• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN

1.4 Tinjauan Pustaka

1.4.4 Perkawinan

Pengertian perkawinan menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan tercantum dalam Pasal 1 yang berbunyi “Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami-isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga), yang bahagia dan kekal berdasarkan KeTuhanan Yang Maha Esa”

Dipandang dari sudut kebudayaan manusia, maka perkawinan itu merupakan pengatur kelakuan mamusia yang bersangkut paut dengan kehidupan seksnya, ialah kelakuan-kelaukuan seks terutama persetubuhan. Perkawinan menyebabkan bahwa seorang laki-laki dalam pengertian masyarakat tidak dapat bersetubuh dengan sembarang wanita lain saja, tetapi hanya dengan satu wanita atau beberapa wanita tertentu dalam masyarakat. Kecuali sebagai pengatur kelakuan seks saja, perkawinan juga mempunyai berbagai fungsi yang lain dalam kehidupan kebudayaan dan masyarakat. Pertama-tama perkawinan juga memberi ketentuan hak dan kewajiban serta perlindungan kepada hasil persetubuhan, ialah anak-anak, kemudian perkawinan juga memenuhi kebutuhan manusia akan seorang teman hidup, memenuhi

kebutuhan akan harta, akan gengsi dan naik kelas masyarakat; sedangkan pemeliharaan hubungan baik antar kelompok- kelompok kerabat yang tertentu sering juga merupakan alasan dari perkawinan.6

Para ahli antropologi mengklasifikasikan beberapa tahapan-tahapan yang berbeda-beda, diantaranya; upacara peralihan (rites of passage) yang berhubungan dengan tahapan-tahapan dalam siklus kehidupan manusia dan upacara intensifikasi (rites of intensification) yang berhubungan dengan kehidupan suatu kelompok yang mengalami krisis dan penting untuk mengikat orang-orang menjadi satu. Upacara peralihan ( rite of passage) adalah upacara keagamaan yang berhubungan dengan tahap-tahap penting dalam kehidupan manusia, seperti kelahiran, perkawinan dan kematian. sedangakan upacara intensifikasi (rite of intensificatioan) adalah upacara keagamaan yang diadakan pada waktu kelompok menghadapi krisis real atau potensial (Soekadijo, 1993: 207).

Rite of passage atau upacara peralihan menurut antropolog adalah ritual yang dilakukan hanya sekali yang dilakukan sebagai petunjuk bahwa seseorang telah mengalami masa peralihan. Antropolog Arnold Van Gennep, menganalisis bahwa upacara ritual peralihan ini akan membawa manusia melintasi krisis yang menentukan dalam hidupnya, seperti kelahiran, pubertas, pernikahan, menjadi ayah atau ibu, naik ke kelas yang lebih tinggi, spesialisasi pekerjaan dan kematian (Soekadijo, 1993: 207).

Menurut Hukum Adat, perkawinan bukan hanya merupakan peristiwa penting bagi mereka yang masih hidup saja, tetapi perkawinan juga merupakan peristiwa yang sangat berarti serta sepenuhnya mendapat perhatian dan diikuti oleh arwah- arwah para leluhur kedua belah pihak. Menurut Hukum Adat pada umumnya di Indonesia perkawinan itu bukan saja berarti sebagai “perikatan perdata”, tetapi juga merupakan “perikatan adat” dan sekaligus merupakan “perikatan

kekerabatandan ketetanggaan”.7 Dengan demikian, perkawinan menurut hukum adat merupakan suatu hubungan kelamin antara laki-laki dengan perempuan, yang membawa hubungan lebih luas, yaitu antara kelompok kerabat laki-laki dan perempuan, bahkan antara masyarakat yang satu dengan masyarakat yang lain. Menurut para ahli, perkawinan dalam hukum adat adalah sebagai berikut:

1. Menurut Hilman Hadikusuma, perkawinan adalah “perilaku ciptaan Tuhan Yang Maha Esa agar kehidupan di alam dunia berkembang biak”.

Perkawinan dalam arti perkataan adat ialah “perkawinan yang mempunyai akibat hukum terhadap hukum adat yang berlaku dalam masyarakat bersangkutan”

2. Soerojo Wignjodipoero perkawinan adalah “salah satu peristiwa yang sangat penting dalam kehidupan masyarakat kita, sebab perkawinan itu tidak hanya menyangkut wanita dan pria bakal mempelai saja, tetapi juga orang tua kedua belah pihak, saudara-saudaranya, bahkan keluarga-keluarga mereka masing-masing”.

