RUANG ADAT PERKAWINAN ETNIK BATAK TOBA
DI KOTA MEDAN
(Suatu Tinjauan Antropologis)
Tesis
Disusun Oleh :
AMRIN BANJARNAHOR NIM. 8106152024
PROGRAM STUDI
ANTROPOLOGI SOSIAL
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS NEGERI MEDAN
▸ Baca selengkapnya: parjambaran adat batak toba
(2)(3)(4)ABSTRAK
Amrin Banjarnahor. Nim. 8106152024. Ruang Perkawinan Adat Etnik Batak Toba Di Kota Medan: Suatu Tinjauan Antropologis. Tesis Program Studi Antropologis, Program Pascasarjana, Universitas Negeri Medan, 2016.
Penelitian ini membahas dengan memfokuskan pada kajian tentang Perubahan Ruang Perkawinan Adat Suku Batak Toba, sebuah kajian antropologis pada masyarakat di Kota Medan Suatu. Penelitian ini bertujuan untuk menguraikan bagaimana peran ruang pelaksanaan ritual adat perkawinan
Penelitian dilakukan dengan menggunakan penelitian kualitatif, sebagai perencana sekaligus juga sebagai pelaksanaan pengumpul data atau sebagai instrument (Moeloeng, 1998:121). Teknik mengumpulkan data yang dilakukan berupa: studi pustaka, observasi, wawancara dan dokumentasi bersifat menyeluruh (holistik) berkaitan dengan tradisi suku Batak Toba dan bagaimana penggunaan wisma/gedung sebagai sarana pelaksanaan Ritual Adat Perkawinan pada Masyarakat Batak Toba yang ada di Kota Medan. Analisis data bersifat kualitatif dengan penekanan secara induktif, dimana data yang dikumpulkan dikelompokkan dalam pola, tema atau kategori untuk selanjutnya dianalis dan menarik suatu kesimpulan dengan cermat.
Setelah analasis data dilakukan, ditemukan hasil bahwa Perubahan Ruang Perkawinan Adat Suku Batak Toba di Kota Medan, merupakan sebuah perubahan pola ritual adat perkawinan yang biasanya dilakukan ditempat asal suku Batak Toba (bona pasogit). Dimana
perubahan ini yang diakibatkan dari minimnya ruang terbuka untuk pelaksanaan ritual adat tersebut. Namun tidak hanya perubahan pada tempat pelaksanaan adat yang berubah namun penggunaan wisma/gedung sebagai sarana ruang pelaksanaan ritual Adat Perkawinan Batak Toba juga berdampak bagi kebudayaan dalam hal ini perubahan dalam unsur-unsur ritual adat perkawinan tersebut.
Perkawinan adat Batak Toba adalah salah satu upacara ritual adat Batak Toba, yaitu penyatuan dua orang dari anggota masyarakat, melalui perkawinan tak bisa dilepaskan dari kepentingan kelompok masyarakat bersangkutan.
ABSTRACT
AmrinBanjarnahor. Nim. 8106152024. Space Indigenous Ethnic Marriage Batak Toba In the city of Medan: A Overview Anthropological. Thesis Anthropological Studies Program, Graduate Program, State University of Medan, 2016.
This research study focusing on the study of Marriage Amendment Space Tribe Batak Toba, an anthropological study on a community in Medan city. This study aims to describe how the role of traditional wedding custom ritual
The study was conducted using qualitative research, as planners as well as the implementation of data collectors or as instrument (Moeloeng, 1998: 121). Engineering was done by collecting data; literature study, observation, interviews and documentation is comprehensive (holistic) relating to the Batak Toba ethnic traditions and how to use the guest house/building as means of implementation of Customary Marriage Ritual in Toba Batak Society in the city of Medan. Data analysis is qualitative with emphasis inductively, where the collected data is grouped into patterns, themes or categories to further analyzed and carefully draw a conclusion.
After analasis the data, it was found the results that Marriage Amendment Space Tribe Batak Toba in Medan, is a change in the pattern traditional wedding ritual is usually performed in Batak Toba (BonaPasogit). Where these changes resulting from the lack of open space for the implementation of the customary ritual. But not only change the place of execution of customary changed however the use of homestead/building as a means of space ritual execution Customary Marriages Batak Toba also has implications for the culture in this case the change in the elements of the traditional wedding ritual.
