan beda etnis.

Perkawinan beda etnis memang tidak dikenal dalam adat Batak Toba., bahkan dahulu di anggap tabu. Adat dan pengetahuan yang kian berkembang membuat perubahan pada adat istiadat tersebut.

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan bagaimana perkawinan antar etnis dalam adat Batak Toba, rangkaian proses yang harus dilalui seseorang untuk mendapatkan marga, serta bagaimana kehidupan rumah tangga beda etnis.

Penelitian ini dilakukan menggunakan metode kualitatif serta observasi langsung kelapangan, dengan wawancara mendalam kepada 10 orang informan diantaranya 4 orang tokoh adat dan 6 keluarga pasangan beda etnis menggunakan metode wawancara (interview guide) untuk mendapatkan data yang akurat.

Seorang Batak Toba yang hendak menikah dan membentuk rumah tangga dengan pasangannya yang bukan Batak Toba maka ia harus melaksanakan serangkaian adat untuk mendapatkan marga. Sehingga apa yang diharapkan bisa terwujud. Pemberian marga ini haruslah disetujui oleh keluarga kedua belah pihak, dimana tidak boleh ada pemaksaan. Disamping itu pasangan yang non Batak tersebut akan mendapatkan pengakuan di dalam keluarga dan adat serta posisi dalam Dalihan Na Tolu, jika tidak diberikan marga kepada pasangan yang non Batak tersebut maka Ia tidak akan diakui didalam adat (meskipun didalam keluarga diterima) dan juga tidak mendapat posisi hak dan kewajiban.Kehidupan pasangan beda etnis tidak jauh berbeda dengan pasangan keluarga lainnya. Dari hasil penelitian, pasangan keluarga beda etnis umumnya berkomunikasi dengan menggunakan Bahasa Indonesia, dan sedikit sekali Bahasa Batak. Hal ini juga dipengaruhi oleh lingkungan dimana masyarakat sehari-hari berkomunikasi dengan Bahasa Indonesia. Konflik dalam rumah tangga yang terjadi dapat diredam dengan komunikasi yang baik antar suami istri. . Mengurus Rumah Tangga, Mendidik anak, memang lebih banyak dilakukan oleh Ibu karena Ibu lebih banyak mengambil peran domestik.

Kata kunci : Perkawinan Beda Etnis.Marga, Masyarakat Batak Toba

(6)

UCAPAN TERIMAKASIH

Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, atas Kasih Karunia dan Penyertaannya yang tak pernah berhenti sehingga penulis telah dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul MANGAIN MARGA (Pelaksanaan Pemberian Marga kepada Orang Non Batak dalam Perkawinan Adat Batak Toba di Kota Dumai) dalam waktu yang ditetapkan.

Adapun tujuan penulisan skripsi ini adalah untuk melengkapi persyaratan guna memperoleh gelar Sarjana Antopologi pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi baik terhadap kalangan akademis maupun non akademis.

Di dalam proses penyusunan skripsi ini tidak terlepas dari bantuan, dorongan seta bimbingan dari berbagai pihak yang telah meluangkan waktu, tenaga,pikiran dan membimbing penulis dan turut mewarnai kehidupan Penulis sehingga dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini. Pada kesempatan ini, Penulis menyampaiakan ucapan terimakasih kepada Bapak Dr.Muryanto Amin,S.Sos, M,Si selaku Dekan Fisip Universitas Sumatera Utara, wakil dekan I Fakultas Ilmu Sosial dan Politik USU Muhammad Husni Thamrin, M,Sos, M,Sp, wakil dekan II Fakultas Ilmu Sosial dan Politik USU Arifin Nasution dan wakil dekan III Drs.Hendra Harahap, M.Si,Ph,D.

Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada Bapak Dr.Fikarwin Zuska selaku Kepala Departemen Antropologi Sosial Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Bapak Agustrisno M,SP, selaku sekretaris Departemen Antropologi Sosial Universitas Sumatera Utara.

Ucapan terimaksih penulis tujukan kepada Ibu Dra.Sabariah Bangun, M.Soc.

sc selaku Dosen Penasehat Akademik sekaligus dosen pembimbing skripsi yang telah banyak memberikan bimbingan dan arahan, waktu dan perhatiannya yang besar terutama saat memulai penulisan hingga penyusunan skripsi ini. Terimaksih juga

(7)

kepada seluruh Dosen Antropologi Sosial, Staf Administrasi Departemen, Staf Pegawai FISIP, Staf Pegawai Perpustakaan Fisip dan Pegawai Perpustakaan USU.

Ungkapan terimaksih yang tidak ternilai juga penulis ucapkan kepada keluarga tercinta, kedua orang tua Ayahanda Jenton Pane dan Ibunda Lastiurmida Munthe yang sudah memberikan banyak dukungan baik dari segi moril maupun materil sehingga penulis bisa menyelesaikan perkuliahan ini, dan kepada Abang penulis Norton Adyanto Pane, dan kakak Juliana Galingging penulis ucapkan ribuan terimaksih atas segala pengorbanan moril maupun materil, motivasi kesabaran serta doa yang tidak akan pernah bisa penulis lupakan sampai kapanpun.

Penulis juga mengucapkan terimaksih kepada Handika Pangaribuan yang telah memberikan banyak sekali dukungan, pengorbanan moril maupun materil, Terimaksih telah memberikan waktu ,perhatian sekaligus menjadi teman bertukar pikiran selama penulisan skripsi ini.

Terimakasih kepada sahabat PAILAHON, Angel, Nisa,Tama Melsy yang selalu memberi dukungan dari awal kuliah hingga pada akhir penulisan Skripsi ini.

Dan kepada teman-teman seperjuangan Antropologi stambuk 16 Friska Sinaga, Melisa, Devi Situmorang, Hetty,Yola, dan teman-teman lainnya yang tidak bisa penulis tuliskan satu per satu. Ucapan terimakasih juga penulis ucapkan kepada semua informan yang bersedia memberikan informasi sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun. Akhir kata semoga skripsi ini bermanfaat bagi kita semua.

Medan, Desember 2020 Penulis

(8)

RIWAYAT HIDUP

Ditya Windi, lahir di Ambon, pada tanggal 24 Mei 1998. Putri dari Bapak Jenton Pane dan Ibu Lastiurmida Munthe yang merupakan anak kedua dari dua bersaudara. Beragama Krtisten Protestan dan bersuku Batak Toba. Bertempat tinggal di Jalan Perjuangan Gg. Almubin, Kelurahan Teluk Binjai, Kecamatan Dumai Timur, Kota Dumai. Alamat email ditya.windi.dw@gmail.com

Peneliti bersekolah di SDS Estomihi tahun 2004-2010. SMPN 02 Dumai pada tahun 2010-2013, dan SMAN2 Dumai tahun 2013-2016. Pada tahun 2016 penulis lulus SBMPTN atau jalur ujian tertulis dan masuk di Departemen Antropologi Sosial Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.

Peneliti pada masa perkuliahan pernah mengikuti beberapa kegiatan antara lain :

(9)

1. Peserta inisiasi Antropologi 2016

2. Panitia P3AP (Pengenalan Penelitian dan Pengakraban Antropolog Pemula) Antropologi USU 2016

3. Panitia Natal Antopologi USU 2017

4. Peserta Seminar Pengenalan Arkeologi dalam rangka Pekan Pendidikan dan kebudayaa di PPPPTKL BBL Medan 2019

5. Peserta pada workshop Visual Antropologi/Film Etnografi pada tanggal 22 Oktober 2018 di FISIP USU

6. Penerima beasiswa Bidikmisi

7. Anggota Paduan Suara Ulos tahun 2018

8. Melakukan Penelitian pengenalan Komunitas bagi Antropologi Pemula di desa Lubuk Kertang tahun 2018

9. Melakukan penelitian pada mata kuliah Antropologi Maritim di Desa Nagalawan tahun 2017

10. Melakukan PKL TBM Antropologi USU di Kecamatan Sianjur Mula-Mula

(10)

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkat, rahmat, kasih, dan anugerah-Nya yang sungguh besar yang telah diberikan kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini dengan semaksimal mungkin untuk memenuhi persyaratan memperoleh gelar sarjana (S1) dalam bidang Antropologi Sosial di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.

Adapun judul dari Skripsi ini adalah Mangain Marga (Pemberian Marga kepada Orang Non Batak dalam Perkawinan Adat Batak Toba di Kota Dumai.

Penulis sungguh menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kata sempurna dikarenakan terbatasnya pengetahuan dan pengalaman penulis. Oleh karena itu, segala saran dan kritik yang membangun dari berbagai pihak penulis harapkan.

Semoga skripsi ini dapat menambah wawasan dan juga bermanfaat bagi berbagai pihak.

