• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III Marga dan Sistem Kekerabatan pada Masyarakat Batak Toba

3.5 Akibat Hukum atas Penerimaan Marga

Akibat hukum yang timbul dari suatu perkawinan yang dilaksanakan sesuai dengan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan berbeda dengan akibat hukum menurut adat Batak Toba. Perbedaan yang paling mendasar terletak pada kepastian hukumnya. Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan dengan jelas mengatur mengenai akibat-akibat hukum suatu perkawinan mulai dari hak dan kewajiban suami isteri dan anak serta mengenai harta beda perkawinan sedangkan akibat hukum perkawinan menurut hukum adat Batak Toba lebih cenderung kepada pertanggungjawaban moral karena tidak adanya hukum tertulis yang mengatur masalah ini secara tegas. Jadi mengenai hak dan kewajiban suami, isteri dan anak-anak serta harta benda perkawinan yang dilaksanakan menurut hukum adat Batak Toba menimbulkan akibat-akibat hukum sebagai berikut:

a. Menurut Hukum adat Batak Toba, seorang suami merupakan kepada keluarga dan kepala rumah tangga., serta merupakan pengambil keputusan mutlak dalam keluarga. Hal ini sebagai pengaruh dari sistem kekeluargaan patrilineal yang dianut oleh masyarakat Batak Toba. Dimana laki-laki memiliki tanggung jawab sebagai penerus generasi melalui marga yang diturunkan ke anak-anaknya kelak. Suami yang berkedudukan sebagai kepala rumah tangga bertanggung jawab serta berkewajiban untuk menjaga kelangsungan hidup rumah tangganya dengan cara memenuhi keperluan rumah tangga baik materil maupun non materil. Demikian juga istri, berkewajiban serta bertanggung jawab terhadap fasilitas untuk kelangsungan hidup keluarga, istri wajib mengatur dan menata penggunaan kekayaan materil dan berkewajiban untuk

b. Anak menurut Hukum Batak Toba, anak yang lahir dalam suatu perkawinan yang dilaksanakan menurut hukum adat adalah merupakan anak sah. Orang tua berkewajiban memelihara dan memberikan penghidupan serta pendidikan yang baik dan layak kepada anak-anaknya, sesuai dengan kemampuan orang tua tersebut. Demikian juga halnya dalam mewarisi harta warisan dari orang tuanya, hanya anak laki-laki yang berhak untuk menjadi ahli waris sedangkan kepada anak perempuan biasanya hanya di sekolahkan atau dibekali pendidikan. Anak perempuan tidak mendapat warisan karena nantinya apabila ia menikah, ia dianggap telah keluar dan masuk ke dalam keluarga suaminya.

Kecuali perempuan tersebut anak tunggal atau anak satu satunya. Namun seiring perkembangan nya zaman, masyarakat Batak mulai menyadari dan terjadinya pergesaran kedudukan anak perempuan. anak perempuan saat ini banyak dipertimbangkan untuk mendapatkan warisan dari orang tuanya, meskipun sebagai masih banyak juga yang tetap mempertahankan adat istiadat Batak Toba sehingga anak perempuan hanya dibekali pendidikan dan uang ketika menikah saja.

c. Terhadap harta benda akibat perkawinan yang dilangsungkan menurut Adat Batak Toba antara lain :

1. Harta yang diperoleh suami sebelum perkawinan sebagai modal

“Panjaean” . Orang tua memberi modal pertama, yaitu agar mereka dapat berdiri sendiri, karena pada permulaan rumah tangga itu biasanya belum mempunyai peralatan-peralatan rumah tangga. Harta bawaan suami yang telah ada sebelum perkawinan tersebut tetap dalam penguasaan suami dan suami berhak penuh atas harta yang dimilikinya tersebut.

pemberian ayahnya. Harta ini disebut “Pauseang” . Biasanya harta tersebut berupa barang-barang keperluan rumah tangga, perhiasan atau emas. Harta bawaan istri yang telah ada sebelum perkawinan tersebut tetap dalam penguasaan istri dan istri berhak penuh atas harta yang dimilikinya tersebut.

