• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV Kehidupan Rumah Tangga Beda Etnis

4.5 Peran Domestik dan Peran Publik

Sebuah rumah tangga di bangun atas dasar komitmen bersama untuk membangun sebuah keluarga yang bahagia yang di dasari oleh rasa cinta baik dari suami maupun istri.Secara sederhana, peran domestik menggambarkan tentang pekerjaan-pekerjaan atau aktivitas yang berhubungan dengan rumah tangga. Aktivitas yang termasuk dalam peran domestik misalnya mencuci pakaian, memasak, menyapu rumah, mencuci piring, menyetrika, ataupun kegiatan yang sejenis termasuk mengasuh anak. Sedangkan peran public menggambarkan aktivitas yang berhubungan diluar rumah tangga yaitu mencari nafkah. Peran domestik umumnya dilakukan dalam kehidupan berkeluarga. Isu siapakah yang seharusnya melakukan peran domestik, sejak beberapa puluh tahun terakhir menjadi perdebatan seru di antara kaum klasik yang memegang teguh peran tradisional dan kaum feminis yang memperjuangkan tentang persamaan peran gender antara laki-laki dan perempuan.

Peran domestik bukan hanya kewajiban atau keharusan bagi perempuan, tetapi juga dapat dilakukan laki-laki.

Peran domestik atau publik di rumah tangga tergantung kesepakatan antara suami istri. Tidak dapat dipungkiri patriarki yang kuat membuat pekerjaan domestik menjadi tanggung jawab istri. Meskipun saat ini istri bisa berperan dua sekaligus domestic dan juga public.

Penelitian yang penulis lakukan dari keenam informan peran domestic tetap menjadi tanggung jawab istri dan peran public menjadi tanggung jawab suami. Sang istri bertugas menjadi ibu rumah tangga dan sang suami bertugas untuk mencari

Simanjuntak, untuk membantu ekonomi keluarga ia juga turun bekerja, tetapi tetap berperan dalam urusan domestic.

Berikut adalah hasil wawancara penulis dengan pasangan keluarga yang melaksanakan “Mangain” Marga. Untuk pasangan keluarga yang melakukan pernikahan beda suku dan melaksanakan proses “mangain” marga ini ada 6 keluarga.

Semua informan yang penulis wawancara melaksanakan acara adat mulai dari

“mangain” sampai ke pesta adat (pesta unjuk pernikahan) di Kota Dumai.

Penulis mewawancarai 6 pasangan keluarga karena penulis merasa bahwa keenam infroman ini sudah cukup memberikan informasi tentang bagaiamana kehidupan rumah tangga yang berbeda etnis, dan sudah mewakil beberapa etnis yang ada di Kota Dumai. Yaitu ber etnis Jawa, Toraja, Tionghoa, Minangkabau dan Akid.

Informan I

Keluarga Bapak Nelson Simanjuntak/ Ibu Hermin Girik Allo boru Tambunan

Gambar 4.1 Foto Bersama Hermin Girrik Allo

Penulis mewawancarai seorang ibu rumah tangga bernama Hermin Girrik Allo (boru Tambunan) yang berasal dari suku Toraja. Lahir di Toraja 09 September 1981.Suku Toraja sendiri merupakan suku yang berasal dari Sulawesi Selatan.

Penuturan beliau, Ia mengenal suku Batak semenjak bersekolah yaitu ketika SMP, karena adanya pelajaran sekolah dimana diajarkannya suku-suku bangsa yang ada di Indonesia. Lalu, ketika SMA beliau merantau ke Dumai. Karena Dumai, terdiri dari beragam suku, Ia lebih mengenal suku Batak, dan mulai berinteraksi dengan orang Batak. Setelah dua tahun tamat SMA, beliau bertemu dengan seorang pemuda yang berbeda suku dengannya, yaitu suku Batak dan menjalin hubungan kearah yang lebih serius. Perbedaan suku tidak menjadi hambatan besar, karena menurut beliau, yang terpenting adalah satu iman. Dimana, masyarakat Toraja yang ada di Sulawesi mayoritas beragama Kristen. Sehingga dalam melakukan perkawinan campuran, perbedaan suku tidak menjadi penghalang dikarenakan, satu iman. Ketika akan melangsungkan pernikahan pun, tentunya ada sedikit konflik. Baik dari keluarga perempuan, maupun dari pihak keluarga laki-laki. Pada pihak perempuan, keluarga khawatir nantinya apabila menikah dengan Suku Batak, tidak bisa memahami keadaan, tidak bisa mengikuti adat istiadat Batak. Begitupun sebaliknya pada pihak laki-laki dikhawatirkan perempuan yang bukan Batak, tidak mau belajar atau memahami budaya Batak. Dan nantinya membuat malu keluarga.

