• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN UMUM KOTA DUMAI

1.9 Gambaran Masyarakat Batak di Kota Dumai

1.9.5 Generasi Muda Batak Dumai (GMBD

Tanggal 17 Maret 2020 secara resmi dikukuhkan organisasi Generasi Muda Batak Dumai .Pengukuhan Generasi Muda Batak Dumai yg diadakan di Gedung Pinang Kampai Jalan Merdeka Baru Dumai

TAMPAKNA DO TAJOM NA,RIM NI TAHI DO GOGONA.DGN SEMBOYAN MARSADA MA HITA....HORAS....HARAS...HORAS...!!!!!!!!!

Adapun Visi dari Generasi Muda Batak Dumai ini adalah:

Menjadi Generasi Muda Batak Dumai yang turut mewujudkan masyarakat Dumai yang makmur dan sejahtera materiil dan spiritual berazaskan Pancasila dan berdasarkan UUD 1945, dan Misi :

1. Mengamalkan Pancasila dan UUD 1945 sebagai Falsafah hidup Bangsa dan 0Ideologi Negara.

2. Melestarikan budaya Batak yang beretika dengan tetap menjaga nilai-nilai kearifan lokal Kota Dumai.

3. Menjunjung tinggi nilai-nilai, norma, hukum yang didukung oleh penguasaan iman, ilmu dan pengabdian dengan menjunjung tinggi semangat gotong royong dan kerjasama.

4. Melahirkan kader-kader Generasi Muda Batak Dumai yang militan, inovatif, mandiri, kreatif, berintegritas, beritelektual dan terbuka tanpa mempersoalkan perbedaan pilihan politik, gender, profesi, dan status sosial

Pengukuhan Organisasi ini terplih Pengukuhan Ketua Henok Parulian Tambunan.S.kom, Sekjend Ronald Sihombing.ST dan jajaran nya dilantik oleh Bapak Wakil Walikota Dumai Eko Suharjo.SE dan didampingi oleh Dewan Penasehat GMBD SW.Simanungkalit, Drs.Paruntungan Pane.MSi,Marles Saragih(mewakili) dan disaksikan oleh bpk Zainal Abidin.SH, Bapak Hendri Sandra.SE.MSi dan juga tokoh masyarakat ,LSM Dumai .

Berikut adalah jumlah kepala keluarga Batak yang ada di Kota Dumai berdasarkan Parsahutaon.

No.