3. Harta kekayaan yang diperoleh selama berlangsungnya perkawinan menjadi hak dari suami dan istri bersama-sama dan dipergunakan sepenuhnya untuk keperluan rumah tangga, kebutuhan hidup sehari-hari serta pemenuhan kebutuhan anak. Pengadaan harta ini dengan sendirinya tergantung dari keuletan dan kerajinan mereka berdua selama perkawinan. Apabila mereka bekerja dengan rajin dan ulet, maka harta ini akan terkumpul lebih banyak. Namun, mengenai harta kekayan yang diperoleh selama berlangsung perkawinan, suami memiliki kedudukan yang dominan. Penggunaan harta kekayaan oleh istripun harus seizin dan persetujuan suami. Istri tidak memiliki wewenang yang penuh atas penggunaan harta kekayaan tersebut. Sedangkan sebaliknya suami berwewenang penuh atas harta kekayaan tersebut, bahkan tidak memerlukan izin dari istri sekalipun.

4. Anak yang di “ain” akibat perkawinan berbeda dengan anak yang di ain sedari kecil. Jadi, untuk harta warisan anak yang di “ain” karena perkawinan tidak mendapat warisan dari orang tua angkat.

Sedangkan akibat hukum dengan dilaksanakannya mangain marga, pengesahan atau peresmian marga menurut adat Batak Toba, maka wanita/pria yang bukan berasal dari suku Batak menjadi masyarakat ada Batak dan menjadi bagian dari perkumpulan marga yang dipilihnya. Marga yang diberikan ketika

alamiah, yaitu dari lahir. Artinya, tidak ada pembeda kedudukan antara orang yang medapat marga dari proses mangain, dengan orang yang mendapat marga secara alamiah. Sesorang yang telah diberikan marga melalui proses mangain marga, maka ia pun harus meninggalkan seluruh atribut dari mana suku nya berasal.

Hak dan kewajiban seseorang yang telah diberi marga, harus dilaksanakan sebagaimana mestinya orang Batak yang sebenarnya. Marga yang telah ia peroleh tersebut akan berlaku dan diakui seumur hidup. Apabila seseorang tersebut (laki-laki) marga yang telah ia peroleh nantinya juga akan diwariskan kepada anak-anaknya. Anak yang dilahirkan dalam perkawinan adalah orang Batak. Pada intinya, bahwa orang yang diluar dari masyarakat suku Batak apabila ia telah melaksanakan mangain marga, maka ia telah menajadi orang Batak seutuhnya dan wajib melaksanakan apapun adat istiadat orang Batak. Seseorang yang telah mendapat marga berhak dan sudah di perhitungkan dan layak diakui di dalam adat istiadat. Artinya, bahwa apabila ada acara adat yang berhubungan dengan marganya, marga suaminya, atau marga ibunya, atau ia berhak untuk mengikuti adat tersebut. Karena ia sudah sah secara adat menjadi orang Batak.

Seseorang yang telah menjadi bagian dari masyarakat Batak Toba, maka terhitung mulai dia sah menjadi bagian Batak Toba sampai pada kematiannya, ia akan tetap menjadi bagian dari Batak Toba. Dalam tradisi Batak Toba, orang yang mati akan mengalami perlakuan khusus, terangkum dalam sebuah upacara adat kematian. Upacara adat kematian tersebut diklasifikasi berdasarkan usia dan status orang yang meninggal dunia. Untuk yang meninggal ketika masih dalam kandungan (mate di bortian) belum mendapatkan perlakuan adat (langsung dikubur tanpa peti mati). Tetapi bila mati ketika masih bayi (mate poso-poso), mati saat anak-anak (mate dakdanak), mati saat remaja (mate bulung), dan mati saat sudah dewasa tapi belum menikah (mate ponggol),

selembar ulos (kain tenunan khas masyarakat Batak) sebelum dikuburkan. Ulos penutup mayat untuk mate poso-poso berasal dari orang tuanya, sedangkan untuk mate dakdanak dan mate bulung, ulos dari tulang (saudara laki-laki ibu) si orang yang meninggal. Upacara adat kematian semakin sarat mendapat perlakuan adat apabila orang yang mati

1. Telah berumah tangga namun belum mempunyai anak (mate di paralang-alangan/mate punu),

2. Telah berumah tangga dengan meninggalkan anak-anaknya yang masih kecil (mate mangkar),

3. Telah memiliki anak-anak yang sudah dewasa, bahkan sudah ada yang kawin, namun belum bercucu (mate hatungganeon),

4. Telah memiliki cucu, namun masih ada anaknya yang belum menikah (mate sari matua), dan

5. Telah bercucu tapi tidak harus dari semua anak-anaknya (mate saur matua)

Kewajiban secara definitive dapat diartikan sebagai suatu keharusan yang dilakukan sebagai suatu tindakan yang memiliki konsekuensi, berbicara mengenai kewajiban tidak lepas dari aspek hak. Kewajiban pada seseorang yang telah mendapat marga secara umum adalah :