Informan menjelaskan, ketika Ia hendak menikah, maka hal yang pertama Ia lakukan adalah harus menjadi boru Batak. “Saya mencintai suami saya, maka saya juga harus mencintai kebudayaannya. Namun tetap yang mendasari cinta kami adalah satu iman.” Tentunya, Ia harus meminta restu dahulu dari orang tua nya.

Karena sebuah pernikahan haruslah perlu restu dari orang tua. Setelah mendapat restu dari orang tua, dan beliau pun telah siap untuk menerima marga maka proses mangain marga pun dilaksanakan. Ia diberi boru Tambunan, mengambil marga dari nenek buyut si pihak laki-laki. Hal ini dimaksudkan agar silsilah dari opung borunya tidak hilang. Ketika proses pemberian marga berlangsung, beliau belajar memahami akan

marhusip, martonggo raja, beliau diajari, diberi tahu dan belajar. Dalam proses mangain marga, akan ada yang menjadi orang tua angkat. Sampai saat ini, hubungan beliau dengan orang tua angkat terjalin sangat baik. Anak-anak beliau pun akrab sudah dianggap seperti kakek/nenek kandung. Bahkan ketika adik beliau laki-laki menikah yang kebetulan menikah di Dumai , dan yang menjadi orang tua angkat beliau ini pun menjadi orang tua angkat bagi adiknya. Atau istilah nya, menjadi wali ketika adik nya menikah.

Pada saat menikah beliau dan suami hanya menggunakan adat Batak saja beserta resepsi sederhana yang belangusng di Dumai pada tanggal 17 November 2001. Karena pihak laki-laki merupakan warga Dumai asli. Tidak ada adat Torajanya.

Hal ini memang, karena menghemat biaya, dimana untuk kembali ke Toraja juga sudah memakan biaya yang cukup besar. Di masyarakat Toraja sendiri pesta pernikahan berdasarkan kasta. Bo’bo’ Bannang yatu pesta pernikahan yang satu ini bisa dibilang untuk kasta yang terendah yang hadir biasanya kelaurga terdekat saja.

Rampo Karoen ;pernikahan Rampo Karoen disebut juga sebagai pernikahan dengan kasta menengah. Rampo Karoen ini sendiri digelar pada sore hari di rumah mempelai wanita.Rampo Allo bisa dibilang menjadi pesta pernikahan adat toraja dengan kasta tertinggi. Dimana yang menggelar acara tersebut adalah para keturunan bangsawan.

Dengan menggunakan biaya yang cukup besar dan juga waktu yang dibutuhkan juga lebih panjang hingga berhari-hari

Karena sudah menjadi bagian dari suku Batak (boru Batak) maka beliau sudah menjalankan hak dan kewajiban yang ia peroleh sebagaimana mestinya orang Batak.

Semisal, dalam pesta-pesta adat, ia menempatkan dirinya sesuai dengan apa posisinya. Apabila ia menjadi boru, maka ia wajib menjadi pelayan hula-hula (marhobas). Namun, ia masih terus belajar, agar memahami adat istiadat yang ada pada Suku Batak. Beliau berpendapapat orang Batak itu sangatlah unik. Hal ini dikarenkan menurutnya kekerabtan yng sangat mengikat, terlebih dengan se marga. Ia merasa tidak ada pembeda, boru Batak asli, dengan boru Batak yang di aian, atau

Selama berumah tangga, belum pernah ada konflik karena perbedaan suku.

Hanya saja layaknya rumah tangga pada umumnya, terjadi perbedaan pendapat atau kesalahpahaman yang menyebabkan perselisihan. Tetapi, menurut beliau, semua masih dapat diatasi jika komunikasi baik. Di dalam rumah tangga sendiri, keputusan memang lebih banyak beliau ambil. Hal ini dikarenakan sang suami yang beprofesi sebagai TNI AD yang kerap tugas keluar kota. Walaupun demikian, beliau tetap menghormati sang suami sebagai kepala keluarga.