NAMA PARSAHUTAON/ALAMAT

JUMLAH KK

1. P.P.M.PULAU PAYUNG PULAU MAMPU MARSIURUPAN 82

2. PARSAHUTAON STM TELADAN JLN BUNDARAN DUMAI TIMUR

129

3. PARSAHUTAON TEGALEGA KOTA DUMAI 65

4. PARSAHUTAON SILIWANGI JAYA MUKTI JL.KESUMA-SILIWANGI

54

5. PARSAHUTAON LEPPIN JALAN BIKUNG LEPPIN 54

6. PARSAHUTAON SIMPANG MURNI II 44

7. STM PARSAORAN JL.AIR BERSIH KESEMATAN 115

8. PARSAHUTAON SATAHI PANGKALAN SESAI 45

9. STM PARDOMUAN NAULI GG.SALAK GG.SENTUL 81

10. STM MEKAR SARI KM.12 BUKIT TIMAH 28

11. PARSAHUTAON MERDEKA BARU SUDIRMAN 15

12. SERIKAT DOS-DOS ROHA B.BATREM II 151

13. PARAHUTAON SAROHA SIMPANG SIAK 30

14. STM PARSAHUTAON KURNIA TANJUNG PALAS SEKITARNYA BLOK 1 B

16

15. STM SATAHI BUKIT ABAS KEC.BUKIT KAPUR 24

16. PARSAHUTAON DOS ROHA GANG HORAS TEGALEGA 89

17. PARSAHUTAON MERDEKA DAN SEKITARNYA 39

18. PARSAHUTAON DOS ROHA SIMPANG PT BUKIT TIMAH 70

19. PARSAHUTAON SIMPANG MURINI PARDOMUAN 15

20. PARSAHUTAON DOS ROHA RIMBA SEKAMPUNG 131

21. PARSAHUTAON ASR NAULI BTN TAHAP III 15

22. PARSAHUTAON PARDAMEAN III B.BATREM II 58

23. PARSAHUTAON PARET TENGAH JAYA MUKTI 8

24. PARSAHUTAON ULI DAME GG.MANGGGIS SUDIRMAN 56

25. PARSAHUTAON LAMPU ULINA BUMI AYU 40

26. PARSAHUTAON DOS ROHA MERDEKA BARU 50

27. PARSAHUTAON BUKIT BATREM DUMAI TIMUR 36

28. PARSAHUTAON STM MEDANG KAMPAI PELINTUNG 49

29. PARSAHUTAON SIMPANG MORINI B.KAPUR 44

30. PARSAHUTAON B.BINTANG B.BATREM DUMAI TIMUR 120

31. PARSAHUTAON SAOR NAULI MERDEKA BARU -

32. PARSAHUTAON LAMRETTA BUMI AYU 59

33. PARSAHUTAON DAME LESTAR JL. MAWAR MELUR 82

34. PARSAHUTAON SAHAT NAULI MERDEKA BARU 78

35. PARSAHUTAON MARSAOR BAGAN BESAR 47

36. PARSAHUTAON SAHATA SAOLOAN TERIKAT JL.SUDRIMAN 52

37. PARSAHUTAON LAM GANDA JL.SIKUMANA B.BATREM 35

38. PARSAHUTAON RAP HITA RAWA PANJANG 26

39. PARSAHUTAON RIM NI TAHI JAYA MUKTI 73

40. PARSAHUTAON DOS ROHA BUKIT BATREM 121

41. STM K AIR BERSIH 158

42. PARSAHUTAON DOS ROHA JAYA MUKTI 53

43. PARSAHUTAON STM JL.AIR BERSIH 195

44. PARSAHUTAON STM PARDOMUAN JL.AIR BERSIH 128

45. PARSAHUTAON MARTABE GG NAULI JAYA MUKTI 71

46. PARSAHUTAON GANG RANTAU JAYA MUKTI 54

47. PARSAHUTAON HORAS BUKIT TIMAH 172

48. PARSAHUTAON DAMAI KASIH BUKIT TIMAH 104

49. PARSAHUTAON SAUDURAN BELAKANG RAMAYANA 41

50. PARSAHUTAON SAURDOT JALAN MERANTI DARAT DAN SEKITAR

25

51. PARSAHUTAON DAME ROHA PURNAMA DUMAI BARAT 23

52. PARSAHUTAON DOS ROHA BULUH KASAP PATTIMURA 51

53. PARSAHUTAON TANJUNG SARI JAYA MUKTI 38

54. PARSAHUTAON DOS ROHA BUMI AYU 64

55. PARSAHUTAON GANG MARTIMBANG TEGALEGA 43

56. SAOLOAN JL KELAKAP RATU SIMA 80

57. PARSAHUTAON SADA NI ROHA PANGKALAN SESAI 76

58. PARSAHUTAON DOS TAHI JAKOLIN 139

59. PARSAHUTAON HOLONG MARSIURUPAN PANGKALAN SESAI 109