Medan, April 2021 Penulis

Ditya Windi

(11)

DAFTAR ISI

HALAMAN PENGESAHAN HALAMAN PERSETUJUAN PERNYATAAN ORIGINALITAS

ABSTRAK ... i

UCAPAN TERIMAKASIH... ii

RIWAYAT HIDUP ... iv

KATA PENGANTAR ... vi

DAFTAR ISI ... vii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 4

1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 4

1.4 Tinjauan Pustaka ... 5

1.4.1 Sistem Kekerabatan... 5

1.4.2 Tinjauan Etnis Batak ... 7

1.4.3 Adat ... 10

1.4.4 Perkawinan ... 11

Perkawinan antar etnis ... 16

1.5 Metode Penelitian ... 18

BAB II TINJAUAN UMUM KOTA DUMAI ... 24

1.6 Sejarah singkat ... 24

1.7 Letak dan Keadaan Geografis ... 25

1.8 Keadaan Penduduk ... 26

1.9 Gambaran Masyarakat Batak di Kota Dumai ... 28

1.9.1 Punguan Marga (Perkumpulan Marga) ... 28

1.9.2 Parsahutaon (Serikat Tolong Menolong) ... 29

1.9.3 Ikatan Keluarga Masyarakat Batak Dumai (IKMBD) ... 30

1.9.4 Pemuda Batak Bersatu Kota Dumai ... 32

1.9.5 Generasi Muda Batak Dumai (GMBD ... 33

BAB III Marga dan Sistem Kekerabatan pada Masyarakat Batak Toba ... 39

3.1 Marga dalam Masyarakat Batak Toba ... 39

3.2 Tata Cara Pemberian Marga Bagi Wanita Bukan Batak ... 49

3.2.1 Langkah I Manghatai dohot Hula-Hula ... 49

(12)

3.2.3 Langkah III Manulangi Hula-hula (Memberi makan Hula hula) ... 57

3.2.4 Langkah IV Mangain/ Mangampu Boru ... 58

3.3 Tata Cara Pemberian Marga Bagi Pria Bukan Batak ... 61

3.3.1 Langkah I Manghatai Dohot Lae/Ibotona ... 62

3.3.2 Langkah II Pasada Tahi ... 63

3.3.3 Langkah III Acara Mangain Anak (Acara Pengangkatan Anak) ... 64

3.4 Proses Perkawinan dalam Adat Batak ... 67

3.5 Akibat Hukum atas Penerimaan Marga ... 71

BAB IV Kehidupan Rumah Tangga Beda Etnis ... 77

4.1 Berkomunikasi ... 78

4.2 Mengurus Rumah Tangga ... 80

4.3 Mendidik Anak ... 80

4.4 Pengambilan Keputusan ... 83

4.5 Peran Domestik dan Peran Publik ... 85

BAB V PENUTUP ... 103

Kesimpulan ... 103

Saran ... 105

DAFTAR PUSTAKA ... 106

Glosarrium ... 109

(13)
(14)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Masyarakat adalah sekumpulan manusia yang saling “bergaul”, atau dengan istilah ilmiah, saling “berinteraksi”. Suatu kesatuan manusia dapat mempunyai prasarana agar warga-warganya dapat saling berinteraksi. Dikatakan masyarakat apabila, (1) adanya interaksi antar warga, (2) adat-istiadat,norma, hukum dan aturan-aturan khas yang mengatur seluruh pola tingkah laku warga negara kota atau desa; (3) kontinuitas waktu; (4) dan rasa identitas kuat yang mengikat semua warga. Masyarakat adalah kesatuan hidup manusia yang berinteraksi menurut suatu sistem adat-istiadat tertentu yang bersifat kontinu, dan yang terikat oleh suatu rasa identitas bersama. (Koentjaraningrat, 1981:116, 118)

Masyarakat Batak Toba merupakan salah satu dari etnis yang berasal dari Sumatera Utara. Masyarakat Batak Toba mudah kita jumpai di berbagai daerah di Indonesia bahkan sampai keluar negeri. Karena masyarakat Batak Toba memiliki prinsip “merantau” dalam hal untuk mencari kehidupan yang lebih layak. Menurut Sibeth (1991) jumlah orang Batak di tahun 1991 diperkirakan sudah ada sebanyak tiga juta orang. Pada tahun itu jumlah penduduk Indonesia berjumlah 180 juta orang.

Setiap orang Batak Toba pasti memiliki marga dibelakang nama kecilnya.

Marga adalah kelompok kekerabatan yang meliputi orang-orang yang mempunyai kakek bersama, atau yang percaya bahwa mereka adalah keturunan dari seorang kakek bersama menurut kepentingan garis patrilineal atau mengambil garis keturunan dari ayah (Irohmi,1980:159). Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia marga ialah kelompok kekerabatan yang eksogen dan unilear, baik secara matrilineal (garis keturunan ibu) maupun patrilineal (garis keturunan ayah). Anggota dari yang sama marganya atau semarga dilarang kawin. Semua orang yang semarga adalah orang

(15)

kekerabatan, dan mungkin saja mempunyai hubungan kekerabatan dengan bibi,paman atau saudara lain, melalui hubungan perkawinan.

Masyarakat Batak Toba sangat erat dengan sebuah proses yang dinamakan martutur atau martarombo. Hal ini merupakan suatu penelusuran silsilah untuk mengetahui hubungan kekerabatan di antara mereka. Dengan demikian mereka akan mengetahui kedudukan masing-masing. “jolo tinitip sanggar, asa binahen huru- huruan, jolo sinungkun marga asa binoto parturan.” Artinya, sebelum berkenalan sebaiknya bertansya marga lebih dulu, agar mengetahui apakah mempunyai hubungan kerabatan satu sama lain, sehingga dapat ditentukan kedudukan dalam hubungan tersebut.

Masyarakat Batak Toba memiliki kebudayaan dan tradisi mulai dari kelahiran, perkawinan, kematian, hingga penghiburan. Penghiburan (mangapuli) yaitu memberikan dukungan moril kepada keluarga yang sedang berdukacita. Masalah perkawinan, adalah masalah yang penting bagi semua manusia, karena perkawinan adalah merupakan satu-satunya cara sampai sekarang ini untuk melanjutkan keturunan. Demikian, juga pada masyarakat Batak, masalah perkawinan, adalah masalah yang penting. Sistem perkawinan pada masyarakat Batak adalah sistem perkawinan exogami , yaitu pada prinsipnya orang Batak harus kawin dengan marga yang lain, atau dengan kata lain bahwa prinsipnya perkawinan antara marga yang sama adalah tidak diperbolehkan. Perkawinan yang paling ideal ialah perkawinan matrilateral cross-cousin yaitu perkawinan dengan pariban. Laki-laki dianjurkan kawin dengan paiban atau Boru Tulangna (anak paman). Apabila hal ini terjadi, maka hal ini disebut manguduti artinya menyambung (Djaren dkk, 1980:34).

Indonesia adalah Negara yang majemuk dengan keberagaman budaya. Ada lebih dari 300 kelompok etnik atau suku bangsa di Indonesia, atau tepatnya 1.340 etnis (sensus BPS 2010). Setiap etnis memiliki ragam bahasa, dan adat istiadatnya tersendiri. Hal ini sangat memungkinkan terjadinya perkawinan silang antar etnis maupun kebudayaan. Pada penelitian sebelumnya telah banyak membahas mengenai

(16)

upacara ngangkon, yaitu pengangkatan anak yang disebabkan oleh Keluarga yang bersangkutan akan melaksanakan suatu hubungan perkawinan tetapi salah satu pihak bukan orang Lampung. Orang yang bukan bagian dari masyarakat Lampung tersebut harus mencari orang tua angkat agar dapat diterima sebagai masyarakat Lampung serta dapat melangsungkan perkawinan. Masyarakat Lampung mengenal sistem perkawinan Endogami yaitu perkawinan yang tidak membolehkan seorang pria atau pun seorang wanita menikah dengan seorang yang berasal dari luar suku Lampung atau yang berasal dari luar clannya.

Dalam melakukan suatu perkawinan haruslah terlebih dahulu ada proses- proses tertentu, yang telah ditentukan didalam hukum adat. Proses-proses ini haruslah dilalui apabila seorang orang Batak akan melakukan perkawinan. Jadi adat yang ditatati oleh semua orang Batak, telah menetapkan bagaimana proses yang harus dilakukan, serta tindakan-tindakan apa yang harus dilaksanakan, dan syarat-syarat apa yang harus dipenuhi, apabila seorang orang Batak akan melaksanakan perkawinan.

Ketika seorang Batak akan menikah kepada yang bukan orang batak, maka hal yang pertama dilakukan adalah mangain marga atau mangampu marga. Mangain marga merupakan pemberian marga melalui serangkaian upacara adat agar dapat diterima dalam keluarga dan menjadi masyarakat Batak. Ketika seseorang tersebut telah mendapatkan marga, maka sahlah ia menjadi bagian dalam masyarakat Batak, mendapatkan pengakuan dari keluarga serta posisi dan hak kewajibannya pada Dalihan Natolu. Apabila ia tidak diberikan marga, maka ia tidak akan diakui dalam masyarakat Batak, serta tidak mendapatkan posisi hak dan kewajibannya dalam adat.

Dalihan na tolu merupakan falsafah hidup orang Batak. Secara harafiah, dalihan na tolu berarti tungku yang terdiri dari tiga kaki penyanggah. Tiga hal yang mendasari dalihan na tolu yaitu [1] Somba Marhula hula. (hormat kepada hula-hula).

Hula-hula pihak keluarga dari istri. Hula-hula menempati posisi yang paling tinggi dan dihormati dalam pegaulan dan adat istiadat Batak. [2]Manat Mardongan Tubu (berlaku hati-hati kepada saudara semarga). Secara harafiah berarti dari perut yang

(17)

(berlaku sayang kepada boru). Boru adalah pihak keluarga yang mengambil istri dari suatu marga (keluarga lain).