1) Menjaga nama baik keluarga, yang memiliki arti sebagai suatu tindakan menjaga nama baik keluarga asal anak angkat maupun keluarga yang mengangkat anak, menjaga nama baik meliputi perilaku dari anak angkat yang tidak menyimpang dari norma, peraturan yang berlaku di masyarakat khususnya dalam lingkup adat Batak, sehingga segala tindakan yang muncul tidak berakibat pada munculnya aib yang dapat merusak nama baik keluarga. Terlebih lagi dengan sebuah marga yang telah ia terima.

tersebut.

2) Menghormati, bermakna sebagai suatu perilaku untuk menghormati keluarga yang mengangkat selayaknya keluarga kandung, sikap ini juga turut diperbuat bagi keluarga asal anak angkat.

3) Tidak melupakan keluarga asal, sejatinya anak angkat merupakan anak yang lahir secara biologis namun diangkat atau dianggap sebagai anak oleh keluarga lain dengan berbagai petimbangan tertentu sehingga wajib bagi anak angkat untuk tidak melupakan keluarga kandungnya karena mengangkat anak bukan berarti memutuskan hubungan antara si anak dengan keluarga kandungnya.

4) Mengikuti adat istiadat yang ada pada masyarakat Batak sesuai dengan Dalihan Natolu . Setiap orang Batak pada suatu waktu akan berposisi sebagai salah satu diantara hula-hula, atau berposisi sebagai boru dan atau berposisi sebagai dongan tubu. Hal itu tergantung sebagai apa posisinya dalam adat pada waktu sebuah pesta adat dilaksanakan.

BAB IV

Kehidupan Rumah Tangga Beda Etnis

Perkawinan beda etnis adalah perkawinan yang terjadi pada pasangan yang berbeda suku bangsa. Perkawinan beda etnis terjadi pada pasangan berlatar belakang budaya berbeda, seperti nilai, adat-istidat, keyakinan, tradisi, dan gaya hidup (Duvall dan Miller, dalam Prasetyo, 2007, hal. 2). Perkawinan beda etnis secara umum merupakan suatu bentuk relasi sepasang pria dan wanita yang berasal dari dua etnis, ras dan kebudayaan yang berbeda dalam suatu ikatan komitmen secara institusional.

Dalam pengertian psikologis, keluarga adalah sekelompok orang yang hidup bersama dalam tempat tinggal yang sama, dan masing-masing anggota merasakan adanya pertautan batin sehingga saling mempengaruhi, saling memperhatikan, dan saling menyerahkan diri (Soelaeman,1995; 5-9). Sedangkan dalam pengertian pedelogis, keluarga adalah “satu: persekutuan hidup yang di jalin oleh kasih sayang antara dua jenis manusia yang di kukuhkan oleh pernikahan bermaksud untuk saling menyempurnakan diri. Dalam usaha saling melengkapi dan saling menyempurnakan diri itu terkadang perealisasian peran dan fingsi sebagai orang tua (soelaeman 1994;

12).

Menurut Khairuddin (1985: 10) secara historis, keluarga terbentuk paling tidak dari satuan yang merupakan organisasi terbats, dan mempunyai ukuran yang minim, terutama pihak-pihak yang awalnya mengadakan suatu ikatan, dengan kata lain keluarga tetap merupakan bagian dari masyarakat total yang lahir dan berada di dalamnya, yang secara berangsur-angsur akan melepaskan cicri-ciri tersebut karena timbulnya mereka kearah pendewasaan. Terbentuknya sebuah keluarga melalui sebuah perkawinan, maka didalamnya tentu terdapat pula peran yang harus dijalankan oleh anggota keluarga yang berada didalamnya. Suami atau istri memiliki peranan yang penting dalam mewujudkan keluarga sejahtera secara bersama-sama kegiatan

yang menyangkut pembinaan kesejahteraan dibedakan dengan kehidupan untuk memperoleh penghasilan dalam memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga.