60. PARSAHUTAON MUNDAM SEJAHTERA JAYA MUKTI 24

61. PARSAHUTAON STR MADUMA BUKIT BATREM 2 49

62 PARSAHUTAON KARYA BAKTI BAGAN BESAR 18

63. PARSAHUTAON MADUMA GANG PARIS 44

64. PARSAHUTAON BELAKANG GEREJA KOTAJL.SS.KASIM 35

65. STM BUKIT BATREM 171

66. STM DOS ROHA AIR BERSIH 35

67. PARSAHUTAON DOS NI ROHA SIDOMULYO MAMPU 72

68. PARSAHUTAON MARTUNAS BATU BINTANG 14

69. PARSAHUTAON SATAHI ULI BASA MERDEKA BARU 96.

70. PARSAHUTAON JL.RUPAT NAULI 36

71. RIMNITAHI BUMI AYU 63

72 PARSAHUTAON DOS ROHA JALAN BINTAN 28

73. PARSAHUTAON STM MANDIRI BUKIT KAPUR 42

74. PARSAHUTAON KOPERTA BUKIT DATUK 44

75. PARSAHUTAON MAULIATE JAYA MUKTI 66

76. PARSAHUTAON PANORAMA DAN SEKITARNYA JM 34

TOTAL JUMLAH KELUARGA IKMBD 4.877 KK

BAB III

Marga dan Sistem Kekerabatan pada Masyarakat Batak Toba 3.1 Marga dalam Masyarakat Batak Toba

Dari mitologi penciptaan diketahui bahwa semua orang Batak berasal dari Si Raja Batak. Si Raja Batak mempunyai dua putra,yaitu Guru Tatea Bulan dan Raja Isumboan. Kemudian nama dua putra ini menjadi nama dari dua kemlompok besar marga Batak,yaitu LONTUNG dan SUMBA. Dari kedua kelompok marga ini lahirlah marga-marga orang Batak,yang pada saat ini sudah ada sebanyak 467 marga (Situmorang, H.B. 1983:23)

Raja Batak

Guru Tateabulan Raja Isumbaon

Gambar 3.1 Silsilah Si Raja Batak Sumber : Buku Pustaha Batak hal.34

1.Raja Biak Biak 2.Sariburaja 3.Limbongmulanana 4.Sagalaaja 5.Malauraja 1.Siboruparomas 2,Siborupareme 3.Siborubidinglaut 4.Nan Tinjo 1.Tuan Sorimangaraja 2.Raja Asiasi 3.Sangkarsomalidang

Vergouwen membagi marga dalam empat kelompok yang dimulai dari kelompok paling besar. Dia memakai kata ‘batang’ untuk satu kelompok marga-marga, misalnya batang Guru Tateabulan (LONTUNG) darimana seluruh keturunan Lontung berasal. Kemudian menyusul ‘kepala marga’, yaitu marga keturunan Lontung : Situmorang, Sinaga, Pandiangan, Nainggolan, Simatupang, Aritonang, dan Siregar. Marga ini berdiri sendiri. Sesudah itu menyusul cabang marga, misalnya Ruma Hombar dan Si Batu untuk Nainggolan (Vergouwen 1933:7-8,35).

Marga seorang laki-laki mungkin bermula sejak 15 tahun bahkan 20 turunan yang lalu. Ini berarti telah berlangsung paling tidak empat abad yang silam. Titik temu marga seseorang dengan marga orang lain dalam suatu kelompok etnis berada pada beberapa turunan yang lebih awal, dan begitulah setetusnya hubungan itu berlanjut semakin ke belakang, sampai ke zaman paling tua yang masih dikenal, dan akhirnya sampai pada legenda (Vergouwem 1993:2)

Dalihan Na Tolu bagi orang Batak sudah merupakan deep culture, yaitu budaya yang tidak akan lapuk oleh panas, tidak luntur karena hujan, tahan uji dan selalu relevan, ia sudah mendarah daging dan “merasuk” ke dalam jiwa orang Batak.