Hal-hal tersebutlah yang melatar belakangi peneliti untuk mengambil judul

“Mangain Marga (Pemberian marga kepada Orang Non Batak Perkawinan Adat Batak Toba di Kota Dumai)’’. Penelitian ini perlu dilakukan mengingat pada saat ini sudah banyak perkawinan antaretnis yang terjadi di Kota Dumai terlebih antar suku Batak Toba dengan suku lainnya. Penulis ingin mengkaji bagaimana proses perkawinan beda etnis dalam suku Batak Toba, bagaimana proses d pemberian marga tersebut serta bagaimana kehidupan rumah tangga pasangan beda etnis yang ada di Kota Dumai.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang tersebut, maka rumusan masalah dalam skripsi ini adalah : 1. Bagaimana proses pemberian marga kepada orang non Batak pada perkawinan

adat Batak Toba yang ada di Kota Dumai dan apa akibat hukum terhadap orang yang diberi marga tersebut?

2. Bagaimana kehidupan rumah tangga keluarga beda etnis di Kota Dumai ?

1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah diatas, maka tujuan penelitian dalam skripsi ini adalah untuk :

1. Memahami proses pemberian marga kepada orang non Batak pada masyarakat adat Batak Toba yang ada di Kota Dumai;

2. Mengetahui akibat hukum terhadap penerimaan marga tersebut

3. Mengetahui gambaran kehidupan rumah tangga beda etnis di Kota Dumai.

Manfaat Penelitian mencakup manfaat teoritis dan manfaat praktis

(18)

a) Manfaat penelitian secara akademis sebagai syarat kelulusan dapat digunakan sebagai bahan kajian dan acuan untuk mengembangkan wawasan terutama mengenai mangain marga atau pemberian marga pada adat perkawinan masyarakat Batak Toba yang ada di Kota Dumai.

2. Manfaat Praktis

a) Memperluas wawasan penulis dalam lingkup hukum adat khususnya hukum adat Batak dalam bidang perkawinan adat Batak Toba;

b) Bahan informasi bagi teman-teman yang tertarik untuk mempelajari adat perkawinan Batak Toba;

1.4 Tinjauan Pustaka 1.4.1 Sistem Kekerabatan

Menurut G.P.Murdock (dalam Koentjaraningrat, 1992;113) suatu kelompok adalah suatu kesatuan individu yang terikat oleh paling sedikit enam unsur yakni:

1. Suatu system norma-norma yang mengatur kelakuan warga kelompok 2. Suatu rasa kepribadian kelompok yang disadari semua anggotanya

3. Kegiatan-kegiatan berkumpul dari anggota kelompok secara berulang- ulang

4. Suatu sistem hak dan kewajiban yang mengatur interaksi antara anggota kelompok

5. Suatu pimpian atau pengurus yang mengorganisasi kegiatan kelompok;

dan seingkali juga ditambahkan dengan adanya;

6. Suatu sistem hak dan kewajiban bagi para individu nya terhadap sejumlah harta produktif,harta konsumtif, atau harta pusaka tertentu.

Kekerabatan berasal dari kata kerabat yang artinya yang dekat (pertalian keluarga), sedarah sedaging, keluarga, sanak saudara, atau keturunan yang sama. Jadi,

(19)

Kekerabatan merupakan hubungan kekeluargaan seseorang dengan orang lain yang mempunyai hubungan darah atau keturunan yang sama dalam satu keluarga.

Kekerabatan aslinya termasuk dalam konteks hubungan antara suami istri, yang secara sosial diakui dengan ciri-ciri :

a. Pergaulan kelamin yang berkelanjutan b. Hidup bersama dan kerja sama ekonomi

c. Pemeliharaan dan anak-anak yang dilahirkan oleh si istri karena hubungan yang berlangsung. 1

Hubungan semacam itu karena suatu perkawinan dan klompok yang terbentuk oleh mereka (suami,istri, dan anak-anak), rumah tangga (nuclear family). Hubungan rumah-tangga sifatnya duratif, artinya bahwa hubungan itu berlangsung lama.

Hubungan seperti ini, hampir universal sifatnya. Hubungan itu terdapat hampir dimana saja. Bentuk-bentuknya bisa berbeda dan lamanya juga beraneka, namun ada yang jelas diutamakan di pola ini.

Menurut Chony dalam Ali Imron (2005:27) “Sistem kekerabatan dijelaskan bukan hanya saja karena adanya ikatan perkawinan atau karena adanya hubungan keluarga, tetapi karena adanya hubungan darah”. Selain itu Chony juga mengungkapkan bahwa kunci pokok sistem perkawinan adalah kelompok keturunan atau linege dan garis keturunan atau descent. Anggota kelompok keturunan saling berkaitan karena mempunyai nenek moyang yang sama.

Menurut Keesing dalam Ali Imron (2005:27) “Sistem kekerabatan adalah hubungan berdasarkan pada model hubungan yang dipandang ada antara seorang ayah dengan anak serta antara seorang ibu dengan anak”. Dari beberapa definisi kekerabatan, dapat disimpulkan bahwa sistem kekerabatan merupakan bagian yang sangat penting dalam struktur sosial, yang merupakan sebuah jaringan hubungan kompleks berdasarkan hubungan darah atau perkawinan. Berdasarkan hubungan

(20)

darah dapat diambil pengertian bahwa seseorang dinyatakan sebagai kerabat bila memiliki pertalian atau ikatan darah dengan seseorang lainnya.

1.4.2 Tinjauan Etnis Batak

• Cara Menarik Garis Keturunan

Cara menarik garis keturunan maksudnya adalah untuk menentukan, atau mengetahui seseorang itu termasuk keturunan siapa. Untuk dapat melahirkan ataupun menurunkan seorang anak, harus paling sedikit ada dua orang yaitu seorang wanita dan seorang pria. Djaren dkk menyebutkan garis keturunan ada 2 macam yaitu:

1. Menarik garis keturunan hanya dari salah satu pihak saja, yaitu mungkin dari pihak laki-laki, mungkin dari pihak perempuan. Masyarakat yang demikian dinamakan masyarakat Unilateral,

a. Masyarakat yang menarik garis keturunan dari pihak laki-laki (ayah) yang disebut masyarakat Patrilinel. Di dalam sistem ini kedudukan dan pengaruh pihak laki-laki dalam hukum waris sangat menonjol.

b. Masyarakat yang menarik garis keturunan dari pihak wanita (ibu), yang disebut masyarakat Matrilineal. Di dalam sistem kekerabatan ini pihak laki-laki tidak menjadi pewaris untuk anak-anaknya. Contoh sistem ini terdapat pada masyarakat Minangkabau.

2. Menarik garis keturunan dari kedua orang tua, yaitu melalui ayah dan ibu.

Masyarakat yang demikian disebut masyarakat Bilateral ataupun Parental.

Dari kedua cara menarik garis keturunan ini masyakakat Batak termasuk mayarakat yang menarik garis keturunan dari salah satu pihak saja, yaitu dari pihak laki laki (ayah). Jadi masyarakat Batak adalah masyarakat Unilateral-Patrilineal, yang artinya bahwa setiap anak-anak lahir maupun laki-laki ataupun perempuan dengan sendirinya mengikuti marga atau klan dari ayahnya. Di samping itu yang dapat

(21)

perempuan bukanlah penerus marga dan silsilah dari ayahnya. Apabila seorang wanita kawin, maka anak-anak yang akan dilahirkannya akan mengikuti marga dari suaminya.

Dengan demikian kedudukan seorang anak laki-laki dalam masyarakat Batak adalah sangat penting. Karena apabila satu keluarga tidak mempunyai anak laki-laki, walaupun keluarga itu mempunyai banyak anak perempuan maka penerus marga ayahnya tidak ada lagi. Cara menarik garis keturunan yang unilateral inilah, atau menarik garis keturunan dari ayah yang kita jumpai pada masyarakat Batak.

Dalam kehidupan masyarakat Batak Toba satu hal yang tidak bisa terlepas adalah marga. Marga diturunkan dari Ayah, karena masyarakat Batak Toba sistem keturunan yang patrilineal. Marga turun temurun dari kakek kepada Bapak, Bapak ke anak, kepada cucu, kepada cicit dan begitu seterusnya.

Menurut mitologi Batak, asal mula suku Batak berasal dari tanah Batak, tepatnya dari Pusuk Buhit, sebuah gunung yang terletak di pinggiran sebelah barat Pulau Samosir. 2 Pulau ini berada di tengah-tengah Danau Toba yang kini terkenal sebagai tujuan wisata Menurut kajian sejarah Si Raja Batak inilah yang menjadi nenek moyang orang Batak3. Dia merupakan peletak dasar permulaan sejarah etnis Batak.