Setiap perkawinan pasti akan mengharapkan kebahagiaan, namun harapan dalam perkawinan terkadang tidak sesuai dengan kenyataan, setelah menjalani kehidupan berumah tangga. Sehingga perlu adanya penyesuaian dari pasangan suami-istri terhadap perubahan gaya hidup, peran, dan tanggung jawab baru, agar rumah tangga menjadi bahagia dan harmonis (Dewi dan Basti, 2008, 43). Perkawinan bahagia bila pasangan suami-istri mampu menyesuaikan diri sehingga memperoleh dukungan emosional, rasa nyaman, pemenuhan kebutuhan seksual, serta memiliki teman bertukar pikiran yang menyenangkan (Ginanjar, 2009, h. 67). Perkawinan tidak bahagia bila pasangan suami-istri gagal untuk melakukan penyesuaian diri dan tidak mampu memecahkan masalah, sehingga memicu konflik berkepanjangan yang bisa menjadi sumber stress luar biasa (Sarafino, dalam Ginanjar, 2009, h. 67).

Dampak kegagalan penyesuaian diri selain kehidupan rumah tangga tidak bahagia, perkawinan tersebut mungkin akan berakhir dengan perceraian (Dewi dan Basti, 2008, h. 43).

Dapat dilihat interaksi pada pasangannya pada perkawinan beda etnis dipengaruhi budaya masing-masing. Cara mereka berkomunikasi, mendidik anak, mengambil keputusan dan lain sebagainya diaur oleh kesepakatan suami istri.

4.1 Berkomunikasi

Secara etimologis, kata komunikasi berasal dari bahasa latin “communicare”

yang artinya “menyampaikan”. Dapat dipahami bahwa pengertian komunikasi adalah suatu aktivitas penyampaian informasi, baik itu pesan, ide, dan gagasan, dari satu pihak ke pihak lainnya yang dilakukan secara langsung maupun tidak langsung..

Komunikasi lintas budaya terjadi bila produsen pesan adalah anggota suatu budaya dan penerima pesannya adalah anggota suatu budaya lainnya.. Seperti kita lihat,

seluruh perbendaharaan perilaku komunikatif dan makna yang dimiliki setiap orang.

Pembicaraan tentang komunikasi akan diawali dengan asumsi bahwa komunikasi berhubungan dengan kebutuhan manusia dan terpenuhinya kebutuhan berinteraksi dengan manusia-manusia lainnya.

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa komunikasi merupakan proses penyampaian pesan dari seorang komunikator kepada komunikan. Dan proses berkomunikasi itu merupakan sesuatu yang tidak mungkin tidak dilakukan oleh seseorang karena setiap perilaku seseorang memiliki potensi komunikasi. Proses komunikasi melibatkan unsur-unsur sumber (komunikator), Pesan, media, penerima dan efek. Disamping itu proses komunikasi juga merupakan sebuah proses yang sifatnya dinamik, terus berlangsung dan selalu berubah, dan interaktif, yaitu terjadi antara sumber dan penerima (Mulyana, 1996:18)

Komunikasi merupakan salah satu hal penting dalam keharmonisan rumah tangga. Pasalnya, jika komunikasi terhambat, tentu akan beresiko menyebabkan terjadinya perselisihan lantaran salah paham dengan keinginan salah satu pihak.

Secara keseluruhan pasangan yang bukan berasal dari sesama Batak Toba tentu mengalami asimilasi, dimana orang asing yang bukan keluarga Batak Toba menyesuaikan diri dengan keadaan keluarga. Kebudayaan Batak Toba tentu menjadi kebudayaan yang dominan. Dalam hal berkomunikasi umumnya menggunakan Bahasa Indonesia serta sedikit bahasa Batak. Beberapa informan mengaku bahwa mereka kesulitan dalam hal pelafalan bahasa Batak, mereka paham dan mengerti namun untuk berbicara masih susah dan terkadang tidak tepat.

“ Kalau bahasa Batak ya ngerti, kami kan sudah lama menikah, tapi ya begitu masih susah kalau ngomongnya. Kalau orang bilang itu berpasir-pasir ( logatnya tidak tepat).” Wawancara dengan Hermi Giriik Allo.

Pertikaian dalam hal rumah tangga akibat kesalah pahaman merupakan hal

ada jalan keluarnya jika diselesikan dengan komunikasi yang baik. Komunikasi yang baik akan menjadikan rumah tangga yang harmonis dan bahagia. Keharmanisan rumah tangga juga sangat berpengaruh terhadap psikologis anak.