Sehingga sekalipun budaya Batak bersentuhan dengan budaya baru, misanya agama Kristen berkembang dan dianut oleh mayoritas orang Batak, Dalihan Na Tolu akan berusaha untuk tetap eksis dengan melakukan penyesuaian dengan budaya baru itu. Dalihan Na Tolu dapat disesuaikan dengan iman Kristen, dentgan kata lain budaya, upacara adat dan seterusnya harus berupaya untuk tetap disinari dengan Injil, hal yang benar-benar sangat bertentangan dengan agama dihapuskan. 11

Dalihan Na Tolu ( Tungku Nan Tiga) terdiri dari tiga pilar yaitu :

1. Hula-hula, adalah kelompok marga pihak si pemberi perempuan, marga dari mana istri atau ibu berasal.

2. Dongan Sabutuha teridiri dari kelompok orang yang semarga, satu silsilah yang dilacak dari satu tetunggul nenek moyang dari satu ompu, satu leluhur.

3. Boru, adalah kelompok marga si penerima perempuan, pihak kepada marga diberikan anak perempuan, pihak kepada marga mana diberikan anak perempuan untuk menjadi istrinya.

Secara harafiah Dalihan Natolu adalah tiga tiang tungku. Kata dalihan berasal dari kata dalik yang berarti dais (bersen- tuhan). Ketiga tungku dalihan adalah simbol dari Hula-hula, Dongan Sabutuha dan Boru. Sedangkan masyarakat Toba adalah simbol periuk yang diletakkan di atas dalihan. Tidak semua tungku yang terbuat dari batu disebut dalihan. Sebuah tungku dapat disebut dalihan apabila terdiri dari tiga buah batu. Alat-alat masak modern seperti yang dihasilkan pabrik sama sekali bukan dalihan.12

Orang Batak Toba percaya bahwa alam semesta diciptakan oleh Mulajadi Na Bolon (Sang Asal Mula yang Mahabesar). Menurut Anicetus Sinaga Mulajadi Na Bolon mengatasi waktu, tidak mempunyai awal dan akhir, berasal dari keabadian dan bersifat abadi. Ia hadir dalam alam semesta yang terdiri dari tiga bagian, yakni Banua Ginjang (dunia atas), Banua Tonga (dunia tengah), dan Banua Toru (dunia bawah). Banua Ginjang adalah tempat tinggal Mulajadi Na Bolon. 13Dari dunia inilah (dunia atas) segala sesuatu yang ada di bumi diciptakan; matahari, bulan, bintang, tanah dan manusia. Dunia ini juga tempat tinggal roh para leluhur, roh-roh orang yang belum lahir dan yang sudah meninggal. Bagian dunia yang kedua adalah Banua Tonga-tempat tinggal manusia yang masih hidup, yang ketiga adalah Banua Toru-tempat orang-orang yang telah meninggal, tapi hanya jasadnya saja, sedangkan jiwanya kembali ke Banua Ginjang.

12Kamus Budaya Batak Toba (Jakarta: Balai Pustaka, 1987, hlm 37)

13 Anicetus B. Sinaga, The Toba Batak High God: Transendence and immanence. West Germany: Anthropos Institute, 1981) 47.

Peran Sang Asal Mula yang Mahabesar (Mulajadi Na Bolon) yang menjadikan alam semesta hadir secara nyata dalam kehidu- pan konkret pengalaman keseharian manusia. Pancaran kuasa ke- hadiran-Nya dalam dunia yang terbagi dalam tiga bagian dibuk- tikan dengan kehadiran ketiga pribadi pelayan-Nya, yaitu Bataraguru, Soripada, dan Mangalabulan. ketiganya merupakan pancaran dan personifikasi dari kekuasaan Sang Pencipta. Batara Guru adalah daya mencipta dan pemelihara adat serta hukum; Soripada sebagai penjamin kebutuhan, pelindung dari bahaya, dan penjaga kesucian; dan Mangalabulan adalah pancaran dan personifikasi kekuasaan dan penyelenggaraan Mulajadi Na Bolon sendiri yang memberi berkat tetapi juga dapat mendatang kan peperangan dan kerusuhan.