Si Raja Batak mempunyai dua orang putra, yakni Guru Tatea Bulan dan Si Raja Isumbaon. Guru Tatea Bulan mempunyai 5 orang putra yakni Raja Uti (Raja Biakbiak), Saribu Raja, Limbong Mulana, Sagala Raja, dan Malau Raja. Sementara, Si Raja Isumbaon mempunyai 3 (tiga) orang putra yakni Tuan Sorimangaraja, Si Raja Asiasi dan Sangkar Somalidang. Dari keturunan (pinompar) mereka inilah kemudian menyebar ke segala penjurus daerah di Tapanuli, baik ke utara maupun ke selatan sehingga munculah berbagai macam marga Batak.4

Berikut adalah marga marga Batak Toba

2 Irahim Gultom, Agama Malim di Tanah Batak, Jakarta: Bumi Aksara 2010, hal. 37

(22)

1) Ambarita, Aritonang, AnakAmpun (Nahampun)

2) Bakkara(Bangkara), Banjarnahor, Baringbing, Batubara, Butar-Butar (Butarbutar);

3) Girsang, Gorat, Gultom, Gurning;

4) Habeahan, Harahap, Harianja, Hariara, Haro, Haro (Rajagukguk), Hasibuan, Hasugian, Hutabalian, Hutabarat, Hutagalung, Hutagaol, Hutahaean, Hutajulu, Hutapea, Hutasoit, Hutasuhut, Hutauruk;

5) Limbong, Lubis, Lumbanbatu, Lumbangaol, Lumbannahor, Lumbanpea, Lumbanraja, Lumban Siantar, Lumbantobing/(Tobing), Lumbantoruan, Lumbantungkup;

6) Mahulae/(Nahulae), Malau, Manalu, Manihuruk, Manik, Manurung, Marbun, Marpaung, Matondang, Munthe;

7) Napitupulu

8) Pakpahan, Pandiangan, Pane, Pangaribuan, Panggabean, Panjaitan, Parapat, Pardede, Pardosi, Parhusip, Pasaribu, Pintubatu, Pohan, Purba;

9) Ompusunggu;

10) Rambe, Rajagukguk, Ritonga, Rumahorbo, Rumapea, Rumasingap, Rumasondi;

11) Sagala,Samosir, Saragi (tanpa huruf H di akhir), Saruksuk, Sarumpaet, Siadari, Siagian, Siahaan, Siambaton, Sianipar, Sianturi, Sibarani, Sibagariang (Sinagabariang), Sibange-bange, Siboro, Sibuaton (Buaton),Sibuea, Sidauruk, Sidabariba, Sidabutar, Sidabungke (Dabungke), Sigalingging (Galingging), Sihaloho (Haloho), Sihite, Sihombing, Sihotang, Sijabat, Silaen, Silaban, Silalahi, Silitonga, Simamora, Simandalahi (Mandalahi), Simangunsong, Simanjorang, Simanjuntak, Simanullang (Manullang), Simanungkalit, Simare- mare, Simargolang, Simarmata, Simatupang, Simbolon, Simornagkir, Sinaga,Sinambela, Sinurat, Sipahutar, Sipangkar, Sipayung, Sirait, Sirandos, Siregar, Siringo-ringo Sitanggang, Sitindaon (Tindaon), Sitinjak, Sitio,

(23)

12) Tambun, Tambunan, Togatorop, Tinambunan, Tobing, Tumanggor.5

1.4.3 Adat

Kata “adat” berasal dari bahasa Arab, yang kemudian diambil alih oleh bangsa-bangsa yang bukan Islam di Asia Tenggara. Akar katanya ialah “ὰda”, yang berarti berbalik kembali, datang kembali. Maka adat adalah pertama-tama yang berulang-ulang atau yang teratur datang kembali, lalu kemudian menjadi satu kebiasaan atau hal yang biasa (Schreiner 1994:18; Geertz 1983:207-209). Kebiasaan itu dalam perjalanan sejarah karena terus menerus di praktikkan, jadi bukan karena alasan praktis, kemudian mendapat kekuatan hukumnya (legalitasnya). Karena itu adalah kurang tepat untuk mengerti adat sebagai kebiasaan saja (custom) atau hukum kebiasaan (customary law), sebagaimana sering dimengerti oleh penulis-penulis Barat dahulu, tetapi adat jauh lebih luas dari itu. Adat adalah suatu cara pikir bangsa Indonesia, dimana mereka membentuk dunianya (Weltanschauung) (Geerz 1983:209- 210; Benda Beckman 1979: 113-114). Maka tepat apa yang dikatakan oleh Mohammed Kusnu tentang adat, yaitu bahwa adat adalah tatanan hidup rakyat Indonesia yang bersumber pada rasa susilanya (is the form of life of Indonesian people as founded in their sense of property ) (Koesnoe 1971:A9). Susila ini dimengerti dalam suatu konteks harmoni spiritual, di mana kedamaian menyeluruh ada karena kesepakatan bersama (a sort of universal calm, into a decisionary one of it as consensual procedure, publicly exhibited social agreement) (Geertz, 1983:210).

Pada prinsipnya adat berakar pada religi purba. Karena itu adat bersifat sakral.

Dia datang dari Debata yang kemudian diturunkan kepada nenek moyang. Adat mengikat orang hidup dengan nenek moyang. Dan keturunan mereka hidup sesuai dengan aturan nenek moyang itu. Adirani (1913:100) mengatakan: “Adat bagi orang- orang Indonesia adalah jalannya dunia yang tidak bisa tidak harus demikian, yang

(24)

bersifat mutalk, yaitu jalannya dunia itu sendiri seperti yang diatur dan dipelihara oleh nenek moyang, sehingga setiap orang yang bermaksud mengadakan perubahan- perubahan, melibatkan diri dalam suatu pertentangan dengan para nenek moyang.”

Maka persekutuan dengan berarti juga persekutuan dengan nenek moyang, yang berakar dalam huta yang memberi hidup dengan nenek moyang, adat itu menyatakan diri sebagai religi. Adat menghubungkan nasib individu dengan nasib nenek moyang dan nasib keturunannya (Schreiner 1994:27-28). Karena itu dapat dimengerti mengapa orang Batak Toba sangat kuat mempertahankan adatnya. Adat tidak hanya mengatur kehidupan “sekarang dan di sini” (hich et nunc) tetapi juga mengatur hidup sesudah kehidupan ini. Kematian mampu memutuskan persekutuan badani dengan nenek moyang tatapi tidak mampu merintangi persekutuan kepercayaan (Schreiner 1994:27)

1.4.4 Perkawinan

Pengertian perkawinan menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan tercantum dalam Pasal 1 yang berbunyi “Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami-isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga), yang bahagia dan kekal berdasarkan KeTuhanan Yang Maha Esa”

Dipandang dari sudut kebudayaan manusia, maka perkawinan itu merupakan pengatur kelakuan mamusia yang bersangkut paut dengan kehidupan seksnya, ialah kelakuan-kelaukuan seks terutama persetubuhan. Perkawinan menyebabkan bahwa seorang laki-laki dalam pengertian masyarakat tidak dapat bersetubuh dengan sembarang wanita lain saja, tetapi hanya dengan satu wanita atau beberapa wanita tertentu dalam masyarakat. Kecuali sebagai pengatur kelakuan seks saja, perkawinan juga mempunyai berbagai fungsi yang lain dalam kehidupan kebudayaan dan masyarakat. Pertama-tama perkawinan juga memberi ketentuan hak dan kewajiban serta perlindungan kepada hasil persetubuhan, ialah anak-anak, kemudian perkawinan juga memenuhi kebutuhan manusia akan seorang teman hidup, memenuhi

(25)

kebutuhan akan harta, akan gengsi dan naik kelas masyarakat; sedangkan pemeliharaan hubungan baik antar kelompok- kelompok kerabat yang tertentu sering juga merupakan alasan dari perkawinan.6

Para ahli antropologi mengklasifikasikan beberapa tahapan-tahapan yang berbeda-beda, diantaranya; upacara peralihan (rites of passage) yang berhubungan dengan tahapan-tahapan dalam siklus kehidupan manusia dan upacara intensifikasi (rites of intensification) yang berhubungan dengan kehidupan suatu kelompok yang mengalami krisis dan penting untuk mengikat orang-orang menjadi satu. Upacara peralihan ( rite of passage) adalah upacara keagamaan yang berhubungan dengan tahap-tahap penting dalam kehidupan manusia, seperti kelahiran, perkawinan dan kematian. sedangakan upacara intensifikasi (rite of intensificatioan) adalah upacara keagamaan yang diadakan pada waktu kelompok menghadapi krisis real atau potensial (Soekadijo, 1993: 207).

Rite of passage atau upacara peralihan menurut antropolog adalah ritual yang dilakukan hanya sekali yang dilakukan sebagai petunjuk bahwa seseorang telah mengalami masa peralihan. Antropolog Arnold Van Gennep, menganalisis bahwa upacara ritual peralihan ini akan membawa manusia melintasi krisis yang menentukan dalam hidupnya, seperti kelahiran, pubertas, pernikahan, menjadi ayah atau ibu, naik ke kelas yang lebih tinggi, spesialisasi pekerjaan dan kematian (Soekadijo, 1993: 207).

Menurut Hukum Adat, perkawinan bukan hanya merupakan peristiwa penting bagi mereka yang masih hidup saja, tetapi perkawinan juga merupakan peristiwa yang sangat berarti serta sepenuhnya mendapat perhatian dan diikuti oleh arwah- arwah para leluhur kedua belah pihak. Menurut Hukum Adat pada umumnya di Indonesia perkawinan itu bukan saja berarti sebagai “perikatan perdata”, tetapi juga merupakan “perikatan adat” dan sekaligus merupakan “perikatan

(26)

kekerabatandan ketetanggaan”.7 Dengan demikian, perkawinan menurut hukum adat merupakan suatu hubungan kelamin antara laki-laki dengan perempuan, yang membawa hubungan lebih luas, yaitu antara kelompok kerabat laki-laki dan perempuan, bahkan antara masyarakat yang satu dengan masyarakat yang lain. Menurut para ahli, perkawinan dalam hukum adat adalah sebagai berikut:

1. Menurut Hilman Hadikusuma, perkawinan adalah “perilaku ciptaan Tuhan Yang Maha Esa agar kehidupan di alam dunia berkembang biak”.