3. B Ter Haar Bzn diterjemahkan oleh K. Ng Soebakti Poesponoto, menurut hukum adat perkawinan adalah “urusan kekerabat,urusan keluarga, urusan masyarakat, urusan derajat dan urusan pribadi, satu sama lain dalam hubungannya yang sangat berbeda-beda”.

4. Menurut R Subekti, perkawinan adalah “pertalian yang sah antara seoranglaki-laki dan seorang perempuan untuk waktu yang lama”.

Menurut Ali Afandi, perkawinan adalah “suatu persetujuan antara seorang laki- laki dan seorang perempuan di dalam bidang hukum keluarga”. Perkawinan sah

7ilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia, Menurut Perundangan, Hukum Adat, Hukum Agama, Bandung: Mandar Maju, 2007, hlm. 8.

adalah “Perkawinan yang dilakukan di muka” petugas Kantor Pencatatan Sipil”. Perkawinan yang dilakukan menurut tata cara agama saja tidaklah sah. Dan dalam hubungan ini maka ada ketentuan yang melarang petugas agama untuk melakukan suatu perkawinan menurut tata acara agama sebelum perkawinan perdata dilangsungkan.

Perkawinan merupakan proses penyatuan dua orang berlainan jenis kelamin dalam suatu ikatan yang suci dan mereka bersatu di dalam kehidupan bersama untuk melanjutkan keturunan. Proses yang mereka lalui dalam rangka mengikatkan diri ini, tentunya menurut ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam masyarakat. Laki-laki yang telah mengikatkan diri dengan seorang perempuan, setelah melalui prosedur yang ditentukan di dalam hukum adat dinamakan suami dan perempuan yang mengikatkan diri itu disebut istri. Pada masyarakat Batak perkawinan bukan saja untuk melanjutkan keturunan tapi juga untuk meneruskan marga dari pihak laki-laki (menganut sistem patriakhal). Perkawinan orang Batak harus dilakukan dengan adat yang berlaku di dalam masyarakat Batak.

Adapun yang harus dilakukan, sebagai berikut:

• Sebelum upacara perkawinan, ada tahap-tahap yang harus dilakukan sebelum memutuskan melakukan upacara perkawinan yaitu: martandang, mangalehon tanda, marhusip, marhata sinamot, maningkir lobu, dan martonggo raja.

• Upacara perkawinan. Dalam upacara perkawinan ada dua hal yang dilakukan yaitu upacara agama (agama Kristen, pemberkatan di gereja) dan upacara perkawinan menurut adat Batak.

• Setelah upacara perkawinan, tahap-tahap yang harus dilakukan, yaitu: mebat (Paulak une), maningkir tangga, dan manjae.8

Dalihan Natolu merupakan pemilihan tungku masak berkaki tiga sebagai lambang pengibaratan tatanan sosial kemasyarakatan orang batak. Ketiga kaki tungku melambangkan struktur sosial masyarakat batak, yaitu kelompok Dongan Sabutuha, kelompok Hula-Hula dan kelompok Boru. Nama setiap kelompok juga mengisyaratkan fungsi sosial setiap kelompok. Dengan demikian, satu dari kaki tungku merepresentasikan kelompok dan fungsi dongan sabutuha yaitu orang yang satu marga dengan fungsi kepada sesama. Kaki kedua merepresentasikan kelompok dan fungsi Hula-Hula, yaitu kumpulan beragam marga asal para istri dari orang semarga. Kaki ketiga merepresentasikan kelompok dan fungsi Boru, yaitu kumpulan beragam marga asal suami dari perempuan semarga. Ketiga struktur dan fungsi sosial tersebut adalah dasar berpijak dan tonggak penopang (pilar) dari pergaulan hidup masyarakat Batak atau dengan kata lain sebagai suatu tatanan sosial kemasyarakatan.

Ketiga kelompok (Hula-hula, Dongan Tubu, Boru) tesebut selalu dijumpai berinterelasi dan berinteraksi, selaras, seimbang dan kokoh dengan Marga sebagai perekat dan Hukum Marga sebagai pengikat. Orang yang satu marga tetap menganggap dirinya satu darah karena berasal dari satu leluhur pemersatu yang mewariskan marga mereka. Tidak dipermasalahkan bentangan generasi pemisah diantara mereka. Fakta tersebut telah membuktikan bahwa marga itu memiliki daya rekat yang luar biasa kepada warganya. Hukum Marga menetapkan Papangan so jadi pusung, artinya tidak boleh makan sendiri atau harus mengutamakan kebersamaan, kepedulian, gotong royong. Hukum Marga menetapkan Bongbong yaitu larangan menikah dengan kawan semarga.