Bila dihubungkan dengan konsep “Trinitas” dalam iman kris- tiani memiliki kemiripan. Dapat dikatakan kemiripan konsep “Trinitas” (Allah Tri Tunggal) dengan konsep “Debata Natolu” Allah yang tiga dalam “Dalihan Natolu” menjadi alasan menarik bagi orang Batak Toba sehingga mereka dapat dengan mudah me- nerima ajaran iman Kristen. Dalam terang Iman Kristiani Allah itu satu/Esa/Tunggal tetapi memiliki tiga pribadi yaitu Allah Bapa, Allah Putra (Tuhan Yesus) dan Allah Roh Kudus. Ketiganya menyatu satu sama lain dan tidak terpisahkan. Ketiga Pribadi ilahi ini hanya satu Allah karena masing-masing memiliki secara setara kepenuhan kodrat ilahi yag satu dan tak terbagi. Mereka berbeda satu sama lain karena relasi yang menghubungkan mereka satu sama lain. Bapa melahirkan Putra, Putra dilahirkan oleh Bapa, Roh Kudus keluar dari Bapa dan Putra.

Dari ketiga pilar tersebut mempunyai kualitas dan kedudukan yang setara.Landasan yang memungkinkan terbentuknya ketiga pilar ini adalah adanya marga dan adanya perkawinan eksogami. Adapun fungsi dari ketiga pilar dalam kehidupan bermasyarakat orag Barak, saling berkaitan sangat erat satu dengan yang lain.

Ruhut ni parsaoran ( Tata Krama ) pertama:

Somba marhula-hula ( hormat kepada hula-hula)

Kata somba dibaca dengan tekanan naik pada suku kata ba. Bila kata ini dibaca dengan nada mendatar , maka ia akan menjadi kata kerja (verb). Tapi kalau dibaca dengan tekanan naik pada kata ba, menjadi kata sifat (adjective) yang berarti hormat( wawancara dengan Maradu Lumban Batu).

Hula-hula adalah representasi dari Debata Bataraguru sebagai sumber kekuatan adikodrati, sumber kehidupan, sumber berkat, kebahagiaan dan merupakan tempat untuk meminta nase- hat. Karena itu dalam kehidupan sehari-hari bila ada duka derita yang berat, dan kesusahan yang tak terperikan, misalnya belum memiliki keturunan maka dia akan pergi kepada hula-hulanya untuk “menyembah”

dan memohon berkat supaya penderitaannya berakhir. Hal itu dikuatkan dengan ungkapan: “molo naeng ho gabe, somba ma ho marhula-hula” (kalau ingin memiliki banyak keturunan, hormatlah kepada hula-hula).

Leluhur orang Batak menganggap hula-hula sebagai Debata na niida, artinya Allah yang terlihat atau sebagai wakil Allah Sang Maha Pencipta di bumi. Anggapan itu sampai sekarang masih hidup pada sebagian masyarakat bona pasogit (orang batak yang tinggal di Tapanuli), Sehingga nasihat dan permintaan pihak Hula-hula selalu dituruti, kalau tidak, bisa terjadi malapetaka. Sebaliknya, Hula-hula diharapkan memberi nasihat, petuah dan berkat kepada pihak borunya, serta mendoakan agar borunya dikaruniai hagabeon (keturunan yang banyak), hamoraon (harta/kekayaan), dan hasangapon (kehormatan). Bahkan seringkali kesuksesan sebuah pesta diukur dan puas tidaknya pihak hula-hula diperlakukan oleh pihak borunya.

Umpasa somba marhula-hula mengandung makna bahwa hula-hula harus dihormati agar kita memperoleh keberuntungan, dan senantiasa selamat sentosa.

Hula-hula bona ni ari, tinongos di Debata Mulajadi. Sisubuton doi marulak loni, sisombaon di rim ni tahi. (Kita harus menghormati Hula-hula dimana Hula-hula di adat Batak Toba sebagai titisan Tuhan.)