Perkawinan dalam arti perkataan adat ialah “perkawinan yang mempunyai akibat hukum terhadap hukum adat yang berlaku dalam masyarakat bersangkutan”

2. Soerojo Wignjodipoero perkawinan adalah “salah satu peristiwa yang sangat penting dalam kehidupan masyarakat kita, sebab perkawinan itu tidak hanya menyangkut wanita dan pria bakal mempelai saja, tetapi juga orang tua kedua belah pihak, saudara-saudaranya, bahkan keluarga-keluarga mereka masing-masing”.

3. B Ter Haar Bzn diterjemahkan oleh K. Ng Soebakti Poesponoto, menurut hukum adat perkawinan adalah “urusan kekerabat,urusan keluarga, urusan masyarakat, urusan derajat dan urusan pribadi, satu sama lain dalam hubungannya yang sangat berbeda-beda”.

4. Menurut R Subekti, perkawinan adalah “pertalian yang sah antara seoranglaki-laki dan seorang perempuan untuk waktu yang lama”.

Menurut Ali Afandi, perkawinan adalah “suatu persetujuan antara seorang laki- laki dan seorang perempuan di dalam bidang hukum keluarga”. Perkawinan sah

7ilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia, Menurut Perundangan, Hukum Adat, Hukum Agama, Bandung: Mandar Maju, 2007, hlm. 8.

(27)

adalah “Perkawinan yang dilakukan di muka” petugas Kantor Pencatatan Sipil”. Perkawinan yang dilakukan menurut tata cara agama saja tidaklah sah. Dan dalam hubungan ini maka ada ketentuan yang melarang petugas agama untuk melakukan suatu perkawinan menurut tata acara agama sebelum perkawinan perdata dilangsungkan.

Perkawinan merupakan proses penyatuan dua orang berlainan jenis kelamin dalam suatu ikatan yang suci dan mereka bersatu di dalam kehidupan bersama untuk melanjutkan keturunan. Proses yang mereka lalui dalam rangka mengikatkan diri ini, tentunya menurut ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam masyarakat. Laki-laki yang telah mengikatkan diri dengan seorang perempuan, setelah melalui prosedur yang ditentukan di dalam hukum adat dinamakan suami dan perempuan yang mengikatkan diri itu disebut istri. Pada masyarakat Batak perkawinan bukan saja untuk melanjutkan keturunan tapi juga untuk meneruskan marga dari pihak laki-laki (menganut sistem patriakhal). Perkawinan orang Batak harus dilakukan dengan adat yang berlaku di dalam masyarakat Batak.

Adapun yang harus dilakukan, sebagai berikut:

• Sebelum upacara perkawinan, ada tahap-tahap yang harus dilakukan sebelum memutuskan melakukan upacara perkawinan yaitu: martandang, mangalehon tanda, marhusip, marhata sinamot, maningkir lobu, dan martonggo raja.

• Upacara perkawinan. Dalam upacara perkawinan ada dua hal yang dilakukan yaitu upacara agama (agama Kristen, pemberkatan di gereja) dan upacara perkawinan menurut adat Batak.

• Setelah upacara perkawinan, tahap-tahap yang harus dilakukan, yaitu: mebat (Paulak une), maningkir tangga, dan manjae.8

(28)

Dalihan Natolu merupakan pemilihan tungku masak berkaki tiga sebagai lambang pengibaratan tatanan sosial kemasyarakatan orang batak. Ketiga kaki tungku melambangkan struktur sosial masyarakat batak, yaitu kelompok Dongan Sabutuha, kelompok Hula-Hula dan kelompok Boru. Nama setiap kelompok juga mengisyaratkan fungsi sosial setiap kelompok. Dengan demikian, satu dari kaki tungku merepresentasikan kelompok dan fungsi dongan sabutuha yaitu orang yang satu marga dengan fungsi kepada sesama. Kaki kedua merepresentasikan kelompok dan fungsi Hula-Hula, yaitu kumpulan beragam marga asal para istri dari orang semarga. Kaki ketiga merepresentasikan kelompok dan fungsi Boru, yaitu kumpulan beragam marga asal suami dari perempuan semarga. Ketiga struktur dan fungsi sosial tersebut adalah dasar berpijak dan tonggak penopang (pilar) dari pergaulan hidup masyarakat Batak atau dengan kata lain sebagai suatu tatanan sosial kemasyarakatan.

Ketiga kelompok (Hula-hula, Dongan Tubu, Boru) tesebut selalu dijumpai berinterelasi dan berinteraksi, selaras, seimbang dan kokoh dengan Marga sebagai perekat dan Hukum Marga sebagai pengikat. Orang yang satu marga tetap menganggap dirinya satu darah karena berasal dari satu leluhur pemersatu yang mewariskan marga mereka. Tidak dipermasalahkan bentangan generasi pemisah diantara mereka. Fakta tersebut telah membuktikan bahwa marga itu memiliki daya rekat yang luar biasa kepada warganya. Hukum Marga menetapkan Papangan so jadi pusung, artinya tidak boleh makan sendiri atau harus mengutamakan kebersamaan, kepedulian, gotong royong. Hukum Marga menetapkan Bongbong yaitu larangan menikah dengan kawan semarga.

Akibat atau implikasi hukum Bongbong mengharuskan pernikahan antar marga atau eksogami. Pernikahan antar marga tersebut telah menciptakan eksistensi Hula-hula dan Boru. Dengan kata lain, terciptanya Dalihan Natolu merupakan konsekuensi logis dari hukum Bongbong. Bukan karena dongeng, karangan-karangan tanpa dasar. Leluhur membuktikan dirinya memiliki

(29)

tertib. Oleh sebab itu, setiap pribadi (hadirion) orang Batak dapat berkedudukan (tohonan) atau fungsi Dongan Sabutuha, Hula-hula atau Boru. Dengan kata lain setiap pribadi Batak memiliki tiga fungsi. Dongan sabutuha atau kawan semarga merupakan kelompok yang bersifat tetap (hot), permanen sementara hula-hula dan Boru bersifat tidak tetap atau berubah pada waktunya. Masyarakat Batak telah menganut faham patrilineal atau garis ayah karena leluhur pemersatu yang mewariskan marga adalah laki-laki, Ayah dari keturunannya.

Demikianlah garis besar konsep Dalihan Natolu sebagai tatanan sosial kemasyarakatan Batak Toba. Kapan waktunya, pada generasi keberapa keturunan Si Raja Batak konsep ini direkayasa dan diberlakukan, agak sulit untuk ditelusuri.

Fakta atau kenyataan membuktikan bahwa tatanan Dalihan Natolu telah dihayati dan diramalkan ratusan tahun yang lalu dan masih terus dihayati dan diamalkan mayoritas masyarakat Batak Toba hingga sekarang9

• Perkawinan antar etnis

Etnis atau Suku Bangsa merupakan proses dari sistem kekerabatan yang lebih luas. Kekerabatan yang tetap pecaya bahwa mereka memiliki ikatan darah dan berasal dari nenek moyang yang sama. Dalam pengertiannya kata etnis memang sulit untuk didefinisikan karena hampir mirip dengan istilah etnik, di jelaskan bahwa istilah etnik sendiri merujuk pada pengertian kelompok orang-orang, sementara etnis merujuk pada orang-orang dalam kelompok. Etnis adalah suatu kesatuan sosial yang dapat dibedakan dari kesatuan yang lain berdasarkan akar dan identitas kebudayaan, terutama bahasa. Dengan kata lain etnis adalah kelompok manusia yang terikat oleh kesadaran dan identitas tadi sering kali dikuatkan oleh kesatuan bahasa.

9 P.L.Situmeang Doangsa, Dalihan Natolu Sistem Sosial Kemasyarakatan Batak Toba, Jakarta,Kerabat,2007, hal.

(30)

Kelompok etnis bisa mempunyai bahasa sendiri, agama sendiri, adatistiadat sendiri yang berbeda dengan kelompok lain. Yang paling penting, para anggota dari kelompok etnis itu mempunyai perasaan sendiri yang secara tradisional berbeda dengan kelompok sosial lain. Istilah etnis menjadi sebuah kata yang tepat untuk memandang orang dari berbagai asal-usul. Lebih lanjut diungkapkan pula bahwa etnis mungkin dipertimbangkan dalam istilah kelompok apapun yang didefinisikan atau disusun oleh asal-usul budaya, agama, nasional atau beberapa kombinasi dari kategorikategori tersebut.10

Berdasarkan pengertian di atas bisa disimpulkan bahwa etnis adalah sekumpulan manusia yang memiliki kesamaan ras, adat, agama, bahasa, keturunan dan memiliki sejarah yang sama sehingga mereka memiliki keterikatan sosial sehingga mampu menciptakan sebuah sistem budaya dan mereka terikat didalamnya. Keluarga beda etnis adalah unit terkecil dari masyarakat yang terdiri atas kepala keluarga dan beberapa orang yang terkumpul dan tinggal disuatu tempat yang salah satu dari bagiannya adalah orang yang berasal dari suku lain, yang memiliki perbedaan ras, adat, agama, bahasa, keturunan dan memiliki sejarah yang berbeda sehingga mereka tidak memiliki keterikatan sosial.