Mendidik anak, mengurus rumah tangga menjadi tanggung jawab besar bagi beliau. Meskipun beliau telah menjadi boru Batak, namun beliau masih mengajarkan sedikit tentang kebudaaayan dari mana ia berasal. Misalkan dari hal sederhana, ketika bertelefon melalui seluler kepada orang tuanya yang di Toraja, beliau mengjarkan sedikit bahasa-bahasa Toraja kepada anak-anak beliau. Agar tidak lupa pada kampung halamannya, beliau juga sudah pernah membawa keluarga dan anak-anak pulang ke tanah Toraja.

Informan II

Keluarga Bapak Sujiyono Sitorus/Lingse br.Simanjuntak (Opung ni si Evelyn)

Informan kedua yang penulis wawancara adalah seorang kepala rumah tangga, bernama Sujiyono. Lahir di Warureja, Jawa Tengah 23 September 1957.

Pendidikan terakhir SMA Sederajat Saat itu ia bekerja di Kota Dumai sebagai Polisi Kelautan. Kemudian ia bertemu dengan Lingse Simanjuntak dan membentuk sebuah hubungan. Hubungan ini semakin serius, adanya rasa manusiawi sesorang, cinta dan keyakinan untuk membentuk suatu keluarga mereka meyakinkan diri untuk menuju ikatan yang lebih serius yaitu pernikahan. Saat akan melangsungkan pernikahan dari

pihak laki-laki tidak ada permasalahan, karena mereka berpendapat yang paling utama adalah satu iman.

Gambar 4.2 Foto Bersama keluarga Sujiyono Sitorus/Lingse br.Simanjuntak Dokumentasi pribadi Ditya Windi, 2020

Namun, dari pihak perempuan sangat menentang perkawinan ini.

Kekhawatiran nya tentu saja, karena si laki-laki ini bukan berasal dari suku Batak.

Mereka khawatir nantinya mereka jadi keluarga yang tidak beradat, si laki-laki tidak bisa dibawa ke peradatan dan tidak bisa bergabung dalam kelompok marga-marga.

“Keluarga saya dulu sangat tidak setuju saya menikah. Terlebih amangboru dan namboru saya yang ada di Dumai ini. Mereka sangat marah kalau kami menikah. Ya walaupun tidak setuju namanya juga karena sudah sama sama cinta akhirnya kami memutuskan kawin lari. Kami pergi ke Cilacap untuk menikah.

Bahkan ketika kami akan pergi ke Cilacap kami dikejar-kejar sampai masuk ke bus.

Pokoknya kau tidak boleh menikah dengan diaa.masih ingat sekali saya ucapan amangboru saya waktu itu. Begitulah ketidaksetujuan keluarga saya Jadinya kami

cuma nikah di gereja aja di Cilacap tempat suami.”(wawancara dengan Lingse Simanjuntak).

Karena tidak adanya persetujuan dari pihak perempuan, mereka pun memutuskan untuk kawin lari. Mereka menikah secara gereja saja pada tahun 1984 di Cilacap Jawa Tengah. Setelah menikah dan mempunyai anak, perlahan-lahan pihak keluarga perempuan mulai menerima. Lalu, pada tahun 1986 mereka pun melaksanakan adat manggarar adat sulang-sulang pahoppu (karena sudah punya anak) di Kota Dumai. Ia diberi marga Sitorus. Diberi marga Sitorus diambil dari marga Amangboru si perempuan. Karena namboru kandung dari si permpuan ini menikah dengan marga Sitorus, maka diberilah marga Sitorus. Namun, karena saat itu namboru/amangboru kandung dari si perempuan ini berhalangan hadir maka mereka mecari orang tua angkat yang ada di sekitar lingkungan tersebut. Mereka mencari Marga Sitorus yang bersedia menjadi orang tua angkat. Setelah ada marga sitorus yang bersedia menjadi orang tua angkat, maka dilaksanakanlah proses mangain marga. Dari mulai tahap awal sampai tahap akhir dimana orang yang bukan Batak itu benar-benar sah mendapat marga dan resmi menjadi bagian dari orang Batak. Setelah itu barulah mereka menggelar adat sulang-sulang pahoppu.