Marriage Batak Toba is one of the ritual ceremonies Batak Toba. In Batak Toba, the union of two people of the community members through marriage can not be separated from the interests of the people concerned.
KATA PENGANTAR
Puji dan Syukur Penulis Ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, atas berkat dan
perlindungan-Nya penulis bisa menyelesaikan tesis ini.
Terimakasih saya ucapkan kepada Bapak Rektor Unimed Bapak Prof. Dr. Syawal
Gultom, M.Pd dan Direktur Pascasarjana Bapak Prof. Bornok Sinaga, M.Pd yang telah
memberikan kesempatan kepada saya untuk menimba ilmu di lingkungan civitas akademi
Universitas Negeri Medan.
Terimakasih juga saya ucapkan kepada Ketua Prodi Ansos Bapak Dr. Phil. Ichwan
Azhari, M.S sekaligus dosen penguji saya. Dan kepada sekretaris Prodi Ansos Bapak Dr.
Hidayat, M.Si yang sekaligus dosen pembimbing, Bapak Dr. Fikarwin Zuska, M.Ant
pembimbing dalam penyelesaian tesis ini. Tanpa dorongan dari beliau tesis ini akan terlambat.
Terimakasih juga kepada Bapak Dr. Deny Setiawan, M.Si, Prof. Dr. Robert Sibarani,
M.Si yang telah menjadi penguji tesis ini dan telah membantu revisi agar tulisan ini lebih bagus
dan berbobot.
Juga terimakasih saya kepada yang selalu menyemangati dan selalu memberikan
dorongan, istri tercinta Siska Julianti Siregar, S.Pd beserta kedua anak saya Aurella Carlina
Regina Banjarnahor dan Audrey Calista Angevine Banjarnahor. Juga kepada teman saya Ater
Budiman, S.Pd, Hendri Dalimunthe yang telah banyak membantu hingga tesis ini terselesaikan.
Kepada pemilik gedung/wisma Gorga, Menteng, dan Taman Sari serta seluruh tokoh
masyarakat dan yang terlibat dalam kepengurusan gedung saya ucapkan terimakasih atas segala
Juga kepada kedua orang tua saya J. Banjarnahor/ D. Br Lumban Gaol dan kedua mertua
Drs D. Siregar, M.Pd/Br. Tampubolon, beserta adik-adik saya dan segenap keluarga yang selalu
berdoa dan tetap menyemangati, saya ucapkan banyak terimakasih.
Seperti pepatah mengatakan “tiada gading yang tak retak”, oleh karena itu penulis
mengharapkan kritik dan masukan untuk menyempurnakan tulisan ini.
Tesis ini saya dedikasikan untuk kedua orang tua saya J. Banjarnahor/ D. Br. Lumban
Gaol dan Keluarga saya.
Medan, April 2016
DAFTAR ISI
BAB II KERANGKA TEORITIS ... 9
1. Perubahan Sosial Budaya. ... 9
2. Teori Fungsional Struktural ... 12
3. Manusia sebagai Makhluk Sosial ... 13
4. Ritual ... 15
5. Landasan Filosofis Etnis Batak Toba ... 18
5.1. Etnis Batak Toba ... 18
5.2. Ritual Etnis Batak Toba ... 19
5.2.1. Agama Dan Kepercayaan. ... 19
5.2.2. Adat Perkawinan Etnis Batak Toba, dan Maknanya ... 20
5.2.3. Unsur dan Pola Perkawinan Batak Toba ... 23
5.2.4. Sarana Adat ... 26
BAB III METODE PENELITIAN DAN LOKASI PENELITIAN ... 29
3.1. Metode Penelitian ... 29
3.2. Teknik Pengumpulan Data ... 30
3.3. Teknik Analisa Data ... 33
3.4. Lokasi Penelitian ... 34
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 36
4.1Profil Kota Medan. ... 36
4.2Kedatangan Batak Toba di Medan ... 37
4.4Unsur Unsur Ruang Adat Perkawinan Batak Toba... 51
4.5Faktor Faktor yang mempengaruhi Perubahan Tata Ruang Adat Perkawinan Batak Toba ... 70