Ni durung ma situma, laos dapot pora-pora. Molo mamasu-masu hula-hula, na pogos hian iba gabe mamora. (Kalau kita hormat sama Hula- hula yang miskin bisa jadi kaya )

Obuk do jambulan, na nidandan bahen samara. Pasu-pasu ni hula-hula, pitu sundut soada mara. (Kalau kita hormat sama Hula-hula berkat dari Hula-hula akan kekal )

Dalam acara Mangain, Hula-hula berperan dalam memberikan restu baik berupa wejangan, doa, atau nasehat nasehat.

Ruhut ni parsaoran kedua

Manat Mardongan Tubu ( Manat artinya berhati-hati)

Dongan Sabutuha adalah representasi kehadiran Debata Soripada, pancaran kuasa Mulajadi Na Balon dalam hal kesucian. Kesucian Mulajadi Na Balon disimbolkan dengan warna putih, harus dijaga agar tidak kotor. Dalam masyarakat Batak Toba warna tersebut adalah simbol persamaan dan kesetaraan.

Simbol itu diterapkan kepada Dongan Sabutuha karena mereka memiliki kedudukan, hak dan kewajiban yang sama dalam adat, karena itu hubungannya sangat cair, natural, dekat, terbuka, bebas untuk saling koreksi. Ada kesadaran bahwa kelompok satu marga/orang semarga sangat rentan terhadap konflik. Hal tersebut terjadi dikarenakan mereka adalah saudara dekat, sering bertemu, berhubungan, berinteraksi dalam kehidupan sehari-hari. Kalau tidak bersikap hati-hati dan bijaksana akan sangat mungkin terjadi konflik atau perpecahan di kalangan saudara semarga. Karena itu leluhur mengajarkan “manat mardongan sabutuha/tubu”

Hubungan diantara orang yang bersaudara satu sama lain sabutuha (se marga) harus hati hati, dijaga dan jangan sampai terjadi konflik. Saling menghormati,menghargai, baik dalam perkataan maupun perbuatan . Menghindari sikap sombong atau arogansi (dalam bahasa batak : hosom teal, elat, late).

Dalam umpasa “manat mardongan tubu” juga terkandung nila-nilai filosofis solidaritas, kerjasama dan saling memaafkan di antara sesama.

Gala di gala bulu, panggalaan ni boning. Molo naeng monang maralohon musu, jolo talu ma maralohon dongan. (Kalau mau menang melawan musuh, harus mau mengalah)

Gala-gala si telluk, telluk mardagul-dagul. Molo tung adong na geduk, nanget ni apul-apul. ( Kalau ada kesalahan, harus saling memaafkan)

Na tiniop batahi, batahi pamarai. Sai sauduran satahi, angka na marhaha maranggi. (Yang bersaudara harus se iya se kata ).

Dalam adat Mangain dongan tubu pihak keluarga pengantin juga ikut berpartisipasi memberi berkat melalui doa dan nasehat nasehat.

Ruhut ni parsaoran ketiga :

Elek marboru ( selalu bersifat membujuk/mengayomi kepada pihak boru).

Boru adalah pilar ketiga dalam Dalihan Na Tolu. Boru adalah representasi dari Tuhan lewat pelayan-Nya yang ketiga yaitu Mangalabulan, sebagai simbol kehadiran “kekuatan” Tuhan di dunia. Boru adalah tulang punggung dalam setiap pelaksanaan upacara adat. Kelompok Boru bersedia memberikan dan melakukan apa saja bagi Hula-hulanya karena Hula-hula adalah sumber hidupnya sendiri.

Sebagaimana Mangalabulan memiliki kuasa untuk meneruskan atau menghambat berkat dari Tuhan demikian juga Boru. Walaupun Bataraguru merestui permohonan

Hula-hulanya, hal itu tidak akan tercapai. Sebaliknya, penghormatan yang diberikan pihak Boru kepada Hula-hula akan mendatangkan berkat melimpah dari Bataraguru, baik bagi Boru sendiri maupun bagi pihak hula-hula.