Hubungan mereka dengan orang tua angkat ketika proses mangain tetap terjalin harmonis. Itu artinya hubungan kekeluargaan yang terjalin tidak sebatas pada saaat pesta perkawinan itu saja.

Karena sudah menjadi bagian dari masyarakat Batak, maka akan ada hak dan kewajiban nya. Menurut infroman, beliau sudah menjalanan kewajiban nya sebagai orang Batak dan sudah menerima hak nya sebagai orang Batak. Penuturan informan, Ia sangat senang dengan perkumpulan perkumpulan masyarakat Batak, mulai dari perkumpulan marga, dongan sahuta dan lain sebagainya. Menurutnya, Ia merasa terangkul walaupun Ia belum paham benar mengai peradatan Batak. Beliau juga

mengatakan Ia selalu mengikuti pesta-pesta adat yang berhubungan dengan marganya dan istrinya. Dan ia merasa sangat bangga akan hal tersebut.

Untuk perkumpulan masyarakat Jawa sendiri, mereka mengaku tidak tergabung kedalamnya. Perkumpulan Jawa ada biasanya karena acara keagamaan.

Sedangkan beliau berbeda keyakinan, itulah mengapa mereka tidak masuk kedalamnya. Hal ini juga berarti kebudayaan Batak mendominasi di dalam keluarga ini. Namun dalam hal anak mereka hanya mengajarkan bahasa Indonesia, hal ini juga karena di didukung oleh lingkungan di mana di Kota Dumai bahasa sehari-hari adalah bahasa Indonesia.

Masyarakat Batak adalah masyarakat yang patrilineal artinya garis keturunan diturunkan oleh laki-laki. Anak yang ada dalam keluarga mereka adalah orang Batak.

Karena beliau sudah menjadi bagian dari masyarakat Batak, yaitu dengan diberikannya marga Sitorus maka otomatis marga yang beliau dapatkan ketika proses mangain, diturunkan ke anak-anaknya. Artinya sang anak juga sah menjadi marga Sitorus. Maka ketika anak-anak beliau menikah tidak ada lagi proses mangain marga, karena mereka sudah secara otomatis mendapat marga Sitorus dari ayah mereka.

Di dalam rumah tangga, mereka mengatakan tidak pernah ada konflik karena perbedayaan kebudayaan, karena mereka berkomitmen bahwa rumah tangga akan baik jika komunikasi baik. Di dalam rumah tangga tentu ada kesalahpahaman dan itu hal yang wajar namun mereka berkata bahwa tidak ada masalah yang tidak bisa diselesaikan.

“Baik sekali. Masyarakat Batak baik sekali. Saling hormat satu dengan yang lain. Ikatan kekerabatan sangat kuat. Saya bangga sekali menjadi bagian dari masyarakat Batak. Terlebih ketika anak-anak saya menikah, dimana upcara pernikahan yang menggunakan adat Batak meriah sekali. Saya merasa terharu.”

(wawancara dengan Sujiyono)

Mengurus rumah tangga dan mendidik anak memang lebih banyak menjadi tanggung jawab istri. Namun, peran suami juga begitu besar dalam hal ini. Untuk mendidik anak mereka tidak main-main. Pendidikan merupakan hal yang sangat penting bagi mereka. Itulah sebebanya anak mereka telah sukses dalam pendidikan.

Hal ini terbukti dengan berhasilnya kedua anak mereka yang menjadi POLRI dan Bidan. Hal ini sangat sejaalan dengan filosofi masyarakat Batak Toba yang mengatakan “Anakhonhi do Hamoraon di Au.” Anak adalah Kekayaan Bagiku.

Informan III

Keluarga Bapak M.Silaban/Ibu Dormawati Boru Simamora (Oppung ni si Sasta) Informan ketiga merupakan seorang ibu rumah tangga bersuku Minang. Asli dari Pariaman Sumatera Barat. Mengenal suku Batak semenjak Ia menikah dengan suaminya M.O Silaban. Beliau mengatakan adanya keinginanan untuk berumah tangga menjadi alasan utama melakukan perkawinan beda etnis.