Berdasarkan definisi diatas dapat diambil kesimpulan, yang dimaksud dengan komunikasi antarbudaya keluarga beda etnis adalah komunikasi yang terjadi di antara orang-orang yang berada didalam keluarga (suami-istri) yang salah satu dari mereka berasal dari etnis yang berbeda untuk menguraikan sebuah bentuk perkawinan campuran yang dialami oleh sebuah keluarga dan pasangan kawin campur.

10 Hadawiyah (2016). Komunikasi Antarbudaya Pasangan Beda Etnis (Studi Fenomenologi Pasangan beda Etnis Suku Sulawesi - Jawa di Makassar) Jurnal Fakultas Sastra Ilmu Komunikasi Menara UMI .

(31)

1.5 Metode Penelitian

Menurut Sugiyono (2013:2), Metode penelitian pada dasarnya merupakan cara ilmiah untuk mendapatkan data dengan tujuan dan kegunaan tertentu. Berdasarkan hal tersebut terdapat empat kata kunci yang perlu diperhatikan yaitu cara ilmiah, data, tujuan dan kegunaan. Dapat dikatakan metode penelitian adalah suatu cara ilmiah untuk memperoleh data dengan tujuan dan kegunaan tertentu. Penelitian kebudayaan merupakan kegiatan membentuk dan mengabstraksikan pemahaman secara rasional, empiris dan fenomena kebudayaan, baik terkait dengan konsepsi, nilai, kebiasaan, pola interaksi, aspek kesejarahan, biografi, teks media massa, film, pertunjukan (berkesenian), maupun berbagai bentuk fenomena budaya. Fenomena budaya dapat berbentuk tulisan, rekaman lisan, perilaku, pembicaraan yang memuat konsepsi, pemahaman, pendapat, ungkapan perasaan, angan-angan, dan gambaran pengalaman kehidupan kemanusiaan. (Maryaeni :2005;23)

Dalam penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif yang peneliti dan menggunakan metode etnografi James Spradley mendefinisikan budaya sebagai sistem pengetahuan yang diperoleh manusia melalui proses belajar, yang mereka gunakan untuk menginterpretasi dunia sekeliling mereka dan sekaligus untuk menyusun strategi perilaku dalam menghadapi dunia sekeliling mereka. Etnografi merupakan pekerjaan mendeskripsikan suatu kebudayaan. . Etnografi menurut Spradley adalah suatu kebudayaan yang mempelajari kebudayaan lain. Etnografi merupakan suatu bangunan pengetahuan yang meliputi teknik penelitian, teori etnografi, dan berbagai macam deskripsi kebudayaan. Etnografi berulangkali bermakna untuk membangun suatu pengertian yang sistematik mengenai kebudayaan manusia dari perspektif orang yang telah mempelajari kebudayaan itu. Dalam penelitian ini, peneliti langsung berinteraksi dengan masyarakat setempat sehingga segala permasalahan yang terkait dengan budaya dapat diketahui, dipahami oleh peneliti secara jelas.

(32)

Sumber Data

Menurut Sutopo (2006:56-57), Sumber data adalah tempat data diperoleh dengan menggunakan metode tertentu baik berupa manusia, artefak, ataupun dokumen-dokumen. Pencatatan sumber data melalui wawancara atau pengamatan merupakan hasil gabungan dari kegiatan melihat, mendengar, dan bertanya.

• Melihat ; Penulis mengetahui sesuatu melalui indera mata. Pada penelitian ini penulis melihat secara langsung bagaimna kondisi dan situasi rumah tangga dari pasangan keluarga yang berbeda suku atau keluarga yang pernah diberi marga.

• Mendengar; Penulis mengetahui sesuatu melalui indera pendengar. Pada penelitian ini penulis mendengar secara langsung informasi yang akan disampaikan oleh informan. Baik dari ketua adat, tokoh adat ataupun dari keluarga yang pernanh mangain marga.

• Bertanya ; Penulis mecari informasi sedetail mungkin dengan bertanya langsung kepada informan. Pertanyaan yang ditujukan seputar proses pemberian marga, makna yang terkandung, serta kehidupan keluarga yang melakukan perkawinan beda etnis.

Pada penelitian kualitatif, kegiatan-kegiatan ini dilakukan secara sadar, terarah dan senantiasa bertujuan memperoleh suatu informasi yang diperlukan.. Dalam penulisan ilmiah ini, penulis membaginya kedalam dua sumber data, yakni data primer dan data sekunder.

1. Data primer adalah data yang diperoleh secara langsung melalui penelitian di lapangan yaitu dengan cara wawancara kepada tokoh adat, sesepuh adat, keluarga yang pernah melakukan magain marga (diberi marga) sebagai informan dan yang menjadi objek penelitian di wilayah penelitian yaitu Kota Dumai.

(33)

2. Data sekunder yaitu data yang diperoleh dari bahan-bahan pustaka, buku-buku adat. Data sekunder pada penelitian ini adalah tentang Pemberian Marga kepada orang non Batak pada masyarakat adat Batak Toba, literatur dan sumber lainnya yang berhubungan dengan perkawinan

Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang penulis gunakan adalah teknik pengumpulan data kualitatif . Sejumlah teknik yang digunakan dalam penelitian ini anatara lain :

Observasi

Untuk memperoleh data yang tidak tertulis maka penulis melakukan pengamatan langsung di lokasi penelitian menggunakan teknik observasi. Observasi adalah suatu penelitian secara sistematis dengan menggunakan indera manusia.

Penelitian ini dilakukan pada masa pandemic Covid 19 dimana Kota Dumai sendiri juga mengalami Pembatasan Sosial Secara Berkala, sehingga segala adat istiadat dan pertemuan dihentikan sementara. Oleh karena itu, penulis hanya mendapatkan informasi dari berbagai tokoh adat. Tidak ada observasi langsung pada adat mangain marga.

Wawancara

Menurut Maryaeni (2005:70) teknik wawancara merupakan salah satu pengambilan data yang dilakukan melalui kegiatan komunikasi lisan dalam bentuk terstruktur, semi terstruktur, dan tak terstruktur. Teknik wawancara dimaksudkan untuk mendapatkan data penelitian yang berupa jawaban pertanyaan lisan yang diajukan oleh peneliti.

(34)

Metode wawancara yang digunakan adalah wawancara mendalam (depth interview) kepada beberapa informan yang sesuai dengan tujuan penelitian. Informan disini adalah tokoh-tokoh adat, ketua-ketua punguan marga, serta pasangan keluarga yang pernah melakukan mangain marga. Para tokoh atau tetua adat adalah mereka yang secara luas paham seluk beluk mengani pemberian marga ini. Dari mulai proses hingga makna yang terkandung di dalamnya.

• Tokoh tokoh adat ;Penulis akan melakukan wawancara langsung kepada tokoh- tokoh adat yang ada di Kota Dumai. Untuk mendapatkan infromasi yang rinci mengenai pemberian marga. Penulis akan menanyakan seputar apa makna yang terkandung dalam pemberian marga itu, dan bagaimana proses pemberian marga tersebut. Serta mengapa seseorang yang bukan non batak harus diberi marga terlebih dahulu meskipun ia sudah ada marga sebelumnya.

• Ketua-ketua punguan marga ;Penulis nantinya akan bertanya kepada ketua-ketua punguan marga, sebagai informasi, keluarga mana saja yang pernah melakukan pemberian marga tersebut, ataupun sebagai orang tua angkatnya. Melalui informasi ini, peneliti akan lebih mudah mendapatkan informan.

• Keluarga yang pernah mangain marga; Penulis akan melakukan wawancara kepada keluarga yang pernah mangain marga untuk menanyakan apa alasan mereka melakukan perkawinan campuran, serta mengapa bersedia di beri marga.

Lalu, bagaiman dengan kondisi kehidupan keluarga mereka dengan perbedaan latar belakang budaya. Penulis juga nantinya akan bertanya kepada keluarga angkat dari orang yang diberi marga, yakni untuk menanyakan mengapa mereka mau menjadi keluarga angkat, dan apakah menjadi orang tua angkat hanya sebatas pada saat pesta perkawinan itu saja.

Teknik wawancara juga dilakukan dengan cara komunikasi verbal atau langsung dengan informan utama maupun informan biasa dengan berpedoman pada interview

(35)

guide yang telah dipersiapkan sebelumnya untuk mendapatkan data konkrit yang lebih rinci dan mendalam.

Menurut Koentjaraningrat informan terbagi menjadi dua jenis, yaitu:

a. Informan pangkal, yaitu informan yang memiliki pengetahuan luas di berbagai bidang atau pengetahuan yang bersifat umum (general). Selain itu, informan pangkal juga harus memiliki kemampuan untuk memberikan rekomendasi dan informasi bagi peneliti kepada orangorang yang mengetahui lebih rinci dan mendalam serta sesuai keahliannya. Dalam penelitian ini,informan pangkal adalah ketua-ketua marga yang ada di Dumai. Dimana mereka memiliki kemampuan dan memberikan informasi mengenai anggota kelompok (punguan) yang pernah melaksanakan mangai marga.

b. Informan kunci,yaitu informan yang memiliki keahlian atau penegetahuan terinci dan mendalam di bidangnya, mampu menuturkan pengetahuan/keahlian/pengalaman hidupnya sesuai kebutuhan data peneliti.