4.6Dampak Perubahan Ruang Pesta Adat Perkawinan Batak Toba ... 72
4.7Ritual Adat Perkawinan Batak Toba ... 77
4.8Pemukiman dan Perkawinan Batak Toba ... 92
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 102
5.1 Kesimpulan ... 102
5.2 Saran ... 104
DAFTAR PUSTAKA ... 106
DAFTAR GAMBAR
Hal
Gambar 1. Gedung /Wisma Menteng ... 59
Gambar 2. Gedung/Wisma Gorga... 61
Gambar 3. Gedung/Wisma Taman Sari ... 63
Gambar 4. Skema Penggunaan Gedung/Wisma ... 65
Gambar 5. Sketsa Penyusunan Meja ... 68
Gambar 6. Pelaminan pada Gedung/Wisma ... 69
Gambar 7. Setting Tata Ruang Pelaminan ... 70
Gambar 8. Skema Pemakaian Gedung/Wisma ... 74
Gambar 9. Posisi Tempat Duduk dan Pelaminan ... 75
Gambar 10. Proses Pengantin Memasuki Gedung ... 79
Gambar 11. Tudu-tudu ni Sipanganon ... 80
Gambar 12. Pemberian Dekke Ikan Mas ... 81
Gambar 13. Makan Bersama... 82
Gambar 14. Ritual Pemberian Ulos ... 89
Gambar 15. Pemain Musik yang Mengiringi Proses Ritual ... 90
Gambar 16. Mangulosi... 91
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang
Kehidupan merupakan proses dalam menjalani beberapa tahapan
peristiwa, diawali peristiwa kelahiran dan diakhiri peristiwa kematian . Setiap
peristiwa biasanya membutuhkan proses perayaan yang dikenal dengan istilah
‘upacara’. Upacara menjadi bagian penting dalam perkembangan kehidupan
manusia dari suatu keadaan ke keadaan lain. Hal ini menjadi salah satu landasan
mengapa manusia berperan sebagai makhluk individu dan sosial. Manusia
memerlukan orang lain untuk dapat melalui setiap peristiwa, termasuk dalam
peristiwa perkawinan.
Perkawinan merupakan salah satu peristiwa walaupun tidak menjadi suatu
keharusan bagi setiap manusia. Oleh sebab itu, perkawinan dirasa perlu untuk
disakralkan serta dikenang oleh setiap pihak yang terlibat melalui suatu upacara,
baik upacara modern maupun upacara tradisonal. Upacara perkawinan modern
biasanya diselenggarakan sebagaimana kegiatan pesta resepsi pada umumnya,
sedangkan upacara perkawinan tradisional diselenggarakan sesuai ritual adat yang
bersangkutan. Namun tidak berarti setiap pengantin hanya menggunakan satu
jenis perayaan saja. Ada kalanya pengantin menyelenggarakan dalam bentuk pesta
dan upacara adat namun dalam waktu yang tidak bersamaan.
Kelompok etnis merupakan salah satu bentuk perwujudan peran manusia
sebagai mahkluk sosial. Manusia mengikuti berbagai kegiatan sesuai tradisi adat
yang bersangkutan termasuk mengikuti ritual adat. kegiatan manusia tidak
2
diciptakan. Disinilah peran ritual adat kemudian salah satu pertimbangan utama
yang mempengaruhi penataan ruang.
Indonesia kaya akan beragam suku dengan tradisi adat masing-masing.
Namun keragaman budaya tersebut kian lama semakin memudar karena pengaruh
modernisasi. Tak dipungkiri bahwa modernisasi yang muncul saat ini tak terlepas
dari kebudayaan yang ada pada zaman dulu. Sayangnya saat ini tak sedikit arsitek
maupun arsitek interior yang melewatkan unsur kebudayaan dalam penciptaan
maupun penerapan desain. Padahal unsur kebudayaan sebenarnya dapat menjadi
identitas utama suatu daerah, misalnya dalam penataan ruang upacara adat.