Gambar 4.3 Foto Bersama Ibu Boru Simamora

Banyak sekali konflik yang terjadi ketika mereka akan menikah. Hal ini dikarenakan adanya perbedaan budaya sekaligus perbedaan agama. Seperti yang kita tahu daerah Sumatera Barat mayoritas ber agama Islam. Di dalam Minang sendiri terdapat sebuah filosofi “Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah” yang artinya seluruh adat istiadat Minang harus bersendikan syariat Islam yang didasarkan pada Al-Quran Hal ini tentu saja menjadi pertentangan bagi keluarga pihak perempuan terlebih. Paman-paman beliau yang paling beliau sangat tidak setuju pernikahan itu berlangsung karena yang menjadi alasan utama adalah perbedaan agama. Di suku Minang sendiri Paman memiliki kuasa seperti “Tulang”di masyarakat Batak .

Namun pada akhirnya, pernikahan tetap berlangusung yaitu dilaksanakan di Kota Dumai. Sebelum pernikahan dilangsungkan, beliau terlebih dahulu melaksanakan adopsi marga. Beliau di beri Boru Simamora (mengikuti boru dari Ibu sang suami). Ketika proses pemberian marga berlangsung, beliau belajar memahami akan makna dan proses tersebut. Keluarga juga sudah mengajari sebelumnya Setelah itu, barulah pesta adat dilaksanakan.

Suku Minang merupakan salah satu suku terbesar di Indonesia. Pada kebudayaan Minang, suku bisa diartikan sebagai klan atau juga sebagai marga atau nama keluarga yang turun atau diambil dari garis keturunan Ibu yang disebut Matrilienal. Apabila, di masyarakat yang meneruskan garis keturunan adalah dari Ayah, berbanding terbalik di Suku Minang yang garis keturunannya di wariskan melalui Ibu. Karena sudah menikah, dengan orang Batak, dan ia sudah mendapatkan Boru Batak, maka anak yang mereka lahirkan adalah orang Batak, bukan orang Minang atau pun campuran. Karena sesuai adat Batak, seseorang yang sudah mendapat marga, harus meninggalkan seluruh atribut dari sukunya berasal. Beliau di Suku Minang ber klan Sikumbang, tapi tetap anak yang dilahirkan adalah marga Silaban mengikuti marga suaminya.

Walaupun demikian, meskipun ia harus meninggalkan kesukuaan aslinya tidak menjadi pemutus tali kekeluargaan. Hubungan beliau dengan keluarga kandungnya masih tetap berjalan harmonis. Begitupun dengan paman-paman beliau yang di awal pernikahan mereka yang begitu menentang, saat ini sudah mulai mau menerima, dan komunikasi sudah terjalin dengan baik. Setiap lebaran mereka tetap berkumpul dan merayakannya bersama, meskipun ia bukan lagi seorang muslim tapi ia tetap menghargai hari besar keluarganya. Hal ini menjadi bukti bahwa perbedaan itu indah dan masih tetap bisa disatukan.

Menjadi boru Batak merupakan salah satu kebanggan dalam diri beliau. Hal ini ia buktikan dengan aktifnya beliau dalam segala pesta adat istiadat, undangan pernikahan, perkumpulan marga semua ia ikutin sebagaimana layaknya orang Batak.

Keaktifan beliau ini terbukti dengan kepercayaan perkumpulan marga Simamora, dimana beliau terpilih menjadi Bendahara. Hal ini membuktikan bahwa tidak ada pembeda yang terjadi. Keaktifan beliau dalam perkumpulan marga dan masyarakat Batak ini tentu berkat dukungan sang suami yang selalu mengajari dan menuntun agar lebih memahami adat istiadat Batak. Ada banyak hal yang beliau kagumi dari masyarakat Batak. Salah satunya adalah ikatan kekerabatan yang begitu melekat.

Rasa tolong menolong begitu tinggi di masyarakat Batak.

Di dalam kehidupan rumah tangga tentu saja banyak lika-liku yang dihadapi, kesalahpahaman yang bisa menyebabkan konflik. Namun menurut beliau semua bisa diatasi dan diredam dengan komunikasi yang baik. Komunikasi yang baik menjadi kunci dari keharmonisan keluarga.