Di dalam penelitian ini, informan kuncinya adalah tokoh-tokoh adat, sesepuh orang tua terdahulu yang paling mengerti tentang adat.

Dalam penelitian ini, penulis memiliki informan sebanyak 10 orang diantaranya : 1. Mangambit Gultom, lahir di Pematang Siantar 14 April 1969. Informan ini

merupakan tokoh adat,Raja Parhata dan juga ketua dari Serikat Tolong Menolong. Informan juga pernah menjadi orang tua angkat dari sesorang yang mangain marga.

2. L.Manurung (Op.Josua) lahir di Porsea 17 Februari 1950. Informan ini merupakan sesepuh adat,Raja Parhata orang tua yang memahami tentang peradatan. Informan juga pernah menjadi orang tua angkat dari seseorang yang mangain marga.

(36)

3. Maradu Lumban Batu lahir di Pansur Batu 2Juli 1961. Informan merupakan tokoh adat, dan Raja Parhata.

4. Manumpak Edi Silaban (Op.Arsen) Tarutung, 25 April 1957. Informan merupakan tokoh adat, Raja Parhata.

Berikut informan yang melaksanakan perkawinan beda Etnis.

1. Keluarga Bapak Nelson Simanjuntak/ Ibu Hermin Girik Allo boru Tambunan (Batak-Toraja)

2. Keluarga Bapak Sujiyono Sitorus/Lingse br.Simanjuntak (Opung ni si Evelyn) (Jawa-Batak)

3. Keluarga Bapak M.Silaban/Ibu Dormawati Boru Simamora (Oppung ni si Sasta) (Batak- Minang)

4. Keluarga Sianipar/Boru Turnip (Opung William) (Batak Tionghoa) 5. Keluarga Alasan Sihombing/ Ibu Allan br.Pakpahan (Batak-Akid) 6. Keluarga Ade Putra Sinaga/ Oktriana boru Sitompul (Batak-Jawa)

Dokumentasi

Dokumentasi menurut Sugiyono (2015: 329) adalah suatu cara yang digunakan untuk memperoleh data dan informasi dalam bentuk buku, arsip, dokumen, tulisan angka dan gambar yang berupa laporan serta keterangan yang dapat mendukung penelitian. Dokumentasi digunakan untuk mengumpulkan data kemudian ditelaah. Perlengkapan yang digunakan pada saat wawancara adalah catatan tertulis untuk mencatat bagian-bagian yang penting dari hasil wawancara dan recoder untuk merekam proses wawancara dalam rangka antisipasi terhadap keabsahan data yang diperoleh ketika melakukan wawancara.

(37)

BAB II

TINJAUAN UMUM KOTA DUMAI 1.6 Sejarah singkat

Nama Dumai menurut cerita rakyat tentang Putri Tujuh, berasa dari kata di lubuk dan umai (sejenis binatang landak) yang mendiami lubuk tersebut. Status Dumai sebelum ahkirnya menjadi Kota Madya sebagai berikut:

a. Pada tahun 1945-1959, status Dumai tercatat sebagai desa.

b. Tahun 1959-1963, Dumai masuk dalam wilayah Kecamatan Rupat.

c. Tahun 1963-1964, Dumai berpisah dari kecamatan Rupat dan berubah status menjadi Kawedanan.

d. Berdasarkan PP No. 8 tahun 1979 pada tanggal 11 April, Dumai berubah menajadi Kota Administratif (merupakan kota adminnistratif pertama di suatera dan ke-11 di Indonesia) dibawah Kabupaten Daerah Tingkat II dari Bengkalis.

e. Berdasarkan UU No. 16 pada tahun 1999 tanggal 20 April (Lembaga Negara tahun 1999 Nomor 3829) Dumai berubah atatus menjadi Kota Madya sehingga menjadi Kota Madya dati II Dumai. Berdasarkan UU No. 22 tahun 1999, maka Kota Madya Dumai berubah menjadi Kota Dumai. Masa jabatan Walikota Dumai pertama dari tanggal 27 April 1999 sehingga tanggal 27 April dijadikan hari ulang tahun Kota Dumai.

.

Kota Dumai merupakan hasil pemekaran dari Kabupaten Bengkalis. Dumai dikukuhkan menjadi Kota Dumai dengan UU No. 16 tahun 1999 tanggal 20 April 1999 dimana setatus dumai sebelumnya adalah kota Administratif. Pada awal pembentuknya, Kota Dumai hanya terdiri dari atas 3 kecamatan, 13 kelurahan dan 9 desa dengan jumla penduduk hanya 15.699 jiwa dengan tingkat kepadatan 83,85

(38)

1.7 Letak dan Keadaan Geografis

Kota Dumai memiliki luas wilayah 2.040 Km2 terdiri dari 7 kecamatan dan 33 kelurahan. wilayah Kota Dumai memiliki ilklim tropis dengan sushu udara brkisar anatara 210 C – 360 C dan terdapat dua musim yaitu musim hujan dan musim kemarau.

Batas–batas wilayah Kota Dumai sebagai berikut : a. Sebelah Utara berbatasan dengan Selat Rupat.

b. Sebelah Timur berbatasan dengan kecamatan Bukit Batu Kabupaten Bengkalis.

c. Sebelah Selatan berbatasan dengan Kecamatan Mandau dan Kecamatan Bukit Batu Kabupaten Bengkalis.

d. Sebelahh Barat berbatasan dengan Kecamatan Tanah Putih dan Kecamatan Bangko Kabupaten Rokan Hilir.

Kota dumai terdapat kecamatan dan kelurahan, berikut adalah beberapa kecamatan dan kelurahan yang berada di Kota Dumai :

Tabel 2.1

Jumlah Kecamatan dan Kelurahan Di Kota Dumai

No Kecamatan Kelurahan

1 Dumai Barat Bagan Keladi, Pangkalan Sesai, Purnama, Simpang Tetap Darul Ichsan.

2 Dumai Timur Bukit Batrem, Buluh Kasap, Jaya Mukti, Tanjung Palas, Teluk Binjai

3 Bukit Kapur Bagan Besar, Bukit Kayu Kapur, Bukit Nenas, Gurun Panjang, Kampung Barat.

4 Medang Kampai Guntung, Mundam, Teluk Makmur Pelintung 5 Sungai Sembilan Bangsal Aceh, Basilam Baru, Batu tertip, lubuk

(39)

gaung, Tanjung penyembal.

6 Dumai Kota Laksamana, Rimba Sekampung, Bintan, Dumai Kota, Sukajadi

7 Dumai Selatan Bukit Timah, Mekar Sari, Bumi Ayu, Ratu Sima, Bukit Datuk.

Sumber dari : Badan Statistik Kota Dumai 1.8 Keadaan Penduduk

Kota dumai menurut statistik pada tahun 2019 tercatat memiliki jumlah penduduk sebanyak 308.812 jiwa, meningkat 1,82% dari Tahun 2018 yaitu jumlah penduduk laki – laki sebanyak 158.287 jiwa sedangkan penduduk perempuan sebanyak 150.525 jiwa. Dengan kepadatan penduduk 178.00 jiwa/km2 dengan laju pertumbuhan penduduk berkisar 3,51 persen/tahun.

Tabel 2.2

Jumlah Penduduk Kota Dumai

No Tahun Populasi

1 2010 253.803 jiwa

2 2012 277.995 jiwa

3 2018 288.741 jiwa

4 2019 300.638 jiwa

Sumbe dari : Badan Statistik Kota Dumai

Menurut data tahun 2019, jumlah penduduk Kota Dumai yang terdiri dari berbagai suku bangsa seperti Melayu, Batak, Minang sebagai warga mayoritas, Jawa, Bugis, dan Tionghoa adalah sebanayak 300.638 jiwa dengan kepadatan rata – rata 179 jiwa/km2 dan laju pertumbuhan sebesar 3,7% per tahun. Islam adalah agama mayoritas yang dipeluk penduduknya. Kecamatan dengan penduduk terbanyak pada saat tahun 2019 adalah Dumai Timur dengan Jumlah penduduk 66.435 jiwa (21,51%), sedangka kecamatan degan penduduk terendah adalah Medang Kampai

(40)

dengan jumlah penduduk 12.351 jiwa (4,00%). Setiap tahunnya jumlah penduduk yang ada di kota dumai megalami penambahan dari tahun ketahun.

Berdasarkan kelompok umur penduduk kota Dumai paling banyak berada pada kelompok umur 0 – 4 tahun yang paling sediki pada kelompok umur 60 – 64 tahun, dengan jumlah masing – masing sebesar 34.085 jiwa dan 8.315 jiwa, dapat dilihat pada tabel 2.3

Tabel 2. 3

Jumlah Penduduk Di kota Dumai Berdasarkan Usia dan Jenis Kelamin KELOMPOK

UMUR LAKI – LAKI PEREMPUAN

JUMLAH PENDUDUK

0 – 4 Tahun 17.326 16.759 34.085

5 -9 Tahun 15.830 15.207 31.037

10 – 14 Tahun 14.121 13.373 27.494

15 – 19 Tahun 13.673 12.558 26.231

20 – 24 Tahun 12.516 12.038 24.554

25 – 29 Tahun 14.404 13.570 27.614

30 – 34 Tahun 13.182 12.975 26.157

35 – 39 Tahun 12.130 11.887 24.017

40 – 44 Tahun 11.327 10.856 22.183

45 – 49 Tahun 10.176 9.610 19.786

50 – 54 Tahun 8.086 7.693 15.779

55 – 59 Tahun 6.273 5.835 12.108

60 – 64 Tahun 4.634 3.681 8.315

65+ 4.969 4.969 7.841

Jumlah 158.287 150.525 308.812

Sumber Data : Badan Statistik Kota Dumai 2019

(41)

Pada tabel diatas ini menerangkan tentang jumlah penduduk berdasarkan umur dan jenis kelamin dapat ditarik kesimpulan bahwa jumlah penduduk laki–laki terbanyak adalah berumur 0–4 tahun dan jumlah penduduk perempuan terbanyak juga pada umur 0–4 tahun.