Akibat atau implikasi hukum Bongbong mengharuskan pernikahan antar marga atau eksogami. Pernikahan antar marga tersebut telah menciptakan eksistensi Hula-hula dan Boru. Dengan kata lain, terciptanya Dalihan Natolu merupakan konsekuensi logis dari hukum Bongbong. Bukan karena dongeng, karangan-karangan tanpa dasar. Leluhur membuktikan dirinya memiliki

tertib. Oleh sebab itu, setiap pribadi (hadirion) orang Batak dapat berkedudukan (tohonan) atau fungsi Dongan Sabutuha, Hula-hula atau Boru. Dengan kata lain setiap pribadi Batak memiliki tiga fungsi. Dongan sabutuha atau kawan semarga merupakan kelompok yang bersifat tetap (hot), permanen sementara hula-hula dan Boru bersifat tidak tetap atau berubah pada waktunya. Masyarakat Batak telah menganut faham patrilineal atau garis ayah karena leluhur pemersatu yang mewariskan marga adalah laki-laki, Ayah dari keturunannya.

Demikianlah garis besar konsep Dalihan Natolu sebagai tatanan sosial kemasyarakatan Batak Toba. Kapan waktunya, pada generasi keberapa keturunan Si Raja Batak konsep ini direkayasa dan diberlakukan, agak sulit untuk ditelusuri.

Fakta atau kenyataan membuktikan bahwa tatanan Dalihan Natolu telah dihayati dan diramalkan ratusan tahun yang lalu dan masih terus dihayati dan diamalkan mayoritas masyarakat Batak Toba hingga sekarang9

• Perkawinan antar etnis

Etnis atau Suku Bangsa merupakan proses dari sistem kekerabatan yang lebih luas. Kekerabatan yang tetap pecaya bahwa mereka memiliki ikatan darah dan berasal dari nenek moyang yang sama. Dalam pengertiannya kata etnis memang sulit untuk didefinisikan karena hampir mirip dengan istilah etnik, di jelaskan bahwa istilah etnik sendiri merujuk pada pengertian kelompok orang-orang, sementara etnis merujuk pada orang-orang dalam kelompok. Etnis adalah suatu kesatuan sosial yang dapat dibedakan dari kesatuan yang lain berdasarkan akar dan identitas kebudayaan, terutama bahasa. Dengan kata lain etnis adalah kelompok manusia yang terikat oleh kesadaran dan identitas tadi sering kali dikuatkan oleh kesatuan bahasa.

9 P.L.Situmeang Doangsa, Dalihan Natolu Sistem Sosial Kemasyarakatan Batak Toba, Jakarta,Kerabat,2007, hal.

Kelompok etnis bisa mempunyai bahasa sendiri, agama sendiri, adatistiadat sendiri yang berbeda dengan kelompok lain. Yang paling penting, para anggota dari kelompok etnis itu mempunyai perasaan sendiri yang secara tradisional berbeda dengan kelompok sosial lain. Istilah etnis menjadi sebuah kata yang tepat untuk memandang orang dari berbagai asal-usul. Lebih lanjut diungkapkan pula bahwa etnis mungkin dipertimbangkan dalam istilah kelompok apapun yang didefinisikan atau disusun oleh asal-usul budaya, agama, nasional atau beberapa kombinasi dari kategorikategori tersebut.10

Berdasarkan pengertian di atas bisa disimpulkan bahwa etnis adalah sekumpulan manusia yang memiliki kesamaan ras, adat, agama, bahasa, keturunan dan memiliki sejarah yang sama sehingga mereka memiliki keterikatan sosial sehingga mampu menciptakan sebuah sistem budaya dan mereka terikat didalamnya. Keluarga beda etnis adalah unit terkecil dari masyarakat yang terdiri atas kepala keluarga dan beberapa orang yang terkumpul dan tinggal disuatu tempat yang salah satu dari bagiannya adalah orang yang berasal dari suku lain, yang memiliki perbedaan ras, adat, agama, bahasa, keturunan dan memiliki sejarah yang berbeda sehingga mereka tidak memiliki keterikatan sosial.

Berdasarkan definisi diatas dapat diambil kesimpulan, yang dimaksud dengan komunikasi antarbudaya keluarga beda etnis adalah komunikasi yang terjadi di antara orang-orang yang berada didalam keluarga (suami-istri) yang salah satu dari mereka berasal dari etnis yang berbeda untuk menguraikan sebuah bentuk perkawinan campuran yang dialami oleh sebuah keluarga dan pasangan kawin campur.

10 Hadawiyah (2016). Komunikasi Antarbudaya Pasangan Beda Etnis (Studi Fenomenologi Pasangan beda Etnis Suku Sulawesi - Jawa di Makassar) Jurnal Fakultas Sastra Ilmu Komunikasi Menara UMI .