4.2 Mengurus Rumah Tangga

Seperti pasangan umunya, dalam hal mengurus rumah tangga menjadi tanggung jawab kedua pasangan yaitu suami dan isteri. Suami bertanggung jawab mencari nafkah dan istri atau Ibu mengurus keperluan rumah. Ibu dalam keyakinan suku Batak wanita sangat dijunjung tinggi kehormatannya, ibu merupakan tonggak penting dalam sebuah keluarga, di mana ibu adalah kekuatan dalam keluarga. Tidak jarang dijumpai dalam keluarga Batak, ibu yang bekerja keras demi keluarganya. Di satu sisi ibu melaksanakan tugas-tugasnya di luar rumah dan di sisi lain juga mengatur segala keperluan di dalam rumah termasuk pengasuhan anak-anaknya .

Tugas wanita Batak dalam keluarga sudah diasosiasikan semenjak masih anak-anak, terlebih lagi dalam masyarakat Batak yang mengagungkan anak laki-laki, ibu dituntut oleh keluarga harus mampu mendidik dan membesarkan anak agar berhasil sesuai dengan tuntutan keluarga.

4.3 Mendidik Anak

Suku Batak memiliki sistem kekerabatan Patrilineal, yakni prinsip keturunan yang menghitung hubungan kekerabatan berdasarkan garis ayah atau laki-laki, jadi jika keluarga Batak tidak memiliki anak laki-laki, maka marganya akan punah. Oleh sebab itu, anak laki-laki sangat berarti kehadirannya dalam suatu keluarga Batak, sedangkan posisi anak perempuan Batak adalah sebagai pencipta hubungan besan karena perempuan harus menikah dengan laki-laki dari kelompok patrilineal yang

Nilai Anak (Hagabeon) dalam Suku Batak

Di antara beberapa nilai yang dipercaya suku Batak, Hagabeon merupakan yang paling utama. Pola asuh yang sering digunakan adalah pola asuh authoritative. Pola asuh authoritative adalah sebuah gaya pengasuhan yang dilakukannya dengan afeksi yang tinggi dan tuntutan orangtua yang moderat.Pola pengasuhan ini diikuti juga oleh sikap orangtua yang mendorong pencapaian pendidikan anak di bidang pendidikan atau akademik berupa dukungan, kontrol, dan kekuasaan, yang mereka perlihatkan dalam mengarahkan kegiatan anak pada pencapaian prestasi tertentu.Pengasuhan anak menjadi faktor penting dalam keluarga, orangtua Batak harus mampu mengasuh anak-anaknya dengan sebaik mungkin sehingga anak-anak mereka akan mampu membawa nama baik keluarga Batak.

Penekanan prestasi anak menjadi hal yang sangat penting dalam pengasuhan.

Kehadiran anak merupakan suatu anugerah besar. Sehingga ada suatu filosofi dalam kehidupan orang Batak Toba Anakhonhi do Hamoraon di Au (Anakku adalah Kekayaan Bagiku). Sehingga sangat terlihat jelas bahwa di dalam keluarga Batak orang tua akan menyekolahkan anaknya setinggi-tingginya.

Masyarakat Batak memaknai filosofi “Anakkon hi do haoraon di au”

memilki makna yang sangat berpengaruh didalam kehidupan masyarakat.

Filosofi inilah yang menandakan bahwa anak adalah sumber kebahagiaan dan kekayaan bagi orangtua. Apapun akan dilakukan orangtua terhadap anak agar dapat meraih mora (kaya), kekayaan pada masyarakat Batak tidak hanya diukur dengan uang, tetapi kekayaan itu diukur dari tingkat kebahagiaan yang dicapai sebuah keluarga. Dalam masyarakat Batak, Anak dianggap dapat mengangkat derajat orang tua.

Pendidikan orang tua sangat berpengaruh pada proses mendidiik anak.

Perbedaan dalam jenjang pendidikan masing-masing seseorang tanpa disadari sangat mempengaruhi seseorang dalam cara berpikir, berkata dan bertingkah laku. Sehingga

belajar. Usaha agar orang tua mempunyai pengetahuan yang tinggi salah satunya adalah melalui pendidikan formal karena semakin tinggi tingkat pendidikan orang tua semakin tinggi pula pengetahuan orang tua terutama dalam memberi motivasi belajar.

Jadi pendidikan orang tua adalah pendidikan yang ditamatkan salah satu orang tua dari siswa yang dijadikan sampel, melalui pendidikan formal di sekolah berjenjang dari tingkat yang paling rendah sampai tingkat yang paling tinggi, yaitu SD, SMP, SMA sampai Perguruan Tinggi.