1.9 Gambaran Masyarakat Batak di Kota Dumai 1.9.1 Punguan Marga (Perkumpulan Marga)

Masyarakat Batak Toba yang tinggal di perantauan masih memegang teguh nilai-nilai dan adat kebudayaan, khususnya masyarakatat Batak Toba yang tinggal di Kota Dumai. Etnis Batak berusaha mempertahankan identitasnya dengan mendirikan berbagai organisasi yang berdasarkan kekerabatan, seperti halnya dalam membentuk sebuah kekerabatan diantara satu kelompok marga. Mereka yakin dengan adanya punguan marga (perkumpulan marga) ini akan membawa mereka pada sebuah wujud kepedulian mereka pada nilai-nilai budaya yang selama ini mereka pertahankan, dengan perkumpulan marga tesebut mereka juga akan membentuk sebuah tali persaudaraan antara yang satu dengan yang lainnya, tanpa saling mengenal dan tahu diantara mereka para anggota dari perkumpulan tersebut.

Keberadaan organisasi Masyarakat Batak Toba di Kota Dumai yaitu Puguan- Pungan Marga yang d idalamnya mencakup Boru dohot Bere se Kota Dumai memberikan manfaat bagi para anggotanya. Adanya organisasi ini membuat masyarakat Batak Toba lebih mengenal adat budaya mereka, terutama bagi anak-anak yang lahir di Kota Dumai. Organisasi ini mewadahi setiap anggota untuk bisa saling mengenal dengan sesama marga mereka. Organisasi ini merupakan sebuah organisasi yang berdiri atasa dasar kesamaan marga. Di Kota Dumai sediri, lebih dari 100 punguan marga. Masing-masing perkumpulan tersebut memiliki visi misi, struktur kepengurusan, Anggaran Dasar dan lain sebagainya. Hal ini tentu sangat memberikan

(42)

dampak positif yaitu menjadi pengikat antar marga dan mempererat hubungan kekerabatan.

1.9.2 Parsahutaon (Serikat Tolong Menolong)

Masyarakat Batak menyadari bahwa etnis batak telah tersebar di wilayah Indonesia, untuk menjaga kelestarian budaya batak mereka membentuk sebuah pekumpulan atau paguyuban di daerah perantau. Perkumpulan masyarakat Batak ini disebut dengan Punguan parsahutaon. Punguan parsahutaon ini terbentuk agar setiap masyarakat tetap melangsungkan Upacara adat seperti upacara dat pernikahan, upacara adat masa kehamilan sampai masa bayi dan upacara adat kematian. Setiap anggota ikut saling membantu ketika keberadaan mereka memang dibutuhkan, sehingga kebersamaan dapat lebih terasa dan dapat saling meningkatkan solidaritas sosial antar masyarakat batak perantauan.

Dengan melestarikan adat istiadat maka sistem kekerabatan akan juga lestari karena setiap adat akan terlaksana apabila dihadiri oleh Dalihan Na Tolu, yang merupakan nilai kekerabatan pada masyarakat Batak. Berhubungan dengan itu, fungsi Punguan parsahutaon ini adalah untuk memelihara identitas dan akar budaya. Tidak bisa dipungkiri di kota perantau yang sangat besar dan majemuk serta modern orang bisa merasa kehilangan identitas adat istiadat mereka dan meningkatkan hubungan kekerabatan masyarakata batak yang ada di perantauan.

Di kota Dumai sendiri ada banyak Parsahutaon, dan biasanya perkumpulan itu didasari dengan lingkungan tempat tinggal. Perkumpulan Pasrsahutaon ini sering juga disebut Serikat Tolong Menolong (STM). Tolong menolong bukan “barang baru”

bagi masyarakat Indonesia. Setiap suku bangsa mengenalnya dengan istilah yang berbeda. Orang Batak menyebutnya “Dalihan Na Tolu”. Dalihan Na tolu ini berawal dari nilai kekerabatannya, dengan kekerabatan inilah mereka saling tolong menolong.

Tolong menolong merupakan ciri cerminan salah satu perilaku sosial seperti tolong

(43)

kerjasama, menyumbang, menolong, kejujuran, kedermawanan, serta mempertimbangkan hak dan kesejahteraan orang lain.

Adapun Parsahutaon yang ada di Dumai antara lain Parsahutaon Jalan Merdeka, Parsahutaon Jalan Air Bersih, Parsahutaon Rim Ni Tahi, Parsahutaon Pardomuan, Parsahutaon Kesuma Ujung Jaya Mukti Parsahutaon Rimba Sekampung, Parsahutaon Bukit Batrem I, Parsahutaon Bukit Batrem II, PArsahutaon Bukit Timah , Parsahutaon Masiurupan, Parsahutaon Bumi Ayu, dan Parsahutaon Tegalega.

1.9.3 Ikatan Keluarga Masyarakat Batak Dumai (IKMBD)

Pada tanggal 13 September 1992 berjumlah 12 (dua belas) Parsahutaon (Perkumpulan) warga Batak di wilayah hukum Kota Administratif (Kotif) Dumai, mufakat mengadakan musyawarah untuk mendirikan Ikatan Keluarga Masyarakat Batak atau dengan nama singkat IKMBD. Hasil musyawarah saat itu terpilih Tuan B.Doloksaribu sebagai Ketua Umum IKMBD masa bakti 1992-1995, wakil Ketua I, St.R.Marpaung (Almarhum), Ketua II, P.Hutabarat (Almarhum), Ketua III, St.S.T.Pardede, Sekretaris Umum, M.Lumbantobing, Sekretaris I, St.M.Nadapdap , Sekretaris II, V.Silingo, Bendahara Umum, E.Simanjuntak (Almarhum), BendaharaII,B.Siahaan (Almarhum) dan Koordinator saksi, Drs.B.Tambunan dan K.Hutagalung Ketua Parsahutaon MARSIURUPAN saat itu. Sebagai Pembina/penasehat H.Hasibuan (Alm) dan pendeta-pendeta/Pastor yang berdomisili saat itu di di Kota Dumai.

Berjumlah 12 perkumpulan warga batak di Kota Administratif (Kotif) Dumai saat itu mufakat yakin memberi kepercayaan kepada Tuan B.Doloksaribu untuk memimpin IKMBD masa bakti 1992-1995.Penasehat, Ketua dan anggota 12 Parsahutaon bermufakat mempercayakan kepada Tuan B.Doloksaribu untuk membeli 1 (satu) unit mobil Ambulance. Kemudian saat itu, setiap Kepala Keluarga (KK)

Gambar

Gambar 3.1 Silsilah Si Raja Batak  Sumber : Buku Pustaha Batak  hal.34
Gambar 3.2 Tudu Tudu Sipanganon  Sumber : Tabloid Horas Indonesia
Gambar 4.1  Foto Bersama Hermin Girrik Allo
Gambar 4.2 Foto Bersama keluarga Sujiyono Sitorus/Lingse br.Simanjuntak  Dokumentasi pribadi Ditya Windi, 2020
+5

Referensi

Dokumen terkait

Hukum adat Batak Toba, khususnya perkawinan sangat memperhatikan prinsip dasar yaitu dalihan na tolu (artinya tungku nan tiga), yang merupakan suatu ungkapan yang menyatakan

Namun tidak hanya perubahan pada tempat pelaksanaan adat yang berubah namun penggunaan wisma/gedung sebagai sarana ruang pelaksanaan ritual Adat Perkawinan Batak Toba juga

Permasalahan yang akan dijabarkan dalam penelitian ini yaitu penerapan prinsip Dalihan Natolu dalam hukum adat Batak Toba, karena dalam hukum adat Batak Toba sendiri

Debora (2014) dalam skripsinya yang berjudul Makna Simbolik Upacara Adat Mangulosi (Pemberian Ulos) pada Siklus Kehidupan Masyarakat Batak Toba di Kecamatan

Bahwa jika terjadi perkawinan satu marga si laki- laki dengan wanita, maka diberikan sanksi/huku- man adat, sangsi/hukuman adat tersebut berben- tuk: antara lain (a) Disirang

Dalam masyarakat Batak Toba unsur nasab yang dilarang dalam perkawinan aitu ”semarga”. masyarakat adat Batak Toba, perkawinan semarga dilarang, karena masyarakat adat Batak

marunjuk pada upacara adat perkawinan Batak Toba. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif yang menerapkan kerangka pikir pragmatik. Lokasi penelitian ini adalah

Makna simbol pemberian ulos pada saat upacara adat perkawinan Batak Toba adalah sebagai “materai” agar permohonan yang disampaikan kepada Tuhan Yang Mahaesa menjadi