Di sini ditampilkan sebuah relasi mendalam yang indah, sempurna, memesona, tak terceraikan. Keindahannya terpancar dari harmonitas ketiga debata (Bataraguru, Soripada, Mangalabulan) yang saling mendukung satu sama lain.

Ajaran nilai ketiga dari Leluhur Batak Toba adalah “elek marboru”. Di atas dijelaskan bahwa Boru harus hormat kepada Hula-hula, sebaliknya juga Hula-hula harus bersikap membujuk, mengayomi, memberi perhatian, pujian kepada Boru.

Sikap tersebut akan tampak jelas dalam upacara adat. Hula-hula akan memberikan penghargaan berupa jambar dengke (ikan) atau jambar juhut, serta boras si pir ni tondi (beras sebagai lambang pemberian berkat). Pemberian tersebut menjadi tanda pengakuan dan penghargaan atas kehadiran dan statusnya sebagai boru. Hula-hula harus menyayangi Boru-nya, dan Boru pun harus menghormati Hula-hula-nya dan rela berkorban untuk memenuhi permintaan Hula-hula.

Dalam suatu upacara pesta, kehadiran boru bagaikan “bunga yang harum semerbak”. Itulah sebabnya boru harus disayang dan diupayakan agar permintaannya selalu terkabul. Pihak boru adalah penyumbang tenaga dan materi dalam pelaksanaan sebuah pesta dan biasanya pihak boru ini dibantu oleh satu pilar pendukung Dalihan Na Tolu yang lain, yaitu pihak bere (anak dari boru). Ketidakhadiran boru dan bere di dalam acara adat dapat mengurangi nilai atau kualitas acara tersebut.

Paopathon Sihal- Sihal

Ada istilah Dalihan Na Tolu, Paopathon Sihalsihal. Sihalsihal adalah batu penyangga ke empat, ketika ketiga batu tungku yang dimaksud dikhawatirkan tidak kuat menyangga tungku yang ada di atasnya. Peranan sihalsihal memberi gambaran bahwa kekerabatan dan pelaksanaan adat budaya Batak tidak akan berjalan sempurna

sebagaimana peranan dongan tubu, hulahula, boru yang sangat menentukan untuk pelaksanaan adat, demikian juga peranan dongan sahuta. Pelaksaaan adat dalam kebudayaan Batak tidak dapat berlangsung tanpa kehadiran dan keterlibatan secara langsung keempat usur kekerabatan masyarakat Batak tersebut. Bahkan dongan sahuta dilihat lebih penting karena posisinya dapat menjadi representasi suhut paidua – ‘tuan rumah’ kedua dalam suatu hajatan pesta adat Batak. Itu sebabnya orang Batak mengatakan: Jonok dongan tubu, jonokan dongan parhundul (hubungan sesama anggota sekampung jauh lebih dekat dengan hubungan sesama anggota keluarga semarga).

Sebagaimana telah diuraikan diatas, yang menjadi pilar-pilar dari Dalihan Nata Tolu adalah Hula-Hula, Dongan Tubu, dan Boru dan juga paopathon Sihal-sihal.

Jika diibaratkan sebagai suatu bangunan, maka yang menjadi pondasi atau landasan atau penopang dari pilar-pilar itu salah satunya adalah marga. Orang Batak menganut sistem patrilineal atau disebut juga gatris kebapaan, garis keturunan ditarik atau diambil dari garis bapak atau ayah.

Kesatuan marga ini dijamin oleh hubungan mereka dengan nenek moyangnya.