Kedatangan etnik Batak di Kota Medan berawal dari pada saat pembukaan
perkebunan oleh kolonial yang bekerja sama dengan Kesultanan Deli di Sumatera
Timur sebagi pemilik tanah. Orang batak dan Melayu dari daerah pesisir sudah
sejak semula membantu tuan kebun membuka rimba mereka berdiam
diperkampungan dalam areal perkebunan itu sendiri, dan merekalah yang pertama
kali yang dikerahkan untuk menebangi pohon dan melakukan tugas lain yakni
membersihkan lahan, (Bremen, 98:1997). Disamping itu juga orang Batak juga di
tempatkan sebagai mandor perkebunan dan Bodyguard (Algojo) yakni sebagai
pengawas para kuli dan menangkap kuli yang mencoba melarikan diri karena
ketidak tahanan mereka yang dipaksa untuk bekerja (Majalah Tatap 12 :2008) dari
urain diatas penulis menyimpulkan bahwa orang batak mempunyai peranan dalam
perkebunan Deli. Sekitar tahun 1920-an perubahan dominasi etnik di Medan
mulai berubah. Orang-orang Batak yang ada di Medan mulai memunculkan diri
dengan hasil pekerjaan mereka sekaligus memperlihatkan identitas mereka.
3
Batak. Selain di Medan, di kota besar lainnya, seperti Jakarta, orang
Batak juga menunjukkan identitas mereka. Sehingga kelompok etnis lain heran
mendapati bahwa orang-orang yang tertib dan pandai yang mereka kenal adalah
ternyata adalah orang Batak. Orang Batak merupakan kaum minoritas kecil di
kota-kota, tetapi sangat berpengaruh pada saat itu, hal ini juga menyebar ke
Tapanuli Utara dan Selatan. (lihat Hasselgren, 2008:48)
Dalam kasus masyarakat Batak yang bermukim di kota Medan mengalami
perubahan dalam pembentukan organisasi-organisasi yang semakin didominasi
oleh orang Kristen Batak Toba. Perkembangan-perkembangan yang terjadi
berimplikasi bahwa komunitas Melayu dari awal tahun 1920-an mulai kehilangan
kebudayaannya dan identitasnya dalam suku etnis semula. Medan menjadi
lingkungan yang multi-etnis dimana lebih mudah bagi kelompok-kelompok lain
untuk menonjolkan jati dirinya. Meskipun perbedaan etnis menjadi realitas
penting di Medan, ada juga diantara penduduk urban pribumi memiliki rasa
kebersamaan. Di dalam berbagai perkembangan ini, tidak tampak perbedaan etnis
baik suku maupun agama.
Tingkat kompetisi yang tinggi orang-orang yang bermukim di kota
Medan, membuat orang Batak Toba berusaha keras untuk dapat hidup bertahan
(survive). Berbagai cara dilakukan misalnya sebagian orang menukar identitas
mereka agar dapat diterima dengan mudah, atau meleburkan diri terhadap pola
dan tatanan hidup pada masyarakat pribumi pertama yang tingga di kota Medan.
Tetapi, hal yang dapat dilihat adalah mereka tetap hidup berkelompok dengan
membentuk komunitas yang kuat. Mereka membentuk kesatuan-kesatuan
4
dari tingkat pemuda hingga jenjang kekeluarga yang sudah menikah. Mereka juga
aktif membentuk kelompok dalam satu pola pikir dan tujuan yang disbeut dengan
partungkoan.
Suku Batak Toba merupakan salah satu kelompok etnis yang masih kuat
mempertahankan tradisi ritual adat dalam berbagai tahapan peristiwa, termasuk
dalam peristiwa perkawinan. Dalam menjalankan ritual adat, masyarakat Batak
tidak hanya melibatkan pihak keluarga dekat namun juga seluruh kerabat yang
bersangkutan. Oleh sebab itu, ritual adat pada upacara perkawinan suku Batak
membutuhkan ruang dengan penataan khusus agar dapat berlangsung dengan
baik. Yang menarik, banyaknya suku Batak Toba yang mulai berpindah ke
Kota-kota besar ternyata tidak menjadi penghambat mereka untuk tetap
mempertahankan tradisi. Di kota Medan, saat ini terdapat lebih dari sepuluh
gedung yang ditata khusus untuk tempat pelaksanaan adat perkawinan suku Batak
Toba. Berikut ini adalah beberapa gedung yang digunakan untuk upacara adat
perkawinan Batak Toba.