Dari enam informan, 4 keluarga telah berhasil menyekolahkan anak mereka ke jenjang perguruan tinggi. 1 keluarga lain masih menyekolahkan anak mereka dijenjang Menengah Atas, dan 1 keluarga lain anak-anaknya belum bersekolah. Bukti bahwa “Anakhonhi Hamoraon” dalam suku Batak Toba lebih rinci dalam tabel berikut ini:

Tabel.4.1 Keluarga Sitorus Ibu Lingse Simanjuntak

Anak laki-laki menjadi Anggota POLRI Anak perempuan menjadi seorang Bidan Keluarga Silaban Ibu Dormawati

Simamora

Anak perempuan lulusan FISIP disalah satu Universitas Swasta di Jawa

Keluarga Sihombing Ibu Allan Pakpahan Anak laki-laki lulusan sarjana STMIK Dumai

Keluarga Opung William 1 anak laki laki lulusan diploma

dan 2 anak perempuan nya lulusan sarjana

Keluarga Nelson Siahaan Ibu Hermin 1 anak laki-laki masih duduk di SMA 1 anak perempuan duduk di SMP Keluarga Sinaga Ibu Oktriana Anak-anak belum bersekolah

4.4 Pengambilan Keputusan

Pengambilan keputusan merupakan perwujudan proses yang terjadi dalam keluarga dan merupakan hasil interaksi antara peran anggota keluarga untuk saling mempengaruhi (Scanzoni dan Scanzoni dalam Lestari, 1990). Dengan mengetahui pola pengambilan keputusan rumah tangga, dapat diketahui pula ada tidaknya dominasi di dalam suatu rumah tangga. Faktor pendidikan suami dan istri memiliki hubungan positif dengan pengambilan keputusan rumah tangga. Hal ini berarti semakin tinggi pendidikan suami dan istri maka semakin tinggi pula kesetaraan dalam pengambilan keputusan yang ditandai dengan tidak adanya dominasi dari satu pihak.

Davis dan Rigaux telah mengidentifikasikan bahwa struktur pengmabilan keputusan dalam keluarga dikelompokkan menjadi empat macam :

1. Wife Dominant decision yaitu tipe keputusan yang sebagian besar diwarnai oleh pengaruh pihak istri daripada pengaruh anggota keluarga lainnya.

2. Husband dominant decision yaitu tipe keputusan yang sebagian besar diwarnai pengaruh oleh pihak suami daripada pengaruh anggota keluarga lainnya.

3. Syratic decision yaitu tipe keputusan yang merupakan hasil kesepakatan suami dan istri. Dalam bentuk keputusan ini pengaruh suami dan istri adalah seimbang.

4. Authinomic decision. Tipe keputusan ini terjadi jika masing-masing suami dan istri secara individual bertanggung jawab untuk mengambil keputusan sesuai dengan nilai tradisionalnya.

Dari keenam pasangan keluarga yang menikah beda etnis. 5 diantaranya pengambilan keputusan dengan tipe Syratic decision yaitu setiap keputusan yang merupakan hasil dari kesepakatan suami dan istri. Satu diantara nya yaitu pasangan

decision yaitu tipe keputusan yang sebagian besar diwarnai oleh pengaruh pihak istri daripada pengaruh anggota keluarga lainnya. Hal ini dikarenakan pekerjaan sang suami yang merupakan TNI AD yang membuat sang suami jarang berada di rumah, Ia lebih sering tugas di luar kota. Sehingga pengambilan keputusan lebih banyak diambil alih oleh istri. Berikut adalah tabel penggambaran pengambilan keputusan dari beberapa informan pasangan keluarga beda etnis

Tabel 4.2

Keluarga Sitorus Ibu Lingse Simanjuntak Pengambilan keputusan hasil kesepakatan suami istri. Segala seuatu yang berhubungan dengan rumah tangga semuanya di komunikasikan terlebih dahulu.

Keluarga Silaban Ibu Dormawati Simamora Pengambilan keputusan hasil kesepakatan suami istri. Segala seuatu yang berhubungan dengan rumah tangga semuanya di komunikasikan terlebih dahulu.

Keluarga Sihombing Ibu Allan Pakpahan Pengambilan keputusan hasil kesepakatan suami istri. Untuk masalah dapur dan anak-anak memang lebih condong ke istri namun tetap atas persetujuan suami.

Keluarga Opung William Pengambilan keputusan hasil kesepakatan

Keluarga Opung William Pengambilan keputusan hasil kesepakatan