Karena mempunyai satu nenek moyang mereka merasa sebagai satu keluarga. Dalam pergaulan sehari-hari mereka lebih mengutamakan kepentingan marga daripada kepentingan pribadi, misalnya ritus famili. Orang-orang semarga memegang prinsip:

satu kurban (sisada somba), satu kesatuan makan bersama (sisada sipanganon) satu dalam kemakmuran (sisada sinamot), satu dalam kemulian (sisada hasangapon), satu dalam kenistaan (sisada hailaon). Juga dalam ritus, kesatuan marga ini sangat jelas dengan mengatakan; satu pengumpulan (saguguan), satu makanan (sapanganan) dan satu pembagian (sajambar) (Vergouwen 1933:20). Kesatuan antara orang-orang semarga begitu kuat sehingga mereka diumpamakan seperti orang yang memotong air tak bisa putus (tampulon aek do na marsabutuha). Tetapi serentak dengan itu mereka harus hati-hati dan hormat kepada teman semarganya (manat mardongan tubu) karena urusan marga sangat kompleks. Marga merupakan kuasa tertinggi atas

Pada zaman dahulu, apabila menikah dengan yang tidak sesuku dianggap tabu. Terlebih di masyarakat Batak Toba. Maka, ketika seorang anak laki-laki yang hendak merantau baik yang mau meneruskan pendidikan ataupun mau bekerja, jauh dari kampung halamannya, maka orang tua akan memberikan nasehat agar ia menjaga pergaulannya, agar jangan sampai menikah dengan gadis yang bukan Batak.

Pandangan orang tua tempo dulu, menantu yang bukan dari suku nya sendiri itu dianggap asing. Oleh karena itu di masyarakat Batak disebut Halak Sileban (orang yang bukan Batak). Sangat berbeda dengan menantu yang berasal dari suku yang sama, dianggap sudah mengerti dan paham akan adat istiadat. Terlebih di masyarakat Batak, perkawinan dengan Pariban dianggap sangat ideal. Namun,seiring perkembangan waktu dan zaman, perlahan-lahan perkawinan antar suku banyak terjadi.tidak bisa dipungkiri, tingginya angka urbanisasi yang membuka pintu peranatauan, sehingga di berbagai macam pula tersebar meluas suku-suku yang berbeda. Hal ini tentu semakin memungkinkan terjadinya perkawinan campuran . Hal inilah yang membuat, para tokok-tokoh adat di masyarakat Batak, mencari solusi yaitu dengan sebuah acara adat yang dinamakan Mangain.

Mangain (Pampe14 Marga) atau pemberian marga adalah pengukuhan dari pihak pengain (pihak yang akan diberi marga) untuk menjadi orangtua wali dari yang di ain. Mangain tidak boleh disamaartikan atau disalahartikan sebagai adopsi.

Dengan melaksanakan pengesahan atau peresmian marga menurut adat Batak Toba maka wanita/pria bukan suku Batak menjadi warga masyarakat adat Batak dan bagian dari persekutuan marga yang dipilihnya, sehingga pembagian marga menimbulkan dua konsekuensi hukum, yaitu sejak pemberian marga maka secara formal wanita/pria bukan suku Batak yang diangkat sudah menjadi warga Batak Toba sesuai dengan marga yang disahkan dan mempunyai kedudukan, hak, dan kewajiban yang sama dengan warga adat lainnya.

Sebelum masuknya agama di Tanah Batak, perkawinan adat Batak Toba hanya di sahkan secara adat saja. Namun, setelah masuknya agama Kristen Protestan Khatolik dan Islam, maka pengesahan perkawinan secara adat tidak menjadi plihan satu-satunya. Mereka dapat mengesahkan perkawinannya secara sah melalui agama saja atau melalui catatan sipil. Akan tetapi, di masyarakat Batak perkawinan seperti

Sebelum masuknya agama di Tanah Batak, perkawinan adat Batak Toba hanya di sahkan secara adat saja. Namun, setelah masuknya agama Kristen Protestan Khatolik dan Islam, maka pengesahan perkawinan secara adat tidak menjadi plihan satu-satunya. Mereka dapat mengesahkan perkawinannya secara sah melalui agama saja atau melalui catatan sipil. Akan tetapi, di masyarakat Batak perkawinan seperti