Gedung / Wisma Adat Amplas (Jln. Seser 1 Amplas Medan)
Gedung / Wisma Menteng (Jln. Menteng VII Medan )
Gedung / Wisma Gorga (Jln. Saudara No.56, Medan )
Gedung / Wisma Mahina (Jln. Rela Pancing – Medan)
Gedung / Wisma Maduma (Jln. Perjuangan – Medan )
Gedung / Wisma Taman Sari (Jln. Kapten Muslim - Medan)
Gedung / Wisma Lambok (Jln. Rela/Pancing - Medan)
Yang menjadi pertanyaan, mengapa suku Batak Toba membutuhkan gedung
5
bagaimana ritual adat mempengaruhi penataan ruang gedung perkawinan Batak
Toba. sehingga dari hal tersebut saya dapat mengetahui apakah penggunaan
gedung khusus tersebut memang merupakan suatu keharusan atau suatu kebiasaan
suku Batak Toba yang tinggal di kota Medan.
1.2 Identifikasi Masalah
Terkait dengan latar belakang di atas, muncul beberapa pertanyaan yang
akan saya jawab pada skripsi ini, yaitu :
1. Mengidentifikasi perubahan ruang adat perkawinan Batak Toba di kota
Medan ?
2. Bagaimana tata ruang adat memperngaruhi setting dan kualitas kesakralan
pada upacara adat perkawinan Batak Toba di Kota Medan ?.
3. Faktor–faktor yang mempengaruhi perubahan ruang adat perkawinan
Batak Toba di kota Medan ?
4. Bagaimana penyesuaian tata ruang upacara atau pelaksanaan pesta adat
perkawinan Batak Toba di kota Medan ?
5. Bagaimana suku Batak Toba yang tinggal di Kota Medan melaksanaakan
tradisi pada situasi perkotaan !
6. Dampak perubahan ruang adat perkawinan Batak Toba di kota Medan
terhadap pelaksanaan adat perkawinan di daerah asal etnis Batak Toba ?
1.3 Perumusan Masalah
Penelitian ini berusaha mengungkap dan membahas pengaruh ritual adat
Toba dalam penataan ruang sehingga diharapkan dapat menjadi masukan bagi
6
penataan dekorasi dan tata kelola tempat duduk di era moderenisasi melalui
pemeliharaan warisan kebudayaan.
1.4 Batasan Permasalahan
Kelompok etnis Batak terdiri dari beberapa sub-suku yang berdiam di
beberapa wilayah, yaitu suku Alas, Karo, Pakpak, Dairi, Simalungun, Angkola,
dan Mandailing. Pada penelitian ini, pembahasan dikhususkan pada Perubahan
Ruang upacara perkawinan suku Batak Toba di kota Medan. Dimana upacara adat
perkawinan Batak Toba yang berada di kota medan memiliki beberapa rangkaian
acara yang darus dilaksanakan. Pada penelitian ini, peneliti membahas mengenai
upacara pesta unjuk (pesta adat) yang menjadi inti dari seluruh rangkaian acara.
Studi kasus yang dipilih adalah lokasi pelaksanaan acara adat perkawinan Batak
Toba yang berlangsung di Gedung / Wisma Menteng (Jln. Menteng VII Medan ),
Gedung / Wisma Gorga (Jln. Saudara No.56, Medan ) dan Gedung / Wisma
Taman Sari (Jln. Kapten Muslim – Medan).
1.5. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk :
1. Menjelaskan unsur-unsur tata ruang didalam gedung pada pelaksanaan
perkawinan adat Batak Toba
2. Mengungkap faktor–faktor yang mempengaruhi perubahan tata ruang
7
3. Mengungkap tentang dampak perubahan ruang adat perkawinan dan
pada suku Batak Toba di kota Medan !
1.6. Manfaat Penelitian
Dari hasil penelitian diharapkan dapat memiliti kegunaan secara teoritis
dan praktis seperti dibawah ini :
1. Secara teoritis penelitian ini diharapkan dapat memahami pola tentang
nilai tata ruang pelaksanaan adat yang dimiliki oleh etnik Batak Toba.
2. Secara praktis hasil penelitian ini dapat memberi pengertian tentang
pemahaman akan pemakaian, makna dan nilai simbolik yang
terkandung dalam adat perkawinan Batak Toba tersebut.