Informan IV

Keluarga Tampubolon /Ibu Chia Boru Turnip (Oppung William)

Gambar 4.4 Foto Bersama Opung William Boru Turnip Dokumentasi pribadi Ditya Windi, 2020

Ibu Chia. Merupakan perempuan yang berasal dari Suku Tionghoa. Ia menikah dengan suaminya bermarga Tampubolon 33 tahun yang lalu. Awal pertemuan mereka di Dumai, Sang suami merupakan teman dari kakak informan yang kebetulan satu tempat pekerjaan. Mereka pun berkenalan, lalu informan tertarik karena sang suami tepat dengan kriterianya yaitu tidak peminum tidak berjudi baik dan merupakan lelaki yang bertanggung jawab. Awalnya Orang tua dari informan yaitu Ibunya kurang setuju ketika putrinya akan menikah dengan orang Batak.

Namun dengan komunikasi yang baik dan pengertian akhirnya sang Ibu menyetujui pernikahan mereka, yang terutama putrinya bahagia dengan harapan menantu yang berbeda suku tersebut baik dan menjadi suami yang bertanggung jawab pada

Gereja Kristen Protestan Indonesia. Sang informan yang dulunya adalah seorang Katolik kemudian ikut suami menjadi seorang Protestan. Beberapa tahun setelah pemberkatan barulah mereka melaksanakan pesta adat .Sebelumnya Informan telah mendapatkan Boru “Turnip” melalui proses “mangain”. Informan diberi Boru

“Turnip” mengambil marga dari Ibu sang suami yaitu Turnip .

Awal mula menikah informan belum terlalu menjalankan atau ikut serta dalam peradatan Batak, hal ini ia akui karena ia masih sibuk mengurus anak-anak yang masih kecil jadi kurang aktif dalam acara di adat Batak. Namun setelah anak-anaknya mulai bersekolah ia mulai mempelajari peradatan dan turut serta di dalam kegiatan pesta, marhobas dan lain sebagainya. Walaupun ia sudah sangat sering mengikuti acara adat istiadat Batak, bergabung dalam lingkungan masyarakat Batak, ia mengaku masih kesulitan memahami Bahasa Batak.

Setelah menikah, dan sah menjadi masyarakat Batak, beliau mengaku tidak lagi merayakan hari Imlek atau tahun Baru dalam Suku Tionghoa. Beliau bukan melupakan identitas aslinya. Hanya saja menurutnya, sekali saja sudah cukup merayakan Tahun Baru, yaitu Tahun Baru Masehi.

“Semenjak nikah kami sudah tidak merayakan Imlek lagi. Cukup Tahun Baru 1 Januari saja. Sama saja kok sukacitanya.”

Konflik dalam rumah tangga karena perbedaan budaya tidak pernah terjadi, hanya saja terkadang ada ketidak harmonisan di rumah tangga akibat kesalah pahaman tapi bisa diatasi antar suami istri. Informan mempunyai 3 orang anak. Satu laki-laki dan dua perempuan. Anak laki-lakinya sudah menikah, dan menikah dengan perempuan Batak. Informan telah mempunyai cucu dan panggilannya adalalah Oppung William Boru Turnip.

Informan V

Keluarga Bapak Ade Putra Sinaga/ Ibu Oktriana boru Sitompul

Gambar 4.5 Foto Bersama Ibu Oktriana Boru Sitompul Dokumentasi pribadi Ditya Windi, 2020

Informan bernama Raden Adjeng Oktriana Mudjino Boru Sitompul merupakan seorang Ibu rumah tangga yang kesehariannya disibukkan mengurus rumah dan ank-anak. Mengetahui suku Batak ketika duduk di bangku sekolah, namun mulai tahu adat istiadat yang ada si suku Batak setelah menikah dan berumah tangga. Ia berkenalan dengan seorang pemuda bersuku Batak. Lalu ada keinginan untuk hubungan yang lebih serius. Namun kendala mereka adalah perbedaan suku dan agama. Beliau sendiri adalah perempuan Jawa dan beragama muslim. Namun, perlahan-lahan beliau mulai ada keinginan untuk pindah keyakinan. Hal ini beliau tuturkan ketika ia sering berbincang bincang dengan salah satu pendeta gerja.

“ Awal mulanya ya dulu saya sharing-sharing tentang Ke Kristenan dengan Pak Pendeta. Kebetulan juga suami dekat dengan pendeta tersebut. Jadi ya saya juga

lama-lama terketuk untuk berpindah keyakinan. Karena memang dari diri saya

lama-lama terketuk untuk berpindah keyakinan. Karena memang dari diri saya