3. Memberikan informasi tentang perubahan tata ruang pelaksanaan adat
perkawinan pada suku Batak Toba dan masyarakat umum.
4. Menjadi informasi bagi kalangan akademik dan umun sehingga dapat
8 1.5 Kerangka Berpikir
99
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN 5.1. Kesimpulan
Perkawinan adat Batak Toba pada umumnya membutuhkan ruang yang
besar, ruang ritual tidak hanya berada di satu titik. Walaupun tidak adanya batasan
masif, pemisahan antara ruang ritual dan nonritual terlihat jelas dari setting dan
desain ruangnya, seperti penggunaan karpet merah, drop ceiling, dan lainnya.
Selain itu, banyaknya jumlah individu yang terlibat juga menjadi salah satu alasan
sehingga terdapat setting khusus untuk dapat mengakomodasi seluruh individu.
Namun setting tersebut tidak begitu didukung dengan desain ruangnya.
Dari analisis permasalah peneliatian diatas, peneliti dapat memberi
kesimpulan dari Perubahan Ruang Ritual Adat Perkawinan Pada Suku Batak Toba
di Medan adalah ;
1. Minimnya ruang yang terbuka seperti halaman rumah di kota Medan
membuat masyarakat Batak Toba harus mepergunakan gedung sebagai
sarana untuk ruang ritual adat perkawinan.
2. Pelaksanaan ritual adat perkawinan masyarakat Batak Toba yang
dilaksanakan di Kota Medan memberi perubahan kepada unsuk adat
Perkawinan dan menimbulkan adanya tatanan tahap-tahap perkawinan
secara adat yang dilaksanakan hanya sebagai formalitas tidak pada
makna sebanarnya misalnya; Tikkir tangga/ ulaon sadari, mangulosi
(memberikan ulos), mangallang sibuha-buihai (sarapan pagi dirumah
peihak yang berpesta)
100
menghambat peran tamu sebagai pengamat. Jauhnya jarak pandang
membuat orang yang berada di bagian belakang terhalang orang di
depannya. Dengan kondisi tersebut, fokus tamu menjadi tidak terarah
dan memicu mereka melakukan hal lain di luar ritual tersebut.
4. Perbedaan dari apa yang diperoleh tiap individu menghasilkan persepsi
yang tidak sama sehingga pernaknaan ritual setiap orang berbeda.
5. Setting yang dibuat berlapis-lapis untuk menghindari terjadinya
kesesakan ternyata tidak berlaku untuk ritual tertentu. Setting justru
menimbulkan respon beberapa individu terhadap kebutuhan ruang yang
lebih luas untuk dapat rnetnaknai ritual tersebut.
6. Melakukan usaha dengan memanipulasi ruang sehingga mengubah
setting yang ada dan setting awal menjadi tidak berlaku. Adanya
elemen lain seperti kain ulos, musik gondang, tari tor-tor, dan lain-lain
yang digunakan ternyata tidak hanya berperan sebagai sarana adat.
Secara tidak langsung elemen tersebut membantu menghadirkan
kualitas ruang, baik secara visual maupun nonvisual, yang tidak
didapatkan melalui elemen ruang itu sendiri.
7. Penggunan wisma/gedung sebagai saran penyelelnggaraan ritual adat
perkawinan berdampak langsung terhadap perubahan pola-pola
perkawinan secara adat bagi masyarakat Batak Toba yang ada di Kota
101
5.2 Saran
Melihat dari permasalahan yang diteliti penulis diatas serta merujuk dari
beberapa kesimpulan diatas, peneliti dapat memberi saran yang dapat sebagai
bahan untuk memperkuat pola efesiensi dari Perubahan Ruang Ritual Adat
Perkawinan Pada Suku Batak Toba di Medan sehingga tidak terlalu memberi
perubahan yang signifikan terhadap proses ritual Adat perkawinan yang
sebenarnya. Adapun yang menjadi saran dari penelitian ini adalah ;
1. Hendaknya masyarakat Batak Toba yang mengunakan farilitas
wisma/gedung sebagai ruang untuk pelaksanaan ritual adat perkawinan
Batak Toba tidak langsung merubah secara drastis unsur-unsur dari
ritual tersebut sehingga keberadaan adat tersebut tetap terjaga dan
berjalan secara biasanya.
2. Walupun penggunaan wisma mampu meminimalisasi biaya dan waktu,
namun perlu diketahui bahwa ketika sebuah tradisi berubah maka
dapat menimbulkan perubahan bagi tradisi tersebut bahkan pada
perilaku pemilik tradisi dan kebudayaan itu.
3. Perlu adanya suatu ketentuan-ketentuan yang harus dibentuk oleh para
pemuka adat suku Batak Toba untuk menata tata pelaksanaan ritual
adat perkawinan Suku Batak Toba yang mempergnakan wisma sebagai
tempat ritual sehingga tetap berpedoman kepada tata pelaksanaa ritual
perkawinan sebenarnya yang ada di bona pasogit (tempat asal).
4. Pemilik wisma juga harus jeli melihat kebutuhan dari konsumen dalam
hal ini masyarakat Batak Toba yang memakai gedung dalam
102
Batak Toba seperti penyempuanaan gedung menyediakan sarana dan
prasarana, keamanan fasilitas, informasi dan unsur-unsur ritual yang
digunakan.
5. Proses perkawinan dalam adat kebudayaan Batak Toba menganut
hukum eksogami (perkawinan di luar kelompok suku tertentu). Ini
terlihat dalam kenyataan bahwa dalam suku Batak Toba: orang tidak
mengambil isteri dari kalangan kelompok marga sendiri (namariboto),
perempuan meninggalkan kelompoknya dan pindah ke kelompok
suami, dan bersifat patrilineal, dengan tujuan untuk melestarikan galur
suami di dalam garis lelaki. Hak tanah, milik, nama, dan jabatan hanya
dapat diwarisi oleh garis laki-laki.
6. Pernikahan adat Batak Toba adalah salah satu upacara ritual adat Batak
Toba. Dalam adat Batak Toba, penyatuan dua orang dari anggota
masyarakat melalui perkawinan tak bisa dilepaskan dari kepentingan
kelompok masyarakat bersangkutan. Demikianlah keseluruhan
rangkaian ritus perkawinan adat Batak-Toba mengiyakan pentingnya
peran masyarakat, bahkan ia tak dapat dipisahkan dari peran
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Irwan. 2006. Sangkan Paran Gender. Yogyakarta : Pustaka Pelajar. ambarzz.blogspot.com/
Ahimsa-Putra, H.S. 1984. “Strukturalisme Lévi-Strauss : Sebuah Tanggapan”. Basis XXXIII (4) : 122-135.
___________. 1994. Semiotik Rituil Belian di Kalimantan. Makalah seminar.
___________. 1995, “Lévi-Strauss di Kalangan Orang Bajo : Analisis Struktural dan Makna Ceritera Orang Bajo”. Kalam 6 : 124-143.
___________. 1997. “Claude Lévi-Strauss : Butir-butir Pemikiran Antropologi” dalam Lévi-Strauss : Empu Antropologi Struktural, O. Paz. Di Indonesiakan oleh Landung Simatupang. Yogyakarta : LKIS.
___________. 1998a. Strukturalisme Lévi-Strauss Untuk Arkeologi Semiotik. Makalah seminar Arkeologi.
Baal, J.Van. 1987. Sejarah Dan Pertumbuhan Teori Antropologi Budaya. Jakarta : Gramedia.
Barth, Fredrik. 1988. Kelompok Etnik Dan Batasannya. Jakarta : UI Press.
Baso, Zohra Andi. 2000. Masyarakat Bergerak. Makassar : Yayasan lembaga Konsumen Sulsel.
Blom, Jan – Petter. 1998. Diferensiasi Etnik dan Budaya. Jakarta : UI Press.
Brook, Gary B; O'Neil, J.M.,; Men in Families : Old Constraints, New Possibilities (hal 252-279); dalam Levant &Pollack (ed); A New Psychology of Man; Basic Books.
Cassirer, Ernst. 1981. Manusia dan Kebudayaan: Sebuah Esay Tentang Manusia. Jakarta : Gramedia.
Chambers, Robert. 1983. Pembangunan Desa Mulai Dari Belakang. Jakarta : LP3ES.
Chalid, Suhardini, 2000. Tenun Ikat Indonesia. Jakarta: Museum Nasional.
Cunningham, Clark E. 1958. The Postwar Migration of The Toba Bataks To East Sumatra. New Haven : Yale University.
Christopher Jones. 2009.The Quality Improvement Customers Didn't Want.U.S. Public Affairs Office
Eidheim, Harald. 1988. Ciri Etnik Sebagai Cacat Sosial. Jakarta : UI Press.
Geertz, Clifford. 1989. Penjaja dan Raja. Jakarta Yayasan Obor Indonesia.
---. 1985. Keluarga Jawa (terj.). Jakarta : Grafiti Pers
---. 1973. The Interpretation of Culture. New York : Basic Book ---. 1971. Myth, Symbol, and Culture. USA : American Academy of
Arts and Sciences.
Harahap, Basyral Hamidi dan Siahaan, Hotman. M. 1987. Orientasi Nilai-Nilai Budaya Batak. Jakarta : Sanggar Willem Iskandar.
Hasselgren, Johan. 2008. Batak Toba di Medan, Perkembangan Identitas Etno-ReligiusBatak Toba di Medan (1912-1965). Medan : Bina Media Perintis.
Ihromi, T.O 1987. Pokok-Pokok Antropologi Budaya. Jakarta : Gramedia.
Irianto, Sulisyowati. 2008. Masyarakat dan Hukum: Menuju Hukum yang Berperpekstif Kesetaraan dan Keadilan. Jakarta : Yayasan Obor Indonesia.
_________________1989. Posisi Perempuan Dalam Kesejahteraan Sosial Suatu
Studi Kasus di Kecamatan Tarutung, Tapanuli Utara. Tanpa Penerbit.
Kartodirdjo, Sartono.1983. Elite Dalam Perspektif Sejarah. Jakarta : Yayasan Obor.
Jacobus Ranjabar. 2006. Sistem Sosial Budaya Indonesia. Ghalia Indonesia
Kaufman, R., & Thomas, S. (1980).Evaluation without fear. New York : New Viewpoint.
Koentjaraningrat. 1985. Metode-Metode Penelitian Masyarakat. Jakarta : PT.Gramedia.
______________ 1990. Sejarah Teori Antropologi II. Jakarta : UI Press.
______________ 1980. Sejarah Teori Antropologi. Jakarta: Dian Rakyat
Lauer, Robert H. 2001. Perspektif Tentang Perubahan Sosial. Jakarta : Asdi Mahasatya.
Maleong, J Lexy. 2000. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung : Remaja Rosdakarya.
Maryaeni. 2005. Metode penelitian Kebudayaan. Jakarta : Bumi Aksara.
Miles, B. Matthew dan Huberman., A.Michael. (1992). Analisis Data Kualitatif. Jakarta : UI-PRESS. Media
Miles, M.B., & Hubermant, A.M. (1992). Qualitatif data analysis. (TerjemahanTj Etjep Rohn di Rohidi). London : Sage Publishing.
Moleong, Lexy.J. (1989). Metodologi Penelitian kualitatif. Bandung :
P.T.RosdaKarya.
Mundarjito, 1981. Etnoarkeologi Peranannya dalam Pengembangan Arkeologi Indonesia dalam Majalah Arkeologi Th IV No. 1--2. Jakarta: Universitas Indonesia
Marbun & Hutapea, 1987. Kamus Budaya Batak Toba. Jakarta: Balai Pustaka
Moore, Wilbert E. 1964 Social Change, Prentice Hall: New Jersey
Nainggolan, Togar. 2006. Batak Toba di Jakarta, Kontinuitas dan Perubahan Identitas. Medan : Bina Media.
Usman, Sunyoto, 2004. “Sosiologi, Sejarah dan Metodologi”, Yogyakarta, Ritzer, George, 2005. “Teori Sosiologi Modern”,cetakan ketiga, Jakarta,
Bahan Referensi Internet
www.mti.ugm.ac.id. Diakses tanggal 5 September 2005 jam. 15.30 WIB.
http://www.internews.com, download siaran Ki Radiotentang kehidupan Partonun di P.Siantar
http/www.enformasi.blogspot. co.id, 2008)
http://www.artandculture.com/users/343-victor-papanek (diakses 2012/05/11) http://www.journal.itb.ac.id/download.php?file=D09106.pdf&id=967&up
(diakses 2012/06/11)